commit to user
KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT
UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN
DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA
(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA PDM-
670/KPJEN/12-2005 DAN NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006.
DI KEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh
INSAN PANDHU WIRAWAN
NIM. E1106029
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT
UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN
DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA
(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA
PDM-670/KPJEN/12-2005 DAN NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006.
DIKEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG)
Oleh
INSAN PANDHU WIRAWAN
NIM. E1106029
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Pembimbing I
Kristiyadi, S.H., M.Hum.
NIP. 19581225198601111001
Surakarta, Maret 2011
Dosen Pembimbing II
Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT
UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN
DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA
(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA
PDM-670/KPJEN/12-2005 DAN NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006.
DIKEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG)
Disusun oleh :
INSAN PANDHU WIRAWAN
NIM : E. 1106029
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 26 April 2011
TIM PENGUJI
(1) Edy Herdyanto, S.H., M.H :……… Ketua
(2) Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. : ……… Sekretaris
(3) Kristiyadi, S.H., M.Hum. : ... Anggota
MENGETAHUI
Dekan,
commit to user
iv
HALAMAN MOTO
Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh Allah
beserta orang-orang yang sabar.
(QS. Al-Baqarah :153)
Lupakan tentang konsekuensi dari kegagalan. Kegagalan hanya perubahan arah
sementara untuk mengarahkan anda lurus kearah kesuksesan anda.
(Denis Waitley)
Winners see possibilities; Losers see problems.
(Anonim)
Orang yang luar biasa hanya percaya pada hal yang mungkin. Orang yang luar
biasa mampu menggambarkan dengan jelas banyak hal yang tidak mungkin,
kemudian mengubahnya menjadi mungkin.
(Cherie Carterscoot)
What is now proved was once only imagined.
(William Blake)
Kegagalan dan kekecewaan adalah sesuatu yang mengajarkan saya tentang
kekuatan, optimisme, dan keyakinan untuk saya mampu dan berani mengambil
serta mendapatkan impian saya!.
commit to user
v
PERSEMBAHAN
Karya tulis ini saya persembahkan kepada:
Allah SWT, yang senantiasa memberikan kenikmatan pada umat-Nya;
Bapak Ibu tercinta, adik, kakak saya yang selalu memberi do’a dan kasih sayang;
keluarga besarku, dan keluarga besar Bapak Yusuf Sarno, yang selalu
memberikan dukungan serta doa.
Teman-temanku yang selalu setia;
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin, puji syukur kepada Allah SWT penulis
panjatkan atas segala rahmat, karunia, ridho dan hidayah-Nya yang telah
diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul. KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT
UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN DI
LINGKUNGAN RUMAH TANGGA (TELAAH PERBANDINGAN KASUS
NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006 DAN NOMOR
PERKARA PDM-670/KPJEN/12-2005. DIKEJAKSAAN NEGERI
KEPANJEN MALANG)
Penulisan hukum ini membahas mengenai kajian disparitas kontruksi jaksa
penuntut umum dalam melakukan penuntuntan khususnya kasus Kekerasan dalam
Rumah Tangga yang di tangani oleh Kejaksaan Negeri Kepanjen Malang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis
dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis
sampaikan terutama pada:
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H, M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara, dan
Pembimbing Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas
Hukum UNS.
3. Bapak Kristiyadi., S.H., M.Hum. selaku Dosen pembimbing I Fakultas
Hukum UNS penulisan skripsi, yang telah menyediakan waktu dan pikirannya
commit to user
vii
4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II Dosen
fakultas Hukum UNS penulisan skripsi, yang telah menyediakan waktu dan
pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan sehingga tersusunnya
skripsi ini.
5. Bapak Adi Sutanto, S.H., selaku Kepala Kejaksaan Negeri Kepanjen, yang
telah bersedia memberikan semua bantuan dan arahan kepada saya , untuk
menyelesaiakan skripsi ini.
6. Bapak Hayin Suhikto,.S.H., M.H. selaku KASIPIDUM Kejaksaan Negeri
Kepanjen., yang telah bersedia memberikan data , informasi, dan atas semua
bantuanya untuk menyelesaiakn skripsi ini.
7. Bapak Gaguk Safrudin, S.H., M.Hum selaku KASUBAGBIN Kejaksaan
Negeri Kepanjen, yang telah banyak memberikan informasi dan bantuan untuk
menyelesaikan skripsi ini.
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum
khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan dasar dalam penulisan
skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan.
9. Seluruh Staff Tata Usaha dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta, terima kasih atas bantuannya.
10. Seluruh Staf, Karyawan, Kejaksaan Negeri Kepanjen, atas segala bantuanya.
11. Bapak dan Ibu Tercinta, Kakakku Dini, adikku Alya serta keluargaku, yang
telah memberikan segalanya kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini
dapat terselesaikan dan semoga penulis dapat membalas budi jasa yang telah
Engkau berikan.
12. Mas Adi Dharma.,S.sos, terima kasih atas segala support , inspirasi serta
dukungan yang telah diberikan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.
13. Buat teman-temanku Irwan , Arip kriting, Doni, dan kopi lambada yang selalu
menjagaku untuk tetap tidak ngantuk, dan semua temanku yang memberi
commit to user
viii
14. Gita, makasih banget atas semua apa yang telah kau berikan selama ini, yang
telah mengajarkan arti kehidupan untuk saya menyelesaikan skripsi ini dan
mimpi saya.
15. Buat teman kampus (Akbar, Wulung, Nusa, Heri, Pras) dan
teman-teman lain Fakultas Hukum UNS angkatan 2006 yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu, satpam GD1,2,3. atas bantuannya, dukungan kalian
semua untuk saya menyelesaiakan skripsi ini,
16. Teman-temanku Kos El-TOROS. M. Setyo, M Ari, M Adi, Adit, Alim,
Hendra, Andona. yang tak pernah malas dan selalu sabar menemani,
mendengarkan keluh kesah juga selalu memberi dukungan dan motivasi.
17. Terima kasih buat Armada ku AE 3175 JU,yang selalu setia menghantarkan,
menemani, sewaktu kuliah, kemanapun saya pergi dan sampai sekarang,,
jangan pernah lelah.
18. Terima Kasih buat Team Racing Jaran Gibas, buat semua bantuan dan
pengalaman hidup.
19. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu
tersusunnya skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini,
maka saran serta kritik dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk
memperkaya karya tulis ini. skripsi ini.
