• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi dari pasar tradisional di provinsi Jawa Barat berdasarkan jumlah total mikroorganisme, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi dari pasar tradisional di provinsi Jawa Barat berdasarkan jumlah total mikroorganisme, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

T

A

P

TINGKAT

AYAM DA

PROVINSI

M

T CEMAR

AN DAGI

I JAWA B

MIKROOR

FUJ

FAKUL

INST

RAN MIK

ING SAPI

BARAT B

RGANISM

DAN Es

JI MAGH

LTAS KED

TITUT PE

B

KROORGA

I DARI PA

(2)

Chicken and Beef Meat from Traditional Markets in West Java Province Based on Total Plate Count, Staphylococcus aureus count, and Escherichia coli count. Under direction of HERWIN PISESTYANI and AGATHA WINNY SANJAYA.

This study was aimed to determine the level of microorganisms contamination in chicken and beef meat from traditional markets in West Java. A total of 36 samples of chicken meat and 24 samples of beef meat were taken purposively from traditional markets in West Java. The average of Total Plate Count (TPC), Staphylococcus aureus, and Escherichia coli in chicken meat were 4.5 x 106cfu/g, 5.3 x 105 cfu/g, and 2.3 x 101 MPN/g. The average of TPC, S. aureus, and E. coli in beef meat were 3.9 x 106 cfu/g, 1.5 x 106 cfu/g, and 2.6 x 101 MPN/g. Comparing to the Indonesian Standard National (SNI) minimal requirement, the result showed that TPC in chicken meat was 47.22%, for S. aureus and E. coli were 97.22% and 69.44% above SNI 3924:2009, in other hands TPC, S. aureus, and E. coli in beef meat were 58.3%, 100%, and 66.67%, above SNI 3932:2008.

(3)

FUJI MAGHFIRAH SEMESTA. Tingkat Cemaran Mikroorganisme pada Daging Ayam dan Daging Sapi dari Pasar Tradisional di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Jumlah Total Mikroorganisme, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli. Dibimbing oleh HERWIN PISESTYANI dan AGATHA WINNY SANJAYA.

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang selalu mendapat perhatian untuk kesejahteraan kehidupan manusia. Bahan makanan dengan protein tinggi banyak terdapat pada bahan makanan yang berasal dari hewan, salah satunya daging. Daging yang umum dikonsumsi dapat diperoleh dari ternak ruminansia besar dan kecil (sapi, kerbau, domba, kambing), ternak unggas (ayam, itik), dan aneka ternak (kelinci, kuda, rusa, babi). Sebagai bahan pangan, daging memiliki potensi bahaya yaitu biologi, fisik, dan kimia. Bahaya-bahaya tersebut dapat terjadi selama proses pemeliharaan ternak, proses penyediaan sejak penyembelihan hingga pemotongan karkas, dan proses pengolahan menjadi produk olahan.

Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi di Provinsi Jawa Barat, yang dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Oktober 2009. Sampel daging ayam dan daging sapi berasal dari pasar tradisional di 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Jumlah sampel ditentukan secara purposif dari setiap kota/kabupaten, yaitu masing-masing dua sampel daging sapi dan tiga sampel daging ayam. Pemeriksaan cemaran mikroorganisme dilakukan untuk mengetahui jumlah total mikroorganisme, S. aureus, dan E. coli menggunakan metode hitungan cawan (Compendium of Methodes for The Microbiological Examination of Food 2001). Data yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan deskriptif.

Hasil yang diperoleh untuk rataan jumlah mikroorganisme daging ayam adalah 4.5 x 106 cfu/g dengan nilai minimum 6.6 x 104 cfu/g untuk Kabupaten Tasikmalaya dan nilai maksimum 1.2 x 107 cfu/g untuk Kota Bandung. Pada pemeriksaan daging sapi nilai rataan jumlah mikroorganisme adalah 3.9 x 106 cfu/g dengan nilai minimum 1.2 x 105 cfu/g untuk Kabupaten Bandung dan nilai maksimum 1.1 x 107 cfu/g untuk Kota Bekasi. Rataan yang diperoleh dari pemeriksaan jumlah S. aureus pada daging ayam adalah 5.3 x 105 cfu/g dengan nilai minimum 8.0 x 102 cfu/g untuk Kabupaten Tasikmalaya dan nilai maksimum 3.1 x 106 cfu/g untuk Kabupaten Bogor. Pada pemeriksaan sampel daging sapi, jumlah rataan S. aureus adalah 1.5 x 106 cfu/g dengan nilai minimum 1.9 x 104 cfu/g untuk Kabupaten Bandung dan nilai maksimum 6.2 x 106 cfu/g untuk Kabupaten Indramayu. Pemeriksaan terhadap jumlah MPN E. coli pada sampel daging ayam memiliki nilai rataan jumlah E. coli adalah 2.3 x 101 MPN/g. Kota Bandung dan Kabupaten Tasikmalaya merupakan daerah dengan nilai E. coli minimum yaitu 3.0 x 100 MPN/g, sedangkan kota Sumedang memiliki nilai E. coli maksimum yaitu 5.3 x 101 MPN/g. Pada pemeriksaan sampel daging sapi, rataan jumlah E. coli adalah 2.6 x 101 MPN/g. Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya merupakan daerah dengan nilai E. coli minimum yaitu 3.0 x 100 MPN/g, sedangkan kota Sukabumi memiliki nilai E. coli maksimum yaitu 8.0 x 101 MPN/g.

(4)

mikroorganisme pada sampel daging ayam adalah 47.22%, penghitungan S. aureus adalah 97.22%, dan penghitungan E. coli adalah 66.67%. Persentase tingkat cemaran mikroorganisme yang tidak sesuai SNI 3932:2008 pada sampel daging sapi dengan penghitungan jumlah mikroorganisme, S. aureus, dan E. coli berturut-turut adalah 58.3%, 100%, dan 66.67%. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa masih tingginya tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi di Provinsi Jawa Barat.

(5)

PROVINSI JAWA BARAT BERDASARKAN JUMLAH TOTAL

MIKROORGANISME, Staphylococcus aureus,

DAN Escherichia coli

LE

FUJI MAGHFIRAH SEMESTA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Tingkat Cemaran Mikroorganisme pada Daging Ayam dan Daging Sapi dari Pasar Tradisional di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Jumlah Total Mikroorganisme, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

Fuji Maghfirah Semesta B04070017

 

 

 

 

 

 

 

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

 

(8)

Judul Penelitian : Tingkat Cemaran Mikroorganisme pada Daging Ayam dan Daging Sapi dari Pasar Tradisional di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Jumlah Total Mikroorganisme, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli

Nama Mahasiswa : Fuji Maghfirah Semesta

NRP : B04070017

Disetujui

drh. Herwin Pisestyani, M.Si Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS Pembimbing 1 Pembimbing 2

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

(9)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat, dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Tingkat Cemaran Mikroorganisme pada Daging Ayam dan Daging Sapi dari Pasar Tradisional di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Jumlah Total Mikroorganisme, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli.Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu drh. Herwin Pisestyani, M.Si dan Ibu Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS selaku dosen pembimbing yang telah tanpa lelah dan penuh kesabaran membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Tidak lupa juga penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si; Bapak Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si; dan Ibu Maya Masitha N, S.Pt, M.Si atas dukungan dan bimbingannya selama penelitian. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Bapak Tedi Subarkah, A.Md dan Bapak Yuhendra yang telah banyak membantu penelitian ini. Kepada teman-teman satu penelitian (Rifqy, Wulan, Ellangga, Inda, Eddy, Ningrum, Putra) penulis berterima-kasih atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kakek, Nenek, Mama, dan adik tersayang (Nirmana), serta keluarga besar atas doa, semangat, dan cinta yang telah diberikan. Selanjutnya ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada pihak Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat atas kerja samanya pada penelitian ini sehingga berjalan lancar dan teman-teman Gianuzzi Angkatan 44 Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) yang telah bersama-sama menempuh pendidikan di FKH IPB.

Penulis memahami bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bogor, Agustus 2011

(10)

Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Moch. Roesny ADE dan Ibu Rusnaniar.

Penulis mengawali sekolah dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Islam Athirah Makassar dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 6 Makassar pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 17 Makassar pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007.

