• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

a. Pengertian Kejaksaan

Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, Kejaksaan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan , kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, Kejaksaan dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, dan penegakkan hak asasi manusia.

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dijelaskan mengenai susunan organisasi Kejaksaan, yang terdiri dari Kejaksaan Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota propinsi, dan Kejaksaan Negeri berkedudukan di ibukota, kabupaten, atau kotamadya.

Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang mengendalikan tugas dan wewenang Kejaksaan. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung yang merupakan satu kesatuan unsur pimpinan dan beberapa orang Jaksa Agung Muda sebagai unsur pembantu pimpinan. Untuk di tingkat propinsi, dipimpin oleh seorang Jaksa Tinggi yang dibantu oleh seorang wakil Kepala Kejaksaan Tinggi sebagai kesatuan unsur pimpinan, beberapa orang unsur pimpinan, dan unsur pelaksana. Sedangkan di lingkungan kabupaten atau

commit to user

kotamadya, dipimpin oleh seorang Kepala Kejaksaan Negeri dan dibantu oleh beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.

b. Jaksa Penuntut Umum

Yang dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Melihat perumusan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan, sedangkan pengertian penuntut umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan.

Kejaksaan adalah satu-satunya alat negara yang diberi wewenang oleh Undang-undang sebagai penuntut umum dan Jaksa Agung adalah satu-satunya pejabat negara sebagai penuntut umum tertinggi. Dengan tugas tersebut, kepada penuntut umum diletakkan tanggung jawab yang berat dan mendalam, karena dengan sumpah jabatan, ia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas penegakan hukum dan keadilan tersebut baik dan buruknya tergantung pada manusia pelaksana.

Tuntutan pidana adalah merupakan pekerjaan yang membutuhkan ketekunan dalam menangani perkara yang didakwakan di muka sidang pengadilan, disamping ketekunan, seorang penuntut umum harus terampil dan berbakat dalam mengutarakan hasil pembuktian, memilih kata-kata yang tepat dan mengaitkan alat-alat bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak pidana yang didakwakan terbukti dan terdakwa dapat dinyatakan bersalah.

commit to user

Penuntut umum dalam menangani suatu perkara harus mempunyai pengetahuan hukum yang luas khususnya teori-teori hukum yang berhubungan dengan perkara yang ditangani. Tanpa dilandasi penguasaan ilmu hukum penuntut umum akan selalu gagal dalam mencapai tujuan penuntutan.

c. Tugas dan Wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam Proses Perkara

Pidana

Seiring perkembangan jaman, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang ketentuan pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1961 tentang pembentukan Kejaksaan Tinggi, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang ketentuan pokok Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan hukum masyarakat serta kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar 1945.

Kejaksaan termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar 1945. Untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Maka dari itulah pembaharuan Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia perlu dilakukan dengan membentuk Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Di dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, disebutkan:

Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: 1) Melakukan penuntutan;

2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

commit to user

3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Sedangkan dalam Pasal 14 KUHAP, disebutkan bahwa penuntut umum mempunyai wewenang :

1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik:

3) Pasal 110 ayat (3) berbunyi:

4) “Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum”

5) Pasal 110 ayat (4) berbunyi:

6) “Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum waktunya tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik”

7) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

8) Membuat surat dakwaan;

commit to user

10) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

11) Melakukan penuntutan;

12) Menutup perkara demi kepentingan hukum;

13) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

14) Melaksanakan penetapan hakim.

Di samping tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana yang tersebut dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 di atas, pada Pasal 32 juga disebutkan bahwa Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Selain itu kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya, sesuai dengan bunyi Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

2. Tinjauan tentang Penuntutan

a. Pengertian Penuntutan

Di dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang pengertian penuntutan, berikut dikemukakan beberapa pendapat para sarjana Hukum Indonesia, seperti pendapat:

commit to user 1) Sudarto (Djoko Prakoso, 1988 : 25)

Penuntutan adalah berupa penyerahan berkas perkara si tersangka kepada hakim dan sekaligus agar supaya diserahkan kepada sidang pengadilan. 2) Wirjono Prodjodikoro (Djoko Prakoso, 1988 : 25)

Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan agar supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.

