• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT

UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN

DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA

(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA PDM-

670/KPJEN/12-2005 DAN NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006.

DI KEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG)

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh

INSAN PANDHU WIRAWAN

NIM. E1106029

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT

UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN

DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA

(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA

PDM-670/KPJEN/12-2005 DAN NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006.

DIKEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG)

Oleh

INSAN PANDHU WIRAWAN

NIM. E1106029

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dosen Pembimbing I

Kristiyadi, S.H., M.Hum.

NIP. 19581225198601111001

Surakarta, Maret 2011

Dosen Pembimbing II

Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.

(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT

UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN

DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA

(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA

PDM-670/KPJEN/12-2005 DAN NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006.

DIKEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG)

Disusun oleh :

INSAN PANDHU WIRAWAN

NIM : E. 1106029

Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 26 April 2011

TIM PENGUJI

(1) Edy Herdyanto, S.H., M.H :……… Ketua

(2) Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. : ……… Sekretaris

(3) Kristiyadi, S.H., M.Hum. : ... Anggota

MENGETAHUI

Dekan,

(4)

commit to user

iv

HALAMAN MOTO

Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh Allah

beserta orang-orang yang sabar.

(QS. Al-Baqarah :153)

Lupakan tentang konsekuensi dari kegagalan. Kegagalan hanya perubahan arah

sementara untuk mengarahkan anda lurus kearah kesuksesan anda.

(Denis Waitley)

Winners see possibilities; Losers see problems.

(Anonim)

Orang yang luar biasa hanya percaya pada hal yang mungkin. Orang yang luar

biasa mampu menggambarkan dengan jelas banyak hal yang tidak mungkin,

kemudian mengubahnya menjadi mungkin.

(Cherie Carterscoot)

What is now proved was once only imagined.

(William Blake)

Kegagalan dan kekecewaan adalah sesuatu yang mengajarkan saya tentang

kekuatan, optimisme, dan keyakinan untuk saya mampu dan berani mengambil

serta mendapatkan impian saya!.

(5)

commit to user

v

PERSEMBAHAN

Karya tulis ini saya persembahkan kepada:

Allah SWT, yang senantiasa memberikan kenikmatan pada umat-Nya;

Bapak Ibu tercinta, adik, kakak saya yang selalu memberi do’a dan kasih sayang;

keluarga besarku, dan keluarga besar Bapak Yusuf Sarno, yang selalu

memberikan dukungan serta doa.

Teman-temanku yang selalu setia;

(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin, puji syukur kepada Allah SWT penulis

panjatkan atas segala rahmat, karunia, ridho dan hidayah-Nya yang telah

diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul. KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT

UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN DI

LINGKUNGAN RUMAH TANGGA (TELAAH PERBANDINGAN KASUS

NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006 DAN NOMOR

PERKARA PDM-670/KPJEN/12-2005. DIKEJAKSAAN NEGERI

KEPANJEN MALANG)

Penulisan hukum ini membahas mengenai kajian disparitas kontruksi jaksa

penuntut umum dalam melakukan penuntuntan khususnya kasus Kekerasan dalam

Rumah Tangga yang di tangani oleh Kejaksaan Negeri Kepanjen Malang.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis

dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis

sampaikan terutama pada:

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan

kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H, M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara, dan

Pembimbing Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas

Hukum UNS.

3. Bapak Kristiyadi., S.H., M.Hum. selaku Dosen pembimbing I Fakultas

Hukum UNS penulisan skripsi, yang telah menyediakan waktu dan pikirannya

(7)

commit to user

vii

4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II Dosen

fakultas Hukum UNS penulisan skripsi, yang telah menyediakan waktu dan

pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan sehingga tersusunnya

skripsi ini.

5. Bapak Adi Sutanto, S.H., selaku Kepala Kejaksaan Negeri Kepanjen, yang

telah bersedia memberikan semua bantuan dan arahan kepada saya , untuk

menyelesaiakan skripsi ini.

6. Bapak Hayin Suhikto,.S.H., M.H. selaku KASIPIDUM Kejaksaan Negeri

Kepanjen., yang telah bersedia memberikan data , informasi, dan atas semua

bantuanya untuk menyelesaiakn skripsi ini.

7. Bapak Gaguk Safrudin, S.H., M.Hum selaku KASUBAGBIN Kejaksaan

Negeri Kepanjen, yang telah banyak memberikan informasi dan bantuan untuk

menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum

khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan dasar dalam penulisan

skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan.

9. Seluruh Staff Tata Usaha dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta, terima kasih atas bantuannya.

10. Seluruh Staf, Karyawan, Kejaksaan Negeri Kepanjen, atas segala bantuanya.

11. Bapak dan Ibu Tercinta, Kakakku Dini, adikku Alya serta keluargaku, yang

telah memberikan segalanya kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini

dapat terselesaikan dan semoga penulis dapat membalas budi jasa yang telah

Engkau berikan.

12. Mas Adi Dharma.,S.sos, terima kasih atas segala support , inspirasi serta

dukungan yang telah diberikan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

13. Buat teman-temanku Irwan , Arip kriting, Doni, dan kopi lambada yang selalu

menjagaku untuk tetap tidak ngantuk, dan semua temanku yang memberi

(8)

commit to user

viii

14. Gita, makasih banget atas semua apa yang telah kau berikan selama ini, yang

telah mengajarkan arti kehidupan untuk saya menyelesaikan skripsi ini dan

mimpi saya.

15. Buat teman kampus (Akbar, Wulung, Nusa, Heri, Pras) dan

teman-teman lain Fakultas Hukum UNS angkatan 2006 yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu, satpam GD1,2,3. atas bantuannya, dukungan kalian

semua untuk saya menyelesaiakan skripsi ini,

16. Teman-temanku Kos El-TOROS. M. Setyo, M Ari, M Adi, Adit, Alim,

Hendra, Andona. yang tak pernah malas dan selalu sabar menemani,

mendengarkan keluh kesah juga selalu memberi dukungan dan motivasi.

17. Terima kasih buat Armada ku AE 3175 JU,yang selalu setia menghantarkan,

menemani, sewaktu kuliah, kemanapun saya pergi dan sampai sekarang,,

jangan pernah lelah.

18. Terima Kasih buat Team Racing Jaran Gibas, buat semua bantuan dan

pengalaman hidup.

19. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu

tersusunnya skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini,

maka saran serta kritik dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk

memperkaya karya tulis ini. skripsi ini.

