• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK PIDANA KELALAIAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ORANG LAIN (STUDI PUTUSAN NOMOR 162/PID.B/2018/PN.TRG DAN PUTUSAN NOMOR 126/PID.B/2014/PN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINDAK PIDANA KELALAIAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ORANG LAIN (STUDI PUTUSAN NOMOR 162/PID.B/2018/PN.TRG DAN PUTUSAN NOMOR 126/PID.B/2014/PN."

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

GARRY FISCHER SIMANJUNTAK NIM: 150200277

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

Universitas Sumatera Utara

(2)
(3)

i

menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan tugas akhir penulis sebagai mahasiswa untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Sumatera Utara.

Skripsi ini diberi judul Tindak Pidana Kelalaian yang Menyebabkan Kematian Orang Lain (Studi Putusan Nomor 162/Pid.B/2018/PN.TRG dan Putusan Nomor 126/Pid.B/2014/Pn.Sbg). Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi pembaca sekalian. Meskipun demikian, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini sehingga segala kritik dan saran akan sangat berguna bagi penulis.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis telah mendapat banyak doa dan bantuan, baik secara moril dan materil dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terkhusus untuk kedua orangtua penulis, Ayah, Erwin Simanjuntak. dan Ibu, Asrida Sitohang.

Terimakasih atas semua doa, dukungan, bimbingan, dan kasih sayang yang begitu besar dan tidak dapat dinilai dengan apapun kepada penulis selama ini hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum USU;

Universitas Sumatera Utara

(4)

ii

Fakultas Hukum USU;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU dan selaku Dosen Pembimbing I telah memberikan bimbingan, ilmu, dan saran bagi penulis dalam pengerjaan skripsi ini;

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU;

7. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Pembimbing Akademik Fakultas Hukum USU;

8. Bapak Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, kritik dan saran bagi penulis dalam skripsi ini;

9. Seluruh dosen dan staf pada Fakultas Hukum USU yang telah memberi banyak ilmu bagi penulis selama masa perkuliahan;

10. Untuk saudara penulis, Evlin Yosevin Natazza Simanjuntak, Anderson Feruzzi Simanjuntak, Billy Groom Simanjuntak, dan Naya Irene Simanjuntak. Terimakasih atas semua doa dan semangat kepada penulis

Universitas Sumatera Utara

(5)

iii

Simanjuntak, Chendra Pratama, Pesta Lumbanbatu, Revi Atlanta, Reinhard Siahaan, Iksan Dasril, Muhammad Husnul, Hengki Bona dan Joshi Esmeralda. Terimakasih atas semuanya selama kurang lebih 4 tahun masa perkuliahan ini. Semoga kita semua sukses dalam tujuan masing- masing;

12. Untuk teman-teman dalam Kebaktian Mahasiswa Kristen, terkhusus teman seangkatan 2015 dan Golanide, Retno, Lamtorang, Vivi, Penita, Julita dan Ayu. Terimakasih telah menjadi teman bertukar pikiran, berdiskusi dan saling mendoakan. Khususnya kepada kak Agus yang sabar menjadi PKK;

13. Untuk teman-teman BPH IMADANA 2018, Natal, Gracia, Pray, Tasya, Erick, Susi, Mino dan Santa. saya bersyukur bisa menjadi bagian dari Pengurus yang selama satu tahun ini bekerja sama dengan baik untuk menyukseskan serta memajukan acara IMADANA, semoga IMADANA semakin solid dan sukses kedepannya;

14. Untuk teman-teman penulis dalam Grup H dan Grup E 2015 dan teman- teman penulis stambuk 2015 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas semuanya selama masa perkuliahan ini;

15. Untuk Ricky Martin Sihombing, Jantrio Parhusip, Ruth Dioni Marpaung, Mouses Pangondion, Louisa Mayliani, Kinski Vania, Kurniaman Gulo, James Sembiring, Pedro Sitanggang, yang merupakan teman baik penulis

Universitas Sumatera Utara

(6)

iv

penulis Terimakasih atas semua doa dan dukungan nya semoga impian kita tercapai.

17. Untuk Tioneni Sigiro yang merupakan teman dan sahabat yang sangat menyeimbangkan dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih atas semua doa dan dukungannya semoga impian dan cita-cita kita tercapai.

Akhir kata penulis ingin mengucapkan terimakasih sekali lagi untuk semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga kiranya skripsi ini dapat berguna dalam menambah pengetahuan kita.

Medan, Juni 2019 Penulis,

Garry Fischer Simanjuntak NIM.1502002

Universitas Sumatera Utara

(7)

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... ix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Tinjauan Kepustakaan ... 9

1. Pengertian Tindak Pidana ... 9

2. Pengertian Kesalahan ... 16

3. Pengertian Kendaraan ... 27

4. Pengertian Kematian ... 28

5. Lalu Lintas ... 29

a. Pengertian Lalu Lintas ... 29

b. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas ... 29

G. Metode Penulisan ... 30

H. Sistematika Penulisan ... 33

Universitas Sumatera Utara

(8)

vi

BABII : PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KELALAIAN DALAM BERKENDARA YANG MENYEBABKAN KEMATIAN

A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Kelalaian dalam Berkendara yang

Mengakibatkan Kematian dalam KUHP... 35

B. Pengaturan Hukum Kelalaian Berkendara yang Mengakibatkan Kematian bagi Orang Lain dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 ... 41

BAB III : KELALAIAN DALAM BERKENDARA YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN ORANG LAIN PERLU DIANCAM DENGAN PIDANA A. Faktor Penyebab Kelalaian dalam Berkendara di Jalan Raya ... 46

1. Faktor Manusia ... 47

2. Faktor Kendaraan ... 47

3. Faktor Jalan ... 47

4. Faktor Lingkungan ... 48

B. Alasan diberinya Ancaman Pidana terhadap Kelalaian dalam Berkendara yang Mengakibatkan Kematian Orang Lain ... 48

1. Kelalaian Berkendara Yang Mengakibatkan Kematian Bagi Orang Lain Merupakan Perbuatan Yang Tercela ... 48

2. Kelalaian Berkendara Yang Mengakibatkan Kematian Bagi Orang Lain Merupakan Tindak Pidana Yang Membahayakan Nyawa Orang Lain ... 50

Universitas Sumatera Utara

(9)

vii

3. Kelalaian Berkendara Yang Mengakibatkan Kematian Bagi

Orang Lain Menimbulkan Kerugian Bagi Orang Lain ... 51

BAB IV: PENERAPAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KELALAIAN DALAM BERKENDARA YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ORANG LAIN ( STUDI PUTUSAN NO. 162/PID.B/2018/PN.TRG dan PUTUSAN NO. 126/Pid.B/2014/Pn.Sbg) A. Kasus Posisi Putusan No. 162/Pid.B/2018/PN.TRG ... 52

1. Kronologis ... 52

2. Pasal yang Didakwakan ... 53

3. Tuntutan ... 54

4. Fakta Hukum ... 54

5. Putusan ... 56

B. Analisis Kasus Putusan No. 162/Pid.B/2018/PN.TRG ... 57

1. Analisis Dakwaan ... 57

2. Analisis Tuntutan ... 59

3. Analisis Putusan ... 61

C. Kasus Posisi Putusan No. 126/Pid.B/2014/PN.Sbg ... 62

1. Kronologis ... 62

2. Pasal yang Didakwakan ... 64

3. Tuntutan ... 64

4. Fakta Hukum ... 65

5. Putusan ... 66

D. Analisis Kasus Putusan No. 126/Pid.B/2014/PN.Sbg...67

1. Analisis Dakwaan ... 67

2. Analisis Tuntutan ... 68

3. Analisis Putusan ... 69

E. Perbandingan antara Putusan No. 162/Pid.B/2018/PN.TRG dengan Putusan No. 126/Pid.B/2014/PN.Sbg ... 70

Universitas Sumatera Utara

(10)

viii

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 72 B. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA ... 75

