• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tikus yang sudah menyebar keseluruh dunia dan digunakan secara luas untuk penelitian laboratorium ataupun sebagai hewan kesayangan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) yang berasal dari Asia Tengah (Malole dan Pramono 1989). Tikus laboratorium pertama -tama dikembangkan di Amerika Serikat antara tahun 1877 dan 1893 (Robinson 1979). Menurut Robinson (1979) taksonomi tikus laboratorium adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animal Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata (Craniata) Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Infrakelas : Eutheria Ordo : Rodentia Subordo : Myomarpha Superfamili : Muroidea Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Biologi Tikus

Tikus merupakan spesies poliestrus yang siklusnya berulang-ulang sepanjang tahun tanpa ada variasi, apabila tidak diganggu dengan kebuntingan atau bunting semu. Bunting semu adalah prosedur yang memperpanjang fungsi sekretori korpus luteum ovulasi dengan demikian menunda estrus berikutnya. Siklus estrus tikus berlangsung dalam waktu 4-6 hari dan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : cahaya, suhu, nutrisi, dan hubungan sosial (Turner & Bagnara 1976). Tikus laboratorium lebih cepat dewasa dibandingkan dengan tikus liar, tidak memperlihatkan perkawinan musiman dan umumnya lebih mudah

4

berkembang biak (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Menurut (Turner & Bagnara 1976) siklus estrus pada tikus dibagi menjadi 4 stadium yaitu:

1. Proestrus

Proestrus berlangsung kira-kira 12 jam (Smith & Mangkoedjojo 1988). Stadium ini menandakan datangnya birahi dan mempunyai ciri-ciri involusi fungsional korpus luteum serta pembengkakan praovulasi folikel. Cairan terkumpul didalam uterus dan uterus menjadi sangat kontraktil. Pada preparat ulas vagina didominasi oleh sel-sel epitel berinti yang muncul secara tunggal atau berbentuk lapisan.

2. Estrus

Stadium ini merupakan masa birahi dan kopulasi hanya dimungkinkan terjadi pada stadium ini. Stadium ini berlangsung kira-kira 12 jam (Smith & Mangkoedjojo 1988). Kondisi ini berakhir setelah 9-15 jam dengan ciri-ciri aktivitas berlari-berlari yang sangat tinggi. Pengaruh FSH menyebabkan sel-sel folikel ovari tumbuh dengan cepat dimana folikel ini memproduksi estrogen sehingga dengan makin banyaknya sel folikel ovari yang tumbuh maka sekresi estrogen juga meningkat. Estrus disebabkan oleh sekresi estrogen yang meningkat. Perubahan-perubahan atau ciri-ciri tikus yang estrus termasuk menggerak-gerakan telinga, lordosis, melengkungnya punggung dalam menanggapi perlakuan manusia atau mendekatnya hewan jantan. Pada sediaan ulas vagina terlihat hanya sel-sel kornifikasi (sel epitel mengalami penandukan dan seringkali tanpa inti) (Smith & Mangkoedjojo 1988). Apabila terjadi kebuntingan, siklus akan terganggu selama masa gestasi yang berakhir 20 sampai 22 hari pada tikus. Hewan menjadi estrus pada akhir kebuntingan namun siklusnya tertunda sampai berakhirnya laktasi (Turner & Bagnara 1976). Tikus betina siap kawin selama stadium ini. Ovulasi terjadi selama estrus dan didahului oleh perubahan histologik didalam folikel yang menunjukkan adanya luteinisasi awal. Cairan lumen didalam uterus hilang sebelum ovulasi (Turner & Bagnara 1976).