Surakarta, Maret 2011

(9)

commit to user

ix DAFTAR ISI

JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR dan TABEL ... xi

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan Skripsi... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori` ... 13

1. Pengertian Kejaksaan ... 13

2. Pengertian Penuntutan ... 17

(10)

commit to user

x

4. Pengertian Rumah Tangga ... 29

B. Kerangka Pemikiran ... 31

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian. ... 34

B. Pembahasan. ... 43

1. Kontruksi Yuridis Jaksa Penuntut Umum dalam

Merumuskan Pasal yang Didakwakan pada Kasus

Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga Nomor Perkara

670/KPJEN/12-2005 dan Nomor Perkara

PDM-387/KPNJEN/05-2006 ... 43

2. Implikasi Yuridis Terhadap Kontruksi Tuntutan pada kasus

Nomor Perkara PDM-70/KPJEN/12-2005 Dan Nomor

Perkara PDM-387/KPNJEN/05-2006... 48

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ... 53

B. Saran... 55

(11)

commit to user

xi

DAFTAR GAMBAR dan TABEL

Gambar Kerangka Pemikiran……… 31

Tabel 1 Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga….……. 43

Tabel 2 Tindak Pidana Perkosaan Biasa………..……. 45

Tabel 3 Perbandingan Ancaman Pidana terhadap Tindak Pidana

(12)

commit to user

xii ABSTRAK

Insan Pandhu Wirawan, E 1106029 KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI

YURIDIS JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENUNTUTAN

PERKARA PERKOSAAN DI LINGKUNGAN RUMAH

TANGGA(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA

PDM-387/KPNJEN/05-2006 DAN NOMOR PERKARA

PDM-670/KPJEN/12-2005. DIKEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG) Skripsi jurusan Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret 2011

Perkosaan telah menjadi salah satu jenis kejahatan bidang seksual yang membutuhkan perhatian yang serius, mengingat kasus ini dapat mengakibatkan persoalan komplikatif (serius dan beragam) dalam kehidupan kemasyarakatan, terutama kehidupan kaum perempuan.

Bagaimana kontruksi yurisdis jaksa penuntut umum dalam perumusan Pasal yang didakwakan pada kasus Nomor perkara PDM-670/ KAPANJEN/12-2005 dan Nomor perkara PDM-387/KEPANJEN/05-2006 dan Bagaimana implikasi Yuridis terhadap kontruksi tuntutan yang didalam perkara Nomor PDM-387/KEPANJEN/05-2006 dan Perkara Nomor PDM-670/KEPANJEN/12-2005.Penelitian hukum yang dilakukan penulis menggunakan metode Penelitian hukum masuk ke dalam penelitian doktrinal karena keilmuan hukum memang bersifat perskriptif yang melihat hukum sebagai norma sosial bukan gejala sosial (Peter Mahmud Marzuki,2006: 33).suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.

Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut Kajian Kontruksi Disparitas Hukum Jaksa penuntut umum dalam melakukan penuntutan dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penghapusan Kekerasan Rumah Tangga Tahun 2004, itu sendiri meliputi dasar pertimbangan yuridis dan dasar pertimbangan sosiologis. Yang dimaksud dengan dasar pertimbangan yuridis adalah pertimbangan yang berdasar pada ketentuan Undang-undang, yang meliputi pertimbangan yuridis secara formil dan pertimbangan yuridis secara materiil. Sedangkan dasar pertimbangan sosiologis adalah pertimbangan yang berdasar pada perasaan dan hati nurani seorang jaksa untuk melakukan penuntutan demi mencerminkan keadilan.

(13)

commit to user

xiii ABSTRACT

Insan Pandhu Wirawan, E 1106029 JURIDICIAL CONSTRUCTION OF

THE DISPARITY STUDY PUBLIC PROSECUTOR IN

ENVIRONMENTAL RAPE LAWSUIT HOUSEHOLD (CASE NO COMPARISON REVIEW PDM-387/KPNJEN/05-2006 ISSUES AND CASE NUMBER PDM-670/KPJEN/12-2005. STATE DIKEJAKSAAN KEPANJEN MALANG) majors Thesis Faculty of Law, University Eleven March 2011

Rape has become one of the types of sexual crimes that require serious attention, since these cases can lead to problems komplikatif (serious and diverse) in the life of society, especially the lives of women.

How yurisdis construction of prosecutors in the formulation of Article which indicted in the case of PDM-case No. 670 / KAPANJEN/12-2005 and case No. PDM-387/KEPANJEN/05-2006 and How Juridical implications of construction claims in case No. PDM-387 / KEPANJEN/05-2006 and Case Number PDM-670/KEPANJEN/12-2005. Legal research conducted legal research methods writers enter into doctrinal research because it is perskriptif scientific law which saw law as a social norm rather than social phenomena (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 33). a process to find the rule of law, legal principles , as well as legal doctrine in order to answer the legal issues at hand.

The results of this study are as follows Disparity Study Construction Law prosecutor in the prosecution of using the draft Penal Code and the Elimination of Domestic Violence in 2004, itself covers basic considerations juridical and sociological considerations. The meaning of basic juridical considerations are considerations based on the provisions of the Act, including consideration of a formal juridical and legal considerations materially. While the basic sociological considerations are considerations based on the feelings and conscience of a prosecutor to conduct the prosecution in order to reflect justice.

Regarding consideration of a formal judicial prosecution refers to the provisions of Article 183 Jo. 184 Criminal Procedure Code regarding verification by at least two valid evidence. While juridical considerations materially prosecution will look at the elements of the offenses charged in the investigation at persidangan.Pertimbangan juridical materially, the Public Prosecutor in conducting criminal charges against perpetrators of rape in the household environment in case the above is referring to Act Number 23 of 2004 on the Elimination of Domestic Violence. As for the sociological considerations include inner attitudes, feelings and assessment of the Public Prosecutor against the accused in a court.

(14)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejaksaan merupakan Institusi yang melaksanakan kekuasaan negara di

bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum

dan keadilan. Kejaksaan sebagai lembaga yang terdiri dari Kejaksaan Agung,

Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Namun demikian Kejaksaan tetap satu

dan tidak terpisah-pisahkan dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya,

yang bertindak demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta

senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa kedudukan setiap orang di muka

hukum adalah sama.

Kejaksaan dalam hal menjalankan tugas dan wewenangnya didukung

oleh peraturan perundang-undangan. Peraturan-peraturan tersebut yang antara lain

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (disingkat

KUHAP), dan PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.

KUHAP sebagai hukum formil yang menegakkan hukum materiil

memuat norma-norma proses penegakan hukum materiil, termasuk wewenang

jaksa sebagai penuntut umum untuk melakukan penuntutan pada perkara pidana.

Tindakan penuntutan dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan atau

setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, dalam hal ini kebenaran materiil ialah

kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana yang

didakwakan dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan

guna menentukan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.

Diantara perkara pidana yang perlu mendapatkan perhatian serius salah

satunya adalah tindak pidana perkosaan yang sampai saat ini terus merebak.di sini

secara lebih kongkrit peneliti ingin mengkaji lebih dalam tuntutan pasal yang

diterapkan jaksa penuntut umum dalam kasus PKDRT.

