• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk Undang-Undang dalam berbagai perundang-undangan menggunakan perkataan “tindak pidana” sebagai terjemahan dari “strafbaar feit

tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “tindak pidana” tersebut. Secara harfiah perkataan “tindak pidana” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”. Akan tetapi, diketahui bahwa yang dapat dihukum sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.9

Moeljatno menerjemahkan istilah “strafbaar feit” dengan perbuatan

pidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.10

Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa dalam perundang-undangan formal Indonesia, istilah “perisitiwa pidana” pernah digunakan secara resmi dalam UUDS 1950, yakni dalam Pasal 14 (1). Secara substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam.11

Teguh Prasetyo merumuskan bahwa :12

“Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana. Pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum)

9

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:PT Citra Aditya

Bakti, 1997), hal. 181

10

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta Timur:Sinar Grafika, 2011), hal. 97

11

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung:Refika Aditama,

2003, hal. 33

12

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 49

dan perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).”

Menurut Pompe, perkataan “tindak pidana”secara teoretis dapat dirumuskan sebagai berikut13

Jonkers merumuskan bahwa : :

“Suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku yang penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.”

14

Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi sebagaimana dikutip dari oleh Amir Ilyas bahwa tindak pidana mempunyai 5 (lima) unsur-unsur, yaitu

“Tindak pidana sebagaiperisitiwa pidana yang diartikannya sebagai suatu perbuatanyang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”

15

1. Subjek;

:

2. Kesalahan;

3. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan;

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang dan

terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana; 5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).

13

P.A.F. Lamintang, op.cit, hal. 182.

14

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001)

hal. 75

15

Tindak pidana juga dapat diartikan sebagai suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Akan tetapi, sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatanmengenai perbuatannya sendiriberdasarkan asas legalitas (Principle of Legality) yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana

jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan (Nullum

Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali).

2. Pengertian Kekerasan

Kekerasan dalam bahasa Inggris violence berasal dari bahasa Latin violentus

yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Kekerasan dalam prinsip dasar hukum publik dan privat Romawi yang merupakan sebuah ekspresi baik dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan.16

16

Wignyosoebroto. S, Makalah, Gejala Sosial Masyarakat Kini yang Tengah Terus Berubah.

(Surabaya:Simposium Ansietas, 1981), hal. 18

Pengguna atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukkan dalam rumusan kekerasan ini.

“Akar Kekerasan: Kekayaan tanpa bekerja, Kesenangan tanpa hati nurani, Pengetahuan tanpa karakter, Perdagangan tanpa moralitas, Ilmu tanpa kemanusiaan, Ibadah tanpa pengorbanan, Politik tanpa prinsip.17

Hampir tiap menit terjadi kekerasan di dunia ini, baik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, kekerasan dalam lingkungan, kekerasan dalam politik dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Menurut Wignyosoebroto18

Namun, tak jarang pula tindak kekerasan ini terjadi sebagai bagian tindakan manusia untuk tak lain daripada melampiaskan amarah yang sudah tak tertahankan olehnya. Menurut Santoso

:

“Kekerasan adalah suatu tindakan, yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang beposisi lebih lemah (atau yang tengah dipandang berada dalam keadan lemah) berdasarkan kekuatan fisiknya yang superior, dengan kesengajaan untuk dapat ditimbulkannya rasa derita di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan itu”

19

17

http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan diakses tanggal 12 Januari 2015. Pada pukul 08:00 am. 18 Wignyosoebroto, loc.cit. 19 Ibid :

“Kekerasan juga bisa diartikan dengan serangan memukul (assault and

battery) merupakan kategori hukum yang mengacu pada tindakan illegal

yang melibatkan ancaman dan aplikasi actual kekuatan fisik pada orang lain. Serangan dengan memukul dan pembunuhan secara resmi dipandang sebagai tindakan individu meskipun tindakan tersebut dipengaruhi oleh tindakan kolektif”

Kekerasan menurut Pasal 89 KUHP adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Penjelasannya sebagai berikut20

Secara filosofis, fenomena kekerasan merupakan sebuah gejala kemunduran hubungan antar pribadi, di mana orang tidak bisa lagi duduk bersama memecahkan suatu masalah. Hubungan yang ada hanya diwarnai dengan ketertutupan, kecurigaan dan ketidakpercayaan. Dalam hubungan seperti ini, tidak

:

Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.

Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya umpanya memberi minuman racun. Kecubung atau lain-lain obat, sehingga orangya tidak ingat lagi, orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan, sehingga orang itu lumpuh. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya.

Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun,

misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.

