i
PENGARUH POLA PERKAWINAN POLIANDRI KUMBANG
ULAT TEPUNG (
Tenebrio molitor
L.) TERHADAP JUMLAH
LARVA DAN JUMLAH KUMBANG ANAKNYA
SKRIPSI LENNY LISTIANI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
ii
PENGARUH POLA PERKAWINAN POLIANDRI KUMBANG
ULAT TEPUNG (
Tenebrio molitor
L.) TERHADAP JUMLAH
LARVA DAN JUMLAH KUMBANG ANAKNYA
LENNY LISTIANI
D14104041
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
iii
PENGARUH POLA PERKAWINAN POLIANDRI KUMBANG
ULAT TEPUNG (
Tenebrio molitor
L.) TERHADAP JUMLAH
LARVA DAN JUMLAH KUMBANG ANAKNYA
Oleh:
LENNY LISTIANI
D14104041
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 21 Agustus 2008
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Muladno, MSA NIP. 131 624 190
Yuni C. Endrawati, S.Pt NIP. 132 312 036
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
i RINGKASAN
LENNY LISTIANI. D14104041. 2008. Pengaruh Pola Perkawinan Poliandri Kumbang Ulat Tepung (Tenebrio molitor L.) Terhadap Jumlah Larva dan Jumlah Kumbang Anaknya. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Muladno, MSA. Pembimbing Anggota : Yuni C. Endrawati, S.Pt.
Ulat tepung atau biasa dikenal ulat hongkong merupakan salah satu komoditi yang digunakan untuk pakan burung dan ikan. Kumbang ulat tepung memiliki umur yang singkat kira-kira 2-3 bulan. Kumbang betina Tenebrio molitor kawin dengan lebih dari satu jantan (poliandri) dan mengeluarkan telur dalam jumlah yang banyak selama masa hidupnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui rasio jantan dan betina induk kumbang terbaik untuk mendapatkan produksi yang terbaik. Peubah yang diamati meliputi jumlah larva, bobot larva, bobot pupa, bobot kumbang, mortalitas larva, mortalitas pupa dan jumlah kumbang jantan anaknya. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa perkawinan kumbang betina dengan kumbang jantan yang berbeda sangat berpengaruh terhadap jumlah larva dan mortalitas larva (P<0,01) serta berpengaruh terhadap mortalitas pupa (P<0,05). Kumbang betina yang kawin dengan satu jantan (BJ1) memiliki bobot larva/ekor yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan dari laju pertumbuhannya, kumbang betina yang kawin dengan lima jantan (BJ5)memiliki bobot massa yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kumbang betina yang kawin dengan satu jantan (BJ1)dan kumbang betina yang kawin dengan tiga jantan (BJ3). Jumlah anak yang
berjenis kelamin jantan selalu lebih besar bila dibandingkan dengan yang berjenis kelamin betina. Kumbang betina yang kawin dengan lima jantan yang berbeda memproduksi larva lebih banyak bila dibandingkan dengan perlakuan BJ1 dan BJ3.
Betina yang kawin lima kali dengan jantan yang berbeda memperlihatkan produktifitas terbaik karena memproduksi larva secara optimal.
ii ABSTRACT
The Polyandry Mating System’s Effect of Yellow Mealworm Beetle (Tenebrio molitor L.) to Total Larvae and Offspring Beetle
Listiani, L. Muladno, Y. C. Endrawati
Yellow mealworm is one of commodity used for feed birds or fishes. The beetle of yellow mealworm have short age approximately two month, thus Tenebrio molitor female beetle mate with more than one male (polyandry) and laid more eggs in their adult life. The objective of this research was to observe the best sex ratio of Tenebrio
molitor beetle to get the best production. Variable that observed in this research were
total larvaes, larvae weight, pupa weight, beetle weight, mortality of larvae, mortality of pupa and total offspring beetle. The result showed that female beetle mated with different male significantly affected total larvaes and mortality of larvae (P<0,01) and mortality of pupa (P<0,05). Pupa weight and beetle weight were not significant by the treatment. Female beetle that mated with one male had highest individual larva weight if compared with other treatments. Sex ratio of beetle showed that total male beetle always greater than female beetle. Female that mated five times with different male produce more larvae and had greater mass weight of larvae than female that mated only once. Female that mated five times gave the best productivity because produced total larvae optimum.
iii RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1986 di Sukabumi, Jawa Barat.
Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Aceh
Delpiar, S.Pd. (Alm) dan Ibu Neneng Farida, S.Pd.
Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis pada tahun ajaran 1997/1998 di
SD Negeri V Caringin. Kemudian menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat pertama
pada tahun ajaran 2000/2001 di SLTP Negeri 1 Cisaat serta pendidikan sekolah
menengah umum di SMU Negeri 1 Sukabumi pada tahun 2003/2004.
Penulis diterima menjadi mahasiswi Teknologi Produksi Ternak, Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada bulan Juni tahun
2004.
Selama masa perkuliahan penulis pernah aktif di lembaga kemahasiswaan
himpunan profesi (HIMAPROTER) pada tahun 2006/2007 dan 2007/2008. Selain
itu, penulis juga aktif pada berbagai kepanitiaan baik yang diselenggarakan oleh
iv KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohim.
Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamiin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala karunia dan rahmat yang tiada batas sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Pengaruh Pola Perkawinan
Poliandri Kumbang Ulat Tepung (Tenebrio molitor L.) terhadap Jumlah Larva dan
Jumlah Kumbang Anaknya” ditulis sesuai dengan hasil penelitian yang dilaksanakan
sejak bulan Nopember 2007 sampai dengan bulan Mei 2008 di Bagian Non
Ruminansia dan Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian
Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan
Masyarakat, Bogor.
Tenebrio molitor merupakan salah satu jenis serangga yang biasanya
digunakan untuk dijadikan pakan oleh para penggemar burung dan ikan. Ulat tepung
biasa didapatkan di pasar burung, namun ketersediannya dirasa masih kurang
sehingga tidak dapat memenuhi permintaan konsumen. Produktifitas ulat tepung
dapat diukur dari banyaknya jumlah larva yang dihasilkan. Mengingat umurnya yang
singkat, kumbang ulat tepung biasanya mengeluarkan telur dalam jumlah yang
banyak selama masa hidupnya. Selain itu, kumbang betina biasanya melakukan
perkawinan yang berkali-kali dengan beberapa kumbang jantan. Penelitian dan
penulisan skripsi ini dilakukan untuk melihat sex rasio induk kumbang yang terbaik
untuk mendapatkan produktifitas induk yang optimal.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna baik dari segi
penulisan maupun isinya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
masukan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
pembaca dan menjadi amal shaleh bagi penulisnya.
Bogor, Agustus 2008
v
Sebagai Tambahan Protein Bagi Manusia ... 11
vi
Model ... 15
Peubah yang Diamati ... 16
Analisa Data ... 17
Prosedur ... 18
Tahap Persiapan ... 18
Tahap Penelitian ... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23
Keadaan Umum ... 23
Suhu dan Kelembaban ... 23
Waktu Perkawinan ... 25
Jumlah Larva ... 27
Jumlah Larva Setiap Periode Lima Hari ... 29
Bobot Larva, Pupa dan Kumbang ... 30
Bobot Larva ... 30
Laju Pertumbuhan Larva ... 32
Bobot Pupa ... 34
Bobot Kumbang ... 35
Mortalitas Larva ... 35
Mortalitas Pupa ... 37
Jumlah kumbang Jantan Betina Anaknya ... 38
KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
Kesimpulan ... 40
Saran ... 40
UCAPAN TERIMAKASIH ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
vii DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kandungan Nutrisi dan Asam Amino Ulat Tepung ... 11
2. Kandungan Zat Nutrisi Konsentrat yang Digunakan ... 14
3. Rataan Lamanya Waktu Perkawinan Kumbang ... 25
4. Rataan Jumlah Larva Hasil Perkawinan Kumbang ... 28
5. Rataan Jumlah Larva Setiap Periode Lima Hari ... 29
6. Rataan Bobot Akhir Larva, Pupa dan Kumbang ... 31
7. Rataan Mortalitas Larva dan Mortalitas Pupa ... 36
i
PENGARUH POLA PERKAWINAN POLIANDRI KUMBANG
ULAT TEPUNG (
Tenebrio molitor
L.) TERHADAP JUMLAH
LARVA DAN JUMLAH KUMBANG ANAKNYA
SKRIPSI LENNY LISTIANI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
ii
PENGARUH POLA PERKAWINAN POLIANDRI KUMBANG
ULAT TEPUNG (
Tenebrio molitor
L.) TERHADAP JUMLAH
LARVA DAN JUMLAH KUMBANG ANAKNYA
LENNY LISTIANI
D14104041
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
iii
PENGARUH POLA PERKAWINAN POLIANDRI KUMBANG
ULAT TEPUNG (
Tenebrio molitor
L.) TERHADAP JUMLAH
LARVA DAN JUMLAH KUMBANG ANAKNYA
Oleh:
LENNY LISTIANI
D14104041
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 21 Agustus 2008
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Muladno, MSA NIP. 131 624 190
Yuni C. Endrawati, S.Pt NIP. 132 312 036
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
i RINGKASAN
LENNY LISTIANI. D14104041. 2008. Pengaruh Pola Perkawinan Poliandri Kumbang Ulat Tepung (Tenebrio molitor L.) Terhadap Jumlah Larva dan Jumlah Kumbang Anaknya. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Muladno, MSA. Pembimbing Anggota : Yuni C. Endrawati, S.Pt.