(11)

DAFTAR TABEL...xi

DAFTAR GAMBAR...xii

DAFTAR LAMPIRAN...xiii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... ..1

Hipotesis Penelitian ... ..3

Tujuan Penelitian ... ..3

Manfaat Penelitian ... ..3

TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi ... ..4

Daging Ayam ... ..4

Cemaran Mikroorganisme pada Daging ... ..5

Penghitungan Jumlah Total Mikroorganisme dengan Metode Total Plate Count (TPC) ... ..7

Penghitungan Jumlah Staphylococcus aureus dengan Metode Total Plate Count (TPC) ... ..8

Penghitungan Jumlah Escherichia coli dengan Metode Most Probable Number (MPN) ... 10

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

Alat dan Bahan ... 13

Jumlah Sampel ... 13

Prosedur Pengujian ... 14

Pengujian Jumlah Total Mikroorganisme dan Staphylococcus aureus dengan Metode Total Plate Count (TPC)...………...14

Pengujian Most Probable Number (MPN) Escherichia coli…………....16

Analisa Pengujian ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Mikroorganisme ... 19

Tingkat Cemaran Mikroorganisme Daging Ayam dan Daging Sapi ... 21

Pencegahan Cemaran Mikroorganisme ... 25

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 27

Saran ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28

(12)

1. Lokasi dan jumlah sampel daging sapi dan daging ayam yang diambil

di Provinsi Jawa Barat ... 14 2. Pemeriksaan jumlah cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan

(13)

Halaman 1. Koloni S. aureus pada media VJA ... 16 2. Tabung yang menunjukkan hasil positif (keruh dan terdapat gas) pada

EC broth ... 17 3. Koloni E. coli pada media LEMB agar ... 18 4. Persentase tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam di

Provinsi Jawa Barat dibandingkan dengan SNI 3924:2009 ... 23 5. Persentase tingkat cemaran mikroorganisme pada daging sapi di Provinsi

(14)

1. Hasil pemeriksaan jumlah total mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi di 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat ... 31 2. Hasil pemeriksaan jumlah S. aureus pada daging ayam dan daging sapi

di 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat ... 31 3. Hasil pemeriksaan jumlah E. coli pada daging ayam dan daging sapi

(15)

Latar Belakang

Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman (UU RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan). Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang selalu mendapat perhatian untuk kesejahteraan kehidupan manusia, selain sebagai sumber gizi perlu diperhatikan juga keamanan pangan dan mutu dari produk pangan tersebut (Djaafar et al. 2006).

Bahan makanan dengan protein tinggi banyak terdapat pada bahan makanan asal hewan, salah satunya adalah daging. Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Menurut Soeparno (1992) daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk pengolahan jaringan-jaringan yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Daging yang umum dikonsumsi dapat diperoleh dari ruminansia besar dan kecil (sapi, kerbau, domba, kambing), ternak unggas (ayam, itik), dan aneka ternak (kelinci, kuda, rusa, babi).

(16)

Permintaan masyarakat terhadap daging saat ini disertai oleh adanya kecemasan masyarakat terhadap kasus bahaya pangan, contohnya kasus antraks (penyakit ternak yang disebabkan oleh mikroba patogen bakteri Bacillus anthracis) pada daging (domba, kambing, sapi) yang dapat menular kepada manusia dan menyebabkan kematian (Usmiati 2010). Fenomena yang masih banyak terjadi di Indonesia, yaitu kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terutama pedagang mengenai penanganan pangan asal hewan yang higienis. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap penanganan dan pendistribusian daging, karena belum memenuhi persyaratan aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Penerapan higiene dan sanitasi yang buruk dalam penanganan daging dapat mengakibatkan daging terkontaminasi mikroorganisme. Mikroorganisme dapat berkembang biak dengan mudah pada daging disebabkan daging merupakan bahan makanan yang kaya akan kandungan air dan protein (perishable food). Tingginya cemaran mikroorganisme pada daging dapat menurunkan kualitas daging dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan konsumen. Berkaitan dengan hal tersebut, harus dilakukan upaya untuk menyediakan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Salah satunya adalah dengan pengawasan melalui program monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroorganisme (Dartini et al. 2003; Handayani et al. 2004).

(17)

Hipotesa Penelitian

Hipotesa penelitian ini adalah tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi dari pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat diduga telah memenuhi Standar Nasional Indonesia 3924:2009 tentang Mutu Karkas dan Daging Ayam dan Standar Nasional Indonesia 3932:2008 tentang Mutu Karkas dan Daging Sapi. Pendugaan ini dilakukan berdasarkan pengujian jumlah total mikroorganisme, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi dari beberapa pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat dengan menghitung jumlah total mikroorganisme, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli.

Manfaat Penelitian

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Daging Sapi

Daging adalah semua jaringan hewan, baik yang berupa daging dari karkas, organ, dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan bagi yang memakannya (Soeparno 1992). Daging digunakan sebagai penganekaragaman sumber pangan karena daging dapat menimbulkan kepuasaan dan kenikmatan bagi yang memakannya. Kandungan gizi dari daging sangat lengkap sehingga keseimbangan gizi dapat terpenuhi. Daging yang biasa dikonsumsi oleh manusia adalah daging yang berasal dari sapi, kerbau, kambing atau domba, babi, kuda, unggas, dan ikan serta organisme lain yang hidup di darat dan di laut.

Komposisi kimia daging terdiri dari air 75%, protein 19%, lemak 2.5%, dan substansi bukan protein terlarut 3.5% yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral, dan vitamin (Lawrie 1995). Menurut Lukman et al. (2009) secara umum daging terdiri dari 75% air, 19% protein, 2.5% lemak, dan komposisi lain sebesar 3.30% yang terdiri dari nitrogen non protein, karbohidrat, dan mineral.

Protein merupakan komponen kimia terpenting yang ada di dalam daging, serta sangat dibutuhkan untuk proses pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan kesehatan. Nilai protein yang tinggi pada daging disebabkan oleh asam amino esensialnya yang lengkap. Daging mengandung energi yang ditentukan oleh kandungan lemak intraseluler di dalam serabut-serabut otot. Daging juga mengandung kolesterol meskipun dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan jeroan dan otak. Secara umum, daging merupakan sumber mineral seperti kalsium, fosfor, zat besi, serta vitamin B kompleks, tetapi rendah vitamin C (Lawrie 2003).

Daging Ayam

(19)

masyarakat jika dibandingkan dengan daging sapi. Struktur daging ayam sama halnya seperti daging hewan lainnya, sangat kompleks dan sangat luas. Lemak pada daging ayam banyak ditemukan di bawah kulit. Kandungan asam lemak tidak jenuhnya juga lebih besar daripada daging hewan lainnya.

Menurut Lukman et al. (2009) komposisi daging ayam memiliki protein yang sangat tinggi khususnya bagian dada yaitu 23.3%, kandungan air 74.4%, lemak 1.2%, dan abu sebesar 1.1%. Warna daging ayam terutama bagian dada biasanya berwarna putih-kuning-keabuan, sedangkan warna bagian kaki relatif lebih gelap atau merah coklat. Warna daging ayam dipengaruhi oleh ras, umur, letak otot, penanganan sebelum dan sesudah pemotongan. Nilai pH juga berpengaruh pada kualitas daging ayam, yaitu terhadap warna, keempukan, dan daya ikat air. Nilai pH daging ayam setelah 24 jam (pasca mati) adalah 5.5-5.9 (Lukman et al. 2009).

Cemaran Mikroorganisme pada Daging

Penyebaran mikroorganisme yang tumbuh pada bahan pangan asal hewan dan hasil olahannya pada umumya terdiri dari bakteri, jamur/kapang, virus dan terdapat juga binatang satu sel. Daging memiliki karakter yang sama seperti bahan makanan manusia yang lainnya, disukai oleh mikroorganisme dan dapat dicemari oleh mikroorganisme tersebut. Invasi mikroorganisme tersebut dalam daging (infeksi) menyebabkan produk tersebut tidak menarik akibat terjadi beberapa perubahan (pembusukan). Mikroorganisme yang dapat menyebabkan daging busuk dapat diperoleh melalui infeksi hewan hidup (penyakit endogenous) atau dengan kontaminasi daging pasca mati (penyakit eksogenous) (Lawrie 2003).

(20)

Pertumbuhan mikroorganisme dalam daging, dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna, ataupun daya simpannya. Pertumbuhan mikroorganisme dalam daging juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga daging tersebut tidak layak dikonsumsi (Siagian 2002). Daging memiliki potensi bahaya yaitu biologi, fisik, dan kimia. Dari ketiga potensi bahaya tersebut, yang berhubungan erat dengan daya simpan daging karena menyebabkan pembusukan dan bahaya pangan adalah adanya cemaran mikroba (Mukartini et al. 1995).

Kehadiran bakteri pada kasus food-borne infection atau food poisoning kemungkinan berasal dari hewan atau manusia yang mencemari bahan makanan yang dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat. Hal ini menyebabkan bahan makanan merupakan sumber potensial untuk tercemar bakteri dan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Bahan makanan, baik dalam bentuk padat ataupun cair, sangat mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme (Hobbs 1970).

Daging merupakan bahan pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan oleh mikroorganisme. Kerusakan daging ditandai oleh adanya perubahan bau dan timbulnya lendir yang biasanya terjadi jika jumlah mikroorganisme menjadi jutaan atau ratusan sel per 1 cm2 luas permukaan daging. Dosis dari bakteri untuk mampu menginfeksi atau memproduksi toksin berbeda-beda, tergantung resistensi dari tiap-tiap hewan atau manusia yang memakan bahan makanan tersebut (Hobbs 1970).