3) S.M Amin (Djoko Prakoso, 1988 : 25)

Menuntut adalah penyerahan perkara ke sidang oleh hakim. 4) Martiman Prodjo Hamidjojo (Djoko Prakoso, 1988 : 26)

Penuntutan dalam arti luas merupakan segala tindakan penuntut umum sejak ia menerima berkas dari penyidik untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri.

5) A. Karim Nasution (Djoko Prakoso, 1988 : 26)

Penuntutan adalah penentuan, apakah suatu perkara diserahkan atau tidak kepada hakim untuk diputuskan dan jika dilanjutkan ke pengadilan untuk mengajukan tuntutan hukum.

Dari seluruh pendapat yang tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa penuntutan merupakan suatu proses dari beberapa tindakan yang harus dilakukan oleh jaksa sehubungan dengan tugas jaksa di bidang penuntutan.

b. Asas-asas Dibidang Penuntutan

Di dalam hukum acara pidana dikenal adanya dua asas penuntutan, antara lain :

1) Asas Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap semua orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

commit to user

2) Asas Oportunitas, yaitu penuntut umum tidak diwajibkan untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dianggap telah cukup alasan bahwa yang bersangkutan melakukan perbuatan yang melanggar hukum, demi kepentingan umum.

Dalam KUHAP, asas ini dikenal dengan “penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”. Hal ini dinyatakan dalam penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘penghentian penuntutan’ tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”

Maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan dari asas oportunitas, sehingga dengan demikian perwujudan asas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan mengingat dalam kenyataannya perundang-undangan positif di Indonesia, yaitu penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP dan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 35 huruf c secara tegas mengatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Maksud dan tujuan Undang-undang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung tersebut, adalah untuk menghindarkan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas, sehingga dengan demikian satu-satunya pejabat negara kita yang diberi wewenang melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap para jaksa selaku penuntut umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi.

Menurut penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Jadi bukan untuk kepentingan pribadi.

commit to user

c. Surat Tuntutan Pidana (Requisitor)

Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian surat dakwaan berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan dan kesimpulan penuntut umum tentang kesalahan terdakwa disertai dengan tuntutan pidana.

Rekuisitor dibacakan setelah sidang pengadilan dinyatakan selesai oleh hakim ketua karena pembuktian yang diajukan oleh penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukumnya di muka sidang telah selesai dan hakim ketua telah memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah yang terbukti salah atau tidak terbukti salah.

Apabila pemeriksaan perkara oleh hakim ketua sidang sudah dinyatakan selesai, penuntut umum baru dapat membacakan “tuntutan pidana” secara tertulis yang disebut surat tuntutan pidana (requisitor).

Susunan surat tuntutan pidana tidak diatur dalam KUHAP tetapi tumbuh dan berkembang dalam praktek peradilan, tuntutan pidana adalah bagian terakhir dari tugas penuntutan yang merupakan bagian terpenting, karena merupakan resume acara penuntutan di muka sidang pengadilan.

Dalam tuntutan pidana penuntut umum akan dilihat kemampuannya dalam membuktikan apa yang didakwakan, disamping itu kemampuan penuntut umum akan diuji dapatkah penuntut umum mempertahankan pendapatnya, dapatkah mengajukan argumentasi apabila ada sanggahan terdakwa atau penasihat hukumnya atas tuntutan yang dibacakan pada akhir sidang pengadilan. Apabila tuntutan dapat dilemahkan dengan sanggahan terdakwa atau penasihat hukumnya maka tuntutan pidana yang dibacakan penuntut umum berarti mengalami kegagalan.

Untuk mungurangi kegagalan perlu diperhatikan bagaimana caranya membuat surat dakwaan yang cermat, jelas dan lengkap dan menyusun surat tuntutan pidana yang lengkap dan benar. Dalam menyusun surat tuntutan pidana harus memperhatikan:

1) Surat tuntutan pidana harus disusun secara sistematis,

commit to user

3) Isi dan maksud harus jelas dan mudah dimengerti,

4) Apabila menggunakan teori hukum harus menyebut sumbernya.