3. Metestrus

Stadium ini terjadi sesudah ovulasi dan merupakan antara estrus dan diestrus. Periodenya berakhir 10 sampai 14 jam. Ovarium mengandung korpus luteum dan

5

folikel-folikel kecil, uterus mengalami vaskularisasi dan kontraksi berkurang. Menurut (Smith & Mangkoedjojo 1988) metestrus dapat dibedakan menjadi metestrus I dan metestrus II.

o Metestrus 1

Stadium ini berlangsung kira-kira 15 jam. Pada sediaan ulas vagina terlihat sel-sel kornifikasi, tetapi dapat dibedakan dengan stadium 2 karena biasanya ada sumbat air mani menggumpal dalam vagina (bila hewan sudah kawin).

o Metestrus II

Stadium ini berlangsung kira-kira 6 jam. Pada sediaan ulas vagina tampak sel-sel kornifikasi dan mulai tampak leukosit.

4. Diestrus

Stadium ini berakhir 60 sampai 70 jam (Turner & Bagnara 1976), sedangkan menurut (Smith & Mangkoedjojo 1988) stadium ini berlangsung kira-kira 57-60 jam. Pada stadium ini terjadi regresi fungsional korpus luteum. Mukosa vagina tipis dan leukosit bermigrasi (Turner & Bagnara 1976). Pada stadium ini terlihat sel-sel epitel dan leukosit. Tidak ada batas waktu kapan stadium ini berakhir (Smith & Mangkoedjojo 1988).

Menurut Turner &Bagnara (1976) masa kebuntingan tikus adalah 21 hari dan maksimal 23 hari (Partodiharjo 1980). Jumlah anak yang dilahirkan 6-9 ekor/kelahiran (Partodiharjo 1980). Dalam penelitian terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang sering dipergunakan diantaranya : Wistar, Sprague-Dawley, Long Evans dan Holdzman (Kohn dan Barthold 1984). Galur yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Sprague-Dawley dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya (Malole dan Pramono 1989), serta kemampuan laktasinya tinggi sehingga sering dipergunakan dalam penelitian yang berkaitan dengan reproduksi (Beker et al. 1979). Galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek dan galur Long Evans yang lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna hitam pada bagian kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989). Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50-60 hari. Tikus dapat hidup lebih dari 3

6

tahun dengan berat badan 450-520 gram pada jantan dewasa dan 250-300 gram pada betina dewasa (Malole dan Pramono 1989).

Tikus tidak memiliki musim reproduksi tertentu sebagai akibat seleksi dan pengaruh lingkungan (Bennet and Vickery 1970). Setiap hewan betina yang telah dewasa akan mendapat estrus secara teratur dan berlangsung menurut suatu siklus dengan ritme yang khas (Hafez 1987). Siklus birahi pada mamalia betina ditandai dengan adanya perubahan morfologik pada organ reproduksi dan perubahan tingkah laku yang berlangsung menurut suatu siklus tertentu (Cole dan Cupps 1977).

Apabila tikus melakukan perkawinan dan terjadi fertilisasi maka dalam tubuh tikus akan terjadi masa implantasi dan masa plasentasi, masa implantasi adalah proses bersarangnya blastosis didalam rahim, sehingga terjadi hubungan antara selaput ekstra embrionik dan selaput lendir rahim yang terjadi pada hari ke 4 kebuntingan (Sukra 1999), sedangkan masa plasentasi adalah masa dimana plasenta sudah terbentuk yang didefinisikan sebagai masa terbentuknya zona yang berbatasan dan memiliki vaskularisasi yang tinggi yang menghubungkan antara induk dan embrio (Hunter 1995). Periode awal plasenta dimulai hari ke 9 dan 10 (Beker et al. 1979), pada tikus proses plasentasi terjadi kira-kira pada usia kebuntingan 12 hari yang diperlihatkan oleh tingginya konsentrasi laktogen plasenta dalam serum induk (Kelly et al. 1976). Istilah plasentasi mencakup implantasi, pembentukan embrio dan terjalinnya hubungan antara induk dan fetus selama kebuntingan (Sukra 1999). Pembesaran abdomen terlihat pada usia kebuntingan 13 hari dan usia kebuntingan 14 hari sudah terlihat adanya perubahan pada kelenjar mamae (Malole dan Pramono 1989).