Ulat tepung atau biasa dikenal ulat hongkong merupakan salah satu komoditi yang digunakan untuk pakan burung dan ikan. Kumbang ulat tepung memiliki umur yang singkat kira-kira 2-3 bulan. Kumbang betina Tenebrio molitor kawin dengan lebih dari satu jantan (poliandri) dan mengeluarkan telur dalam jumlah yang banyak selama masa hidupnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui rasio jantan dan betina induk kumbang terbaik untuk mendapatkan produksi yang terbaik. Peubah yang diamati meliputi jumlah larva, bobot larva, bobot pupa, bobot kumbang, mortalitas larva, mortalitas pupa dan jumlah kumbang jantan anaknya. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa perkawinan kumbang betina dengan kumbang jantan yang berbeda sangat berpengaruh terhadap jumlah larva dan mortalitas larva (P<0,01) serta berpengaruh terhadap mortalitas pupa (P<0,05). Kumbang betina yang kawin dengan satu jantan (BJ1) memiliki bobot larva/ekor yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan dari laju pertumbuhannya, kumbang betina yang kawin dengan lima jantan (BJ5)memiliki bobot massa yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kumbang betina yang kawin dengan satu jantan (BJ1)dan kumbang betina yang kawin dengan tiga jantan (BJ3). Jumlah anak yang
berjenis kelamin jantan selalu lebih besar bila dibandingkan dengan yang berjenis kelamin betina. Kumbang betina yang kawin dengan lima jantan yang berbeda memproduksi larva lebih banyak bila dibandingkan dengan perlakuan BJ1 dan BJ3.
Betina yang kawin lima kali dengan jantan yang berbeda memperlihatkan produktifitas terbaik karena memproduksi larva secara optimal.
ii ABSTRACT
The Polyandry Mating System’s Effect of Yellow Mealworm Beetle (Tenebrio molitor L.) to Total Larvae and Offspring Beetle
Listiani, L. Muladno, Y. C. Endrawati
Yellow mealworm is one of commodity used for feed birds or fishes. The beetle of yellow mealworm have short age approximately two month, thus Tenebrio molitor female beetle mate with more than one male (polyandry) and laid more eggs in their adult life. The objective of this research was to observe the best sex ratio of Tenebrio
molitor beetle to get the best production. Variable that observed in this research were
total larvaes, larvae weight, pupa weight, beetle weight, mortality of larvae, mortality of pupa and total offspring beetle. The result showed that female beetle mated with different male significantly affected total larvaes and mortality of larvae (P<0,01) and mortality of pupa (P<0,05). Pupa weight and beetle weight were not significant by the treatment. Female beetle that mated with one male had highest individual larva weight if compared with other treatments. Sex ratio of beetle showed that total male beetle always greater than female beetle. Female that mated five times with different male produce more larvae and had greater mass weight of larvae than female that mated only once. Female that mated five times gave the best productivity because produced total larvae optimum.
iii RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1986 di Sukabumi, Jawa Barat.
Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Aceh
Delpiar, S.Pd. (Alm) dan Ibu Neneng Farida, S.Pd.
Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis pada tahun ajaran 1997/1998 di
SD Negeri V Caringin. Kemudian menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat pertama
pada tahun ajaran 2000/2001 di SLTP Negeri 1 Cisaat serta pendidikan sekolah
menengah umum di SMU Negeri 1 Sukabumi pada tahun 2003/2004.
Penulis diterima menjadi mahasiswi Teknologi Produksi Ternak, Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada bulan Juni tahun
2004.
Selama masa perkuliahan penulis pernah aktif di lembaga kemahasiswaan
himpunan profesi (HIMAPROTER) pada tahun 2006/2007 dan 2007/2008. Selain
itu, penulis juga aktif pada berbagai kepanitiaan baik yang diselenggarakan oleh
iv KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohim.
Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamiin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala karunia dan rahmat yang tiada batas sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Pengaruh Pola Perkawinan
Poliandri Kumbang Ulat Tepung (Tenebrio molitor L.) terhadap Jumlah Larva dan
Jumlah Kumbang Anaknya” ditulis sesuai dengan hasil penelitian yang dilaksanakan
sejak bulan Nopember 2007 sampai dengan bulan Mei 2008 di Bagian Non
Ruminansia dan Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian
Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan
Masyarakat, Bogor.
