SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
NIM : 110200219
HENDRO HEZKIEL SIBORO
Departemen Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA KEKERASAN
TERHADAP APARAT KEPOLISIAN YANG
MENYEBABKAN KEMATIAN
(STUDI PUTUSAN NOMOR : 370/Pid.B/2013/PN.SIM)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara
OLEH
NIM : 110200219
HENDRO HEZKIEL SIBORO
Disetujui Oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr.H. M. Hamdan, SH, M.Hum
DOSEN PEMBIMBING I
NIP: 196209071988112001
DOSEN PEMBIMBING II
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih karunia
dari penyertaanNya sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi ini. Penulisan
Skripsi ini merupakan kewajiban setiap mahasiswa Universitas Sumatera Utara
khususnya Fakultas Hukum untuk melengkapi salah satu syarat dalam
memperoleh gelar Sarjana Hukum.
Penulis dalam skripsi ini mengangkat permasalahan dengan judul
“Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang
menyebabkan Kematian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Simalungun nomor :
371/Pid.B/2013/PN.SIM)”. Skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis bukan
semata-mata merupkan hasil jerih payah sendiri, tetapi juga berkat bantuan dari
berbagai pihak. Kesempatan berbahagia ini saya ucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, Selaku Pudek I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Dr.H. M. Hamdan, SH, M.Hum, Selaku Ketua Departemen Hukum
Pidana
4. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku sekretaris Jurusan Hukum Pidana
5. Dr. Edi Yunara,SH,M.Hum, selaku pembimbing I yang telah
memeberikan bimbingan dan masukan yang sangat berarti dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Nurmalawaty,SH,M.Hum, selaku pembimbing II yang telah
memeberikan bimbingan dan masukan yang sangat berarti dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak
akademik yang telah banyak memebrikan masukan dan motivasi selama
penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen yang telah memberikan ilmunya selama
Penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
9. Bapak-bapak dan Ibu-ibu seluruh staff bagian pendidikan Fakultas Hukum
Universtas Sumatera Uatara yang telah memberikan bimbingan dan
informasi yang begitu berguna bagi penulisan skripsi ini.
10.Teman-teman Stambuk 2011 Fakultas Hukum USU Khususnya Joy,
Maruli, Ardi, Yosua, Raymond, Apresya, Marisa, Selly, dan Vera yang
telah melewati masa-masa perkuliahan bersama selama menjadi
mahasiswa dan juga banyak memberikan motivasi, dorongan serta
masukan-masukan yang membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
11.Seluruh keluarga Besar serta rekan-rekan Gerakan Mahasiwa Kristen
Indonesia (GMKI) FH USU dan semua anggota yang senantiasa
menyemangati dan membantu penulis. UT OMNES UNUM SINT.
Penulis secara khusus ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tidak
terhingga kepada kedua orang tua dan saudara-saudara penulis:
Ayahanda A. Siboro, SH, MH, dan Ibunda R. Nilawati Sihotang, SH,
beserta Kakanda Swanti N. Siboro, SH.
Ucapan terima kasih Penulis sampaikan, atas segala kesalahan dan
kekurangan Penulis mohon maaf yang sebsar-besarnya dan kiranya skripsi ini
dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita
semua.
Medan, April 2015
Hendro Hezkiel Siboro
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAKSI ... vii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penulisan ... 10
D. Manfaat Penulisan ... 10
E. Keaslian Penulisan ... 11
F. Tinjauan Pustaka ... 11
1 Pengertian Tindak Pidana ... 11
2 Pengertian Kekerasan ... 14
3 Bentuk-bentuk Kekerasan dan akibat Kekerasan ... 17
4 Pengertian Aparat Kepolisian ... 20
5 Pengertian Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian ... 24
G. Metode Penulisan ... 26
H. Sistematika Penulisan ... 28
BAB II: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP APARAT KEPOLISIAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk kekerasan yang terjadi terhadap Aparat Kepolisian ... 30
B. Faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap Aparat Kepolisian . 32
C. Perlindungan hukum bagi Aparat Kepolisian dalam hukum pidana
di Indonesia ... 36
1. Perlindungan bagi Aparat Kepolisian dalam KUHP ... 36
2. Perlindungan bagi aparat kepolisian dalam Undang-undang no. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ... 39
3. Perlindungan bagi aparat kepolisian dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol : 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia .. 47
BAB III PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP APARAT KEPOLISIAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN A. Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap aparat kepolisisan yang mengakibatkan kematian ... 50
1. Penal ... 50
2. Non penal ... 52
B. Putusan pengadilan negeri simalungun Nomor: 370 /Pid.B/2013/PN.SIM. ... 56
1. Kronologi kasus ... 56
2. Dakwaan penuntut umum ... 61
3. Fakta hukum ... 62
4. Tuntutan ... 68
5. Pertimbangan hakim... 71
6. Putusan ... 78
C. Analisis putusan ... 81
BAB IV: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 90
B. Saran ... 91
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAKSI
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap aparat
kepolisian khususnya dari tindak kekerasan dalam hukum pidana dikaji dari
KUHP, UU No. 2 tahun 2002 tetang Kepolisian Republik Indonesia, serta Perkap
nomor 14 tahun 2011 tentang kode etik profesi kepolisian Negara republik
Indonesia. Namun, peraturan-peraturan yang ada kurang mengakomodir HAM
anggota kepolisian secara terperinci dan lebih menitikberatkan pada penegakan
HAM bagi masyarakat pada umumnya.
Polisi merupakan aparatur negara yang bertugas mewakili negara untuk
menjaga keamanan dan ketertiban umum. Ironisnya, keamanan dari aparat
kepolisian itu sendiri kerap terabaikan oleh masyarakat. Kasus-kasus kekerasan
baik secara verbal maupun non verbal bahkan sampai mengakibatkan kematian
menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian mulai
memudar. Perlindungan yang seharusnya didapatkan aparat kepolisian tidak
diakomodir oleh peraturan hukum yang ada. Penulis dalam skripsi ini mengangkat
masalah tindak pidana kekerasan terhadap aparat kepolisian yang menyebabkan
kematian dalam kasus pengadilan negeri simalungun nomor:
370/pid.b/2013/PN.Sim serta penerapan sanksi dan perlindungan terhadap aparat
kepolisian dalam menjalankan tugas.
Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode
penelitian yuridis normative. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode
pengumpulan data Library Research dan Field Research, data diperoleh dari
sumber ilmiah tertulis dan dibantu dengan hasil wawancara dengan majelis hakim
dalam putusan pengadilan negeri simalungun nomor 370/Pid.B/2013/PN.SIM.
*
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana **
Dosen Pembimbing I/Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***
Dosen Pembimbing II/Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindakan “kekerasan” baik yang dilakukan perseorangan maupun yang
dilakukan bersama-sama atau berkelompok, sangat mengganggu ketertiban
masyarakat bahkan dapat meresahkan masyarakat. Tampaknya kesadaran akan
menghargai hak asasi seseorang dan rasa mencintai sesama manusia semakin
menipis atau pertumbuhannya tidak sebagaimana yang diharapkan sehingga
perilaku “berbuat baik untuk sesama atau terhadap orang lain” sudah semakin
tidak kelihatan.