7

Tabel 1 Data biologis tikus

Keterangan Usia Lama hidup Lama kebuntingan Umur disapih Umur dewasa Umur dikawinkan Siklus estrus Lama estrus Ovulasi Implantasi Jumlah anak Puting susu Bobot lahir Bobot dewasa Kecepatan tumbuh

2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun 20-22 hari 21 hari 40-60 hari 10 minggu 4-5 hari 9-20 jam

8-11 jam setelah muncul estrus, spontan 5-6 hari sesudah fertilisasi

Rata-rata 9 maksimal 20 ekor

12 puting, 3 pasang di daerah dada, 3 pasang di daerah perut

5-6 gram

300-400 gram untuk jantan, 250-300 gram untuk betina

5 gram/hari Sumber : Smith & Mangkoewidjojo (1988)

Pakan

Umumnya makanan tikus tersusun dari komposisi alami dan mudah diperoleh dari sumber daya komersial. Namun demikian, pakan yang diberikan pada tikus sebaiknya mengandung nutrien dalam komposisi yang tepat. Protein pakan harus mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan tikus yaitu: Arginin, Histidin, Isoleusin, Leusin, Methionin, Fenilalanin, Treonin, Tryptofan, dan Valine (Mc Donald 1980). Pakan juga harus mengandung vitamin seperti vitamin A, D, B12, Alfatokoferol, Asam linoleat, Thiamin, Riboflavin, Phantotenat, Biotin, Pyridoksin, dan Cholin.

National Research Council (1978) menyatakan bahwa ada dua jenis pakan yang diberikan untuk tikus laboratorium yaitu diet untuk perkembangbiakan dan diet untuk pemeliharaan. Diet untuk perkembangbiakan mengandung protein dan energi yang cukup untuk fetus selama kebuntingan dan untuk produksi susu selama laktasi. Diet untuk pameliharaan adalah diet yang distandarisasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tikus. Kebutuhan hewan akan nutrisi dipengaruhi oleh berbagai hal, misalnya kebutuhan pakan pada masa pertumbuhan berbeda dengan masa kebuntingan dan menyusui (Kohn dan Barthold 1984).

8

Menurut (Pond dan Houpt 1995), rasa lapar ditimbulkan oleh kebutuhan fisiologis. Selera makan berhubungan dengan kondisi internal yaitu kondisi fisiologis dan psikologis yang akan merangsang atau menghambat rasa lapar pada seekor hewan. Jadi rasa lapar dan selera makan adalah hal yang berhubungan dan mempengaruhi tingkat kons umsi pakan dari hewan. Pada saat kadar gula rendah maka kondisi ini akan menyebabkan rasa lapar dan merangsang keinginan hewan untuk makan.

Seekor tikus dewasa rata-rata mengkonsumsi sekitar 5 gram pakan dan 10 ml air per 100 gram BB (Malole dan Pramono 1989) atau 12-20 g/hari/ekor dan 20-40 ml air/hari/ekor (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Secara spesifik Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyebutkan bahwa pada suhu 210C tikus jantan yang berumur 6 bulan akan mengkonsumsi pakan sebanyak 11,8 /100g BB/hari dan tikus betina yang berumur 1 tahun mengkonsumsi 5,3 g/100g/BB/hari. Rata-rata pemberian pakan harian untuk tikus Sprague-Dawley selama periode pertumbuhan dan reproduksi mendekati 15-20 g untuk jantan dan 10-15 g untuk betina (National Research Council 1978). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa umur, jenis kelamin dan suhu lingkungan berpengaruh terhadap konsumsi pakan.

Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa pada kondisi dimana pakan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas maka tikus dapat mengurangi konsumsi energinya, tetapi jika nafsu makan pakan berlebih, tikus dapat meningkatkan penggantian energi. Adapun kriteria yang umum digunakan dalam memperkirakan kecukupan nutrisi makanan antara lain pertumbuhan, reproduksi, pola tingkah laku, kesediaan nutrisi, aktivitas enzim, histologi jaringan dan kandungan asam amino dan protein pada jaringan (National Research Council 1978).