Dinamika kejahatan kesusilaan di Indonesia dalam hal ini kasus

(15)

commit to user

pidana perkosaan tidak hanya terjadi antara pelaku dan korban yang tidak saling

mengenal, namun juga terjadi antara seorang wanita yang masih tinggal bersama

dengan pelaku dan bahkan memiliki hubungan darah dengannya, sebagai contoh

seorang ayah memperkosa anak kandungnya sendiri. Fakta ini seperti terlihat dari

berbagai pemberitaan, baik dari media masa maupun kasus-kasus yang ditangani

lembaga-lembaga yang perduli terhadap masalah tersebut.

Menurut laporan Komnas Perempuan baru-baru ini, ada 3.160 kekerasan

terhadap perempuan di seluruh Indonesia pada tahun 2001, kemudian bertambah

menjadi 5.163 setahun kemudian, 7.787 pada tahun 2003, dan bertambah menjadi

14.020 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Menurut ketua komnas perempuan,

Kamala Chandrakirana, meningkatnya kekerasan terhadap perempuan, termasuk

kekerasan terhadap rumah tangga menumbuhkan permintaan agar negara atau

pemerintah bertindak (The Jakartapost; Wednesday, March 9, 2005).

Ketidak pedulian masyarakat dan negara terhadap masalah Kekerasan

Dalam Rumah Tangga, salah satunya disebabkan karena adanya ideologi gender

dan budaya patriarki. Gender adalah pembedaan peran sosial dan karakteristik

laki-laki dan perempuan yang dihubungkan atas jenis kelamin (seks) mereka.

Pengertian patriarki adalah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai yang

utama atau superior dibandingkan dengan perempuan. Ideologi Gender dan

budaya patriarki inilah yang kemudian oleh pemerintah dilegitimasi disemua

aspek kehidupan. Hal-hal yang berkaitan dengan bidang domestik, seperti seperti

rumah tangga dan reproduksi dikategorikan privat dan bersifat personal, misalnya,

relasi suami istri, keluarga, dan seksualitas. Hal-hal yang bersifat privat dan

domestik ini merupakan hal yang berada diluar campur tangan masyarakat atau

individu lain dan negara.

Akibat budaya patriarki dan ideologi Gender tersebut berpengaruh juga

terhadap ketentuan di dalam Undang-Undang Perkawinan yang membedakan

peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah

tangga (Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan) yang menimbulkan pandangan

dalam Masyarakat seolah-olah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar

(16)

commit to user

Kondisi tadi menimbulkan akibat kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak

perempuan yang terjadi dalam ruang lingkup privat atau domestik ini menjadi

tindakan yang tidak dapat dijangkau oleh negara. Tindakan-tindakan yang

melanggar hak perempuan dan seharusnya menjadi tanggung jawab negara dan

aparat, justru disingkirkan untuk menjadi urusan keluarga. Selain itu juga ada

kecenderungan dari masyarakat untuk selalu menyalahkan korbanya. Hal ini

dipengarui oleh nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis. Bahkan,

walaupun kejadian dilaporkan, usaha untuk melindungi korban dan menghukum

pelaku kekerasan sering mengalami kegagalan. Kondisi tersebut terjadi karena

kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan, tidak pernah

dianggap sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia (Ita F.Nadia;1998:2).

Padahal kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya juga merupakan kejahatan

terhadap individu dan masyarakat yang pelakunya seharusnya dapat dipidana,

tetapi sulit ditangani (pihak luar) karena dianggap sebagai urusan internal suatu

rumah tangga.

Anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan urusan

rumah tangga timbul di antara suami istri yang hubungan hukum antara individu

tersebut terjadi karena terikat di dalam perkawinan yang merupakan lingkup

hukum perdata. Dengan demikian, apabila terjadi pelanggaran di dalam hubungan

hukum antar individu tersebut, pegakan hukumnya dilakukan dengan cara

melakukan gugatan ke pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan.

Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku

kekerasan dalam rumah tangga, seperti halnya hukum publik (hukum pidana).

Masalah kekerasan atau penganiyaan yang terjadi di dalam rumah tangga

di dalam Undang-Undang Perkawinan hanya merupakan salah satu alasan

penyebab putusnya suatu perkawinan, seperti yang diatur dalam Pasal 38

Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 19 peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975

tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974.

Melalui Instrumen hukum perdata, dalam hal ini Undang-Undang

(17)

commit to user

hukuman karena penegakan hukumnya hanya dapat dilakukan dengan cara

mengajukan gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Sepanjang pihak yang

mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak merasa dirugikan dengan

adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga maka tidak akan muncul gugatan ke

pengadilan. Berbeda dengan menggunakan hukum publik yang memiliki sifat

apabila terjadi pelanggaran hukum penegakan hukumnya dilakukan oleh penguasa

karena tujuan hukum publik adalah menjaga kepentingan umum. Dengan

meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga dan akibat yang ditimbulkan

terhadap korban menyebabkan sebagian masyarakat menghendaki agar

masyarakat menghendaki agar pelaku kekerasan dalam rumah tangga dipidana.

Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) yang mengatur

tentang kekerasan adalah Pasal 89 dan 90 yang hanya ditujukan kekerasan fisik

tetapi tidak mengatur kekerasan seksual yang dapat terjadi dalam rumah tangga

antara suami istri. Selain itu juga tidak ada perintah perlindungan atau perintah

pembatasan gerak sementara yang bisa dikeluarkan oleh pengadilan untuk

membatasi pelaku melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan

kelemahan yang dimiliki UUP dan KUHP maka diperlukan aturan khusus

mengenai kekerasan dalam rumah tangga ini, hal ini berarti dibutuhkan aturan

hukum dan kebijakan publik mengenai kekerasan dalam rumah tangga karena

ketiadaan hukum dan kebijakan publik yang jelas dan semakin menyuburkan

praktik kekerasan dalam rumah tangga tersebut.

Upaya untuk mengatur kekerasan dalam rumah tangga ke dalam suatu

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga. Undang-undang tersebut merupakan tuntutan masyarakat yang

telah sesuai dengan tujuan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk

menghapus segala bentuk kekerasan dibumi Indonesia, khususnya kekerasan

dalam rumah tangga. Selain itu juga sesuai dengan konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang

Nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.

