• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jumlah Total Mikroorganisme pada Telur Ayam dan Bebek yang Dijual di Pasar Tradisional di Wilayah Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jumlah Total Mikroorganisme pada Telur Ayam dan Bebek yang Dijual di Pasar Tradisional di Wilayah Provinsi Jawa Barat"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

ELLANGGA EKO SURYO NUGROHO. Total Plate Count of Chicken and Duck Eggs from Traditional Markets of West Java

.

Under direction of TRIOSO PURNAWARMAN.

The objective of this research was to study the total plate count of chicken and duck eggs in West Java. This research consist of two parts, data collection using questionnaire and laboratory work. The questionnaire was collected from 35 eggs traders in traditional market of West Java, then analyzed descriptively. There were 25 chicken eggs and 10 duck eggs taken in purpose from traditional markets for sampel testing. The average result of microorganism on chicken eggs in Purwakarta, Bogor, Cianjur, Indramayu district, and Cirebon municipality was 1.2 x 102 cfu/ml, 2.0 x 101 cfu/ml, 1.2 x 101 cfu/ml, 2.9 x 102 cfu/ml, and 6.8 x 105 cfu/ml respectively. The average result of the total plate count on duck eggs in

Indramayu district and Cirebon municipality was 1.2 x 103 cfu/ml and 2.8 x 104 cfu/ml respectively. Based on SNI 3926:2008, the maximum limit of

total plate count on chicken and duck eggs was 1.0 x 105 cfu/ml. The result showed that number of microorganism did not comply with SNI of chicken and duck eggs were 4% and 10%.

(2)

JUMLAH TOTAL MIKROORGANISME PADA TELUR AYAM

DAN BEBEK YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL

DI WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT

ELLANGGA EKO SURYO NUGROHO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Jumlah Total Mikroorganisme pada Telur Ayam dan Bebek yang Dijual di Pasar Tradisional di Wilayah Provinsi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

(4)

ABSTRACT

ELLANGGA EKO SURYO NUGROHO. Total Plate Count of Chicken and Duck Eggs from Traditional Markets of West Java

.

Under direction of TRIOSO PURNAWARMAN.

The objective of this research was to study the total plate count of chicken and duck eggs in West Java. This research consist of two parts, data collection using questionnaire and laboratory work. The questionnaire was collected from 35 eggs traders in traditional market of West Java, then analyzed descriptively. There were 25 chicken eggs and 10 duck eggs taken in purpose from traditional markets for sampel testing. The average result of microorganism on chicken eggs in Purwakarta, Bogor, Cianjur, Indramayu district, and Cirebon municipality was 1.2 x 102 cfu/ml, 2.0 x 101 cfu/ml, 1.2 x 101 cfu/ml, 2.9 x 102 cfu/ml, and 6.8 x 105 cfu/ml respectively. The average result of the total plate count on duck eggs in

Indramayu district and Cirebon municipality was 1.2 x 103 cfu/ml and 2.8 x 104 cfu/ml respectively. Based on SNI 3926:2008, the maximum limit of

total plate count on chicken and duck eggs was 1.0 x 105 cfu/ml. The result showed that number of microorganism did not comply with SNI of chicken and duck eggs were 4% and 10%.

(5)

RINGKASAN

ELLANGGA EKO SURYO NUGROHO. Jumlah Total Mikroorganisme pada Telur Ayam dan Bebek yang Dijual di Pasar Tradisional di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan bebek di Jawa Barat. Penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu pengumpulan kuesioner dan pengujian sampel di laboratorium. Kuesioner dikumpulkan dari 35 pedagang telur di pasar tradisional Jawa Barat kemudian dibahas secara deskriptif. Sampel untuk pengujian terdiri dari 25 telur ayam dan 10 telur bebek yang di ambil secara purposif dari pasar-pasar tradisional. Hasil rata-rata jumlah total mikroorganisme pada telur ayam di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu dan Kota Cirebon berturut-turut adalah 1.2x102 cfu/ml, 2.0x101 cfu/ml, 1.2x101 cfu/ml, 2.9x102 cfu/ml dan 6.8x105 cfu/ml. Hasil rata-rata jumlah total mikroorganisme pada telur bebek di Kabupaten Indramayu dan Kota Cirebon adalah 1.2x103 cfu/ml dan 2.8x104 cfu/ml. Berdasarkan SNI 3926:2008 jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan bebek adalah sebesar 1.0x105 cfu/ml. Hasil menunjukkan jumlah total mikroorganisme yang tidak sesuai SNI 3926: 2008 dari sampel telur ayam dan bebek adalah 4% dan 10%.

Kata kunci : jumlah total mikroorganisme, telur ayam, telur bebek, Jawa Barat.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak mengurangi kepentingan yang wajar IPB

(7)

JUMLAH TOTAL MIKROORGANISME PADA TELUR AYAM

DAN BEBEK YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL

DI WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT

ELLANGGA EKO SURYO NUGROHO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Bebek yang Dijual di Pasar Tradisional di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Nama penulis : Ellangga Eko Suryo Nugroho NIM : B04070127

Disetujui, Pembimbing

Diketahui, Wakil Dekan FKH IPB

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet. 19630810 198803 1 004

Tanggal Lulus :

(9)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya juga atas junjungan besar Rasullullah Muhammad SAW sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dimulai pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 2009 dengan judul Jumlah Total Mikroorganisme pada Telur Ayam dan Bebek yang Dijual di Pasar Tradisional di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan doa berbagai pihak. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada:

1. Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan serta dedikasinya.

2. Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang selama ini telah memberi banyak motivasi, perhatian, bimbingan, arahan, doa, serta banyak ilmu yang tak ternilai.

3. Kedua orang tua tercinta yaitu Bapak Djoko Mukti Nugroho dan Ibu Widiyaningsih yang selalu memberikan doa dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Dosen-dosen di bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) lainnya yang sering membantu dalam penelitian serta petugas laboratorium kesmavet yaitu Bapak Tedi dan Bapak Hendra yang juga sudah banyak membantu.

5. Teman-teman satu Pembimbing Akademik dan satu penelitian. 6. Sahabat-sahabat terdekatku.

7. Teman-teman Gianuzzi Angkatan 44 FKH dan HIMPRO HKSA FKH IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi masyarakat luas dan menginspirasi bagi yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2012

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Jakarta pada tanggal 16 Oktober 1989 dari pasangan Djoko Mukti Nugroho dan Widiyaningsih. Penulis merupakan anak tunggal.

Penulis memulai pendidikan Formal pada tahun 1995 di Sekolah Dasar (SD) Negeri Manggarai 01 Pagi Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Penulis kemudian masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 7 Jakarta dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada jurusan kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan.

(11)
(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi zat di dalam telur ... 3

2. Komposisi telur segar ... 5

3. Kerusakan pada telur ... 7

4. Batas maksimum cemaran mikroba pada telur ... 9

5. Lokasi dan jumlah sampel telur ayam dan bebek yang diambil di Provinsi Jawa Barat ... 10

6. Pengamatan lama waktu penjualan telur di pasar tradisional kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat ... 14

7. Pemeriksaan jumlah total mikroorganisme pada telur ayam di Provinsi Jawa Barat ... 15

8. Pemeriksaan jumlah total mikroorganisme pada telur bebek di Provinsi Jawa Barat ... 16

9. Persyaratan mutu mikrobiologis isi telur ayam konsumsi ... 16

10. Jumlah total mikroorganisme pada setiap sampel telur ayam di 5 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat ... 17

11. Jumlah total mikroorganisme pada setiap sampel telur bebek di 2 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat ... 17

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Telur pada umumnya digemari masyarakat karena harganya terjangkau dan mengandung zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Telur merupakan salah satu sumber protein hewani yang memiliki rasa yang sangat lezat, mudah dicerna dan bergizi tinggi. Telur memiliki kandungan gizi yang hampir sempurna, dan merupakan persediaan pangan selama embrio mengalami perkembangan di dalam telur, tanpa makanan tambahan dari luar (Haryoto 1996).

Telur terdiri dari protein 13%, lemak 12%, serta vitamin dan mineral. Protein telur yang dapat diserap dan dimanfaatkan tubuh (nilai biologis) mencapai 96%. Telur merupakan sumber protein terbaik karena mengandung semua unsur asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh (Uno 2007). Asam amino ini sangat dibutuhkan oleh manusia karena tidak dapat dibentuk sendiri oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi dari makanan. Kandungan gizi sebutir telur ayam dengan berat 100 gram terdiri dari protein 12.8 gram, karbohidrat 0.7 gram, lemak 11.5 gram, air 66.1 gram, vitamin 7.9 gram dan mineral 1 gram (Haryoto 1996).