Menurut Usmiati (2010), kerusakan daging oleh mikroorganisme terutama disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dengan tanda-tanda sebagai berikut :

a. Pembentukan lendir. b. Perubahan warna.

c. Perubahan bau menjadi busuk karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti ammonia, H2S,

mercaptan, dan senyawa lain-lain.

d. Perubahan rasa menjadi asam dan pahit karena pertumbuhan bakteri pembentuk asam dan senyawa pahit.

(21)

Soeparno (1992) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging disebabkan oleh:

a. Faktor intrinsik termasuk nilai nutrisi daging, keadaan air, pH, potensi oksidasi-reduksi, dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat. b. Faktor ekstrinsik, misalnya temperatur, kelembaban relatif, keberadaan

oksigen, dan keadaan fisik daging.

Pengujian mikroorganisme untuk makanan tidak dilakukan untuk semua parameter uji, tetapi hanya mengacu pada persyaratan untuk bahan makanan tertentu, misalnya daging ayam (SNI 3924:2009), meliputi Total Plate Count (TPC), MPN Coliform, MPN E.coli, identifikasi Salmonella, dan angka Staphylococcus aureus.

Penghitungan Jumlah Total Mikroorganisme dengan Metode

Total Plate Count (TPC)

Bakteri merupakan organisme yang sangat kecil dan bersel tunggal (mikroorganisme). Mikroorganisme sangat mudah ditemukan dimana saja, di tanah, air, debu, dan pada udara. Terdapat beribu-ribu perbedaan tipe dan bentuk mikroorganisme tergantung fungsi dan kegunaannya. Beberapa bakteri ada yang dapat digunakan sebagai bahan untuk pupuk, dapat juga sebagai flora normal dalam tubuh manusia dan hewan, dan dapat membantu proses fermentasi seperti produksi bir atau wine dan pengolahan keju. Jumlah mikroorganisme yang berbahaya dan menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan hanya sedikit dibandingkan total populasi mikroorganisme (Pelczar & Chan 2008).

(22)

ditentukan setelah larutan bahan atau biakan mikroorganisme diencerkan dengan faktor pengenceran tertentu dan ditumbuhkan dalam media dengan cara tertentu tergantung dari macam dan sifat-sifat mikroorganisme (Gobel et al. 2008).

Penghitungan jumlah total mikroorganisme merupakan salah satu aspek dalam pengujian cemaran mikroorganisme untuk menunjukkan jumlah kandungan mikroorganisme dalam suatu produk, agar produk yang beredar di masyarakat terjamin keamanannya. Metode Total Plate Count (TPC) merupakan suatu pengujian yang digunakan untuk menentukan daya simpan suatu produk, ditinjau dari besar kecilnya tingkat cemaran mikroorganisme pada produk tersebut.

Pengujian TPC merupakan cara yang paling sensitif dalam menghitung jumlah total cemaran mikroorganisme. Keuntungannya antara lain:

a. Hanya sel yang masih hidup yang dihitung. b. Beberapa jenis mikroba dapat dihitung sekaligus.

c. Dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba lainnya, khususnya koloni yang tumbuh dari satu sel mikroba dengan penampakan pertumbuhan spesifik.

Menurut Widyastika (2008), disamping keuntungan-keuntungan tersebut, pengujian TPC juga memiliki kelemahan, yaitu:

a. Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel mikroorganisme yang sebenarnya, karena beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk satu koloni.

b. Media dan kondisi yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang berbeda. c. Mikroorganisme yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada media padat dan

membentuk koloni yang kompak dan jelas, tidak menyebar.

d. Memerlukan persiapan dan waktu inkubasi beberapa hari atau hingga pertumbuhan koloni dapat dihitung.

Penghitungan Jumlah Staphylococcus aureus dengan Metode

Total Plate Count (TPC)

(23)

aureus tumbuh baik pada suhu 37 oC. Batas suhu pertumbuhan S. aureus adalah 15 oC dan 40 oC, sedangkan suhu pertumbuhan optimumnya adalah 35 oC. Staphylococcus aureus bersifat anaerob fakultatif, dapat tumbuh dalam udara yang mengandung hidrogen, dan pH optimum pertumbuhannya adalah 7.4 (Dianasari 2009).

Adapun klasifikasi S. aureus menurut Songer dan Post (2005) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Protista Divisio : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales

Familia : Enterobacteriaceae Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus dapat memfermentasi manitol dan dapat menghemolisis sel darah merah. Staphylococcus aureus mengandung polisakarida dan protein yang bersifat antigenik. Antigen ini merupakan kompleks peptidoglikan asam teikhoat yang dapat menghambat fagositosis, dan bagian ini yang diserang bakteriofaga. Staphylococcus aureus bersifat lisogenik karena mengandung faga yang tidak berpengaruh pada dirinya sendiri, tetapi menyebabkan lisis pada anggota dari spesies yang sama (Dianasari 2009).

Keberadaan S. aureus dalam makanan bisa bersumber dari kulit, mulut, atau rongga hidung pengolah pangan, sehingga mudah mencemari makanan. Pencemaran makanan oleh Staphylococcus biasanya dapat ditunjukkan bahwa galur Staphylococcus di dalam makanan yang tercemar sama dengan yang ada pada tubuh orang yang menangani pangan tersebut (Pelczar & Chan 2008).

(24)

Lukman dan Purnawarman (2009) menyatakan bahwa tujuan pemeriksaan S. aureus dan atau toksinnya pada pangan antara lain:

a. Mengkonfirmasi apakah bakteri ini sebagai agen penyebab keracunan pangan. b. Menentukan apakah pangan mengandung atau merupakan sumber potensial

stafilokoki enterotoksigenik.

c. Memberikan gambaran terjadinya pencemaran setelah pengolahan, yang biasanya berkaitan dengan adanya kontak antara produk olahan dan manusia atau kontak produk olahan dengan alat pengolahan yang tidak bersih atau alat tercemar.

Penghitungan Jumlah Escherichia coli dengan Metode

Most ProbableNumber (MPN)

Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif, anaerobik fakultatif, dan tidak berspora. Escherichia coli menggunakan campuran fermentasi asam di dalam kondisi anaerobik, menghasilkan asam laktat, succinate, etanol, asetat, dan karbondioksida. Selama memfermentasi, bakteri ini menghasilkan gas hidrogen. Pada fermentasi ini diharapkan jumlah hidrogen menjadi lebih rendah. Escherichia coli hanya dapat melakukan proses ini ketika hidrogen mengkonsumsi organisme seperti methagon atau adanya reduksi sulfat-bakteri (Sartika et al. 2005).

Berdasarkan taksonominya, Songer dan Post (2005) mengklasifikasikan E. coli sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli

(25)

dari glukosa. Escherichia coli merupakan organisme fakultatif yang utama di saluran gastrointestinal pada manusia (Sartika et al. 2005).

Pengujian kuantitatif menggunakan metode hitungan cawan akan mengalami kesulitan pada pengujian suatu pangan yang mengandung mikroorganisme kurang dari 10 cfu per ml/gram, namun dengan metode MPN masalah tersebut dapat diatasi (Lukman & Purnawarman 2009).

Metode MPN adalah cara untuk memperkirakan (estimasi) jumlah sel mikroorganisme dalam suatu pangan, dengan memupuk suatu tingkat pengenceran ke dalam tiga atau lima tabung berisi media cair. Metode ini berguna untuk pemeriksaan koliform, khususnya pada air dan limbah cair, dan umumnya untuk pangan. Metode MPN digunakan pula untuk mengisolasi dan menghitung jumlah bakteri stafilokoki, streptokoki, Vibrio parahaemolyticus, Salmonella (Lukman & Purnawarman 2009).

Nilai penghitungan MPN suatu pangan dilakukan dengan menggunakan tabel MPN. Nilai-nilai yang dicantumkan dalam tabel MPN dihitung atas dasar asumsi bahwa mikroorganisme menyebar merata (homogen) dalam pangan. Mikroorganisme mungkin hanya berada pada salah satu tempat tertentu (tidak merata) pada jenis pangan yang padat atau semi padat. Lemak dan partikel pangan yang tidak larut akan mencegah kehomogenan, oleh karena itu nilai MPN sangat baik untuk contoh dari suatu pangan yang berbentuk cair (Lukman & Purnawarman 2009).

Penggunaan media cair dalam MPN sangat bermanfaat untuk merangsang resusitasi dan pertumbuhan mikroorganisme, serta dapat menggunakan volume contoh yang lebih besar. Hasil terbaik diperoleh jika tabung berisi pengenceran yang terendah memperlihatkan adanya pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan tabung berisi pengenceran tertinggi tidak memperlihatkan pertumbuhan (Lukman & Purnawarman 2009).