Beberapa kriteria lain yang berkembang dan digunakan untuk memperkirakan kecukupan nutrisi mencakup kandungan nutrisi pada jaringan penyimpan (misal vitamin A dalam hati) atau jaringan dimana nutrisi tersebut merupakan satu komponen struktural (misal kalsium dalam tulang), kandungan nutrisi dalam darah atau urin, aktivitas enzim dimana nutrisi tersebut merupakan koenzim atau sebagai bagian koenzim, keseimbangan nutrisi (seperti pertumbuhan atau kehilangan asam amino nitrogen), perubahan biokimia spesifik untuk

9

pemberian nutrisi (seperti waktu protrombin untuk vitamin K), kandungan protein atau asam nukleat pada jaringan dan perubahan kebiasaan atau tingkah laku Rogers (1979).

Sistem Pencernaan

Tikus merupakan hewan pengerat yang mempunyai gigi seri 1/1 dan geraham 3/3 dan hanya gigi seri yang terus tumbuh (Malole & Pramono 1989). Secara umum sistem pencernaan pada tikus hampir sama dengan hewan mamalia lainnya. Alat pencernaan mulai dari mulut, esofagus, lambung, usus halus dan berakhir diusus besar. Esofagus memasuki lambung pada bagian kurvatura minor bersambung ke lipatan dari bagian peninggian yang membagi lamb ung bagian depan dan lambung kelenjar. Lipatan tadi membuat tikus tidak dapat muntah. Usus halus terdiri dari duodenum, jejenum dan ileum. Panjang usus halus ini kira-kira lima kali panjang usus besar. Fungsi penyerapan pada masing-masing bagian usus halus tergantung kepada jenis zat makanan yang akan diserap. Glukosa maksimum diserap dijejenum dan dibagian atas ileum, galaktosa dipertengahan dari ketiga usus halus, protein utuh dan albumin diserap disegmen paling ujung dari usus halus, sedangkan lemak diserap dijejenum. Usus besar terdiri dari sekum, kolon dan rektum (Bivin et al. 1979).

Kecernaan

Kecernaan makanan didefinisikan sebagai jumlah pakan yang diserap oleh tubuh hewan atau yang tidak diekresikan melalui feses (Mc Donald 1980). Kecernaan biasanya dinyatakan dalam bentuk persen (%). Pengukuran kecernaan dilakukan dengan pemberian pakan yang diketahui jumlahnya, lalu berat feses yang diekresikan ditimbang. Misalnya berat pakan yang diberikan adalah A gram dan berat feses adalah B gram, maka kecernaan pakan tersebut adalah

% Kecernaaan = A-B x 100% A

Kecernaan makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : jenis hewan, komposisi makanan, cara pengolahan makanan dan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan (Mc Donald 1980). Peningkatan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan akan menyebabkan peningkatan kecepatan laju alir ingesta. Ingesta tersebut akan bereaksi dengan enzim pencernaan dalam waktu

10

yang relatif singkat sehingga terjadi penurunan kecernaan makanan. Menurut Flatt (1975) kecernaan pakan dipengaruhi oleh level pemberian pakan dan komposisi kimia yang dikandung pakan. Dibawah ini akan dijelaskan secara umum kecernaan zat-zat makanan seperti karbohidrat, lemak, protein, dan energi yang dikandung oleh pakan.

Karbohidrat

Karbohidrat bagi manusia dan hewan digunakan sebagai sumber energi. Lemak dan karbohidrat menyediakan sebagian besar energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Senyawa-senyawa karbohidrat mudah dipecah dalam reaksi tubuh yang kemudian menghasilkan energi (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Kebutuhan karbohidrat seekor tikus dari pakan yang mengandung bahan kering 90% adalah sebesar 40-50% (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Karbohidrat yang bisa digunakan tikus antara lain : glukosa, sukrosa, maltosa, fruktosa dan pati yang berasal dari jagung, beras dan gandum. Pemberian laktosa atau galaktosa akan menyebabkan kelemahan pertumbuhan dan katarak. Metabolisme karbohidrat dipengaruhi atau mempengaruhi zat gizi lain (Rogers 1979).