Telur merupakan bahan pangan asal hewan yang mudah mengalami kerusakan. Kerusakan pada telur dapat terjadi secara fisik, kimia maupun biologis, sehingga terjadi perubahan selama masa penyimpanan. Oleh karena itu, dalam pemilihan telur perlu memperhatikan kualitasnya. Kualitas sebutir telur secara keseluruhan tergantung pada kualitas telur bagian dalam (isi telur) dan kualitas telur bagian luar atau kulit telur (Sudaryani 2006).

(16)

protein yang menutupi kulit telur telah rusak dan lubang-lubang kecil yang terdapat pada permukaan telur yang disebut pori-pori (Uno 2007).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan bebek yang dijual di pasar tradisional di wilayah Provinsi Jawa Barat.

Manfaat

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Telur

Telur merupakan bahan pangan asal hewan yang mempunyai daya pengawet alamiah yang paling baik, karena memiliki suatu pelindung kimia dan fisis terhadap infeksi mikroba. Mekanisme ini sebenarnya dibuat untuk melindungi embrio unggas sehingga terjamin pertumbuhannya sampai ia menjadi anak unggas (Lukman et al. 2009b).

Telur tersusun dari kulit, kantung udara dan isi yang terdiri dari putih telur dan kuning telur. Kulit telur mempunyai tekstur yang kaku dan cukup kuat untuk melindungi isi telur dari pengaruh luar. Putih telur dan kuning telur sebenarnya dipersiapkan sebagai makanan bagi pertumbuhan embrio (Muchtadi dan Sugiyono 1992).

Telur merupakan salah satu bahan pangan yang paling lengkap gizinya. Bahan pangan ini juga bersifat serba guna karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Komposisi sebutir telur terdiri dari 11% kulit telur, 58% putih telur dan 31% kuning telur (Sudaryani 2006).

Telur pada umumnya memiliki berat sekitar 55-60 gram per butirnya. Komposisi zat yang terkandung di dalam setiap telur sebagai berikut.

Tabel 1 Komposisi zat di dalam telur (Riyanto 2006)

Komposisi Air (%) Protein (%) Lemak (%) Lainnya (%)

(18)

Telur biasanya juga mengandung semua vitamin yang sangat dibutuhkan kecuali vitamin C. Vitamin larut lemak (A, D, E, dan K), vitamin yang larut air (thiamin, riboflavin, asam pantotenat, niasin, asam folet dan vitamin B12). Kuning telur cukup tinggi kandungan kolesterolnya (Muchtadi dan Sugiyono 1992).

Telur Ayam

Telur ayam merupakan telur yang paling populer di kalangan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang biasa diperdagangkan maupun dikonsumsi manusia. Terdapat dua jenis telur ayam yaitu telur ayam lokal (buras) dan telur ayam negeri (ras). Telur ayam lokal harganya lebih mahal dibandingkan telur ayam negeri karena ketersediannya sangat terbatas dan anggapan lebih berkhasiat (Muchtadi dan Sugiyono 1992).

Telur ayam segar konsumsi menurut Standar Nasional Indonesia (2008) Nomor 3926:2008 tentang Telur Ayam Konsumsi adalah telur ayam yang tidak mengalami proses fortifikasi, pendinginan, pengawetan dan proses pengeraman. Telur tersusun atas tiga bagian utama yaitu kerabang dengan membran kerabang, putih telur dan kuning telur.

(19)

5

Gambar 1 Struktur dan bagian-bagian telur (Anonim 2011).

Tabel 2 Komposisi telur segar (Mine 2008) Komponen

Telur

Komposisi (%)

Kadar Air Protein Lemak Karbohidrat Mineral Telur Utuh

(100%)

66.1 12.8-13.4 10.5-11.8 0.3-1.0 0.8-1.0 Kerabang

(9-11%)

1.6 6.2-6.4 0.03 - 91-92 Putih Telur

(60-63%)

87.6 9.7-10.6 0.03 0.4-0.9 0.5-0.6 Kuning Telur

(28-29%)

48.7 15.7-16.6 31.8-35.5 0.2-1.0 1.1

Telur Bebek

Telur bebek juga ada 2 jenis yaitu yang berwarna biru dan berwarna putih. Masing-masing dari telur ini dihasilkan oleh jenis bebek yang berbeda. Telur bebek memiliki komposisi kadar air (70.4%), protein (13.3%), lemak (14.5 %), karbohidrat (0.7%), dan abu (1.1%) (Muchtadi dan Sugiyono 1992).

(20)

lama dibandingkan dengan daya simpan telur ayam dalam kondisi lingkungan yang sama (Srigandono 1986).

Mekanisme Kontaminasi

Telur merupakan salah satu bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan oleh mikroorganisme berupa bakteri. Hal ini disebabkan telur memiliki komposisi zat gizi yang baik sehingga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri itu sendiri. Kerusakan telur oleh bakteri terjadi karena bakteri masuk ke dalam telur sejak telur berada di dalam maupun telur sudah berada di luar tubuh induknya (Uno 2007).

Messens et al. (2005) menyatakan bahwa kontaminasi pada telur dapat disebabkan oleh mikroba yang diawali dengan masuknya mikroba ke dalam telur melalui pori-pori dan selaput lendir. Penetrasi mikroba ke dalam telur dipengaruhi oleh beragam faktor baik intrinsik maupun ekstrinsik. Faktor intrinsik misalnya kandungan kutikula pada kulit telur, komponen membran kulit telur dan karakteristik kulit telur (kualitas kerabang, porositas dan kecacatan). Faktor ekstrinsik antara lain jumlah dan jenis bakteri, suhu, kelembaban, imersi dan kondisi penyimpanan.

Bakteri yang masuk ke dalam telur melalui kulit telur yang berpori, jika semakin lama telur tersebut maka semakin banyak bakteri yang akan masuk melalui pori-pori yang ada pada kerabang tersebut (Messens et al. 2005). Sejak dikeluarkan dari kloaka, telur mengalami berbagai perubahan karena pengaruh waktu dan kondisi lingkungan yang akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada telur. Kerusakan tersebut dapat terjadi di luar dan di dalam isi telur. Kerusakan yang disebabkan oleh mikroba pada mulanya berasal dari luar telur merambat dari kulit telur ke putih telur dan akhirnya ke kuning telur. Saat telur baru dikeluarkan oleh ayam, telur masih cukup steril. Mikroba akan mengkontaminasi kulit telur dan seterusnya akan memasuki pori-pori telur dan membran telur pada putih telur bahkan dapat memasuki kuning telur. Kerusakan ini ditandai oleh adanya penyimpangan warna dan timbulnya bau busuk dari isi telur (Winarno 2002).

(21)

senyawa-7

senyawa yang ada di dalam telur menjadi senyawa berbau khas yang mencirikan kerusakan telur. Pada umumnya penyimpanan suhu rendah (sekitar 0 oC) dapat membatasi pertumbuhan mikroba. Meskipun demikian, kerusakan masih dapat terjadi, yang dapat dilihat pada Tabel 3 (Anjarsari 2010).

Tabel 3 Kerusakan pada telur (Anjarsari 2010)

No. Nama Kerusakan Penyebab Lokasi Ciri-ciri 1. Green rot Pseudomonas 2. Colourless rot Pseudomonas

atau

Sebelum Ditelurkan (Before Laying)

Sebelum telur dikeluarkan, yaitu semasa masih di oviduct (saluran telur) kontaminasi dapat terjadi meskipun dalam saluran telur ditemukan zat-zat anti mikroba untuk mencegah kontaminasi yang berasal dari kloaka ayam. Beberapa peneliti menyatakan bahwa karena pembuluh darah (vena dan arteri) dapat pecah (ruptura), darah yang mengandung bakteri pada saat bakteremia akan masuk ke dalam telur bila pecahnya pembuluh darah tersebut terjadi di dalam saluran telur (blood-borne organism) (Lukman et al. 2009b).

(22)

Sumber kontaminasi terpenting adalah debu, tanah dan feses. Association Human Salmonellosis International melaporkan bahwa kasus penularan rute oviducal sering terjadi pada telur akibat infeksi oleh Salmonella sp. Sangat sedikit telur yang mengandung mikroorganisme Saprophytic pada saat bertelur. Ketika ovari terkontaminasi oleh bakteri Saprophytic, jumlahnya sangat rendah. Status mikrobial pada oviposisi sebagai insiden penyebab kebusukan berasal dari faktor penyimpanan telur pada periode yang lama (Stadelman dan Cotterill 1995).