Surakarta, Maret 2011
commit to user
ix DAFTAR ISI
JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
MOTTO... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR GAMBAR dan TABEL ... xi
ABSTRAK ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Metode Penelitian ... 8
F. Sistematika Penulisan Skripsi... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori` ... 13
1. Pengertian Kejaksaan ... 13
2. Pengertian Penuntutan ... 17
commit to user
x
4. Pengertian Rumah Tangga ... 29
B. Kerangka Pemikiran ... 31
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian. ... 34
B. Pembahasan. ... 43
1. Kontruksi Yuridis Jaksa Penuntut Umum dalam
Merumuskan Pasal yang Didakwakan pada Kasus
Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga Nomor Perkara
670/KPJEN/12-2005 dan Nomor Perkara
PDM-387/KPNJEN/05-2006 ... 43
2. Implikasi Yuridis Terhadap Kontruksi Tuntutan pada kasus
Nomor Perkara PDM-70/KPJEN/12-2005 Dan Nomor
Perkara PDM-387/KPNJEN/05-2006... 48
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ... 53
B. Saran... 55
commit to user
xi
DAFTAR GAMBAR dan TABEL
Gambar Kerangka Pemikiran……… 31
Tabel 1 Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga….……. 43
Tabel 2 Tindak Pidana Perkosaan Biasa………..……. 45
Tabel 3 Perbandingan Ancaman Pidana terhadap Tindak Pidana
commit to user
xii ABSTRAK
Insan Pandhu Wirawan, E 1106029 KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI
YURIDIS JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENUNTUTAN
PERKARA PERKOSAAN DI LINGKUNGAN RUMAH
TANGGA(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA
PDM-387/KPNJEN/05-2006 DAN NOMOR PERKARA
PDM-670/KPJEN/12-2005. DIKEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG) Skripsi jurusan Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret 2011
Perkosaan telah menjadi salah satu jenis kejahatan bidang seksual yang membutuhkan perhatian yang serius, mengingat kasus ini dapat mengakibatkan persoalan komplikatif (serius dan beragam) dalam kehidupan kemasyarakatan, terutama kehidupan kaum perempuan.
Bagaimana kontruksi yurisdis jaksa penuntut umum dalam perumusan Pasal yang didakwakan pada kasus Nomor perkara PDM-670/ KAPANJEN/12-2005 dan Nomor perkara PDM-387/KEPANJEN/05-2006 dan Bagaimana implikasi Yuridis terhadap kontruksi tuntutan yang didalam perkara Nomor PDM-387/KEPANJEN/05-2006 dan Perkara Nomor PDM-670/KEPANJEN/12-2005.Penelitian hukum yang dilakukan penulis menggunakan metode Penelitian hukum masuk ke dalam penelitian doktrinal karena keilmuan hukum memang bersifat perskriptif yang melihat hukum sebagai norma sosial bukan gejala sosial (Peter Mahmud Marzuki,2006: 33).suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.
Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut Kajian Kontruksi Disparitas Hukum Jaksa penuntut umum dalam melakukan penuntutan dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penghapusan Kekerasan Rumah Tangga Tahun 2004, itu sendiri meliputi dasar pertimbangan yuridis dan dasar pertimbangan sosiologis. Yang dimaksud dengan dasar pertimbangan yuridis adalah pertimbangan yang berdasar pada ketentuan Undang-undang, yang meliputi pertimbangan yuridis secara formil dan pertimbangan yuridis secara materiil. Sedangkan dasar pertimbangan sosiologis adalah pertimbangan yang berdasar pada perasaan dan hati nurani seorang jaksa untuk melakukan penuntutan demi mencerminkan keadilan.
commit to user
xiii ABSTRACT
Insan Pandhu Wirawan, E 1106029 JURIDICIAL CONSTRUCTION OF
THE DISPARITY STUDY PUBLIC PROSECUTOR IN
ENVIRONMENTAL RAPE LAWSUIT HOUSEHOLD (CASE NO COMPARISON REVIEW PDM-387/KPNJEN/05-2006 ISSUES AND CASE NUMBER PDM-670/KPJEN/12-2005. STATE DIKEJAKSAAN KEPANJEN MALANG) majors Thesis Faculty of Law, University Eleven March 2011
Rape has become one of the types of sexual crimes that require serious attention, since these cases can lead to problems komplikatif (serious and diverse) in the life of society, especially the lives of women.
How yurisdis construction of prosecutors in the formulation of Article which indicted in the case of PDM-case No. 670 / KAPANJEN/12-2005 and case No. PDM-387/KEPANJEN/05-2006 and How Juridical implications of construction claims in case No. PDM-387 / KEPANJEN/05-2006 and Case Number PDM-670/KEPANJEN/12-2005. Legal research conducted legal research methods writers enter into doctrinal research because it is perskriptif scientific law which saw law as a social norm rather than social phenomena (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 33). a process to find the rule of law, legal principles , as well as legal doctrine in order to answer the legal issues at hand.
The results of this study are as follows Disparity Study Construction Law prosecutor in the prosecution of using the draft Penal Code and the Elimination of Domestic Violence in 2004, itself covers basic considerations juridical and sociological considerations. The meaning of basic juridical considerations are considerations based on the provisions of the Act, including consideration of a formal juridical and legal considerations materially. While the basic sociological considerations are considerations based on the feelings and conscience of a prosecutor to conduct the prosecution in order to reflect justice.
Regarding consideration of a formal judicial prosecution refers to the provisions of Article 183 Jo. 184 Criminal Procedure Code regarding verification by at least two valid evidence. While juridical considerations materially prosecution will look at the elements of the offenses charged in the investigation at persidangan.Pertimbangan juridical materially, the Public Prosecutor in conducting criminal charges against perpetrators of rape in the household environment in case the above is referring to Act Number 23 of 2004 on the Elimination of Domestic Violence. As for the sociological considerations include inner attitudes, feelings and assessment of the Public Prosecutor against the accused in a court.
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejaksaan merupakan Institusi yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum
dan keadilan. Kejaksaan sebagai lembaga yang terdiri dari Kejaksaan Agung,
Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Namun demikian Kejaksaan tetap satu
dan tidak terpisah-pisahkan dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya,
yang bertindak demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta
senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa kedudukan setiap orang di muka
hukum adalah sama.
Kejaksaan dalam hal menjalankan tugas dan wewenangnya didukung
oleh peraturan perundang-undangan. Peraturan-peraturan tersebut yang antara lain
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (disingkat
KUHAP), dan PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.
