• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daging Sapi

Daging adalah semua jaringan hewan, baik yang berupa daging dari karkas, organ, dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan bagi yang memakannya (Soeparno 1992). Daging digunakan sebagai penganekaragaman sumber pangan karena daging dapat menimbulkan kepuasaan dan kenikmatan bagi yang memakannya. Kandungan gizi dari daging sangat lengkap sehingga keseimbangan gizi dapat terpenuhi. Daging yang biasa dikonsumsi oleh manusia adalah daging yang berasal dari sapi, kerbau, kambing atau domba, babi, kuda, unggas, dan ikan serta organisme lain yang hidup di darat dan di laut.

Komposisi kimia daging terdiri dari air 75%, protein 19%, lemak 2.5%, dan substansi bukan protein terlarut 3.5% yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral, dan vitamin (Lawrie 1995). Menurut Lukman et al. (2009) secara umum daging terdiri dari 75% air, 19% protein, 2.5% lemak, dan komposisi lain sebesar 3.30% yang terdiri dari nitrogen non protein, karbohidrat, dan mineral.

Protein merupakan komponen kimia terpenting yang ada di dalam daging, serta sangat dibutuhkan untuk proses pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan kesehatan. Nilai protein yang tinggi pada daging disebabkan oleh asam amino esensialnya yang lengkap. Daging mengandung energi yang ditentukan oleh kandungan lemak intraseluler di dalam serabut-serabut otot. Daging juga mengandung kolesterol meskipun dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan jeroan dan otak. Secara umum, daging merupakan sumber mineral seperti kalsium, fosfor, zat besi, serta vitamin B kompleks, tetapi rendah vitamin C (Lawrie 2003).

Daging Ayam

Daging ayam merupakan bahan makanan yang mengandung gizi tinggi, memiliki rasa dan aroma yang enak, tekstur yang lunak, serta harga yang relatif murah. Berdasarkan alasan tersebut, daging ayam lebih banyak diminati oleh

masyarakat jika dibandingkan dengan daging sapi. Struktur daging ayam sama halnya seperti daging hewan lainnya, sangat kompleks dan sangat luas. Lemak pada daging ayam banyak ditemukan di bawah kulit. Kandungan asam lemak tidak jenuhnya juga lebih besar daripada daging hewan lainnya.

Menurut Lukman et al. (2009) komposisi daging ayam memiliki protein yang sangat tinggi khususnya bagian dada yaitu 23.3%, kandungan air 74.4%, lemak 1.2%, dan abu sebesar 1.1%. Warna daging ayam terutama bagian dada biasanya berwarna putih-kuning-keabuan, sedangkan warna bagian kaki relatif lebih gelap atau merah coklat. Warna daging ayam dipengaruhi oleh ras, umur, letak otot, penanganan sebelum dan sesudah pemotongan. Nilai pH juga berpengaruh pada kualitas daging ayam, yaitu terhadap warna, keempukan, dan daya ikat air. Nilai pH daging ayam setelah 24 jam (pasca mati) adalah 5.5-5.9 (Lukman et al. 2009).

Cemaran Mikroorganisme pada Daging

Penyebaran mikroorganisme yang tumbuh pada bahan pangan asal hewan dan hasil olahannya pada umumya terdiri dari bakteri, jamur/kapang, virus dan terdapat juga binatang satu sel. Daging memiliki karakter yang sama seperti bahan makanan manusia yang lainnya, disukai oleh mikroorganisme dan dapat dicemari oleh mikroorganisme tersebut. Invasi mikroorganisme tersebut dalam daging (infeksi) menyebabkan produk tersebut tidak menarik akibat terjadi beberapa perubahan (pembusukan). Mikroorganisme yang dapat menyebabkan daging busuk dapat diperoleh melalui infeksi hewan hidup (penyakit endogenous) atau dengan kontaminasi daging pasca mati (penyakit eksogenous) (Lawrie 2003).

Daging merupakan produk peternakan yang memiliki kandungan gizi yang tinggi, sehingga daging menjadi media yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme. Mikroorganisme yang berkembang adalah mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan maupun mikroorganisme yang menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia yang mengkonsumsi daging tersebut. Mikroorganisme dapat terbawa sejak ternak masih hidup atau masuk di sepanjang rantai pangan hingga ke piring konsumen (Gorris 2005).