Lemak

Lemak pada pakan, terutama asam lemak esensial (Esensial Fatty Acid = EFA) dibutuhkan untuk sintesis jaringan lemak dan membran sel. Secara nyata lemak merupakan sumber kalori dan penting untuk absorbsi vitamin-vitamin yang larut dalam lemak. Masa pertumbuhan, masa dewasa dan masa reproduksi tergantung dari ketersediaan lemak, tetapi kelebihan lemak juga akan menyebabkan masalah yang tidak kalah penting misalnya timbul penyakit jantung dan obesitas (Rogers 1979).

Jumlah lemak yang dibutuhkan tikus adalah 5-15% setiap hari (Rogers, 1979; Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Lemak yang berlebihan akan disimpan dalam tubuh sebagai sumber cadangan energi. Tikus muda mempunyai jaringan lemak dibagian leher sampai scapula dan jumlahnya akan berkurang seiring dengan pertambahan umur (Malole dan Pramono 1989).

11

Zhao et al (1996) menyatakan bahwa kecernaan lemak dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya kecernaan lemak dan energi akan lebih tinggi pada suhu 180C dan peningkatan protein dalam ransum secara nyata akan meningkatkan kecernaan lemak. Peningkatan kecernaan lemak dengan bertambahnya jumlah protein dalam ransum berhubungan dengan adanya protein yang tidak tercerna di saluran pencernaan. Protein yang tidak tercerna ini mempunyai peranan dalam pembentukan dan stabilisasi misel diusus. Setiap gram lemak mengandung energi 38 KJ atau 99 kkal, nilai ini dua kali lebih besar dari energi yang dikandung oleh protein dan karbohidrat. Pada keadaan ini, lemak mempunyai nilai besar terhadap pertambahan BB terutama saat nafsu makan menurun (Groenewegen et al. 1990).

Protein

Protein adalah salah satu zat gizi yang sangat penting bagi makhluk hidup karena kulit, tulang, otot dan semua bagian tubuh lain dibangun oleh protein. Groenewegen et al. (1990) menyebutkan bahwa protein mempunyai banyak fungsi yaitu digunakan untuk membangun jaringan yang baru selama periode pertumbuhan, kehamilan, masa anak-anak, untuk kesehatan tubuh dan juga untuk memperbaiki jaringan tubuh yang rusak.

Kebutuhan protein dan asam amino untuk kesehatan tikus dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain : status fisiologis hewan (umur, kecepatan tumbuh, kebuntingan, masa menyusui) juga dipengaruhi oleh jumlah kalori dalam diet dan komposisi asam amino serta kecernaan asam amino tertentu yang banyak digunakan tubuh. Kebutuhan protein menurun dengan bertambahnya umur setelah lepas sapih, kebutuhan tikus jantan dan betina yang tidak bunting diatas umur tiga bulan sangat rendah sekali dibandingkan dengan masa pertumbuhan aktif (Rogers 1979).

Tidak seperti zat gizi yang lainnya, pengambilan protein dalam jumlah yang berlebihan tidak disimpan dalam tubuh, protein harus dikonsumsi setiap hari sesuai dengan jumlah kebutuhan dasar hewan (Groenewegen et al. 1990). Secara umum dalam sehari tikus membutuhkan protein sebanyak 12% (Malole dan Pranomo 1989). Smith dan Mangkoewidjojo (1988) selanjutnya menyatakan bahwa tikus dewasa membutuhkan protein 20-25%, tetapi bisa hanya 12% jika

12

protein tersebut mengandung asam amino esensial dalam jumlah dan konsentrasi yang tepat. Kadar protein yang dikandung pakan dan suhu lingkungan dimana seekor tikus ditempatkan akan mempengaruhi energi, kecernaan lemak dan protein. Jumlah protein yang tinggi dalam pakan secara nyata akan menyebabkan peningkatan kecernaan protein, energi dan lemak. Juml ah protein yang masuk dan protein yang tertahan didalam tubuh pada suhu 180C akan lebih besar dibandingkan pada suhu 280C dan meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah protein didalam pakan. Hal ini menunjukkan bahwa termogenesis berpengaruh terhadap konsumsi dan kecernaan protein (Zhao et al. 1996).