20

Soesilo, KUHP serta Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor:Politeia, 190), hal. 98

ada dialog, apalagi kasih. Semangat mematikan lebih besar daripada semangat menghidupkan, semangat mencelakakan lebih besar dari semangat melindungi.

Secara teologis, kekerasan di antara sesama manusia merupakan akibat dari dosa. Kita tinggal dalam suatu dunia yang bukan saja tidak sempurna, tapi lebih menakutkan, dunia yang berbahaya. Orang bisa menjadi berbahaya bagi sesamanya. Mulai dari tipu muslihat, pemerasan, penyerangan, pemerkosaan, penganiayaan, pengeroyokan, sampai pembunuhan.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa dirinya kuat kepada seseorang atau sekelompok yang diaanggapnya lemah, di mana dapat dilakukan dengan cara memukul, membacok, dan menyiksa.

3. Bentuk-bentuk Kekerasan dan akibat Kekerasan

Kekerasan merupakan suatu istilah yang biasa diterjemahkan dari kata asing violence. Violence merupakan gabungan kata latin ‘vis’ yang berarti daya atau kekuatan dan kata ‘latus’ yang berasal dari kata ferre, yang berarti membawa kekuatan atau daya.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan, paksaan atau tekanan, desakan yang keras, sehingga kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan atau tekanan. Secara teoritis kerusuhan yang dilakukan secara massal merupakan bentuk tindak kekerasan (la violencia di Columbia) yang dapat menjurus pada tindakan criminal atau kejahatan. “kekerasan” yang dilakukan sedemikian rupa sehingga

mengakibatkan terjadinya kerusuhan fisik maupun psikis adalah kekerrasan yang bertentangan dengan hukum, oleh karena itu merupakan kejahatan.21

Selanjutnya Kadish

Untuk dapat digolongkan sebgai suatu kekerasan haruslah memuat atau menunjuk unsur-unsur tertentu, seperti tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, adanya ancaman atau tindakan nyata dan memiliki akibat kerusakan terhadap harta benda, fisik atau mengakibatkan kematian.

22

1. Emotional and instrument violence

mengklarifikasi kekerasan ini ke dalam 3 (tiga) bentuk kekerasan, yaitu:

2. Random and individual violence 3. Collective violence

John Galtung23

Dalam konteks ini, menarik sekali apa yang ditulis oleh Dorn Helder Camara

memberikan pengertian kekerasan dalam arti yang sangat luas meliputi semua bentuk tindakan yang dapat menghalangi seseorang untuk merealisasikan potensi dirinya (self-realization) dan mengembangkan pribadinya (personal growth).

24

21

Romli Atmasasmita, Teori Dan Kapita Selekta. Krominologi, (Bandung:Eresco, 1992), hal. 55

22

Kadish, Sanford H, Encyclopedia Of Crime and Justica, volume 4, (New York:Macmilian

and Free Press, 1983), hal. 1619

23

I Marsana Windhu, Kekerasan Menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 64-65

24

Dom Helder Camara, Spiral Kekerasan, Sebuah Terjemahan dari Judul asli “Spiral of

Violence”, (Yogyakarta:Insist Press, 2000), hal. 19-21

, yang mengenalkan Teori Teori kekerasan Spiral (spiral of violence) yang menggambarkan proses dari bekerjanyan 3 (tiga) bentuk kekerasan bersifat personal, instutisional, dan structural yaitu ketidakadilan, kekrsan pemberontakan

sipil dan represi negara. Ketiganya saling terkait satu sama lain, artinya, kemunculan kekrasan satu menyebabkan kemunculan kekerasan lainnya.

Dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar dan menjadi sumber utama adalah ketidakadilan, yaitu kekerasan nomor 1 (satu) sebgai gejala yang menimpa baik perseorangan, kelompok, maupun negara, yang diakibatkan oleh bekerjanya ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi internasional. Ketidakadilan ini terjaddi sebgai akibat dari upaya kelompok elit nasional memepertahankan kepentingan mereka sehingga terpelihara sebuah struktur yang mendorong terbentuknya kondisi “sub-human”, yaitu kondisi hidup di bawah standar layak untuk hidup sebgai manusia normal.

