• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Penentuan Dosis Optimum N, P, K, dan Mg Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera chinensis) pada Lahan Gambut Indragiri Hilir Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Penentuan Dosis Optimum N, P, K, dan Mg Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera chinensis) pada Lahan Gambut Indragiri Hilir Riau"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PENENTUAN DOSIS OPTIMUM N, P, K, DAN Mg

TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera chinensis)

PADA LAHAN GAMBUT INDRAGIRI HILIR RIAU

RISA WENTASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis

ini yang berjudul :

“Studi Penentuan Dosis Optimum N, P, K, dan Mg Tanaman Lidah Buaya (Aloe Vera chinensis) pada Lahan Gambut Indragiri Hilir Riau”

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan dari

komisi pembimbing saya, kecuali yang dengan jelas ditujukkan rujukannya. Tesis

ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat

diperiksa kebenarannya.

Bogor, November 2005

(3)

ABSTRAK

RISA WENTASARI. 2005. Studi Penentuan Dosis Optimum N, P, K, dan Mg Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera chinensis) pada Lahan Gambut Indragiri Hilir, Riau. Dibimbing oleh SUDRADJAT sebagai ketua komisi pembimbing dan SUDIRMAN YAHYA sebagai anggota komisi pembimbing.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis optimum pemupukan N, P, K, Mg, dan mengetahui serapan hara N, P, K, dan Mg oleh tanaman lidah buaya (Aloe vera chinensis) pada lahan gambut Indragiri Hilir-Riau. Penelitian ini dilaksanakan pada lahan perkebunan kelapa sawit PT. Bumireksa Nusasejati, Teluk Bakau, Indragiri Hilir, Riau, pada bulan Maret 2004 sampai bulan April 2005. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang disusun secara faktorial dalam lingkungan acak kelompok terdiri dari 4 faktor. Faktor pertama adalah dosis pupuk nitrogen (N0= 0 g N, N1 = 5 g N, N2= 10 g N dan N3 = 20 g

N/tanaman/bulan); faktor ke dua adalah dosis pupuk fosfat (P0 = 0 g P2O5, P1 = 4

g P2O5, P2 = 8 g P2O5, dan P3 = 16 g P2O5/tanaman/bulan); faktor ke tiga adalah

dosis pupuk kalium (K0 = 0 g K2O, K1 = 7.5 g K2O, K2 = 15 g K2O, dan K3 = 30 g

K2O/tanaman/bulan); dan faktor ke empat adalah dosis pupuk magnesium (Mg0 =

0 g MgO, Mg1 = 2.5 g MgO, Mg2 = 5 g MgO, dan Mg3 = 10 g

MgO/tanaman/bulan). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan NPKMg lengkap dan faktor tunggal N, P, K, dan Mg terhadap parameter pengamatan diambil beberapa perlakuan yang kemudian dikelompokan menjadi 5 kelompok perlakuan terdiri dari (1) faktor NPKMg lengkap (N0P0K0Mg0, N1P1K1Mg1, N2P2K2Mg2,

Masing-masing kelompok disusun dengan mengunakan rancangan faktorial faktor tunggal dalam lingkungan acak kelompok yang terdiri dari 3 ulangan sehingga diperoleh 12 unit percobaan untuk masing-masing kelompok dan terdapat 60 total unit percobaan dalm penelitian ini.

Dari hasil penelitian ini diperoleh dosis optimum N = 15.9 g N/tanaman/bulan, P =12.72 g P2O5/, K = 23.16 g K2O, dan Mg = 7.95 g

(4)

©

Hak cipta milik Risa Wentasari, tahun 2005 Hak Cipta dilindungi

(5)

STUDI PENENTUAN DOSIS OPTIMUM N, P, K, DAN Mg

TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera chinensis)

PADA LAHAN GAMBUT INDRAGIRI HILIR RIAU

RISA WENTASARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Tesis : Studi Penentuan Dosis Optimum N, P, K, dan Mg Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera chinensis) pada Lahan Gambut Indragiri Hilir Riau

Nama : Risa Wentasari

NIM : A351020291

Program Studi : Agronomi

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sudradjat, M.S. Ketua

Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Satryias Ilyas, M.S.

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan

berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Sudradjat, M.S. sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak

Prof. Dr. Sudirman Yahya, M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing atas

arahan, saran dan bimbingannya sejak perencanaan, pelaksanaan penelitian

hingga penyusunan tesis ini diselesaikan;

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr yang telah bersedia

sebagai penguji luar komisi yang memberikan saran dan masukannya;

3. Bapak Presiden Direktur PT. Minamas Plantation dan Manager PT.

Bhumireksa Nusasejati, Teluk Bakau Estate serta staf dan karyawan atas

bantuan dan perhatian yang diberikan selama penelitian ini dilaksanakan.

4. Ayahnda Sutardi dan Ibunda Komiyati, Saudaraku Yudi Ernawanto, S.T.

dan Neny Triana atas doa, dukungan, pengorbanan, dan kepercayaan yang

tulus diberikan merupakan harta yang tidak ternilai bagi penulis;

5. Catur Wasonowati, S.P. sebagai saudara dan teman seperjuangan, Ir. Iwan

Sasli, M.Si., Lusiana Tatipata, S.P. M.Si., Astuti Kurnianingsih, S.P., M.Si.,

Ir. Ismail Maskromo, M.Si., Ir Amisnaipa, M.Si., Ir. Dwi Wasgito Purnomo,

M.Si., Eries Dyah Mustikarini, S.P. M.Si., Aris Hairmansis, S.P. M.Si., Eko

Setiawan, S.P. M.Si., Basrudin S.P. M.Si., Hesti Pujiwati, S.P. M.Si., Gulam

M Sharon, Otto Sinaga, dan rekan-rekan Agronomi 2002 atas bantuan, saran

dan dukungannya;

6. Bapak Ir. Chusnul Nurtjahja, Ir. Bardansyah, Drs Mariudin Harahap, Tedy

Lesmana, S.P., Parno S.P., Lastiur Sinaga, Ibu Suhaenah, dan saudaraku

Suprayitno, Masdarona, Sumeri, Ika Setiowati, Very Yusdian, Sarpono, Tati

Priani, atas doa, dukungan, dan keikhlasannya menerima penulis sebagai

bagian dari keluarga mereka.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat dimanfaatkan bagi

berbagai pihak yang memerlukan.

Bogor, November 2005

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mangunharjo, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera

Selatan, pada tanggal 24 Agustus 1978, sebagai anak kedua dari dua bersaudara

dari Ayah Sutardi dan Ibu Komiyati. Pendidikan SD, SMP, dan SMA

diselesaikan penulis di Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Pada tahun 1996 penulis diterima di Universitas Bengkulu (UNIB) melalui

jalur Penelusuran Potensi Akademik (PPA), pada Program Studi Agronomi.

Pendidikan Strata-1 diselesaikan pada tahun 2001. Pada tahun 2002 penulis

diterima di Program Studi Agronomi pada Sekolah Pascasarjana, Institut

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ...xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 4

Lidah Buaya ... 4

Tanah Gambut ... 6

Hara pada Lahan Gambut dan Tanaman ... 8

Serapan Hara, Pertumbuhan, dan Hasil Tanaman... 14

BAHAN METODE ... 18

Bahan dan Alat ... 18

Waktu dan Tempat ... 18

Metode Penelitian ... 18

Pelaksanaan Penelitian ... 20

Analisis Data ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Hasil ... 23

Pembahasan ... 54

KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

Kesimpulan ... 59

Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Standadrisasi Produk Pelepah Lidah Buaya ... 5 2. Dosis Perlakuan N, P, K, dan Mg ... 19 3. Metode Analisis Hara Tanaman dan Tanah ... 22 4. Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Basah Total Tanaman,

Pelepah Total, Akar dan Batang... 25 5. Pengaruh Perlakuan NPKMg terhadap Bobot Basah Pelepah

pada Kedudukan ke-4 sampai 12 ... 26

6. Persamaan Regresi Pengaruh NPKMg untuk Parameter Bobot

Basah Pelepah ke-4, 7, 11, dan 12 ... 27 7. Pengaruh Perlakuan N terhadap Bobot Basah Pelepah pada

Kedudukan ke-4 sampai 12 ... 27 8. Persamaan Regresi Pengaruh N untuk Peubah Bobot Basah

Pelepah Ke-7, 8, 9, 10, dan 11 ... 28 9. Pengaruh Perlakuan P terhadap Bobot Basah Pelepah pada

Kedudukan ke-4 sampai 12 ... 28 10. Persamaan Regresi Pengaruh P untuk Peubah Bobot Basah

Pelepah ke-6 dan 7 ... 29 11. Pengaruh Perlakuan K terhadap Bobot Basah Pelepah pada

Kedudukan ke-4 sampai 12 ... 29 12. Persamaan Regresi Pengaruh K untuk Peubah Bobot Basah

Pelepah ke-9 dan 10 ... 30 13. Koefisien Kolerasi antara Bobot Basah Setiap Pelepah dengan

Bobot Basah Total dan Pelepah Total ... 30 14. Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Kering Total Tanaman,

Pelepah Total, Akar dan Batang ... 31 15. Pengaruh Perlakuan NPKMg terhadap Bobot Kering Pelepah

pada Kedudukan ke-4 sampai 12 ... 32 16. Persamaan Regresi Pengaruh NPKMg terhadap Peubah Bobot

Kering Pelepah ke-4, 7, 11, dan 12 ... 33 17. Pengaruh Perlakuan N terhadap Bobot Kering Pelepah pada

Kedudukan ke-4 sampai 12 ... 33 18. Persamaan Regresi Pengaruh N terhadap Peubah Bobot Kering

Pelepah ke-7, 8, 9, 10, dan 11 ... 34 19. Pengaruh Perlakuan P terhadap Bobot Basah Pelepah pada

(11)

STUDI PENENTUAN DOSIS OPTIMUM N, P, K, DAN Mg

TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera chinensis)

PADA LAHAN GAMBUT INDRAGIRI HILIR RIAU

RISA WENTASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis

ini yang berjudul :

“Studi Penentuan Dosis Optimum N, P, K, dan Mg Tanaman Lidah Buaya (Aloe Vera chinensis) pada Lahan Gambut Indragiri Hilir Riau”

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan dari

komisi pembimbing saya, kecuali yang dengan jelas ditujukkan rujukannya. Tesis

ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat

diperiksa kebenarannya.