Dalam KUHAP tidak satu Pasal pun mengatur tentang bentuk dan susunan surat tuntutan, bentuk dan susunan surat tuntutan seperti diterangkan diatas bahwa dari masa ke masa berkembang di dalam praktek peradilan. Dalam Pasal 182 (1) a mengatur: “setelah pemeriksaan dinyatakan selesai penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.” Di lain pasal tidak ada yang menyebut dan mengatur tentang tuntutan pidana. Menurut praktek peradilan sistematika dari surat tuntutan pidana adalah sebagai berikut:

1) Pendahuluan

Sebagai orang timur dan yang berketuhanan Yang Maha Esa, segala hasil apapun bentuknya yang kita peroleh semua itu adalah berkat dan rida Tuhan, maka sepantasnya apabila dalam pendahuluan partama-tama memuji syukur atas dapat diselesaikannya sidang yang penuh risiko sehingga sampai dibacakan tuntutan pidana. Disamping itu tidak salah apabila terimakasih juga diucapkan kepada semua pihak yang terkait yang mendukung kelancaran jalannya sidang sampai selesai.

2) Identitas Terdakwa

Identitas terdakwa harus ditulis dengan jelas, lengkap sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) a KUHAP dengan urutan sebagai berikut:

a) Nama lengkap. b) Tempat lahir.

c) Umur atau tanggal lahir. d) Jenis kelamin.

e) Kebangsaan; f) Tempat tinggal. g) Agama.

h) Pekerjaan.

Dalam menulis identitas harus cermat sesuai dengan identitas yang ditulis dalam surat dakwaan, penulisan harus benar dan tidak boleh keliru,

commit to user

apabila terdapat kesalahan dalam menulis identitas meskipun surat tuntutan tidak akan dibatalkan oleh hakim, tetapi sudah memberi peluang kepada terdakwa atau penasihat hukumnya sebagai alasan dalam mengajukan pembelaannya.

3) Surat Dakwaan

Dalam surat tuntutan pidana, surat dakwaan harus ditulis kembali secara lengkap dengan maksud sebagai dasar untuk menilai pembuktian yang didapat dalam sidang pengadilan apakah sesuai dengan perbuatan materiil dan memenuhi unsur delik yang terdapat dalam surat dakwaan. Surat dakwaan juga diperlukan berhubung setiap bentuk surat dakwaan membutuhkan cara pembuktian yang berbeda-beda.

4) Hasil Pembuktian

Hasil pembuktian yang diperoleh dari dalam sidang pengadilan adalah merupakan fakta dari jawaban pertanyaan hakim, penuntut umum, penasihat hukum atau yang lain baik kepada saksi, ahli ataupun terdakwa sendiri. Tidak jarang terjadi hasil pembuktian dari alat bukti saksi tidak dapat menggambarkan tindak pidana secara lengkap karena disebabkan keterangan alat bukti saksi masing-masing berdiri sendiri sehingga hasil pembuktian hanya berbentuk alat bukti petunjuk.

5) Barang Bukti

Dalam surat tuntutan juga harus disebut apabila ada barang bukti yang digunakan untuk menguatkan pembuktian di muka sidang pengadilan. Barang bukti adalah benda sitaan yang oleh penyidik telah diserahkan kepada penuntut umum pada waktu penyerahan berkas perkara tahap terakhir yang diajukan ke muka sidang pengadilan dalam usaha pembuktian tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.

6) Analisis Fakta

Merupakan kompulasi fakta-fakta yang didapat dari dalam sidang pengadilan yang ada hubungannya dengan perbuatan materiil yang didakwakan dan sesuai dengan unsur tindak pidana yang didakwakan. Kemudian mengaitkan fakta-fakta antara alat bukti yang satu dengan alat

commit to user

bukti yang lain sehingga tergambar tindak pidana yang didakwakan. Serta mengaitkan fakta-fakta yang diperoleh dengan alat bukti dengan barang bukti yang dapat menguatkan pembuktian.