Masyarakat pada dasarnya merupakan suatu organisasi sosial yang selalu
bergerak dan berubah. Dalam pandangan Ibnu Khaldun,1
1
Abd Ar Rahman Bin Muhammed Ibn Mukadimah, terjemahan Franz Rosenthal, ditelusuri melalui http:/ /www.muslimphilosopy.com/ik/ Muqaddimah/ Chapter1/Ch_1_01.htm diakses pada tanggal 15 Januari 2015, pukul 10.00
konflik adalah bagian
dari fitrah manusia sebagai elemen masyarakat yang selalu menuntut perubahan
menyebabkan masyarakat tidak dalam kondisi yang stabil, terintegrasi, harmonis
dan saling memenuhi. Namun dilain pihak manusia dilahirkan dengan otonominya
sendiri atas pikiran yang dimilikinya dituntut untuk bisa meneyelaraskannya
dengan pihak lain. Berdasarkan fitrah tersebut maka masyarakat akan selalu
memeperlihatkan konflik dan perubahan. Dalam pandangan ini konflik dalam
masyarakat pada dasarnya merupakan suatu mekanisme yang mendorong
masyarakat untuk berubah dan bergerak. Konflik dianggap sebagai suatu
perubahan dalam sistem sosial. Konflik dan perubahan merupakan suatu siklus
Resolusi dalam konflik dipandang merupakan redistribusi atas kekuasaan
atau kewenangan yang menjadikan konflik sebagai sumber perubahan
sebagaimana dikemukakan diatas. Redistribusi peranan untuk mengatur
merupakan bagian yang akan memicu bentuk konflik baru dalam perubahan
tersebut. Dalam hal demikian maka redistribusi kekuasaan yang tergambar dalam
kontrak sosial dalam pandangan ilmu hukum merupakan bentuk kongkrit dari
kontrak sosial yang menempatkan Negara sebagai pemegang hak menetapkan
sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (ius punale) dan hak
memidana (ius puniendi) sebagai bentuk penanganan suatu tindak pidana yang
terjadi dalam masyarakat. Dalam hal ini negara diinterpretasikan dalam diri aparat
negara maupun aparat penegak hukum.
Aparat penegakan hukum pada penerapan hukum agar benar-benar
memikirkan dengan cermat penjatuhan hukuman sehingga dirasakan masyarakat
hukuman tersebut telah setimpal dengan kesalahan pelaku. Penyelesaian perkara
dengan cepat dan tepat sangat membantu penegakan ketertiban/ketentraman
masyarakat serta terciptanya kepastian hukum. Aparat Penegak hukum terdiri atas
Anggota kepolisian, kejaksaan, kehakiman. Polisi merupakan aparatur negara
yang bertugas mewakili negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum
seperti yang tercantum dalam Pasal 2 undang-undang Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
“ Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
Polisi dan masyarakat adalah dua subjek sekaligus objek yang tak mungkin
terpisahkan. Polisi lahir karena adanya masyarakat, masyarakat membutuhkan
kehadiran polisi, guna menjaga ketertiban, keamanan, dan keteraturan masyarakat
itu sendiri. Demikianlah teori lahirnya polisi (politea, yunani kuno) sampai pada
lahirnya teori kepolisian modern dewasa ini.
Kepolisian adalah segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan
lembaga polisi sesuai dengan perundang-undangan. Eksistensi kepolisian adalah
lakon yang harus dijalankan sehubugnan dengan atribut yang melekat pada
individu maupun instansi, dalam hal ini diberikan oleh POLRI didasarkan atas
asas Legalitas undang-undang yang karenanya merupakan kewewajiban untuk
dipatuhi oleh masyarakat. Agar peran ini bisa dijalankan dengan benar,
pemahaman yang tepat atas peran yang diberikan harus diperoleh.2
Pemaknaan akan pelindung, Pengayom, dan pelayan masyarakat3
Pengayom: adalah anggota POLRI yang memiliki kemampuan memberikan
bimbingan, petunjuk, arahan, dorongan, ajakan, pesan, dan nasehat bisa
beragam dari berbagai tinjauaan, namun untuk kesamaan persepsi dan langkah
bagi kita, pemaknaan itu dapat dirumuskan:
Pelindung: adalah anggota POLRI yang memiliki kemampuan memeberikan
perlindungan bagi warga masyarakat, sehingga terbebas dari rasa
takut, bebas dari ancaman atau bahaya, serta merasa tentram dan
damai.
2
Johan Andreas S, Skripsi, Peranan Kepolisian dalm pemberantasan minuman keras (miras)
di wilayah hukum Polsek Medan Kota. (Medan : Fakultas Hukum USU, 2006), hal. 49
3
Barda Namawi Arief. Beberapa aspek kebijaksanaan penegakan dan pengembangan
yang dirasakan bermanfaat bagi warga masyarakat guna terciptanya
rasa aman dan tentram.
Pelayan: adalah anggota POLRI yang setiap langkah pengabdinya dilakukan
secara bermoral, sopan, ramah dan porprosional.
Pemaknaan dari peran pelindung, pengayom, dan pelayan seyogyanya tidak
hanya tampil setiap langkah kegiatan apapun yang dilakukan oleh personil POLRI
berkaitan dengan tugasnya melainkan juga dalam perilaku kehidupannya
sehari-hari.
Tampilan perilaku dimaksud akan sangat tergantung pula kepada integritas
pribadi masing-masing anggota POLRI, untuk bisa dilaksanakan secara sadar baik
dan tulus. Pada intinya perilaku yang ditampilkan dapat berwujud :
Sebagai pelindung : Berikan bantuan kepada masyarakat yang merasa terancam
dari gangguan fisik dan psikis tanpa perbedaan perlakuan.
Sebagai pengayom : Dalam setiap kiprahnya, mengutamakan tindakan yang
bersifat persuasif dan edukatif.
Sebagai pelayan : Layani masyarakat dengna kemudahan cepat, simpatik,
ramah, sopan, serta pembebasan biaya yang tidak
semestinya.
Sebagai pengayom, Polri selalu simpatik dan ramah tamah. Disini ada tiga
konsep policy Polri yang relevan, yatiu etis, open (tanggap) dan ojo dumeh.
perlu keras. Satu lagi konsep policy Polri adalah relevan kuat, yaitu Polri harus
sadar bahwa dirinya adalah sebagai “Crime Hunter”.4
Polri memang harus bertindak keras tetapi tidak bengis harus melakukan
pelayanan yang efisien tetapi tidak mengharap apapun, tidak memihak pada
kesatuan apapun (khusunya bidang politik) demi tegaknya azas kepolisian. Bagi
kepolisian hal-hal ini merupakan falsafah pelaksanaan tugas yang bersifat
universal sebagai standar minimum perilaku organisasi Polri.5
1. Aspek ketertiban dan keamanan umum
Tugas pokok tersebut dirinci lebih luas sebagai berikut :
2. Aspek perlindungan terhadap perorangan dan masyarakat (dari gangguan
atau perbuatan melanggar hukum/kejahatan, dari penyakit-penyakit
masyarakat dan aliran-aliran kepercayaan yang membahayakan termasuk
aspek pelayanan masyarakat dengan memberikan perlindungan dan
pertolongan)
3. Aspek pendidikan sosial di bidang ketaatan/kepatuhan hukum warga
masyarakat.
4. Aspek penegakan hukum di bidang peradilan, khususnya di bidang
penyelidikan dan penyidikan.
Mengamati tugas yuridis kepolisian yang demikian luas tetapi luhur dan
mulia itu jelas merupakan beban yang sangat berat. Kejahatan dalam era
modernisasi di Indonesia membawa implikasi bagi kerja polisi. Yakni, polisi akan
4
Anton Tabah, Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1991), hal 97
5
lebih besar lagi tanggung jawabnya mengamankan masyarakat dari berbagai
kejahatan. Bentuk pengamanan ini bukan hanya dituntut dengan cepatnya
penyelesaian perkara, tapi tuntutan hak-hak asasi manusia.
Namun berbicara mengenai hak asasi manusia memberikan dapat suatu
persepsi beragam bergantung pada siapa hak asasi manusia itu ditujukan.
