• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Karakteristik Pulau.Pulau Kecil

Batasan pulau yang sering digunakan adalah yang ditetapkan pada konvensi PBB mengenai hukum laut (United Nations Convention of the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 dimana Indonesia turut meratifikasi. Di dalam UNCLOS disebutkan bahwa pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu muncul atau berada di permukaan laut pada saat pasang tertinggi, memiliki kemampuan menghidupi penduduknya atau kehidupan ekonominya dan memiliki dimensi ekonomi yang lebih kecil dari ekonomi kontinental. Pengertian pulau yang diutarakan di dalam UNCLOS 1982 di atas memiliki beberapa kata kunci, yaitu: (1) lahan daratan; (2) terbentuk secara alamiah; (3) dikelilingi oleh air/laut; (4) selalu di atas permukaan pada saat pasang; (5) memiliki kemampuan ekonomi untuk menghidupi penduduknya. Batasan pulau di UNCLOS 1982 ini belum membedakan pulau menurut ukurannya. Padahal ukuran pulau bervariasi, mulai dari pulau yang hanya beberapa meter persegi sampai jutaan kilometer persegi. Bengen dan Retraubun (2006) membedakan pulau berdasarkan ukurannya, yaitu: pulau besar, pulau kecil, dan pulau sangat kecil.

Batasan pulau kecil yang baku baru ditetapkan dengan diterbitkannya Undang Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Batasan pulau kecil di dalam UU No. 27 Tahun 2007 adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Implikasi dari penentuan batasan pulau kecil ini bagi pengelolaan pulau pulau kecil secara berkelanjutan adalah dibatasinya pemanfaatan lahan dan perairan pulau pulau kecil. Pemanfaatan pulau pulau kecil sesuai dengan UU No. 27 Tahun 2007 hanya mengalokasikan pulau pulau kecil untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik, dan atau peternakan.

Kamaluddin (2003) membedakan tingkat pengembangan pulau pulau kecil atas empat kategori:

1. Pulau pulau kecil yang termasuk dalam kawasan potensial untuk tumbuh dan berkembang secara ekonomi dari kegiatan industri;

2. Pulau pulau kecil di kawasan perbatasan yang memiliki potensi untuk dijadikan sebagai kawasan pertahanan dan keamanan negara;

3. Pulau pulau kecil yang memiliki keindahan untuk dijadikan objek pariwisata bahari;

4. Pulau pulau kecil yang potensial untuk dikembangkan menjadi kota kota pantai berbasis perikanan.

Di wilayah pulau pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah atau buatan. Ekosistem alami yang terdapat di pulau – pulau kecil yang dekat dengan pulau induk antara lain adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangroves, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprae, formasi baritonia, estuaria, laguna, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan pemukiman.

Pulau pulau kecil merupakan suatu entitas khusus yang memiliki karakteristik dan kerentanan tersendiri sehingga dalam pengelolaannya memerlukan suatu bentuk yang berbeda dengan wilayah regional lain, seperti yang ada di daratan benua atau pulau besar (mainland). Beberapa karakteristik pulau kecil seperti:

- Bersifat insular karena terpisah dengan daratan pulau besar (mainland)

- Ketersediaan sumber daya air tawar terbatas

- Area perairan lebih besar dari daratan

- Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal

- Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi

- Memiliki ciri sosial budaya masyarakat yang khusus dan berbeda dengan pulau besar akibat proses evolusi budaya dalam suatu rangkaian proses interaksi manusia dengan lingkungannya.

Masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen atau daratan utama (Beller et al. 1990). Interaksi manusia dengan lingkungan terjadi dalam suatu bentuk pola tingkah laku yang terlembagakan,

kemudian menghasilkan sistem adaptasi yang terpola dan merupakan bagian dari sistem yang lebih luas yakni budaya. Selanjutnya, budaya terkait dengan adaptasi manusia terhadap lingkungannya melalui sistem teknologi mata pencaharian dan pola pemukiman dimana keduanya disebut juga sebagaicultural core (Bengen & Retraubun 2006).