7) Analisis Hukum

Analisis hukum dibuat berdasarkan analisis fakta dari hasil pembuktian yang terungkap di muka sidang pengadilan, di dalam surat dakwaan atas suatu tindak pidana sudah tercantum perbuatan materiil yang mengandung unsur delik, yang mana harus dibuktikan dengan keterangan dari alat bukti di dalam sidang pengadilan.

8) Pembuktian Surat Dakwaan

Terdapat enam bentuk surat dakwaan, antara lain : a) Surat Dakwaan Tunggal

b) Surat Dakwaan Berlapis (Subsider) c) Surat Dakwaan Alternatif

d) Surat Dakwaan Kumulatif e) Surat Dakwaan Gabungan f) Surat Dakwaan Kombinasi

Apabila analisa hukum telah dibuat dan semua unsur delik yang didakwakan dapat dibuktikan sesuai dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa berdasarkan fakta-fakta dari hasil pembuktian di dalam sidang, barulah penuntut umum menuntut terdakwa dan berat atau ringannya tuntutan tergantung kualifikasi tindak pidana yang dilakukan.

Setelah mempertimbangkan berapa berat ringannya tuntutan pidana demi rasa keadilan, penuntut umum memohon kepada Hakim Ketua Majelis untuk memidana terdakwa pada akhir pembacaan tuntutan. Di samping tuntutan pidana perlu juga mohon ditentukan status barang bukti, biaya perkara dan status tahanan terdakwa. Sesudah requisitor dibacakan, yang asli diserahkan kepada Hakim Ketua Majelis dan diserahkan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya.

commit to user

3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Perkosaan

a. Pengertian Perkosaan

Kejahatan perkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia berasal dari kata perkosaan yang berarti “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan atau menggagahi”. Berdasarkan pengertian tersebut maka perkosaan mempunyai makna yang luas, yang tidak hanya terjadi pada hubungan seksual tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya.

Menurut Soetandyo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar. Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud perkosaan di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan seorang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya) dan di lain pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib sosial (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001 : 40).

Berdasarkan pengertian perkosaan tersebut di atas, menunjukkan bahwa perkosaan merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki terhadap perempuan yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara moral maupun hukum melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan dalam masyarakat. Terhadap hal ini adalah wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan perbuatan perkosaan sebagai suatu tindak pidana yang diatur bentuk perbuatan dan pemidanannya dalam hukum pidana materiil yang berlaku.

b. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan dalam KUHP

Tindak pidana perkosaan dalam tinjauan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) seperti yang diatur dalam Pasal 285 KUHP yang sampai sekarang digunakan sebagai pedoman oleh masyarakat dan atau aparat penegak hukum untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu dapat dikatakan

commit to user

sebagai perbuatan tindak pidana perkosaan atau bukan. Bunyi dari Pasal 285 KUHP adalah :

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Berdasarkan rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur- unsur tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut :

1) Perbuatannya : memaksa; 2) Caranya: (a) dengan kekerasan;

Caranya: (b) dengan ancaman kekerasan; 3) Seorang perempuan bukan isterinya;

4) Bersetubuh dengan dia (Adami Chazawi, 2005 : 63).

Penjelasan unsur-unsur tindak pidana perkosaan di atas sebagai berikut :

1) Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri (Adami Chazawi, 2005 : 63). Berdasarkan pengertian ini pada intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut. Satochid Kartanegara menyatakan “perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain” (Leden Marpaung, 1996 : 52). Memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat wanita “menjadi terpaksa” bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian “memaksa” seorang wanita mengadakan

commit to user

hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita adalah wanita itu sendiri.

2) Kekerasan (geweld) merupakan salah satu cara memaksa dalam Pasal 285 disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan menggunakan ancaman kekerasan. KUHP tidak menjelaskan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan : “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan” Menurut Adami Chazawi, kekerasan adalah “suatu cara atau upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik” (Adami Chazawi, 2005 : 65). Selanjutnya yang dimaksud dengan kekerasan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah: “Setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Mengenai maksud dari ancaman kekerasan (bedreiging met geweld), menurut Adami Chazawi diartikan sebagai “ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera dilakukan atau

Dokumen terkait