Pertumbuhan mikroorganisme dalam daging, dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna, ataupun daya simpannya. Pertumbuhan mikroorganisme dalam daging juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga daging tersebut tidak layak dikonsumsi (Siagian 2002). Daging memiliki potensi bahaya yaitu biologi, fisik, dan kimia. Dari ketiga potensi bahaya tersebut, yang berhubungan erat dengan daya simpan daging karena menyebabkan pembusukan dan bahaya pangan adalah adanya cemaran mikroba (Mukartini et al. 1995).

Kehadiran bakteri pada kasus food-borne infection atau food poisoning kemungkinan berasal dari hewan atau manusia yang mencemari bahan makanan yang dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat. Hal ini menyebabkan bahan makanan merupakan sumber potensial untuk tercemar bakteri dan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Bahan makanan, baik dalam bentuk padat ataupun cair, sangat mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme (Hobbs 1970).

Daging merupakan bahan pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan oleh mikroorganisme. Kerusakan daging ditandai oleh adanya perubahan bau dan timbulnya lendir yang biasanya terjadi jika jumlah mikroorganisme menjadi jutaan atau ratusan sel per 1 cm2 luas permukaan daging. Dosis dari bakteri untuk mampu menginfeksi atau memproduksi toksin berbeda-beda, tergantung resistensi dari tiap-tiap hewan atau manusia yang memakan bahan makanan tersebut (Hobbs 1970).

Menurut Usmiati (2010), kerusakan daging oleh mikroorganisme terutama disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dengan tanda-tanda sebagai berikut :

a. Pembentukan lendir. b. Perubahan warna.

c. Perubahan bau menjadi busuk karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti ammonia, H2S,

mercaptan, dan senyawa lain-lain.

d. Perubahan rasa menjadi asam dan pahit karena pertumbuhan bakteri pembentuk asam dan senyawa pahit.

Soeparno (1992) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging disebabkan oleh:

a. Faktor intrinsik termasuk nilai nutrisi daging, keadaan air, pH, potensi oksidasi-reduksi, dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat. b. Faktor ekstrinsik, misalnya temperatur, kelembaban relatif, keberadaan

oksigen, dan keadaan fisik daging.

Pengujian mikroorganisme untuk makanan tidak dilakukan untuk semua parameter uji, tetapi hanya mengacu pada persyaratan untuk bahan makanan tertentu, misalnya daging ayam (SNI 3924:2009), meliputi Total Plate Count (TPC), MPN Coliform, MPN E.coli, identifikasi Salmonella, dan angka Staphylococcus aureus.

Penghitungan Jumlah Total Mikroorganisme dengan Metode

Total Plate Count (TPC)

Bakteri merupakan organisme yang sangat kecil dan bersel tunggal (mikroorganisme). Mikroorganisme sangat mudah ditemukan dimana saja, di tanah, air, debu, dan pada udara. Terdapat beribu-ribu perbedaan tipe dan bentuk mikroorganisme tergantung fungsi dan kegunaannya. Beberapa bakteri ada yang dapat digunakan sebagai bahan untuk pupuk, dapat juga sebagai flora normal dalam tubuh manusia dan hewan, dan dapat membantu proses fermentasi seperti produksi bir atau wine dan pengolahan keju. Jumlah mikroorganisme yang berbahaya dan menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan hanya sedikit dibandingkan total populasi mikroorganisme (Pelczar & Chan 2008).

Pertumbuhan mikroorganisme yang membentuk koloni dapat dianggap bahwa setiap koloni yang tumbuh berasal dari satu sel, maka dengan menghitung jumlah koloni dapat diketahui penyebaran bakteri yang ada pada bahan pangan asal hewan dan hasil olahannya. Jumlah mikroorganisme pada suatu bahan pangan asal hewan dan hasil olahannya dapat dihitung dengan berbagai macam cara, tergantung pada bahan pangan dan jenis mikroorganismenya. Jumlah mikroorganisme dihitung secara keseluruhan baik yang mati atau yang hidup atau hanya untuk menentukan jumlah mikroorganisme yang hidup saja, hal ini tergantung pada metode yang digunakan. Jumlah mikroorganisme yang hidup

ditentukan setelah larutan bahan atau biakan mikroorganisme diencerkan dengan faktor pengenceran tertentu dan ditumbuhkan dalam media dengan cara tertentu tergantung dari macam dan sifat-sifat mikroorganisme (Gobel et al. 2008).

