• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ulat tepung (Tenebrio molitor) dikenal juga oleh kebanyakan masyarakat sebagai ulat hongkong. Ulat tepung merupakan kumbang yang memiliki warna merah kehitaman atau hitam (Purwakusuma, 2007) dan termasuk ke dalam ordo Coleoptera (Frost, 1959). Menurut Street (1999) taksonomi dari Tenebrio molitor yaitu: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Coleoptera Famili : Tenebriodae Genus : Tenebrio

Spesies : Tenebrio molitor

Ordo Coleoptera merupakan ordo terbesar dari serangga, kurang lebih 40% dari seluruh jumlah serangga yang ada (Borror et al., 1982). Serangga ini aktif di malam hari dan sering menyerang makanan cadangan manusia seperti biji-bijian, sereal, dan lainnya (Purwakusuma, 2007). Borror et al. (1982) menjelaskan bahwa serangga yang termasuk ke dalam golongan Tenebrionid memiliki tipe mulut pengunyah dan senang berada di tempat yang gelap.

Morfologi dan Siklus Hidup

Siklus hidup ulat hongkong terdiri dari empat tahap, yaitu telur, larva, kepompong (pupa) serta serangga dewasa dan siklus ini bisa berlangsung antara 3–4 bulan (Purwakusuma, 2007) melalui proses matamorfosis sempurna (Enchanted Learning, 2007). Menurut Sastrodihardjo (1984), serangga yang mengalami metamorfosis sempurna memiliki bentuk serangga muda (larva) sangat berbeda dengan serangga dewasa atau imago. Diantara stadium larva dan dewasa terdapat stadium pupa. Pada stadium pupa terjadi berbagai perubahan pada organ larva dan diganti dengan organ imago (dewasa) meskipun beberapa organ larva masih ada yang terbawa menjadi organ imago. Siklus hidup kumbang Tenebrio molitor dapat dilihat pada Gambar 1.

1-4 hari Gambar 1. Siklus Sumbe Telur Telur serangga 1984) yang pada umum sendiri-sendiri (Purwaku betina ulat tepung dapat Besarnya telur serangga tidak terlihat jelas (Praca sekitar 1,2 mm (Paryad situasi dimana mereka menetas akan mempun 2007).

Cara bertelur se dalam waktu sehari, ada serangga yang bertelur

Telur1

Kumbang3

Pupa3

lus Hidup Kumbang Tenebrio molitor

ber: 1. Hechunli (2007) 2. Nyworms (2007) 3. Salem (2002)

mempunyai bentuk yang beraneka ragam mnya berbentuk seperti kacang dalam bentuk akusuma, 2007). Lyon (1991) menyatakan b at mengeluarkan telur sebanyak 275 butir sela ga pada umumnya tidak melebihi 3,5 mm, seh caya, 1995). Telur dari kumbang ulat tepung m adi, 2003). Kebanyakan telur serangga diletak a memberikan sejumlah perlindungan sehing unyai kondisi yang cocok bagi perkembanga

serangga bervariasi, ada yang sekaligus me da juga yang berlangsung dalam beberapa ha r memakai jarak antara 2-5 hari (Pracaya, 19

Larva2 Siklus hidup Tenebrio molitor. 50-4 (Sastrodihardjo, tuk gerombol atau bahwa kumbang lama 22-137 hari. ehingga seringkali memiliki panjang takkan dalam satu ingga pada waktu gannya (Pracaya,

menyelesaikannya hari dan ada juga 1995). Telur-telur

6-8 hari 122 hari

5 yang di keluarkan oleh kumbang betina T. molitor akan menetas menjadi ulat tepung kecil (fase larva) dalam waktu 4-14 hari (Lyon, 1991).

Larva

Larva ulat tepung memiliki bentuk seperti cacing, halus, keras, memanjang (Lyon, 1991), berwarna kuning terang dengan panjang badan sekitar 35 mm dan lebar 3 mm (Hechunli, 2007). Larva tidak memiliki sayap, berbeda dengan nimfa pada proses metamorfosis sederhana (Pracaya, 1995) dan biasanya mempunyai 13-15 segmen yang berwarna coklat kekuning-kuningan (Salem, 2002). Umur larva biasanya berkisar antara 50-122 hari mulai dari awal menetas sampai sebelum menjadi pupa (Hechunli, 2007).