Dalam sebuah forum, seorang personel POLRI mempertanyakan, mengapa hak asasi manusia hanya dikemukakan ketika tindakan polisi mengakibatkan jatuhnya korban di pihak masyarakat. Sebaliknya, ketika anggota polisi cedera bahkan tewas dalam tugas akibat dianiaya masyarakat, siapa yang akan katakan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia terhadap si polisi? Implisit, personel Polri tersebut mengutarakan betapa tidak adilnya
perlakuan publik terhdapa anggota Polri. Seolah, karena polisi mengenakan
seragam, maka ia tidak lagi manusia. Karena telah kehilangan kemanusiaan, maka
hak asasi manusia pun menjadi sesuatu yang tidak relevan bagi polisi.6
Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Kastorius Sinaga,
Kasus kekerasan yang menimpa anggota polisi semakin marak dan beragam.
Ironis, kekerasan tersebut menimpa aparat yang justru bertanggung jawab
menjaga ketertiban umum masyarakat.
7
6
Reza Indragiri Amriel, Polisi Manusia, Membentuk Polisi Santun dan Berempati,
(Tanggerang Selatan:Serat Alam Media, 2014), hal. 43
7
Zul, “Kekerasan Pada Aparat Merusak Sistem Hukum”,
http://rmol.co/read/2013/04/01/104643/Kekerasan-Pada-Aparat-Merusak-Sistem-Hukum, diakses pada tanggal 16 Maret 2015, pukul 20.34
melihat
banyaknya aksi kekerasan kelompok masyarakat yang mengakibatkan polisi tewas
tidak boleh dibiarkan, karena dapat menggangu instabilitas politik dan ketertiban
nasional. Terlebih bisa menimbulkan preseden buruk bagi prose penegakan
Tindak kekerasan terhadap aparat penegak hukum sebagai kejahatan serius
sebab, efeknya bisa menciptakan kerusakan pada sistem penegakan hukum
nasional.
Fakta di lapangan dapat dilihat dari beberapa kasus yang ada. Aparat
kepolisian mendapatkan perlakuan kekerasan dari masyarakat mulai dari
kekerasan yang mengakibatkan luka ringan sampai mengakibatkan kematian.
Indonesia Police Watch (IPW) 8
1. Kasus Briptu Ade Suharto Sindu, anggota Polsek Kapetakan, Kabupaten
Cirebon, Jawa Barat, yang tewas saat berupaya mengamankan pencuri
sepeda motor di Desa Grogol, Petakan Cirebon.
merilis jumlah polisi yang tewas di seluruh
Indonesia sepanjang tahun 2014. Ada 41 orang tewas dan 42 anggota Polri terluka
dari berbagai kesatuan. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2013
lalu, yaitu 27 polisi tewas dan 72 polisi terluka. Beberapa contoh kasus
diantaranya:
2. Anarkisme juga menimpa anggota satuan intel Poltabes Banjarmasin,
Kalimantan Selatan, Brigadir Rusdiansyah tahun 2011.
3. 19 November 2014, Briptu Jony Burnawin luka dibacok Raswin Piking (36)
dan Rinto Samsi saat melintas di SDN Karanganyar, Empat Lawang,
Sumsel. Anggota Polsek Ulu Musi itu dibacok kedua pelaku karena
mengetahui dirinya tengah diintai korban untuk ditangkap dalam kasus
pencurian.
8
Fransisco Rosarians, “Sudah 4 Polisi Ditembak di Jalan”,
4. Pada 2 Juli 2014, Briptu Afriadi tewas seketika dan Brigadir Syamsul luka
parah akibat dikeroyok massa saat hendak menggerebek judi dadu di
Terminal Pasar Youtefa, Jayapura, Papua. Selain dikeroyok keduanya
ditikam berkali-kali.
5. Kasus kekerasan juga menimpa Brigadir Ricardo Sitorus dan Brigadir
Chris-tian Marko. Dua orang anggota Kepolisian Daerah Sumatera Utara itu tewas
akhir Februari 2012 dianiaya dan dibakar massa di Desa Lau Bekri,
Kutalimbaru, Deli Serdang, Sumatera Utara.
6. Kasus kekerasan turut menimpa AKP. Andar Siahaan bersama
rekan-rekannya pada tanggal 27 Maret 2013. AKP. Andar Siahaan tewas dianiaya
oleh warga Dolok Saribu, Kecamatan Dolok Paredamean, Kabupaten
Simalungun, saat bertugas menangkap seorang tersangka yang tidak lain
merupakan rekan dari para warga yang menganiaya tersebut.
Selain daripada itu, masih banyak kasus serupa yang menimpa Aparat
kepolisian yang menyebabkan cedera bahkan kematian yang justru dilakukan oleh
masyarakat sebagai pihak yang seyogyanya dilindungi oleh aparat kepolisian.
Beberapa kasus diatas menjadi cerminan bagaimana keadaan masyarakat dewasa
ini yang mulai memberikan perlawanan kepada Aparat penegak hukum.
Perlindungan hukum yang ada masih belum dapat memayungi Aparat
kepolisian dengan baik dalam menjaga keamanan dan ketertiban negara.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menjamin perlindungan seluruh
masyarakat termasuk Aparat Kepolisian dalam perundang-undangan. Pemerintah
Undang-undang Hukum pidana diatur mengenai Kejahatan terhadap tubuh manusia
(misdrijven tegen bet lijf) dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atasa
tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan
karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.
Selain itu ada juga beberapa ketentuan Standar operasional bagi Aparat
Kepolisian dalam Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Selain itu ada juga code of conduct atau kode etik
profesi dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia yang menjadi
koridor hukum bagi aparat kepolisian melakukan tugasnya di tengah masyarakat.
Ada pula Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8
Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun peraturan
ini hanya bersifat internal dan menitikberatkan pada perlindungan HAM bagi
masyarakat tanpa mengatur secara lugas mengenai perlindungan bagi HAM
Aparat Kepolisian itu sendiri.
Dari beberapa instrumen hukum tersebut dapat dikatakan belum
memberikan perlindungan hukum maksimal bagi Aparat kepolisian. Para personel
polisi rentan rentan mengalami viktimisasi akibat benturan dengan masa maupun
pelaku kejahatan.
Sinergi antara aparat kepolisian sebagai penegak hukum dan masyarakat
sehingga kedua belah pihak dapat menciptakan keamanan dan ketertiban yang
masyarakat hakiki seperti yang dicita-citakan UU.
B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di
atas, dapat dirumuskan permasalahan skripsi ini sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap aparat kepolisian sebagai korban
kekerasan dalam Hukum Pidana di Indonesia?
2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana
kekerasan terhadap aparat kepolisisan yang mengakibatkan kematian pada
anak (Putusan Pengadilan Simalungun Nomor: 370/Pid.B/2013/PN.SIM.)?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan terhadap aparat
kepolisian dalam menjalan tugas dalam hukum pidana Indonesia
2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana
kekerasan terhadap aparat kepolisian yang mengakibatkan kematian dalam
putusan Nomor : 370 /Pid.B/2013/PN.SIM.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat teoritis, yaitu untuk menambah wawasan dan khazanah ilmu
pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana. Selain itu,
memberikan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai peraturan
Aparat Kepolisian sebagai objek kekerasan yang dilakukan oleh
masyarakat.