Penghitungan jumlah total mikroorganisme merupakan salah satu aspek dalam pengujian cemaran mikroorganisme untuk menunjukkan jumlah kandungan mikroorganisme dalam suatu produk, agar produk yang beredar di masyarakat terjamin keamanannya. Metode Total Plate Count (TPC) merupakan suatu pengujian yang digunakan untuk menentukan daya simpan suatu produk, ditinjau dari besar kecilnya tingkat cemaran mikroorganisme pada produk tersebut.

Pengujian TPC merupakan cara yang paling sensitif dalam menghitung jumlah total cemaran mikroorganisme. Keuntungannya antara lain:

a. Hanya sel yang masih hidup yang dihitung. b. Beberapa jenis mikroba dapat dihitung sekaligus.

c. Dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba lainnya, khususnya koloni yang tumbuh dari satu sel mikroba dengan penampakan pertumbuhan spesifik.

Menurut Widyastika (2008), disamping keuntungan-keuntungan tersebut, pengujian TPC juga memiliki kelemahan, yaitu:

a. Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel mikroorganisme yang sebenarnya, karena beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk satu koloni.

b. Media dan kondisi yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang berbeda. c. Mikroorganisme yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada media padat dan

membentuk koloni yang kompak dan jelas, tidak menyebar.

d. Memerlukan persiapan dan waktu inkubasi beberapa hari atau hingga pertumbuhan koloni dapat dihitung.

Penghitungan Jumlah Staphylococcus aureus dengan Metode

Total Plate Count (TPC)

Staphylococcus aureus termasuk bakteri Gram positif dengan ciri-ciri morfologi tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tidak motil, dapat bersifat aerobik ataupun anaerobik fakultatif, serta bersifat patogen. Staphylococcus

aureus tumbuh baik pada suhu 37 oC. Batas suhu pertumbuhan S. aureus adalah 15 oC dan 40 oC, sedangkan suhu pertumbuhan optimumnya adalah 35 oC. Staphylococcus aureus bersifat anaerob fakultatif, dapat tumbuh dalam udara yang mengandung hidrogen, dan pH optimum pertumbuhannya adalah 7.4 (Dianasari 2009).

Adapun klasifikasi S. aureus menurut Songer dan Post (2005) adalah sebagai berikut: Kingdom : Protista Divisio : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Familia : Enterobacteriaceae Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus dapat memfermentasi manitol dan dapat menghemolisis sel darah merah. Staphylococcus aureus mengandung polisakarida dan protein yang bersifat antigenik. Antigen ini merupakan kompleks peptidoglikan asam teikhoat yang dapat menghambat fagositosis, dan bagian ini yang diserang bakteriofaga. Staphylococcus aureus bersifat lisogenik karena mengandung faga yang tidak berpengaruh pada dirinya sendiri, tetapi menyebabkan lisis pada anggota dari spesies yang sama (Dianasari 2009).

Keberadaan S. aureus dalam makanan bisa bersumber dari kulit, mulut, atau rongga hidung pengolah pangan, sehingga mudah mencemari makanan. Pencemaran makanan oleh Staphylococcus biasanya dapat ditunjukkan bahwa galur Staphylococcus di dalam makanan yang tercemar sama dengan yang ada pada tubuh orang yang menangani pangan tersebut (Pelczar & Chan 2008).

Pertumbuhan bakteri S. aureus pada pangan dan olahannya dapat mengancam kesehatan masyarakat karena beberapa galur S.aureus memproduksi enterotoksin yang dapat menyebabkan kasus keracunan pangan (food poisoning). Pangan yang tercemar atau mengandung S. aureus enterotoksigenik sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen karena tidak adanya mikroorganisme pesaing lainnya yang biasanya dapat menghambat pertumbuhan S. aureus dan pembentukan toksin dari S. aureus. Enterotoksin yang diproduksi S. aureus lebih tahan terhadap panas dibandingkan sel bakterinya.

Lukman dan Purnawarman (2009) menyatakan bahwa tujuan pemeriksaan S. aureus dan atau toksinnya pada pangan antara lain:

a. Mengkonfirmasi apakah bakteri ini sebagai agen penyebab keracunan pangan. b. Menentukan apakah pangan mengandung atau merupakan sumber potensial

stafilokoki enterotoksigenik.

c. Memberikan gambaran terjadinya pencemaran setelah pengolahan, yang biasanya berkaitan dengan adanya kontak antara produk olahan dan manusia atau kontak produk olahan dengan alat pengolahan yang tidak bersih atau alat tercemar.