Universitas Sumatera Utara

(11)

ix

ABSTRAK Garry Fischer Simanjuntak

1

M. Hamdan

2

Mohammad Ekaputra

3

Kelalaian dalam terminologi hukum pidana merupakan salah satu jenis kesalahan yang terjadi dikarenakan kurang berhati-hatinya seseorang dalam bertindak yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kelalalain atau culpa merupakan sebuah delik yang dapat terjadi dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh subjek hukum. Salah satu contoh kelalaian adalah kelalaian dalam berkendara yang menyebebkan kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini tidak jarang berujung pada kematian orang lain. Menarik untuk dicermati bagaimana pengaturan kelalaian yang dilakukan dapat mengakibatkan kematian bagi orang lain, KUHP sendiri sudah jelas mengatur dalam Pasal 359 mengenai ketentuan kelalaian ini, namun tidak secara rinci menyebutkan kelalaian dalam jenis apa, maka jika yang dimaksud adalah kelalaian dalam berkendara, maka hal yang harus dicermati adalah ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mengatur mengenai kelalaian dalam berkendara yang menyebabkan kematian bagi orang lain.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan hukum normatif (yuridis normatif) dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan (library research) yang menitikberatkan pada data sekunder yaitu memaparkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi serta buku-buku, artikel, majalah yang menjelaskan peraturan perundang-undangan dan dianalisis secara kualitatif.

Pengaturan mengenai kelalaian dalam berkendara yang menyebabkan kematian diatur secara rinci dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mana ancaman pidana maksimumnya adalah pidana penjara 6 (enam) tahun dan pidana denda maksimal Rp 12.000.000 ( dua belas juta rupiah). Namun dalam studi kasus yang terdapat dalam penulisan skripsi yang bersangkutan, pidana penjara yang dijatuhkan hakim berada di bawah ancaman maksimal dengan memperhatikan berbagai pertimbangan yakni alasan yang meringankan bagi terdakwa, dimana dalam Putusan Nomor 162/Pid.B/2018/PN.Trg terdakwa divonis dengan pidana penajara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan, sementara dalam Putusan Nomor 126/Pid.B/2014/Pn.Sbg divonis dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan.

1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2 Dosen Pembimbing 1, Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3 Dosen Pembimbing 2, Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Dalam kehidupan sosial, hukum memiliki tujuan dan maksud yang sangat ideal, realistic dan positif. Menurut Soedjono, D, manusia bisa senantiasa berlanggaran satu sama lain. Maka tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan- kepentingan itu.

4

Pada prinsipnya masyarakat mengalami perkembangan; maksudnya semula masyarakat sederhana kemudian berkembang menjadi semakin kompleks.

Perkembangan masyarakat tadi pasti dibarengi dengan timbulnya hukum yang dalam perkembangan pula. (yakni: mulai dari yang sangat sederhana berkembang menjadi semakin kompleks pula). Dalam kondisi seperti ini berarti perkembangan kehidupan masyarakat diikuti perkembangan hukum yang berlaku didalamnya:

bahkan dapat terjadi keduanya saling mempengaruhi dan satu sama lain saling menyempurnakan.

Perkembangan masyarakat dapat mempengaruhi perkembangan dibidang hukum: atau sebaliknya, keadaan tersebut erat dengan pergaulan hidup setiap orang yang memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda.

5

Mengingat kompleksnya kehidupan manusia, maka kaidah yang diperlukan bermacam-

4 Sudarno, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 46-47.

5 Ibid., hlm. 45

Universitas Sumatera Utara

(13)

macam kaidah sesuai dengan sifat pergaulan hidup itu sendiri. Kaidah-kaidah yang diperlukan itu salah satunya adalah kaidah hukum.

6

Pada kenyataannya manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya manusia lain, karena manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya secara alamiah mempunyai naluri dan hasrat untuk hidup bersama. Pergaulan dalam hidup ini, bertujuan untuk mempertahankan diri, tentunya untuk mendapat kehidupan yang aman, damai tertib dan untuk mencapai tujuan.

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebebasan dan keinginan untuk terus berubah, bergerak dan berinteraksi antara satu dengan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Disadari ataupun tidak disadari dalam menjalankan aktivitas tersebut manusia terkadang dihadapkan kepada berbagai macam resiko perjalanan, antara lain kecelakaan lalu lintas. Lalu lintas merupakan salah satu sarana komunikasi masyarakat yang memegang peranan vital dalam memperlancar pembangunan yang dilaksanakan. Karena dengan adanya lalu lintas tersebut, memudahkan akses bagi masyarakat untuk melakukan kegiatannya untuk pemenuhan perekonomiannya. Tanpa adanya lalu lintas, dapat dibayangkan bagaimana sulitnya kita untuk menuju tempat pekerjaan atau melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan penggunaan jalan raya. Tidak ada satu pun pekerjaan yang tidak luput dari penggunaan lalu lintas.

Keberadaan lalu lintas dalam kehidupan sehari-hari sangat strategis kedudukan sebab berpengaruh bagi kesejahteraan masyarakat, baik yang

6 CST.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1980), hlm.32

Universitas Sumatera Utara

(14)

menggunakan angkutan pribadi maupun angkutan umum paratransit dan masstransit, pemerintah mengadakan lembaga berikut organ-organ pendukung yang memadai untuk menjamin keamanan, ketertiban, kelancaran, dan efektifitas kegiatan lalu lintas. Di dalamnya termasuk untuk menanggulangi kecelakaan lalu lintas. Di sinilah peran penting organ Satuan Lalu lintas (selanjutnya disebut Satlantas) yang berada dibawah lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hal ini kepolisian resor.

7

Masalah lalu lintas merupakan salah satu masalah yang berskala nasional yang berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Hal inilah yang menjadi alasan dibentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dimana Undang-Undang tersebut dibentuk untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan.

8

Masalah yang dihadapi dewasa ini adalah tingginya angka kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat kecelakaan lalu lintas tertinggi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WHO, rata-rata tiap satu jam ada tiga orang meninggal dunia akibat kecelakaan di jalan. Ini membuat angka laka lantas di Indonesia terbilang cukup tinggi. Mayoritas penyebabnya adalah rendahnya kedisiplinan dalam mengendarai sepeda motor. Yang semakin memprihatinkan, para korban meninggal dunia sebagian besar berusia produktif,

7 Dwi Wahyono dkk, Restorative Justice System di Tingkat Penyidikan Tindak Pidana Lalu Lintas, ( Semarang: Tunas Puitika Publishing 2014 ), hlm. 1

8 Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus, Memahami Delik-delik di Luar KUHP, (Jakarta: Kencana Prenamedia Group, 2016), hlm.210

Universitas Sumatera Utara

(15)

yakni antara 15-29 tahun. Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga menyatakan, kecelakaan lalu lintas di jalan raya merupakan penyebab kedua terbesar di dunia yang mengakibatkan banyak korban meninggal dunia. Dalam setiap satu jamnya terdapat empat orang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Sebanyak 72% kasus kecelakaan lalu lintas tersebut terjadi di Indonesia. Kecelakaan yang melibatkan sepeda motor mencapai 73%, disusul mobil (15%), truk (8%), bus (2%), dan sepeda 2%.