Bogor, November 2005

(13)

ABSTRAK

RISA WENTASARI. 2005. Studi Penentuan Dosis Optimum N, P, K, dan Mg Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera chinensis) pada Lahan Gambut Indragiri Hilir, Riau. Dibimbing oleh SUDRADJAT sebagai ketua komisi pembimbing dan SUDIRMAN YAHYA sebagai anggota komisi pembimbing.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis optimum pemupukan N, P, K, Mg, dan mengetahui serapan hara N, P, K, dan Mg oleh tanaman lidah buaya (Aloe vera chinensis) pada lahan gambut Indragiri Hilir-Riau. Penelitian ini dilaksanakan pada lahan perkebunan kelapa sawit PT. Bumireksa Nusasejati, Teluk Bakau, Indragiri Hilir, Riau, pada bulan Maret 2004 sampai bulan April 2005. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang disusun secara faktorial dalam lingkungan acak kelompok terdiri dari 4 faktor. Faktor pertama adalah dosis pupuk nitrogen (N0= 0 g N, N1 = 5 g N, N2= 10 g N dan N3 = 20 g

N/tanaman/bulan); faktor ke dua adalah dosis pupuk fosfat (P0 = 0 g P2O5, P1 = 4

g P2O5, P2 = 8 g P2O5, dan P3 = 16 g P2O5/tanaman/bulan); faktor ke tiga adalah

dosis pupuk kalium (K0 = 0 g K2O, K1 = 7.5 g K2O, K2 = 15 g K2O, dan K3 = 30 g

K2O/tanaman/bulan); dan faktor ke empat adalah dosis pupuk magnesium (Mg0 =

0 g MgO, Mg1 = 2.5 g MgO, Mg2 = 5 g MgO, dan Mg3 = 10 g

MgO/tanaman/bulan). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan NPKMg lengkap dan faktor tunggal N, P, K, dan Mg terhadap parameter pengamatan diambil beberapa perlakuan yang kemudian dikelompokan menjadi 5 kelompok perlakuan terdiri dari (1) faktor NPKMg lengkap (N0P0K0Mg0, N1P1K1Mg1, N2P2K2Mg2,

Masing-masing kelompok disusun dengan mengunakan rancangan faktorial faktor tunggal dalam lingkungan acak kelompok yang terdiri dari 3 ulangan sehingga diperoleh 12 unit percobaan untuk masing-masing kelompok dan terdapat 60 total unit percobaan dalm penelitian ini.

Dari hasil penelitian ini diperoleh dosis optimum N = 15.9 g N/tanaman/bulan, P =12.72 g P2O5/, K = 23.16 g K2O, dan Mg = 7.95 g

(14)

©

Hak cipta milik Risa Wentasari, tahun 2005 Hak Cipta dilindungi

(15)

STUDI PENENTUAN DOSIS OPTIMUM N, P, K, DAN Mg

TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera chinensis)

PADA LAHAN GAMBUT INDRAGIRI HILIR RIAU

RISA WENTASARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(16)

Judul Tesis : Studi Penentuan Dosis Optimum N, P, K, dan Mg Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera chinensis) pada Lahan Gambut Indragiri Hilir Riau

Nama : Risa Wentasari

NIM : A351020291

Program Studi : Agronomi

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sudradjat, M.S. Ketua

Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Satryias Ilyas, M.S.

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(17)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan

berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Sudradjat, M.S. sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak

Prof. Dr. Sudirman Yahya, M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing atas

arahan, saran dan bimbingannya sejak perencanaan, pelaksanaan penelitian

hingga penyusunan tesis ini diselesaikan;

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr yang telah bersedia

sebagai penguji luar komisi yang memberikan saran dan masukannya;

3. Bapak Presiden Direktur PT. Minamas Plantation dan Manager PT.

Bhumireksa Nusasejati, Teluk Bakau Estate serta staf dan karyawan atas

bantuan dan perhatian yang diberikan selama penelitian ini dilaksanakan.

4. Ayahnda Sutardi dan Ibunda Komiyati, Saudaraku Yudi Ernawanto, S.T.

dan Neny Triana atas doa, dukungan, pengorbanan, dan kepercayaan yang

tulus diberikan merupakan harta yang tidak ternilai bagi penulis;

5. Catur Wasonowati, S.P. sebagai saudara dan teman seperjuangan, Ir. Iwan

Sasli, M.Si., Lusiana Tatipata, S.P. M.Si., Astuti Kurnianingsih, S.P., M.Si.,

Ir. Ismail Maskromo, M.Si., Ir Amisnaipa, M.Si., Ir. Dwi Wasgito Purnomo,

M.Si., Eries Dyah Mustikarini, S.P. M.Si., Aris Hairmansis, S.P. M.Si., Eko

Setiawan, S.P. M.Si., Basrudin S.P. M.Si., Hesti Pujiwati, S.P. M.Si., Gulam

M Sharon, Otto Sinaga, dan rekan-rekan Agronomi 2002 atas bantuan, saran

dan dukungannya;

6. Bapak Ir. Chusnul Nurtjahja, Ir. Bardansyah, Drs Mariudin Harahap, Tedy

Lesmana, S.P., Parno S.P., Lastiur Sinaga, Ibu Suhaenah, dan saudaraku

Suprayitno, Masdarona, Sumeri, Ika Setiowati, Very Yusdian, Sarpono, Tati

Priani, atas doa, dukungan, dan keikhlasannya menerima penulis sebagai

bagian dari keluarga mereka.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat dimanfaatkan bagi

berbagai pihak yang memerlukan.

Bogor, November 2005

(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mangunharjo, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera

Selatan, pada tanggal 24 Agustus 1978, sebagai anak kedua dari dua bersaudara

dari Ayah Sutardi dan Ibu Komiyati. Pendidikan SD, SMP, dan SMA

diselesaikan penulis di Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Pada tahun 1996 penulis diterima di Universitas Bengkulu (UNIB) melalui

jalur Penelusuran Potensi Akademik (PPA), pada Program Studi Agronomi.

Pendidikan Strata-1 diselesaikan pada tahun 2001. Pada tahun 2002 penulis

diterima di Program Studi Agronomi pada Sekolah Pascasarjana, Institut

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ...xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 4

Lidah Buaya ... 4

Tanah Gambut ... 6

Hara pada Lahan Gambut dan Tanaman ... 8

Serapan Hara, Pertumbuhan, dan Hasil Tanaman... 14

BAHAN METODE ... 18

Bahan dan Alat ... 18

Waktu dan Tempat ... 18

Metode Penelitian ... 18

Pelaksanaan Penelitian ... 20

Analisis Data ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Hasil ... 23

Pembahasan ... 54

KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

Kesimpulan ... 59

Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Standadrisasi Produk Pelepah Lidah Buaya ... 5 2. Dosis Perlakuan N, P, K, dan Mg ... 19 3. Metode Analisis Hara Tanaman dan Tanah ... 22 4. Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Basah Total Tanaman,

Pelepah Total, Akar dan Batang... 25 5. Pengaruh Perlakuan NPKMg terhadap Bobot Basah Pelepah

pada Kedudukan ke-4 sampai 12 ... 26

6. Persamaan Regresi Pengaruh NPKMg untuk Parameter Bobot

Basah Pelepah ke-4, 7, 11, dan 12 ... 27 7. Pengaruh Perlakuan N terhadap Bobot Basah Pelepah pada

Kedudukan ke-4 sampai 12 ... 27 8. Persamaan Regresi Pengaruh N untuk Peubah Bobot Basah

Pelepah Ke-7, 8, 9, 10, dan 11 ... 28 9. Pengaruh Perlakuan P terhadap Bobot Basah Pelepah pada

Kedudukan ke-4 sampai 12 ... 28 10. Persamaan Regresi Pengaruh P untuk Peubah Bobot Basah

Pelepah ke-6 dan 7 ... 29 11. Pengaruh Perlakuan K terhadap Bobot Basah Pelepah pada