KUHAP sebagai hukum formil yang menegakkan hukum materiil
memuat norma-norma proses penegakan hukum materiil, termasuk wewenang
jaksa sebagai penuntut umum untuk melakukan penuntutan pada perkara pidana.
Tindakan penuntutan dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, dalam hal ini kebenaran materiil ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana yang
didakwakan dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan
guna menentukan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.
Diantara perkara pidana yang perlu mendapatkan perhatian serius salah
satunya adalah tindak pidana perkosaan yang sampai saat ini terus merebak.di sini
secara lebih kongkrit peneliti ingin mengkaji lebih dalam tuntutan pasal yang
diterapkan jaksa penuntut umum dalam kasus PKDRT.
Dinamika kejahatan kesusilaan di Indonesia dalam hal ini kasus
commit to user
pidana perkosaan tidak hanya terjadi antara pelaku dan korban yang tidak saling
mengenal, namun juga terjadi antara seorang wanita yang masih tinggal bersama
dengan pelaku dan bahkan memiliki hubungan darah dengannya, sebagai contoh
seorang ayah memperkosa anak kandungnya sendiri. Fakta ini seperti terlihat dari
berbagai pemberitaan, baik dari media masa maupun kasus-kasus yang ditangani
lembaga-lembaga yang perduli terhadap masalah tersebut.
Menurut laporan Komnas Perempuan baru-baru ini, ada 3.160 kekerasan
terhadap perempuan di seluruh Indonesia pada tahun 2001, kemudian bertambah
menjadi 5.163 setahun kemudian, 7.787 pada tahun 2003, dan bertambah menjadi
14.020 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Menurut ketua komnas perempuan,
Kamala Chandrakirana, meningkatnya kekerasan terhadap perempuan, termasuk
kekerasan terhadap rumah tangga menumbuhkan permintaan agar negara atau
pemerintah bertindak (The Jakartapost; Wednesday, March 9, 2005).
Ketidak pedulian masyarakat dan negara terhadap masalah Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, salah satunya disebabkan karena adanya ideologi gender
dan budaya patriarki. Gender adalah pembedaan peran sosial dan karakteristik
laki-laki dan perempuan yang dihubungkan atas jenis kelamin (seks) mereka.
Pengertian patriarki adalah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai yang
utama atau superior dibandingkan dengan perempuan. Ideologi Gender dan
budaya patriarki inilah yang kemudian oleh pemerintah dilegitimasi disemua
aspek kehidupan. Hal-hal yang berkaitan dengan bidang domestik, seperti seperti
rumah tangga dan reproduksi dikategorikan privat dan bersifat personal, misalnya,
relasi suami istri, keluarga, dan seksualitas. Hal-hal yang bersifat privat dan
domestik ini merupakan hal yang berada diluar campur tangan masyarakat atau
individu lain dan negara.
Akibat budaya patriarki dan ideologi Gender tersebut berpengaruh juga
terhadap ketentuan di dalam Undang-Undang Perkawinan yang membedakan
peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah
tangga (Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan) yang menimbulkan pandangan
dalam Masyarakat seolah-olah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar
commit to user
Kondisi tadi menimbulkan akibat kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak
perempuan yang terjadi dalam ruang lingkup privat atau domestik ini menjadi
tindakan yang tidak dapat dijangkau oleh negara. Tindakan-tindakan yang
melanggar hak perempuan dan seharusnya menjadi tanggung jawab negara dan
aparat, justru disingkirkan untuk menjadi urusan keluarga. Selain itu juga ada
kecenderungan dari masyarakat untuk selalu menyalahkan korbanya. Hal ini
dipengarui oleh nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis. Bahkan,
walaupun kejadian dilaporkan, usaha untuk melindungi korban dan menghukum
pelaku kekerasan sering mengalami kegagalan. Kondisi tersebut terjadi karena
kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan, tidak pernah
dianggap sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia (Ita F.Nadia;1998:2).
Padahal kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya juga merupakan kejahatan
terhadap individu dan masyarakat yang pelakunya seharusnya dapat dipidana,
tetapi sulit ditangani (pihak luar) karena dianggap sebagai urusan internal suatu
rumah tangga.
Anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan urusan
rumah tangga timbul di antara suami istri yang hubungan hukum antara individu
tersebut terjadi karena terikat di dalam perkawinan yang merupakan lingkup
hukum perdata. Dengan demikian, apabila terjadi pelanggaran di dalam hubungan
hukum antar individu tersebut, pegakan hukumnya dilakukan dengan cara
melakukan gugatan ke pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan.
Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
kekerasan dalam rumah tangga, seperti halnya hukum publik (hukum pidana).
Masalah kekerasan atau penganiyaan yang terjadi di dalam rumah tangga
di dalam Undang-Undang Perkawinan hanya merupakan salah satu alasan
penyebab putusnya suatu perkawinan, seperti yang diatur dalam Pasal 38
Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 19 peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974.
Melalui Instrumen hukum perdata, dalam hal ini Undang-Undang
commit to user
hukuman karena penegakan hukumnya hanya dapat dilakukan dengan cara
mengajukan gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Sepanjang pihak yang
mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak merasa dirugikan dengan
adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga maka tidak akan muncul gugatan ke
pengadilan. Berbeda dengan menggunakan hukum publik yang memiliki sifat
apabila terjadi pelanggaran hukum penegakan hukumnya dilakukan oleh penguasa
karena tujuan hukum publik adalah menjaga kepentingan umum. Dengan
meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga dan akibat yang ditimbulkan
terhadap korban menyebabkan sebagian masyarakat menghendaki agar
masyarakat menghendaki agar pelaku kekerasan dalam rumah tangga dipidana.
Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) yang mengatur
tentang kekerasan adalah Pasal 89 dan 90 yang hanya ditujukan kekerasan fisik
tetapi tidak mengatur kekerasan seksual yang dapat terjadi dalam rumah tangga
antara suami istri. Selain itu juga tidak ada perintah perlindungan atau perintah
pembatasan gerak sementara yang bisa dikeluarkan oleh pengadilan untuk
membatasi pelaku melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan
kelemahan yang dimiliki UUP dan KUHP maka diperlukan aturan khusus
mengenai kekerasan dalam rumah tangga ini, hal ini berarti dibutuhkan aturan
hukum dan kebijakan publik mengenai kekerasan dalam rumah tangga karena
ketiadaan hukum dan kebijakan publik yang jelas dan semakin menyuburkan
praktik kekerasan dalam rumah tangga tersebut.