Tenebrio molitor merupakan salah satu jenis serangga yang biasanya
digunakan untuk dijadikan pakan oleh para penggemar burung dan ikan. Ulat tepung
biasa didapatkan di pasar burung, namun ketersediannya dirasa masih kurang
sehingga tidak dapat memenuhi permintaan konsumen. Produktifitas ulat tepung
dapat diukur dari banyaknya jumlah larva yang dihasilkan. Mengingat umurnya yang
singkat, kumbang ulat tepung biasanya mengeluarkan telur dalam jumlah yang
banyak selama masa hidupnya. Selain itu, kumbang betina biasanya melakukan
perkawinan yang berkali-kali dengan beberapa kumbang jantan. Penelitian dan
penulisan skripsi ini dilakukan untuk melihat sex rasio induk kumbang yang terbaik
untuk mendapatkan produktifitas induk yang optimal.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna baik dari segi
penulisan maupun isinya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
masukan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
pembaca dan menjadi amal shaleh bagi penulisnya.
Bogor, Agustus 2008
v
Sebagai Tambahan Protein Bagi Manusia ... 11
vi
Model ... 15
Peubah yang Diamati ... 16
Analisa Data ... 17
Prosedur ... 18
Tahap Persiapan ... 18
Tahap Penelitian ... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23
Keadaan Umum ... 23
Suhu dan Kelembaban ... 23
Waktu Perkawinan ... 25
Jumlah Larva ... 27
Jumlah Larva Setiap Periode Lima Hari ... 29
Bobot Larva, Pupa dan Kumbang ... 30
Bobot Larva ... 30
Laju Pertumbuhan Larva ... 32
Bobot Pupa ... 34
Bobot Kumbang ... 35
Mortalitas Larva ... 35
Mortalitas Pupa ... 37
Jumlah kumbang Jantan Betina Anaknya ... 38
KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
Kesimpulan ... 40
Saran ... 40
UCAPAN TERIMAKASIH ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
vii DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kandungan Nutrisi dan Asam Amino Ulat Tepung ... 11
2. Kandungan Zat Nutrisi Konsentrat yang Digunakan ... 14
3. Rataan Lamanya Waktu Perkawinan Kumbang ... 25
4. Rataan Jumlah Larva Hasil Perkawinan Kumbang ... 28
5. Rataan Jumlah Larva Setiap Periode Lima Hari ... 29
6. Rataan Bobot Akhir Larva, Pupa dan Kumbang ... 31
7. Rataan Mortalitas Larva dan Mortalitas Pupa ... 36
viii DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Siklus Hidup Kumbang Tenebrio molitor ... 4
2. Perkawinan Kumbang Tenebrio molitor ... 8
3. Superworm (ulat jerman) (A), giant mealworm (B) dan mealworm (ulat hongkong) (C) ... 10
4. Tempat dan Media yang Digunakan untuk Perkembangbiakan ... 19
5. Perbedaan Jenis Kelamin Kumbang Ulat Tepung ... 20
6. Diagram Alur Kerja Penelitian ... 22
7. Rataan Suhu (A) dan Kelembaban (B) Setiap Bulan Selama Penelitian ... 23
8. Tahapan Perkawinan Kumbang Ulat Tepung ... 26
9. Rataan Jumlah Larva ... 27
10. Grafik Penurunan Jumlah Larva yang Dihasilkan Induk Kumbang Betina Setiap Pemindahan Lima Hari Sekali ... 30
11. Bobot Larva/Ekor (A) dan Bobot Massa Larva (B) ... 33
12. Tahapan Proses Perubahan Larva Menjadi Pupa ... 34
13. Rataan Mortalitas Larva Setiap 10 Hari ... 37
ix DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Rataan Suhu dan Kelembaban Selama Penelitian ... 47
2. Rataan Waktu Perkawinan Kumbang ... 47
3. Analisis Sidik Ragam Jumlah Larva Total ... 47
4. Analisis Sidik Ragam Jumlah Larva Per Lima Hari
(Periode 1) ... 48
5. Analisis Sidik Ragam Jumlah Larva Per Lima Hari
(Periode 2) ... 48
6. Analisis Sidik Ragam Jumlah Larva Per Lima Hari
(Periode 3) ... 48
7. Analisis Sidik Ragam Jumlah Larva Per Lima Hari
(Periode 4) ... 48
8. Rataan Bobot Larva/Ekor Setiap Periode 10 Hari
Penimbangan ... 49
9. Rataan Bobot Massa Larva Setiap Periode 10 Hari
Penimbangan ... 49
10.Analisis Sidik Ragam Bobot Pupa ... 50
11.Analisis Sidik Ragam Bobot Kumbang ... 50
12.Analisis Sidik Ragam Mortalitas Larva ... 50