Dengan demikian terlihat pada perubahan pandangan dari pemerintah

(18)

commit to user

merupakan urusan privat,tetapi juga menjadi masalah publik dari urusan rumah

tangga dalam hukum perkawinan yang diatur dalam lingkup hukum perdata

menjadi urusan hukum publik yang diatur melalui Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (Undang PKDRT). meski demikian lahirnya

Undang-Undang PKDRT tidak semata-mata memenuhi harapan para perempuan yang

sebagian besar merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga mendapatkan

keadilan mengingat kondisi penegakan hukum di negara kita yang masih jauh dari

harapan dan tidak lepas dari praktik-praktik yang diskriminatif dan lebih

menguntungkan pihak yang mempunyai kekuatan baik kekuasan, ekonomi, sosial

maupun budaya. Untuk mewujudkan penegakan hukum yang diharapkan maka

pemahaman dan kesadaran bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu

kejahatan harus disebarluaskan sehingga ada kesatuan pemahaman di dalam

masyarakat. Tanpa pemahaman dan kesadaran tersebut maka penegakan hukum

yang diharapkan akan semakin jauh. Selain itu perempuan sebagai anggota

masyarakat juga harus memiliki kemauan untuk membawa kasusnya kepengadilan

pidana. Untuk menumbuhkan kemamuan merupakan suatu langkah yang amat

berat bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga karena banyak kendala

yang dihadapinya.

Oleh Karena itu tanpa dukungan dari anggota keluarga dan masyarakat

ataupun aparat hukum yang responsive maka langkah yang ditempuh perempuan

korban KDRT hanya akan berakhir sia-sia ditengah jalan. Selama ini perempuan

yang mengalami korban KDRT lebih memilih menyelesaikan kasusnya melalui

penyelesaian perceraian daripada menyelesaikan kasusnya secara pidana

menunjukan bahwa ada keengganan dari korban untuk menempuh penyelesaian

kasusnya secara pidana. Kondisi ini menunjukan bahwa ada kendala yang

dihadapi perempuan yang dihadapi perempuan yang menjadi korban KDRT,

seperti peraturan hukumnya, aparat hukumnya dan masyarakat. Dengan demikian

terlihat bahwa system hukum yang ada belum mendukung kearah penegakan

hukum yang diharapkan. Perempuan korban KDRT cenderung memilih

(19)

commit to user

Seharusnya kasus KDRT ini sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal

5 huruf c dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan mengenai ancaman pidananya

dapat dilihat pada Pasal 46, 47 dan 48 undang-undang yang sama. Melihat

kasus-kasus yang terjadi, dapat diketahui bahwa perkosaan semakin membabi buta,

sehingga pelaku tidak melihat apakah korbannya adalah seorang wanita yang

masih memiliki hubungan darah dengan pelakunya. Hal ini tidak dipikirkan oleh

si pelaku, yang ada di pikirannya hanyalah dapat melampiaskan nafsu seksual

mereka. Oleh sebab itu seakan-akan pelaku tidak menghargai bahkan merampas

Hak asasi dari si korban. Jika diperhatikan, dampak dari tindak pidana perkosaan

tersebut sangatlah menyakitkan dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan

bagi mereka yang menjadi korban. Terkadang, dipidananya pelaku perkosaan

tidak lantas membuat si korban merasa mendapatkan keadilan. Hal ini

dikarenakan akibat fisik maupun psikis yang ditimbulkan tidak menjadi hilang

karena dipidananya pelaku perkosaan tersebut.

Maraknya kasus perkosaan dan Disparitas yang terjadi dalam penegakan

hukum dapat dikatakan sebagai cermin kegagalan penegak hukum dalam

menempatkan hukum sebagai kekuatan supremasi. Penjatuhan hukuman yang

cukup ringan terhadap pelaku kejahatan kesusilaan dalam hal ini perkosaan dinilai

dapat mendorong atau menstimulasi oknum-oknum sosial untuk melakukan

praktek peniruan kejahatan. Sehingga tuntutan pemberatan hukuman terhadap

pemerkosa wajib mendapatkan prioritas dan perhatian yang sangat penuh.

B. Rumusan Masalah

Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini,

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kontruksi yurisdis jaksa penuntut umum dalam perumusan pasal

yang didakwakan pada kasus Nomor perkara PDM-670/ KAPANJEN/12-2005

(20)

commit to user

2. Bagaimana implikasi Yuridis terhadap kontruksi tuntutan dalam perkara

Nomor 387/KEPANJEN/05-2006 dan Perkara Nomor

PDM-670/KEPANJEN/12-2005.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian dan penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

1. Guna mengetahui prosedur penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut

Umum dalam proses perkara pidana khususnya tindak pidana perkosaan di

lingkungan rumah tangga.

2. Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pentingnya hal perumusan pasal bagi

Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana

pada pelaku tindak pidana perkosaan yang terjadi di lingkungan rumah tangga.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan informasi rinci akurat dan

aktual yang akan memberikan jawaban permasalahan baik secara teoritis maupun

praktis. Secara teoritis untuk langkah pengembangan lebih lanjut dan secara

praktis berwujud aktual maka diperoleh manfaat penelitian ini sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat mengembangkan penelitian tentang kajian disparitas jaksa penuntut

umum pada pelaku tindak pidana perkosaan yang terjadi di lingkungan

rumah tangga. Dipadukan dengan teori-teori yang relevan dengan masalah

yang diteliti.

b. Sebagai bahan untuk menambah khasanah pustaka dan sebagai salah satu

sumber bagi peneliti selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti sesuai dengan

undang-undang yang berlaku dan telah ditetapkan.

b. Memberikan input atau bahan pertimbangan bagi lembaga kejaksaan

(21)

commit to user

signifikan dan konstruktif dalam memberikan tuntutan terhadap tersangka

pemerkosaan dilingkungan rumah tangga, Di Kejaksaan Negeri Kepanjen

Kabupaten Malang.

E. Metode Penelitian

H.J van Eikema Homes dalam bukunya Peter Mahmud Marzuki

menyatakan dalam setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri. Apa

yang dikemukakakan mengindentifikasikan bahwa tidak dimungkinkannya

penyeragaman metode untuk semua bidang ilmu (Peter Mahmud

Marzuki,2006:11). Berdasarkan hal tersebut, maka penulis dalam penelitian ini

menggunakan metode antara lain sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu

hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki,2006: 35). Penelitian hukum

menurut Hutchison dibedakan menjadi 4 tipe yaitu:

a. Doctrinal Research.

b. Reform-oriented Research.

c. Theoretical Research.

d. Fudamental Research (Peter Mahmud Marzuki,2006:32-33).

Ketiga tipe Penelitian hukum yang dikemukakan Hutchison yaitu

Doctrinal Research, Reform-oriented Research, dan Theoretical Research,

menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan penelitian doktrinal sedangkan

penelitian sosio legal termasuk dalam tipe keempat yaitu Fudamental

Research (Peter Mahmud Marzuki, 2006:32-33).

Penelitian hukum ini masuk ke dalam penelitian doktrinal karena

keilmuan hukum memang bersifat perskriptif yang melihat hukum sebagai

(22)

commit to user 2. Sifat Penelitian

Sifat Penelitian hukum ini sejalan dengan sifat dari ilmu hukum itu

sendiri. ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat

preskriptif dan terapan, maksudnya bahwa ilmu hukum mempelajari tujuan

hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum , konsep-konsep hukum

dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki,2006: 22).