Upaya untuk mengatur kekerasan dalam rumah tangga ke dalam suatu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga. Undang-undang tersebut merupakan tuntutan masyarakat yang
telah sesuai dengan tujuan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk
menghapus segala bentuk kekerasan dibumi Indonesia, khususnya kekerasan
dalam rumah tangga. Selain itu juga sesuai dengan konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.
Dengan demikian terlihat pada perubahan pandangan dari pemerintah
commit to user
merupakan urusan privat,tetapi juga menjadi masalah publik dari urusan rumah
tangga dalam hukum perkawinan yang diatur dalam lingkup hukum perdata
menjadi urusan hukum publik yang diatur melalui Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (Undang PKDRT). meski demikian lahirnya
Undang-Undang PKDRT tidak semata-mata memenuhi harapan para perempuan yang
sebagian besar merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga mendapatkan
keadilan mengingat kondisi penegakan hukum di negara kita yang masih jauh dari
harapan dan tidak lepas dari praktik-praktik yang diskriminatif dan lebih
menguntungkan pihak yang mempunyai kekuatan baik kekuasan, ekonomi, sosial
maupun budaya. Untuk mewujudkan penegakan hukum yang diharapkan maka
pemahaman dan kesadaran bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu
kejahatan harus disebarluaskan sehingga ada kesatuan pemahaman di dalam
masyarakat. Tanpa pemahaman dan kesadaran tersebut maka penegakan hukum
yang diharapkan akan semakin jauh. Selain itu perempuan sebagai anggota
masyarakat juga harus memiliki kemauan untuk membawa kasusnya kepengadilan
pidana. Untuk menumbuhkan kemamuan merupakan suatu langkah yang amat
berat bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga karena banyak kendala
yang dihadapinya.
Oleh Karena itu tanpa dukungan dari anggota keluarga dan masyarakat
ataupun aparat hukum yang responsive maka langkah yang ditempuh perempuan
korban KDRT hanya akan berakhir sia-sia ditengah jalan. Selama ini perempuan
yang mengalami korban KDRT lebih memilih menyelesaikan kasusnya melalui
penyelesaian perceraian daripada menyelesaikan kasusnya secara pidana
menunjukan bahwa ada keengganan dari korban untuk menempuh penyelesaian
kasusnya secara pidana. Kondisi ini menunjukan bahwa ada kendala yang
dihadapi perempuan yang dihadapi perempuan yang menjadi korban KDRT,
seperti peraturan hukumnya, aparat hukumnya dan masyarakat. Dengan demikian
terlihat bahwa system hukum yang ada belum mendukung kearah penegakan
hukum yang diharapkan. Perempuan korban KDRT cenderung memilih
commit to user
Seharusnya kasus KDRT ini sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal
5 huruf c dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan mengenai ancaman pidananya
dapat dilihat pada Pasal 46, 47 dan 48 undang-undang yang sama. Melihat
kasus-kasus yang terjadi, dapat diketahui bahwa perkosaan semakin membabi buta,
sehingga pelaku tidak melihat apakah korbannya adalah seorang wanita yang
masih memiliki hubungan darah dengan pelakunya. Hal ini tidak dipikirkan oleh
si pelaku, yang ada di pikirannya hanyalah dapat melampiaskan nafsu seksual
mereka. Oleh sebab itu seakan-akan pelaku tidak menghargai bahkan merampas
Hak asasi dari si korban. Jika diperhatikan, dampak dari tindak pidana perkosaan
tersebut sangatlah menyakitkan dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan
bagi mereka yang menjadi korban. Terkadang, dipidananya pelaku perkosaan
tidak lantas membuat si korban merasa mendapatkan keadilan. Hal ini
dikarenakan akibat fisik maupun psikis yang ditimbulkan tidak menjadi hilang
karena dipidananya pelaku perkosaan tersebut.
Maraknya kasus perkosaan dan Disparitas yang terjadi dalam penegakan
hukum dapat dikatakan sebagai cermin kegagalan penegak hukum dalam
menempatkan hukum sebagai kekuatan supremasi. Penjatuhan hukuman yang
cukup ringan terhadap pelaku kejahatan kesusilaan dalam hal ini perkosaan dinilai
dapat mendorong atau menstimulasi oknum-oknum sosial untuk melakukan
praktek peniruan kejahatan. Sehingga tuntutan pemberatan hukuman terhadap
pemerkosa wajib mendapatkan prioritas dan perhatian yang sangat penuh.
B. Rumusan Masalah
Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini,
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kontruksi yurisdis jaksa penuntut umum dalam perumusan pasal
yang didakwakan pada kasus Nomor perkara PDM-670/ KAPANJEN/12-2005
commit to user
2. Bagaimana implikasi Yuridis terhadap kontruksi tuntutan dalam perkara
Nomor 387/KEPANJEN/05-2006 dan Perkara Nomor
PDM-670/KEPANJEN/12-2005.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakannya penelitian dan penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Guna mengetahui prosedur penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum dalam proses perkara pidana khususnya tindak pidana perkosaan di
lingkungan rumah tangga.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pentingnya hal perumusan pasal bagi
Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana
pada pelaku tindak pidana perkosaan yang terjadi di lingkungan rumah tangga.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan informasi rinci akurat dan
aktual yang akan memberikan jawaban permasalahan baik secara teoritis maupun
praktis. Secara teoritis untuk langkah pengembangan lebih lanjut dan secara
praktis berwujud aktual maka diperoleh manfaat penelitian ini sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat mengembangkan penelitian tentang kajian disparitas jaksa penuntut
umum pada pelaku tindak pidana perkosaan yang terjadi di lingkungan
rumah tangga. Dipadukan dengan teori-teori yang relevan dengan masalah
yang diteliti.
b. Sebagai bahan untuk menambah khasanah pustaka dan sebagai salah satu
sumber bagi peneliti selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti sesuai dengan
undang-undang yang berlaku dan telah ditetapkan.
b. Memberikan input atau bahan pertimbangan bagi lembaga kejaksaan
commit to user
signifikan dan konstruktif dalam memberikan tuntutan terhadap tersangka
pemerkosaan dilingkungan rumah tangga, Di Kejaksaan Negeri Kepanjen
Kabupaten Malang.