13.Persentase Mortalitas Larva ... 50
14.Analisis Sidik Ragam Mortalitas Pupa ... 51
15.Persentase Mortalitas Pupa ... 51
16.Uji Chi-kuadrat Jumlah Kumbang Jantan Betina Anaknya ... 51
17.Uji Chi-kuadrat Jumlah Kumbang Jantan Betina AnaknyaBJ1 ... 52
18.Uji Chi-kuadrat Jumlah Kumbang Jantan Betina AnaknyaBJ3 ... 52
19.Uji Chi-kuadrat Jumlah Kumbang Jantan Betina AnaknyaBJ5 ... 53
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Serangga merupakan golongan binatang dengan populasi terbesar bila
dibandingkan dengan golongan binatang lain yaitu hampir 75% dari total binatang
yang hidup di dunia (Partosoedjono, 1985). Jumlah tersebut terbagi lagi ke dalam
beberapa spesies dengan variasi sifat yang berbeda. Beberapa spesies ada yang
bersifat menguntungkan dan juga merugikan bagi makhluk hidup yang lain. Salah
satu jenis serangga tersebut adalah Tenebrio molitor. Di alam bebas serangga ini
bersifat merugikan karena dapat menyerang simpanan bahan pangan manusia. Akan
tetapi jika ditangani secara benar, serangga ini dapat memberikan keuntungan yang
lebih yaitu sebagai pakan (burung dan ikan) dan memiliki harga jual per kilogram
yang lebih tinggi daripada daging ayam.
Di kalangan para peternak, serangga ini dikenal juga sebagai ulat hongkong
atau ulat tepung. Secara ekonomis Tenebrio molitor memiliki nilai positif khususnya
ketika dalam fase larva (dalam bentuk ulat). Ulat tepung dapat diternakkan dan
dijadikan komoditi yang dapat diperjualbelikan. Kandungan nutrisi yang tinggi pada
ulat tersebut yaitu sekitar 48% protein dan 40% energi (Purwakusuma, 2007)
menyebabkan banyak peternak mengunakan Tenebrio molitor sebagai sumber pakan
bagi ternaknya. Selain itu, Tenebrio molitor juga dapat digunakan sebagai makanan
alternatif sumber protein bagi manusia.
Mengingat kegunaan dari Tenebrio molitor di atas, maka perlu dilakukan
pembudidayaan agar ketersediannya tetap dapat memenuhi permintaan konsumen.
Untuk mendapatkan produktifitas ulat yang baik dapat dilakukan melalui perbaikan
dalam manajemen pemeliharaan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam
manajemen pemeliharaan ulat tepung yaitu perkembangbiakannya.
Siklus hidup ulat tepung terdiri dari empat tahap yaitu telur, larva, pupa dan
imago (dewasa). Pada tahapan dewasa dikenal sebagai masa kawin karena pada
tahap tersebut organ reproduksinya sudah sempurna. Pada umumnya, serangga betina
hanya bersifat menerima sperma dari jantan dan karena umurnya yang singkat,
menyebabkan serangga melakukan perkawinan dengan banyak jantan (poliandri)
2 masa hidupnya. Dengan demikian perlu diketahui perbandingan (rasio) antara jantan
dan betina yang akan dikawinkan untuk mendapatkan hasil terbaik.
Pembudidayaan ulat tepung yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya
hanya memperhatikan masalah perkandangan dan pemberian pakannya saja,
sementara masalah reproduksi tidak terlalu diperhatikan (Warintek, 2007). Hal
tersebut mungkin disebabkan karena sulitnya membedakan jenis kelamin pada
kumbang ulat tepung sehingga tidak mengefisienkan waktu mereka. Akan tetapi jika
diperhatikan secara benar, perbedaan antara jantan dan betina tersebut masih dapat
diidentifikasi meskipun hanya terdapat sedikit ciri yang membedakan antara jantan
dan betina. Perbedaan yang terlihat yaitu pada bagian ujung perutnya atau pada
beberapa segmen terakhir dari perutnya. Kumbang betina memiliki sedikit pemisah
diantara tiga bagian segmen perut paling ujung dan hampir tidak terlihat. Sedangkan
pada jantan memiliki membran intersegmental yang berwarna terang.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasio jantan dan betina terbaik
untuk menghasilkan larva dalam jumlah yang banyak. Serta untuk mengetahui
TINJAUAN PUSTAKA
Ulat Tepung (Tenebrio molitor L.)