9

Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri merilis data kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Indonesia, dalam 4 tahun terakhir. Secara jumlah, trennya lebih banyak naik ketimbang turun. Secara detail, jumlah kecelakaan lalu lintas pada 2014 mencapai 88.897 kejadian, selanjutnya 2015 naik menjadi 96.073, naik lagi di tahun selanjutnya menjadi 106.591 kejadian, dan turun ke 104.327 selama 2017. Kemudian, naik lagi di 2018 dengan jumlah 107.968 kejadian. Korban yang meninggal dunia, rata-rata mencapai 30.000 orang per tahun, atau 80 orang per hari.

10

Tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang terjadi antara lain disebabkan oleh kelelahan, kelengahan, kekurang hati-hatian, dan kejenuhan yang dialami pengemudi. Faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas adalah faktor manusia, faktor kendaraan bermotor, dan faktor kondisi lingkungan. Dari beberapa faktor di atas, manusia merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Hal tersebut terjadi karena adanya

9 https://jatim.sindonews.com/read/3019/1/angka-kecelakaan-di-indonesia-masih-tinggi- 1541383894 diakses pada tanggal 1 Mei 2019 pukul 20.00 WIB

10 https://otomotif.kompas.com/read/2019/01/18/082200615/jumlah-korban-kecelakaan- lalu-lintas-di-indonesia-harus-turun diakses pada tanggal 1 Mei 2019 pukul 21.00 WIB

Universitas Sumatera Utara

(16)

kecerobohan atau kealpaan pengemudi dalam mengemudikan kendaraannya.

Kecerobohan pengemudi tersebut tidak jarang merenggut jiwa pengemudinya sendiri. Hal ini sering disebut dengan kealpaan atau kelalaian. Menurut Soedarto kealpaan orang harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik atau psychis.

11

Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguhnya . Untuk menentukan adanya kealpaan harus melihat peristiwa demi peristiwa. Yang harus menentukan ukuran normatif kealpaan adalah hakim.

Hakim harus menilai suatu perbuatan in concreto dengan ukuran norma penghati- hati atau penduga-duga seraya memperhitungkan di dalamnya segala keadaan dan keadaan pribadi si pembuat. Jadi, segala keadaan yang objektif dan yang menyangkut si pembuat diteliti dengan seksama.

12

Adapun yang dapat dijadikan dasar untuk melihat faktor kurang kehati- hatian si pembuat dapat digunakan ukuran apakah ia “ada kewajiban untuk berbuat lain”. Kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan undang-undang atau dari luar undang-undang yaitu dengan memperhatikan segala keadaaan apa yang seharusnya dilakukan olehnya. Jika ia tidak melakukan apa yang harusnya ia lakukan, maka hal tersebut menjadi dasar untuk dapat mengatakan bahwa ia alpa.

13

Berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, apabila seseorang lalai dalam berkendara yang dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas berujung pada kematian, maka orang yang karena lalainya tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Hal ini dikarenakan culpa atau kelalaian merupakan

11 Dwi Cahyono dkk, Op cit, hlm. 35

12 Ibid

13 Ibid

Universitas Sumatera Utara

(17)

salah satu bentuk kesalahan. Simons mempersyaratkan dua hal untuk culpa yakni:

14

1. Tidak adanya kehati-hatian ( het gemis von voorzichtigheid)

2. Kurangnya perhatian terhadap akibat yang mungkin ( Het gemis van de voorzienbaarheid van het gevolg)

Sementara itu Van Hamel menyebutkan pula dua syarat yakni:

15

1. Tidak adanya penduga-penduga yang diperlukan ( het gemis van de nodige voorzingheid)

2. Tidak adanya kehati-hatian yang diperlukan ( het gemis van nodige voorzichtigheid)

Kewajiban para pelaku yang kurang hati-hati dalam bertindak dapat dilihat berdasarkan ukuran apakah “ada kewajiban pada pelaku untuk berbuat lain”, dan kewajiban ini dapat berasal dari ketentuan undang-undang, yaitu kebiasaan yang seharusnya dilakukan oleh pelaku tersebut. Sebagai contoh terdapatnya rambu-rambu lalu lintas di jembatan, mengharuskan pengemudi yang melihat garis hitam/putih pada jembatan itu memberikan prioritas kepada kendaraan yang datang dari seberang jembatan. Jadi seandainya terjadi sempretan atau tabrakan, ia dapat dipersalahkan. Demikan halnya juga apabila kekurang hati-hatian dalam berkendara atau berlalu lintas dapat menyebabkan kematian bagi orang maka orang yang menyebabkan kecelakaan tersebut dapat dipersalahkan.

Dalam KUHP, tidak secara rinci disebutkan kealpaan dalam hal apa yang dapat menyebabkan kematian bagi orang lain, sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 359 yang menyatakan “barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan

14 Simons dalam Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 107

Universitas Sumatera Utara

(18)

matinya orang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Kealpaan yang dimaksud disini tidak disebutkan secara rinci dalam hal apa. Apakah termasuk di dalamnya kealpaan dalam berkendara atau berlalu lintas, sebab ketentuan norma dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan “barang siapa dengan kealpaanya menyebabkan matinya orang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”

16

. Dengan demikian perlu untuk diketahui secara mendalam ketentuan mengenai tindakan seseorang yang karena kealpaannya dalam berkendara dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang berujung pada kematian.

Berdasarkan atas penjelasan yang sudah diuraikan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk menyusun suatu penulisan ilmiah dengan judul “Tindak Pidana Kelalaian yang Menyebabkan Kematian Orang Lain (Studi Putusan Nomor 162/Pid.B/2018/PN.TRG dan Putusan Nomor 126/Pid.B/2014/Pn.Sbg)”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap tindak pidana kelalaian dalam berlalulintas yang menyebabkan kematian?

2. Mengapa kelalaian dalam berkendara yang menyebabkan kematian orang lain perlu diancam dengan pidana?

16 R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor: Politeia, 1986), hlm.248

Universitas Sumatera Utara

(19)

3. Bagaimana penerapan hukum terhadap tindak pidana kelalaian dalam berkendara yang menyebabkan kematian orang lain (studi putusan No.

162/Pid.B/2018/PN.Trg dan Putusan No. 126/Pid.B/2014/Pn.Sbg) ? C. Tujuan Penulisan

Dalam suatu penulisan haruslah terdapat tujuan dalam penulisan tersebut sehingga dapat memberikan arah dan jawaban atas permasalahan yang ada dalam penulisan tersebut. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap tindak pidana kelalaian dalam berkendara yang menyebabkan kematian.

2. Untuk mengetahui kelalaian dalam berkendara yang menyebabkan kematian orang lain perlu diancam dengan pidana.

3. Untuk mengetahui penerapan hukum terhadap tindak pidana kelalaian dalam berkendara yang menyebabkan kematian orang lain (studi putusan No. 162/Pid.B/2018/PN.Trg dan putusan No. 126/Pid.B/2014/Pn.Sbg).

D. Manfaat Penulisan

1. Secara teoritis, dengan adanya penulisan skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang ilmu hukum secara umum, dan pengetahuan tentang tindak pidana kelalaian dalam berkendaraan yang menyebabkan kematian orang lain.

2. Secara praktis dengan penelitian ini dapat membantu menangani masalah dalam kecelakaan lalu lintas dan memberikan gambaran bagi orang-orang tentang pengaturan hukum dalam berlalu lintas.