E. Metode Penelitian
H.J van Eikema Homes dalam bukunya Peter Mahmud Marzuki
menyatakan dalam setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri. Apa
yang dikemukakakan mengindentifikasikan bahwa tidak dimungkinkannya
penyeragaman metode untuk semua bidang ilmu (Peter Mahmud
Marzuki,2006:11). Berdasarkan hal tersebut, maka penulis dalam penelitian ini
menggunakan metode antara lain sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki,2006: 35). Penelitian hukum
menurut Hutchison dibedakan menjadi 4 tipe yaitu:
a. Doctrinal Research.
b. Reform-oriented Research.
c. Theoretical Research.
d. Fudamental Research (Peter Mahmud Marzuki,2006:32-33).
Ketiga tipe Penelitian hukum yang dikemukakan Hutchison yaitu
Doctrinal Research, Reform-oriented Research, dan Theoretical Research,
menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan penelitian doktrinal sedangkan
penelitian sosio legal termasuk dalam tipe keempat yaitu Fudamental
Research (Peter Mahmud Marzuki, 2006:32-33).
Penelitian hukum ini masuk ke dalam penelitian doktrinal karena
keilmuan hukum memang bersifat perskriptif yang melihat hukum sebagai
commit to user 2. Sifat Penelitian
Sifat Penelitian hukum ini sejalan dengan sifat dari ilmu hukum itu
sendiri. ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan, maksudnya bahwa ilmu hukum mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum , konsep-konsep hukum
dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki,2006: 22).
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum doktrinal dapat dilakukan dalam berbagai
pendekatan. Pendekatan dalam penelitian hukum doktrinal sesungguhnya
merupakan esensi dari metode penelitian ini sendiri. Pendekatan itu yang
mungkin diperoleh jawaban yang diharapkan atas permasalahan hukum yang
diajukan. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian hukum diantaranya:
a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach).
b. Pendekatan kasus (Case Approach).
c. Pendekatan Historis ( Historical Approach).
d. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach).
e. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach) (Peter Mahmud
Marzuki,2006: 93-94).
Berdasarkan kelima pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan
dengan penelitian hukum yang penulis angkat adalah pendekatan kasus (Case
Approach). dan Pendekatan Perundang- undangan (Statute Approach).
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian ini peneliti menggunakan jenis bahan hukum sebagai
titik tolak peneliti adapun bahan hukum tersebut meliputi :
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas yang terdiri dari perundang-undangan, catatan
resmi atau risalah dalam perbuatan perundang-undangan dan
tuntutan-tuntutan Jaksa. Penelitian hukum ini menggunakan kajian konstruksi
commit to user
Perkosaan Dalam Rumah Tangga dengan bahan hukum dari Tuntutan
Nomor Perkara: 387/KPNJEN/05-2006.dan Nomor perkara:
PDM-670/KPNJEN/12-2005, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun 2004 (PKDRT)
di Kejaksaan Negeri Kepanjen Malang.
b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar atas kajian
kontruksi disparitas oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara nomor:
PDM-387/KPNJEN/05-2006.dan Nomor perkara:
PDM-670/KPNJEN/12-2005. Dalam hal ini penulis mengunakan bahan hukum sekunder berupa
jurnal-jurnal hukum dari dalam maupun luar negeri, hasil-hasil penelitian
hukum serta hasil karya dari kalangan hukum termasuk artikel-artikel
hukum di internet (Peter Mahmud Marzuki,2006: 141).
5. Teknik Pengumpulan bahan hukum
Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum
yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi. Penulis menggunakan teknik
studi pustaka, studi literatur, yang terkait perkara Perkosaan Dalam Rumah
Tangga berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun 2004 (PKDRT). Dalam hal ini
penulis melakukan penelitian pada perkara nomor:
PDM-387/KPNJEN/05-2006.dan Nomor perkara: PDM-670/KPNJEN/12-2005. di Kejaksaan Negeri
Kepanjen Malang. Selain itu peneliti juga mengumpulkan bahan-bahan hukum
sekunder yang berupa buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum yang berhubungan
dengan permasalahan yang diteliti.
6. Tehnik Analisis bahan hukum
Analisis bahan hukum dalam suatu penelitian adalah menguraikan
atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan bahan hukum yang
commit to user
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tehnik analisis deduksi. Metode
deduksi merupakan metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor
yang kemudian di ajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut
ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki,2006: 47).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka
penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika
penulisan hukum ini Terdiri dari empat bab terbagi dalam sub-sub bagian yang
dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil
penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, maanfaat penelitian, metodologi penelitian
dan sistematika penulisan Hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisi tentang. Kejaksaan Republik Indonesia, Asas-asas
Dibidang Penuntutan, Surat Tuntutan Pidana (Requisitor), Tindak Pidana
Perkosaan, Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP,
Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pengertian Rumah Tangga Dalam
Tinjauan Sosiologis, Pengertian Rumah Tangga Dalam Tinjauan Yuridis
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang
telah ditentukan sebelumnya yaitu bagaimana Kajian Disparitas
Kontruksi Jaksa Penuntut Umum dalam kasus pemerkosaan di
commit to user
kekerasan dalam Rumah Tangga, dan Kitab Undang-Undang Acara
Pidana.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi
obyek penelitian dan saran-saran.
commit to user
13 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
a. Pengertian Kejaksaan
Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 disebut Kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan
tugas, fungsi dan wewenangnya, Kejaksaan harus mampu mewujudkan
kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan
hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan , kesopanan dan
kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Sebagai salah satu lembaga penegak hukum,
Kejaksaan dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi
hukum, perlindungan kepentingan umum, dan penegakkan hak asasi manusia.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dijelaskan mengenai
susunan organisasi Kejaksaan, yang terdiri dari Kejaksaan Agung
berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi
berkedudukan di ibukota propinsi, dan Kejaksaan Negeri berkedudukan di
ibukota, kabupaten, atau kotamadya.
Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang
mengendalikan tugas dan wewenang Kejaksaan. Dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung
yang merupakan satu kesatuan unsur pimpinan dan beberapa orang Jaksa
Agung Muda sebagai unsur pembantu pimpinan. Untuk di tingkat propinsi,
dipimpin oleh seorang Jaksa Tinggi yang dibantu oleh seorang wakil Kepala
Kejaksaan Tinggi sebagai kesatuan unsur pimpinan, beberapa orang unsur
commit to user
kotamadya, dipimpin oleh seorang Kepala Kejaksaan Negeri dan dibantu oleh
beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.
b. Jaksa Penuntut Umum
Yang dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan penuntut umum
adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Melihat perumusan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan, sedangkan pengertian
penuntut umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu
penuntutan dalam persidangan.