Penghitungan Jumlah Escherichia coli dengan Metode

Most ProbableNumber (MPN)

Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif, anaerobik fakultatif, dan tidak berspora. Escherichia coli menggunakan campuran fermentasi asam di dalam kondisi anaerobik, menghasilkan asam laktat, succinate, etanol, asetat, dan karbondioksida. Selama memfermentasi, bakteri ini menghasilkan gas hidrogen. Pada fermentasi ini diharapkan jumlah hidrogen menjadi lebih rendah. Escherichia coli hanya dapat melakukan proses ini ketika hidrogen mengkonsumsi organisme seperti methagon atau adanya reduksi sulfat-bakteri (Sartika et al. 2005).

Berdasarkan taksonominya, Songer dan Post (2005) mengklasifikasikan E. coli sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli

Pertumbuhan optimal E. coli terjadi pada suhu 37 oC. Dalam kondisi normal, E. coli membentuk koloni pada saluran gastrointestinal. Escherichia coli dapat bertahan pada selaput lendir usus besar. Escherichia coli tipe patogen mempunyai kemampuan untuk mensintesa semua komponen-komponen selnya

dari glukosa. Escherichia coli merupakan organisme fakultatif yang utama di saluran gastrointestinal pada manusia (Sartika et al. 2005).

Pengujian kuantitatif menggunakan metode hitungan cawan akan mengalami kesulitan pada pengujian suatu pangan yang mengandung mikroorganisme kurang dari 10 cfu per ml/gram, namun dengan metode MPN masalah tersebut dapat diatasi (Lukman & Purnawarman 2009).

Metode MPN adalah cara untuk memperkirakan (estimasi) jumlah sel mikroorganisme dalam suatu pangan, dengan memupuk suatu tingkat pengenceran ke dalam tiga atau lima tabung berisi media cair. Metode ini berguna untuk pemeriksaan koliform, khususnya pada air dan limbah cair, dan umumnya untuk pangan. Metode MPN digunakan pula untuk mengisolasi dan menghitung jumlah bakteri stafilokoki, streptokoki, Vibrio parahaemolyticus, Salmonella (Lukman & Purnawarman 2009).

Nilai penghitungan MPN suatu pangan dilakukan dengan menggunakan tabel MPN. Nilai-nilai yang dicantumkan dalam tabel MPN dihitung atas dasar asumsi bahwa mikroorganisme menyebar merata (homogen) dalam pangan. Mikroorganisme mungkin hanya berada pada salah satu tempat tertentu (tidak merata) pada jenis pangan yang padat atau semi padat. Lemak dan partikel pangan yang tidak larut akan mencegah kehomogenan, oleh karena itu nilai MPN sangat baik untuk contoh dari suatu pangan yang berbentuk cair (Lukman & Purnawarman 2009).

Penggunaan media cair dalam MPN sangat bermanfaat untuk merangsang resusitasi dan pertumbuhan mikroorganisme, serta dapat menggunakan volume contoh yang lebih besar. Hasil terbaik diperoleh jika tabung berisi pengenceran yang terendah memperlihatkan adanya pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan tabung berisi pengenceran tertinggi tidak memperlihatkan pertumbuhan (Lukman & Purnawarman 2009).

Metode MPN adalah metode yang menggunakan media cair dalam wadah berupa tabung reaksi. Metode ini meliputi tiga pengujian diantaranya adalah uji penduga (Presumtive Test), uji penguat (Confirmative Test), dan uji pelengkap (Completed Test). Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah tabung yang positif yaitu tabung yang mengalami perubahan pada medianya, baik itu berupa

perubahan warna atau terbentuknya gelembung gas pada dasar tabung durham. Berdasarkan hasil perubahan tersebut, nilai MPN kemudian dicari pada tabel MPN (Gobel et al. 2008).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan sampel daging ayam dan daging sapi berasal dari pasar tradisional di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat (Tabel 1). Penelitian ini berlangsung dari bulan September sampai dengan Oktober 2009.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah penangas air, autoklaf, lemari pendingin, freezer, timbangan analitik, inkubator 35 °C – 37 °C, ose, pinset, gunting, scapel, cawan petri 100 x 12 mm, tabung reaksi 20 ml, pipet volumetrik 1 ml, tabung Durham, tubeshaker (pengocok tabung), plastik bening, spidol, label, cool box, stomacher, dan tabung erlenmeyer.