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum doktrinal dapat dilakukan dalam berbagai

pendekatan. Pendekatan dalam penelitian hukum doktrinal sesungguhnya

merupakan esensi dari metode penelitian ini sendiri. Pendekatan itu yang

mungkin diperoleh jawaban yang diharapkan atas permasalahan hukum yang

diajukan. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian hukum diantaranya:

a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach).

b. Pendekatan kasus (Case Approach).

c. Pendekatan Historis ( Historical Approach).

d. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach).

e. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach) (Peter Mahmud

Marzuki,2006: 93-94).

Berdasarkan kelima pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan

dengan penelitian hukum yang penulis angkat adalah pendekatan kasus (Case

Approach). dan Pendekatan Perundang- undangan (Statute Approach).

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Pada penelitian ini peneliti menggunakan jenis bahan hukum sebagai

titik tolak peneliti adapun bahan hukum tersebut meliputi :

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas yang terdiri dari perundang-undangan, catatan

resmi atau risalah dalam perbuatan perundang-undangan dan

tuntutan-tuntutan Jaksa. Penelitian hukum ini menggunakan kajian konstruksi

(23)

commit to user

Perkosaan Dalam Rumah Tangga dengan bahan hukum dari Tuntutan

Nomor Perkara: 387/KPNJEN/05-2006.dan Nomor perkara:

PDM-670/KPNJEN/12-2005, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun 2004 (PKDRT)

di Kejaksaan Negeri Kepanjen Malang.

b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar atas kajian

kontruksi disparitas oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara nomor:

PDM-387/KPNJEN/05-2006.dan Nomor perkara:

PDM-670/KPNJEN/12-2005. Dalam hal ini penulis mengunakan bahan hukum sekunder berupa

jurnal-jurnal hukum dari dalam maupun luar negeri, hasil-hasil penelitian

hukum serta hasil karya dari kalangan hukum termasuk artikel-artikel

hukum di internet (Peter Mahmud Marzuki,2006: 141).

5. Teknik Pengumpulan bahan hukum

Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum

yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi. Penulis menggunakan teknik

studi pustaka, studi literatur, yang terkait perkara Perkosaan Dalam Rumah

Tangga berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun 2004 (PKDRT). Dalam hal ini

penulis melakukan penelitian pada perkara nomor:

PDM-387/KPNJEN/05-2006.dan Nomor perkara: PDM-670/KPNJEN/12-2005. di Kejaksaan Negeri

Kepanjen Malang. Selain itu peneliti juga mengumpulkan bahan-bahan hukum

sekunder yang berupa buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum yang berhubungan

dengan permasalahan yang diteliti.

6. Tehnik Analisis bahan hukum

Analisis bahan hukum dalam suatu penelitian adalah menguraikan

atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan bahan hukum yang

(24)

commit to user

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tehnik analisis deduksi. Metode

deduksi merupakan metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor

yang kemudian di ajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut

ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki,2006: 47).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika

penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka

penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika

penulisan hukum ini Terdiri dari empat bab terbagi dalam sub-sub bagian yang

dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil

penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian, maanfaat penelitian, metodologi penelitian

dan sistematika penulisan Hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisi tentang. Kejaksaan Republik Indonesia, Asas-asas

Dibidang Penuntutan, Surat Tuntutan Pidana (Requisitor), Tindak Pidana

Perkosaan, Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP,

Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pengertian Rumah Tangga Dalam

Tinjauan Sosiologis, Pengertian Rumah Tangga Dalam Tinjauan Yuridis

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang

telah ditentukan sebelumnya yaitu bagaimana Kajian Disparitas

Kontruksi Jaksa Penuntut Umum dalam kasus pemerkosaan di

(25)

commit to user

kekerasan dalam Rumah Tangga, dan Kitab Undang-Undang Acara

Pidana.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi

obyek penelitian dan saran-saran.

(26)

commit to user

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

a. Pengertian Kejaksaan

Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 disebut Kejaksaan adalah lembaga

pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan

serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan

tugas, fungsi dan wewenangnya, Kejaksaan harus mampu mewujudkan

kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan

hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan , kesopanan dan

kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan

yang hidup dalam masyarakat. Sebagai salah satu lembaga penegak hukum,

Kejaksaan dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi

hukum, perlindungan kepentingan umum, dan penegakkan hak asasi manusia.

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dijelaskan mengenai

susunan organisasi Kejaksaan, yang terdiri dari Kejaksaan Agung

berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi

berkedudukan di ibukota propinsi, dan Kejaksaan Negeri berkedudukan di

ibukota, kabupaten, atau kotamadya.

Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang

mengendalikan tugas dan wewenang Kejaksaan. Dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung

yang merupakan satu kesatuan unsur pimpinan dan beberapa orang Jaksa

Agung Muda sebagai unsur pembantu pimpinan. Untuk di tingkat propinsi,

dipimpin oleh seorang Jaksa Tinggi yang dibantu oleh seorang wakil Kepala

Kejaksaan Tinggi sebagai kesatuan unsur pimpinan, beberapa orang unsur

(27)

commit to user

kotamadya, dipimpin oleh seorang Kepala Kejaksaan Negeri dan dibantu oleh

beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.

b. Jaksa Penuntut Umum

Yang dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi

wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan

pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan penuntut umum

adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan

penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Melihat perumusan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

pengertian jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan, sedangkan pengertian

penuntut umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu

penuntutan dalam persidangan.

Kejaksaan adalah satu-satunya alat negara yang diberi wewenang

oleh Undang-undang sebagai penuntut umum dan Jaksa Agung adalah

satu-satunya pejabat negara sebagai penuntut umum tertinggi. Dengan tugas

tersebut, kepada penuntut umum diletakkan tanggung jawab yang berat dan

mendalam, karena dengan sumpah jabatan, ia tidak hanya bertanggung jawab

kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat tetapi juga bertanggung

jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan

pelaksanaan tugas penegakan hukum dan keadilan tersebut baik dan buruknya

tergantung pada manusia pelaksana.

Tuntutan pidana adalah merupakan pekerjaan yang membutuhkan

ketekunan dalam menangani perkara yang didakwakan di muka sidang

pengadilan, disamping ketekunan, seorang penuntut umum harus terampil dan

berbakat dalam mengutarakan hasil pembuktian, memilih kata-kata yang tepat

dan mengaitkan alat-alat bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak pidana

(28)

commit to user

Penuntut umum dalam menangani suatu perkara harus mempunyai

pengetahuan hukum yang luas khususnya teori-teori hukum yang berhubungan

dengan perkara yang ditangani. Tanpa dilandasi penguasaan ilmu hukum

penuntut umum akan selalu gagal dalam mencapai tujuan penuntutan.

c. Tugas dan Wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam Proses Perkara

Pidana

Seiring perkembangan jaman, Undang-Undang Nomor 15 Tahun

1961 tentang ketentuan pokok Kejaksaan Republik Indonesia,

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1961 tentang pembentukan Kejaksaan Tinggi, dan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang ketentuan pokok Kejaksaan

Republik Indonesia sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan

kebutuhan hukum masyarakat serta kehidupan ketatanegaraan menurut

Undang-Undang Dasar 1945.