Selama ini, pulau pulau kecil kurang mendapat sentuhan pembangunan sehingga sebagian masyarakatnya relatif hidup dalam kemiskinan. Meski demikian, pulau pulau kecil tetap memiliki potensi ekonomi yang tinggi, tetapi memiliki karakteristik yang sangat rentan terhadap aktivitas ekonomi. Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulau kecil di dunia (Kusumastanto 2003).

Pada hakekatnya pulau kecil dicirikan oleh adanya keterisolasian dari pulau utama (mainland) dimana pada umumnya memiliki keterbatasan dari kapasitas daya dukung lingkunganya. Menurut Salm, Clark dan Siirila (2000), ada empat tipe pulau kecil, yakni: pertama, pulau yang tak berpenghuni dan jarang dikunjungi manusia. Kedua, adalah pulau yang tak berpenghuni namun secara teratur dikunjungi oleh manusia. Ketiga, adalah pulau yang berpenghuni dengan memiliki kegiatan ekonomi yang tradisional. Keempat adalah pulau yang berpenghuni dengan memiliki kegiatan ekonomi perdagangan dimana sangat tergantung terhadap kegiatan eksport.

Pembangunan lingkungan meliputi aspek perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangan terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta nilai kekhasan dan keaslianya. Dari sisi pembangunan ekonomi, diharapkan dapat terjadi efek pengganda (multiplier effects) terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah yang secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Dahuri 2002).

2.2. Jasa.Jasa Lingkungan Pulau Kecil

Dahuri (2003) mengatakan bahwa sumber daya hayati pesisir dan pulau pulau kecil seperti populasi ikan hias, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, dan berbagai bentang alam pesisir (coastal landscape) dan bentang alam bawah laut (seascape) membentuk suatu pemandangan alam yang unik dan menakjubkan. Luas kawasan terumbu karang di Indonesia diperkirakan mencapai 85.000 km2, keanekaragaman jenis terumbu karang mencapai 335 362 jenis karang keras (scleractinian) dan 263 jenis ikan hias yang umumnya berada di kawasan timur Indonesia.

Keberadaan ekosistem ekosistem yang sehat akan menghasilkan jasa jasa ekosistem. Indikasi ini sesungguhnya mengandung komponen komponen jasa yang diperlukan untuk berpenghidupan manusia dan mahluk lainnya di wilayah pesisir. Sehingga jasa jasa ekosistem itu dapat menjadi motor penggerak keberlanjutan kegiatan ekonomi masyarakat. Jasa jasa ekosistem sehat yang dapat diperoleh masyarakat, meliputi:

Keamanan dalam hal kenyamanan individu masyarakat karena makanan tercukupi; akses terpenuhi untuk memperoleh sumber daya hayati laut; aman dari bencana karena lingkungan disekitarnya tidak rusak.

Kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi untuk berpenghidupan, misalnya mata pencaharian mudah karena ikan melimpah; makanan bergizi terpenuhi; pemukiman sehat; akses mudah untuk mendapatkan barang barang yang diperlukan;

Kondisi kesehatan masyarakat baik, kuat, sehat, mudah mendapatkan air dan udara bersih;

Hubungan sosial baik, saling menghormati dan mempunyai kemampuan saling membantu satu dengan lainnya.

Wilayah laut Indonesia memiliki potensi untuk memberikan berbagai macam jasa lingkungan (environmental services) yang sangat berharga untuk kepentingan pembangunan. Pemanfaatan jasa jasa lingkungan kawasan pesisir meliputi aspek: (1) sarana pendidikan dan penelitian, (2) pertahanan keamanan, (3) pengatur iklim (climate regulator), (4) pariwisata bahari, (5) media transportasi dan komunikasi, (6) sumber energi, (7) kawasan perlindungan

(konservasi dan preservasi), (8) sistem penunjang kehidupan serta fungsi fungsi lainnya (Dahuri 2003).