Universitas Sumatera Utara

(20)

E. Keaslian Penulisan

Dalam Skripsi “Tindak Pidana Kelalaian Dalam Berkendaraan Yang Menyebabkan Kematian Orang Lain” ini, sepengetahuan penulis meyakini skripsi ini belum pernah ditulis oleh siapapun di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Apabila di kemudian hari terdapat judul dan objek pembahasan yang sama sebelum tulisan ini dibuat makan penulis mampu untuk mempertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah.

F. Tinjuan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana atau yang dikenal dengan istilah lain adalah (straafbar feit) yang pada saat ini masih sering dipergunakan dalam banyak buku. Ketentuan straafbar feit menimbulkan banyak pertanyaan dan tanggapan dari banyak sarjana termasuk sarjana-sarjana barat yang sampai saat ini juga tidak ditemukan titik temu dalam suatu arti yang disimpulkan atau disepakati. Istilah straafbar feit ini juga merupakan istilah yang berasal dari kata referent. Tetapi juga sering dikatakan orang bahwa istilah itu dianggap merupakan suatu perjanjian antara orang-orang yang menggunakan tentang apa yang dimaksud atau diartikan dengan suatu istilah kejahatan atau perbuatan pidana.

17

Di dalam KUHP maupun undang-undang di luar KUHP tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting

17 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana ( Jakarta :Rineka Cipta, 2015), hlm 61

Universitas Sumatera Utara

(21)

dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur- unsur tindak pidana ini dapat dijadikan patokan dalam menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak. Perlu diperhatikan istilah tindak pidana (strafbaar feit) dengan tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda.

18

Menurut Pompe, pengertian strafbaarfeit dibedakan atas :

19

a. Definisi menurur teori memberikan pengertian “strafbaarfeit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;

b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian

“strafbaarfeit” adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

Berkaitan dengan definisi tersebut, yang membedakan antara pengertian menurut teori dan menurut hukum positif juga dikemukakan oleh J.E. Jonkers yang telah memberikan definsi strafbaarfeit menjadi dua pengertian yakni:

20

a. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaarfeit” adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang;

b. “Strafbaarfeit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan

Menurut Sudarto tidak ada kesatuan pendapat diantara para sarjana mengenai isi dari pengertian tindak pidana. Menurut aliran monistis, tindak pidana itu tidak dipisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya.Van Hamel yang berpandangan monistis merumuskan

18 Muhammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2017), hlm.78- 79

19 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hlm 91

20 Ibid

Universitas Sumatera Utara

(22)

strafbaarfeit sebagai perbuatan manusia yang di undang-undang sebagai melawan hukum, strafwardig (patut atau dapat bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan.

21

Menurut aliran dualistis pertanggungjawaban pidana itu terpisah dengan tindak pidana

22

Dalam pandangan dualistis tindak pidana hanya dicakup criminal act, dan criminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana.

23

Oleh karena itu, untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan hukum tanpa adanya suatu dasar pembenar.

24

Sudarto dalam Mulyati Pawenne

25

juga mengemukakan, unsur pertama dari tindak pidana adalah tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi berbuat dan tidak berbuat. Sementara itu, Van Hattum, tidak menyetujui untuk memberi defenisi tentang gedraging, sebab defenisi harus meliputi pengertian berbuat dan tidak berbuat, sehingga defenisi itu tetap akan kurang lengkap atau berbelit-belit dan tidak dan tidak jelas.

Barda Nawawi Arief dalam Moeljatno

26

menyebutkan, di dalam KUHP (WvS) hanya ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai suatu perbuatan yang dapat di pidana (strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan (straafbar feit)

21 Mulyati Pawennei, Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015), hlm.14

22 Abdul Khair, Mohammad Ekaputra, Pemidanaan, (Medan: USU Press, 2011), hlm 1.

23 Mulyati Pawennei, Rahmanuddin Tomalili, Loc cit

24 Ibid

25 Ibid

26 Op cit, hlm.61

Universitas Sumatera Utara

(23)

tidak dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yurudis tentang tindak pidana.

Pengertian tindak pidana (straafbar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana.

Tindak pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, namun ada kalanya tindak pidana ini juga terjadi karena tidak berbuat nya seseorang, misalnya:

27

1. Pada tanggal 13 Juli 1938 Rb. Dordrecht, dalam kasus pembunuhan, menjatuhkan pidana penjara 7 tahun pada seorang perempuan (banding tidak di upayakan), yang dalam kapasitasnya sebagai ibu dan pengasuh anak nya “secara sistematis tidak memberi anak nya yang berumur 4 bulan makanan yang ia perlukan sehingga anak tersebut mati”;

2. Seorang di tunjuk menjadi pengawas toko, namun membiarkan terjadinya pencurian kopi: HR21 Februari 1921, NJJ 1921, 465, W 10717

Menurut R. Tresna dalam Mohammad Ekaputra

28

, petimbangan atau pengukuran terhadap perbuatan-perbuatan terlarang, yang menetapkan mana yang harus ditetapkan sebagai peristiwa pidana dan mana yang tidak dianggap sedemikian pentingnya, dapat berubah-ubah tergantung dari keadaaan, tempat dan waktu atau suasana serta berhubungan erat dengan perkembangan pikiran dan pendapat umum apa yang padaa suatu waktu berada ditempat itu dianggap sebagai suatu yang harus dicela namun tidak membahayakan kepentingan masyarakat, pada suatu saat dapat berubah dang dianggap suatu kejahatan. Sebaliknya, apa yang tadi dianggap sebagai suatu kejahatan, diwaktu yang lain, karena keadaannya berubah, dianggap merupakan sautu hal yang tidak membahayakan.

Undang-undang harus mencerminkan keadaan, pendapat atau anggapan umum,

27 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2017),, hlm

79 28

Ibid, hlm. 80

Universitas Sumatera Utara

(24)

dan pada umumnya undang-undang selalu terbelakang dalam mengikuti perkembangan gerak hidup dalam masyarakat, akan tetapi terhadap beberapa perbuatan,ketentuan hukum tetap sesuai dengan anggapan umum. Misalnya pembunuhan, dari dulu kala sampai sekarang tetap dianggap sebagai suuatu perbuatan jahat, baik dilihat dari sudut pandang agama atau moral, maupun dilihat dari sudut sopan santun, sehinhgga sudah semestinya terhadap perbuatan yang demikian itu diadakan ancaman hukuman pidana.

Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang bisa di artikan secara yuridis atau kriminologis. Menurut Sudarto dalam Mohammad Ekaputra

29

, perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat yang merupakan objek ilmu pengetahuan hukum pidana adalah perbuatan jahat dalam arti hukum pidana (strafrechtelijk misdaadbegrip), yang terwujud secara in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana. Sedangkan perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat yang dipandang secara concrete sebagaimana terwujud dalam masyarakat (social verschijnsel, erecheinung, phenomena), adalah perbuatan manusia yang memperkosa/menyalahi norma-norma dasar dari masyarakat dari konkrito. Ini adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti kriminologis (criminoligisch misdaadsbegrip).

Suatu peristiwa itu dapat atau tidak dapat dipidana, ditentukan oleh pembuat undang-undang bukan ditentukan oleh pendapat umum. Menurut R.