Kejaksaan termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan

dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar 1945. Untuk

lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia

sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di

bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun,

yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah dan kekuasaan lainnya. Maka dari itulah pembaharuan

Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia perlu dilakukan dengan

membentuk Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia.

Di dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004,

disebutkan:

Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

1) Melakukan penuntutan;

2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

(29)

commit to user

3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,

putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang;

5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Sedangkan dalam Pasal 14 KUHAP, disebutkan bahwa penuntut

umum mempunyai wewenang :

1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau

penyidik pembantu;

2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan

dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan

memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari

penyidik:

3) Pasal 110 ayat (3) berbunyi:

4) “Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk

dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai

dengan petunjuk dari penuntut umum”

5) Pasal 110 ayat (4) berbunyi:

6) “Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut

umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum

waktunya tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari

penuntut umum kepada penyidik”

7) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau

penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya

dilimpahkan oleh penyidik;

8) Membuat surat dakwaan;

(30)

commit to user

10) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari

dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada

terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah

ditentukan;

11) Melakukan penuntutan;

12) Menutup perkara demi kepentingan hukum;

13) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab

sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

14) Melaksanakan penetapan hakim.

Di samping tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana yang

tersebut dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 di

atas, pada Pasal 32 juga disebutkan bahwa Kejaksaan dapat diserahi tugas dan

wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan

penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Selain

itu kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada

instansi pemerintah lainnya, sesuai dengan bunyi Pasal 33 dan Pasal 34

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.

2. Tinjauan tentang Penuntutan

a. Pengertian Penuntutan

Di dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan

penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri

yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di

sidang pengadilan. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang

pengertian penuntutan, berikut dikemukakan beberapa pendapat para sarjana

(31)

commit to user 1) Sudarto (Djoko Prakoso, 1988 : 25)

Penuntutan adalah berupa penyerahan berkas perkara si tersangka kepada

hakim dan sekaligus agar supaya diserahkan kepada sidang pengadilan.

2) Wirjono Prodjodikoro (Djoko Prakoso, 1988 : 25)

Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan

perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan

permohonan agar supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan

perkara pidana itu terhadap terdakwa.

3) S.M Amin (Djoko Prakoso, 1988 : 25)

Menuntut adalah penyerahan perkara ke sidang oleh hakim.

4) Martiman Prodjo Hamidjojo (Djoko Prakoso, 1988 : 26)

Penuntutan dalam arti luas merupakan segala tindakan penuntut umum

sejak ia menerima berkas dari penyidik untuk melimpahkan perkara pidana

ke Pengadilan Negeri.

5) A. Karim Nasution (Djoko Prakoso, 1988 : 26)

Penuntutan adalah penentuan, apakah suatu perkara diserahkan atau tidak

kepada hakim untuk diputuskan dan jika dilanjutkan ke pengadilan untuk

mengajukan tuntutan hukum.

Dari seluruh pendapat yang tersebut di atas maka dapat

disimpulkan bahwa penuntutan merupakan suatu proses dari beberapa

tindakan yang harus dilakukan oleh jaksa sehubungan dengan tugas jaksa di

bidang penuntutan.

b. Asas-asas Dibidang Penuntutan

Di dalam hukum acara pidana dikenal adanya dua asas penuntutan,

antara lain :

1) Asas Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan penuntut umum untuk

melakukan penuntutan terhadap semua orang yang dianggap cukup alasan

bahwa yang bersangkutan telah melakukan perbuatan yang melanggar

(32)

commit to user

2) Asas Oportunitas, yaitu penuntut umum tidak diwajibkan untuk

melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dianggap telah cukup

alasan bahwa yang bersangkutan melakukan perbuatan yang melanggar

hukum, demi kepentingan umum.

Dalam KUHAP, asas ini dikenal dengan “penyampingan perkara

untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”. Hal ini

dinyatakan dalam penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP yang berbunyi, “Yang

dimaksud dengan ‘penghentian penuntutan’ tidak termasuk penyampingan

perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”

Maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi

perwujudan dari asas oportunitas, sehingga dengan demikian perwujudan asas

oportunitas tidak perlu dipermasalahkan mengingat dalam kenyataannya

perundang-undangan positif di Indonesia, yaitu penjelasan resmi Pasal 77

KUHAP dan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia Pasal 35 huruf c secara tegas mengatakan bahwa Jaksa

Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi

kepentingan umum.

Maksud dan tujuan Undang-undang memberikan kewenangan kepada

Jaksa Agung tersebut, adalah untuk menghindarkan timbulnya

penyalahgunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas, sehingga

dengan demikian satu-satunya pejabat negara kita yang diberi wewenang

melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap

para jaksa selaku penuntut umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa

Agung selaku penuntut umum tertinggi.

Menurut penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2004, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan

bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Jadi bukan untuk

(33)

commit to user

c. Surat Tuntutan Pidana (Requisitor)

Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian surat dakwaan

berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan dan kesimpulan

penuntut umum tentang kesalahan terdakwa disertai dengan tuntutan pidana.

Rekuisitor dibacakan setelah sidang pengadilan dinyatakan selesai

oleh hakim ketua karena pembuktian yang diajukan oleh penuntut umum,

terdakwa atau penasihat hukumnya di muka sidang telah selesai dan hakim

ketua telah memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar telah

terjadi dan terdakwalah yang terbukti salah atau tidak terbukti salah.

Apabila pemeriksaan perkara oleh hakim ketua sidang sudah

dinyatakan selesai, penuntut umum baru dapat membacakan “tuntutan pidana”

secara tertulis yang disebut surat tuntutan pidana (requisitor).

Susunan surat tuntutan pidana tidak diatur dalam KUHAP tetapi

tumbuh dan berkembang dalam praktek peradilan, tuntutan pidana adalah

bagian terakhir dari tugas penuntutan yang merupakan bagian

terpenting, karena merupakan resume acara penuntutan di muka sidang

pengadilan.

Dalam tuntutan pidana penuntut umum akan dilihat kemampuannya

dalam membuktikan apa yang didakwakan, disamping itu kemampuan

penuntut umum akan diuji dapatkah penuntut umum mempertahankan

pendapatnya, dapatkah mengajukan argumentasi apabila ada sanggahan

terdakwa atau penasihat hukumnya atas tuntutan yang dibacakan pada akhir

sidang pengadilan. Apabila tuntutan dapat dilemahkan dengan sanggahan

terdakwa atau penasihat hukumnya maka tuntutan pidana yang dibacakan

penuntut umum berarti mengalami kegagalan.