Setelah larva keluar dari telur, pertumbuhan selanjutnya akan terhalang oleh dinding tubuh yang keras. Hal ini yang menyebabkan terjadinya pergantian kulit (moulting) pada larva. Setelah berganti kulit, serangga akan bertambah besar dan berubah bentuk (Sastrodihardjo, 1984). Larva akan mengalami moulting antara 9-20 kali sebelum menjadi pupa (Lyon, 1991). Pergantian kulit pada serangga ditandai dengan serangkaian kejadian fisiologis yang dikaitkan dengan proses apolisis dan ekdisis. Apolisis secara khusus berkaitan dengan pelepasan secara bertahap epidermis anteroseptor dari kutikula, sedangkan ekdisis berkaitan dengan pengguguran kutikula lama (Hepburn, 1985).

Pupa

Pupa merupakan salah satu tahapan hidup dari serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Fase pupa biasanya disebut juga sebagai fase diam (Uen, 2007) karena pada fase ini ulat berhenti makan dan jarang terlihat aktifitasnya, terkecuali jika ada gangguan dari lingkungan. Ditambahkan oleh Purwakusuma (2007) bahwa meskipun mereka terlihat tidak aktif, mereka akan tetap merespon berupa gerakan apabila disentuh, biasanya berupa gerakan memutar. Salem (2002) menjelaskan bahwa selama dalam fase pupa, terjadi perubahan dari larva menjadi dewasa.

Pupa dikenal juga sebagai fase yang terlihat tidak aktif dan tidak makan, sehingga akan terjadi penurunan bobot badan karena banyaknya energi yang digunakan untuk merombak struktur larva menjadi kumbang (Enchanted Learning,

6 2007). Lubis (2006) menyebutkan bahwa pupa memiliki rataan bobot badan sekitar 0,1348 g/ekor. Pada tahapan pupa, dibutuhkan waktu sekitar 7-24 hari sampai akhirnya pupa menjadi kumbang (Lyon, 1991). Akan tetapi, lamanya periode pupa juga bisa mencapai 30 hari pada suhu 15°C, 9 hari pada suhu 25°C dan 6 hari pada 35°C (Wikipedia, 2007b).

Imago (Serangga Dewasa)

Fase imago (dewasa) merupakan tahap perkembangan terakhir pada serangga setelah munculnya pupa pada proses metamorfosis sempurna. Pada fase ini, serangga akan mengalami kedewasaan organ kelamin dan pertumbuhan sayap (Wikipedia, 2007b). Coleoptera memiliki dua pasang sayap (Partosoedjono, 1985), sayap-sayap tersebut berkembang di bagian dalam selama tahapan pradewasa (Borror et al., 1982). Pasangan pertama disebut elytra (Partosoedjono, 1985), sayap ini menebal dan berfungsi sebagai pelindung sayap belakangnya (Pracaya, 1995). Satu pasangan sayap kedua tipis dan lebih panjang dari pasangan sayap petama, apabila dalam keadaan tidak terbang maka sayap tersebut dilipat (Partosoedjono, 1985). Meskipun kumbang ulat tepung memiliki sayap, akan tetapi kemampuannya untuk terbang kurang baik karena terganggu oleh adanya elytra (Pracaya, 2007).