Kejaksaan adalah satu-satunya alat negara yang diberi wewenang
oleh Undang-undang sebagai penuntut umum dan Jaksa Agung adalah
satu-satunya pejabat negara sebagai penuntut umum tertinggi. Dengan tugas
tersebut, kepada penuntut umum diletakkan tanggung jawab yang berat dan
mendalam, karena dengan sumpah jabatan, ia tidak hanya bertanggung jawab
kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat tetapi juga bertanggung
jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan tugas penegakan hukum dan keadilan tersebut baik dan buruknya
tergantung pada manusia pelaksana.
Tuntutan pidana adalah merupakan pekerjaan yang membutuhkan
ketekunan dalam menangani perkara yang didakwakan di muka sidang
pengadilan, disamping ketekunan, seorang penuntut umum harus terampil dan
berbakat dalam mengutarakan hasil pembuktian, memilih kata-kata yang tepat
dan mengaitkan alat-alat bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak pidana
commit to user
Penuntut umum dalam menangani suatu perkara harus mempunyai
pengetahuan hukum yang luas khususnya teori-teori hukum yang berhubungan
dengan perkara yang ditangani. Tanpa dilandasi penguasaan ilmu hukum
penuntut umum akan selalu gagal dalam mencapai tujuan penuntutan.
c. Tugas dan Wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam Proses Perkara
Pidana
Seiring perkembangan jaman, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1961 tentang ketentuan pokok Kejaksaan Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1961 tentang pembentukan Kejaksaan Tinggi, dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang ketentuan pokok Kejaksaan
Republik Indonesia sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan
kebutuhan hukum masyarakat serta kehidupan ketatanegaraan menurut
Undang-Undang Dasar 1945.
Kejaksaan termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar 1945. Untuk
lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia
sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun,
yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan kekuasaan lainnya. Maka dari itulah pembaharuan
Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia perlu dilakukan dengan
membentuk Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
Di dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004,
disebutkan:
Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
1) Melakukan penuntutan;
2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
commit to user
3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Sedangkan dalam Pasal 14 KUHAP, disebutkan bahwa penuntut
umum mempunyai wewenang :
1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu;
2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan
memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari
penyidik:
3) Pasal 110 ayat (3) berbunyi:
4) “Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk
dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai
dengan petunjuk dari penuntut umum”
5) Pasal 110 ayat (4) berbunyi:
6) “Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut
umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum
waktunya tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari
penuntut umum kepada penyidik”
7) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
8) Membuat surat dakwaan;
commit to user
10) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;
11) Melakukan penuntutan;
12) Menutup perkara demi kepentingan hukum;
13) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
14) Melaksanakan penetapan hakim.
Di samping tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana yang
tersebut dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 di
atas, pada Pasal 32 juga disebutkan bahwa Kejaksaan dapat diserahi tugas dan
wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan
penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Selain
itu kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada
instansi pemerintah lainnya, sesuai dengan bunyi Pasal 33 dan Pasal 34
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
2. Tinjauan tentang Penuntutan
a. Pengertian Penuntutan
Di dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang
pengertian penuntutan, berikut dikemukakan beberapa pendapat para sarjana
commit to user 1) Sudarto (Djoko Prakoso, 1988 : 25)
Penuntutan adalah berupa penyerahan berkas perkara si tersangka kepada
hakim dan sekaligus agar supaya diserahkan kepada sidang pengadilan.
2) Wirjono Prodjodikoro (Djoko Prakoso, 1988 : 25)
Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan
perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan
permohonan agar supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan
perkara pidana itu terhadap terdakwa.
3) S.M Amin (Djoko Prakoso, 1988 : 25)
Menuntut adalah penyerahan perkara ke sidang oleh hakim.
4) Martiman Prodjo Hamidjojo (Djoko Prakoso, 1988 : 26)
Penuntutan dalam arti luas merupakan segala tindakan penuntut umum
sejak ia menerima berkas dari penyidik untuk melimpahkan perkara pidana
ke Pengadilan Negeri.
5) A. Karim Nasution (Djoko Prakoso, 1988 : 26)
Penuntutan adalah penentuan, apakah suatu perkara diserahkan atau tidak
kepada hakim untuk diputuskan dan jika dilanjutkan ke pengadilan untuk
mengajukan tuntutan hukum.
Dari seluruh pendapat yang tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa penuntutan merupakan suatu proses dari beberapa
tindakan yang harus dilakukan oleh jaksa sehubungan dengan tugas jaksa di
bidang penuntutan.
b. Asas-asas Dibidang Penuntutan
Di dalam hukum acara pidana dikenal adanya dua asas penuntutan,
antara lain :
1) Asas Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan penuntut umum untuk
melakukan penuntutan terhadap semua orang yang dianggap cukup alasan
bahwa yang bersangkutan telah melakukan perbuatan yang melanggar
commit to user
2) Asas Oportunitas, yaitu penuntut umum tidak diwajibkan untuk
melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dianggap telah cukup
alasan bahwa yang bersangkutan melakukan perbuatan yang melanggar
hukum, demi kepentingan umum.
Dalam KUHAP, asas ini dikenal dengan “penyampingan perkara
untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”. Hal ini
dinyatakan dalam penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP yang berbunyi, “Yang
dimaksud dengan ‘penghentian penuntutan’ tidak termasuk penyampingan
perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”
Maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi
perwujudan dari asas oportunitas, sehingga dengan demikian perwujudan asas
oportunitas tidak perlu dipermasalahkan mengingat dalam kenyataannya
perundang-undangan positif di Indonesia, yaitu penjelasan resmi Pasal 77
KUHAP dan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia Pasal 35 huruf c secara tegas mengatakan bahwa Jaksa
Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum.
Maksud dan tujuan Undang-undang memberikan kewenangan kepada
Jaksa Agung tersebut, adalah untuk menghindarkan timbulnya
penyalahgunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas, sehingga
dengan demikian satu-satunya pejabat negara kita yang diberi wewenang
melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap
para jaksa selaku penuntut umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa
Agung selaku penuntut umum tertinggi.
Menurut penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan
bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Jadi bukan untuk
commit to user
c. Surat Tuntutan Pidana (Requisitor)
Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian surat dakwaan
berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan dan kesimpulan
penuntut umum tentang kesalahan terdakwa disertai dengan tuntutan pidana.
Rekuisitor dibacakan setelah sidang pengadilan dinyatakan selesai
oleh hakim ketua karena pembuktian yang diajukan oleh penuntut umum,
terdakwa atau penasihat hukumnya di muka sidang telah selesai dan hakim
ketua telah memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar telah
terjadi dan terdakwalah yang terbukti salah atau tidak terbukti salah.