Setelah Ditelurkan (After Laying)

Masuknya bakteri ke dalam telur setelah telur berada di luar tubuh induknya misalnya berasal dari kotoran yang menempel pada kulit telur. Kotoran tersebut diantaranya adalah debu, tanah dan feses yang banyak mengandung bakteri perusak. Bakteri ini masuk ke dalam telur melalui kulit telur yang retak atau menembus kulit ketika lapisan tipis protein yang menutupi kulit telur telah rusak dan lubang-lubang kecil yang terdapat pada permukaan telur yang disebut pori-pori (Pelczar dan Chan 1988).

Mikroorganisme pada Telur

Kontaminasi pada umumnya berasal dari jerami tempat bertelur, tanah dan kotoran unggas. Mikroorganisme yang sering mengontaminasi telur terutama adalah bakteri kokus Gram positif seperti Staphylococcus aureus, selain itu bakteri Gram negatif batang juga terdapat dalam jumlah kecil. Bakteri penyebab kebusukan telur terutama adalah bakteri Gram negatif seperti Pseudomonas, Serratia, Proteus, Alcaligenes, dan Citrobacter. Pertumbuhan bakteri Gram negatif lebih dirangsang karena adanya komponen-komponen pelindung dan antimikroba sehingga menyebabkan bakteri Gram positif lebih sukar tumbuh. Isi telur mudah terkontaminasi jika telur dicuci atau disimpan dengan cara yang salah. Mutu isi telur tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya kondisi dan mutu telur, cara pencucian dan sanitasi telur, sanitasi wadah, cara pemecahan telur dan suhu serta waktu penyimpanan isi telur (Fardiaz 1992).

(23)

9

Kuman dapat terbawa sejak ternak masih hidup atau masuk di sepanjang rantai pangan hingga ke tangan konsumen. Berbagai cemaran tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada konsumen (Gorris 2005). Batas maksimum cemaran mikroba di dalam telur dan produk telur dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Batas maksimum cemaran mikroba pada telur (SNI 2000) Indikator Telur Segar

(cfu/ml)

Tepung Telur (cfu/ml)

Telur Beku (cfu/ml) TPC 1,0x105 <2,5x103 <2,5x103 Coliform <1,0x102 <1,0x101 <1,0x101 E.Coli 1,0x101 1,0x101 1,0x101 S.aureus <1,0x102 0 1,0x101 Salmonella sp. Negatif Negatif Negatif

(24)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan, dimulai dari bulan Agustus sampai Oktober 2009. Sampel telur diambil dari lima lokasi berbeda di Jawa Barat yaitu: Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta dan Kota Cirebon. Pengujian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Responden

Data kuesioner diperoleh dari 35 responden (25 dari pedagang telur ayam dan 10 dari pedagang telur bebek) yang ditentukan secara purposif dari beberapa lokasi pasar di Provinsi Jawa Barat. Kuesioner dari pedagang telur ayam diambil dari 5 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta, dan Kota Cirebon, masing-masing sebanyak 5 responden. Kuesioner dari pedagang telur bebek diambil dari 2 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Indramayu dan Kota Cirebon masing-masing 5 responden.

Besaran Sampel

Sampel yang digunakan berasal dari kuning telur ayam ras dan kuning telur bebek. Sampel terdiri dari 25 butir telur ayam ras yang diambil dari 5 kabupaten/kota dan 10 butir telur bebek yang diambil dari 2 kabupaten/kota yang dipilih secara acak dari beberapa lokasi pasar berbeda di Jawa Barat.

Tabel 5 Lokasi dan jumlah sampel telur ayam dan bebek yang diambil di Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Telur ayam Telur bebek 1. Kabupaten Cianjur 5 - 2. Kabupaten Indramayu 5 5 3. Kabupaten Bogor 5 - 4. Kabupaten Purwakarta 5 -

(25)

11

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas ukur, gelas erlenmeyer, cawan petri, pipet volumetrik, inkubator, alat pengocok, bunsen, ose, kapas, plastik dan label.

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kuning telur (11 ml), buffered pepton water (BPW) 0.1% (99 ml dan 9 ml) dan plate count agar (PCA).

Kuesioner

Metode penelitian dilakukan dengan metode survei dan merupakan studi cross sectional. Data yang dikumpulkan merupakan data primer yang meliputi jenis pemasok, frekuensi pengiriman telur, lama waktu penjualan telur, cara penanganan telur, pendidikan dan penyuluhan.

Pengujian Sampel

Metode yang digunakan untuk pemeriksaan jumlah total mikroorganisme pada telur digunakan metode hitungan cawan yang dilakukan dengan metode tuang (pour plate method) yaitu pemupukan dengan memasukkan sejumlah contoh (1.0 ml) atau contoh yang telah diencerkan ke dalam cawan petri steril, kemudian dituang 12-15 ml media agar cair (suhu 44-46 oC), setelah agar memadat, cawan petri diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam.

(26)

Dalam pemeriksaan jumlah mikroorganisme ini, pemupukan dilakukan dari pengenceran desimal 10-1 sampai pengenceran desimal 10-3. Pemupukan dilakukan dengan cara memasukkan 1 ml masing-masing pengenceran ke dalam cawan petri steril yang telah diberi label sebelumnya, yang disesuaikan dengan angka pengenceran. Masing-masing cawan petri tersebut dituang 12-15 ml PCA (suhu 44-46 oC). Setelah itu dihomogenkan isinya secara perlahan diperhatikan jangan sampai cairan tersebut keluar dari cawan petri dan didiamkan pada suhu ruangan agar memadat kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam.

Pengamatan dan Penghitungan Jumlah Mikroorganisme

Pengamatan dilakukan setelah inkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC. Penghitungan mikroorganisme dilakukan dengan melakukan penghitungan jumlah koloni yang tumbuh. Penghitungan jumlah koloni ini menggunakan alat bantu hitung dan Quebec colony counter.

Penghitungan jumlah mikroorganisme dilakukan pada semua koloni yang tumbuh dalam setiap cawan petri. Jumlah mikroorganisme per ml dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Jumlah mikroorganisme per ml = jumlah koloni x 1

Faktor pengenceran

Pedoman penghitungan jumlah mikroorganisme (Lukman et al. 2009a)

Cawan yang dipilih dan dihitung adalah yang mengandung jumlah koloni antara 25 sampai 250.

Beberapa koloni yang bergabung menjadi satu merupakan suatu kumpulan koloni yang besar yang jumlah koloni yang diragukan dapat dihitung sebagai satu koloni.

Suatu deretan (rantai) koloni yang terlihat sebagai satu garis tebal dihitung sebagai satu koloni.

Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua, yaitu angka pertama di depan koma dan angka ke dua di belakang koma. Jika angka ketiga ≥ 5 maka harus dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka yang kedua.

(27)

13

terendah. Hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 25 dikalikan dengan besarnya pengenceran dan dicantumkan jumlah sesungguhnya di dalam tanda kurung.

Jika semua pengenceran yang dipupuk menghasilkan angka lebih dari 250 koloni per cawan petri, hanya koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung hasilnya dilaporkan sebagai lebih besar dari 250 dikalikan besarnya pengenceran dan jumlah sesungguhnya dilaporkan di dalam tanda kurung.

Jika terdapat dua cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan jumlah koloni antara 25-250 dan perbandingan antara hasil pengenceran tertinggi dan terendah < 2.0 maka dilaporkan rata-rata jumlah kedua cawan tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan keduanya ≥ 2.0 maka dilaporkan hasil dari pengenceran terkecil (dengan memperhitungkan pengencerannya).

Jika digunakan dua cawan petri (duplo) setiap pengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut, tidak boleh diambil salah satu, meskipun salah satu cawan tidak menghasilkan 25-250 koloni.

Jika pada pengenceran yang terendah menghasilkan angka 0, misal 0 x 10-1 maka hasilnya dilaporkan sebagai est < 101 di dalam tanda kurung.

Analisis Data

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Pedagang, Tempat Penjualan, dan Penanganan Telur

Data kuesioner mencakup pendidikan pedagang, lama waktu, jenis pemasok, lama waktu telur di tempat penjualan, cara penanganan telur, dan penyuluhan tentang penanganan telur. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa tingkat pendidikan para pedagang telur di pasar-pasar Provinsi Jawa Barat sangat beragam mulai dari tidak sekolah (3.5%), SD sederajat (31%), SMP sederajat (31%), SMA sederajat (31%) dan Perguruan tinggi (3.5%). Tingkat pendidikan para pedagang telur ini dapat mempengaruhi pola pikir dan pengetahuan tentang pelaksanaan higiene dan sanitasi yang baik pada telur.