2. Manfaat praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
terhadap masyarakat, bangsa dan negara pada umumnya, khususnya
terhadap Anggota POLRI agar terhindar dari tindak kekerasan yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap mereka saat menjalankan tugas sesuai
ketentuan UU.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan Skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan
Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Simalungun Nomor : 370 /Pid.B/2013/PN.SIM.” adalah hasil
pemikiran penulisan sendiri. Skripsi ini sepengetahuan penulis belum pernah ada
yang membuat.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan, pemikiran, dan usaha
penulisan sendiri dengan adanya bantuan dan bimbingan dari dosen pembimbing
Penulis, tanpa adanya penipuan, penjiplakan, atau hal-hal lainnya yang dapat
merugikan para pihak tertentu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
penelitian untuk skripsi ini adalah asli. Dan untuk itu, Penulis dapat bertanggung
jawab atas keaslian penulisan skripsi ini.
F. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Tindak Pidana
Pembentuk Undang-Undang dalam berbagai perundang-undangan
tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud
dengan perkataan “tindak pidana” tersebut. Secara harfiah perkataan “tindak
pidana” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat
dihukum”. Akan tetapi, diketahui bahwa yang dapat dihukum sebenarnya adalah
manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.9
Moeljatno menerjemahkan istilah “strafbaar feit” dengan perbuatan
pidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan
tersebut.10
Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa dalam perundang-undangan formal
Indonesia, istilah “perisitiwa pidana” pernah digunakan secara resmi dalam
UUDS 1950, yakni dalam Pasal 14 (1). Secara substansif, pengertian dari istilah
“peristiwa pidana” lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan
oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam.11
Teguh Prasetyo merumuskan bahwa :12
“Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan
diancam dengan pidana. Pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang
bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum)
9
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:PT Citra Aditya
Bakti, 1997), hal. 181
10
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta Timur:Sinar Grafika, 2011), hal. 97
11
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung:Refika Aditama,
2003, hal. 33
12
dan perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya
diharuskan oleh hukum).”
Menurut Pompe, perkataan “tindak pidana”secara teoretis dapat
dirumuskan sebagai berikut13
Jonkers merumuskan bahwa : :
“Suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang
dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang
pelaku yang penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu
demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.”
14
Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi sebagaimana dikutip dari oleh Amir
Ilyas bahwa tindak pidana mempunyai 5 (lima) unsur-unsur, yaitu
“Tindak pidana sebagaiperisitiwa pidana yang diartikannya sebagai suatu
perbuatanyang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan
dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.”
15
1. Subjek;
:
2. Kesalahan;
3. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan;
4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang dan
terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana;
5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).
13
P.A.F. Lamintang, op.cit, hal. 182.
14
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001)
hal. 75
15
Tindak pidana juga dapat diartikan sebagai suatu dasar yang pokok dalam
menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar
pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Akan
tetapi, sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatanmengenai
perbuatannya sendiriberdasarkan asas legalitas (Principle of Legality) yang
menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan (Nullum
Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali).
2. Pengertian Kekerasan
Kekerasan dalam bahasa Inggris violence berasal dari bahasa Latin violentus
yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Kekerasan dalam prinsip dasar hukum
publik dan privat Romawi yang merupakan sebuah ekspresi baik dilakukan secara
fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan
penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh
perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya
yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan
tanpa mengindahkan keabsahan.16
16
Wignyosoebroto. S, Makalah, Gejala Sosial Masyarakat Kini yang Tengah Terus Berubah.
(Surabaya:Simposium Ansietas, 1981), hal. 18
Pengguna atau tindakan kesewenang-wenangan
“Akar Kekerasan: Kekayaan tanpa bekerja, Kesenangan tanpa hati nurani,
Pengetahuan tanpa karakter, Perdagangan tanpa moralitas, Ilmu tanpa
kemanusiaan, Ibadah tanpa pengorbanan, Politik tanpa prinsip.”17
Hampir tiap menit terjadi kekerasan di dunia ini, baik kekerasan yang terjadi
dalam rumah tangga, kekerasan dalam lingkungan, kekerasan dalam politik dan
bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Menurut Wignyosoebroto18
Namun, tak jarang pula tindak kekerasan ini terjadi sebagai bagian tindakan
manusia untuk tak lain daripada melampiaskan amarah yang sudah tak
tertahankan olehnya. Menurut Santoso
:
“Kekerasan adalah suatu tindakan, yang dilakukan oleh seseorang atau
sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat)
terhadap seseorang atau sejumlah orang yang beposisi lebih lemah (atau
yang tengah dipandang berada dalam keadan lemah) berdasarkan kekuatan
fisiknya yang superior, dengan kesengajaan untuk dapat ditimbulkannya
rasa derita di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan itu”
19
17
http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan diakses tanggal 12 Januari 2015. Pada pukul 08:00 am.
“Kekerasan juga bisa diartikan dengan serangan memukul (assault and
battery) merupakan kategori hukum yang mengacu pada tindakan illegal
yang melibatkan ancaman dan aplikasi actual kekuatan fisik pada orang
lain. Serangan dengan memukul dan pembunuhan secara resmi dipandang
sebagai tindakan individu meskipun tindakan tersebut dipengaruhi oleh
Kekerasan menurut Pasal 89 KUHP adalah membuat orang menjadi pingsan
atau tidak berdaya lagi (lemah). Penjelasannya sebagai berikut20
Secara filosofis, fenomena kekerasan merupakan sebuah gejala kemunduran
hubungan antar pribadi, di mana orang tidak bisa lagi duduk bersama
memecahkan suatu masalah. Hubungan yang ada hanya diwarnai dengan
ketertutupan, kecurigaan dan ketidakpercayaan. Dalam hubungan seperti ini, tidak :
Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani
tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan
segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.
Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya umpanya memberi
minuman racun. Kecubung atau lain-lain obat, sehingga orangya tidak ingat
lagi, orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan
dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama
sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya
mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar,
memberikan suntikan, sehingga orang itu lumpuh. Orang yang pingsan itu
tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya.
Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali,
sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun,
misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam
kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak
berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.
20
ada dialog, apalagi kasih. Semangat mematikan lebih besar daripada semangat
menghidupkan, semangat mencelakakan lebih besar dari semangat melindungi.
Secara teologis, kekerasan di antara sesama manusia merupakan akibat
dari dosa. Kita tinggal dalam suatu dunia yang bukan saja tidak sempurna, tapi
lebih menakutkan, dunia yang berbahaya. Orang bisa menjadi berbahaya bagi
sesamanya. Mulai dari tipu muslihat, pemerasan, penyerangan, pemerkosaan,
penganiayaan, pengeroyokan, sampai pembunuhan.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan
merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
yang merasa dirinya kuat kepada seseorang atau sekelompok yang diaanggapnya
lemah, di mana dapat dilakukan dengan cara memukul, membacok, dan menyiksa.
3. Bentuk-bentuk Kekerasan dan akibat Kekerasan
Kekerasan merupakan suatu istilah yang biasa diterjemahkan dari kata
asing violence. Violence merupakan gabungan kata latin ‘vis’ yang berarti daya
atau kekuatan dan kata ‘latus’ yang berasal dari kata ferre, yang berarti membawa
kekuatan atau daya.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat
atau hal yang keras, kekuatan, paksaan atau tekanan, desakan yang keras,
sehingga kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan atau tekanan. Secara
teoritis kerusuhan yang dilakukan secara massal merupakan bentuk tindak
kekerasan (la violencia di Columbia) yang dapat menjurus pada tindakan criminal
mengakibatkan terjadinya kerusuhan fisik maupun psikis adalah kekerrasan yang
bertentangan dengan hukum, oleh karena itu merupakan kejahatan.21
Selanjutnya Kadish
Untuk dapat digolongkan sebgai suatu kekerasan haruslah memuat atau
menunjuk unsur-unsur tertentu, seperti tingkah laku yang bertentangan dengan
undang-undang, adanya ancaman atau tindakan nyata dan memiliki akibat
kerusakan terhadap harta benda, fisik atau mengakibatkan kematian.