Menurut teori ini, kondisi “sub-human” ini selajutnya menciptakan ketegangan terus menerus di masyarakat, sehingga mendorong munculnya kekerasan nomor 2 (dua), yaitu pemberontakan di kalangan sipil. Dalam kondisi ini, manusia menderita tekanan, alienasi, dehumanisasi martabat, kemudian mendorong mereka, naik yang langsung menderita tekanan structural itu maupun anak-anak muda yang sudah tidak tahan lagi dengan kondisi sumpek “sub-human” itu, melakukan pemberontakan dan protes di jalan-jalan untuk melawan ketidkaadilan. Ketika konflik, protes dan pemeberontakan itu menyembul di jalan-jalan, ketika kekerasan nomor 2 mencoba melawan kekersan nomor 1, penguasa memandang dirinya berkewajiban memelihara ketertiban, meski harus dengan menggunakan cara-cara kekersan, sehingga muncul kekersan nomor 3. Yaitu represi penguasa.25

25

Bekerjanya tiga jenis kekersan itu menyerupai spiral, karenanya Dom H. Camara meneyebutkannya dengan Spiral kekerasan. Kekersan nomor 1 atau ketidakadilan mendorong pemebrontakan sipil atau kekersan nomor 2. Selanjutnya hal itu mengundang hadirnya represi negara atau kekerasan nomor 3. Ketika represi itu diberlakukan, hal itu selanjutnya memperparah kondisi ketidakadilan, kekersan nomor 1 sehingga terbentuklah Spiral Kekerasan (kekerasan menimbulkan kekersan lainnya).26

4. Pengertian Aparat Kepolisian

Menurut pakar sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo27

Peran Polisi saat ini adalah sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum pidana pada Sistem Peradilan Pidana di Sub Penyidikan. Dengan hal itulah antara tugas serta kewaijiban yang diemban oleh seorang Polisi sangatlah berat, karena antara satu dengan yang lainnya bertentangan dan kontradiktif, akan tetapi ikhwal manusia sebagai aparat penegak hukum yang melindungi serta mengayomi masyarakat harus lebih mengedepankan sikap profesionalisme dan humanisme yang tinggi dalam melayani masyarakat ke arah pelayanan yang prima dan optimal.

:

“Kepolisian adalah profesi unik, sehingga untuk merumuskan secara tuntas adalah pekerjaan yang tidak mudah. Ia merupakan perpaduan antara kekuatan dan pelayanan, padahal keduanya merupakan kategori yang berdiri sendiri dan sering bersebrangan. Ia juga perpaduan antara kekerasan dan kelembutan.”

26

Ibid, hal. 14

27

Polisi adalah aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Penyelenggaraan fungsi Kepolisian merupakan pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan tugas seorang anggota Polri menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian dibidang teknis Kepolisian. Oleh karena itu dalam menjalankan profesinya setiap insan Kepolisian tunduk pada kode etik profesi sebagai landasan moral.

Kode etik profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang dijadikan pedoman sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi setiap anggota untuk pemulihan profesi Kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan dan harapan masyarakat. Jadi Polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang bersih agar tercipta clean governance dan good governance.

Etika profesi Kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketentuan yang berkaitan dengan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan amanat Undang-undang No. 2 Tahun 2002 pada Pasal 34 dan 35 kemudian di wujudkan melalui Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kode etik ini adalah merupakan perilaku dan moral bagi anggota Polri sebagai upaya pemulihan terhadap profesi Kepolisian, yang berfungsi sebagai pembimbing pengabdian, pelayanan, pembinaan, perlindungan, pengayoman serta pencegahan dan

penindakan terhadap suatu tindak pidana dan penyalahgunaan wewenang dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Profesionalisme Polisi amat diperlukan dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum, mengingat modus operandi dan teknik kejahatan semakin canggih, seiring perkembangan dan kemajuan zaman. Apabila Polisi tidak profesional maka proses penegakan hukum akan timpang, akibatnya keamanan dan ketertiban masyarakat akan senantiasa terancam sebagai akibat tidak profesionalnya Polisi dalam menjalankan tugas. Tugas Polisi disamping sebagai

agen penegak hukum (law enforcement agency) dan juga sebagai pemelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat (order maintenance officer). Polisi adalah

ujung tombak dalam integrated criminal justice system. Di tangan Polisilah

terlebih dahulu mampu mengurai gelapnya kasus kejahatan.

Integritas professional Polisi yang utuh dan menyeluruh merupakan prasyarat bagi suksesnya pelaksanaan tugas Kepolisian. Sebab tanpa integritas profesionalnya, dapat saja sikap dan tindakan Polisi hanya dilandasi oleh persepsi dan motivasi kepentingan subyektif pribadi yang memungkinkan pelanggaran kode etik dan standard moralitas Polisi sebagaimana berlaku universal. Polisi dituntut mampu menyibak belantara kejahatan di masyarakat dan menemukan pelakunya. Polisi harus melakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan bukti-bukti guna membuat terang suatu kejahatan dan menemukan pelakunya.