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel daging ayam dan daging sapi, Plate Count Agar (PCA) (Acumedia Standard Methods Agar 7157A), Vogel Johnson Agar (VJA), media cair Lauryl sulfate tryptose broth (Pronadisa Cat.1310.00), Levine’s eosine methylene blue agar (LEMB agar) (Oxoid CM 0069 B), Buffered Peptone Water (BPW) 0.1% (Pronadisa Cat.1402.00), Koser’s citrate medium tryptone broth (Oxoid CM 0087 B), Methyl Red Voges-Proskauer broth (MRVP) (Oxoid CM 0043 B), dan Nutrien Agar (NA) (Oxoid CM 0003 B).  

Jumlah Sampel

Jumlah sampel ditentukan secara purposif di pasar dari setiap kabupaten/kota, yaitu masing-masing dua sampel daging sapi dan tiga sampel daging ayam dari setiap kabupaten/kota. Rasio pengambilan sampel daging ayam dan sapi disesuaikan dengan rasio tingkat konsumsi daging tersebut pada masyarakat Provinsi Jawa Barat. Jumlah keseluruhan sampel yang diperiksa sebanyak 60 sampel daging, yang terdiri dari 24 sampel daging sapi dan 36

sampel daging ayam (Tabel 1). Setiap sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik steril, kemudian kantong plastik diberi label dan disimpan dalam cool box berisi es. Sampel diuji maksimum 24 jam setelah pengambilan.

Tabel 1 Lokasi dan jumlah sampel daging sapi dan daging ayam yang diambil di Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Daging sapi Daging ayam Jumlah total

1. Kota Bekasi 2 3 5 2. Kabupaten Purwakarta 2 3 5 3. Kabupaten Bogor 2 3 5 4. Kota Bogor 2 3 5 5. Kota Sukabumi 2 3 5 6. Kabupaten Bandung 2 3 5 7. Kota Bandung 2 3 5 8. Kabupaten Cianjur 2 3 5 9. Kabupaten Sumedang 2 3 5 10 Kabupaten Tasikmalaya 2 3 5 11. Kota Cirebon 2 3 5 12. Kabupaten Indramayu 2 3 5 24 36 60 Prosedur Pengujian

Pengujian Jumlah Total Mikroorganisme dan Staphylococcus aureus dengan Metode Total Plate Count (TPC)

Pengujian TPC dan S. aureus pada daging ayam dan daging sapi dilakukan dengan metode menurut Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Food (Andrew et al. 2001).

1. Persiapan sampel

Sampel sebanyak 25 gram ditimbang secara aseptis, dan ditambahkan 225 ml larutan BPW 0.1%, kemudian dihaluskan/diblender sampai halus menggunakan stomacher.

2. Pengenceran

Pengenceran yang digunakan pada analisis TPC dan S. aureus adalah pengenceran 10-3, 10-4, dan 10-5.

3. Pour Plating

Masing-masing pengenceran dipipet 1 ml ke dalam cawan petri steril yang telah diberi label sebelumnya (sesuai dengan angka pengenceran). Media Plate Count Agar (PCA) untuk pengujian TPC dan media Vogel Johnson Agar (VJA) untuk penghitungan S. aureus, dituangkan ke dalam masing- masing cawan petri sebanyak 10-15 ml, lalu dihomogenkan dengan cara digeser-geser di meja membentuk angka 8 beberapa kali supaya media merata ke seluruh permukaan dan dibiarkan memadat. Cawan petri kemudian dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik.

4. Inkubasi

 Pengujian Metode Total Plate Count (TPC)

Inkubasi cawan petri dilakukan dengan posisi terbalik pada suhu 35 oC selama 24 jam ± 2 jam.

 Pengujian Staphylococcus aureus

Inkubasi cawan petri dilakukan dengan posisi terbalik pada suhu 35 sampai 37 oC selama 45-48 jam.

5. Pembacaan/perhitungan

 Pengujian Metode Total Plate Count (TPC)

Penghitungan dilakukan pada semua koloni dalam cawan petri yang berisi 25-250.

 Pengujian Staphylococcus aureus

Koloni khas S. aureus pada agar VJA yaitu bulat, licin/halus, konveks, basah, berwarna abu-abu sampai hitam pekat dengan dikelilingi oleh zona opak (opaque zone).