Apabila pemeriksaan perkara oleh hakim ketua sidang sudah
dinyatakan selesai, penuntut umum baru dapat membacakan “tuntutan pidana”
secara tertulis yang disebut surat tuntutan pidana (requisitor).
Susunan surat tuntutan pidana tidak diatur dalam KUHAP tetapi
tumbuh dan berkembang dalam praktek peradilan, tuntutan pidana adalah
bagian terakhir dari tugas penuntutan yang merupakan bagian
terpenting, karena merupakan resume acara penuntutan di muka sidang
pengadilan.
Dalam tuntutan pidana penuntut umum akan dilihat kemampuannya
dalam membuktikan apa yang didakwakan, disamping itu kemampuan
penuntut umum akan diuji dapatkah penuntut umum mempertahankan
pendapatnya, dapatkah mengajukan argumentasi apabila ada sanggahan
terdakwa atau penasihat hukumnya atas tuntutan yang dibacakan pada akhir
sidang pengadilan. Apabila tuntutan dapat dilemahkan dengan sanggahan
terdakwa atau penasihat hukumnya maka tuntutan pidana yang dibacakan
penuntut umum berarti mengalami kegagalan.
Untuk mungurangi kegagalan perlu diperhatikan bagaimana caranya
membuat surat dakwaan yang cermat, jelas dan lengkap dan menyusun surat
tuntutan pidana yang lengkap dan benar. Dalam menyusun surat tuntutan
pidana harus memperhatikan:
1) Surat tuntutan pidana harus disusun secara sistematis,
commit to user
3) Isi dan maksud harus jelas dan mudah dimengerti,
4) Apabila menggunakan teori hukum harus menyebut sumbernya.
Dalam KUHAP tidak satu Pasal pun mengatur tentang bentuk dan
susunan surat tuntutan, bentuk dan susunan surat tuntutan seperti diterangkan
diatas bahwa dari masa ke masa berkembang di dalam praktek peradilan.
Dalam Pasal 182 (1) a mengatur: “setelah pemeriksaan dinyatakan selesai
penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.” Di lain pasal tidak ada yang
menyebut dan mengatur tentang tuntutan pidana. Menurut praktek peradilan
sistematika dari surat tuntutan pidana adalah sebagai berikut:
1) Pendahuluan
Sebagai orang timur dan yang berketuhanan Yang Maha Esa, segala
hasil apapun bentuknya yang kita peroleh semua itu adalah berkat dan rida
Tuhan, maka sepantasnya apabila dalam pendahuluan partama-tama memuji
syukur atas dapat diselesaikannya sidang yang penuh risiko sehingga sampai
dibacakan tuntutan pidana. Disamping itu tidak salah apabila terimakasih juga
diucapkan kepada semua pihak yang terkait yang mendukung kelancaran
jalannya sidang sampai selesai.
2) Identitas Terdakwa
Identitas terdakwa harus ditulis dengan jelas, lengkap sesuai dengan
yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) a KUHAP dengan urutan sebagai
berikut:
a) Nama lengkap.
b) Tempat lahir.
c) Umur atau tanggal lahir.
d) Jenis kelamin.
e) Kebangsaan;
f) Tempat tinggal.
g) Agama.
h) Pekerjaan.
Dalam menulis identitas harus cermat sesuai dengan identitas yang
commit to user
apabila terdapat kesalahan dalam menulis identitas meskipun surat tuntutan
tidak akan dibatalkan oleh hakim, tetapi sudah memberi peluang kepada
terdakwa atau penasihat hukumnya sebagai alasan dalam mengajukan
pembelaannya.
3) Surat Dakwaan
Dalam surat tuntutan pidana, surat dakwaan harus ditulis kembali
secara lengkap dengan maksud sebagai dasar untuk menilai pembuktian yang
didapat dalam sidang pengadilan apakah sesuai dengan perbuatan materiil
dan memenuhi unsur delik yang terdapat dalam surat dakwaan. Surat
dakwaan juga diperlukan berhubung setiap bentuk surat dakwaan
membutuhkan cara pembuktian yang berbeda-beda.
4) Hasil Pembuktian
Hasil pembuktian yang diperoleh dari dalam sidang pengadilan
adalah merupakan fakta dari jawaban pertanyaan hakim, penuntut umum,
penasihat hukum atau yang lain baik kepada saksi, ahli ataupun terdakwa
sendiri. Tidak jarang terjadi hasil pembuktian dari alat bukti saksi tidak dapat
menggambarkan tindak pidana secara lengkap karena disebabkan keterangan
alat bukti saksi masing-masing berdiri sendiri sehingga hasil pembuktian
hanya berbentuk alat bukti petunjuk.
5) Barang Bukti
Dalam surat tuntutan juga harus disebut apabila ada barang bukti
yang digunakan untuk menguatkan pembuktian di muka sidang pengadilan.
Barang bukti adalah benda sitaan yang oleh penyidik telah diserahkan kepada
penuntut umum pada waktu penyerahan berkas perkara tahap terakhir yang
diajukan ke muka sidang pengadilan dalam usaha pembuktian tindak pidana
yang dilakukan oleh terdakwa.
6) Analisis Fakta
Merupakan kompulasi fakta-fakta yang didapat dari dalam sidang
pengadilan yang ada hubungannya dengan perbuatan materiil yang
didakwakan dan sesuai dengan unsur tindak pidana yang didakwakan.
commit to user
bukti yang lain sehingga tergambar tindak pidana yang didakwakan. Serta
mengaitkan fakta-fakta yang diperoleh dengan alat bukti dengan barang bukti
yang dapat menguatkan pembuktian.
7) Analisis Hukum
Analisis hukum dibuat berdasarkan analisis fakta dari hasil
pembuktian yang terungkap di muka sidang pengadilan, di dalam surat
dakwaan atas suatu tindak pidana sudah tercantum perbuatan materiil yang
mengandung unsur delik, yang mana harus dibuktikan dengan keterangan dari
alat bukti di dalam sidang pengadilan.
8) Pembuktian Surat Dakwaan
Terdapat enam bentuk surat dakwaan, antara lain :
a) Surat Dakwaan Tunggal
b) Surat Dakwaan Berlapis (Subsider)
c) Surat Dakwaan Alternatif
d) Surat Dakwaan Kumulatif
e) Surat Dakwaan Gabungan
f) Surat Dakwaan Kombinasi
Apabila analisa hukum telah dibuat dan semua unsur delik yang
didakwakan dapat dibuktikan sesuai dengan perbuatan materiil yang dilakukan
terdakwa berdasarkan fakta-fakta dari hasil pembuktian di dalam sidang,
barulah penuntut umum menuntut terdakwa dan berat atau ringannya tuntutan
tergantung kualifikasi tindak pidana yang dilakukan.