Tresna perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh undang-undang dijadikan sebagai

29 Ibid

Universitas Sumatera Utara

(25)

peristiwa pidana, merupakan perbuatan-perbuatan yang (dapat) membahayakan kepentingan umum. Ada yang berpendapat, secara objektif “bahaya” itu sebetul nya tidak ada sebelum terbukti atau sebelum benar-benar terjadi. Vos tidak dapat menerima pendapat seperti ini jika dilihat dari sudut hukum, sebab menurut pendapatnya pertimbangan tentang unsur „membahayakan‟ itu harus terlepas dari hal-hal yang tidak dapat diketahui dari semula atau yang terjadi kemudian di luar dugaan. Menurut Vos dalam Mohammad Ekaputra

30

„bahaya‟ itu dapat dianggap ada, jika menurut jalannya kejadian, terlepas dari segala sesuatu (ex-ante), terdapat satu tingkatan kemungkinan terwujudnya sesuatu akibat daripadanya.

Selain itu Jan Remmelink dalam Mohammad Ekaputra

31

mengemukakan membatasi pengertian „bahaya‟ ini tidaklah perlu, karena makna istilah bahaya kiranya dapat dirasakan setiap orang secara alamiah. Namun seorang juris tidak dapat menghindari keharusan untuk mencari batasan yang lebih tegas. Disini istilah bahaya dimengerti sebagai: kemungkinan nyata timbulnya kerusakan terhadap benda hukum atau kepentingan hukum (rechtsgoederen) yang dilindungi oleh hukum.

Pengertian bahaya sulit dirumuskan secara ilmiah dan pasti. Penetapan apakah suatu benda hukum benar terancam bahaya atau tidak, merupakan penilaian factual atas suatu kondisi konkrit (penilaian yang dilandaskan pada pengalaman hidup dan keberaturan gejala-gejala kehidupan). Akhirnya tidaklah

30 Ibid

31 Ibid

Universitas Sumatera Utara

(26)

penting apabila ancaman bahaya tersebut benar-benar terwujud atau tidak. Vos dalam R. Tresna

32

membedakan arti kata “membahayakan” atas:

1. Perbuatan yang membahayakan kepentingan umum secara konkrit, dimana bahaya itu sudah menjadi kenyataan;

2. Perbuatan yang membahayakan kepentingan umum secara abstrak, dimana unsur membahayakan itu tidak dimaksudkan seperti suatu suatu kenyataan, tetapi cukup dianggap secara mudjarad, yaitu dapat membahayakan atau dalam kebanyakan hal sudah bisa menimbulkan bahaya.

Apa sebabnya beberapa perbuatan terlarang harus diadakan ancaman hukuman pidana (bukan hukuman yang bersifat perdata atas administrative saja)?

Menurut R. Tresna

33

, hal ini tergantung kepada berbagai aspek, misalnya sebagai berikut:

1. Besarnya kepentingan yang harus dilindungi, sehingga dipandang perlu bahwa perbuatan yang mengancam kepentingan itu hanya dapat diimbangi dengan penderitaan yang harus dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang terlarang itu;

2. Perasaan keadilan masyarakat yang tersinggung (dicederai) oleh karena perbuatan itu, yang hanya dapat dipuaskan dengan diadakan nya suatu hukuman yang setimpal dengan perbuatan itu .

34

Berdasarkan alur pemikiran mengenai dasar patut dipidananya suatu perbuatan seperti diuaraikan di atas (yaitu digunakannya kriteria/patokan formal dan materiil), maka konsep berpendirian bahwa tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan melawan hukum, baik secara formal maupun materiil.

35

Pengertian dari Straafbar feit menurut sarjana-sarjana barat yakni sebagai berikut:

36

32 R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana, ( Jakarta: Tiara Limited, 1959), hlm. 29-30

33 Ibid

34 Mohammad Ekaputra, Op cit, hlm 79- 82.

35 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana Prenamedia Group, 2008), hlm 83

36 Ibid

Universitas Sumatera Utara

(27)

- POMPE

“straafbar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban umum”, terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarkan ketertiban hukum dan untuk menjamin kesejahteraan umum.

- SIMONS

“straafbar feit” adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab

- VAN HAMEL

“straafbar feit” itu sama dengan yang dirumuskan oleh SIMONS, hanya ditambahkan dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”

2. Pengertian Kesalahan

Salah satu pokok persoalan yang sangat penting tetapi sangat rumit dalam mempelajari hukum pidana adalah pengertian kesalahan (schuld). Hal tersebut dikarenakan dalam penentuan ada atau tidaknya dan macamnya kesalahan, akan menentukan pula pada umum nya dapat atau tidaknya pelaku dipidana. Dalam hal dapat dipidana menentukan pula berat-ringannya pidana yang akan dijatuhkan.

Banyak ajaran yang telah dituliskan mengenai pokok persoalan ini, baik dalam bidang hukum pidana, maupun diluarnya, seperti ajaran “kehendak yang salah tertentu ”(determinisme)” dan ajaran “kehendak yang bebas” “(indeterminisme)”.

Pemecahan persoalan ini semakin sulit lagi dengan banyaknya pendapat yang berbeda tentang pengertian dari kesalahan itu sendiri, dan dalam pengertian manakah kesalahan itu akan digunakan.

Pengertian mengenai kesalahan dalam hukum pidana, telah banyak dikemukakan oleh orang. Mereka telah membahas pengertian kesalahan dengan berbagai cara dan menempatkan kesalahan sebagai salah satu unsur dari tindak pidana (SIMONS) tetapi ada juga yang menempatkannya sebagai unsur dari

Universitas Sumatera Utara

(28)

pertanggungajawaban pidana (ROESLAN SALEH, MOELJATNO). Tentang

“kesalahan”, terutama dalam hubungannya dengan pemidanaan sangatlah penting, karena hal tersebut juga dapat dikemukakan dalam adagium (yang semula berasal dari penafsiran pasal 44 KUHP) yang berbunyi: :Tidak ada pemidanaan, tanpa adanya kesalahan”. Dalam bahasa asing disebut: “Geen straf zonder schuld”

37

Adapun bentuk-bentuk dari kesalahan jika dilihat berdasarkan kepada bentuk kesalahan pelakunya, tindak pidana dibedakan atas :

38

a. Delik Dolus (doleus delicten), yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja. Rumusan undang-undang mempergunakan kalimat "opzetttelijk "tetapi juga dikenal sebagai perbuatan yang dilakukan karena " dolus " atau "opzet", seperti misalnya pasal 338 KUHP

b. Delik culpa (culpose delicten), yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan kealpaan, atau "

nataligheid " atau " onachtzammheid ". rummusan undang-unang mempergunakan kalimat schuld, seperti misalnya Pasal 359 KUHP.

Berdasarkan penjelasan tersebut mengenai kealpaan dibagi menjadi dua bentuk, yaitu kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari (bewustee und unbewusste fahrlassigkeit). Dalam hukum pidana dikenal ada adagium (asas fundamental dalam hukum pidana) yang berbunyi "tidak ada pemidanaan, tanpa adanya kesalahan" (geen straf zonder schuld). Adagium tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa ada hubungan yang erat antara kesalahan dan pemindanaan.

Berkaitan dengan pengertian kesalahan dalam hukum pidana tersebut, ada banyak teori yang dimunculkan oleh para sarjana. Sebagian dari mereka menempatkan kesalahan sebagai salah satu unsur dari tindak pidana, dan sebagian lainnya menempatkan kesalahan sebagai unsur dari pertanggungjawaban pidana.