Ulat tepung (Tenebrio molitor) dikenal juga oleh kebanyakan masyarakat
sebagai ulat hongkong. Ulat tepung merupakan kumbang yang memiliki warna
merah kehitaman atau hitam (Purwakusuma, 2007) dan termasuk ke dalam ordo
Coleoptera (Frost, 1959). Menurut Street (1999) taksonomi dari Tenebrio molitor
yaitu:
Spesies : Tenebrio molitor
Ordo Coleoptera merupakan ordo terbesar dari serangga, kurang lebih 40% dari
seluruh jumlah serangga yang ada (Borror et al., 1982). Serangga ini aktif di malam
hari dan sering menyerang makanan cadangan manusia seperti biji-bijian, sereal, dan
lainnya (Purwakusuma, 2007). Borror et al. (1982) menjelaskan bahwa serangga
yang termasuk ke dalam golongan Tenebrionid memiliki tipe mulut pengunyah dan
senang berada di tempat yang gelap.
Morfologi dan Siklus Hidup
Siklus hidup ulat hongkong terdiri dari empat tahap, yaitu telur, larva,
kepompong (pupa) serta serangga dewasa dan siklus ini bisa berlangsung antara 3–4
bulan (Purwakusuma, 2007) melalui proses matamorfosis sempurna (Enchanted
Learning, 2007). Menurut Sastrodihardjo (1984), serangga yang mengalami
metamorfosis sempurna memiliki bentuk serangga muda (larva) sangat berbeda
dengan serangga dewasa atau imago. Diantara stadium larva dan dewasa terdapat
stadium pupa. Pada stadium pupa terjadi berbagai perubahan pada organ larva dan
diganti dengan organ imago (dewasa) meskipun beberapa organ larva masih ada
yang terbawa menjadi organ imago. Siklus hidup kumbang Tenebrio molitor dapat
1-4 hari
lus Hidup Kumbang Tenebrio molitor
ber: 1. Hechunli (2007) 2. Nyworms (2007) 3. Salem (2002)
mempunyai bentuk yang beraneka ragam
mnya berbentuk seperti kacang dalam bentuk
akusuma, 2007). Lyon (1991) menyatakan b
at mengeluarkan telur sebanyak 275 butir sela
ga pada umumnya tidak melebihi 3,5 mm, seh
caya, 1995). Telur dari kumbang ulat tepung m
adi, 2003). Kebanyakan telur serangga diletak
a memberikan sejumlah perlindungan sehing
unyai kondisi yang cocok bagi perkembanga
serangga bervariasi, ada yang sekaligus me
5 yang di keluarkan oleh kumbang betina T. molitor akan menetas menjadi ulat tepung
kecil (fase larva) dalam waktu 4-14 hari (Lyon, 1991).
Larva
Larva ulat tepung memiliki bentuk seperti cacing, halus, keras, memanjang
(Lyon, 1991), berwarna kuning terang dengan panjang badan sekitar 35 mm dan
lebar 3 mm (Hechunli, 2007). Larva tidak memiliki sayap, berbeda dengan nimfa
pada proses metamorfosis sederhana (Pracaya, 1995) dan biasanya mempunyai 13-15
segmen yang berwarna coklat kekuning-kuningan (Salem, 2002). Umur larva
biasanya berkisar antara 50-122 hari mulai dari awal menetas sampai sebelum
menjadi pupa (Hechunli, 2007).
Setelah larva keluar dari telur, pertumbuhan selanjutnya akan terhalang oleh
dinding tubuh yang keras. Hal ini yang menyebabkan terjadinya pergantian kulit
(moulting) pada larva. Setelah berganti kulit, serangga akan bertambah besar dan
berubah bentuk (Sastrodihardjo, 1984). Larva akan mengalami moulting antara 9-20
kali sebelum menjadi pupa (Lyon, 1991). Pergantian kulit pada serangga ditandai
dengan serangkaian kejadian fisiologis yang dikaitkan dengan proses apolisis dan
ekdisis. Apolisis secara khusus berkaitan dengan pelepasan secara bertahap
epidermis anteroseptor dari kutikula, sedangkan ekdisis berkaitan dengan
pengguguran kutikula lama (Hepburn, 1985).