Kumbang ulat tepung memiliki panjang antara 23-26 mm dan berwarna hitam kemerahan sampai hitam (Fossweb, 2007). Ketika baru keluar dari pupa, kumbang dewasa umumnya berwarna putih atau pucat (Borror et al., 1982) kemudian mengalami pengerasan dan berwarna lebih gelap (Amir dan Kahono, 2003).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Siklus Hidup Tenebrio molitor

Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi aktifitas serangga (Husaeni dan Nandika, 1989). Secara umum, serangga bersifat poikilothermi, yaitu suhu tubuhnya naik dan turun mengikuti suhu lingkungan (Triplehorn dan Johnson, 2005). Menurut Borror et al. (1982), suhu yang optimum untuk pertumbuhan serangga sekitar 260C. Sementara menurut Haines (1991), ulat tepung mampu bertahan hidup pada kisaran suhu antara 25-27 0C dengan kelembaban minimum 20%. Borror et al. (1982) menjelaskan bahwa ulat tepung mampu mengekstraksi uap air dari udara bila kelembaban melebihi 90%. Dengan demikian, kisaran kelembaban yang dapat ditolelir oleh ulat tepung adalah 20-90 %. Culin (2008) menjelaskan bahwa dengan semakin rendah suhu lingkungan, maka pertumbuhan ulat tepung akan

7 lambat, bahkan bisa mencapai enam bulan. Dengan demikian, adanya perbedaan suhu dapat mempengaruhi lamanya waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus pertumbuhan.

Pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan adanya pertambahan sel (hyperplasia) dan peningkatan ukuran sel (hypertropi) (Maynard dan Loosli, 1956) yang biasanya dicerminkan dengan adanya pertambahan bobot badan (Bursell, 1970). Serangga memiliki kerangka luar (kutikula) yang harus dikelupaskan atau dilepaskan apabila serangga tumbuh karena kutikula ini akan membatasi ukuran suatu serangga (Borror et al., 1982; Bursell, 1970).

Dalam pertumbuhan serangga dikenal adanya moulting. Moulting merupakan mekanisme dasar pertumbuhan pada serangga yang dikondisikan dengan kutikula (Wiglesworth, 1792). Terjadinya moulting dikontrol oleh tiga hormon yaitu PTTH (hormon protorasikotropik), hormon juvenil dan hormon ekdison. Tahapan pergantian kulit dirangsang oleh pengeluaran PTTH (hormon protorasikotropik) atau hormon otak yang merangsang kelenjar-kelenjar protoraks atau kelenjar pertumbuhan untuk mengeluarkan ekdison. Ekdison sendiri berperan dalam merangsang apolisis dan mendorong pertumbuhan. Sedangkan hormon juvenil berperan dalam proses pupasi. Jika hormon juvenil tidak ada, maka larva akan berubah menjadi pupa (Borror et al., 1982).

Habitat

Serangga T. molitor mempunyai sebaran luas hampir di seluruh permukaan bumi (Purwakusuma, 2007). Kehidupan beberapa serangga sangat dipengaruhi oleh kelembaban tempat hidupnya. Akan tetapi, serangga dapat bertahan hidup pada kelembaban yang ekstrim karena serangga mampu menyeimbangkan kadar air tubuh dengan kadar air lingkungannya (Bursell, 1970). Larva T. molitor mampu mengekstraksi uap air dari udara bila kelembaban secara relatif melebihi 90% (Borror et al., 1982).

Sebagai hama, ulat tepung sering ditemukan dalam gudang, fasilitas penyimpanan biji-bijian dan tempat penyimpanan makanan. Organisme ini lebih untung jika hidup dekat dengan manusia, karena secara tidak sengaja kita

8 menyediakan lingkungan yang lebih baik untuk kehidupannya bila dibandingkan jika mereka hidup di alam bebas (Fossweb, 2007).

Reproduksi

Reproduksi merupakan suatu hal yang istimewa yang secara fisiologis tidak esensial untuk kehidupan individu, tetapi sangat penting dalam memperoleh keturunan (Elzinga, 2004). Kumbang Tenebrio molitor memiliki tiga tahapan perkawinan. Pada tahap pertama, jantan mengejar betina sampai betina kelelahan dan menyerah. Kemudian jantan menaiki betina dan membengkokkan perut bagian belakangnya ke bawah dan dimasukan ke dalam betina. Tahapan terakhir dari perkawinan tersebut adalah adanya sperma yang dikeluarkan dari jantan ke betina (Wikipedia, 2007b). Worden dan Parker (2001) menjelaskan bahwa lamanya waktu perkawinan yang normal pada kumbang ulat tepung yaitu pada kisaran 45-120 detik.