(26)
(27)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan sampel daging ayam dan daging sapi berasal dari pasar tradisional di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat (Tabel 1). Penelitian ini berlangsung dari bulan September sampai dengan Oktober 2009.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah penangas air, autoklaf, lemari pendingin, freezer, timbangan analitik, inkubator 35 °C – 37 °C, ose, pinset, gunting, scapel, cawan petri 100 x 12 mm, tabung reaksi 20 ml, pipet volumetrik 1 ml, tabung Durham, tubeshaker (pengocok tabung), plastik bening, spidol, label, cool box, stomacher, dan tabung erlenmeyer.

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel daging ayam dan daging sapi, Plate Count Agar (PCA) (Acumedia Standard Methods Agar 7157A), Vogel Johnson Agar (VJA), media cair Lauryl sulfate tryptose broth (Pronadisa Cat.1310.00), Levine’s eosine methylene blue agar (LEMB agar) (Oxoid CM 0069 B), Buffered Peptone Water (BPW) 0.1% (Pronadisa Cat.1402.00), Koser’s citrate medium tryptone broth (Oxoid CM 0087 B), Methyl Red Voges-Proskauer broth (MRVP) (Oxoid CM 0043 B), dan Nutrien Agar (NA) (Oxoid CM 0003 B).  

Jumlah Sampel

(28)

sampel daging ayam (Tabel 1). Setiap sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik steril, kemudian kantong plastik diberi label dan disimpan dalam cool box berisi es. Sampel diuji maksimum 24 jam setelah pengambilan.

Tabel 1 Lokasi dan jumlah sampel daging sapi dan daging ayam yang diambil di Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Daging sapi Daging ayam Jumlah total

1. Kota Bekasi 2 3 5

2. Kabupaten Purwakarta 2 3 5

3. Kabupaten Bogor 2 3 5

4. Kota Bogor 2 3 5

5. Kota Sukabumi 2 3 5

6. Kabupaten Bandung 2 3 5

7. Kota Bandung 2 3 5

8. Kabupaten Cianjur 2 3 5

9. Kabupaten Sumedang 2 3 5

10 Kabupaten Tasikmalaya 2 3 5

11. Kota Cirebon 2 3 5

12. Kabupaten Indramayu 2 3 5

24 36 60

Prosedur Pengujian

Pengujian Jumlah Total Mikroorganisme dan Staphylococcus aureus dengan Metode Total Plate Count (TPC)

Pengujian TPC dan S. aureus pada daging ayam dan daging sapi dilakukan dengan metode menurut Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Food (Andrew et al. 2001).

1. Persiapan sampel

(29)

2. Pengenceran

Pengenceran yang digunakan pada analisis TPC dan S. aureus adalah pengenceran 10-3, 10-4, dan 10-5.

3. Pour Plating

Masing-masing pengenceran dipipet 1 ml ke dalam cawan petri steril yang telah diberi label sebelumnya (sesuai dengan angka pengenceran). Media Plate Count Agar (PCA) untuk pengujian TPC dan media Vogel Johnson Agar (VJA) untuk penghitungan S. aureus, dituangkan ke dalam masing-masing cawan petri sebanyak 10-15 ml, lalu dihomogenkan dengan cara digeser-geser di meja membentuk angka 8 beberapa kali supaya media merata ke seluruh permukaan dan dibiarkan memadat. Cawan petri kemudian dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik.

4. Inkubasi

 Pengujian Metode Total Plate Count (TPC)

Inkubasi cawan petri dilakukan dengan posisi terbalik pada suhu 35 oC selama 24 jam ± 2 jam.

 Pengujian Staphylococcus aureus

Inkubasi cawan petri dilakukan dengan posisi terbalik pada suhu 35 sampai 37 oC selama 45-48 jam.

5. Pembacaan/perhitungan

 Pengujian Metode Total Plate Count (TPC)

Penghitungan dilakukan pada semua koloni dalam cawan petri yang berisi 25-250.

 Pengujian Staphylococcus aureus

(30)

P

d M

Pengujian M

Penguj dilakukan Microbiolog

a. Uji Pre 1. Tab ting pen 2. Set diin volu bag dar laur 3. Tab 48± gas

b. Uji Ko 1. Set ose ster 2. Tab Tab untu Gamb Most Probab ujian MPN dengan m gical Examin esumtif Koli bung reaksi gkat pengen ngenceran pa iap tingkat nokulasikan ume contoh gian contoh i setiap pen ryl sulfate b

bung-tabung ±2 jam. Tab

) diambil un

onfirmasi Ko iap tabung p e penuh ke d

ril yang dilen bung-tabung bung yang m

uk dilakukan

bar 1 Kolon

ble Number

Escherichia

metode men nation of Foo

iform berisi medi nceran). Pe ada metode T t pengence

ke dalam h dan volume

dimasukkan ngenceran di roth steril ya g tersebut kem

bung yang m ntuk dilakuka

oliform positif dari p dalam tabung ngkapi deng g tersebut di menunjukkan

n uji lanjutan

ni S. aureus p

(MPN) Esc

a coli pada nurut Comp

od (Andrew

a cair steril engenceran TPC dan S. a eran (penge tiga tabung e media yan n ke dalam 1 imasukkan k ang dilengka mudian diink menunjukkan an uji lanjuta

pengujian pr g berisi 10 m gan tabung du iinkubasi pa n hasil positi n konfirmasi

pada media V

cherichia col

a daging ay pendium of

et al. 2001)

pada rak ta yang dila aureus.

enceran 10 g berisi med ng biasa digu 10 bagian m ke dalam tig api dengan ta

kubasikan p n hasil posit an konfirma

esumtif koli ml briliant g

urham. ada suhu 35

if (keruh dan i koliform fe

VJA.

li

yam dan da of Methods

.

abung (3 tab akukan sam

0-3, 10-4, dia cair ster

unakan adal media). Laru ga tabung be

abung Durha pada suhu 35

tif (keruh da asi koliform.

iform dipind green lactose

o

C selama n terdapat ga ekal.

aging sapi for the

bung setiap ma dengan

dan 10-5) ril. Rasio lah 1:10 (1 utan contoh erisi 10 ml am.

5 oC selama an terdapat

dahkan satu e bile broth

(31)

c. Uji Konfirmasi Koliform fekal

1. Setiap tabung positif dari pengujian presumtif koliform dipindahkan satu ose penuh ke dalam tabung berisi 10 ml EC broth steril yang dilengkapi dengan tabung durham.

2. Tabung-tabung tersebut diinkubasi pada suhu 35 oC selama 48±2 jam. Tabung yang menunjukkan hasil positif (keruh dan terdapat gas) diambil untuk dilakukan uji lanjutan konfirmasi Escherichia coli.

Gambar 2 Tabung yang menunjukkan hasil positif (keruh dan terdapat gas) pada EC broth.

d. Uji Konfirmasi Escherichia coli

1. Setiap tabung EC broth yang positif dari pengujian konfirmasi koliform fekal diambil satu ose penuh kemudian digoreskan pada Levine’s eosine methylene blue agar dan diinkubasi selama 24±2 jam pada suhu 35 oC. 2. Dua koloni spesifik E. coli (bulat, berwarna gelap di bagian tengah,

dengan atau tanpa kilauan hijau) diambil dari setiap cawan petri, dengan menyentuhkan ujung ose di bagian tengah koloni dan digoreskan pada agar miring PCA. Agar miring diinkubasi pada suhu 35 oC selama 18-24 jam, dan dilanjutkan pada pengujian IMViC, pembentukan gas (dengan lauryl sulfate tryptose broth), dan pewarnaan gram.

[image:31.612.260.395.242.349.2]
(32)

Gambar 3 Koloni E. coli pada media LEMB agar.

Analisa Pengujian

Data yang diperoleh dari setiap pengujian dianalisa dengan pendekatan deskriptif.

[image:32.612.260.370.87.198.2]
(33)

Analisa Mikroorganisme

[image:33.612.106.535.377.574.2]

Pemeriksaan awal terhadap 36 sampel daging ayam dan 24 sampel daging sapi adalah pemeriksaan jumlah mikroorganisme. Hasil yang diperoleh untuk rataan jumlah mikroorganisme daging ayam adalah 4.5 x 106 cfu/g dengan nilai minimum 6.6 x 104 cfu/g untuk Kabupaten Tasikmalaya dan nilai maksimum 1.2 x 107 cfu/g untuk Kota Bandung. Pada pemeriksaan daging sapi nilai rataan jumlah mikroorganisme adalah 3.9 x 106 cfu/g dengan nilai minimum 1.2 x 105 cfu/g untuk Kabupaten Bandung dan nilai maksimum 1.1 x 107 cfu/g untuk Kota Bekasi. Hasil pemeriksaan rataan jumlah mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi yang dijual di pasar-pasar tradisional di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Pemeriksaan jumlah cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi di 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat

Jenis sampel

Jenis pemeriksaan mikrobiologi

Jumlah cemaran mikroorganisme

Rataan

Maksimum Minimum

Nilai Kota/Kab. Nilai Kota/Kab.

