• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan

Suhu permukaan dapat diartikan suhu bagian terluar dari suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah sedangkan untuk vegetasi dapat dipandang suhu permukaan kanopi tumbuhan dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Pada saat permukaan suatu benda menyerap radiasi, suhu permukaannya akan meningkat. Hal ini juga akan meningkatkan fluks energi (radiasi gelombang panjang) yang keluar dari permukaan benda tersebut. Suhu permukaan bukanlah suhu udara, keduanya memiliki nilai aktual yang bervariasi menurut ruang dan waktu. Suhu permukaan berpengaruh terhadap fluks bahang terasa (sensible heat), terutama pada siang hari, karena suhu permukaan benda lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara (Mannstein 1987 dalam Kalfuadi 2009).

Pada saat permukaan suatu benda menyerap radiasi, suhu permukaannya belum tentu sama. Hal ini tergantung pada sifat fisik obyek pada permukaan tersebut. Sifat fisis obyek tersebut diantaranya : emisivitas, konduktivitas termal dan kapasitas panas jenis. Suatu obyek permukaan yang memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis rendah sedangkan konduktivitasnya termalnya tinggi akan menyebabkan suhu permukaan meningkat. Hal sebaliknya terjadi pada suatu obyek yang memiliki emisivitas dan kapasitas jenis yang tinggi sedangkan konduktivitas termalnya rendah akan menyebabkan lebih rendahnya suhu permukaan. Suhu permukaan akan mempengaruhi jumlah energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (Lillesand and Kiefer 1998 dalam Kalfuadi 2009).

Suhu permukaan merupakan unsur pertama yang dapat diidentifikasi dari citra satelit termal. Dalam remote sensing dapat

didefinisikan sebagai suhu permukaan rata-rata dari suatu permukaan yang digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda.

2.2. Konversi Lahan

Konversi lahan merupakan perubahan fungsi lahan sebagaimana mestinya, yang biasanya berawal dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka air menjadi daerah pemukiman atau sebagai sarana dan prasarana publik tanpa mengindahkan dampak ekologis yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Ada beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan di suatu wilayah: Menurut Dowall (1978), Durand & Lasserve (1983) dalam Faizal (1998), ada dua faktor yang mempengaruhi proses konversi, yaitu faktor eksternal dan faktor interal. Faktor eksternal meliputi : (1) tingkat urbanisasi secara umum, (2) kondisi perekonomian, (3) kebijakan dan program-program pembangunan kota. Sedangkan faktor internal meliput : (1) lokasi dan potensi lahan, (2) pola pemilikan tanah, (3) motivasi pemiliknya. Sementara Suryadini (1994) dalam Ramadhan (2005) menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya perubahan pemanfaatan RTH adalah : (1) terbatasnya lahan yang hendak dibangun pada daerah yang mengalami perubahan, (2) kebutuhan pemenuhan fasilitas yang ingin dibangun untuk melayani penduduk, (3) kurangnya pengawasan dari pemerintah terhadap perubahan RTH, (4) tingkat pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap tingkat kebutuhan akan RTH, (5) konsekuensi dari lokasi yang strategis secara ekonomis dan produktif yang dapat meningkatkan nilai lahan.

Konversi lahan dibagi kedalam dua jenis, yaitu: konversi lahan dari ruang terbuka hijau (jalur hijau, taman kota, dan lahan pertanian) dan ruang terbuka air (permukaan danau, sungai maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai daerah tangkapan air) menjadi daerah permukiman dan daerah terbangun lainnya.

Gambar 1 Alih guna lahan

2.2.1. Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau (RTH) kota adalah

bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut.

Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka air (RTA).

(Dwiyanto 2009).

Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga.

Dari segi fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dll. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi. Bentuk RTH yang

berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dsb (Dwiyanto 2009).

Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu, RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.

Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dsb. Sedangkan RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/nasional. (Anonymouse 2003).

Dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.

Gambar 2 Ruang Terbangun Tata ruang kota secara fisik dapat dipisahkan menjadi ruang terbangun dan ruang terbuka. Berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1988 tentang penataan ruang terbuka hijau wilayah perkotaan, ruang terbuka hijau adalah wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area atau kawasan memanjang atau jalur dimana dalam penutupannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam ruang terbuka hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhan secara alamiah

maupun budidaya tanaman, seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya. Terdapat tujuh bentuk RTH berdasarkan tujuan penggunaanya, yaitu :

1. Ruang terbuka hijau yang berlokasi dikarenakan adanya tujuan konservasi.

2. Ruang terbuka hijau bertujuan untuk keindahan kota.

3. Ruang terbuka hijau karena adanya tuntutan fungsi kegiatan tertentu, misalnya RTH rekreasi dan RTH pusat kegiatan olahraga.

4. Ruang terbuka hijau bertujuan untuk pengaturan lalu lintas kota. 5. Ruang terbuka hijau sebagai sarana

olahraga dari suatu perumahan. 6. Ruang terbuka hijau untuk

kepentingan flora dan fauna seperti kebun binatang.