Gambar 2. Perkawinan Kumbang Tenebrio molitor.

Fungsi alamiah dari seekor jantan adalah menghasilkan sel-sel kelamin jantan atau spermatozoa yang hidup, aktif dan potensial fertil serta secara sempurna meletakkannya ke dalam saluran kelamin betina (Toelihere, 1981). Selain itu, alat kelamin jantan dilengkapi dengan clasper atau alat yang digunakan untuk memegang betina (Pracaya, 1995). Selain jantan, betina juga memegang peran penting dalam proses reproduksi karena betina menghasilkan sel telur dalam jumlah yang banyak (Sastrodihardjo, 1984) dan dilengkapi dengan ovipositor (alat untuk memasukkan telur ke dalam tanah atau jaringan tanaman) (Pracaya, 1995).

Jenis kelamin serangga kadang-kadang tidak bisa dibedakan dari luar karena perbedaannya hanya sedikit sekali (Pracaya, 1995). Pada umumnya serangga biasanya bisexual yaitu terdapat jantan dan betina pada dua individu yang terpisah (Partosoedjono, 1985). Dalam hal ini, serangga betina hanya bersifat menerima

9 sperma dari jantan dan karena umurnya yang singkat, menyebabkan serangga melakukan perkawinan dengan banyak jantan (poliandri) (Drnevich et al., 2000).

Betina yang kawin dengan lebih dari satu jantan akan menerima dua keuntungan yaitu keuntungan secara material maupun genetik, dan kedua jenis keuntungan ini sangat sulit untuk dibedakan (Worden dan Parker, 2001). Drnevich et al. (2000) menjelaskan bahwa secara umum, keuntungan meterial dapat meningkatkan produktifitas betina secara langsung yaitu melalui peningkatan jumlah atau ukuran telur. Sedangkan keuntungan genetik akan meningkatkan produktfitas betina secara tidak langsung yaitu melalui peningkatan kualitas genetik keturunannya.

Alat kelamin serangga biasanya terdapat pada ujung perut, persisnya pada ruas kedelapan atau kesembilan. Pada serangga jantan struktur yang berkembang adalah dari ruas ke-10 yang berfungsi untuk kopulasi, sedangkan pada yang betina yaitu dari ruas ke-8 dan ke-9 terutama untuk bertelur. Struktur kelamin luar tersebut bila tidak dipakai akan ditarik masuk ke dalam sehingga tidak dapat dilihat dari luar (Partosoedjono, 1985). Perbedaan jenis kelamin pada kumbang ulat tepung terlihat pada bagian ujung perutnya atau pada beberapa segmen terakhir dari perutnya. Kumbang betina memiliki sedikit pemisah diantara tiga bagian segmen perut paling ujung dan hampir tidak terlihat. Sedangkan pada jantan memiliki membran intersegmental yang berwarna terang (Bhattacharya dan Waldbauer, 1970).

Mortalitas

Mortalitas merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan dari suatu usaha peternakan. Hutauruk (2005) menjelaskan bahwa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya mortalitas adalah stres yang tinggi akibat suhu dan kelembaban udara yang tidak sesuai, jumlah populasi atau kepadatan dan tempat pemeliharaan serta manajemen pemeliharaan yang kurang baik. Hampir semua serangga sensitif terhadap panas (Marlanti, 2006). Culin (2005) menambahkan bahwa semakin rendah suhu lingkungan akan menyebabkan terlambatnya perkembangan ulat tepung, bahkan bisa mencapai enam bulan. Sementara suhu yang tinggi akan menyebabkan peningkatan mortalitas.

