Kubis (Brassica oleracea var. capitata L.) termasuk famili Cruciferae (George 1999) yang merupakan tanaman annual di Indonesia dan tumbuh baik di daerah bersuhu dingin. Temperatur optimum yang dikehendaki yaitu 1520 C dengan kelembapan pada kisaran 6090% dan berbunga apabila mengalami musim dingin. Kubis tumbuh optimum pada tanah liat berpasir dengan kandungan bahan organik tinggi (Rukmana 2010) dan optimum pada pH 6.06.5 (George 1999). Kubis termasuk tanaman yang toleran terhadap tanah salin dibandingkan dengan bunga kol atau spesies Brassica lainnya (Rubatzky dan Yamaguchi 1999).
Kubis memiliki biji dengan ukuran kecil, bundar, dan berwarna cokelat tua yang terbentuk dalam buah polong palsu yang disebut silique. Polongnya ramping dengan diameter 35 mm dan panjang 50100 mm serta sering pecah ketika matang. Biji biasanya matang 5090 hari setelah pembuahan (Rubatzky dan Yamaguchi 1999).
Benih kubis termasuk golongan benih berlemak (Mayer dan Poljakoff- Mayber 1989). Kotiledonnya kaya akan cadangan makanan yang terdiri atas protein, lipid, dan karbohidrat, namun lipid merupakan cadangan utama benih (Qouta et al. 1991). Benih kubis memiliki masa dormansi yang singkat. Senyawa penghambat mudah tercuci atau akan hilang dalam satu atau dua bulan. Benih kubis berkecambah cepat pada suhu 1520 C (Rubatzky dan Yamaguchi 1999).
Spesies Brassica merupakan benih ortodoks, yaitu benih yang memerlukan kadar air rendah agar viabilitas benih dapat dipertahankan selama penyimpanan (Rahayu dan Widajati 2007). Benih kubis yang disimpan dengan kadar air 8% pada suhu 5 C selama 9 tahun dapat mempertahankan daya berkecambah tetap tinggi, yaitu sebesar 99% (Ramiro et al. 1995). Penyimpanan benih kubis pada suhu 28 C menunjukkan peningkatan respirasi dan kebocoran benih yang lebih tinggi dibandingkan dengan benih yang disimpan pada suhu 4 C dan 15 C (Pangabean dan Haris 1994).
Vigor dan Daya Simpan
Penyimpanan benih bertujuan mempertahankan mutu fisiologis benih sampai benih tersebut siap digunakan untuk keperluan tanam berikutnya (Sukarman et al. 2002). Benih yang disimpan akan mengalami kemunduran alami (deteriorasi). Justice dan Bass (2002) menyatakan kemunduran merupakan penurunan vigor kecambah yang terlihat dari penurunan laju perkecambahan dan dihasilkannya kecambah-kecambah yang lemah atau berair dan berakar kecil.
Vigor merupakan karakter benih yang ditunjukkan melalui kecepatan dan keseragaman pertumbuhan benih, kemampuan benih untuk tumbuh normal pada kondisi suboptimum, dan viabilitasnya tetap tinggi setelah disimpan (ISTA 2010). Benih yang memiliki vigor tinggi akan mampu bertahan pada kondisi yang ekstrim dan mengalami proses penuaan lebih lambat dibandingkan dengan benih yang bervigor rendah (Lindayanti 2006).
Laju kemunduran vigor dan viabilitas benih bergantung pada beberapa faktor, diantaranya faktor genetik dari spesies dan kultivarnya, kondisi benih, kondisi penyimpanan, keseragaman lot benih, dan cendawan gudang (Justice dan Bass 2002). Proses penuaan atau mundurnya vigor secara fisiologis ditandai dengan penurunan daya berkecambah, peningkatan jumlah kecambah abnormal, penurunan pemunculan kecambah di lapangan (field emergence), terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dan meningkatnya kepekaan terhadap lingkungan ekstrim yang akhirnya dapat menurunkan produksi tanaman (Copeland dan McDonald 2001).
Pengujian vigor bermanfaat untuk melihat potensi daya simpan, estimasi nilai penanaman atau performa pertumbuhan benih di lapang. Pengujian vigor merupakan indeks mutu benih yang lebih peka dibandingkan dengan pengujian DB, karena penurunan vigor lebih dulu terjadi sebelum penurunan perkecambahan. Metode pengujian vigor yang disarankan untuk digunakan adalah accelerated aging, conductivity meter, cold test, cool germination test, controlled deterioration test, complex stressing vigor test, hiltner test, seedling growth test, dan tetrazolium test (Dina et al. 2006).