Kedudukan ke-4 sampai 12 ... 29 12. Persamaan Regresi Pengaruh K untuk Peubah Bobot Basah

Pelepah ke-9 dan 10 ... 30 13. Koefisien Kolerasi antara Bobot Basah Setiap Pelepah dengan

Bobot Basah Total dan Pelepah Total ... 30 14. Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Kering Total Tanaman,

Pelepah Total, Akar dan Batang ... 31 15. Pengaruh Perlakuan NPKMg terhadap Bobot Kering Pelepah

pada Kedudukan ke-4 sampai 12 ... 32 16. Persamaan Regresi Pengaruh NPKMg terhadap Peubah Bobot

Kering Pelepah ke-4, 7, 11, dan 12 ... 33 17. Pengaruh Perlakuan N terhadap Bobot Kering Pelepah pada

Kedudukan ke-4 sampai 12 ... 33 18. Persamaan Regresi Pengaruh N terhadap Peubah Bobot Kering

Pelepah ke-7, 8, 9, 10, dan 11 ... 34 19. Pengaruh Perlakuan P terhadap Bobot Basah Pelepah pada

(21)

20. Persamaan Regresi Pengaruh P terhadap Peubah Bobot Kering

Pelepah ke- 6 dan 7 ... 34 21. Pengaruh Perlakuan K terhadap Bobot Kering Pelepah pada

Kedudukan ke-4 sampai 12 ... 35 22. Persamaan Regresi Pengaruh K terhadap Peubuh Bobot Kering

Pelepah ke-9 dan 10 ... 35 23. Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Hara Tanah ... 36 24. Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Hara N, P, K, dan Mg Kulit

Pelepah ke-9 ... 38 25. Koefisien Kolerasi antara Kadar Hara N Kulit pelepah Ke-9

dengan Bobot Kering Pelepah ke-942 ... 41

26. Koefisien Kolerasi antara Kadar Hara K Kulit pelepah Ke-9

dengan Bobot Kering Pelepah ke-9 ... 43 27. Hasil Analisis Kadar Hara N Kulit Pelepah Daun ke-4

sampai 12 ... 44 28. Hasil Analisis Kadar Hara P Kulit Pelepah Daun Ke-4

sampai 12 ... 45 29. Hasil Analisis Kadar Hara K Kulit Pelepah Daun Ke-4

sampai 12 46 30. Hasil Analisis Kadar Hara Mg Kulit Pelepah Daun ke-4

sampai 12 ... 47 31. Hasil Analisis Kadar Hara N, P, K, dan Mg Akar Tanaman ... 48 32. Hasil Analisis Kadar Hara N, P, K, dan Mg Batang

Tanaman... 50 33. Pengaruh Perlakuan terhadap Serapan Hara N, P, K, dan

(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kondisi Lahan Sebelum dan Sesudah Pengolahan ...23 2. Perbedaan Pelepah Lidah Buaya dengan Berbagai Perlakuan NPKMg...24 3. Respon Kadar Hara P (ppm) Tanah terhadap Perlakuan Mg...37 4. Respon Kadar Hara N (%) terhadap Perlakuan NPKMg……….. 39 5. Respon Kadar Hara N (%) terhadap Perlakuan N...40 6. Respon Kadar Hara N (%) terhadap Perlakuan P……….. 40 7. Respon Kadar Hara N (%) terhadap Perlakuan K...41 8. Kurva Regresi antara Kadar Hara N dan Bobot Kering Pelepah pada

Perlakuan NPKMg ...42 9. Kurva Regresi antara Kadar Hara N dan Bobot Kering Pelepah pada

Perlakuan

K……….. ..42

10. Respon Kadar Hara K terhadap Perlakuan NPKMg……… 43

11. Respon Serapan Hara K (g) Pelepah terhadap Pemberian Perlakuan NPKMg……….

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Analisis Tanah Awal dan Akhir ... 64 2. Hasil Analisis Pupuk Abu Janjang, Rock Phosphate, dan Dolomit 65 3. Data Curah Hujan dari Bulan Maret 2004 sampai Maret

2005 ... 65 4. Pengaruh Perlakuan NPKMg Lengkap terhadap Bobot Basah

Masing-Masing Pelepah ... 66 5. Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal N terhadap Bobot Basah

Masing-Masing Pelepah ... 67 6. Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal P terhadap Bobot Basah

Masing-Masing Pelepah ... 68 7. Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal K terhadap Bobot Basah

Masing-Masing Pelepah ... 69 8. Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal Mg terhadap Bobot Basah

Masing-Masing Pelepah ... 70 9. Pengaruh Perlakuan NPKMg Lengkap terhadap Bobot Kering

Masing-Masing Pelepah ... 71 10. Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal N terhadap Bobot Kering

Masing-Masing Pelepah ... 72 11. Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal P terhadap Bobot Kering

Masing-Masing Pelepah ... 73 12. Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal K terhadap Bobot Kering

Masing-Masing Pelepah ... 74 13. Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal Mg terhadap Bobot Kering

Masing-Masing Pelepah ... 75 14. Sidik Ragam Bobot Basah Pelepah ... 76 15. Sidik Ragam Bobot Basah Pelepah Total dan Bobot Basah Total

(24)
(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada awalnya tanaman lidah buaya hanya dikenal masyarakat luas sebagai

tanaman hias. Akan tetapi pada perkembangannya tanaman ini merupakan

tanaman yang memiliki prospek ekonomi yang tinggi. Tanaman ini merupakan

salah satu bahan baku industri, utamanya dalam industri komestik dan farmasi

(Vicar 1994). Hal ini disebabkan tanaman lidah buaya kaya akan kandungan

senyawa kimia nabati, antara lain: anthraquinon, polisakarida, dan prostagladin.

Selain itu juga memiliki kandungan vitamin yang meliputi vitamin B1, B2, B6, C,

dan E, asam folat, kolin dan betakaroten, serta kandungan mineral yang meliputi

kalsium, natrium, mangan, seng, tembaga, dan kromium.

Lidah buaya menghendaki tanah yang memiliki kandungan bahan

organik yang tinggi dan tumbuh baik pada daerah gambut yang memiliki pH

rendah. Budi daya lidah buaya pada lahan gambut sudah lama diusahakan di kota

Pontianak, Kalimantan Barat dan daerah ini merupakan salah satu sentra produksi

lidah buaya Indonesia. Budidaya lidah buaya pada daerah ini mampu

menghasilkan 8 000 kg/ha/ bulan dengan rata-rata bobot pelepah sekitar 1.5 kg

dan panjang 70 cm. Realisasi ekspor lidah buaya Pontianak sampai 2004

mencapai 47 ton dengan negara tujuan Malaysia, Hongkong, dan Singapura serta

sebagian dipasarkan di dalam negeri (Dinas Urusan Pangan Pontianak 2004).

Sehubungan dengan tingginya produksi lidah buaya pada lahan gambut

dan peluang pasar yang ada, pengembangan lidah buaya pada lahan gambut

memiliki propek yang menjanjikan. Hal ini didukung pula oleh luasan lahan

gambut Indonesia sekitar 20 sampai 27 juta hektar dari 34 juta hektar total gambut

di seluruh wilayah Asia (Setiadi 1999). Meskipun demikian usaha pemanfaatan

lahan gambut memerlukan upaya perbaikan drainase, tingkat kesuburan tanah,

serta perbaikan sifat-sifat tanah lainnya baik sifat fisik, biologi, kimia maupun

hidrologi.

Pada kondisi alami tanaman sulit tumbuh pada tanah gambut, dengan

(26)

lahan pertanian. Kendala tersebut meliputi ketebalan dan taraf dekomposisi

gambut, status hara makro dan mikro yang rendah, kemasaman tanah dan

kandungan asam-asam organik yang tinggi, dan pengaturan tata air. Selain

sifat-sifat tersebut, reaksi tanah masam sampai sangat masam dengan KTK tinggi,

kejenuhan basa (KB) yang rendah merupakan kendala utama. Kondisi demikian

tidak menunjang terciptanya laju dan penyediaan hara yang memadai bagi

tanaman terutama basa-basa seperti K, Ca, dan Mg. Selain itu juga ketersediaan

hara makro dan mikro juga rendah seperti N, P, K, Ca, dan Cu (Radjagukguk

1990). Secara umum kejenuhan basa gambut harus mencapai 30% agar tanaman

dapat menyerap basa-basa yang diperlukan (Soepardi dan Surowinoto 1982).

Upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan lahan gambut bagi

pertumbuhan tanaman adalah dengan melakukan pengolahan tanah, pemampatan

atau pemadatan tanah, dan pemberian bahan amelioran. Bahan amelioran yang

dapat digunakan, antara lain, kapur, pupuk kandang, dan abu sawmill dan

berbagai sumber pupuk fosfat alam serta pemberian pupuk makro (N dan K) dan

pupuk mikro seperti Cu, Fe, dan Zn (Irawan 1999). Hasil penelitian Tatipata

(2005) menunjukkan bahwa pemberian pupuk mikro Fe, Mn, Zn, dan Cu dapat

meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya dan faktor pembatas pada

produksi lidah buaya lahan gambut adalah Cu yang ditunjukkan dengan

penurunan bobot basah pelepah sekitar 36.6% bila tanpa pemberian Cu.