Menurut hasil kuesioner sebesar (77%) pemasok telur di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat adalah pemasok tetap. Di pasar tradisional Kabupaten Bogor dan Purwakarta semua pedagang telur menerima pasokan telur dari pemasok tetap (100%), sedangkan beberapa pedagang di pasar Kabupaten Cianjur, Indramayu, dan Kota Cirebon masih menerima dari pemasok tidak tetap (20-40%). Upaya pelaksanaan kontrol pada telur yang dijual di pasar-pasar tradisional sangat dipengaruhi oleh pasokan telur dari pemasok tetap. Lama waktu penjualan telur di setiap kios di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat berbeda-beda. Rata-rata waktu terlama telur habis terjual terdapat pada Kabupaten Bogor dengan waktu 9.6 hari dan rata-rata waktu tercepat telur habis terjual terdapat pada Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta dengan masing-masing waktu 1 hari (Tabel 6).

Tabel 6 Pengamatan lama waktu penjualan telur di pasar tradisional kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

(29)

15

Penanganan telur yang dilakukan oleh para pedagang di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat tidak menyimpan telur dengan pendinginan. Semua pedagang telur (100%) menyimpan telur pada suhu kamar. Lamanya penyimpanan dapat menjadi faktor pemicu terjadinya kontaminasi pada telur. Menurut Standar Nasional Indonesia [SNI 3926:2008] tentang Telur Ayam Konsumsi, telur ayam paling lama disimpan pada suhu kamar maksimal 14 hari, dengan kelembaban antara 80-90%. Penyuluhan tentang penanganan telur yang baik adalah solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan para pedagang telur di pasar tradisional. Menurut hasil dari kuesioner hanya 2 dari 35 pedagang telur yang pernah menerima penyuluhan yaitu pedagang di Kabupaten Bogor.

Jumlah Total Mikroorganisme pada Telur Ayam dan Bebek

Pemeriksaan yang dilakukan terhadap 25 sampel telur ayam dan 10 sampel telur bebek adalah pemeriksaan jumlah total mikroorganisme. Hasil yang diperoleh untuk rataan jumlah total mikroorganisme telur ayam di Provinsi Jawa Barat adalah 1.3 x 105 cfu/ml dengan nilai maksimum 6.8 x 105 cfu/ml di Kota Cirebon dan nilai minimum sebesar 1.2 x 101 cfu/ml di Kabupaten Cianjur. Hasil yang diperoleh untuk rataan pada jumlah total mikroorganisme telur bebek di

(30)

Tabel 8 Pemeriksaan jumlah total mikroorganisme pada telur bebek di Provinsi Jawa Barat

No. Kabupaten/Kota Telur Bebek (cfu/ml) 1 Kota Cirebon 2.8 x 104 2 Kabupaten Indramayu 1.2 x 103

Berdasarkan hasil di atas, terlihat bahwa jumlah total mikroorganisme di setiap kabupaten/kota berbeda-beda. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor misalnya :

1. Perbedaan kondisi sanitasi peternakan yang merupakan sumber telur ayam maupun bebek.

2. Perbedaan kondisi sanitasi pasar tradisional di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat.

3. Perbedaan penerapan higiene personal dari setiap pedagang telur ayam maupun bebek.

Jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan bebek di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat setelah dibandingkan dengan

syarat mutu mikrobiologis (SNI 3926:2008 tentang Telur Ayam Konsumsi) pada Tabel 9, ternyata ditemukan 1 dari 25 sampel telur ayam (4%) melebihi dari yang ditetapkan oleh SNI yaitu telur ayam yang berasal dari kota Cirebon sebesar 3.4 x 106 cfu/ml (Tabel 10) dan ditemukan 1 dari 10 sampel telur bebek (10%) yang jumlah total mikroorganismenya melebihi dari yang ditetapkan oleh SNI yaitu telur bebek yang berasal dari Kota Cirebon sebesar 1.2 x 105 cfu/ml (Tabel 11).

Tabel 9 Persyaratan mutu mikrobiologis isi telur ayam konsumsi (SNI 3926:2008) No. Jenis Uji Satuan Persyaratan

(31)

17

Tabel 10 Jumlah total mikroorganisme pada setiap sampel telur ayam di 5 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

Kabupaten/Kota Telur Ayam (butir ke-)

1 2 3 4 5 2 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

Kabupaten/Kota Telur Bebek (butir ke-)

1 2 3 4 5

cfu/ml

Kota Cirebon 22 000 120 000 150 110 100 Kabupaten Indramayu 10 80 10 6 000 100

Tabel 12 Tingkat jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan bebek (%) di Provinsi Jawa Barat

No. Kabupaten/Kota Tidak Sesuai dengan SNI 3926:2008 Telur ayam

Gambaran Pedagang Telur dengan Jumlah Total Mikroorganisme pada Telur yang Dijual

(32)

dan bebek yang berasal dari Kota Cirebon dengan hasil masing-masing adalah 3.4 x 106 cfu/ml dan 1.2 x 105 cfu/ml. Setelah dikorelasikan dengan data kuesioner, kedua pedagang yang menjual telur tersebut memiliki tingkat pendidikan yang sama yaitu pada tingkat SMP dan salah satu dari pedagang tersebut membeli telur dari pemasok tidak tetap.

Apabila dilihat dari tingkat pendidikan pedagang dengan jumlah mikroorganisme pada telur yang dijualnya, ternyata tingkat pendidikan pedagang tidak berpengaruh terhadap jumlah mikroorganisme pada telur yang dijual. Hal ini dapat dilihat dari jumlah mikroorganisme yang terdapat pada telur yang dijual oleh pedagang yang tidak sekolah dengan pedagang yang memiliki tingkat pendidikan sampai perguruan tinggi. Jumlah mikroorganisme dari telur yang dijual oleh kedua pedagang tersebut masing-masing adalah 1.0 x 101 cfu/ ml dan 6.0 x 101 cfu/ml.

Menurut hasil kuesioner, lama waktu penjualan telur tercepat terdapat di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta, sedangkan yang terlama terdapat di Kabupaten Bogor. Jika dibandingkan dengan jumlah total mikroorganismenya ternyata rataan jumlah total mikroorganisme pada daerah tersebut masih di bawah standar SNI 3926:2008. Rataan jumlah total mikroorganisme di Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Bogor berturut-turut adalah 1.2 x 101 cfu/ml, 1.2 x 102 cfu/ml, dan 2.0 x 101 cfu/ml.

(33)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan bebek yang sesuai dengan SNI 3926:2008 yaitu sebesar 1.0 x 105 cfu/ml. Hasil rata-rata jumlah total mikroorganisme pada telur ayam di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu dan Kota Cirebon berturut-turut adalah

1.2 x 102 cfu/ml, 2.0 x 101 cfu/ml, 1.2 x 101 cfu/ml, 2.9 x 102 cfu/ml dan 6.8 x 105 cfu/ml. Hasil rata-rata jumlah total mikroorganisme pada telur bebek di

Kabupaten Indramayu dan Kota Cirebon adalah 1.2 x 103 cfu/ml dan 2.8 x 104 cfu/ml. Hasil tersebut jika dibandingkan dengan syarat mutu

mikrobiologis tersebut ternyata masih terdapat 4% dari 25 sampel telur ayam dan 10% dari 10 sampel telur bebek yang melebihi dari ketetapan SNI 3926:2008. Berdasarkan hasil penelitian ini jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan bebek menggambarkan bahwa kualitas dan keamanan pangan serta penanganan telur oleh para pedagang di pasar tradisional di wilayah Provinsi Jawa Barat masih rendah. Berdasarkan hasil kuesioner yang dibandingkan dengan hasil penelitian pada telur, tingkat pendidikan pedagang dan lama waktu telur habis terjual tidak begitu berpengaruh terhadap jumlah total mikroorganismenya, sedangkan jenis pemasok dan penyuluhan tentang penanganan telur cukup berpengaruh terhadap hasil jumlah total mikroorganisme pada telur yang dijual.

Saran

(34)

DAFTAR PUSTAKA

Anjarsari B. 2010. Pangan Hewani Fisiologi Pasca Mortem dan Teknologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

[Anonim]. 2011. Struktur telur. www.mymacrospace.com [10 Agustus 2011]

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Gorris LGM. 2005. Food safety objective: an integral part of food chain management. Food Control 16:801-809.

Haryoto. 1996. Pengawetan Telur Segar. Yogyakarta: Kanisisus.