10

Manfaat Tenebrio molitor Sebagai Pakan Ternak

Di kalangan peternak Indonesia, ulat tepung ini dibagi ke dalam dua golongan yaitu ulat tepung kecil atau ulat hongkong (yellow mealworms) dan ulat tepung besar atau ulat jerman (king mealworms). Ulat tepung biasanya digunakan sebagai pakan untuk burung, kura-kura, reptil, katak, anjing, kucing dan ikan akuarium karena memiliki kandungan nutrisi yang baik untuk mendukung pertumbuhannya (nyworms, 2007; Shaghai Baoshan Area Huang Fenchong Breeding Farm, 2008). Secara umum ulat tepung terbagi ke dalam tiga tipe yaitu superworm

(Zophobas morio), giant mealworm dan mealworm (Tenebrio molitor) (Chameleon`s

Dish, 2006). Di Indonesia, giant mealworm jarang sekali ditemukan bahkan mungkin tidak ada. Jenis ulat yang sering ditemukan sekarang adalah superworm (ulat jerman) dan mealworm (ulat hongkong). Akan tetapi, keberadaan ulat hongkong kini sudah jarang ditemukan di pasaran.

Gambar 3. Superworm (ulat jerman) (A), giant mealworm (B) dan mealworm (ulat hongkong) (C).

Sumber : Chameleon`s Dish (2006)

Burdett (1999) menyarankan agar tidak membeli ulat tepung giant karena mereka telah mendapatkan penambahan hormone pertumbuhan serangga (insect growth hormone) untuk mencegah mereka berubah menjadi kumbang. Ulat tepung jenis ini hanya akan mengalami pertambahan ukuran saja dan jika ulat ini berubah menjadi kumbang, kemungkinan kumbang-kumbang tersebut akan steril.

A

B

11 Penggunaan ulat tepung sebagai sumber pakan dipilih karena kandungan nutrisinya yang tinggi terutama pada protein dan lemaknya. Persentase kandungan protein dan lemak berturut-turut adalah 48-56,58 % dan 25-40 % (Ecvv, 2008; Purwakusuma, 2007; Shanghai Baoshan Area Huang Fenchong Breeding Farm, 2008). Kandungan nutrisi ulat tepung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi dan Asam Amino Ulat Tepung.

Sumber : 1. Shanghai Baoshan Area Huang Fenchong Breeding Farm (2008) 2. Purwakusuma (2007)

3. Ecvv (2008)

Sebagai Tambahan Protein Bagi Manusia

Ulat tepung dapat dijadikan makanan tambahan alternatif bagi manusia khususnya untuk meningkatkan kandungan nutrisi dalam makanan. Ulat tepung dapat dibuat menjadi ulat tepung kering (dried yellow mealworm) dan tepung ulat tepung (mealworm powder). Bahan-bahan tersebut dapat ditambahkan dalam roti, mie instan, kue tart dan biskuit (Haocheng Yellow Mealworm, 2002; Ecvv, 2008). Penggunaan dan pengkonsumsian serangga ini sebagai makanan tergantung dari budaya masyarakat.

Perkembangan Usaha Ulat Tepung

Di Cina, ulat tepung sudah dijadikan tepung ulat tepung yang digunakan sebagai bahan tambahan dalam makanan untuk meningkatkan kandungan nutrisinya. Bahkan sudah didirikan perusahaan yang khusus untuk menangani masalah breeding

Komponen 1 2 3 Protein (%) 54-55 48 56,58 Lemak (%) 25-27 40 28,2 Isoleusin (%) 2,53 - 2,53 Leusin (%) 13,32 - 4,46 Threonin (%) 17,70 - 1,48 Lisin (%) - - 2,67 Valin (%) - - 3,17 Histidin (%) 13,6 - 1,56 Cistein (%) - - 0,54

12 dan penjualan ulat tepung. Perusahaan tersebut sudah dapat memproduksi 50 ton ulat tepung hidup per bulan dan mengekspor 200 ton ulat tepung kering per tahun ke daerah Amerika Utara, Eropa, Australia, Asia Tenggara, Jepang dan lain-lain (Haocheng Yellow Mealworm, 2002).

Di Indonesia sendiri, belum ditemukan adanya perusahaan khusus yang menangani produksi dan pemasaran ulat hongkong. Perkembangan ulat hongkong dimulai pada tahun 1977-1978 dengan harga per kilogramnya saat itu sekitar Rp 60.000,00. Seiring dengan banyaknya orang yang memelihara ulat hongkong, harga per kilogramnya anjlok menjadi Rp 7.500,00 (pada tahun 90-an). Kemudian pada tahun 2007, harga ulat ini sudah mencapai Rp 50.000,00 – Rp 60.000,00 per kilogramnya (Karjono, 1999).