Untuk mungurangi kegagalan perlu diperhatikan bagaimana caranya

membuat surat dakwaan yang cermat, jelas dan lengkap dan menyusun surat

tuntutan pidana yang lengkap dan benar. Dalam menyusun surat tuntutan

pidana harus memperhatikan:

1) Surat tuntutan pidana harus disusun secara sistematis,

(34)

commit to user

3) Isi dan maksud harus jelas dan mudah dimengerti,

4) Apabila menggunakan teori hukum harus menyebut sumbernya.

Dalam KUHAP tidak satu Pasal pun mengatur tentang bentuk dan

susunan surat tuntutan, bentuk dan susunan surat tuntutan seperti diterangkan

diatas bahwa dari masa ke masa berkembang di dalam praktek peradilan.

Dalam Pasal 182 (1) a mengatur: “setelah pemeriksaan dinyatakan selesai

penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.” Di lain pasal tidak ada yang

menyebut dan mengatur tentang tuntutan pidana. Menurut praktek peradilan

sistematika dari surat tuntutan pidana adalah sebagai berikut:

1) Pendahuluan

Sebagai orang timur dan yang berketuhanan Yang Maha Esa, segala

hasil apapun bentuknya yang kita peroleh semua itu adalah berkat dan rida

Tuhan, maka sepantasnya apabila dalam pendahuluan partama-tama memuji

syukur atas dapat diselesaikannya sidang yang penuh risiko sehingga sampai

dibacakan tuntutan pidana. Disamping itu tidak salah apabila terimakasih juga

diucapkan kepada semua pihak yang terkait yang mendukung kelancaran

jalannya sidang sampai selesai.

2) Identitas Terdakwa

Identitas terdakwa harus ditulis dengan jelas, lengkap sesuai dengan

yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) a KUHAP dengan urutan sebagai

berikut:

a) Nama lengkap.

b) Tempat lahir.

c) Umur atau tanggal lahir.

d) Jenis kelamin.

e) Kebangsaan;

f) Tempat tinggal.

g) Agama.

h) Pekerjaan.

Dalam menulis identitas harus cermat sesuai dengan identitas yang

(35)

commit to user

apabila terdapat kesalahan dalam menulis identitas meskipun surat tuntutan

tidak akan dibatalkan oleh hakim, tetapi sudah memberi peluang kepada

terdakwa atau penasihat hukumnya sebagai alasan dalam mengajukan

pembelaannya.

3) Surat Dakwaan

Dalam surat tuntutan pidana, surat dakwaan harus ditulis kembali

secara lengkap dengan maksud sebagai dasar untuk menilai pembuktian yang

didapat dalam sidang pengadilan apakah sesuai dengan perbuatan materiil

dan memenuhi unsur delik yang terdapat dalam surat dakwaan. Surat

dakwaan juga diperlukan berhubung setiap bentuk surat dakwaan

membutuhkan cara pembuktian yang berbeda-beda.

4) Hasil Pembuktian

Hasil pembuktian yang diperoleh dari dalam sidang pengadilan

adalah merupakan fakta dari jawaban pertanyaan hakim, penuntut umum,

penasihat hukum atau yang lain baik kepada saksi, ahli ataupun terdakwa

sendiri. Tidak jarang terjadi hasil pembuktian dari alat bukti saksi tidak dapat

menggambarkan tindak pidana secara lengkap karena disebabkan keterangan

alat bukti saksi masing-masing berdiri sendiri sehingga hasil pembuktian

hanya berbentuk alat bukti petunjuk.

5) Barang Bukti

Dalam surat tuntutan juga harus disebut apabila ada barang bukti

yang digunakan untuk menguatkan pembuktian di muka sidang pengadilan.

Barang bukti adalah benda sitaan yang oleh penyidik telah diserahkan kepada

penuntut umum pada waktu penyerahan berkas perkara tahap terakhir yang

diajukan ke muka sidang pengadilan dalam usaha pembuktian tindak pidana

yang dilakukan oleh terdakwa.

6) Analisis Fakta

Merupakan kompulasi fakta-fakta yang didapat dari dalam sidang

pengadilan yang ada hubungannya dengan perbuatan materiil yang

didakwakan dan sesuai dengan unsur tindak pidana yang didakwakan.

(36)

commit to user

bukti yang lain sehingga tergambar tindak pidana yang didakwakan. Serta

mengaitkan fakta-fakta yang diperoleh dengan alat bukti dengan barang bukti

yang dapat menguatkan pembuktian.

7) Analisis Hukum

Analisis hukum dibuat berdasarkan analisis fakta dari hasil

pembuktian yang terungkap di muka sidang pengadilan, di dalam surat

dakwaan atas suatu tindak pidana sudah tercantum perbuatan materiil yang

mengandung unsur delik, yang mana harus dibuktikan dengan keterangan dari

alat bukti di dalam sidang pengadilan.

8) Pembuktian Surat Dakwaan

Terdapat enam bentuk surat dakwaan, antara lain :

a) Surat Dakwaan Tunggal

b) Surat Dakwaan Berlapis (Subsider)

c) Surat Dakwaan Alternatif

d) Surat Dakwaan Kumulatif

e) Surat Dakwaan Gabungan

f) Surat Dakwaan Kombinasi

Apabila analisa hukum telah dibuat dan semua unsur delik yang

didakwakan dapat dibuktikan sesuai dengan perbuatan materiil yang dilakukan

terdakwa berdasarkan fakta-fakta dari hasil pembuktian di dalam sidang,

barulah penuntut umum menuntut terdakwa dan berat atau ringannya tuntutan

tergantung kualifikasi tindak pidana yang dilakukan.

Setelah mempertimbangkan berapa berat ringannya tuntutan pidana

demi rasa keadilan, penuntut umum memohon kepada Hakim Ketua Majelis

untuk memidana terdakwa pada akhir pembacaan tuntutan. Di samping

tuntutan pidana perlu juga mohon ditentukan status barang bukti, biaya

perkara dan status tahanan terdakwa. Sesudah requisitor dibacakan, yang asli

diserahkan kepada Hakim Ketua Majelis dan diserahkan kepada terdakwa atau

(37)

commit to user

3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Perkosaan

a. Pengertian Perkosaan

Kejahatan perkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia berasal dari

kata perkosaan yang berarti “menundukkan dengan kekerasan, memaksa

dengan kekerasan atau menggagahi”. Berdasarkan pengertian tersebut maka

perkosaan mempunyai makna yang luas, yang tidak hanya terjadi pada

hubungan seksual tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran

hak asasi manusia yang lainnya.

Menurut Soetandyo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan

perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki

terhadap seorang perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku

adalah melanggar. Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud

perkosaan di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan

seorang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya) dan di lain

pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib

sosial (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001 : 40).