Pupa
Pupa merupakan salah satu tahapan hidup dari serangga yang mengalami
metamorfosis sempurna. Fase pupa biasanya disebut juga sebagai fase diam (Uen,
2007) karena pada fase ini ulat berhenti makan dan jarang terlihat aktifitasnya,
terkecuali jika ada gangguan dari lingkungan. Ditambahkan oleh Purwakusuma
(2007) bahwa meskipun mereka terlihat tidak aktif, mereka akan tetap merespon
berupa gerakan apabila disentuh, biasanya berupa gerakan memutar. Salem (2002)
menjelaskan bahwa selama dalam fase pupa, terjadi perubahan dari larva menjadi
dewasa.
Pupa dikenal juga sebagai fase yang terlihat tidak aktif dan tidak makan,
sehingga akan terjadi penurunan bobot badan karena banyaknya energi yang
6 2007). Lubis (2006) menyebutkan bahwa pupa memiliki rataan bobot badan sekitar
0,1348 g/ekor. Pada tahapan pupa, dibutuhkan waktu sekitar 7-24 hari sampai
akhirnya pupa menjadi kumbang (Lyon, 1991). Akan tetapi, lamanya periode pupa
juga bisa mencapai 30 hari pada suhu 15°C, 9 hari pada suhu 25°C dan 6 hari pada
35°C (Wikipedia, 2007b).
Imago (Serangga Dewasa)
Fase imago (dewasa) merupakan tahap perkembangan terakhir pada serangga
setelah munculnya pupa pada proses metamorfosis sempurna. Pada fase ini, serangga
akan mengalami kedewasaan organ kelamin dan pertumbuhan sayap (Wikipedia,
2007b). Coleoptera memiliki dua pasang sayap (Partosoedjono, 1985), sayap-sayap
tersebut berkembang di bagian dalam selama tahapan pradewasa (Borror et al.,
1982). Pasangan pertama disebut elytra (Partosoedjono, 1985), sayap ini menebal
dan berfungsi sebagai pelindung sayap belakangnya (Pracaya, 1995). Satu pasangan
sayap kedua tipis dan lebih panjang dari pasangan sayap petama, apabila dalam
keadaan tidak terbang maka sayap tersebut dilipat (Partosoedjono, 1985). Meskipun
kumbang ulat tepung memiliki sayap, akan tetapi kemampuannya untuk terbang
kurang baik karena terganggu oleh adanya elytra (Pracaya, 2007).
Kumbang ulat tepung memiliki panjang antara 23-26 mm dan berwarna hitam
kemerahan sampai hitam (Fossweb, 2007). Ketika baru keluar dari pupa, kumbang
dewasa umumnya berwarna putih atau pucat (Borror et al., 1982) kemudian
mengalami pengerasan dan berwarna lebih gelap (Amir dan Kahono, 2003).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Siklus Hidup Tenebrio molitor
Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi aktifitas serangga
(Husaeni dan Nandika, 1989). Secara umum, serangga bersifat poikilothermi, yaitu
suhu tubuhnya naik dan turun mengikuti suhu lingkungan (Triplehorn dan Johnson,
2005). Menurut Borror et al. (1982), suhu yang optimum untuk pertumbuhan
serangga sekitar 260C. Sementara menurut Haines (1991), ulat tepung mampu
bertahan hidup pada kisaran suhu antara 25-27 0C dengan kelembaban minimum
20%. Borror et al. (1982) menjelaskan bahwa ulat tepung mampu mengekstraksi uap
air dari udara bila kelembaban melebihi 90%. Dengan demikian, kisaran kelembaban
yang dapat ditolelir oleh ulat tepung adalah 20-90 %. Culin (2008) menjelaskan
7 lambat, bahkan bisa mencapai enam bulan. Dengan demikian, adanya perbedaan
suhu dapat mempengaruhi lamanya waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus
pertumbuhan.
Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan adanya pertambahan sel (hyperplasia) dan
peningkatan ukuran sel (hypertropi) (Maynard dan Loosli, 1956) yang biasanya
dicerminkan dengan adanya pertambahan bobot badan (Bursell, 1970). Serangga
memiliki kerangka luar (kutikula) yang harus dikelupaskan atau dilepaskan apabila
serangga tumbuh karena kutikula ini akan membatasi ukuran suatu serangga (Borror
et al., 1982; Bursell, 1970).
Dalam pertumbuhan serangga dikenal adanya moulting. Moulting merupakan
mekanisme dasar pertumbuhan pada serangga yang dikondisikan dengan kutikula
(Wiglesworth, 1792). Terjadinya moulting dikontrol oleh tiga hormon yaitu PTTH
(hormon protorasikotropik), hormon juvenil dan hormon ekdison. Tahapan
pergantian kulit dirangsang oleh pengeluaran PTTH (hormon protorasikotropik) atau
hormon otak yang merangsang kelenjar-kelenjar protoraks atau kelenjar
pertumbuhan untuk mengeluarkan ekdison. Ekdison sendiri berperan dalam
merangsang apolisis dan mendorong pertumbuhan. Sedangkan hormon juvenil
berperan dalam proses pupasi. Jika hormon juvenil tidak ada, maka larva akan
berubah menjadi pupa (Borror et al., 1982).