22
1. Emotional and instrument violence
mengklarifikasi kekerasan ini ke dalam 3 (tiga)
bentuk kekerasan, yaitu:
2. Random and individual violence
3. Collective violence
John Galtung23
Dalam konteks ini, menarik sekali apa yang ditulis oleh Dorn Helder
Camara
memberikan pengertian kekerasan dalam arti yang sangat
luas meliputi semua bentuk tindakan yang dapat menghalangi seseorang untuk
merealisasikan potensi dirinya (self-realization) dan mengembangkan pribadinya
(personal growth).
24
21
Romli Atmasasmita, Teori Dan Kapita Selekta. Krominologi, (Bandung:Eresco, 1992), hal. 55
22
Kadish, Sanford H, Encyclopedia Of Crime and Justica, volume 4, (New York:Macmilian
and Free Press, 1983), hal. 1619
23
I Marsana Windhu, Kekerasan Menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 64-65
24
Dom Helder Camara, Spiral Kekerasan, Sebuah Terjemahan dari Judul asli “Spiral of
Violence”, (Yogyakarta:Insist Press, 2000), hal. 19-21
, yang mengenalkan Teori Teori kekerasan Spiral (spiral of violence)
yang menggambarkan proses dari bekerjanyan 3 (tiga) bentuk kekerasan bersifat
sipil dan represi negara. Ketiganya saling terkait satu sama lain, artinya,
kemunculan kekrasan satu menyebabkan kemunculan kekerasan lainnya.
Dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar dan menjadi
sumber utama adalah ketidakadilan, yaitu kekerasan nomor 1 (satu) sebgai gejala
yang menimpa baik perseorangan, kelompok, maupun negara, yang diakibatkan
oleh bekerjanya ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi internasional.
Ketidakadilan ini terjaddi sebgai akibat dari upaya kelompok elit nasional
memepertahankan kepentingan mereka sehingga terpelihara sebuah struktur yang
mendorong terbentuknya kondisi “sub-human”, yaitu kondisi hidup di bawah
standar layak untuk hidup sebgai manusia normal.
Menurut teori ini, kondisi “sub-human” ini selajutnya menciptakan
ketegangan terus menerus di masyarakat, sehingga mendorong munculnya
kekerasan nomor 2 (dua), yaitu pemberontakan di kalangan sipil. Dalam kondisi
ini, manusia menderita tekanan, alienasi, dehumanisasi martabat, kemudian
mendorong mereka, naik yang langsung menderita tekanan structural itu maupun
anak-anak muda yang sudah tidak tahan lagi dengan kondisi sumpek “sub-human”
itu, melakukan pemberontakan dan protes di jalan-jalan untuk melawan
ketidkaadilan. Ketika konflik, protes dan pemeberontakan itu menyembul di
jalan-jalan, ketika kekerasan nomor 2 mencoba melawan kekersan nomor 1, penguasa
memandang dirinya berkewajiban memelihara ketertiban, meski harus dengan
menggunakan cara-cara kekersan, sehingga muncul kekersan nomor 3. Yaitu
represi penguasa.25
25
Bekerjanya tiga jenis kekersan itu menyerupai spiral, karenanya Dom H.
Camara meneyebutkannya dengan Spiral kekerasan. Kekersan nomor 1 atau
ketidakadilan mendorong pemebrontakan sipil atau kekersan nomor 2.
Selanjutnya hal itu mengundang hadirnya represi negara atau kekerasan nomor 3.
Ketika represi itu diberlakukan, hal itu selanjutnya memperparah kondisi
ketidakadilan, kekersan nomor 1 sehingga terbentuklah Spiral Kekerasan
(kekerasan menimbulkan kekersan lainnya).26
4. Pengertian Aparat Kepolisian
Menurut pakar sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo27
Peran Polisi saat ini adalah sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai
aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum pidana pada Sistem
Peradilan Pidana di Sub Penyidikan. Dengan hal itulah antara tugas serta
kewaijiban yang diemban oleh seorang Polisi sangatlah berat, karena antara satu
dengan yang lainnya bertentangan dan kontradiktif, akan tetapi ikhwal manusia
sebagai aparat penegak hukum yang melindungi serta mengayomi masyarakat
harus lebih mengedepankan sikap profesionalisme dan humanisme yang tinggi
dalam melayani masyarakat ke arah pelayanan yang prima dan optimal. :
“Kepolisian adalah profesi unik, sehingga untuk merumuskan secara tuntas
adalah pekerjaan yang tidak mudah. Ia merupakan perpaduan antara
kekuatan dan pelayanan, padahal keduanya merupakan kategori yang
berdiri sendiri dan sering bersebrangan. Ia juga perpaduan antara kekerasan
dan kelembutan.”
26
Ibid, hal. 14
27
Polisi adalah aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan
masyarakat dan penjahat. Penyelenggaraan fungsi Kepolisian merupakan
pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan tugas seorang anggota Polri
menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian dibidang teknis
Kepolisian. Oleh karena itu dalam menjalankan profesinya setiap insan Kepolisian
tunduk pada kode etik profesi sebagai landasan moral.
Kode etik profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang dijadikan
pedoman sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi setiap
anggota untuk pemulihan profesi Kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan dan
harapan masyarakat. Jadi Polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom dan
pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang bersih agar tercipta clean
governance dan good governance.
Etika profesi Kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi
dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral, selanjutnya disusun
kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketentuan
yang berkaitan dengan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sesuai dengan amanat Undang-undang No. 2 Tahun 2002 pada Pasal 34 dan 35
kemudian di wujudkan melalui Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 Tentang
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kode etik ini adalah
merupakan perilaku dan moral bagi anggota Polri sebagai upaya pemulihan
terhadap profesi Kepolisian, yang berfungsi sebagai pembimbing pengabdian,
penindakan terhadap suatu tindak pidana dan penyalahgunaan wewenang dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Profesionalisme Polisi amat diperlukan dalam menjalankan tugas sebagai
penegak hukum, mengingat modus operandi dan teknik kejahatan semakin
canggih, seiring perkembangan dan kemajuan zaman. Apabila Polisi tidak
profesional maka proses penegakan hukum akan timpang, akibatnya keamanan
dan ketertiban masyarakat akan senantiasa terancam sebagai akibat tidak
profesionalnya Polisi dalam menjalankan tugas. Tugas Polisi disamping sebagai
agen penegak hukum (law enforcement agency) dan juga sebagai pemelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat (order maintenance officer). Polisi adalah
ujung tombak dalam integrated criminal justice system. Di tangan Polisilah
terlebih dahulu mampu mengurai gelapnya kasus kejahatan.
Integritas professional Polisi yang utuh dan menyeluruh merupakan
prasyarat bagi suksesnya pelaksanaan tugas Kepolisian. Sebab tanpa integritas
profesionalnya, dapat saja sikap dan tindakan Polisi hanya dilandasi oleh persepsi
dan motivasi kepentingan subyektif pribadi yang memungkinkan pelanggaran
kode etik dan standard moralitas Polisi sebagaimana berlaku universal. Polisi
dituntut mampu menyibak belantara kejahatan di masyarakat dan menemukan
pelakunya. Polisi harus melakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan
menemukan bukti-bukti guna membuat terang suatu kejahatan dan menemukan
pelakunya.
Tiap-tiap komponen dalam Sistem Peradilan Pidana mempunyai wewenang
telah termaktub dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 sebagai acuan penyidik
dalam mengambil langkah kebijakan untuk menangani perkara pidana. Diskresi
diberikan baik karena berdasar peraturan perundang-undangan atau aspek yuridis
maupun atas dasar aspek sosiologisnya.