Berdasarkan pengertian perkosaan tersebut di atas, menunjukkan

bahwa perkosaan merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki

terhadap perempuan yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu

seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara moral maupun hukum

melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan dalam masyarakat.

Terhadap hal ini adalah wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan

perbuatan perkosaan sebagai suatu tindak pidana yang diatur bentuk perbuatan

dan pemidanannya dalam hukum pidana materiil yang berlaku.

b. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan dalam KUHP

Tindak pidana perkosaan dalam tinjauan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) seperti yang diatur dalam Pasal 285 KUHP yang

sampai sekarang digunakan sebagai pedoman oleh masyarakat dan atau aparat

(38)

commit to user

sebagai perbuatan tindak pidana perkosaan atau bukan. Bunyi dari Pasal 285

KUHP adalah :

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam

karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua

belas tahun”.

Berdasarkan rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285

KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur- unsur tindak pidana perkosaan adalah

sebagai berikut :

1) Perbuatannya : memaksa;

2) Caranya: (a) dengan kekerasan;

Caranya: (b) dengan ancaman kekerasan;

3) Seorang perempuan bukan isterinya;

4) Bersetubuh dengan dia (Adami Chazawi, 2005 : 63).

Penjelasan unsur-unsur tindak pidana perkosaan di atas sebagai

berikut :

1) Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan

yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang

bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi

menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya

sendiri (Adami Chazawi, 2005 : 63). Berdasarkan pengertian ini pada

intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau

bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut. Satochid Kartanegara

menyatakan “perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai

perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang

lain” (Leden Marpaung, 1996 : 52). Memaksa dapat dilakukan dengan

perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat

wanita “menjadi terpaksa” bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus

(39)

commit to user

hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang

dikenakan oleh wanita adalah wanita itu sendiri.

2) Kekerasan (geweld) merupakan salah satu cara memaksa dalam Pasal 285

disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan menggunakan ancaman

kekerasan. KUHP tidak menjelaskan tentang apa sebenarnya yang

dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP yang

merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan :

“Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan

menggunakan kekerasan” Menurut Adami Chazawi, kekerasan adalah

“suatu cara atau upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada

orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan

kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi

orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik” (Adami Chazawi, 2005 :

65). Selanjutnya yang dimaksud dengan kekerasan dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga adalah: “Setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama

perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan

secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga

termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau

perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah

tangga”. Mengenai maksud dari ancaman kekerasan (bedreiging met

geweld), menurut Adami Chazawi diartikan sebagai “ancaman kekerasan

fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa

perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan

persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang

berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera dilakukan atau

diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil

sebagaimana yang diinginkan pelaku” (Adami Chazawi, 2005 : 65).

Antara kekerasan atau ancaman kekerasan dengan ketidak berdayaan

perempuan terdapat hubungan kausal, karena tidak berdaya inilah maka

(40)

commit to user

3) Mengenai perempuan bukan isterinya, disini persetubuhan dilakukan

terhadap perempuan yang bukan isterinya. Ditentukannya hal tersebut

karena perbuatan bersetubuh dimaksudkan sebagai perbuatan yang hanya

dilakukan antara suami dan isteri dalam perkawinan.

4) Menurut M.H. Tirtamidjaja, “mengadakan hubungan kelamin” atau

“bersetubuh” berarti persentuhan sebelah dalam kemaluan laki-laki dan

perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak

perlu telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan

(Leden Marpaung, 1996 : 53).

5) Menurut Kedokteran Forensik, persetubuhan didefinisikan sebagai suatu

peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, penetrasi

tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai

ejakulasi.

c. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Bentuk atau dimensi kekerasan terhadap perempuan ada

bermacam-macam, yaitu :

1) Fisik, seperti memukul.

2) Psikologis, seperti mengancam.

3) Seksual, seperti melakukan tindakan memaksa berhubungan seks tanpa

persetujuan korban, baik dengan kekerasan fisik ataupun tidak.

4) Finansial, seperti mengambil uang korban.

5) Spiritual, seperti merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban.

Tindak pidana perkosaan dalam lingkungan rumah tangga itu sendiri

merupakan dimensi kekerasan dalam bentuk kekerasan seksual. Hal ini dapat

dilihat dari Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi : “Kekerasan

(41)

commit to user

a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang

menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup

rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau

tujuan tertentu”.

Bunyi dari Pasal 5 itu sendiri adalah: “Setiap orang dilarang

melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup

rumah tangganya, dengan cara :

1) Kekerasan fisik;

2) Kekerasan psikis;

3) Kekerasan seksual; atau

4) Penelantaran rumah tangga.

Sesuai dengan Pasal 1 Undang-undang ini, ditentukan bahwa yang

dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan

terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam

lingkup rumah tangga.

Mengenai lingkup rumah tangga, sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 2 meliputi :

1) Suami, isteri, dan anak;

2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang

sebagaimana dimaksud pada nomor (1) karena hubungan darah,

perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam

rumah tangga.

3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah

tangga tersebut.

4) Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak pidana perkosaan di

lingkungan rumah tangga tidak lain merupakan tindakan kekerasan seksual

(42)

commit to user

Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Untuk ketentuan pidananya, dapat

dilihat pada Pasal 46 yang berbunyi: “setiap orang yang melakukan

perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a

dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau

denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan

pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan

akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan

sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu)

tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau

mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 5 (lima) t

Gambar

Gambar  Kerangka Pemikiran………………………………………………
Gambar 1 Skema Kerangka Pemikiran.
tabel sebagai berikut :
Tabel 2. Tindak Pidana Perkosaan Biasa
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tindakan dan Kendala Jaksa Penuntut Umum Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Korban Sebagai Saksi Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak

Alat bukti yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam pembuktian perkara tindak pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun adalah kesaksian, surat- surat (BAP, surat

Penulisan skripsi dengan judul “Pemisahan Berkas Perkara ( Splitsing) oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Tindak Pidana Pengeroyokan (Studi Kasus Pengeroyokan di Jalan Setiabudi

dan apakah kendala yang dihadapi penyidik kepolisian resort kota (Polresta) Palembang dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam koordinasi proses penyelesaian perkara pidana ?,

Anjarnawanyep, 2009, Konsep Diversi dan Restorative Justive, dalam, https://anjarnawanyep.. perkara anak yang berhadapan dengan hukum oleh jaksa penuntut umum. Pendekatan

Dari uraian pembahasan di atas Mahkamah Agung memeriksa materi perkara permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum dalam putusan Nomor 455K/Pid/2010 yang mengadili

Secara khusus dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang, Jaksa melaksanakan peran yang diatur dalam Pasal 1 ayat 6a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul : KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENGAJUAN UPAYA PENINJAUAN KEMBALI PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI “Studi