Terumbu karang di perairan nusantara ini mencakup fringing reef seluas 14.542 km persegi; barrier reefs (50.223 km persegi);oceanic platform reefs(1.402 km persegi) dan atolls (19.540 km persegi). Informasi tentang perkiraan kasar nilai ekonomi rata rata yang dihasilkan oleh ekosistem terumbu karang dari kegiatan wisata bahari seperti yang terungkap di Global Economic Values of Annual Ecosystem Services(Costanzaet al. 1997) adalah sebesar US $ 6,075 per hektar atau US $ 375 juta per tahun. Perhitungan kasar potensi wisata laut pada ekosistem terumbu karang di Indonesia dapat ditaksir. mencapai US$ 520,6 juta per tahun. 2.3. Wisata dan Ekowisata Bahari

Pariwisata diartikan sebagai seluruh kegiatan orang yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat di luar lingkungan kesehariannya untuk jangka waktu tidak lebih dari setahun untuk bersantai (leisure) atau berekreasi (Agenda 21 1992). Pariwisata di Indonesia menurut UU Kepariwisataan No. 9 tahun 1990 pasal 1 (5) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata serta usaha usaha yang terkait di bidangnya. Indonesia memiliki sumber daya wisata yang amat kaya dengan aset alam, budaya, flora dan fauna dengan ciri khas Asia dan Australia di setiap wilayah perairan dan pulau di Indonesia.

Hall (2001) menyatakan bahwa konsep pariwisata pesisir (coastal tourism) adalah hal hal yang terkait dengan kegiatan wisata, hal hal yang menyenangkan dan aktivitas rekreasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan perairannya. Sementara menurut Dahuri et al. (2003), pariwisata pesisir adalah kegiatan rekreasi yang dilakukan di sekitar pantai seperti berenang, berselancar, berjemur, menyelam, snorkeling, berjalan jalan atau berlari di sepanjang pantai, menikmati keindahan suasana pesisir, dan bermeditasi.

Selanjutnya, menurut Orams (1999) mendefinisikan wisata bahari (marine tourism) sebagai aktivitas rekreasi yang meliputi perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dan fokus pada lingkungan pesisir. Dari definisi tersebut menggambarkan bahwa kerangka kegiatan wisata bahari terbagi atas aktivitas di pantai dan aktivitas di perairan laut. Aktivitas di pantai, seperti menikmati pemandangan, berlari lari di pantai, berjemur, dan lain lain; sedangkan aktivitas

di perairan laut meliputi: menyelam, snorkeling, memancing di laut dalam, dan semacamnya.

Wisata pantai merupakan bagian dari wisata pesisir atau wisata bahari yang memanfaatkan pantai sebagai objek dan daya tarik pariwisata yang dikemas dalam paket wisata. Wisata pantai meliputi semua kegiatan wisata yang berlangsung di daerah pantai seperti menikmati keindahan alam pantai, olahraga pantai, sun bathing, piknik, berkemah, dan berenang di pantai. Pada perkembangannya, jenis kegiatan wisata yang dapat dilakukan di pantai sangat beragam, tergantung pada potensi dan arah pengembangan wisata di suatu kawasan pantai tertentu.

Ekowisata adalah suatu perpaduan berbagai minat yang tumbuh dari rasa keprihatinan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Ada beberapa padanan yang sering digunakan antara lain:natural+based tourism, green travel, responsible travel, low impact tourism, village based tourism, sustainable tourism, cultural tourism, heritage tourismdanrural tourism(Cater & Lowman, 1994).

Konsep ekotourisme ini pertama kali diungkapkan oleh Hector Ceballos Lascurain. Konsep tersebut kemudian dikembangkan oleh Kreg Lindberg dalam bukunya Ecotourisme: A Guide for Planners and Managers. Di dalam buku tersebut disebutkan bahwa ekowisata (ecotourism) adalah suatu bentuk perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami yang lingkungannya dilindungi dan mampu meningkatkan kesejahtraan penduduk lokal. Sedangkan Weaver (2001), menyatakan ada empat gambaran perjalanan yang umumnya berlabel ekowisata, yaitu: (1) Wisata berbasis alamiah (nature+based tourism), (2) Kawasan konservasi sebagai pendukung obyek wisata (concervation supporting tourism), (3) Wisata yang sangat peduli lingkungan (environmentally aware tourism), dan (4) Wisata yang berkelanjutan (sustainability tourism).