37 E.Y Kanter & S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 160 -161.

38 Mohammad Ekaputra, Op.Cit, hlm. 103.

Universitas Sumatera Utara

(29)

Beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian kesalahan dalam hukum pidana adalah sebagai berikut :

39

1. Simons.

Menurut Simons, kesalahan adalah unsur subyektif dari tindak pidana.

Kesalahan merupakan dasar dari pertanggungan jawab atas tindakan pelaku yang dapat dipidana. Untuk mengatakan adanya kesalahan pada pelaku, ada beberapa menyangkut pelaku, yang harus ditentukan terlebih dahulu, yaitu :

a. Kemampuan bertanggung jawab dari pelaku.

b. Hubungan kejiwaan antara pelaku, kelakuannya, dan akibat yang ditimbulkannya.

c. Dolus atau culpa (kesengajaan atau kealpaan).

2. Pompe.

Menurut Pompe, kesalahan merupakan tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yang seharusnya dapat dihindari. Ditinjau dari kehendaknya, kesalahan merupakan bagian dari kehendak pelaku, sedangkan ditinjau dari sifat melawan hukum-nya, kesalahan merupakan bagian luar dari padanya. Sifat melawan hukum merupakan tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan perbuatan tersebut adalah tercela.

3. Noyon.

Menurut Noyon, kesalahan berhubungan dengan penerapan hukum positif.

Secara umum, ciri-ciri kesalahan yang berhubungan dengan hukum positif adalah:

a. Pelaku mengetahui atau harus dapat mengetahui hakekat dari tindakannya dan keadaan yang bersamaan dengan tindakannya tersebut.

b. Pelaku mengetahui atau patut harus menduga bahwa tindakannya itu bertentangan dengan hukum.

c. Tindakan yang dilakukan, bukan karena sesuatu keadaan jiwa yang tidak normal.

d. Tindakan yang dilakukan, bukan karena pengaruh dari sesuatu keadaan darurat (terpaksa).

4. Schreuder.

Pendapat Schreuder sama dengan apa yang dikemukakan oleh Pompe.

Selanjutnya Schreuder mengatakan bahwa untuk pengertian kesalahan menurut hukum pidana harus mengandung adanya tiga unsur, yaitu :

a. Perbuatan yang bersifat melawan hukum.

b. Dolus atau culpa (kesengajaan atau kealpaan).

c. Kemampuan bertanggung jawab.

Jika dalam suatu perbuatan mengandung tiga unsur tersebut, barulah dapat dikatakan adanya kesalahan pidana.

5. Moeljatno

Menurut Moeljatno, unsur kesalahan tidak termasuk dalam pengertian perbuatan pidana, dan harus merupakan unsur dari pertanggungan jawab dalam

39 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana, Bandung: Universitas Padjajaran, 1985), hlm 251

Universitas Sumatera Utara

(30)

hukum pidana. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Orang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, ia dapat dicela oleh masyarakat.

6. Roeslan Saleh.

Pendapat Roeslan Saleh sama dengan pendapat dari Prof. Moeljatno, SH, bahwa kesalahan merupakan unsur dari pertanggungan jawab dalam hukum pidana. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana keadaan batin terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batinnya tersebut. Suatu kesalahan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. Kemampuan bertanggung jawab

b. Kesengajaan atau kealpaan, merupakan bentuk kesalahan, dan sebagai penilaian dari hubungan batin dengan perbuatan pelaku

c. Tidak adanya alasan pemaaf.

Untuk adanya suatu kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa, haruslah :

a. Melakukan perbuatan pidana b. Mampu bertanggung jawab c. Dengan sengaja atau kealpaan d. Tidak ada alasan pemaaf.

Baik menurut Moeljatno dan Roeslan Saleh, pengertian dasar dari hukum pidana adalah perbuatan pidana dan pertanggungan jawab pidana. Unsur perbuatan pidana adalah :

1. Unsur formil, perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2. Unsur materiil, perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum.

Sedangkan unsur pertanggungan jawab pidana adalah kesalahan. Unsur kesalahan adalah:

a. Mampu bertanggung jawab b. Sengaja atau alpa

c. Tidak ada alasan pemaaf.

Setiap orang hanya akan dipidana, jika ia mempunyai pertanggungjawaban pidana. Hal tersebut merupakan alasan kenapa Moeljatno dan Roeslan Saleh memasukkan kesalahan sebagai unsur dari pertanggungan jawab pidana. Dasar dari dipidananya seorang pelaku tindak pidana adalah adalah asas : tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

40

40 http://legalstudies71.blogspot.com/2017/11/pengertian-kesalahan-schuld-dalam- hukum.html, diakses pada tanggal 1 Mei 2019, Pukul 20.00 WIB

Universitas Sumatera Utara

(31)

Dalam hukum pidana kedudukan sifat melawan hukum sangat khas. Pada umum nya telah terjadi kesepahaman dikalangan para ahli dalam melihat sifat melawan hukum jika dihubungkan dengan tindak pidana. Sebab bersifat melawan hukum mutlak digunakan untuk setiap tindak pidana. Roeslan Saleh mengatakan bahwa memidana sesuatu yang tidak bersifat melawan hukum tidak ada artinya.

Andi Zainal Abidin dalam Dwi Wahyono

41

mengatakan bahwa: salah satu unsur esensial delik ialah sifat melawan hukum (wenderrechtelijkheid) dinyatakan dengan tegas atau tidak dalam satu pasal undang-undang pidana karena alangkah janggal nya kalau seseorang dipidana yang melakukan perbuatan yang tidak melawan hukum.

Dengan demikian, sesorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana jika perbuatan bersifat melawan hukum. Memang dalam KUHP yang berlaku sekarang perkataan “melawan hukum” kadang disebutkan dalam rumusan tindak pidana kadang juga tidak. Hal ini berpengaruh pula dalam lapangan hukum acara.

(pembuktian) yang menimbulkan perbedaan pandangan mengenai beban pembuktian.

Dalam Rancangan KUHP melawan hukum dipandang selalu ada kecuali jika ada alasan pembenar. Ketentuan ini cenderung dapat ditafsirkan bahwa melawan hukum tidak perlu dibuktikan kecuali terdakwa atau penasihat hukum dapat membuktikan bahwa ada alasan pembenar dari perbuatan itu. Memang

41 Dwi Wahyono, dkk, Op cit, hlm 40

Universitas Sumatera Utara

(32)

hanya apa yang ditentukan dalam rumusan tindak pidana yang seharusnya dibuktikan.

42

Pada umumnya suatu tindak pidana kejahatan didasari oleh kesengajaan, namun ada kalanya suatu tindak kejahatan didasari oleh kealpaan. Meskipun kejahatan didasari oleh kealpaan, pelaku tetap dapat dipidana berdasar kesalahan yang diperbuatnya. Lebih lanjut menurut M.v.T sebagaimana disadur oleh Sudarto, bahwa kealpaan di satu pihak benar-benar berlawanan dengan kesengajaan dan di pihak lain dengan kebetulan (toevel atau casus).

43

A. Kesengajaan

Pengertian “kesengajaan” tidak terdapat didalam KUH Pidana. Petunjuk yang dapat mengetahui arti “kesengajaan” dapat diambil dari M.v.T (Memorie van Toelichting) yang mengartikan bahwa “kesengajaan” (opzet) sebagai

“menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens).