Penyaringan perkara mulai pada tingkat penyidikan berupa tindakan -
tindakan Kepolisian yang dalam praktek disebut diskresi penyidik. Pada tingkat
penuntutan, adanya wewenang Jaksa untuk mendeponir suatu perkara yang biasa
disebut dengan asas oportunitas. Sedangkan pada tingkat peradilan berupa
keputusan hakim untuk bebas, hukuman bersyarat, ataupun lepas dan hukuman
denda. Pada tingkat pemasyarakatan berupa pengurangan hukuman atau remisi.
Penyaringan-penyaringan perkara yang masuk kedalam proses peradilan
pidana tersebut merupakan perwujudan dari kebutuhan-kebutuhan praktis Sistem
Peradilan Pidana, baik karena tujuan dan asas maupun karena semakin
beragamnya aliran-aliran modern saat ini, baik pada lingkup perkembangan
hukum pidana maupun kriminologi yang disadari atau tidak disadari, langsung
atau tidak langsung mempengaruhi nilai-nilai perkembangan yang ada pada
masyarakat dewasa ini. Tentunya diskresi oleh Polisi itu sendiri terdapat hal-hal
yang mendorong ataupun menghambat didalam penerapannya di lapangan.
Kedudukan Polri sebagai penegak hukum tersebut ditetapkan dalam
Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 butir (1)
Pasal 1 butir (1)
“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan
lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 2
“Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.
Menurut penjelasan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1
butir (1) dan Pasal 2 tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri dalam
kedudukannya sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan
hukum dibidang yudisial, tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan
dimilikinya kewenangan diskresi dibidang yudisial yang tertuang dalam Pasal 18
ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri”, maka akan menjadi masalah apabila dengan adanya diskresi
ini justru malah merangsang atau memudahkan penyalahgunaan kekuasaan oleh
Polisi.
5. Pengertian Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian
Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya tanggal 22-12-1953 menyatakan
bahwa pegawai negeri ialah “adanya suatu pengangkatan oleh pemerintah, untuk
melaksanakan jabatan umum yang merupakan sebgaian tugas peerintahan sendiri
Pengertian pegawai negeri sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 356
adalah pengertian pegawai negeri menurut yurisprudensi tersebut diatas, yang
diperluas menurut Pasal 92 KUHP, dan tidak menurut perluasan arti oleh UU No.
31 Tahun 1999. Perluasan arti mengenai pegawai negeri menurut UU No. 31
Tahun 1999 ini hanyalah berlaku bagi penerapan ketentuan-ketentuan dalam UU
tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saja, dan tidak terhadap ketentuan
hukum pidana selainnya. Ketentuan hukum pidana perihal penganiayaaan (Bab
XX Buku II KUHP) dan Kekerasan bukan termasuk tindak pidana korupsi.
Dengan demikian dapat anggota Polri merupakan pegawai negeri yang dimaksud
tersebut.28
a. Perbuatan: melawan;
Macam penganiayaan terhadap pegawai negeri yang ketika menjalan
tugasnya ini ada persamaan dan perbedaan dengan kejahatan melawan pejabat
yang diatur dalam Pasal 212, yang rumusannya adalah:
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan pejabat
yang sedang mejalakna tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban
undang-undang atau permintaan pejabat itu memebrikan bantuan padanya,
dipidana karena melwan pejabat, dengan pidana penjara paling lama 1
tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500.”
Bila rumusan itu dirinci unsur-unsurnya, maka terdiri dari:
b. Cara: 1) dengan kekerasan;
2) dengan ancaman kekersan;
28
c. Objeknya: 1) pejabat/pegawai negeri;
2) orang yang arena berkewwajiban UU membantu pejabat
itu;
3)orang yang karena permintaan pejabat itu membantu
padanya;
d. Yang sedang menjalankan tugasnya yang sah.
Melawan adalah suatu perbuatan yang sifatnya menantang, memaksa dan
menekan pada seorang (Aparat Kepolisian) yang bertentangan dengan kemauaan
dan kehendak orang itu. Perbuatan ini bersifat abstrak, yang wujudnya akan lebih
nyata bila dihubungkan dengan cara melakukannya, yakni dengan kekerasan dan
ancaman kekerasan.
Kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut baik dilakukan oleh individu
atau dilakukan dua orang bersama-sama atau lebih terhadap seorang Aparat
Kepolisian tetapi tidak perlu orang tersebut mengetahui tentang Aparat kepolisian
tersebut sedang bekerja dalam melakukan pekerjaan jabatannya yang sah.
G. Metode Penulisan
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan
adalah metode penelitian hukum Yuridis Normatif dinamakan juga dengan
penelitian hukum normative atau penelitian hukum doctrinal dan dibantu
dengan hasil wawancara dengan Majelis Hakim untuk mempertanyakan apa
saja yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam mengambil
normatif, penulis melakukan penelitian terhadap perundang-undangnan dan
bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi ini yaitu “Tinjauan
Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang
Mengakibatkan Kematian (studi kasus Putusan Pengadilan Negeri
Simalungun No. 370 /Pid.B/2013/PN.SIM.)
2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan sekunder.
Data sekunder diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat
dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu berupa
peraturan perundang-undangan, seperti Kitab Undang-undang hukum
Pidana.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan
informasi atau hasil kajian tentang pidana kekerasan terhadap Aparat
Kepolisian meliputi kasus dari pengadilan Negeri Simalungun
(putusan Pengadilan Simalungun No. 370/Pid.B/2013/PN.SIM),
buku-buku karya ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet
yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.
c. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang berisi
konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan
dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui penelitian terhdap
literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai
dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini dan melakukan
penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di pengadilan negeri
Simalungun. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini adalah untuk
memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan,
buku-buku, majalah, surat kabar maupun bahan bacaan lainnya yang
berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Selain studi kepustakaan, penelitian
juga melakukan studi lapangan dengan mewawancarai hakim pengadilan negeri
Simalungun.
4. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara
kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam
pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka
kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat dijawab permasalahan
dalam skripsi ini.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penelitian ini
akan dibagi menjadi 4 bab dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika
penulisan.
Bab II : Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum tentang kekerasan
terhadap Aparat Kepolisian. Bagian-bagian yang diuraikan yaitu
ulasan secara mendalam mengenai bentuk dan klasifikasi kekerasan
Terhadap Aparat Kepolisian serta menguraikan tentang faktor-faktor
penyebab dan dampak terjadinya kekerasan terhadap aparat
kepolisian.
Bab III : Dalam bab ini diuraikan secara mendetail tentang realitas
perlindungan hukum tentang aparat kepolisian dalam ketetuan
hukum pidana di Indonesia dan ketentuan pidana terhadap pelaku
kekerasan terhadap Aparat Kepolisian yang mengakibatkan kematian
serta analisis kasus putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.
370/Pid.B/2013/PN.SIM
Bab IV : Dalam bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup
berisikan kesimpulan dan saran yang berfungsi memberikan
masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP APARAT KEPOLISIAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Bentuk kekerasan yang terjadi terhadap Aparat Kepolisian
Aparat Kepolisian sebagai aparatur negara yang bertugas menjaga keamanan
dan ketertiban masyarakat dalam tugasnya menghadapi resiko maut saat
berkenaan dengan masyarakat. Ketika manusia secara instrinktif akan menjauh
dari sumber bahaya, polisi justru dituntut untuk melawan dorongan naluriah itu.
Bukan berarti polisi tidak bisa takut dan khawatir akan keselamatan diri mereka.