P d M Pengujian M Penguj dilakukan Microbiolog a. Uji Pre 1. Tab ting pen 2. Set diin volu bag dar laur 3. Tab 48± gas b. Uji Ko 1. Set ose ster 2. Tab Tab untu Gamb Most Probab ujian MPN dengan m gical Examin esumtif Koli bung reaksi gkat pengen ngenceran pa iap tingkat nokulasikan ume contoh gian contoh i setiap pen ryl sulfate b bung-tabung ±2 jam. Tab ) diambil un onfirmasi Ko iap tabung p e penuh ke d

ril yang dilen bung-tabung bung yang m uk dilakukan bar 1 Kolon ble Number Escherichia metode men nation of Foo iform berisi medi nceran). Pe ada metode T t pengence ke dalam h dan volume dimasukkan ngenceran di roth steril ya g tersebut kem bung yang m ntuk dilakuka oliform positif dari p dalam tabung ngkapi deng g tersebut di menunjukkan n uji lanjutan ni S. aureus p (MPN) Esc a coli pada nurut Comp od (Andrew a cair steril engenceran TPC dan S. a eran (penge tiga tabung e media yan n ke dalam 1 imasukkan k ang dilengka mudian diink menunjukkan an uji lanjuta pengujian pr g berisi 10 m gan tabung du iinkubasi pa n hasil positi n konfirmasi pada media V cherichia col a daging ay pendium of et al. 2001) pada rak ta yang dila aureus. enceran 10 g berisi med ng biasa digu 10 bagian m ke dalam tig api dengan ta kubasikan p n hasil posit an konfirma esumtif koli ml briliant g urham. ada suhu 35 if (keruh dan i koliform fe VJA. li yam dan da of Methods . abung (3 tab akukan sam 0-3, 10-4, dia cair ster

unakan adal media). Laru ga tabung be abung Durha pada suhu 35 tif (keruh da asi koliform. iform dipind green lactose o C selama n terdapat ga ekal. aging sapi for the bung setiap ma dengan dan 10-5) ril. Rasio lah 1:10 (1 utan contoh erisi 10 ml am. 5 oC selama an terdapat dahkan satu e bile broth 48±2 jam. as) diambil

c. Uji Konfirmasi Koliform fekal

1. Setiap tabung positif dari pengujian presumtif koliform dipindahkan satu ose penuh ke dalam tabung berisi 10 ml EC broth steril yang dilengkapi dengan tabung durham.

2. Tabung-tabung tersebut diinkubasi pada suhu 35 oC selama 48±2 jam. Tabung yang menunjukkan hasil positif (keruh dan terdapat gas) diambil untuk dilakukan uji lanjutan konfirmasi Escherichia coli.

Gambar 2 Tabung yang menunjukkan hasil positif (keruh dan terdapat gas) pada EC broth.

d. Uji Konfirmasi Escherichia coli

1. Setiap tabung EC broth yang positif dari pengujian konfirmasi koliform fekal diambil satu ose penuh kemudian digoreskan pada Levine’s eosine methylene blue agar dan diinkubasi selama 24±2 jam pada suhu 35 oC. 2. Dua koloni spesifik E. coli (bulat, berwarna gelap di bagian tengah,

dengan atau tanpa kilauan hijau) diambil dari setiap cawan petri, dengan menyentuhkan ujung ose di bagian tengah koloni dan digoreskan pada agar miring PCA. Agar miring diinkubasi pada suhu 35 oC selama 18-24 jam, dan dilanjutkan pada pengujian IMViC, pembentukan gas (dengan lauryl sulfate tryptose broth), dan pewarnaan gram.

3. Ditentukan hasil yang positif setelah dilakukan pengujian IMViC, pembentukan gas (dengan lauryl sulfate tryptose broth), dan pewarnaan gram kemudian ditentukan hasil yang positif. Hasil yang menunjukkan bakteri kokus atau kokoid, gram negatif, membentuk gas dari fermentasi laktosa, dan mempunyai pola + + - - atau - + - - pada uji IMViC dinyatakan sebagai E. coli kemudian dihitung MPN E. coli per ml/gram.

Analisa Mikroorganisme

Pemeriksaan awal terhadap 36 sampel daging ayam dan 24 sampel daging sapi adalah pemeriksaan jumlah mikroorganisme. Hasil yang diperoleh untuk rataan jumlah mikroorganisme daging ayam adalah 4.5 x 106 cfu/g dengan nilai minimum 6.6 x 104 cfu/g untuk Kabupaten Tasikmalaya dan nilai maksimum 1.2 x 107 cfu/g untuk Kota Bandung. Pada pemeriksaan daging sapi nilai rataan jumlah mikroorganisme adalah 3.9 x 106 cfu/g dengan nilai minimum 1.2 x 105 cfu/g untuk Kabupaten Bandung dan nilai maksimum 1.1 x 107 cfu/g untuk Kota

Dokumen terkait