Sistem Pemeliharaan Ulat Hongkong (Tenebrio molitor)

Memelihara dan mengembangbiakkan ulat tepung sangat mudah. Untuk awal pemeliharaan, ulat tepung (dalam bentuk larva) bisa dibeli di pasar-pasar burung dan pakan. Biasanya, larva ulat tepung yang dijual berukuran 1-2 cm dan membutuhkan waktu kira-kira satu bulan untuk menjadi kumbang. Kumbang ulat tepung biasanya ditempatkan pada wadah-wadah plastik (untuk pemeliharaan dalam skala kecil) atau pada kotak kayu (dengan ukuran panjang 80 cm; lebar 60 cm; tinggi 6-7 cm untuk skala besar). Bagian atas tempat pemeliharaan dibiarkan terbuka dan pada dinding bagian atasnya dilapisi lakban plastik agar larva maupun kumbang ulat tepung tidak keluar (Karjono, 1999)

Sebagai pakannya, biasanya ditambahkan 1-3 cm pakan ayam komersial yang sekaligus menjadi media hidup ulat tepung. Dapat juga digunakan campuran onggok dan ampas tahu (di Indonesia), gandum, tepung roti atau sereal (di Luar Negeri). Tambahan sayuran dan buah-buahan digunakan untuk memenuhi kebutuhan air ulat tepung. Akan tetapi jika menggunakan ampas tahu, penambahan sayuran atau buah-buahan dalam pakan tidak diharuskan (Tricia`s Water Dragon, 2006; Karjono, 1999).

Untuk media bertelur, biasanya ditambahkan kapas setebal 1 cm atau potongan kayu yang berlubang yang diletakkan di atas lapisan pakan. Kemudian kumbang betina ulat tepung akan meletakkan telurnya pada media pakan, kapas atau

13 potongan kayu berlubang. Pemindahan Induk kumbang dilakukan setiap 10 hari sekali pada tempat yang berbeda sampai kumbang tersebut mati. Setelah larva mulai terlihat, larva diayak dan dibagi kedalam dua tempat untuk seterusnya dipelihara. Pada saat pemeliharaan larva, tidak perlu ditambahkan kapas atau potongan kayu berpori. Larva-larva yang dipelihara akan berubah menjadi pupa kemudian pupa menjadi kumbang. Setelah dewasa, kumbang-kumbang ini akan melakukan perkawinan dan menghasilkan telur (Tricia`s Water Dragon, 2006; Karjono, 1999).

King Mealworm (Zophobas morio)

Sistem pemeliharaan king mealworm (ulat jerman) sedikit berbeda dengan ulat hongkong. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memilih 10 ekor ulat jerman (bisa kurang atau lebih). Kemudian ulat jerman dimasukkan ke dalam bekas tempat film, botol pil atau tempat yang tidak terlalu besar secara individu. jika menggunakan tempat film atau botol pil sebaiknya diberi tutup yang sebelumnya telah dilubangi. Untuk pakan ulat jerman, dapat menggunakan pakan komersial ayam petelur atau yang sejenisnya kira-kira 1/3-1/2 tinggi tempat pemeliharaan. Setelah ulat-ulat menjadi pupa, kira-kira dibutuhkan waktu satu minggu untuk mendapatkan kumbang ulat jerman. Kumbang-kumbang yang didapatkan kemudian disatukan pada tempat yang lebih luas yang telah dialasi dengan pakan dan dibiarkan kawin. Satu bulan setelah penyatuan kumbang, maka larva-larva kecil ulat jerman akan mulai terlihat. Ulat-ulat tersebut dibiarkan dalam tempat pemeliharaan sampai cukup besar untuk dijual atau dikembangbiakkan kembali (Tricia`s Water Dragon, 2006).

METODE

Dokumen terkait