Tapi, tanggung jawab profesi, polisi justru harus mengedepankan rasionalitas
guna menjinakkan ancaman tersebut.29
Secara garis besar terdapat dua bentuk kekerasan masa yang ditujukan
terhadap aparat Kepolisian yakni:30
a. Secara non fisik/verbal (dalam bentuk ungkapan kata-kata yang bernada
tuntutan, ancaman, cacian dan provokasi); dan
b. Secara fisik/non verbal (dengan menggunakan benda-benda keras seperti
pentongan, batu, kayu dan sejenisnya serta bom molotov dan bahan bakar
sejenisnya).
Kekerasan secara verbal kerap dijumpai hampir ditiap kesempatan yang
yang terdapat gesekan antara masyarakat dan Aparat. Kekerasan secara verbal
terdiri dari beberapa bentuk yakni :
1. Menghina dengan lisan atau tulisan
29
Reza Indragiri Amriel, Op.Cit, Hal. 105.
30
diakses pada
Menghina dengan lisan atau tulisan yaitu berupa penyerangan terhadap
nama baik dan kehormatan dengan kata-kata atau tulisan. Penghinaan
dilakukan dengan sengaja dimuka umum atau khalayak ramai dan
penghinaan tersebut baik yang ditujukan kepada kekuasaannya(lembaga)
maupun kepada pribadi aparat kepolisian yang sedang menjalankan tugasnya
yang sah.
2. Penghasutan Untuk melakukan kekerasan terhadap aparat
Rumusan tindak pidana menghasut terdapat pada Pasal 160 menurut R.
Sugandhi yang berbunyi sebagai berikut31
3. Ancaman kekerasan
:
“Barangsiapa dimuka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut
supaya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, melawan
pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau supaya jangan mau
menurut peraturan perundang-undangan atau perintah yang sah yang
diberikan menurut peraturan undang-undang, dihukum dengan penjara
selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
4.500.00.”
Ancaman kekerasan yaitu melakukan tekanan kepada Aparat kepolisian
sehingga Aparat tersebut berbuat sesuatu yang tidak akan diperbuatnya, atau
tidak melakukan sesuatu (mengalpakan) perbuatan yang merupakan
tugasnya yang sah. Tekanan tersebut dilakukan dengan cara-cara kekerasan.
31
R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Penjelasannya,
Sedangkan kekerasan secara fisik berupa kekerasan yang sejalan dengan
Pasal 89 KHUP.
“yang disamakan dengan melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi
pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).”
Kekerasan secara fisik terhadap aparat kepolisian dapat dilakukan secara
perseorangan maupun secara bersama-sama seperti terdapat dalam Pasal 211
samapi dengan Pasal 215 KUHP.
Kekerasan fisik berupa paksaan atau tekanan terhadap aparat kepolisian
supaya menjalankan perbuatan jabatan atau mengalpakan perbuatan jabatan yang
sah. Kekerasan juga dapat berupa perlawanan terhadap aparat yang sedang
menjalankan tugas seperti melepaskan orang yang ditangkap oleh polisi dari
tangan polisi.
Kekerasan secara fisik menebabkan suatu luka baik itu luka ringan maupun
luka berat. Termasuk perbuatan kekerasan yang mengakibatkan matinya aparat.
B. Faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap Aparat Kepolisian
Budaya kekerasan disebut demikian karena belakangan ini penyelesaian
masalah cenderung menggunakan cara-cara kekerasan, tampaknya semakin
menguat dan menjadi budaya. Kekerasan dalam bentuk anarkis atau premanisme
di berbagai wilayah Indonesia telah menjadi warta setiap hari. Dengan
memperhatikan kekerasan demi kekerasan yang terjadi, terdapat beberapa faktor
langsung, secara sendiri-sendiri, maupun secara bersama-sama. Faktor-faktor
tersebut diantaranya32
1. Masalah penegakan hukum (law enforcement) yang masih lemah.
:
Tanpa penegakan yang tegas dan adil, maka kekecewaan akan tumbuh
dalam masyarakat. Penegakan yang diinginkan adalah yang adil, dalam arti
tidak pandang bulu, apakah ia berduit atau tidak, apakah orang kaya atau
orang miskin, apakah berkuasa atau tidak, di depan hukum harus diberlakukan
secara adil. Jika tidak, kekecewaan demi kekecewaan masyarakat lambat laun
akan terakumulasi dan hanya menunggu momentum untuk meledak. Sedikit
saja ada permasalahan, masyarakat akan marah.
2. Masalah kesenjangan ekonomi.
Masalah kesenjangan ekonomi terjadi dimana-mana di belahan dunia.
Hanya yang berbeda adalah tingkat kesenjangannya. Semakin besar gap
pendapatan anggota masyarakat yang satu dengan yang lain, semakin
potensial untuk mengoyak kestabilan dan keamanan wilayah atau daerah
setempat. Kesenjangan ekonomi dapat dengan pasti menimbulkan
kecemburuan sosial. Apabila mereka terbilang kaya tidak peduli dengan
mereka yang miskin yang ada disekitarnya. Kecemburuan sosial inipun secara
potensial membahayakan, karena sewaktu-waktu bisa tersulut membara
menjadi tindakan anarkis, hanya karena percikan api permasalahan yang kecil
saja.
3. Tidak adanya keteladanan dari sang pemimpin.
32
Artinya, pemimpin mulai tidak satya wacana: apa yang dilakukan berbeda
jauh dengan apa yang dikatakan. Pemimpin melakukan tindakan-tindakan
yang tidak terpuji, mementingkan diri sendiri, dan keluar dari rel
kewenangannya. Masyarakat yang kehilangan figur yang layak diteladani
bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Walaupun secara fisik sang induk
ada, tapi tidak pantas lagi menjadi panutan. Ketika terjadi permasalahan, maka
masyarakat yang kehilangan figur keteladanan, menjadi bingung ke mana dan
di mana tempat bertanya dan mengadu. Karena tidak ada yang pantas
diteladani, maka mereka melakukan tindakan yang semaunya, yang sering kali
tanpa pertimbangan.
4. Adanya provokasi dari pihak-pihak berkepentingan.
Karena ada provokasi dari pihak-pihak yang berkepentingan menjadikan
bibit-bibit permasalahan yang ada agar menjadi besar. Di balik upaya-upaya
mereka itu tentu ada maksud yang tersembunyi, mungkin dalam kaitannya
dengan politik, seperti dalam rangka merebut kekuasaan dengan cara merusak
image orang yang sedang berkuasa atau lawan politiknya, dan sebagainya.
Bagi sebagian masyarakat yang kondisinya sudah „labil‟ karena dihimpit oleh
berbagai persoalan hidup, bukanlah tidak mungkin mereka dengan mudah
terprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif tanpa menyadari
Apabila lebih spesifik, faktor penyebab kekerasan yang ditujukan terhadap
Aparat Kepolisian dapat dibagi ke dalam enam lima faktor yakni:33
1. Faktor structural condusiveness (terdapatnya kondisi struktural yang
kondusif yang berupa ketidakharmonisan antara masyarakat dengan polisi
sebelum kekerasan massa berlangsung);
2. Faktor structural strain (terdapatnya ketegangan struktural yang terjadi
antara masyarakat dengan polisi, di mana adanya ketidakadilan yang
dipersepsikan/dipahami masyarakat terhadap polisi sebagai sesuatu yang
menindas sebelum kekerasan massa berlangsung)
3. Faktor pola budaya masyarakat (terdapatnya kebiasaan sehari-hari yang
mencerminkan budaya kekerasan di dalam masyarakat seperti kebiasaan
membawa senjata tajam dan suka berkelahi fisik dalam menyelesaikan
persoalan);
4. Faktor pemicu (faktor penyulut/penyebab utama berupa arogansi dari
beberapa oknum polisi);
5. Faktor katalis (faktor yang mempercepat terjadinya kekerasan massa
berupa isu bahwa polisi menutup-nutupi fakta sebenarnya dan adanya
provokasi dan mobilisasi);
6. Lemahnya manajemen konflik (faktor penahan dan peredam yang kurang
memadai berupa kurangnya antisipasi pihak kepolisian dengan baik,
kurang berhasilnya pihak pemda dan tokoh-tokoh masyarakat dalam
menahan aksi massa).