Menurut Justice dan Bass (2002), vigor benih sewaktu disimpan merupakan faktor penting yang memengaruhi umur simpannya. Lot benih yang mengalami kemunduran cepat, mengandung benih yang bervigor rendah dan benih yang masih vigor. Keragaman vigor menyebabkan keragaman daya simpan walaupun kondisi penyimpanan sama. Oleh sebab itu pengujian daya simpan diperlukan untuk menduga lama penyimpanan sekelompok benih dalam kondisi simpan tertentu.
Benih yang memiliki daya simpan tinggi mampu disimpan untuk periode simpan yang normal dalam kondisi suboptimum dan lebih panjang daya simpannya apabila ruang simpannya dalam kondisi optimum (Sadjad et al. 1999). Lot benih yang baru dan vigor mempunyai daya simpan yang lebih lama dibandingkan dengan lot benih yang lebih tua yang mungkin sedang mengalami proses kemunduran secara cepat (Justice dan Bass 2002).
Pengusangan Cepat dengan Etanol
Vigor daya simpan benih dapat diduga dengan metode pengusangan cepat. Metode ini memberikan perlakuan kondisi cekaman buatan pada benih. Jika dalam kondisi cekaman tersebut benih mundur secara cepat dalam waktu singkat (devigorasi) dan menunjukkan kinerja mundur yang tidak jauh berbeda dengan kondisi simpan sebenarnya (deteriorasi) dalam periode simpan tertentu, perlakuan tersebut dapat digunakan untuk menduga daya simpan benih secara langsung (Sadjad et al. 1999).
Metode pengusangan cepat dapat dilakukan secara fisik dengan suhu dan RH tinggi maupun secara kimia dengan larutan etanol dan metanol. Pengusangan fisik memperlakukan benih dengan suhu tinggi dan kelembaban relatif tinggi (95%) secara cepat. Selama pengujian benih akan menyerap kelembaban dari lingkungan, sejalan dengan meningkatnya kelembaban benih dan suhu menyebabkan penuaan benih secara cepat (ISTA 2010).
Dalapati (2012) melakukan pengusangan cepat secara fisik, perendaman etanol, dan uap etanol pada padi gogo. Hasilnya menunjukkan metode perendaman etanol
lebih mudah dan cepat waktu pengujiannya dibandingkan dengan pengusangan fisik dan penguapan dengan etanol. Pengusangan fisik dalam pelaksanaannya memiliki kekurangan, yaitu dapat mengakibatkan benih berjamur sebelum ditanam.
Addai dan Kantanka (2006) melakukan perendaman benih kedelai dalam 20% cairan etanol dan 20% cairan metanol selama dua jam. Hasilnya menunjukkan bahwa cairan etanol memprediksi daya simpan benih kedelai lebih baik dibandingkan dengan cairan metanol. Hasil penelitian Zanzibar (2007) menunjukkan pengusangan dengan etanol dapat menurunkan viabilitas benih mindi, akor, dan merbabu.
Pengusangan cepat dengan perendaman etanol menggambarkan proses kemunduran suatu lot benih. Tingkat kemunduran benih tergantung pada lama perlakuan dan konsentrasi etanol. Semakin tinggi konsentrasi etanol dan semakin lama waktu penderaan maka semakin tinggi tingkat kemunduran benih. Hal ini sesuai dengan hasil percobaan Salehi et al. (2008) pada benih rumput perennial ryegrass (Lolium perenne L.) dan tall fescue (Festuca arundinacea).
Priestley dan Leopold (1980) mengemukakan mekanisme masuknya etanol ke dalam benih apabila benih direndam dalam larutan etanol adalah sebagai berikut:
1. Etanol diduga dapat berpenetrasi ke dalam komponen lipid dari membran setelah membran sel rusak, memutuskan ikatan lipid, bahkan dapat membuang fosfolipid dari membran.
2. Etanol setelah masuk ke dalam benih dapat menyebabkan teracaknya konfigurasi protein yang berasosiasi dengan membran.
Denaturasi protein membran akan memengaruhi permeabilitas membran sehingga aktivitas seluler berkurang. Aktivitas seluler yang berkurang akan menyebabkan benih lambat dalam pertumbuhan kecambah. Berkurang atau terhentinya aktivitas seluler akan menurunkan jumlah kecambah normal yang teramati sehingga berpengaruh terhadap tolok ukur daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh (Maesaroh 2012).