Pemberian abu tanah gambut, pengapuran, pencampuran bahan gambut dengan

tanah mineral, dan pemupukan dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas

lahan gambut. Pemberian abu bakaran tanah gambut memberikan hasil yang baik

bagi pertumbuhan tanaman karena adanya tambahan hara dari abu, tetapi

memberikan dampak negatif bagi kelestarian tanah gambut tersebut (Ismunadji

dan Soepardi 1984). Dari penelitian Kurnianingsih (2004) diketahui bahwa dosis

optimum abu janjang kelapa sawit untuk tanaman lidah buaya pada lahan gambut

sebesar 98 g menghasilkan bobot basah optimum 543 g pada minggu ke-32

setelah tanam.

Unsur hara N, P, K, dan Mg merupakan unsur hara esensial bagi tanaman,

yang ketersediaannya harus cukup untuk mendapatkan hasil yang optimum. Pada

(27)

lahan gambut. Upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut

adalah dengan pemberian hara melalui pemupukan. Pemberian pupuk yang tepat

akan memberikan respons pertumbuhan yang baik dan juga akan memberikan

hasil yang optimum. Pemupukan pada lahan gambut, terutama untuk budi daya

tanaman lidah buaya pada lahan yang baru dibuka, belum banyak diteliti. Oleh

karena itu, diperlukan suatu studi mengenai penetapan dosis optimum berbagai

unsur hara untuk tanaman lidah buaya pada tanah gambut.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan:

1 Menentukan dosis optimum pemupukan N, P, K, dan Mg pada tanaman

lidah buaya (Aloe vera chinensis) di lahan gambut Indragiri Hilir, Riau

2 Mengetahui serapan hara tanaman lidah buaya (Aloe vera chinensis) pada

lahan gambut di Indragiri Hilir, Riau.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pemberian N, P, K, dan Mg dapat meningkatkan ketersediaan hara pada

tanaman lidah buaya,

2. Peningkatan ketersediaan N, P, K, dan Mg bagi tanaman dapat

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Lidah Buaya

Tanaman lidah buaya (Aloe vera L.) termasuk dalam famili Liliacea. Lidah

buaya yang ditanam di Indonesia khususnya di Pontianak termasuk kategori Aloe

vera chinensis Baker. Tanaman ini berdaun tebal dan banyak mengandung air

dengan duri-duri lunak pada tepi daun serta tersusun secara roset. Tanaman ini

memiliki bunga merah dan perakaran yang tipis (Aguilar dan Brink 1999).

Tanaman Lidah buaya dapat tumbuh pada ketinggian 0-1 500 m dpl dengan

kisaran suhu 16-33 oC dengan curah hujan tahunan 1 000 - 3 000 mm/tahun (Briggs dan Calvin 1987). Tanah dengan drainase baik dan memiliki kadar bahan

organik tinggi disukai oleh tanaman ini. Selain itu juga tanaman ini dapat tumbuh

baik pada daerah gambut yang memiliki pH rendah.

Lidah buaya termasuk tanaman yang efisien dalam penggunaan air karena

dari segi fisiologis tumbuhan tanaman ini termasuk jenis CAM (Crassulacea Acid

Metabolism) dengan sifat tahan kekeringan (Furnawanthi 2002). Tanaman jenis

ini memiliki mekanisme fiksasi CO2 pada malam hari dan berfotosintetis pada

siang dengan stomata tertutup, sehingga dapat mengurangi kehilangan air lewat

penguapan (Gardner et al. 1991). Hal ini juga didukung dengan bentuk daunnya

yang sekulen dan memiliki lapisan kutikula yang tebal sehingga dapat mengurangi

penguapan lewat daun (Aguilar dan Brink 1999). Perlakuan frekuensi penyiraman

tanaman lidah buaya menunjukkan bahwa frekuensi penyiraman 1 kali seminggu

cenderung lebih efisien yang ditunjukkan oleh hasil bobot basah tertinggi 243 g

pada 16 minggu setelah tanam dibandingkan dengan frekuensi penyiraman 2 kali

dan 3 kali seminggu berturut-turut menghasilkan bobot basah 199 g dan 230 g

(Aminah 2003).

Komposisi terbesar tanaman lidah buaya adalah air (99.5%) akan tetapi

tanaman ini juga kaya akan lemak, karbohidrat, protein, vitamin A dan C serta

asam amino. Lidah buaya mengandung mineral berupa Ca (458 ppm), P (20.10

ppm), Fe (1.18 ppm), Mg (60.80 ppm), Mn (1.04 ppm), K (797 ppm), Na (84.4

(29)

memiliki nilai ekonomis adalah pelepah daunnya. Pelepah daun lidah buaya

dikatakan berkualitas baik harus memiliki kriteria tertentu (Tabel 1).

Tabel 1. Standarisasi Produk Pelepah Lidah Buaya

Spesifikasi Satuan Mutu 1 Mutu II Mutu III

Sumber: Dinas Urusan Pangan Pontianak 2002.

Untuk menghasilkan pelepah yang bermutu baik diperlukan pemeliharaan

tanaman secara intensif, pemupukan merupakan salah satu kegiatan yang penting

agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal. Sebenarnya belum

ada rekomendasi pemupukan yang tepat untuk tanaman lidah buaya. Pada

budidaya lidah buaya yang dilakukan oleh petani Pontianak, pemupukan

dilakukan dengan pemberian pupuk organik maupun anorganik yang dilakukan

secara kontinyu berdasarkan umur tanaman. Pemupukan dasar diberikan 3-4 hari

sebelum tanam, dengan dosis 200 g pupuk kandang/tanaman, 20 g Urea/tanaman,

10 g SP 36/tanaman, 25 g abu bakaran/ tanaman dan 25 g kulit udang/tanaman.

Pemupukan susulan tahun pertama diberikan 2 bulan sekali dimulai pada 1.5

sampai 2 bulan setelah tanam dengan dosis 20 g Urea/tanaman, 10 g

TSP/tanaman, dan 10 g KCl/tanaman, sedangkan pupuk kandang, abu bakaran dan

kulit udang diberikan setiap 6 bulan sekali, dengan dosis 250 sampai 300 g pupuk

kandang/tanaman, 30-50 g abu bakaran/tanaman dan 25-40 g kulit udang/tanaman

(Dinas Urusan Pangan Pontianak 2002).

Hasil penelitian Supriyadi (2001) menunjukkan bahwa dosis pupuk

optimum untuk tanaman lidah buaya adalah 50 g Urea/tanaman, 18 g

SP 36/tanaman dan 20 g KCl/tanaman. Aminah (2003) melaporkan bahwa dosis

(30)

pelepah terlebar pada semua perlakuan pemberian dosis pupuk kandang pada

tanaman lidah buaya. Dari hasil penelitian Gintings (2003) diperoleh dosis

optimum kalium 17.9 g KCl/tanaman yang dapat menghasilkan bobot optimum

429 g pada umur 5 bulan setelah tanam. Hasil penelitian pemberian abu janjang

kelapa sawit pada tanaman lidah buaya di lahan gambut Indragiri Hilir diperoleh

dosis optimum abu janjang kelapa sawit adalah 97.9 g per tanaman

(Kurnianingsih 2004). Pemberian hara mikro Fe, Mn, Zn, dan Cu pada tanaman

lidah buaya dapat meningkatkan panjang pelepah lidah buaya dan hara Cu

merupakan faktor pembatas pertumbuhan lidah buaya ditunjukkan dengan

penurunan bobot basah pelepah sebesar 36.3% (Tatipata 2005)

Tanah Gambut

Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik yang

terdekomposisi secara anaerobik. Hal ini bisa terjadi karena pembentukan

gambut pada umumnya terjadi pada daerah cekungan dengan genangan air.

Kondisi seperti ini menyebabkan terjadinya akumulasi bahan organik dengan

kondisi anaerob. Laju akumulasi bahan organik lebih tinggi dari pada proses

dekomposisinya karena kondisi anaerob dapat menghambat oksidasi bahan

organik oleh mikro organisme. Penguraian bahan organik hanya dapat

dilakukan oleh bakteri anaerob, cendawan, dan ganggang (Hakim et al. 1989).

Istilah gambut sendiri berasal dari salah satu nama kecamatan (kecamatan

Gambut) di daerah Kalimantan Selatan, karena pada awalnya tanah-tanah

organik banyak diusahakan dan dikembangkan oleh suku Banjar (Sabiham

1996).

Di Asia Tenggara terdapat 70% dari total gambut tropik dunia, yang

sebagian besar terletak di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia gambut

tersebar di daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya, akan tetapi

tidak seluruh lahan gambut ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan, hanya

sekitar 5,6 juta hektar lahan gambut yang dapat dikembangkan (Subagyo et al.

1996). Gambut tropika umumnya memiliki kebasaan yang tinggi karena

(31)

bercurah hujan tinggi. Gambut tropika juga memiliki sifat kering tidak balik

(irreversible drying). Dalam pengelolaan lahan gambut perlu memperhatikan

sifat-sifat gambut dengan sistem tata air untuk menjaga keseimbangan muka

air sampai pada batas kritis. (Sumotarto 1998).