44

Ada juga yang mengatakan bahwa kesengajaan adalah kesediaan yang disadari untuk memperkosa suatu objek yang dilindungi oleh hukum. Kealpaan kekurangan perhatian terhadap objek tersebut dengan tidak disadari.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik simpulan bahwa kesalahan yang berbentuk kesengajaan dan kealpaan hanyalah soal gradasi. Kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Dasar dua hal ini adalah sama yaitu:

1. Adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

2. Adanya kemapuan bertanggung jawab.

3. Tidak adanya alasan pemaaf.

42 Ibid, hlm. 38-39

43 Ibid, hlm.33.

44 Ibid, hlm. 25.

Universitas Sumatera Utara

(33)

Terkait kesengajaan (dolus), banyak sarjana mengemukakan pendapatnya dalam rangka memperincinya. Dalam beberapa hal tidak terdapat keseragaman tafsir antara para sarjana tersebut. Perbedaan tafsir tersebut antara lain terdapat dalam bidang pengistilahan yang digunakan dalam perumusan perundang- undangan, dalam bidang gradasi kesengajaan dan terutama dalam bidang

“penentuan” erat/renggangnya atau jauh/dekatnya kejiwaan seorang pelaku kepada tindakan yang dilakukannya, termasuk penyebab dan akibatnya.

45

Kesengajaan memiliki beberapa teori diantaranya adalah lah teori kehendak, teori yang paling tua diajarkan oleh Von Hippel, (1903) seorang guru besar di Gottingen Jerman, dalam bukunya yang berjudul Die Grenze von Vorsats und fahrlassigkeit. Ia berpendapat bahwa kesengajaan (vorsatz) adalah kehendak untuk melakukan suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat karena perbuatannya itu.

46

Terdapat juga teori pengetahuan atau membayangkan (voorstellings- theorie), Frank, (1907) seeorang guru besar di Tubigen Jerman yang mendapat sokongan kuat dari Von Listz di Nederland dan penganutnya antara lain Von Hamel berpendapat bahwa “sengaja” berarti bembayangkan akan timbul suatu akibat dari perbuatannya. Hal ini berarti orang tidak bisa menghendaki akibat melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau yang dibayangkan oleh si pembuat, yaitu apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.

47

45 E.Y Kanter & S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 166.

46 Ibid

47 Dwi Wahyono, Gunarto, dkk, Op cit, hlm. 27.

Universitas Sumatera Utara

(34)

B. Kealpaan

Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan diperlukan adanya kesengajaan, tetapi terhadap sebagian daripadanya ditentukan bahwa disamping kesangajaan itu orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk kealpaan. Kealpaan yang relevan bagi hukum pidana hanyalah culpa lata, yaitu kealpaan dan kelalaian, dan bukan culpa levis, yaitu kelalaian yang sedemikian ringannya, sehingga tidak perlu menyebabkan seseorang dapat dipidana.

48

Misalnya Pasal 359 KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Delik dengan bagian inti kelalaian (kesalahan) ini bersifat khusus karena ada ancaman pidana penjara, bahkan di Indonesia cukup berat, yaitu maksimum lima tahun penjara.

49

Sebenarnya karena banyaknya pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kematian, maka pidana penjara dinaikkan dari sembilan bulan (dalam Wvs) menjadi lima tahun. Dengan berlakunya Undang-Undang Lalu Lintas yang baru maka ancaman pidananya sangat berat, sebagai lex spesialis maka semestinya delik umum karena salahnya menyebabkan orang mati dikembalikan ke dalam KUHP

50

Rumusan kelalaian dalam Pasal 359 KUHP ini menurut ilmu hukum pidana terdiri dari:

51

1. Culpa dengan kesadaran 2. Culpa tanpa kesadaran

48 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm 325

49 Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2015), hlm 199

50 Ibid

51 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya), ( Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm 65

Universitas Sumatera Utara

(35)

Sedangkan pada Pasal 338 KUHP: “dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain”.

52

Menurut Sudarto kealpaan seseorang harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik atau psychis. Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguhnya. Hal ini menyebabkan sikap batin seseorang yang sesungguhnya. Hal ini menyebabkan sikap batin harus ditetapkan dari luar dengan melihat bagaimana seharusnya ia berbuat yaitu dengan mengukur sikap batin orang pada umumnya jika seandainya ada dalam situasi yang sama dengan si pembuat.

Adapun yang dimaksud “orang pada umumnya” adalah yang bukan termasuk orang paling cermat, paling hati-hati, paling ahli, dan sebagainya. Ia harus orang baisa, seorang ahli biasa. Pemidanaan perlu adanya kekuranghati- hatian yang cukup besar sehingga harus ada culpa lata bukan culpa levis (kealpaan yang ringan).

Dalam hal ini, menentukan adanya kealpaan harus melihat peristiwa demi peristiwa. Yang harus menentukan ukuran normative kealpaan adalah hakim.

Hakim harus menilai suatu perbuatan in concreto dengan ukuran norma penghati- hati atau penduga-duga seraya meperhitungkan di dalamnya segala keadaan dan keadaan pribadi si pembuat. Jadi, segala keadaan yang objektif dan yang menyangkut si pembuat diteliti dengan seksama.

Selanjutnya, menentukan kekurangan hati-hatian si permbuat dapat digunakan ukuran apakah ia “ada kewajiban untuk berbuat lain”. Kewajiban ini

52 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm 214

Universitas Sumatera Utara

(36)

dapat diambil dari ktentuan undang-undang atau dari luar undang-undang atau dari luar undang-undang yaitu dengan memperhatikan segala keadaan apa yang seharusnya dilakukan olehnya. Jika ia melakukan apa yang harusnya ia lakukan, maka hal tersebut menjadi dasar untuk dapat mengatakan ia alpa.

53

C. Kealpaan yang Disadari dan Kealpaan yang Tidak Disadari (Bewuste Schuld dan Onbewuste Schuld)

Pada delik culpa kesadaran si pembuat tidak berjalan secara tepat dan apabila akibatnya berupa hal yang tidak dikehendaki oleh pembentuk Undang- undang maka akan terjadi apa yang disebut kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari.

Adapun unsur-unsur culpa menurut Pompe yang dikutip oleh Sudarto dalam buku Hukum Pidana I, diataranya adalah :

54

- Pembuat dapat menduga terjadinya akibat perbuatannya (atau sebelumnya dapat mengerti arti perbuatannya, atau dapat mengerti hal yang pasti akan terjadinya akibat perbuatannya)

- Pembuat sebelumnya melihat kemungkinan akan terjadinya akibat perbuatannya.

- Pembuat sebelumnya dapat melihat kemungkinan akan terjadinya akibat perbuatannya.

Adapun penjelasan mengenai kealpaan yang disadari dan tidak disadari dinyatakan sebagai berikut :

55

a) Kealpaan yang Disadari

Dalam hal ini si pembuat menyadari apa yang dilakukan serta akibatnya. Akan tetapi, ia percaya dan mengharap akibatnya tidak akan terjadi. Menurut Moeljatno pada kealpaan yang disadari terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu ternyata tidak benar. Kemungkinan itu disadari tetapi tidak berlaku kepadanya,dalam hal ini, kekeliruan terletak pada salah pikir atau

53 Dwi Wahyono, dkk, Op cit,, hlm. 35-36.

54 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 210.

55 Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm 31

Universitas Sumatera Utara

(37)

pandangan yang seharusnya disingkirkan. Secara singkatnya dalam kealpaan, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbul suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, timbul juga masalah.

b) Kealpaan yang Tidak Disadari

Dalam hal ini si pembuat melakukan sesuatu dan tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya. Menurut Moeljatno, pada kealpaan yang tidak disadari terdakwa sama sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul akibat perbuatannya. Dalam hal ini kekeliruan terletak pada pelaku yang tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul sebenarnya merupakan sikap yang berbahaya.

D. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Akibat yang Timbul Tidak dengan Sengaja

Menurut Barda Nawawi Arief

56

akibat-akibat yang timbul tidak dengan sengaja biasanya dirumuskan dalam delik-delik yang dikualifikasikan atau diperberat oleh akibatnya (erfolgqualifizierte delikte atau crime aggravated by the result). Delik-delik ini dalam KUHP Indonesia misalnya dirumuskan dalam pasal- pasal 187 ke-2 dan ke-3, pasal 333 ayat (3) dan pasal 354 ayat (2). Secara doktriner pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat yang timbul tidak dengan sengaja didasarkan pada ajaran erfolghaftung. Menurut ajaran ini seseorang dapat di pertanggungjawabkan terhadap akibat yang timbul tanpa diperlukan adanya hubungan sikap batin jahat (dolus/culpa) si pembuat terhadap akibat yang muncul asalkan secara objektif akibat itu benar-benar telah terjadi sebagai akibat perbuatannya. Dalam hal ini suatu kealpaan dapat terjadi baik dalam hal pembuat tidak menggunakan pikirannya dengan baik, maupun dalam hal pikirannya tersebut tidak digunakannya sama sekal, padahal seharusnya sebaliknya. Dalam hal tindak pidana terjadi karena pembuat telah memikirkan dengan sungguh-

56 Barda Nawawi Arief, Op cit, hlm 84

Universitas Sumatera Utara

(38)

sungguh makna perbuatannya. Namun sifat ceroboh pada dirinya telah menyebabkan dirinya keliru, yang mana kekeliruan tersebut telah menyebabkan terwujudnya kesalahan yang dilarang oleh undang-undang.

57

Ajaran ini dapat disebut erfolgshaftung yang murni. Menurut Paul Kichyun Ryu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Nasional Seoul Korea, ajaran erfolgshaftung murni diilhami dari doktrin versari in re illictica dalam hukum kanonik, sama dengan jaran dolus indirectus, pen, yang merupakan pengecualian asa mens rea (asas qulpabilitas).

KUHP yang berlaku saat ini tidak mengatur dan menegaskan dianut nya ajaran erfolgshaftung yang murni itu.Di beberapa KUHP negara lain ada pasal khusus yang mengatur pasal ini namun dengan beberapa penghalusan atau modifikasi tertentu yang diorientasikan atau di konsistensikan dengan asa qulpabilitas sehingga tidak menganut ajaran erfolgshaftung yang murni.

58

3. Pengertian Kendaraan

Kendaraan atau angkutan atau wahana adalah alat transportasi, baik yang

digerakkan oleh mesin maupun oleh makhluk hidup. Kendaraan ini biasanya buatan manusia yang digunakan untuk membantu keseharian dan sebagai alat transportasi yang di gunakan banyak kalangan baik untuk jarak dekat maupun jarak yang jauh.

Berdasarkan UU No. 14 tahun 1992 , yang dimaksud dengan peralatan teknik dapat berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah

57Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm.108

58 Ibid, hlm. 37-38.

Universitas Sumatera Utara

(39)

suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.Pengertian kata kendaraan bermotor dalam ketentuan ini adalah terpasang pada tempat sesuai dengan fungsinya. Termasuk dalam pengertian kendaraan bermotor adalah kereta gandengan atau kereta tempelan yang dirangkaikan dengan kendaraan bermotor sebagai penariknya.

59

Pengertian kendaraan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah : kendaran/ken•da•ra•an/ n sesuatu yang digunakan untuk dikendarai atau dinaiki (seperti kuda, kereta, mobil): kita harus memakai ~ untuk menempuh jarak sejauh itu ; bermotor kendaraan yang memakai mesin (motor) untuk menjalankannya;

umum kendaraan yang dapat disewa oleh orang banyak;

4. Pengertian Kematian

Menurut UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 117, kematian didefinisikan sebagai “Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi system jantung- sirkulasi dan system pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dibuktikan”

Pada saat seseorang sudah dinyatakan mati, maka akan terjadi perubahan pada beberapa haknya, diantaranya:

60

a. Kehilangan hak

- Dihentikannya segala tindakan medis - Status kependudukan berubah

- Segala kepemilikan berpindah tangan pada ahli waris b. Timbulnya hak

- Pernyataan medis (sertifikat kematian: surat keterangan kematian)

59http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/29961/Chapter%20II.pdf;jsessio nid=1EBF6B61735ADCCD0DC0E70E5D7293B5?sequence=3, diakses pada tanggal 1 Mei 2019, pukul 20.00 WIB

60 https://www.scribd.com/document/179195808/Konsep-Mati-Menurut-Hukum, diakses pada tanggal 2 Mei 2019, Pukul 19.00 WIB

Universitas Sumatera Utara

(40)

- Deklarasi/pernyataan dari pemerintah (akta kematian)

Menurut buku tentang Forensic Medicolegal yang ditulis oleh Agustinus Sitepu seseorang dinyatakan mati apabila :

61

a. Berhentinya sirkulasi darah

Dengan berhentinya jantung berdenyut maka aliran darah dalam arteri juga berhenti. Denyut nadi tidak dapat lagi diraba dan pada auskultasi juga tidak dapat didengar bunyi jantung.

b. Berhentinya pernafasan

Henti nafas akan terjadi menyusul kematian. Hal dapat dibuktikan dengan tidak adanya suara nafas pada bagian dada. Biasanya untuk memastikan berhentinya fungsi pernafasan cukup dengan auskultulasi pada bagian dada.

5. Lalu lintas

a. Pengertian Lalu Lintas

Pengertian lalu lintas adalah gerak/pindah kendaraan manusia dan hewan di jalan dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan alat gerak.

Angkutan adalah pemindahan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkapnya yang diperuntukan lalu lintas.

b. Pengertian Kecelakaan Lalu lintas

Pengertian Kecelakaan Yang dimaksud dengan kecelakaan lalu lintas berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam pasal 93 Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 ayat 1 adalah: “Suatu peristiwa dijalan yang tidak disangka- sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda” Korban

61 Agustinus Sitepu, Forensic Medicolegal, ( Medan : 2017 ), hlm 27-29.

Universitas Sumatera Utara

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan ulang alat pemeras madu yang dibuat akan digunakan dalam proses pemerasan madu yang masih berupa bongkahan sarang madu atau madu yang didapat dari kebun atau

Berdasarkan dari uraian latar belakang yang telah disampaikan, maka dapat dirumuskan permasalahannya adalah “Apakah program berita Pojok Pitu JTV telah memberitakan

5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan

Gulma spesies tertentu secara ekologis dapat tumbuh dengan baik pada daerah budidaya dengan jenis tanaman tertentu dan mendominasi daerah pertanaman

PERENCANAAN ULANG TIMBUNAN OPRIT DAN ABUTMENT JEMBATAN PLASMA BATU TUGU- PLASMA TANJUNG KURUNG, PALEMBANG (YANG MENGALAMI KERUNTUHAN SEBELUMNYA PADA SAAT PELAKSANAAN).. RIF’

Sub-sub judul dalam buku ini antara lain, Kota Raya di Tepian Brantas (membahas tentang sejarah Kerajaan Majapahit dan lahirnya Kota Mojokerto), Batik

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

1. M Quraish Shihab berpendapat kata jahiliyah terambil dari kata jahl yang digunakan Alquran untuk menggambarkan suatu kondisi dimana masyarakatnya