Lukman et al. 2009a. Penghitungan jumlah mikroorganisme dengan metode hitungan cawan. Di dalam: Lukman DW, Purnawarman T, editor, Penuntun Praktikum Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Lukman et al. 2009b. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Messens W, Grijspeerdt K, Herman L. 2005. Egg shell penetration by Salmonella. J World Poult Sci 61(1):71-85.

Mine Y. 2008. Egg Bioscience and Biotechnology. Departement of Food Science University of Guelph. Wiley-interscience A John Wiley & Sons. Inc-Publication.

Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Pelczar, Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2. Jakarta: Universitas

Indonesia.

Riyanto A. 2006. Sukses Menetaskan Telur Ayam. Jakarta: AgroMedia Pustaka. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2000. SNI 01-6366-2000. Batas Maksimum

Cemaran Mikroba pada Telur. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2008. SNI 3926:2008. Telur Ayam Konsumsi.

Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

(35)

21

Stadelman WJ, Cotterill OJ. 1995. Egg Science and Technology. Ed ke-2. New York: The Avi Publ. Co. Inc. Rahway.

Sudaryani T. 2006. Kualitas Telur. Jakarta: Penebar Swadaya.

[USDA] United States Departement of Agriculture. 2000. Egg grading manual. Washington DC: Federal Crop Insurance Corporation (FGIC).

Uno WD. 2007. Jumlah bakteri pada telur ayam ras yang disimpan pada suhu refrigerator. Matsains 1(4):1-9.

(36)
(37)

23 3.1Jenis dan jumlah telur yang dijual

3.1.1 Jenis telur yang dijual : 1. Ayam

2. Bebek 3. Puyuh

4. Lain-lain, sebutkan : ... 3.1.2 Berapa rata-rata telur ayam (bebek) per hari :

Dijual/ disediakan : ... butir

(38)

KUISIONER PENELITIAN No:

TELUR

Tgl:

Enumerator: Kota/ kabupaten:

3.2Supplier

3.2.1 Jenis pemasok yang memasok telur ayam : 1. Pemasok tetap

2. Pemasok tidak tetap (berubah-ubah) 3.2.2 Pengiriman ayam ke tempat pengumpulan :

1. Teratur, sebutkan setiap hari/minggu/bulan : ... 2. Tidak teratur, sebutkan : ...

3.3Lama waktu telur di tempat penjualan

3.3.1 Waktu rata-rata telur berada di tempat penjualan : ... hari 3.3.2 Waktu tercepat : ... hari

3.3.3 Waktu terlama : ... hari

3.4Penyuluhan

3.4.1 Apakah pernah mendapat penyuluhan tentang penanganan telur yang baik :

1. Ya 2. Tidak

3.4.2 Jika ya, berapa kali : 1. Satu kali 2. Dua kali

3. Lebih dari 2 kali

3.4.3 Siapa yang memberikan penyuluhan : 1. Petugas dinas

2. Perguruan tinggi 3. LSM

(39)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Telur pada umumnya digemari masyarakat karena harganya terjangkau dan mengandung zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Telur merupakan salah satu sumber protein hewani yang memiliki rasa yang sangat lezat, mudah dicerna dan bergizi tinggi. Telur memiliki kandungan gizi yang hampir sempurna, dan merupakan persediaan pangan selama embrio mengalami perkembangan di dalam telur, tanpa makanan tambahan dari luar (Haryoto 1996).

Telur terdiri dari protein 13%, lemak 12%, serta vitamin dan mineral. Protein telur yang dapat diserap dan dimanfaatkan tubuh (nilai biologis) mencapai 96%. Telur merupakan sumber protein terbaik karena mengandung semua unsur asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh (Uno 2007). Asam amino ini sangat dibutuhkan oleh manusia karena tidak dapat dibentuk sendiri oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi dari makanan. Kandungan gizi sebutir telur ayam dengan berat 100 gram terdiri dari protein 12.8 gram, karbohidrat 0.7 gram, lemak 11.5 gram, air 66.1 gram, vitamin 7.9 gram dan mineral 1 gram (Haryoto 1996).

Telur merupakan bahan pangan asal hewan yang mudah mengalami kerusakan. Kerusakan pada telur dapat terjadi secara fisik, kimia maupun biologis, sehingga terjadi perubahan selama masa penyimpanan. Oleh karena itu, dalam pemilihan telur perlu memperhatikan kualitasnya. Kualitas sebutir telur secara keseluruhan tergantung pada kualitas telur bagian dalam (isi telur) dan kualitas telur bagian luar atau kulit telur (Sudaryani 2006).

(40)

protein yang menutupi kulit telur telah rusak dan lubang-lubang kecil yang terdapat pada permukaan telur yang disebut pori-pori (Uno 2007).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan bebek yang dijual di pasar tradisional di wilayah Provinsi Jawa Barat.

Manfaat

(41)

TINJAUAN PUSTAKA

Telur

Telur merupakan bahan pangan asal hewan yang mempunyai daya pengawet alamiah yang paling baik, karena memiliki suatu pelindung kimia dan fisis terhadap infeksi mikroba. Mekanisme ini sebenarnya dibuat untuk melindungi embrio unggas sehingga terjamin pertumbuhannya sampai ia menjadi anak unggas (Lukman et al. 2009b).

Telur tersusun dari kulit, kantung udara dan isi yang terdiri dari putih telur dan kuning telur. Kulit telur mempunyai tekstur yang kaku dan cukup kuat untuk melindungi isi telur dari pengaruh luar. Putih telur dan kuning telur sebenarnya dipersiapkan sebagai makanan bagi pertumbuhan embrio (Muchtadi dan Sugiyono 1992).

Telur merupakan salah satu bahan pangan yang paling lengkap gizinya. Bahan pangan ini juga bersifat serba guna karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Komposisi sebutir telur terdiri dari 11% kulit telur, 58% putih telur dan 31% kuning telur (Sudaryani 2006).

Telur pada umumnya memiliki berat sekitar 55-60 gram per butirnya. Komposisi zat yang terkandung di dalam setiap telur sebagai berikut.

Tabel 1 Komposisi zat di dalam telur (Riyanto 2006)

Komposisi Air (%) Protein (%) Lemak (%) Lainnya (%)

(42)

Telur biasanya juga mengandung semua vitamin yang sangat dibutuhkan kecuali vitamin C. Vitamin larut lemak (A, D, E, dan K), vitamin yang larut air (thiamin, riboflavin, asam pantotenat, niasin, asam folet dan vitamin B12). Kuning telur cukup tinggi kandungan kolesterolnya (Muchtadi dan Sugiyono 1992).

Telur Ayam

Telur ayam merupakan telur yang paling populer di kalangan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang biasa diperdagangkan maupun dikonsumsi manusia. Terdapat dua jenis telur ayam yaitu telur ayam lokal (buras) dan telur ayam negeri (ras). Telur ayam lokal harganya lebih mahal dibandingkan telur ayam negeri karena ketersediannya sangat terbatas dan anggapan lebih berkhasiat (Muchtadi dan Sugiyono 1992).

Telur ayam segar konsumsi menurut Standar Nasional Indonesia (2008) Nomor 3926:2008 tentang Telur Ayam Konsumsi adalah telur ayam yang tidak mengalami proses fortifikasi, pendinginan, pengawetan dan proses pengeraman. Telur tersusun atas tiga bagian utama yaitu kerabang dengan membran kerabang, putih telur dan kuning telur.

(43)

5

Gambar 1 Struktur dan bagian-bagian telur (Anonim 2011).

Tabel 2 Komposisi telur segar (Mine 2008) Komponen

Telur

Komposisi (%)

Kadar Air Protein Lemak Karbohidrat Mineral Telur Utuh

(100%)

66.1 12.8-13.4 10.5-11.8 0.3-1.0 0.8-1.0 Kerabang

(9-11%)

1.6 6.2-6.4 0.03 - 91-92 Putih Telur

(60-63%)

87.6 9.7-10.6 0.03 0.4-0.9 0.5-0.6 Kuning Telur

(28-29%)

48.7 15.7-16.6 31.8-35.5 0.2-1.0 1.1

Telur Bebek

Telur bebek juga ada 2 jenis yaitu yang berwarna biru dan berwarna putih. Masing-masing dari telur ini dihasilkan oleh jenis bebek yang berbeda. Telur bebek memiliki komposisi kadar air (70.4%), protein (13.3%), lemak (14.5 %), karbohidrat (0.7%), dan abu (1.1%) (Muchtadi dan Sugiyono 1992).