Berdasarkan sifat meneralisasinya atau dekomposisinya gambut dibagi

atas tiga kategori yaitu : (1) fibrik adalah tanah gambut yang masih bersifat

mentah, (2) hemik adalah tanah gambut yang sudah mengalami dekomposisi

dan bersifat separuh matang, (3) saprik adalah tanah gambut dengan tingkat

dekomposisi lanjut dan bersifat matang sampai sangat matang

(Notohadiprawiro 1998)

Tanah gambut yang memiliki ketebalan tinggi (lebih dari 3 m) umumnya

tidak subur karena vegetasi pembentuknya terdiri dari vegetasi yang miskin

unsur hara yaitu tanaman dan pepohonan dengan kadar kayu tinggi yang

memiliki sifat sulit terdekomposisi.Sifat kimia tanah gambut sangat beragam

dari yang subur sampai yang sangat miskin. Berdasarkan kesuburannya

gambut dibagi atas dua kategori yaitu ombrogenous dan topogenous.

Topogenous lebih dapat dimanfaatkan bagi pertanian karena gambut

topogenous mengandung relatif banyak unsur hara (Rismunandar 2001).

Tanah gambut umumnya mempunyai kadar abu yang sangat rendah, dimana

kadar abu dalam gambut merupakan gambaran kesuburan tanah gambut.

Semakin tinggi kadar abu maka semakin subur gambut tersebut. Kadar abu

gambut daerah tropika sekitar 1%. Kadar abu yang tinggi dapat disebabkan

oleh adanya kadar mineral yang berbeda. Semakin tinggi kadar abu akan

semakin mempengaruhi kadar P2O5 dan K2O (Hardjowigeno 1996). Tanah

gambut tropik pada umumnya memiliki lignin 60%, sedangkan komponen lain

seperti selulosa, hemiselulosa dan protein umumnya 11%, hal ini karena

bahan dasar gambut tropik adalah kayu-kayuan. Tanah gambut memiliki kadar

hara relatif lebih rendah, baik unsur mikro dan makro, jika dibandingkan

dengan tanah mineral. Umumnya kadar hara dalam gambut lebih rendah pada

bagian bawah dibandingkan lapisan atas, karena sebagian besar unsur tersebut

terlibat dalam daur hara dan kebanyakan tersimpan dalam vegetasi setempat

(32)

Tanaman pada umumnya sulit tumbuh pada kondisi alami tanah gambut.

Tanah gambut memiliki reaksi masam sampai sangat masam dengan KTK

yang tinggi, dan kejenuhan basa yang rendah. Kondisi demikian tidak

menunjang terciptanya laju dan penyediaan hara yang memadai bagi tanaman

terutama basa-basa K, Ca, Mg, dan unsur mikro. Secara umum kejenuhan basa

gambut harus mencapai 30% agar tanaman dapat menyerap basa-basa yang

dibutuhkan (Soepardi dan Surowinoto 1982). Kadar bahan organik gambut

menyebabkan hara mikro membentuk senyawa kompleks dengan asam

organik dan tidak mudah tersedia (Stevenson 1982). Tingkat kesuburan

gambut dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut yang ditentukan oleh

sifat, bahan penyusun, dan tingkat dekomposisinya, semakin tinggi tingkat

kematangan gambut akan semakin baik sifat fisik kimia tanahnya

(Hardjowigeno 1996).

Berdasarkan karakteristiknya tanah gambut kurang menguntungkan bagi

pertumbuhan tanaman, maka diperlukan pengelolaan yang tepat untuk

meningkatkan potensi gambut (Driessen dan Soepraptohardjo 1974). Banyak

upaya dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan lahan gambut bagi

pertumbuhan tanaman dan bertujuan menambah hara ke dalam tanah untuk

persediaan hara bagi tanaman. Upaya tersebut meliputi pemberian abu tanah

gambut, pengapuran, pencampuran bahan gambut dengan tanah mineral dan

pemupukan. Pemberian abu bakaran tanah gambut memberikan hasil yang

baik bagi pertumbuhan tanaman kerena adanya tambahan hara dari abu, tetapi

memberikan dampak negatif bagi kelestarian tanah gambut tersebut

(Ismunadji dan Soepardi 1984).

Hara pada Lahan Gambut dan Tanaman

Nitrogen

Kadar Nitrogen (N) pada tanah gambut berkisar 2 000 dan 4 000 kg N/ha

pada lapisan 0 – 20 cm, dimana ketersediaannya bagi tanaman kurang dari 3

(33)

dan N pada umumnya lebar, maka N yang ada dalam tanah gambut kurang

tersedia (Driessen 1978). Nitrogen tanah dalam kompleks organik dapat

tersedia bagi tanaman apabila sudah diubah bentuk menjadi N anorganik

melalui proses mineralisasi yang meliputi tiga proses yaitu aminasi,

amonifikasi dan nitrifikasi (Stevenson 1982; Tisdale et al. 1985).

Hasil penelitian Nasoetion, Sudarsono, dan Soepardi (1977) pada tanah

gambut Delta Upang dengan menggunakan 100 sampai 400 ppm N, setelah 4

minggu jumlah NH4+ terfiksasi berkisar antara 28 sampai 76%. Fiksasi

tertinggi terjadi pada dosis 100 ppm N, dan menurun pada dosis yang lebih

tinggi.

Berdasarkan fungsinya nitrogen termasuk ke dalam unsur yang berperan

dalam penyimpanan energi dan transfer energi. Unsur N dalam tanaman

banyak berperan dalam pembentukan dan pembelahan sel, sehingga unsur ini

banyak ditemui pada bagian-bagian vegetatif tanaman (Gardner et al. 1991).

Nitrogen dalam tanaman merupakan senyawa penyusun asam amino, asam

nukleat dan purin, di dalam tanaman nitrogen dalam bentuk anorganik

terakumulasi dalam bentuk nitrat (NO3-) dan nitrogen organik banyak ditemui

dalam molekul protein (Jones et al. 1991).

Kadar nitrogen dalam tanaman rata-rata berkisar antara 2-4% dan bisa

mencapai 6% dari bobot kering jaringan (Gardner et al. 1991). Nitrogen dapat

diserap oleh tanaman dalam bentuk bentuk ion nitrat (NO3-) dan ammonium

(NH4+) yang kemudian diubah menjadi bentuk reduksi menjadi NH2- (Bennet

1994). Nitrogen merupakan hara yang mudah bergerak dalam tanaman, unsur

N bergerak dari daun tua ke daun-daun yang lebih muda sehingga kadar N

terbesar dalam tanaman terdapat pada daun-daun muda (Gardner et al. 1991).

Kadar N total dalam jaringan tanaman akan menurun dengan meningkatnya

umur jaringan tersebut (Jones et al. 1991).

Kekurangan nitrogen banyak ditemui pada daun-daun tua dibandingkan

pada daun yang lebih muda. Gejala awal defisiensi ditandai dengan daun yang

menguning dan klorosis karena terjadi penghambatan sintetis klorofil

(34)

pertumbuhan tanaman, gejala yang ditunjukkan dengan pertumbuhan tanaman

yang kerdil dan menguning. Pada tanaman buah-buahan kadar N rendah dapat

menyebabkan penurunan hasil panen baik secara kualitas dan kuantitas.

(Gardner et al. 1991)

Kelebihan akan hara ini juga dapat berdampak negatif bagi

pertumbuhan dan hasil tanaman, gejala yang ditunjukkan adalah daun yang

berwarna hijau tua dan sukulen serta rentan terhadap serangan hama dan

penyakit (Jones et al. 1991). Pertumbuhan tanaman pada kondisi N berlebihan

menyebabkan tanaman menjadi kerdil. Hasil tanaman juga dipengaruhi oleh

kondisi kelebihan unsur hara ini, misalnya pada kentang dapat menyebabkan

ukuran umbi yang kecil dan dapat mengakibatkan buah tanaman tomat pecah

pada saat matang, serta terjadi hambatan pada fese pembungaan dan

pembentukan biji (Salisbury dan Ross 1992). Masitah (2003), melaporkan

bahwa pemberian nitrogen 15 g/tanaman pada tanaman lidah buaya

memberikan hasil bobot basah tanaman tertinggi dan terjadi penurunan bobot

basah pada taraf nitrogen yang lebih tinggi.

Fosfor

Secara umum P pada tanah organik terdapat dalam bentuk senyawa

fosfor organik, jumlahnya kurang lebih 75%. Bentuk P-anorganik dalam tanah

berikatan kuat dengan besi, kalsium, dan alumunium (Tisdale et al. 1985).

Dari ketiga bentuk ikatan tersebut yang penting adalah P-anorganik yang

berikatan dengan kalsium, terutama dalam mono dan di-kalsium fosfat dimana

bentuk ini yang paling tersedia bagi tanaman (Buckman dan Brady 1980).