7. Ruang terbuka hijau untuk halaman rumah.

Jadi ruang terbuka hijau (RTH) merupakan ruang yang tidak terbangun, dengan perbandingan unsur tanaman yang lebih luas, dan memiliki fungsi utama untuk perlindungan kawasan sekitarnya. Bagian lain dari RTH, akan memberikan hasil terhadap kebutuhan kenyamanan, kesejahteraan, peningkatan kualitas lingkungan, dan pelestarian alam (Zulkarnain 2006 dalam Ligar 2008).

Gambar 3 Jalur Hijau Selain itu, Ruang terbuka hijau memiliki peran antara lain :

 Sebagai penyaring udara kotor

 Sebagai alat pengukur iklim

 Sebagai tempat hidup satwa

 Sebagai penunjang keindahan

 Sebagai sarana edukasi dan sosial

 Untuk mempertinggi kualitas ruang kehidupan lingkungan.

2.2.2. Ruang Terbuka Air

Ruang terbuka air atau air permukaan merupakan daerah tangkapan air yang meliputi : sungai, danau, rawa atau areal-areal yang dikhususkan sebagai daerah tangkapan air. Air permukaan secara alami dapat tergantikan dengan presipitasi dan secara alami menghilang akibat aliran menuju lautan, penguapan, dan penyerapan menuju ke bawah permukaan. Meski satu-satunya sumber alami bagi perairan permukaan hanya presipitasi dalam area tangkapan air, total kuantitas air dalam sistem dalam suatu waktu bergantung pada banyak faktor. Faktor-faktor tersebut termasuk kapasitas danau, rawa, dan reservoir buatan, permeabilitas tanah di bawah reservoir, karakteristik aliran pada area tangkapan air, ketepatan waktu presipitasi dan rata-rata evaporasi setempat. Semua faktor tersebut juga mempengaruhi besarnya air yang menghilang dari aliran permukaan. Aktivitas manusia memiliki dampak yang besar dan terkadang menghancurkan faktor-faktor tersebut.

Gambar 4 Banjir Kanal Timur

2.3. Citra Satelit Landsat

Penginderaan jauh (inderaja) secara umum didefinisikan sebagai cara untuk memperoleh informasi dari obyek tanpa mengadakan kontak fisik dengan obyek tersebut, sedangkan secara khusus adalah usaha untuk mendeteksi gelombang elektromagnetik baik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek. Menurut fungsinya satelit inderaja dibedakan menjadi satelit sumber dan satelit lingkungan-cuaca. Satelit yang termasuk sumber alam diantaranya adalah SPOT dan LANDSAT, sedangkan satelit lingkungan dan cuaca adalah METEOR dan COSMOS (USSER), TIROS-N dan TIROS-NOAA-TIROS-N (USA) (Handayani 2007)

Satelit landsat merupakan satelit yang digunakan untuk memantau sumberdaya yang ada di bumi. Satelit ini merupakan hasil kerjasama antara National Aeronautics and Space Administration (NASA) dengan

Departemen of Interior United State pada pertengahan tahun 1960-an. Landsat sebelumnya bernama Earth Resources Technology Satelite (ERTS-1) yang diluncurkan ada tanggal 23 Juli 1972 dengan tujuan memberikan gambaran menyeluruh tentang permukaan bumi.

Satelit landsat pertama kali ditemukan pada bulan juli 1972. Satelit landsat -1, satelit landsat -2 dan landsat -3 termasuk kedalam satelit bumi generasi pertama. Satelit bumi generasi kedua, yaitu landsat -4 dan landsat -5, yang merupakan satelit semioperasional atau satelit untuk pengembangan dan penelitian. Pada bulan Oktober 1993 dan April 1999 diluncurkan satelit bumi generasi ketiga, yaitu landsat -6 dan landsat -7. Landsat -7 dilengkapi dengan sensor Enhanced Thematic Mapper plus

(ETM+) yang dapat mencitrakan keseluruhan bumi dalam petak 180 kilometer setiap 16 hari dengan tingkat ketelitian 30 meter (USGS 2003 dalam Ligar 2008).

Satelit landsat -7 diluncurkan dari Vanderburg Air Force Base pada tanggal 15 April 1999 dengan wahana Delta II. Satelit mengorbit pada ketinggian 705 km dan memetakan bumi dengan siklus 16 hari sekali. Komunikasi melalui S-band

digunakan untuk mengendalikan satelit dan X-band digunakan untuk data downlink. Meskipun orbit satelit Landsat 7 melewati tempat yang sama setiap 16 hari pada waktu yang sama, perubahan variasi matahari dapat menyebabkan perubahan variasi iluminasi sehingga mempengaruhi citra yang diperoleh. Perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan musiman posisi utara-selatan matahari relatif terhadap bumi (Handayani 2007).

III. METODOLOGI

Dokumen terkait