Ekowisata harus mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat lokal yang secara umum memiliki posisi tawar yang lebih rendah, menempatkan masyarakat sebagai elemen pelaku dalam pengembangan suatu kawasan, sehingga terlibat langsung dalam pengambilan keputusan serta menentukan hak hak kepemilikan. Pengambilan keputusan secara komprehensif, adaptif dan

demokratis, melalui pendekatan komanajemen (integrated bottom up and top down approach) (Weaver 2001).

Sejak tahun 1980 an, menurut Fandeli dan Mukhlison (2000), telah terjadi pergeseran dalam pola kepariwisataan internasional yaitu pergeseran dari polaold tourism ke new tourism. Pergeseran ini menyebabkan berbagai produk wisata konvensional mulai ditinggalkan dan makin tingginya permintaan perjalanan wisata baru yang lebih berkualitas yang dikenal sebagai wisata minat khusus. Wisata minat khusus ini kemudian lebih dikenal dengan ekotourisme.

Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Ekowisata merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumber daya alam dan industri kepariwisataan alam (META 2002).

Konsep pengembangan ekowisata bahari menurut Yulianda (2007), sejalan dengan misi konservasi yang bertujuan: (1) Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan, (2) Melindungi keanekaragaman hayati, (3) Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, dan (4) Memberikan kontribusi kepada kesejahtraan masyarakat. Dengan demikian, suatu konsep pengembangan ekowisata hendaknya dilandasi pada prinsip dasar ekowisata yang meliputi:

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi lingkungan; mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan; retribusi atau pajak konservasi dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan.

4. Pertisipasi masyarakat dalam perencanaan; merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan.

5. Penghasilan bagi masyarakat; masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan.

6. Menjaga keharmonisan dengan alam; kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam.

7. Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

8. Kontribusi pendapatan bagi negara.

Konsep ekowisata bahari yang memperlihatkan output langsung dan tidak langsung, dari pengembangan suatu kawasan dapat dilihat pada Gambar 3.

Alam

Output tak Output langsung

langsung Input konservasi alam

Manusia Input Ekowisata

Bahari Output langsung (hiburan, pengetahuan) Gambar 3. Skema konsep ekowisata bahari (DKP 2002)

Gambar 3 memperlihatkan output langsung yang diperoleh wisatawan berupa hiburan dan pengetahuan dan untuk alam yaitu insentif yang dikembalikan untuk mengelola kegiatan konservasi alam. Output tidak langsung yaitu tumbuhnya kesadaran wisatawan untuk memperhatikan sikap hidup yang tidak berdampak buruk pada alam. Kesadaran ini tumbuh akibat kesan yang diperoleh wisatawan selama berinteraksi langsung dengan lingkungan di kawasan konservasi (DKP 2002).

2.3.1. Kesesuaian pemanfaatan ekowisata bahari

Dalam hal pemanfaatan pulau pulau kecil, terdapat dua pandangan yang bertentangan. Pandangan pertama mengatakan bahwa pulau pulau kecil adalah kawasan yang harus dilindungi, karena memiliki fungsi ekologis yang sangat penting. Pandangan kedua melihat pulau pulau kecil sebagai suatu entitas yang potensial untuk dimanfaatkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi (Bengen & Retraubun 2006).

Pulau pulau kecil walaupun secara ekologis memiliki nilai yang potensil namun secara fisik memiliki banyak keterbatasan. Keterpencilan, terbatasnya luas lahan, terbatasnya sumber daya manusia merupakan keterbatasan dalam pengembangan pulau pulau kecil. Meski demikian, Bengen dan Retraubun (2006) mengatakan keterbatasan tersebut jangan dijadikan penghalang di dalam memanfaatkan potensi yang ada di pulau pulau kecil, minimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Pilihan yang tepat untuk pengembangan pulau pulau kecil adalah aktifitas pembangunan yang berdampak negatif minimal untuk memenuhi kebutuhan ekonomi lokal dengan memanfaatkan sumber daya alam secara lestari, seperti pengembangan budidaya (perikanan skala terbatas), pendidikan dan penelitian, kawasan konservasi, dan ekowisata bahari (Dahuri 2003b).