(44)

lama dibandingkan dengan daya simpan telur ayam dalam kondisi lingkungan yang sama (Srigandono 1986).

Mekanisme Kontaminasi

Telur merupakan salah satu bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan oleh mikroorganisme berupa bakteri. Hal ini disebabkan telur memiliki komposisi zat gizi yang baik sehingga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri itu sendiri. Kerusakan telur oleh bakteri terjadi karena bakteri masuk ke dalam telur sejak telur berada di dalam maupun telur sudah berada di luar tubuh induknya (Uno 2007).

Messens et al. (2005) menyatakan bahwa kontaminasi pada telur dapat disebabkan oleh mikroba yang diawali dengan masuknya mikroba ke dalam telur melalui pori-pori dan selaput lendir. Penetrasi mikroba ke dalam telur dipengaruhi oleh beragam faktor baik intrinsik maupun ekstrinsik. Faktor intrinsik misalnya kandungan kutikula pada kulit telur, komponen membran kulit telur dan karakteristik kulit telur (kualitas kerabang, porositas dan kecacatan). Faktor ekstrinsik antara lain jumlah dan jenis bakteri, suhu, kelembaban, imersi dan kondisi penyimpanan.

Bakteri yang masuk ke dalam telur melalui kulit telur yang berpori, jika semakin lama telur tersebut maka semakin banyak bakteri yang akan masuk melalui pori-pori yang ada pada kerabang tersebut (Messens et al. 2005). Sejak dikeluarkan dari kloaka, telur mengalami berbagai perubahan karena pengaruh waktu dan kondisi lingkungan yang akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada telur. Kerusakan tersebut dapat terjadi di luar dan di dalam isi telur. Kerusakan yang disebabkan oleh mikroba pada mulanya berasal dari luar telur merambat dari kulit telur ke putih telur dan akhirnya ke kuning telur. Saat telur baru dikeluarkan oleh ayam, telur masih cukup steril. Mikroba akan mengkontaminasi kulit telur dan seterusnya akan memasuki pori-pori telur dan membran telur pada putih telur bahkan dapat memasuki kuning telur. Kerusakan ini ditandai oleh adanya penyimpangan warna dan timbulnya bau busuk dari isi telur (Winarno 2002).

(45)

senyawa-7

senyawa yang ada di dalam telur menjadi senyawa berbau khas yang mencirikan kerusakan telur. Pada umumnya penyimpanan suhu rendah (sekitar 0 oC) dapat membatasi pertumbuhan mikroba. Meskipun demikian, kerusakan masih dapat terjadi, yang dapat dilihat pada Tabel 3 (Anjarsari 2010).

Tabel 3 Kerusakan pada telur (Anjarsari 2010)

No. Nama Kerusakan Penyebab Lokasi Ciri-ciri 1. Green rot Pseudomonas 2. Colourless rot Pseudomonas

atau

Sebelum Ditelurkan (Before Laying)

Sebelum telur dikeluarkan, yaitu semasa masih di oviduct (saluran telur) kontaminasi dapat terjadi meskipun dalam saluran telur ditemukan zat-zat anti mikroba untuk mencegah kontaminasi yang berasal dari kloaka ayam. Beberapa peneliti menyatakan bahwa karena pembuluh darah (vena dan arteri) dapat pecah (ruptura), darah yang mengandung bakteri pada saat bakteremia akan masuk ke dalam telur bila pecahnya pembuluh darah tersebut terjadi di dalam saluran telur (blood-borne organism) (Lukman et al. 2009b).

(46)

Sumber kontaminasi terpenting adalah debu, tanah dan feses. Association Human Salmonellosis International melaporkan bahwa kasus penularan rute oviducal sering terjadi pada telur akibat infeksi oleh Salmonella sp. Sangat sedikit telur yang mengandung mikroorganisme Saprophytic pada saat bertelur. Ketika ovari terkontaminasi oleh bakteri Saprophytic, jumlahnya sangat rendah. Status mikrobial pada oviposisi sebagai insiden penyebab kebusukan berasal dari faktor penyimpanan telur pada periode yang lama (Stadelman dan Cotterill 1995).

Setelah Ditelurkan (After Laying)

Masuknya bakteri ke dalam telur setelah telur berada di luar tubuh induknya misalnya berasal dari kotoran yang menempel pada kulit telur. Kotoran tersebut diantaranya adalah debu, tanah dan feses yang banyak mengandung bakteri perusak. Bakteri ini masuk ke dalam telur melalui kulit telur yang retak atau menembus kulit ketika lapisan tipis protein yang menutupi kulit telur telah rusak dan lubang-lubang kecil yang terdapat pada permukaan telur yang disebut pori-pori (Pelczar dan Chan 1988).

Mikroorganisme pada Telur

Kontaminasi pada umumnya berasal dari jerami tempat bertelur, tanah dan kotoran unggas. Mikroorganisme yang sering mengontaminasi telur terutama adalah bakteri kokus Gram positif seperti Staphylococcus aureus, selain itu bakteri Gram negatif batang juga terdapat dalam jumlah kecil. Bakteri penyebab kebusukan telur terutama adalah bakteri Gram negatif seperti Pseudomonas, Serratia, Proteus, Alcaligenes, dan Citrobacter. Pertumbuhan bakteri Gram negatif lebih dirangsang karena adanya komponen-komponen pelindung dan antimikroba sehingga menyebabkan bakteri Gram positif lebih sukar tumbuh. Isi telur mudah terkontaminasi jika telur dicuci atau disimpan dengan cara yang salah. Mutu isi telur tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya kondisi dan mutu telur, cara pencucian dan sanitasi telur, sanitasi wadah, cara pemecahan telur dan suhu serta waktu penyimpanan isi telur (Fardiaz 1992).

(47)

9

Kuman dapat terbawa sejak ternak masih hidup atau masuk di sepanjang rantai pangan hingga ke tangan konsumen. Berbagai cemaran tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada konsumen (Gorris 2005). Batas maksimum cemaran mikroba di dalam telur dan produk telur dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Batas maksimum cemaran mikroba pada telur (SNI 2000) Indikator Telur Segar

(cfu/ml)

Tepung Telur (cfu/ml)

Telur Beku (cfu/ml) TPC 1,0x105 <2,5x103 <2,5x103 Coliform <1,0x102 <1,0x101 <1,0x101 E.Coli 1,0x101 1,0x101 1,0x101 S.aureus <1,0x102 0 1,0x101 Salmonella sp. Negatif Negatif Negatif

(48)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan, dimulai dari bulan Agustus sampai Oktober 2009. Sampel telur diambil dari lima lokasi berbeda di Jawa Barat yaitu: Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta dan Kota Cirebon. Pengujian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Responden

Data kuesioner diperoleh dari 35 responden (25 dari pedagang telur ayam dan 10 dari pedagang telur bebek) yang ditentukan secara purposif dari beberapa lokasi pasar di Provinsi Jawa Barat. Kuesioner dari pedagang telur ayam diambil dari 5 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta, dan Kota Cirebon, masing-masing sebanyak 5 responden. Kuesioner dari pedagang telur bebek diambil dari 2 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Indramayu dan Kota Cirebon masing-masing 5 responden.

Besaran Sampel

Sampel yang digunakan berasal dari kuning telur ayam ras dan kuning telur bebek. Sampel terdiri dari 25 butir telur ayam ras yang diambil dari 5 kabupaten/kota dan 10 butir telur bebek yang diambil dari 2 kabupaten/kota yang dipilih secara acak dari beberapa lokasi pasar berbeda di Jawa Barat.

Tabel 5 Lokasi dan jumlah sampel telur ayam dan bebek yang diambil di Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Telur ayam Telur bebek 1. Kabupaten Cianjur 5 - 2. Kabupaten Indramayu 5 5 3. Kabupaten Bogor 5 - 4. Kabupaten Purwakarta 5 -

(49)

11

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas ukur, gelas erlenmeyer, cawan petri, pipet volumetrik, inkubator, alat pengocok, bunsen, ose, kapas, plastik dan label.

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kuning telur (11 ml), buffered pepton water (BPW) 0.1% (99 ml dan 9 ml) dan plate count agar (PCA).

Kuesioner

Metode penelitian dilakukan dengan metode survei dan merupakan studi cross sectional. Data yang dikumpulkan merupakan data primer yang meliputi jenis pemasok, frekuensi pengiriman telur, lama waktu penjualan telur, cara penanganan telur, pendidikan dan penyuluhan.