Daging ayam

TPC (cfu/g) 4.5 x 106 1.2 x 107 Bandung 6.6 x 104 Tasikmalaya

S. aureus (cfu/g) 5.3 x 105 3.1 x 106 Bogor 8.1 x 102 Tasikmalaya

E. coli (MPN/g) 2.3 x 101 5.3 x 101 Sumedang 3.0 x 100 Tasikmalaya

Bandung

Daging sapi

TPC (cfu/g) 3.9 x 106 1.1 x 107 Bekasi 1.2 x 105 Bandung

S. aureus (cfu/g) 1.5 x 106 6.2 x 106 Indramayu 1.9 x 104 Bandung

E. coli (MPN/g) 2.6 x 101 8 x 101 Sukabumi 3.0 x 100

Bandung Bandung Tasikmalaya

(34)

nilai maksimum 3.1 x 106 cfu/g untuk Kabupaten Bogor. Pada pemeriksaan sampel daging sapi, jumlah rataan S. aureus adalah 1.5 x 106 cfu/g dengan nilai minimum 1.9 x 104 cfu/g untuk Kabupaten Bandung dan nilai maksimum 6.2 x 106 cfu/g untuk Kabupaten Indramayu.

Pemeriksaan terhadap jumlah MPN E. Coli pada sampel daging ayam memiliki nilai rataan jumlah E. coli adalah 2.3 x 101 MPN/g. Kota Bandung dan Kabupaten Tasikmalaya merupakan daerah dengan nilai E. coli minimum yaitu 3.0 x 100 MPN/g, sedangkan kota Sumedang memiliki nilai E. coli maksimum yaitu 5.3 x 101 MPN/g. Pada pemeriksaan sampel daging sapi, rataan jumlah E. coli adalah 2.6 x 101 MPN/g. Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya merupakan daerah dengan nilai E. coli minimum yaitu 3.0 x 100 MPN/g, sedangkan kota Sukabumi memiliki nilai E. coli maksimum yaitu 8.0 x 101 MPN/g.

Berdasarkan hasil di atas, terlihat bahwa nilai maksimum dan nilai minimum jumlah cemaran mikroorganisme terdapat pada kota/kabupaten yang berbeda-beda. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya proses pemotongan di Rumah Potong Hewan (RPH) dan Rumah Potong Unggas (RPU) yang belum menerapkan sanitasi dan higiene yang benar atau adanya perbedaan kondisi selama pendistribusian daging ayam atau sapi dari tempat pemotongan menuju pasar tradisional. Sanitasi dari pasar tradisional di tiap-tiap kota/kabupaten dan perbedaan penerapan higiene personal dari pedagang dapat menjadi faktor adanya perbedaan nilai maksimum dan minimum dari jumlah cemaran mikroorganisme.

Jumlah cemaran mikroorganisme (Tabel 2), apabila dibandingkan dengan syarat mutu mikroorganisme pada daging ayam (SNI 3924:2009) dan daging sapi (SNI 3932:2008), rataan yang diperoleh dalam penelitian berada di atas batas maksimum SNI. Pencemaran mikroorganisme pada daging dapat terjadi saat di peternakan (sebelum dan setelah pemotongan), tempat penjualan, dan sampai ke meja makan (Djaafar & Rahayu 2007).

(35)
[image:35.612.131.496.183.255.2]

Badan Standar Nasional (BSN) telah menetapkan syarat mutu maksimum jumlah mikroorganisme pada daging ayam (SNI 3924:2009) dan daging sapi (SNI 3932:2008) yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Syarat mutu mikroorganisme daging ayam dan daging sapi

No. Jenis uji mikrobiologi Satuan Persyaratan 1. Total Plate Count cfu/g Maksimum 1x106 2. Staphylococcus aureus cfu/g Maksimum 1x102

3. Eschericia coli MPN/g Maksimum 1x101

Jumlah mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi di 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat setelah dibandingkan dengan syarat mutu mikroorganisme (SNI 3924:2009 tentang Mutu Karkas dan Daging Ayam dan SNI 3932:2008 tentang Mutu karkas dan Daging Sapi), maka diperoleh nilai persentase cemaran yang sesuai SNI dan tidak sesuai SNI. Tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi dari pasar tradisional di 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi (%)

Jenis sampel Batas cemaran mikroorganisme

Jenis pemeriksaan

TPC (%) S. aureus (%) E. coli (%)

Daging ayam Sesuai SNI 52.78 2.78 30.56 Tidak sesuai SNI 47.22 97.22 69.44

Daging sapi Sesuai SNI 41.70 0 33.33 Tidak sesuai SNI 58.30 100 66.67

[image:35.612.108.500.458.576.2]
(36)

Tingginya tingkat cemaran mikroorganisme pada pemeriksaan jumlah mikroorganisme menandakan bahwa banyak mikroorganisme yang telah mengkontaminasi daging ayam dan daging sapi di tingkat penjualan. Kontaminasi mikroorganisme ini dapat terjadi pada saat hewan masih berada di peternakan, sebelum atau setelah pemotongan di Rumah Potong Hewan (RPH) atau Rumah Potong Unggas (RPU). Sesaat setelah dipotong, darah masih bersirkulasi ke seluruh anggota tubuh hewan sehingga penggunaan peralatan yang tidak bersih dapat menyebabkan mikroorganisme masuk ke dalam darah dan dapat menyebar ke seluruh tubuh hewan. Perlakuan hewan sebelum pemotongan juga berpengaruh terhadap jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam daging. Ternak yang baru diangkut dari luar kota hendaknya tidak dipotong sebelum cukup istirahat, karena akan meningkatkan jumlah bakteri dalam daging dibandingkan dengan ternak yang istirahatnya cukup (Gustiani 2009).

Kontaminasi selanjutnya dapat terjadi dari lingkungan tempat penjualan daging ayam dan daging sapi di pasar tradisional. Keadaan pasar tradisional yang tidak memiliki kios daging dan memiliki suhu di atas suhu ruang, dapat berdampak pada jumlah mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi. Kadir (2004) menyatakan bahwa jumlah mikroorganisme pada daging dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan daging .

Jumlah mikroorganisme yang melebihi ambang batas pada daging ayam maupun daging sapi menandakan bahwa daging tersebut memiliki penurunan daya simpan dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi tanpa pengolahan yang benar (Gustiani 2009). Pemeriksaan jumlah mikroorganisme dapat menunjukkan kualitas sanitasi dan higiene daging. Nilai jumlah mikroorganisme yang tinggi dapat menunjukkan bahwa faktor sanitasi pada tempat penjualan belum diterapkan secara baik dan benar.

(37)
[image:37.612.133.460.85.281.2]

Gambar 4 Persentase tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam di Provinsi Jawa Barat dibandingkan dengan SNI 3924:2009.

Gambar 5 Persentase tingkat cemaran mikroorganisme pada daging sapi di Provinsi Jawa Barat dibandingkan dengan SNI 3932:2008.

Pada pemeriksaan S. aureus baik daging ayam maupun daging sapi, menunjukkan hasil sesuai SNI jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil tidak sesuai SNI. Tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam sesuai SNI 3924:2009 (2.78%) dan tidak sesuai SNI 3924:2009 (97.22%). Keberadaan

S. aureus E. coli S. aureus E. coli

52.78 2.78 30.56 47.22 97.22 69.44 0 20 40 60 80 100 120

TPC S. aureus E. coli

Tingkat cem aran m ikroorganism e (%)

Jenis pemeriksaan mikrobiologi (n = 36)

sesuai SNI

tidak sesuai SNI

41.7 0 33.33 58.3 100 66.67 0 20 40 60 80 100 120

TPC S. aureus E. coli

Ti ngkat c em ara n m ikroorgani sm e (%)

Jenis pemeriksaan mikrobiologi (n = 24)

[image:37.612.114.472.93.519.2]
(38)

S. aureus perlu mendapat perhatian karena S. aureus mampu memproduksi enterotoksin yang tahan terhadap panas. Djaafar dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa enterotoksin S. aureus pada kasus-kasus keracunan makanan terdeteksi pada jumlah S. aureus mencapai jumlah 108 cfu/g.

Pemeriksaan S. aureus pada daging sapi menunjukkan seluruh sampel yang diperiksa tidak sesuai dengan SNI 3932:2008 (100%). Hasil yang diperoleh ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Nel et al. (2004) pada daging di Afrika Selatan. Tingginya tingkat cemaran mikroorganisme dengan parameter S. aureus pada daging ayam maupun daging sapi sangat membahayakan kesehatan konsumen. Daging yang tercemar atau mengandung S. aureus enterotoksigenik sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen karena tidak adanya mikroorganisme pesaing lainnya yang biasanya dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan toksin dari S. aureus. Gundogan et al. (2005) juga menyatakan bahwa meskipun kontaminasi dari S. aureus terjadi setelah kontaminasi mikroorganisme lainnya, jumlah S. aureus tetap dapat melebihi jumlah mikroorganisme lain.