Pada dasarnya, suatu kegiatan pemanfaatan yang akan dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan potensi sumber daya dan peruntukannya. Oleh karena itu, analisis kesesuaian yang dimaksud disini adalah analisis kesesuaian dari potensi sumber daya dan lingkungan untuk dikembangkan sebagai obyek ekowisata bahari, sebab setiap kegiatan wisata mempunyai persyaratan sumber daya dan lingkungan yang sesuai obyek wisata yang dikembangkan (Yulianda 2007).

Analisis kesesuaian kawasan adalah analisis alokasi pemanfaatan sumber daya alam untuk kegiatan wisata bahari harus berkesesuaian, baik ditinjau dari aspek biofisik maupun aspek sosial ekonomi dan lingkungan. Kesesuaian kawasan merupakan kecocokan suatu kawasan untuk penggunaan tertentu melalui penentuan nilai (kelas) suatu lahan serta pola tata guna perairan yang dihubungkan dengan potensi lahan wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaannya agar lebih terarah dan berkesesuaian dengan kondisi yang ada (Collins 2008).

Untuk itu, dalam pengelolaan sumber daya pesisir, termasuk wisata agar tetap berkelanjutan, maka harus memenuhi tiga persyaratan berikut: Pertama, bahwa aktifitas wisata bahari harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai persyaratan yang dibutuhkan untuk kegiatan ini. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan wisata bahari hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi. Ketiga, bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya alam yang dapat pulih

(renewable resources) hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumber daya tersebut dalam kurun waktu tertentu (Dahuriet al. 2001).

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) suatu wilayah kepulauan secara ekologis memerlukan empat persyaratan. Pertama, setiap kegiatan pembangunan (seperti tambak, pertanian, perkebunan dan pariwisata) harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik “sesuai”. Persyaratan ini dapat dipenuhi dengan cara membuat peta kesesuaian lahan (land suitability), termasuk perairan. Kedua, jika kita memanfaatkan sumber daya dapat pulih, seperti penangkapan ikan di laut, maka tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestari dari stok ikan tersebut. Demikian juga, jika kita menggunakan air tawar (biasanya merupakan faktor pembatas terpenting dalam suatu ekosistem pulau kecil), maka laju penggunaannya tidak boleh melebihi kemampuan pulau tersebut untuk menghasilkan air tawar dalam kurun waktu tertentu. Ketiga, jika kita membuang limbah ke lingkungan pulau, maka jumlah limbah (bukan limbah B 3, tetapi jenis limbah yang biodegradable) tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan pulau tersebut. Keempat, jika kita memodifikasi bentang alam (landscape) suatu pulau (seperti penambangan pasir dan reklamasi) atau melakukan kegiatan konstruksi di lingkungan pulau, khususnya di tepi pantai, seperti membangun dermaga (jetty) dan hotel, maka harus sesuai dengan pola hidrodinamika daerah setempat dan proses proses alami lainnya (design with nature) (Dahuriet al.2001; Hughes 2002).

Pemanfaatan pulau pulau kecil secara optimal dan lestari terwujud apabila memenuhi tiga persyaratan ekologis, yaitu (a) keharmonisan spasial; (b) kapasitas asimilasi atau daya dukung lingkungan, dan (c) pemanfaatan potensi sesuai daya dukungnya. Keharmonisan spasial berhubungan dengan bagaimana menata suatu kawasan pulau pulau kecil bagi peruntukan pembangunan (pemanfaatan sumber daya) berdasarkan kesesuaian (sustainability) lahan (pesisir dan laut) dan keharmonisan antara pemanfaatan (Dahuriet al. 2001; Fatiouet al. 2002)

Keharmonisan spasial mensyaratkan suatu kawasan pulau pulau kecil tidak sepenuhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan tetapi juga harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Keharmonisan spasial, juga menuntut pengelolaan pembangunan dalam zona pemanfaatan dilakukan secara

bijaksana. Artinya kegiatan pembangunan ditempatkan pada kawasan yang secara biofisik sesuai dengan kebutuhan pembangunan di pulau kecil tersebut (Bengen 2002).