Dalam tanah sebagian besar P-organik dijumpai dalam bentuk fitin, asam

nukleat, dan asam fosfolipid. Ketiga P-organik tersebut merupakan 40-50%

P-organik dalam tanah. Bentuk fitin merupakan bentuk yang dapat diserap

langsung oleh tanaman (Tisdale et al. 1985) namun pada pH rendah fitin dapat

tidak tersedia bagi tanaman karena diikat oleh Fe dan Al menjadi Fe dan Al

(35)

oleh pH tanaman, pada pH rendah P banyak diikat oleh Fe dan Al sedangkan

pH terlalu tinggi P diikat oleh Ca, pH ideal bagi ketersediaan hara P adalah 6

sampai 7 (Hakim et al 1989). Kadar P dikatakan rendah pada tanaman bila

kadarnya lebih kecil dari 60 kg /ha. Kadar P pada gambut lapis atas Riau

berkisar antara 0,06-0,36% setara dengan 13 sampai 17,8 kg/ha (Suharjo dan

Widjaja-Adhi 1976)

Fosfor berdasarkan fungsinya tegolong dalam hara yang berperan dalam

penyusun dan transfer energi (Gardner et al. 1991). Hal ini disebabkan oleh

fungsi P yang merupakan komponen dari ATP (Adenin Triphosphat) dan ADP

(Adenosin Diphosphat) yang banyak berperan dalam banyak reaksi transfer

energi (Salisbury dan Ross 1992). Di dalam tanaman P merupakan komponen

pembentukan enzim dan protein seperti : ATP dan ADP yang berperan dalam

transfer energi, DNA (Dioxyribulonukleotida Acid) dan RNA (Ribolusa

nucleotide Acid) yang berperan dalam informasi genetik serta phitin (Jones et

al. 1991).

Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk ion bervalensi tunggal H2PO4

-dan kurang diserap dalam bentuk ion bervalensi dua HPO4-2. Akar secara aktif

menyerap P dari larutan tanah yang berkonsentrasi rendah dan menyimpannya

dalam tanaman pada konsentrasi sampai lebih dari 1 000 kali (Gardner et al.

1991). Penumpukkan P dalam tanaman terjadi pada daun muda, dan biji yang

sedang berkembang (Salisbury dan Ross 1992). Kadar P dalam jaringan

tanaman berkisar antara 0.15 – 1.0% dari bobot keringnya, dan terbesar

terdapat pada daun muda dan tangkai daunnya (Jones et al. 1991).

Gejala kekurangan P biasanya mulai tampak pada daun yang lebih

dewasa, tanaman menjadi kerdil dan berwarna hijau tua, pertumbuhan

tanaman menjadi lambat dan kerdil (Salisbury dan Ross 1992). Pada tanaman

yang mengalami kekurangan P terjadi penimbunan gula yang ditunjukkan oleh

pigmentasi antosianin pada bagian dasar batang dan urat daun (Gardner et al.

1991)

Kelebihan hara P menunjukan gejala defisiensi unsur hara mikro

(36)

klorosis pada daun muda. Kelebihan hara P dapat mengakibatkan

tergganggunya metabolisme dalam tanaman, kadar P lebih besar dari 100%

dapat menyebabkan keracunan pada tanaman (Jones 1989).

Kalium

Kalium pada tanah gambut pada umumnya rendah karena K merupakan

kation basa yang mempunyai afinitas rendah dan berikatan dengan asam

organik, sehingga ikatannya mudah tercuci. Pemberian amelioran pada

umumnya dapat meningkatkan ketersediaan hara dalam tanaman. Abu

tanaman pada tanah gambut berfungsi sebagai amelioran atau bahan

pembenah tanah. Abu hasil pembakaran gambut itu sendiri akan berpengaruh

menurunkan kemasaman tanah dan kadar hara gambut dengan memasok hara

dan mempercepat lapisan olah tanah yang lebih baik sifat fisiknya

(Radjagukguk 1990).

Pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan hasil jagung,

pH, daya hantar listrik, kadar kalium tanaman, kalium dapat ditukar, kadar

boron tersedia bagi tanaman dan kadar boron dalam tanaman (Ginting 1990).

Menurut Panjaitan (1983) abu janjang kelapa sawit dapat menaikkan pH tanah

dimana semakin tinggi dosis abu janjang semakin naik pula pH tanah.

Kurnianingsih (2004) melaporkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit

dapat meningkatkan pH dari 3.2 menjadi 4, terjadi juga peningkatan P dan K

pada lahan gambut sebesar 150.3 – 602.7 mg/100g P dan dan 78.3-141

mg/100 g K. Penggunaan limbah abu janjang kelapa sawit sebagai sumber

hara kalium disarankan berdasarkan dosis pupuk KCl yang dianjurkan pada

suatu daerah tertentu atau pH pada ketersediaan hara optimum.

Kalium termasuk dalam unsur hara esensial yang berfungsi dalam

keseimbangan muatan listrik (Gardner et al. 1991). Penyerapan K dilakukan

secara aktif dalam bentuk ion K+ dan translokasinya berlawanan dengan gradien listrik dan konsentrasi kimia. Kalium banyak dijumpai dalam tanaman

(37)

akar (Salisbury dan Ross 1992). Kadar kalium dalam tanaman biasanya

berkisar antara 1-5 % dari bobot keringnya (Jones et al. 1991).

Unsur K dalam tanaman berperan aktif dalam translokasi gula pada

pembentukan pati, proses membuka dan menutupnya stomata, efesiensi

penggunaan air, memperluas pertumbuhan akar dan meningkatkan ketahanan

terhadap serangan hama dan penyakit. Kalium mudah disalurkan dari organ

dewasa ke organ yang muda maka gejala kekurangan unsur hara ini tampak

pertama kali pada daun tua. Pada kebanyakan tanaman monokotil seperti

serealia gejala ditandai dengan kematian sel pada ujung dan tepi daun dan

nekrotis ke bawah sepanjang tepi menuju bagian daun yang muda (Salisbury

dan Ross 1992). Kadar K yang tinggi dalam tanaman akan menyebabkan

kekurangan hara Mg atau Ca dalam tanaman. Gejala kelebihan K pertama kali

menunjukan adanya kekurangan unsur hara Mg terlebih dahulu dibandingkan

Ca (Jones et al. 1991)

Kalium di dalam tanaman memiliki peran penting dalam mengatur

tekanan osmotik tanaman yang menyebabkan pergerakan air ke dalam akar.

Tanaman yang mengalami kekurangan K akan memiliki ketahanan terhadap

kekeringan yang rendah dibandingkan tanaman yang cukup K (Leiwakabessy

dan Sutandi 1998). Fungsi lain dari K adalah dalam pembentukan dinding sel,

pada tanaman yang memiliki K yang cukup memiliki dinding sel yang tebal,

jaringan yang lebih stabil dan tahan terhadap hama dan penyakit. Pada

tanaman sayuran pemberian K yang cukup akan memiliki daya tahan hidup

yang lebih baik (Bennet 1994)

Pada pemberian N rendah (13.8 g/tan) dan K tinggi (16.2 g/tan) pada

tanaman lidah buaya dapat meningkatkan tebal daun 6% dan bobot basah

daun 87% dibandingkan dengan pemberian N rendah (13.8 g/tan) dan K

rendah (10.8 g/tan) (Supriyadi 2001). Pemberian abu janjang dengan kadar

K2O 26% secara nyata meningkatkan kadar hara K pelepah lidah buaya

(38)

Magnesium

Magnesium merupakan kation basa, sama halnya dengan kalium yang

mempunyai afinitas rendah dan berikatan dengan asam organik, sehingga

ikatannya mudah tercuci yang menyebabkan ketersediaannya rendah pada lahan

gambut. Pemberian abu janjang pada lahan gambut dapat meningkatkan kadar

hara Mg dalam tanah dari 16.8 me/ 100 g menjadi 29.9 me/100 g, tetapi hal

tersebut tidak diikuti peningkatan kadar hara Mg (0.21% - 0.22%) pada jaringan

kulit pelepah lidah buaya, oleh karena itu perlu dilakukan penambahan hara Mg

untuk memenuhi kebutuhan tanaman (Kurnianingsih 2004). Penambahan dolomit

(CaCO3.MgCO3) dengan kadar MgO 47%, 4 ton/ha yang diamati 3 minggu

setelah tanam sangat nyata meningkatkan kadar Mg-dd dan pH pada gambut

(Limin 1992). Pemberian dolomit 1 gram/pot pada percobaaan semai Pinus

merkusii pada medium sapih tanah gambut memberikan hasil yang paling baik

terhadap pertumbuhan bibit (Muin 1988)

Berdasarkan fungsinya magnesium termasuk ke dalam unsur hara

esensial yang berfungsi dalam keseimbangan muatan listrik (Gardner et al. 1991).

Penyerapan magnesium dilakukan secara aktif dan pasif dalam bentuk Mg2+, transpor terutama terjadi dalam aliran transpirasi. Magnesium merupakan pusat

molekul klorofil yang merupakan khelat-Mg dalam kloroplas. Di samping

terdapat dalam klorofil, Mg juga bergabung dengan ATP dan menjadikan ATP

berfungsi dalam berbagai reaksi, mengaktifkan beberapa enzim yang diperlukan

dalam fotosistesis, respirasi dan pembentukan DNA serta RNA (Salisbury dan

Ross 1992). Kadar klorofil terbesar terdapat pada daun, akan tetapi Mg juga

banyak terdapat dalam biji. Hal ini berhubungan dengan fungsi lain dari fosfor

yaitu sebagai pengangkut P dalam tanaman (Jones 1989)

Secara umum kadar Magnesium didalam tanaman berkisar 0.15 – 1.0% dari

bobot kering jaringan. Pada sebagian besar tanaman, kadar Mg pada tingkat

kecukupan berkisar 0.25% dari bobot kering tanaman. Batas kritis kadar hara ini

sangat bervariasi, tanaman Leguminosa memiliki kadar kritis jaringan lebih

rendah dan batas kritis kadar hara tertinggi dimiliki oleh beberapa tanaman

(39)

buaya mampu meningkatkan kadar klorofil daun sebanyak 30%, jumlah daun

11%, lebar daun 10%, panjang daun 11%, tebal daun 11%, bobot basah daun

43%, tinggi tanaman 11% dan bobot basah tanaman 43% dibandingkan tanaman

tanpa perlakuan (Supriyadi 2001).