Setelah mempertimbangkan berapa berat ringannya tuntutan pidana
demi rasa keadilan, penuntut umum memohon kepada Hakim Ketua Majelis
untuk memidana terdakwa pada akhir pembacaan tuntutan. Di samping
tuntutan pidana perlu juga mohon ditentukan status barang bukti, biaya
perkara dan status tahanan terdakwa. Sesudah requisitor dibacakan, yang asli
diserahkan kepada Hakim Ketua Majelis dan diserahkan kepada terdakwa atau
commit to user
3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Perkosaan
a. Pengertian Perkosaan
Kejahatan perkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia berasal dari
kata perkosaan yang berarti “menundukkan dengan kekerasan, memaksa
dengan kekerasan atau menggagahi”. Berdasarkan pengertian tersebut maka
perkosaan mempunyai makna yang luas, yang tidak hanya terjadi pada
hubungan seksual tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran
hak asasi manusia yang lainnya.
Menurut Soetandyo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan
perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki
terhadap seorang perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku
adalah melanggar. Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud
perkosaan di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan
seorang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya) dan di lain
pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib
sosial (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001 : 40).
Berdasarkan pengertian perkosaan tersebut di atas, menunjukkan
bahwa perkosaan merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki
terhadap perempuan yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu
seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara moral maupun hukum
melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan dalam masyarakat.
Terhadap hal ini adalah wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan
perbuatan perkosaan sebagai suatu tindak pidana yang diatur bentuk perbuatan
dan pemidanannya dalam hukum pidana materiil yang berlaku.
b. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan dalam KUHP
Tindak pidana perkosaan dalam tinjauan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) seperti yang diatur dalam Pasal 285 KUHP yang
sampai sekarang digunakan sebagai pedoman oleh masyarakat dan atau aparat
commit to user
sebagai perbuatan tindak pidana perkosaan atau bukan. Bunyi dari Pasal 285
KUHP adalah :
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam
karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun”.
Berdasarkan rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285
KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur- unsur tindak pidana perkosaan adalah
sebagai berikut :
1) Perbuatannya : memaksa;
2) Caranya: (a) dengan kekerasan;
Caranya: (b) dengan ancaman kekerasan;
3) Seorang perempuan bukan isterinya;
4) Bersetubuh dengan dia (Adami Chazawi, 2005 : 63).
Penjelasan unsur-unsur tindak pidana perkosaan di atas sebagai
berikut :
1) Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan
yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang
bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi
menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya
sendiri (Adami Chazawi, 2005 : 63). Berdasarkan pengertian ini pada
intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau
bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut. Satochid Kartanegara
menyatakan “perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai
perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang
lain” (Leden Marpaung, 1996 : 52). Memaksa dapat dilakukan dengan
perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat
wanita “menjadi terpaksa” bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus
commit to user
hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang
dikenakan oleh wanita adalah wanita itu sendiri.
2) Kekerasan (geweld) merupakan salah satu cara memaksa dalam Pasal 285
disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan menggunakan ancaman
kekerasan. KUHP tidak menjelaskan tentang apa sebenarnya yang
dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP yang
merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan :
“Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan” Menurut Adami Chazawi, kekerasan adalah
“suatu cara atau upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada
orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan
kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi
orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik” (Adami Chazawi, 2005 :
65). Selanjutnya yang dimaksud dengan kekerasan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga adalah: “Setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga”. Mengenai maksud dari ancaman kekerasan (bedreiging met
geweld), menurut Adami Chazawi diartikan sebagai “ancaman kekerasan
fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa
perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan
persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang
berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera dilakukan atau
diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil
sebagaimana yang diinginkan pelaku” (Adami Chazawi, 2005 : 65).
Antara kekerasan atau ancaman kekerasan dengan ketidak berdayaan
perempuan terdapat hubungan kausal, karena tidak berdaya inilah maka
commit to user
3) Mengenai perempuan bukan isterinya, disini persetubuhan dilakukan
terhadap perempuan yang bukan isterinya. Ditentukannya hal tersebut
karena perbuatan bersetubuh dimaksudkan sebagai perbuatan yang hanya
dilakukan antara suami dan isteri dalam perkawinan.
4) Menurut M.H. Tirtamidjaja, “mengadakan hubungan kelamin” atau
“bersetubuh” berarti persentuhan sebelah dalam kemaluan laki-laki dan
perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak
perlu telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan
(Leden Marpaung, 1996 : 53).
5) Menurut Kedokteran Forensik, persetubuhan didefinisikan sebagai suatu
peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, penetrasi
tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai
ejakulasi.
c. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Bentuk atau dimensi kekerasan terhadap perempuan ada
bermacam-macam, yaitu :
1) Fisik, seperti memukul.
2) Psikologis, seperti mengancam.
3) Seksual, seperti melakukan tindakan memaksa berhubungan seks tanpa
persetujuan korban, baik dengan kekerasan fisik ataupun tidak.
4) Finansial, seperti mengambil uang korban.
5) Spiritual, seperti merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban.
Tindak pidana perkosaan dalam lingkungan rumah tangga itu sendiri
merupakan dimensi kekerasan dalam bentuk kekerasan seksual. Hal ini dapat
dilihat dari Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi : “Kekerasan
commit to user
a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau
tujuan tertentu”.
Bunyi dari Pasal 5 itu sendiri adalah: “Setiap orang dilarang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup
rumah tangganya, dengan cara :
1) Kekerasan fisik;
2) Kekerasan psikis;
3) Kekerasan seksual; atau
4) Penelantaran rumah tangga.
Sesuai dengan Pasal 1 Undang-undang ini, ditentukan bahwa yang
dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Mengenai lingkup rumah tangga, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 2 meliputi :
1) Suami, isteri, dan anak;
2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada nomor (1) karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam
rumah tangga.
3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.
4) Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak pidana perkosaan di
lingkungan rumah tangga tidak lain merupakan tindakan kekerasan seksual
commit to user
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Untuk ketentuan pidananya, dapat
dilihat pada Pasal 46 yang berbunyi: “setiap orang yang melakukan
perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau
denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan
pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan
sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu)
tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) t