Habitat utama dari S. aureus adalah membran mukosa dari nasofaring manusia dan kulit hewan. Staphylococcus aureus juga dapat ditemukan di tanah, sumber air, debu, dan udara. Gundogan et al. (2005) menyatakan bahwa sekitar 50% dari populasi manusia membawa S. aureus sebagai mikroorganisme komensal dalam tubuhnya. Oleh karena itu, kehadiran S. aureus pada daging sering kali dihubungkan dengan orang yang menangani daging secara tidak higienis. Kehadiran S. aureus umumnya juga mengindikasikan kontaminasi secara langsung dari pekerja yang memiliki luka di kulit yang mengandung S. aureus, atau melalui bersin dan batuk (Gundogan et al. 2005). Staphylococcus aureus juga dapat ditemukan pada hasil perikanan seperti ikan, udang, dan moluska lainnya (Beleneva 2011).

(39)

bahwa masih tingginya tingkat cemaran mikroorganisme E. coli yang terjadi pada daging ayam dan daging sapi di Provinsi Jawa Barat.

Escherichia coli merupakan salah satu indikator sanitasi dan termasuk golongan koliform. Koliform umumnya ditemukan dalam usus manusia dan hewan hidup, juga dalam air yang tercemar. Escherichia coli merupakan mikroorganisme normal dalam saluran pencernaan makhluk hidup dan umumnya tidak menimbulkan penyakit. Jumlah E. coli yang mengalami peningkatan dapat menimbulkan gejala berupa enteritis. Manusia dapat terkena diare apabila makanan yang dikonsumsinya banyak mengandung E. coli. Penghitungan jumlah E. coli pada daging sangat penting karena keberadaan mikroorganisme ini dapat dijadikan sebagai penilaian terhadap kualitas sanitasi daging dan air (Suwansonthichai & Rengpipat 2003).

Tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam ataupun daging sapi dengan penghitungan jumlah mikroorganisme tidak berbeda secara signifikan antara hasil sesuai SNI dan tidak sesuai SNI. Hal ini menggambarkan bahwa kontaminasi terjadi setelah proses pemotongan hewan hidup atau pada saat sampel daging ayam atau daging sapi berada di tempat penjualan dan berkontak dengan alat-alat yang digunakan, misalnya pisau, alas pemotong daging, atau apron yang digunakan pedagang. Tingginya jumlah S. aureus dan E. coli pada daging ayam maupun daging sapi dapat disebabkan oleh kontaminasi pada saat kontak antara pedagang dengan daging atau pada saat pencucian daging dengan air. Tingkat cemaran mikroorganisme yang tinggi pada daging ayam dan sapi pada pasar tradisional dapat dikurangi dengan menerapkan sistem rantai dingin (cold chain system) (Lukman et al. 2009).

Pencegahan Cemaran Mikroorganisme

(40)

Good Retailing Practices (GRP) bisa menurunkan tingginya tingkat cemaran mikroorganisme saat daging berada di tangan pedagang dan akan didistribusikan ke tangan konsumen.

Pada tahun 1993, Codex Alimentarius Commision (CAC) dari Badan Dunia FAO/WHO telah menetapkan sistem Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) (Djaafar & Rahayu 2007). HACCP merupakan suatu evaluasi sistematis terhadap prosedur pengolahan atau penyiapan pangan untuk mengidentifikasikan potensi bahaya yang berkaitan dengan bahan atau prosedur pengolahan bahan pangan. Tujuan utama dari HACCP untuk menjamin produk yang dihasilkan memiliki kualitas higienis yang tinggi. Penerapan sistem HACCP dapat memelihara bahkan meningkatkan keamanan pangan (Gonzalez-Miret et al. 2006).

(41)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Rataan nilai TPC, S. aureus, dan E.coli pada sampel daging ayam secara berturut-turut adalah 4.5 x 106 cfu/g, 5.3 x 105 cfu/g, dan 2.3 x 101 MPN/g. 2. Rataan nilai TPC, S. aureus, dan E. coli pada sampel daging sapi secara

berturut-turut adalah 3.9 x 106 cfu/g, 1.5 x 106 cfu/g, dan 2.6 x 101 MPN/g. 3. Tingkat cemaran mikroorganisme pada sampel daging ayam yang tidak sesuai

dengan SNI 3924:2009 tentang Mutu Karkas dan Daging Ayam adalah 47.22% untuk TPC, 97.22% untuk S. aureus, dan 69.44% untuk E. coli. 4. Tingkat cemaran mikroorganisme pada sampel daging sapi yang tidak sesuai

dengan SNI 3932:2008 tentang Mutu Karkas dan Daging Sapi adalah 58.30% untuk nilai TPC, 100% untuk S. aureus, dan 66.67% untuk E. coli.

5. Kualitas dan keamanan pangan serta daya simpan dari daging yang dijual pada beberapa pasar di Provinsi Jawa Barat masih rendah.

Saran

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Andrew WH, Flowers RS, Silliker J, Bailey SJ. 2001. Staphylococcus aureus, Escherichia coli. Di dalam: Downes FP, Ito K, editor. Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Food. Ed ke-4. Washington: APHA.

Bahri S. 2008. Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak di Indonesia. Pengembangan Inov Per 1:225-242.

Beleneva IA. 2011. Incidence and characteristics of Staphylococcus aureus and Listeria monocytogenes from the Japan and South China seas. Mar Pollut Bull 62:382-387.

[BSN] Badan Standar Nasional. 2008. Standar Nasional Indonesia (SNI) 3932:2008 tentang Mutu Karkas dan Daging Sapi. Jakarta.

[BSN] Badan Standar Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia (SNI) 3924:2009 tentang Mutu Karkas dan Daging Ayam. Jakarta.

Dartini NL, Putra AAG, Kertayadnya G, Dewi AA. 2003. Tingkat cemaran mikroba, residu antibiotika, sulfa dan pestisida pada bahan asal hewan di Provinsi Bali, NTB, dan NTT tahun 1996-2002 [makalah]. Di dalam: Workshop Nasional Kesmavet Tahun 2003; Denpasar, 2003. Denpasar: Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI.

Dianasari N. 2009. Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol kayu secang (Caesalpinia sappan l) terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysentriae serta bioautografinya [skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Djaafar TF, Rahayu ES, Rahayu S. 2006. Cemaran mikroba pada susu dan produk unggas. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.

Djaafar TF, Rahayu S. 2007. Cemaran mikroba pada produk pertanian, penyakit yang ditimbulkan, dan pencegahannya. J Litbang Per 26:67-75.

Gobel RB et al. 2008. Mikrobiologi Umum dalam Praktek. Makasar: Universitas Hasanuddin.

Gonzalez-Miret ML, Escudero-Gilete ML, Heredia FJ. 2006. The establishment of critical control points at the washing and air chilling stages in poultry meat production using multivariate statistics. Food Control 17:935-941.

(43)

Gundogan N, Citak S, Yucel N, Devren A. 2005. A note on the incidence and antibiotic resistance of Staphylococcus aureus isolated from meat and chicken samples. Meat Sci 69: 807-810.

Gustiani E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak (daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. J Litbang Per 28:96-100.

Handayani NMS, Dewi AAS, Riti N, Ardana I GPS. Cemaran mikroba dan residu antibiotika pada produk asal hewan di Provinsi Bali, NTB, dan NTT tahun 2003-2004. Denpasar: Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI.

Hobbs BC. 1970. Food Poisoning and Food Hygiene. London: E Arnold. hlm 12-42.

Kadir L. 2004. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap jumlah kandungan bakteri dan kualitas fisik ikan tongkol asap (Euthynnus afinis). J Bioteknol Pang 6:79-84.

[Kantor Menteri Urusan Pangan]. 1996. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 7 tahun 1996 tentang Pangan. Jakarta.

Lawrie RA. 1995. Ilmu Daging. Ed ke-5. Aminuddin Parakkasi, penerjemah. Jakarta: UI Pr. hlm 63-67.

Lawrie RA. 2003. Lawrie’s Meat Science. Ed ke-6 . England: Woodhead. hlm 119-127.

Lukman DW, Purnawarman T. 2009. Penghitungan jumlah mikroorganisme dengan metode hitungan cawan, metode Most Probable Number (MPN). Di dalam: Lukman DW, Purnawarman T, editor. Penuntun Praktikum Higiene Pangan Asal Hewan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. hlm 16-21

Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono RR. 2009. Komposisi dan struktur otot. Di dalam: Pisestyani H, editor. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. hlm 123-130.

Mukartini S, Jehne C, Shay B, Harper CML. 1995. Microbiological status of beef carcass meat in Indonesia.J Food Safe 15:291-303.

(44)

Nugroho WS. 2005. Tingkat cemaran Salmonella sp. pada telur ayam ras di

tingkat peternakan Kabupaten Sleman Yogyakarta. Di dalam: Prosiding

Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan; Bogor, 14 Sep 2005. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor. hlm 160-165.