Pada prinsipnya, pembangunan berkelanjutan suatu wilayah kepulauan hanya dapat terwujud jika kebutuhan pembangunan secara total terhadap sumber daya alam dan jasa jasa lingkungan ekosistem pulau lebih kecil atau sama dengan daya dukung lingkungannya (Fatiou et al. 2002). Daya dukung tersebut ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu: (1) potensi lestari pulau dalam menyediakan sumber daya alam khususnya sumber daya perikanan laut, misalnya dalam bentuk MSY (Maximum Sustainable Yield) atau hasil tangkapan maksimum lestari dari setiap komoditas ikan yang ada; (2) ketersediaan ruang untuk kegiatan pembangunan dan kesesuaian lahan serta perairan pantai untuk kegiatan pertambakan, budidaya laut, pertanian, perkebunan, dan pariwisata; dan (3) kemampuan ekosistem pulau untuk menyerap limbah, sebagai hasil samping kegiatan pembangunan yang aman. Dalam batas batas tertentu, daya dukung lingkungan dapat ditingkatkan melalui intervensi (masukan) teknologi, seperti pemupukan tanah dan desalinasi air laut. Selanjutnya, segenap kiprah kegiatan pembangunan di pulau pulau kecil hendaknya dapat mensejahterakan masyarakat lokal dan secara budaya dapat diterima oleh masyarakat setempat (Dahuri et al. 2001).

Melihat karakteristik pulau pulau kecil memiliki banyak keterbatasan, Bengen (2002) memberikan arahan pemanfaatan untuk pariwisata dengan kriteria sebagai berikut:

1. Berjarak aman dari kawasan perikanan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktifitas pariwisata tersebut tidak menyebar dan mengganggu kawasan perikanan;

2. Berjarak aman dari kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tersebut tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung.

4. Pembangunan sarana dan prasarana pariwisata tidak mengubah kondisi pantai, dan daya dukung pulau pulau kecil yang ada, sehingga proses erosi atau sedimentasi dapat dihindari.

Lebih jauh Fauzi dan Anna (2005) mengatakan bahwa kebijakan menyangkut pulau pulau kecil pada dasarnya harus berbasiskan kondisi dan karakteristik biogeofisik serta sosial ekonomi masyarakatnya, mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting, baik bagi kehidupan ekosistem perairan laut maupun bagi kehidupan ekosistem daratan (mainland) agar sumber dayanya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

2.3.2. Daya dukung ekologis ekowisata bahari

Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumber daya alam dan lingkungan yang lestari, melalui ukuran kemampuannya. Konsep ini dikembangkan, terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumber daya alam dan lingkungan sehingga kelestarian keberadaan dan fungsinya dapat tetap terwujud, dan pada saat dan ruang yang sama, juga pengguna atau masyarakat pemakai sumber daya tersebut tetap berada dalam kondisi sejahtera dan tidak dirugikan.

Maldonado dan Montagnini (2004) menyatakan sebagai daya dukung sebagai suatu ukuran batas maksimal penggunaan suatu area berdasarkan kepekaan atau toleransinya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor alami seperti terhadap ketersediaan makan, ruang untuk tempat hidup, tempat berlindung, dan ketersediaan air. Dahuriet al.(2001) menyatakan bahwa daya dukung merupakan penggunaan secara lestari dan produktif dari suatu sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources). Jika daya dukung ekologis terlampaui maka jumlah pengunjung dan karakteristiknya sudah mengganggu kehidupan satwa dan merusak ekosistem

Pendugaan nilai daya dukung suatu kawasan, apakah akan digunakan untuk areal rekreasi, lahan pertanian, areal pemukiman, dan lainnya ditentukan oleh tiga aspek utama, yaitu:

1. Kepekaan sumber daya alam dan produktivitas kawasan (site productivity), yang terkait dengan karakteristik biofisiknya yang antara lain meliputi : kualitas udara tanah, air, tanah, stabilitas ekosistem dan erosi tanah.

2. Bentuk, cara dan laju (rate) penggunaan serta tingkat apresiasi dari pemakai sumber daya alam dan lingkungan. Misalnya perilaku dan tingkat vandalismepemakai, citra dan persepsinya terhadap suatu area.

3. Bentuk pengelolaan (fisik, non fisik), bertujuan jelas dan berjangka panjang. Hal ini terkait erat dengan kapasitas sistem infrastruktur atau fasilitas yang antara lain meliputi, jalan raya, persediaan air, pengolahan

Dokumen terkait