Pengujian Sampel

Metode yang digunakan untuk pemeriksaan jumlah total mikroorganisme pada telur digunakan metode hitungan cawan yang dilakukan dengan metode tuang (pour plate method) yaitu pemupukan dengan memasukkan sejumlah contoh (1.0 ml) atau contoh yang telah diencerkan ke dalam cawan petri steril, kemudian dituang 12-15 ml media agar cair (suhu 44-46 oC), setelah agar memadat, cawan petri diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam.

(50)

Dalam pemeriksaan jumlah mikroorganisme ini, pemupukan dilakukan dari pengenceran desimal 10-1 sampai pengenceran desimal 10-3. Pemupukan dilakukan dengan cara memasukkan 1 ml masing-masing pengenceran ke dalam cawan petri steril yang telah diberi label sebelumnya, yang disesuaikan dengan angka pengenceran. Masing-masing cawan petri tersebut dituang 12-15 ml PCA (suhu 44-46 oC). Setelah itu dihomogenkan isinya secara perlahan diperhatikan jangan sampai cairan tersebut keluar dari cawan petri dan didiamkan pada suhu ruangan agar memadat kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam.

Pengamatan dan Penghitungan Jumlah Mikroorganisme

Pengamatan dilakukan setelah inkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC. Penghitungan mikroorganisme dilakukan dengan melakukan penghitungan jumlah koloni yang tumbuh. Penghitungan jumlah koloni ini menggunakan alat bantu hitung dan Quebec colony counter.

Penghitungan jumlah mikroorganisme dilakukan pada semua koloni yang tumbuh dalam setiap cawan petri. Jumlah mikroorganisme per ml dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Jumlah mikroorganisme per ml = jumlah koloni x 1

Faktor pengenceran

Pedoman penghitungan jumlah mikroorganisme (Lukman et al. 2009a)

Cawan yang dipilih dan dihitung adalah yang mengandung jumlah koloni antara 25 sampai 250.

Beberapa koloni yang bergabung menjadi satu merupakan suatu kumpulan koloni yang besar yang jumlah koloni yang diragukan dapat dihitung sebagai satu koloni.

Suatu deretan (rantai) koloni yang terlihat sebagai satu garis tebal dihitung sebagai satu koloni.

Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua, yaitu angka pertama di depan koma dan angka ke dua di belakang koma. Jika angka ketiga ≥ 5 maka harus dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka yang kedua.

(51)

13

terendah. Hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 25 dikalikan dengan besarnya pengenceran dan dicantumkan jumlah sesungguhnya di dalam tanda kurung.

Jika semua pengenceran yang dipupuk menghasilkan angka lebih dari 250 koloni per cawan petri, hanya koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung hasilnya dilaporkan sebagai lebih besar dari 250 dikalikan besarnya pengenceran dan jumlah sesungguhnya dilaporkan di dalam tanda kurung.

Jika terdapat dua cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan jumlah koloni antara 25-250 dan perbandingan antara hasil pengenceran tertinggi dan terendah < 2.0 maka dilaporkan rata-rata jumlah kedua cawan tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan keduanya ≥ 2.0 maka dilaporkan hasil dari pengenceran terkecil (dengan memperhitungkan pengencerannya).

Jika digunakan dua cawan petri (duplo) setiap pengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut, tidak boleh diambil salah satu, meskipun salah satu cawan tidak menghasilkan 25-250 koloni.

Jika pada pengenceran yang terendah menghasilkan angka 0, misal 0 x 10-1 maka hasilnya dilaporkan sebagai est < 101 di dalam tanda kurung.

Analisis Data

(52)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Pedagang, Tempat Penjualan, dan Penanganan Telur

Data kuesioner mencakup pendidikan pedagang, lama waktu, jenis pemasok, lama waktu telur di tempat penjualan, cara penanganan telur, dan penyuluhan tentang penanganan telur. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa tingkat pendidikan para pedagang telur di pasar-pasar Provinsi Jawa Barat sangat beragam mulai dari tidak sekolah (3.5%), SD sederajat (31%), SMP sederajat (31%), SMA sederajat (31%) dan Perguruan tinggi (3.5%). Tingkat pendidikan para pedagang telur ini dapat mempengaruhi pola pikir dan pengetahuan tentang pelaksanaan higiene dan sanitasi yang baik pada telur.

Menurut hasil kuesioner sebesar (77%) pemasok telur di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat adalah pemasok tetap. Di pasar tradisional Kabupaten Bogor dan Purwakarta semua pedagang telur menerima pasokan telur dari pemasok tetap (100%), sedangkan beberapa pedagang di pasar Kabupaten Cianjur, Indramayu, dan Kota Cirebon masih menerima dari pemasok tidak tetap (20-40%). Upaya pelaksanaan kontrol pada telur yang dijual di pasar-pasar tradisional sangat dipengaruhi oleh pasokan telur dari pemasok tetap. Lama waktu penjualan telur di setiap kios di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat berbeda-beda. Rata-rata waktu terlama telur habis terjual terdapat pada Kabupaten Bogor dengan waktu 9.6 hari dan rata-rata waktu tercepat telur habis terjual terdapat pada Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta dengan masing-masing waktu 1 hari (Tabel 6).

Tabel 6 Pengamatan lama waktu penjualan telur di pasar tradisional kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

(53)

15

Penanganan telur yang dilakukan oleh para pedagang di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat tidak menyimpan telur dengan pendinginan. Semua pedagang telur (100%) menyimpan telur pada suhu kamar. Lamanya penyimpanan dapat menjadi faktor pemicu terjadinya kontaminasi pada telur. Menurut Standar Nasional Indonesia [SNI 3926:2008] tentang Telur Ayam Konsumsi, telur ayam paling lama disimpan pada suhu kamar maksimal 14 hari, dengan kelembaban antara 80-90%. Penyuluhan tentang penanganan telur yang baik adalah solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan para pedagang telur di pasar tradisional. Menurut hasil dari kuesioner hanya 2 dari 35 pedagang telur yang pernah menerima penyuluhan yaitu pedagang di Kabupaten Bogor.

Jumlah Total Mikroorganisme pada Telur Ayam dan Bebek

Pemeriksaan yang dilakukan terhadap 25 sampel telur ayam dan 10 sampel telur bebek adalah pemeriksaan jumlah total mikroorganisme. Hasil yang diperoleh untuk rataan jumlah total mikroorganisme telur ayam di Provinsi Jawa Barat adalah 1.3 x 105 cfu/ml dengan nilai maksimum 6.8 x 105 cfu/ml di Kota Cirebon dan nilai minimum sebesar 1.2 x 101 cfu/ml di Kabupaten Cianjur. Hasil yang diperoleh untuk rataan pada jumlah total mikroorganisme telur bebek di

(54)

Tabel 8 Pemeriksaan jumlah total mikroorganisme pada telur bebek di Provinsi Jawa Barat

No. Kabupaten/Kota Telur Bebek (cfu/ml) 1 Kota Cirebon 2.8 x 104 2 Kabupaten Indramayu 1.2 x 103

Berdasarkan hasil di atas, terlihat bahwa jumlah total mikroorganisme di setiap kabupaten/kota berbeda-beda. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor misalnya :

1. Perbedaan kondisi sanitasi peternakan yang merupakan sumber telur ayam maupun bebek.

2. Perbedaan kondisi sanitasi pasar tradisional di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat.

3. Perbedaan penerapan higiene personal dari setiap pedagang telur ayam maupun bebek.

Jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan bebek di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat setelah dibandingkan dengan

syarat mutu mikrobiologis (SNI 3926:2008 tentang Telur Ayam Konsumsi) pada Tabel 9, ternyata ditemukan 1 dari 25 sampel telur ayam (4%) melebihi dari yang ditetapkan oleh SNI yaitu telur ayam yang berasal dari kota Cirebon sebesar 3.4 x 106 cfu/ml (Tabel 10) dan ditemukan 1 dari 10 sampel telur bebek (10%) yang jumlah total mikroorganismenya melebihi dari yang ditetapkan oleh SNI yaitu telur bebek yang berasal dari Kota Cirebon sebesar 1.2 x 105 cfu/ml (Tabel 11).