Pelczar MJ, Chan ECS. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Volume ke-1,2. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Elements of Microbiology. hlm 55-58.

Sartika RAD, Indrawani YM, Sudiarti T. 2005. Analisis mikrobiologi Escherichia coli O157:H7 pada hasil olahan hewan sapi dalam proses produksinya.

Makara Kes 9(1):23-28.

Siagian A. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Ed ke-1. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. hlm 1, 202-206.

Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology Bacterial and Fungal Agent of Animal Disease. USA: Elsevier Saunders. hlm 86-110.

Suwansonthichai S, Rengpipat S. 2003. Enumeration of coliforms and Escherichia coli in frozen black tiger shrimp Penaeus monodon by conventional and rapid methods. J Food Microbiol 81: 113-121.

Usmiati S. 2010. Pengawetan daging segar dan olahan. [terhubung berkala]. http:// pascapanen.litbang.deptan.go.id/media/berita/daging-awet.pdf. [10 Feb 2011].

(45)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil pemeriksaan jumlah total mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi di 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Jumlah TPC (rata-rata ± simpangan baku) Daging ayam (cfu/gr) Daging sapi (cfu/gr) 1. Kota Bekasi 1.1 x 106 ± 9.7 x 105 1.1 x 107 ± 1.6 x 107 2. Kab. Purwakarta 4.9 x 105 ± 4.1 x 105 7.9 x 105 ± 2.8 x 104 3. Kab. Bogor 1.6 x 106 ± 5.0 x 105 4.9 x 106 ± 5.0 x 105 4. Kota Bogor 1.7 x 106 ± 1.8 x 106 5.5 x 105 ± 4.9 x 105 5. Kota Sukabumi 1.8 x 106 ± 1.8 x 106 2.7 x 105 ± 2.9 x 105 6. Kab. Bandung 3.6 x 105 ± 3.3 x 105 1.2 x 105 ± 6.1 x 104 7. Kota Bandung 1.2 x 107 ± 5.2 x 106 7.9 x 106 ± 6.4 x 105 8. Kab. Cianjur 2.6 x 106 ± 1.9 x 106 1.5 x 106 ± 1.4 x 105 9. Kab. Sumedang 6.9 x 105 ± 7.3 x 105 4.0 x 106 ± 3.7 x 106 10. Kab. Tasikmalaya 6.6 x 104 ± 4.8 x 104 1.5 x 105 ± 2.8 x 104 11. Kota Cirebon 6.5 x 106 ± 5.0 x 106 5.6 x 106 ± 6.2 x 106 12. Kab. Indramayu 2.5 x 107 ± 1.9 x 107 1.0 x 107 ± 4.0 x 106 Rata-rata 4.5 x 106 ± 7.3 x 106 3.9 x 106 ± 4.0 x 106

Lampiran 2 Hasil pemeriksaan jumlah S. aureus pada daging ayam dan daging sapi di 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat

(46)

Lampiran 3 Hasil pemeriksaan jumlah E. coli pada daging ayam dan daging sapi di 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat

(47)

FUJI MAGHFIRAH SEMESTA. Level of Microorganisms Contamination in Chicken and Beef Meat from Traditional Markets in West Java Province Based on Total Plate Count, Staphylococcus aureus count, and Escherichia coli count. Under direction of HERWIN PISESTYANI and AGATHA WINNY SANJAYA.

This study was aimed to determine the level of microorganisms contamination in chicken and beef meat from traditional markets in West Java. A total of 36 samples of chicken meat and 24 samples of beef meat were taken purposively from traditional markets in West Java. The average of Total Plate Count (TPC), Staphylococcus aureus, and Escherichia coli in chicken meat were 4.5 x 106cfu/g, 5.3 x 105 cfu/g, and 2.3 x 101 MPN/g. The average of TPC, S. aureus, and E. coli in beef meat were 3.9 x 106 cfu/g, 1.5 x 106 cfu/g, and 2.6 x 101 MPN/g. Comparing to the Indonesian Standard National (SNI) minimal requirement, the result showed that TPC in chicken meat was 47.22%, for S. aureus and E. coli were 97.22% and 69.44% above SNI 3924:2009, in other hands TPC, S. aureus, and E. coli in beef meat were 58.3%, 100%, and 66.67%, above SNI 3932:2008.

(48)

Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman (UU RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan). Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang selalu mendapat perhatian untuk kesejahteraan kehidupan manusia, selain sebagai sumber gizi perlu diperhatikan juga keamanan pangan dan mutu dari produk pangan tersebut (Djaafar et al. 2006).

Bahan makanan dengan protein tinggi banyak terdapat pada bahan makanan asal hewan, salah satunya adalah daging. Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Menurut Soeparno (1992) daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk pengolahan jaringan-jaringan yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Daging yang umum dikonsumsi dapat diperoleh dari ruminansia besar dan kecil (sapi, kerbau, domba, kambing), ternak unggas (ayam, itik), dan aneka ternak (kelinci, kuda, rusa, babi).

(49)

Permintaan masyarakat terhadap daging saat ini disertai oleh adanya kecemasan masyarakat terhadap kasus bahaya pangan, contohnya kasus antraks (penyakit ternak yang disebabkan oleh mikroba patogen bakteri Bacillus anthracis) pada daging (domba, kambing, sapi) yang dapat menular kepada manusia dan menyebabkan kematian (Usmiati 2010). Fenomena yang masih banyak terjadi di Indonesia, yaitu kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terutama pedagang mengenai penanganan pangan asal hewan yang higienis. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap penanganan dan pendistribusian daging, karena belum memenuhi persyaratan aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Penerapan higiene dan sanitasi yang buruk dalam penanganan daging dapat mengakibatkan daging terkontaminasi mikroorganisme. Mikroorganisme dapat berkembang biak dengan mudah pada daging disebabkan daging merupakan bahan makanan yang kaya akan kandungan air dan protein (perishable food). Tingginya cemaran mikroorganisme pada daging dapat menurunkan kualitas daging dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan konsumen. Berkaitan dengan hal tersebut, harus dilakukan upaya untuk menyediakan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Salah satunya adalah dengan pengawasan melalui program monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroorganisme (Dartini et al. 2003; Handayani et al. 2004).

(50)

Hipotesa Penelitian

Hipotesa penelitian ini adalah tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi dari pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat diduga telah memenuhi Standar Nasional Indonesia 3924:2009 tentang Mutu Karkas dan Daging Ayam dan Standar Nasional Indonesia 3932:2008 tentang Mutu Karkas dan Daging Sapi. Pendugaan ini dilakukan berdasarkan pengujian jumlah total mikroorganisme, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi dari beberapa pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat dengan menghitung jumlah total mikroorganisme, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli.

Manfaat Penelitian

(51)

TINJAUAN PUSTAKA

Daging Sapi

Daging adalah semua jaringan hewan, baik yang berupa daging dari karkas, organ, dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan bagi yang memakannya (Soeparno 1992). Daging digunakan sebagai penganekaragaman sumber pangan karena daging dapat menimbulkan kepuasaan dan kenikmatan bagi yang memakannya. Kandungan gizi dari daging sangat lengkap sehingga keseimbangan gizi dapat terpenuhi. Daging yang biasa dikonsumsi oleh manusia adalah daging yang berasal dari sapi, kerbau, kambing atau domba, babi, kuda, unggas, dan ikan serta organisme lain yang hidup di darat dan di laut.

Komposisi kimia daging terdiri dari air 75%, protein 19%, lemak 2.5%, dan substansi bukan protein terlarut 3.5% yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral, dan vitamin (Lawrie 1995). Menurut Lukman et al. (2009) secara umum daging terdiri dari 75% air, 19% protein, 2.5% lemak, dan komposisi lain sebesar 3.30% yang terdiri dari nitrogen non protein, karbohidrat, dan mineral.

Protein merupakan komponen kimia terpenting yang ada di dalam daging, serta sangat dibutuhkan untuk proses pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan kesehatan. Nilai protein yang tinggi pada daging disebabkan oleh asam amino esensialnya yang lengkap. Daging mengandung energi yang ditentukan oleh kandungan lemak intraseluler di dalam serabut-serabut otot. Daging juga mengandung kolesterol meskipun dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan jeroan dan otak. Secara umum, daging merupakan sumber mineral seperti kalsium, fosfor, zat besi, serta vitamin B kompleks, tetapi rendah vitamin C (Lawrie 2003).

Daging Ayam

(52)

masyarakat jika dibandingkan dengan daging sapi. Struktur daging ayam sama halnya seperti daging hewan lainnya, sangat kompleks dan sangat luas. Lemak pada daging ayam banyak ditemukan di bawah kulit. Kandungan asam lemak tidak jenuhnya juga lebih besar daripada daging hewan lainnya.