Energi

Energi yang dibutuhkan oleh tikus merupakan jumlah dari kebutuhan energi untuk hidup pokok, tumbuh, bunting, menyusui, aktivitas fisik, produksi panas dan kondisi-kondisi fisiologis atau patologis lainnya (Rogers 1979). Energi yang digunakan untuk mempertahankan hidup disebut energi basal yang merupakan bagian terbesar kebutuhan energi yaitu sekitar 1/2 sampai 2/3 dari energi yang digunakan. Energi basal dipengaruhi oleh komposisi tubuh, luas permukaan dan ukuran tubuh, jenis kelamin, tahap pertumbuhan, umur dan suhu tubuh. Aktivitas tubuh memerlukan energi dalam jumlah terbesar nomor dua setelah energi basal. Kebutuhan energi untuk aktivitas bervariasi sesuai dengan jenis dan waktu aktivitas. Groenewegen et al. (1990) melaporkan, jumlah energi yang dibutuhkan tikus yang diberi pakan ad libitum pada beberapa kondisi fisiologis dengan BB tertentu terlihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2 Kebutuhan energi dan bahan kering dari tikus dengan densitas energi 14,5 KJ/g pada beberapa kondisi fisiologis dan BB tertentu

Kondisi BB(gr) Energi (MJ/hr) Pakan (gr/hr) Tumbuh Tumbuh Tumbuh Hidup pokok Bunting Laktasi 100 200 300 400 400 400 0.21 0.36 0.49 0.23 0.30 0.65 15 25 34 16 21 46 Sumber : Groenewegen et al. (1990)

13

Pond dan Houpt (1995) menyebutkan bahwa energi yang tertahan didalam tubuh akan meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan, tetapi hubungan ini tidak bersifat linier dan berbeda pada berbagai tipe diet. Alasan terhadap perbedaan ini sampai sekarang belum dapat dimengerti secara lengkap. Kecernaan energi dapat menurun pada kondisi dimana kecepatan laju alir makanan meningkat, misalnya dengan adanya peningkatan konsumsi pakan maka laju alir makanan juga meningkat dan lamanya makanan tinggal diusus menurun sehingga serapan makanan menurun, produksi feses semakin banyak dan akibatnya kecernaan menurun.

Pertumbuhan

Pertumbuhan mengandung makna yang cukup luas bagi seekor makhluk hidup. Pertumbuhan bisa berarti bertambahnya ukuran panjang, tinggi tubuh atau bisa juga menunjukkan bertambahnya bobot badan (BB). Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan BB dan peningkatan ukuran akibat peningkatan jumlah sel (hiperplasia) atau peningkatan ukran sel (hipertrofi) (Lawrence dan Fowler 2002). Pola pertumbuhan pada tikus sama seperti pola pertumbuhan pada hewan secara umum yaitu berbentuk kurva sigmoid.

Kecepatan pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pada hewan tikus, pertumbuhan berlaku terus menerus selama tikus hidup. Pertumbuhan yang cepat terjadi sampai tikus lepas sapih, setelah tikus mencapai umur dewasa kecepatan pertumbuhan akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Pertumbuhan hewan dimulai sejak masih fetus. Pertumbuhan pada waktu fetus dipengaruhi oleh faktor keturunan, kesuburan induk, jenis kelamin, suhu lingkungan dan tidak kalah penting adalah nutrisi induk (Robinson 1979).

Pada tikus betina pertumbuhan setelah kelahiran dipengaruhi oleh hormon estrogen, sedangkan pada jantan oleh hormon testosteron dimana pada awal pertumbuhan hormon testosteron lebih tinggi dari betina (Robinson 1979). Menurut Robinson (1979) pencapaian umur pubertas, bobot badan, ukuran litter, serta parameter-parameter lain yang diukur pada pertumbuhan dan reproduksi dipengaruhi oleh faktor genetik.