Gejala kekurangan Mg pertama kali terlihat adanya klorosis pada daun tua,

biasanya klorosis tampak pada urat-arat daunnya (Salisbury dan Ross 1992).

Kelebihan hara Mg tidak menunjukkan gejala yang spesifik, kadar P yang tinggi

(> 1.0 %) pada jaringan daun dapat menyebabkan kekurangan unsur hara Ca atau

K. Pada kadar hara Mg tinggi dalam jaringan terjadi ketidakseimbangan kadar

Mg, Ca, dan K dalam tanaman, hal ini dapat menyebabkan menurunnya

pertumbuhan tanaman (Jones 1989).

Serapan Hara, Pertumbuhan, dan Hasil Tanaman

Penyerapan hara oleh akar tanaman dilakukan dengan cara (1) pertukaran

kontak, (2) pertukaran ion tanah dengan H di dalam musigel, (3) difusi ion sebagai

respon terhadap landaian kimia, (4) aliran masa ion ke dalam akar sebagai respon

perbedaan kelembapan, (5) pemanjangan akar ke sumber ion (Gardner et al.

1991). Penyerapan hara dapat berlangsung secara aktif dan pasif, penyerapan

secara aktif ion melintasi membran sitoplasma, plasmalema, dengan energi dari

senyawa-senyawa fosfat berenergi tinggi (ATP) yang dihasilkan melalui respirasi

(pompa ion) (Hakim et al. 1986). Penyerapan pasif merupakan proses penyerapan

hara secara fisika dimana ion bergerak bersama air tanpa melibatkan proses

metabolik.

Serapan hara oleh tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor

dari tanaman itu sendiri maupun lingkungannya. Faktor-faktor yang

mempengaruhi seluruh metabolisme tumbuhan berpengaruh terhadap serapan hara

oleh akar. Hal ini berkaitan dengan energi yang dihasilkan oleh proses

metabolisme yang kemudian digunakan dalam proses serapan hara oleh akar.

Faktor kepadatan tanah juga dapat menyebabkan penurunan serapan hara oleh

akar, dimana pada tanah tanah padat terjadi penurunan ketersediaan oksigen yang

akan mempengaruhi energi yang dihasilkan oleh respirasi. Kadar air tanah sangat

(40)

proses difusi dan berpengaruh pada kelarutan hara. Faktor lain yang berperan

adalah kerapatan dan distribusi akar. Kerapatan akar yang rapat maka akan

memungkinkan lebih banyak bersentuhannya akar dan larutan tanah sehingga

akan menyebabkan meningkatkan jumlah hara yang diserap oleh akar. Semakin

dalam akar menembus tanah maka akan lebih banyak hara yang diambil

dibandingkan dengan perakaran yang dalam (Hakim et al. 1986)

Pada umumnya jumlah hara yang diserap tanaman dapat diketahui dari kadar

unsur hara dalam bobot basah atau keringnya. Kadar hara dalam jaringan

bervariasi hal ini dipengaruhi oleh jenis hara, spesies dan umur tanaman dan

bagian organ mana yang diamati (Marschner 1995). Sejauh ini unsur terbesar

dalam bobot kering tanaman adalah oksigen dan karbon masing-masing sekitar

44% dari bobot kering tanaman, sedangkan hidrogen berada pada peringkat ke-3

sebesar 6.2% dari berat kering tanaman. Pada sebagian besar tanaman

angiospermae dan gimnospermae memiliki kadar N, P, K, dan Mg berturut-turut

sebesar1.5% , 0.2%, 1% dan 0.5 dari bobot kering tanaman (Salisbury dan Ross

1992). Tatipata (2005) melaporkan bahwa kadar rata-rata hara pada kulit pelepah

lidah buaya pada pemberian berbagai kombinasi pupuk mikro pada lahan gambut

rata-rata berkisar 0.63-2.04% N, 0.38-0.51% P, 0.95-1.08% K, 0.22-0.23% Mg,

2 506.7-3226 ppm Fe, 954.3-151.3 ppm Mn, 626-983.3 ppm Zn dan 45.67-60

ppm Cu. Hasil penelitian Kurnianingsih (2004) menunjukkan bahwa kadar hara

N, P, K, Mg dan Fe kulit pelepah lidah buaya pada perlakuan pemberian dosis abu

janjang kelapa sawit pada lahan gambut rata-rata berkisar 1.51-2.09% N,

0.28-0.35% P, 0.14-0.166% K, 0.21 – 0.22% Mg dan 3 590 - 4 930 ppm Fe dan kadar

N, P, K, Mg, Fe pada gel pelepah lidah buaya rata-rata berkisar 0.02% N,

0.01-0.02% P, 0,14 -0.17% K, 0.02-0.03% Mg, 538-598.7 ppm Fe.

Kadar unsur hara dalam jaringan tanaman dapat diketahui dengan

melakukan analisa kadar hara tanaman. Hasil analisis kadar hara tanaman dapat

digunakan untuk mengetahui hubungan antara kadar hara yang ada dalam

tanaman terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman (Taiz dan Ziger 1991). Pola

hubungan tersebut biasanya digambarkan dalam grafik respon pertumbuhan

tanman yang terdiri dari 3 zona pola respon yaitu (1) zona defisiensi yaitu kadar

(41)

tanaman yang rendah, penambahan hara pada zona ini dapat meningkatkan laju

pertumbuhan tanaman, (2) zona kecukupan dimana peningkatan kadar hara dalam

jaringan tidak memberikan peningkatan yang besar terhadap pertumbuhan dan

hasil tanaman, dan (3) zona kelebihan dimana peningkatan kadar hara

memberikan penurunan terhadap hasil dan pertumbuhan tanaman (Taiz dan Ziger

1991). Diantara zona defisiensi dan kecukupan terdapat zona transisi dimana

penambahan hara dapat meningkatkan kadar hara jaringan dan pertumbuhan serta

hasil tanaman (Salisbury dan Ross 1992). Di dalam zona transisi terdapat titik

kritis konsentrasi hara tanaman, yaitu dimana terdapat konsentrasi kadar hara di

bawah konsentrasi hara yang memberikan pertumbuhan optimum. Selain itu juga

terdapat konsentrasi minimum jaringan yaitu konsentrasi yang memberikan

pertumbuhan mendekati maksimum (Gardner et al. 1991).

Dalam penentuan dosis anjuran pemupukan dalam penelitian-penelitian

rekomendasi pemupukan biasanya ditentukan dengan mengacu pada hasil

maksimal yang diperoleh dari dosis pemupukan yang diberikan. Dosis anjuran

yang dipakai sebagai rekomendasi adalah dosis perlakuan yang dapat mencapai

hasil panen sekitar 90-95% dari hasil panen maksimal (Marschner 1995).

Keberadaan hara dalam tanaman sangat bervariasi, selang konsentrasi hara dalam

tanaman dapat digolongkan menjadi 3 kelompok yaitu (1) taraf ketersediaan hara

rendah, (2) taraf ketersediaan hara cukup, dan (3) taraf ketersediaan hara tinggi.

Pada tanaman Nanas (Ananus comunus) yang merupakan tanaman famili liliacea

dan secara fisiologi termasuk ke dalam golongan tanaman CAM memiliki selang

konsentrasi kadar hara N sebagai berikut: (1) rendah < 1.5%, (2) cukup pada

konsentrasi 1.5 – 1.7% dan (3) tinggi pada konsentrasi > 1.7%. Selang konsentrasi

kadar hara P sebagai berikut: (1) cukup pada konsentrasi < 0.1%, dan (2) tinggi

pada konsentrasi > 0.1%. Selang konsentrasi kadar hara K sebagai berikut: (1)

rendah < 2.2%, (2) cukup pada konsentrasi 2.3% - 3%, dan (3) tinggi pada

konsentrasi > 3%. Selang kadar konsentrasi hara Mg adalah : (1) sedang pada

konsentrasi < 0.3%, dan (2) tinggi pada konsentrasi > 0.3% (Jones et al. 1991).

Kriteria kadar hara tanaman kaktus (Schulumbargera bridgesii) yang merupakan

tanaman sekulen dan termasuk ke dalam golongan CAM adalah : 1) kadar hara N,

(42)

sampai 4.5% N dan tinggi > 4.5% N, 2) kadar hara P dengan kisaran kadar hara

rendah 0.40 sampai 0.50% P, sedang 0.1 sampai 0.6% P, tinggi > 1% P, 3) kadar

hara K dengan kisaran kadar hara rendah 3.2 sampai 3.9% K, sedang 4.0 sampai

5.0% K, dan tinggi > 6.0% K, 4) kisaran kadar hara Mg adalah rendah 0.25

sampai 0.39% Mg, sedang 0.40 sampai 0.10% Mg, dan tinggi > 1.00% Mg (Jones

(43)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada lahan perkebunan kelapa sawit PT.