Menurut Lukman et al. (2009) komposisi daging ayam memiliki protein yang sangat tinggi khususnya bagian dada yaitu 23.3%, kandungan air 74.4%, lemak 1.2%, dan abu sebesar 1.1%. Warna daging ayam terutama bagian dada biasanya berwarna putih-kuning-keabuan, sedangkan warna bagian kaki relatif lebih gelap atau merah coklat. Warna daging ayam dipengaruhi oleh ras, umur, letak otot, penanganan sebelum dan sesudah pemotongan. Nilai pH juga berpengaruh pada kualitas daging ayam, yaitu terhadap warna, keempukan, dan daya ikat air. Nilai pH daging ayam setelah 24 jam (pasca mati) adalah 5.5-5.9 (Lukman et al. 2009).

Cemaran Mikroorganisme pada Daging

Penyebaran mikroorganisme yang tumbuh pada bahan pangan asal hewan dan hasil olahannya pada umumya terdiri dari bakteri, jamur/kapang, virus dan terdapat juga binatang satu sel. Daging memiliki karakter yang sama seperti bahan makanan manusia yang lainnya, disukai oleh mikroorganisme dan dapat dicemari oleh mikroorganisme tersebut. Invasi mikroorganisme tersebut dalam daging (infeksi) menyebabkan produk tersebut tidak menarik akibat terjadi beberapa perubahan (pembusukan). Mikroorganisme yang dapat menyebabkan daging busuk dapat diperoleh melalui infeksi hewan hidup (penyakit endogenous) atau dengan kontaminasi daging pasca mati (penyakit eksogenous) (Lawrie 2003).

(53)

Pertumbuhan mikroorganisme dalam daging, dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna, ataupun daya simpannya. Pertumbuhan mikroorganisme dalam daging juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga daging tersebut tidak layak dikonsumsi (Siagian 2002). Daging memiliki potensi bahaya yaitu biologi, fisik, dan kimia. Dari ketiga potensi bahaya tersebut, yang berhubungan erat dengan daya simpan daging karena menyebabkan pembusukan dan bahaya pangan adalah adanya cemaran mikroba (Mukartini et al. 1995).

Kehadiran bakteri pada kasus food-borne infection atau food poisoning kemungkinan berasal dari hewan atau manusia yang mencemari bahan makanan yang dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat. Hal ini menyebabkan bahan makanan merupakan sumber potensial untuk tercemar bakteri dan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Bahan makanan, baik dalam bentuk padat ataupun cair, sangat mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme (Hobbs 1970).

Daging merupakan bahan pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan oleh mikroorganisme. Kerusakan daging ditandai oleh adanya perubahan bau dan timbulnya lendir yang biasanya terjadi jika jumlah mikroorganisme menjadi jutaan atau ratusan sel per 1 cm2 luas permukaan daging. Dosis dari bakteri untuk mampu menginfeksi atau memproduksi toksin berbeda-beda, tergantung resistensi dari tiap-tiap hewan atau manusia yang memakan bahan makanan tersebut (Hobbs 1970).

Menurut Usmiati (2010), kerusakan daging oleh mikroorganisme terutama disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dengan tanda-tanda sebagai berikut :

a. Pembentukan lendir. b. Perubahan warna.

c. Perubahan bau menjadi busuk karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti ammonia, H2S,

mercaptan, dan senyawa lain-lain.

d. Perubahan rasa menjadi asam dan pahit karena pertumbuhan bakteri pembentuk asam dan senyawa pahit.

(54)

Soeparno (1992) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging disebabkan oleh:

a. Faktor intrinsik termasuk nilai nutrisi daging, keadaan air, pH, potensi oksidasi-reduksi, dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat. b. Faktor ekstrinsik, misalnya temperatur, kelembaban relatif, keberadaan

oksigen, dan keadaan fisik daging.

Pengujian mikroorganisme untuk makanan tidak dilakukan untuk semua parameter uji, tetapi hanya mengacu pada persyaratan untuk bahan makanan tertentu, misalnya daging ayam (SNI 3924:2009), meliputi Total Plate Count (TPC), MPN Coliform, MPN E.coli, identifikasi Salmonella, dan angka Staphylococcus aureus.

Penghitungan Jumlah Total Mikroorganisme dengan Metode

Total Plate Count (TPC)

Bakteri merupakan organisme yang sangat kecil dan bersel tunggal (mikroorganisme). Mikroorganisme sangat mudah ditemukan dimana saja, di tanah, air, debu, dan pada udara. Terdapat beribu-ribu perbedaan tipe dan bentuk mikroorganisme tergantung fungsi dan kegunaannya. Beberapa bakteri ada yang dapat digunakan sebagai bahan untuk pupuk, dapat juga sebagai flora normal dalam tubuh manusia dan hewan, dan dapat membantu proses fermentasi seperti produksi bir atau wine dan pengolahan keju. Jumlah mikroorganisme yang berbahaya dan menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan hanya sedikit dibandingkan total populasi mikroorganisme (Pelczar & Chan 2008).

(55)

ditentukan setelah larutan bahan atau biakan mikroorganisme diencerkan dengan faktor pengenceran tertentu dan ditumbuhkan dalam media dengan cara tertentu tergantung dari macam dan sifat-sifat mikroorganisme (Gobel et al. 2008).

Penghitungan jumlah total mikroorganisme merupakan salah satu aspek dalam pengujian cemaran mikroorganisme untuk menunjukkan jumlah kandungan mikroorganisme dalam suatu produk, agar produk yang beredar di masyarakat terjamin keamanannya. Metode Total Plate Count (TPC) merupakan suatu pengujian yang digunakan untuk menentukan daya simpan suatu produk, ditinjau dari besar kecilnya tingkat cemaran mikroorganisme pada produk tersebut.

Pengujian TPC merupakan cara yang paling sensitif dalam menghitung jumlah total cemaran mikroorganisme. Keuntungannya antara lain:

a. Hanya sel yang masih hidup yang dihitung. b. Beberapa jenis mikroba dapat dihitung sekaligus.

c. Dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba lainnya, khususnya koloni yang tumbuh dari satu sel mikroba dengan penampakan pertumbuhan spesifik.

Menurut Widyastika (2008), disamping keuntungan-keuntungan tersebut, pengujian TPC juga memiliki kelemahan, yaitu:

a. Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel mikroorganisme yang sebenarnya, karena beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk satu koloni.

b. Media dan kondisi yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang berbeda. c. Mikroorganisme yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada media padat dan

membentuk koloni yang kompak dan jelas, tidak menyebar.

d. Memerlukan persiapan dan waktu inkubasi beberapa hari atau hingga pertumbuhan koloni dapat dihitung.

Penghitungan Jumlah Staphylococcus aureus dengan Metode

Total Plate Count (TPC)

(56)

aureus tumbuh baik pada suhu 37 oC. Batas suhu pertumbuhan S. aureus adalah 15 oC dan 40 oC, sedangkan suhu pertumbuhan optimumnya adalah 35 oC. Staphylococcus aureus bersifat anaerob fakultatif, dapat tumbuh dalam udara yang mengandung hidrogen, dan pH optimum pertumbuhannya adalah 7.4 (Dianasari 2009).

Adapun klasifikasi S. aureus menurut Songer dan Post (2005) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Protista Divisio : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales

Familia : Enterobacteriaceae Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus dapat memfermentasi manito

Gambar

Tabel 1 Lokasi dan jumlah sampel daging sapi dan daging ayam yang diambil di Provinsi Jawa Barat
Gambar 2 Tabung yang menunjukkan hasil positif (keruh dan terdapat gas) pada EC broth
Gambar 3 Koloni E. coli pada media LEMB agar.
Tabel 2 Pemeriksaan jumlah cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi di 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Widagdo (2002), melakukan penelitian tentang atribut-atribut kualitas audit oleh kantor akuntan publik yang mempunyai pengaruh terhadap kepuasan klien. Terdapat 12 atribut

Sedangkan menurut Sukatamsi (1984: 158) menggiring bola diartikan dengan gerakan lari menggunakan bagian kaki mendorong bola agar bergulir terus menerus

Berdasarkan pengolahan data dengan menggunakan metode Crashing with CPM dan Linear Programming, hasil yang ditampilkan memiliki beberapa perbedaan dari jumlah

25 Sehingga, pada pasien hipertensi, penting sekali akan peranan serta dukungan keluarga untuk membantu mengawasi ketaatan pasien dalam minum obat dan melakukan

Akurasi waktu penyinaran pesawat sinar-X tersebut memiliki penyimpangan terbesar pada titik 100 ms sebesar 1 % sedangkan nilai lolos uji yaitu <10 % berarti

Kelenjar hipofisa tikus yang diamati pada penelitian ini terbagi atas pars tuberalis (PT), pars distalis (PD) dan pars intermedia (PI), sedangkan neurohipofisa hanya

Internal controls and assessing control effectiveness (incl CIS) plus Appendix 1 (Documentation techniques) Appendix 2 (Transaction cycles) & Appendix 5 (Data sources

It is important for an auditor to consider audit and business risk when planning, carrying out and coming to an opinion on the financial statements of a company..