Tabel 9 Persyaratan mutu mikrobiologis isi telur ayam konsumsi (SNI 3926:2008) No. Jenis Uji Satuan Persyaratan

(55)

17

Tabel 10 Jumlah total mikroorganisme pada setiap sampel telur ayam di 5 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

Kabupaten/Kota Telur Ayam (butir ke-)

1 2 3 4 5 2 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

Kabupaten/Kota Telur Bebek (butir ke-)

1 2 3 4 5

cfu/ml

Kota Cirebon 22 000 120 000 150 110 100 Kabupaten Indramayu 10 80 10 6 000 100

Tabel 12 Tingkat jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan bebek (%) di Provinsi Jawa Barat

No. Kabupaten/Kota Tidak Sesuai dengan SNI 3926:2008 Telur ayam

Gambaran Pedagang Telur dengan Jumlah Total Mikroorganisme pada Telur yang Dijual

(56)

dan bebek yang berasal dari Kota Cirebon dengan hasil masing-masing adalah 3.4 x 106 cfu/ml dan 1.2 x 105 cfu/ml. Setelah dikorelasikan dengan data kuesioner, kedua pedagang yang menjual telur tersebut memiliki tingkat pendidikan yang sama yaitu pada tingkat SMP dan salah satu dari pedagang tersebut membeli telur dari pemasok tidak tetap.

Apabila dilihat dari tingkat pendidikan pedagang dengan jumlah mikroorganisme pada telur yang dijualnya, ternyata tingkat pendidikan pedagang tidak berpengaruh terhadap jumlah mikroorganisme pada telur yang dijual. Hal ini dapat dilihat dari jumlah mikroorganisme yang terdapat pada telur yang dijual oleh pedagang yang tidak sekolah dengan pedagang yang memiliki tingkat pendidikan sampai perguruan tinggi. Jumlah mikroorganisme dari telur yang dijual oleh kedua pedagang tersebut masing-masing adalah 1.0 x 101 cfu/ ml dan 6.0 x 101 cfu/ml.

Menurut hasil kuesioner, lama waktu penjualan telur tercepat terdapat di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta, sedangkan yang terlama terdapat di Kabupaten Bogor. Jika dibandingkan dengan jumlah total mikroorganismenya ternyata rataan jumlah total mikroorganisme pada daerah tersebut masih di bawah standar SNI 3926:2008. Rataan jumlah total mikroorganisme di Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Bogor berturut-turut adalah 1.2 x 101 cfu/ml, 1.2 x 102 cfu/ml, dan 2.0 x 101 cfu/ml.

(57)

JUMLAH TOTAL MIKROORGANISME PADA TELUR AYAM

DAN BEBEK YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL

DI WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT

ELLANGGA EKO SURYO NUGROHO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(58)

DAFTAR PUSTAKA

Anjarsari B. 2010. Pangan Hewani Fisiologi Pasca Mortem dan Teknologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

[Anonim]. 2011. Struktur telur. www.mymacrospace.com [10 Agustus 2011]

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Gorris LGM. 2005. Food safety objective: an integral part of food chain management. Food Control 16:801-809.

Haryoto. 1996. Pengawetan Telur Segar. Yogyakarta: Kanisisus.

Lukman et al. 2009a. Penghitungan jumlah mikroorganisme dengan metode hitungan cawan. Di dalam: Lukman DW, Purnawarman T, editor, Penuntun Praktikum Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Lukman et al. 2009b. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Messens W, Grijspeerdt K, Herman L. 2005. Egg shell penetration by Salmonella. J World Poult Sci 61(1):71-85.

Mine Y. 2008. Egg Bioscience and Biotechnology. Departement of Food Science University of Guelph. Wiley-interscience A John Wiley & Sons. Inc-Publication.

Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Pelczar, Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2. Jakarta: Universitas

Indonesia.

Riyanto A. 2006. Sukses Menetaskan Telur Ayam. Jakarta: AgroMedia Pustaka. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2000. SNI 01-6366-2000. Batas Maksimum

Cemaran Mikroba pada Telur. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2008. SNI 3926:2008. Telur Ayam Konsumsi.

Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

(59)

21

Stadelman WJ, Cotterill OJ. 1995. Egg Science and Technology. Ed ke-2. New York: The Avi Publ. Co. Inc. Rahway.

Sudaryani T. 2006. Kualitas Telur. Jakarta: Penebar Swadaya.

[USDA] United States Departement of Agriculture. 2000. Egg grading manual. Washington DC: Federal Crop Insurance Corporation (FGIC).

Uno WD. 2007. Jumlah bakteri pada telur ayam ras yang disimpan pada suhu refrigerator. Matsains 1(4):1-9.

(60)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan bebek yang sesuai dengan SNI 3926:2008 yaitu sebesar 1.0 x 105 cfu/ml. Hasil rata-rata jumlah total mikroorganisme pada telur ayam di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu dan Kota Cirebon berturut-turut adalah

1.2 x 102 cfu/ml, 2.0 x 101 cfu/ml, 1.2 x 101 cfu/ml, 2.9 x 102 cfu/ml dan 6.8 x 105 cfu/ml. Hasil rata-rata jumlah total mikroorganisme pada telur bebek di

Kabupaten Indramayu dan Kota Cirebon adalah 1.2 x 103 cfu/ml dan 2.8 x 104 cfu/ml. Hasil tersebut jika dibandingkan dengan syarat mutu

mikrobiologis tersebut ternyata masih terdapat 4% dari 25 sampel telur ayam dan 10% dari 10 sampel telur bebek yang melebihi dari ketetapan SNI 3926:2008. Berdasarkan hasil penelitian ini jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan bebek menggambarkan bahwa kualitas dan keamanan pangan serta penanganan telur oleh para pedagang di pasar tradisional di wilayah Provinsi Jawa Barat masih rendah. Berdasarkan hasil kuesioner yang dibandingkan dengan hasil penelitian pada telur, tingkat pendidikan pedagang dan lama waktu telur habis terjual tidak begitu berpengaruh terhadap jumlah total mikroorganismenya, sedangkan jenis pemasok dan penyuluhan tentang penanganan telur cukup berpengaruh terhadap hasil jumlah total mikroorganisme pada telur yang dijual.

Saran

(61)
(62)

KUISIONER PENELITIAN No: 3.1Jenis dan jumlah telur yang dijual

3.1.1 Jenis telur yang dijual : 1. Ayam

2. Bebek 3. Puyuh

4. Lain-lain, sebutkan : ... 3.1.2 Berapa rata-rata telur ayam (bebek) per hari :

Dijual/ disediakan : ... butir

(63)

24

3.2.1 Jenis pemasok yang memasok telur ayam : 1. Pemasok tetap

2. Pemasok tidak tetap (berubah-ubah) 3.2.2 Pengiriman ayam ke tempat pengumpulan :

1. Teratur, sebutkan setiap hari/minggu/bulan : ... 2. Tidak teratur, sebutkan : ...

3.3Lama waktu telur di tempat penjualan

3.3.1 Waktu rata-rata telur berada di tempat penjualan : ... hari 3.3.2 Waktu tercepat : ... hari

3.3.3 Waktu terlama : ... hari

3.4Penyuluhan

3.4.1 Apakah pernah mendapat penyuluhan tentang penanganan telur yang baik :

3.4.3 Siapa yang memberikan penyuluhan : 1. Petugas dinas

2. Perguruan tinggi 3. LSM

Gambar

Tabel 1 Komposisi zat di dalam telur (Riyanto 2006)
Tabel 2 Komposisi telur segar (Mine 2008)
Tabel 3 Kerusakan pada telur (Anjarsari 2010)
Tabel 4 Batas maksimum cemaran mikroba pada telur (SNI 2000)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai mahluk social, individu juga hidup berkelompok mulai dari lingkungan yang paling kecil dalam keluarga sampai dalam lingkungan yang luas, yaitu sebagai anggota

Hasil dari program ini ialah masyarakat memahami siklus hidup maggot, tata cara membudidayakan maggot, keuntungan dalam membudidayakan maggot, jenis sampah organik yang

(2) Tingkat kepuasan penghuni terhadap desain bangunan berdasarkan lama tinggal di perumahan yaitu, penghuni yang sudah tinggal selama 2 – 3 tahun merasa puas, berbeda

Salah satu tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya sehingga pelayanan pemerintah dapat dilakukan

Karena banyaknya suatu permasalahan yang timbul dalam sebuah sistem berjalan, maka dibuatlah suatu sistem usulan untuk mengurangi permasalahan yang terjadi dengan

Sehingga, penulis melakukan penelitian tindakan kelas untuk mengetahui apakah metode demonstrasi dapat meningkatkan kemampuan motorik halus anak di TK Siwi Peni

Berdasarkan pengolahan data dengan menggunakan metode Crashing with CPM dan Linear Programming, hasil yang ditampilkan memiliki beberapa perbedaan dari jumlah

Suatu perusahaan monopolis cenderung dalam melakukan aktifitas ekonomi dan penetapan harga mengikuti ketentuan pemerintah (adanya regulasi standar pemerintah),