Tiap-tiap komponen dalam Sistem Peradilan Pidana mempunyai wewenang untuk melakukan penyaringan atau diskresi tersebut, wewenang tersebut yang

telah termaktub dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 sebagai acuan penyidik dalam mengambil langkah kebijakan untuk menangani perkara pidana. Diskresi diberikan baik karena berdasar peraturan perundang-undangan atau aspek yuridis maupun atas dasar aspek sosiologisnya.

Penyaringan perkara mulai pada tingkat penyidikan berupa tindakan - tindakan Kepolisian yang dalam praktek disebut diskresi penyidik. Pada tingkat penuntutan, adanya wewenang Jaksa untuk mendeponir suatu perkara yang biasa disebut dengan asas oportunitas. Sedangkan pada tingkat peradilan berupa keputusan hakim untuk bebas, hukuman bersyarat, ataupun lepas dan hukuman denda. Pada tingkat pemasyarakatan berupa pengurangan hukuman atau remisi.

Penyaringan-penyaringan perkara yang masuk kedalam proses peradilan pidana tersebut merupakan perwujudan dari kebutuhan-kebutuhan praktis Sistem Peradilan Pidana, baik karena tujuan dan asas maupun karena semakin beragamnya aliran-aliran modern saat ini, baik pada lingkup perkembangan hukum pidana maupun kriminologi yang disadari atau tidak disadari, langsung atau tidak langsung mempengaruhi nilai-nilai perkembangan yang ada pada masyarakat dewasa ini. Tentunya diskresi oleh Polisi itu sendiri terdapat hal-hal yang mendorong ataupun menghambat didalam penerapannya di lapangan.

Kedudukan Polri sebagai penegak hukum tersebut ditetapkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2 bahwa:

Pasal 1 butir (1)

“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 2

“Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.

Menurut penjelasan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2 tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan hukum dibidang yudisial, tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan dimilikinya kewenangan diskresi dibidang yudisial yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”, maka akan menjadi masalah apabila dengan adanya diskresi ini justru malah merangsang atau memudahkan penyalahgunaan kekuasaan oleh Polisi.

5. Pengertian Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian

Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya tanggal 22-12-1953 menyatakan bahwa pegawai negeri ialah “adanya suatu pengangkatan oleh pemerintah, untuk melaksanakan jabatan umum yang merupakan sebgaian tugas peerintahan sendiri atau dari alat perlengkapannya”.

Pengertian pegawai negeri sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 356 adalah pengertian pegawai negeri menurut yurisprudensi tersebut diatas, yang diperluas menurut Pasal 92 KUHP, dan tidak menurut perluasan arti oleh UU No. 31 Tahun 1999. Perluasan arti mengenai pegawai negeri menurut UU No. 31 Tahun 1999 ini hanyalah berlaku bagi penerapan ketentuan-ketentuan dalam UU tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saja, dan tidak terhadap ketentuan hukum pidana selainnya. Ketentuan hukum pidana perihal penganiayaaan (Bab XX Buku II KUHP) dan Kekerasan bukan termasuk tindak pidana korupsi. Dengan demikian dapat anggota Polri merupakan pegawai negeri yang dimaksud tersebut.28

a. Perbuatan: melawan;

Macam penganiayaan terhadap pegawai negeri yang ketika menjalan tugasnya ini ada persamaan dan perbedaan dengan kejahatan melawan pejabat yang diatur dalam Pasal 212, yang rumusannya adalah:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan pejabat yang sedang mejalakna tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau permintaan pejabat itu memebrikan bantuan padanya, dipidana karena melwan pejabat, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500.”

Bila rumusan itu dirinci unsur-unsurnya, maka terdiri dari:

b. Cara: 1) dengan kekerasan;

2) dengan ancaman kekersan;

28

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 42

c. Objeknya: 1) pejabat/pegawai negeri;

2) orang yang arena berkewwajiban UU membantu pejabat itu;

3)orang yang karena permintaan pejabat itu membantu padanya;

d. Yang sedang menjalankan tugasnya yang sah.

Melawan adalah suatu perbuatan yang sifatnya menantang, memaksa dan menekan pada seorang (Aparat Kepolisian) yang bertentangan dengan kemauaan dan kehendak orang itu. Perbuatan ini bersifat abstrak, yang wujudnya akan lebih nyata bila dihubungkan dengan cara melakukannya, yakni dengan kekerasan dan ancaman kekerasan.

Kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut baik dilakukan oleh individu atau dilakukan dua orang bersama-sama atau lebih terhadap seorang Aparat Kepolisian tetapi tidak perlu orang tersebut mengetahui tentang Aparat kepolisian tersebut sedang bekerja dalam melakukan pekerjaan jabatannya yang sah.

Dokumen terkait