Bhumireksa Nusasejati, Teluk Bakau Estate, Kecamatan Plangiran, Kabupaten

Indragiri Hilir, Propinsi Riau, pada bulan Maret 2004 sampai bulan April 2005.

Curah hujan rata-rata 247 mm/bulan dan suhu udara berkisar 27 oC sampai 31 oC dengan jenis tanah gambut hemik. Analisis hara jaringan tanaman dan tanah

dilakukan di Laboratorium Kimia Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan

Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan adalah bibit tanaman lidah buaya (Aloe vera

chinensis) berasal dari tanaman dewasa dengan tinggi bibit 20 cm dengan jumlah

pelepah 5- 6 cm. Bahan lainnya adalah, pupuk Urea (45% N), pupuk Rock

Phosphate (33% P2O5), pupuk KCl (10% K2O), Dolomit (22% MgO), pupuk

mikro FeSO4.7H2O, MnSO4.4H2O, ZnSO4.7H2O, CuSO4.5H2O, fungisida

Benlate, Dithane M-45, Bakterisida Bactomycin 15/5 WP, dan abu janjang kelapa

sawit. Alat yang digunakan adalah peralatan pengolahan tanah, meteran,

timbangan, tali, spayer, plastik, jangka sorong, serta bahan dan alat untuk analisis

jaringan tanaman dan tanaman di laboratorium.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang disusun secara faktorial

dalam lingkungan acak kelompok terdiri dari 4 faktor. Faktor pertama dosis pupuk

nitrogen, faktor kedua dosis pupuk fosfat, faktor ketiga dosis pupuk kalium dan faktor keempat dosis pupuk magnesium, dengan tiga ulangan maka diperoleh 256

kombinasi perlakuan sehingga terdapat 768 unit percobaan. Dosis pupuk

(44)

Tabel 2. Dosis Perlakuan N, P, K, dan Mg

Keterangan : tan : tanaman, bln : bulan.

Untuk mengetahui pengaruh faktor tunggal N, P, K, dan Mg dan faktor NPKMg

lengkap terhadap parameter yang diamati diambil beberapa perlakuan dari

penelitian tersebut. Kemudian dikelompokkan menjadi 5 kelompok perlakuan

terdiri dari :

1. Dosis pupuk NPKMg terdiri dari 4 perlakuan yaitu: perlakuan N0P0K0Mg0,

N1P1K1Mg1, N2P2K2Mg2, dan N3P3K3Mg3.

Masing-masing kelompok di atas disusun menggunakan rancangan faktorial

faktor tunggal dalam lingkungan acak kelompok dengan 3 ulangan sehingga

diperoleh 12 unit percobaan untuk masing-masing kelompok dan terdapat total

unit percobaan sebanyak 60 unit percobaan. Model linier aditif yang digunakan

adalah:

Yij = µ + αi + βj + εij,

(45)

Yij = respon satuan percobaan

µ = rerataan umum

αI = pengaruh perlakuan dosis pupuk βj = pengaruh aditif kelompok

εij, = pengaruh acak yang menyebar normal

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan lahan

Lahan yang akan digunakan dibersihkan, selanjutnya dibuat parit keliling

yang berfungsi untuk membuang air tanah yang berlebihan (drainase). Selanjutnya

lahan dicangkul dan dibersihkan dari akar tanaman. Sebelum dilakukan

penanaman lahan diolah dan digemburkan, kemudian dibuat petak dengan ukuran

4 m x 4 m sebanyak 768 petak percobaan dengan jarak antar petak 1 m,

selanjutnya dibuat lubang tanam dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 20 cm.

Penanaman

Penanaman dilakukan dengan cara memasukkan bibit lidah buaya pada

lubang tanam dengan jarak tanam 1m x 1m. Bibit lidah buaya yang sudah

memenuhi syarat adalah bibit dengan tinggi 25-30 cm yang memilki jumlah 5-6

pelepah. Sebelum ditanam akar dari bibit direndam dahulu dengan fungisida

Benlate untuk menghindari terserang jamur. Satu minggu sebelum penanaman

dilakukan pemberian pupuk dasar berupa abu janjang kelapa sawit 50

g/tanaman/lubang tanam.

Pemeliharaan

1 Penyiraman. penyiraman dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman, terutama setelah tanam dan penyulaman.

2 Pembumbunan. pembumbunan bertujuan untuk memperbaiki drainase antar bedengan dan memperkokoh berdirinya tanaman. Dilakukan secara rutin

(46)

3 Penyiangan. Penyiangan dilakukan setiap bulan dengan cara mencabut gulma dengan tangan atau kored.

4 Penyulaman. Penyulaman dilakukan bila terdapat tanaman yang mati.

5 Pemupukan. Pemupukan N, P, K dan Mg dilakukan 1 bulan sekali sesuai dengan dosis perlakuan. Pemberian hara mikro FeSO4.7H2O, MnSO4.4H2O,

ZnSO4.7H2O, CuSO4.5H2O ddeennggaannddoossiiss22ppppm dilakukan 2 bulan sekali.m

6 Pengendalian hama dan penyakit Pengendalian penyakit dilakukan dengan penyemprotan fungisida Dithane M-45, Benlate dan bakterisida

Bactomycin serta dilakukan pencegahan dengan cara memperbaiki drainase

dan menjaga sanitasi lahan.

Pengamatan

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah :

1. Bobot basah total tanaman, pelepah total, pelepah setiap daun, akar,

batang, ditimbang Dilakukan pada saat tanaman berumur 42 minggu setelah

tanam.

2. Bobot kering total tanaman, pelepah total, pelepah setiap daun, akar,

batang. Dilakukan pada saat tanaman berumur 42 minggu setelah tanam,.

dengan memisahkan bagian tanaman kemudian ditimbang bobot basah.

Sampel dioven pada suhu 105 oC selama 24 jam kemudian dilakukan penimbangan bobot kering. Untuk pelepah daun bobot kering dilakukan

pada beberapa sampel saja kemudian dilakukan perhitungan kadar airnya

yang digunakan untuk menghitung bobot kering.

BB - BKT

BKT = Bobot Kering Oven

(47)

3. Analisis hara jaringan tanaman meliputi analisis kandungan N, P, K dan

Mg.

4. Serapan hara pelepah dengan rumus :

Serapan Hara = % unsur dalam jaringan x bobot kering tanaman

5. Analisis hara tanah dilakukan untuk keadaan sebelum penelitian meliputi:

analisis C-organik, pH, N, P, K, Ca, Mg, Cu, Mn, Fe, Zn, dan sesudah

penelitian meliputi analisis C-organik, pH, N, P, K, dan Mg.

Metode analisis yang digunakan dalam analisis hara tanah dan tanaman terdapat

pada Tabel 3.

Tabel 3. Metode Analisis Hara Tanah dan Tanaman

Hara Ekstraksi Cara penetapan

N total

Data hasil penelitian dari tiap peubah pengamatan dianalisis mengunakan uji

F pada taraf kesalahan 1% dan 5%. Untuk mengetahui pola respon peubah

terhadap perlakuan dilakukan uji polinomial ortogonal dan kemudian dilanjutkan

Gambar

Tabel 1. Standarisasi Produk Pelepah Lidah Buaya
Tabel 2. Dosis Perlakuan N, P, K, dan Mg
Tabel 3. Metode Analisis Hara Tanah dan Tanaman

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian untuk responden yang berusia 20–26 tahun sebagian besar memiliki tindakan yang baik dengan persentase 91,5%, untuk usia 27–33 tahun responden

Melalui persilangan kedua sisi pandang tersebut di atas, maka jenis- jenis dam yang mungkin dikenakan dalam pelaksanaan haji itu ada empat, 1. Dam murattab muqaddar, yaitu dam

Memang benar bahwa ucapan syukur kepada sang pencipta bisa saja dengan cara yang lain, akan tetapi dari turun-temurun warga Sumba terkhususnya warga Wanokaka sudah

Adapun tujuan dari pembuatan sistem informasi geografi tentang lokasi pemancar televisi digital terrestrial di Indonesia adalah untuk memudahkan pengguna dalam melakukan

Sehingga dapat dikatakan bahwa perusahaan yang mempunyai kepemilikan saham publik tinggi akan mengalami tekanan lebih besar dari investor publik untuk melakukan

Pengambilan contoh tanah dengan metode SRS lebih sederhana, mudah dan cepat serta data yang diperoleh akan dapat mencerminkan keadaan tanah yang sebenarnya, jika contoh tanah

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalis pengaruh geometri muka dan kontrol aktif hisapan terhadap koefisien hambatan pada reversed Ahmed model

Dari hasil uji parsial didapat probabilitas p-value untuk variabel perilaku penggunaan teknologi informasi (X1) sebesar 0.087, hasil tersebut dapat disimpulkan