14

Penurunan jumlah protein didalam pakan berhubungan dengan penurunan kecepatan pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan (Zhao et al. 1996). Bila jumlah kalori yang diperoleh dari makanan lebih kecil dari energi yang dikeluarkan (keseimbangan negatif) maka cadangan nutrien tubuh akan digunakan, glikogen, protein tubuh dan lemak akan dihancurkan dan bobot badan akan berkurang (Ganong 2002).

Somatotropin dan Mekanisme Kerja

Growth Hormon adalah suatu hormon protein yang secara alami di produksi kelenjar pituitari untuk meningkatkan pertumbuhan dan mempengaruhi lemak tubuh (Marchlin 1972). Somatotropin (ST) adalah nama ilmiah hormon pertumbuhan (Growth Hormon atau GH) yang merupakan hormon protein atau hormon polipeptida dengan rangkaian 190-191 asam amino yang membentuk satu molekul polipeptida.

Somatotropin disintesis dan disekresikan oleh sel-sel somatotrof yang terletak dalam lobus anterior kelenjar pituitari dan sekresinya sangat dipengaruhi oleh neural, metabolik dan hormonal (Turner dan Bagnara 1976). Sekresi ST oleh kelenjar hipofise dilakukan sesuai kebutuhan fisiologis melalui dua faktor pengaturan yaitu Growth Hormon Releasing Faktor (GHRF) dan Growth Hormon Inhibiting Factor (GHIF) atau somatostatin. Tabel 3 menyajikan komposisi asam amino yang dimiliki oleh GH pada berbagai mamalia (manusia, sapi, domba, kuda, babi, anjing, kelinci dan tikus)

15

Tabel 3 Komposisi asam amino ST pada delapan jenis mamalia

Sumber : Turner dan Bagnara (1976)

ST setelah dikeluarkan oleh pituitari akan diangkut melalui sistem aliran darah, namun dengan sifat molekulnya yang besar hormon ini tidak dapat menerobos membran sel sehingga hormon protein memerlukan kehadiran reseptor spesifik di membran sel Turner dan Bagnara (1976). Meskipun ST telah diketahui sejak tahun 30-an, pada permulaan tahun 1937 para peneliti melaporkan bahwa sapi-sapi yang disuntik dengan ekstrak ST dari hipofise sapi yang diperoleh dari rumah potong hewan (RPH) memperlihatkan peningkatan produksi susu. Pada tahun 70-an, kemajuan yang dicapai hanya sebatas aplikasi ST pada ternak untuk tujuan komersial, hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan produksi ST. Untuk memperoleh ST yang akan diberikan kepada seekor sapi dibutuhkan ekstrak hipofise yang berasal dari 200 ekor sapi (Hardjopranjoto 2001).

Sekresi atau pelepasan ST dari adenohipofise dipengaruhi oleh banyak hal. Pelepasan somatotropin meningkat pada saat puasa, latihan fisik dan tidur. Keadaan stres meningkatkan pelepasan ST bersamaan dengan peningkatan ACTH dan glukokortikoid. Peningkatan ST seirama dengan meningkatnya pelepasan ADH, apabila hewan mengalami hipovolemik (kadar glukosa yang rendah) dan hewan menderita defisiensi protein yang kronis (Frandson 1992). ST dapat meningkatkan kadar gula darah tanpa menggunakan protein (Frandson 1992). Pengaruh yang lain adalah terhadap suatu kelas protein yang disebut somatomedin

16

yang disekresikan oleh hati, somatomedin merangsang pertumbuhan tulang-tulang panjang pada hewan pradewasa dan merangsang peningkatan ukuran tubuh. Pengaruh hormon ini terlihat jelas dari peningkatan massa tulang, otot, hati dan ginjal (Frandson 1992). Berikut disajikan Gambar Aktivitas langsung dan tidak langsung ST pada pertumbuha n dan metabolisme (Kamil et al. 2001)

Gambar 1 Aktivitas langsung dan tidak langsung ST pada pertumbuhan dan

Dokumen terkait