33
Memang tugas polisi penuh resiko sebagaimana yang diakui Staff khusus
Kapolri, Kastorius Sinaga. Menurut dirinya, ada beberapa penyebab yang memicu
aksi kekerasan warga terhadap polisi. Pertama, kekecewaan melihat kinerja polisi.
Kedua, akibat provokasi pelaku pelanggaran hukum yang menjadikan warga
sebagai tameng. Ketiga, rasa frustrasi rakyat karena himpitan ekonomi.
Faktor-faktor ini yang kemudian menjadikan mereka lebih gampang diprovokasi
pihak-pihak tertentu.34
Pengamat Kepolisian Alfons Leumau menilai, maraknya aksi kekerasan
terhadap aparat keamanan terjadi karena masyarakat sudah tidak percaya kepada
penegak hukum. Banyak masyarakat yang tidak percaya lagi sistem penegakan
hukum di negeri ini bisa memenuhi rasa keadilan. Akibatnya mereka mencari cara
sendiri untuk menegakan hukum. Caranya dengan kekerasan.35
C. Perlindungan hukum bagi Aparat Kepolisian dalam hukum pidana di
Indonesia
1. Perlindungan bagi Aparat Kepolisian sebagai korban kekerasan
dalam KUHP
Ancaman hukuman terhadap seseorang yang melakukan perlawanan pada
petugas polisi secara tegas telah tersurat dalam KUHP. Tentang hal ini
terdapat 5 Pasal yaitu Pasal 211 sampai dengan Pasal 215.36
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak Pasal 211 dirumuskan sebagai berikut:
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung:Eresco,
melakukan perbuatan jabatan yang sah, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.”
Tindak pidana ini merupakan suatu pengkhususan (species) dari tindak
pidana yang semacam, tetapi bertindak lebih luas (algemeen) dari Pasal 335
ayat 1 berupa: secara melanggar hukum memaksa sembarang orang untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu.37
1. Mempunyai objek yang sama, yakni pegawai negeri yang sedang
menjalankan tugasnya yang sah. Tetapi dalam al objek ini, bagi kekjhatan
Pasal 212 lebih luas, termasuk orang bukan pegawai negeri yang
membantu pegawai negeri itu, baik karena UU maupun atas permintaan
sendiri.
Dalam Pasal 212 dinyatakan bagi seseorang yang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan melawan pegawai negeri (dalam hal ini termasuk Aparat
Kepolisian) yang sedang menjalankan tugasnya atau mengancam seseorang
yang membantu pada petugas diancam penjara 1 tahun 4 bulan dan denda tiga
ratus rupiah.
Adapun persamaan dan perbedaan antara penganiayaan terhadap pegawai
negeri yang sedang menjalankan tugasnya yang sah (356) dengan kejahatan
melawan pejabat (212) ialah:
2. Walaupun perbuatan menurut Pasal 212 lebih konkret oleh Karen
adicantumkan cara/upaya melakukannya daripada perbuatan pada
penganiayaan (356). Tetapi ada sifat yang sama, sifat yang sama itu ialah:
37
a. Kedua perbuatan itu merupakan perbuatan aktif, yang pada umumnya
menggunakan kekerasan;
b. Kedua perbuatan itu ditujukan pada tubuh, namun khusus pada
perbuatan ancaman kekerasan menimbulkan akibat perasaan, seperti
takut akan dilukai, akan dibunuh dan sebagainya.
Sedang, Pasal 213 dan 214 lebih jelas lagi. Menurut Pasal 213 maksimum
hukuman pada 211 dan 212 dinaikkan menjadi:
Ke 1 lima tahun penjara, apabila berakibat orang mendapat luka-luka.
Ke 2 delapan tahun enam bulan penjara, apabila berakibat luka berat.
Ke 3 dua belas tahun penjara, apabila berakibat matinya orang.
Menurut Pasal 214 :
“(1) Paksaan dan perlawanan berdasarkan 211 dan 212 jika dilakukan oleh
dua orang atau lebih dengan bersekutu, diancam dengan pidana penjara
paling Lama tujuh tahun.
(2) Yang bersalah dikenakan:
1. pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan, jika kejahatan
atau perbuatan lainnya ketika itu mengakibatkan luka-luka;
2. pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika mengakibatkan luka
berat;
3. pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika mengakibatkan
orang mati.
Secara yuridis ancaman hukum bagi seseorang yang melawan petugas
hakim agar keadilan bisa lebih tegak karena kepastian hukum tidak hanya
timbul dari apa yang tersurat dalam buku undang-undang tetapi juga praktek
hukum itu di lapangan.
2. Perlindungan bagi aparat kepolisian dalam Undang-undang no. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Sudah lebih dari tiga dasawarsa UU tentang Kepolisian, yaitu
Undang-undang Pokok Kepolisian Nomor 2 tahun 2002.
UU Kopolisian hendaknya memuat lebih rinci tentang tugas dan wewenang
kepolisian. Prof. Dr. Harsya Bachtiar mengatakan38
Salah satu nya mengenai diskresi. Menurut Kepala Bagian Operasional
(KBO) Sat Reskrim Polres Jepara, Iptu Rismanto, S.H dasar yang membolehkan
pelaksanaan diskresi dalam menyaring suatu perkara pidana oleh polisi menurut
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini terdapat di dalam Pasal 16 dan Pasal
18.
, bahwa polisi sering hanya
memfokuskan perhatian pada masalah administrasi ketimbang masalah-masalah
hukumnya sendiri.
Dalam UU kepolisian secara keseluruhan mencakup perlindungan hukum
bagi aparat kepolisian untuk menjalankan tugasnya berdasarkan ketentuan
undang-undang. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh aparat kepolisian diatur
ketentuan pelaksanaannya dalam UU ini.
39
38
Ahmad Yakub Sukro, Skripsi, “Diskresi Penyidik Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)
Terhadap Tindak Pidana Yang Diselesaikan Di Luar Pengadilan (Studi Pada Polres Jepara)” , (Semarang:Fakultas Hukum Universitas Negeri semarang, 2013), hal. 67
39
Dalam bunyi Pasal 16 secara spesifik masuk dalam ayat (1) huruf h yang
berbunyi dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia
berwenang untuk mengadakan penghentian penyidikan. Akan tetapi hal tersebut
juga tidak boleh asal-asalan karena dalam huruf I juga menjelaskan dalam rangka
menyelenggarakan tugas, petugas Polri di bidang proses pidana mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Maka dari itu penghentian
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri tidak boleh asal-asalan dan lebih
mengedepankan rasa bertanggung jawab dan alasan serta
pertimbangan-pertimbangan yang kuat.
Hal tersebut sama dengan persepsi Misbahul Munir40
Membicarakan wewenang diskresi tidak dapat dilepaskan dengan fungsi
Kepolisian dalam pelaksanaan tugas Kepolisian, karena fungsi tersebut , dia menjelaskan
tentang dasar diskresi terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 16 ayat (1) yaitu dalam
rangka menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di
bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Pasal 18 ayat
(1) yang masih berkaitan dengan kewenangan diskresi menyebutkan bahwa untuk
kepentingan umum. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri.
40