Habitat
Serangga T. molitor mempunyai sebaran luas hampir di seluruh permukaan
bumi (Purwakusuma, 2007). Kehidupan beberapa serangga sangat dipengaruhi oleh
kelembaban tempat hidupnya. Akan tetapi, serangga dapat bertahan hidup pada
kelembaban yang ekstrim karena serangga mampu menyeimbangkan kadar air tubuh
dengan kadar air lingkungannya (Bursell, 1970). Larva T. molitor mampu
mengekstraksi uap air dari udara bila kelembaban secara relatif melebihi 90%
(Borror et al., 1982).
Sebagai hama, ulat tepung sering ditemukan dalam gudang, fasilitas
penyimpanan biji-bijian dan tempat penyimpanan makanan. Organisme ini lebih
8 menyediakan lingkungan yang lebih baik untuk kehidupannya bila dibandingkan jika
mereka hidup di alam bebas (Fossweb, 2007).
Reproduksi
Reproduksi merupakan suatu hal yang istimewa yang secara fisiologis tidak
esensial untuk kehidupan individu, tetapi sangat penting dalam memperoleh
keturunan (Elzinga, 2004). Kumbang Tenebrio molitor memiliki tiga tahapan
perkawinan. Pada tahap pertama, jantan mengejar betina sampai betina kelelahan
dan menyerah. Kemudian jantan menaiki betina dan membengkokkan perut bagian
belakangnya ke bawah dan dimasukan ke dalam betina. Tahapan terakhir dari
perkawinan tersebut adalah adanya sperma yang dikeluarkan dari jantan ke betina
(Wikipedia, 2007b). Worden dan Parker (2001) menjelaskan bahwa lamanya waktu
perkawinan yang normal pada kumbang ulat tepung yaitu pada kisaran 45-120 detik.
Gambar 2. Perkawinan Kumbang Tenebrio molitor.
Fungsi alamiah dari seekor jantan adalah menghasilkan sel-sel kelamin jantan
atau spermatozoa yang hidup, aktif dan potensial fertil serta secara sempurna
meletakkannya ke dalam saluran kelamin betina (Toelihere, 1981). Selain itu, alat
kelamin jantan dilengkapi dengan clasper atau alat yang digunakan untuk memegang
betina (Pracaya, 1995). Selain jantan, betina juga memegang peran penting dalam
proses reproduksi karena betina menghasilkan sel telur dalam jumlah yang banyak
(Sastrodihardjo, 1984) dan dilengkapi dengan ovipositor (alat untuk memasukkan
telur ke dalam tanah atau jaringan tanaman) (Pracaya, 1995).
Jenis kelamin serangga kadang-kadang tidak bisa dibedakan dari luar karena
perbedaannya hanya sedikit sekali (Pracaya, 1995). Pada umumnya serangga
biasanya bisexual yaitu terdapat jantan dan betina pada dua individu yang terpisah
9 sperma dari jantan dan karena umurnya yang singkat, menyebabkan serangga
melakukan perkawinan dengan banyak jantan (poliandri) (Drnevich et al., 2000).
Betina yang kawin dengan lebih dari satu jantan akan menerima dua
keuntungan yaitu keuntungan secara material maupun genetik, dan kedua jenis
keuntungan ini sangat sulit untuk dibedakan (Worden dan Parker, 2001). Drnevich et
al. (2000) menjelaskan bahwa secara umum, keuntungan meterial dapat
meningkatkan produktifitas betina secara langsung yaitu melalui peningkatan jumlah
atau ukuran telur. Sedangkan keuntungan genetik akan meningkatkan produktfitas
betina secara tidak langsung yaitu melalui peningkatan kualitas genetik
keturunannya.
Alat kelamin serangga biasanya terdapat pada ujung perut, persisnya pada
ruas kedelapan atau kesembilan. Pada serangga jantan struktur yang berkembang
adalah dari ruas ke-10 yang berfungsi untuk kopulasi, sedangkan pada yang betina
yaitu dari ruas ke-8 dan ke-9 terutama untuk bertelur. Struktur kelamin luar tersebut
bila tidak dipakai akan ditarik masuk ke dalam sehingga tidak dapat dilihat dari luar
(Partosoedjono, 1985). Perbedaan jenis kelamin pada kumbang ulat tepung terlihat
pada bagian ujung perutnya atau pada beberapa segmen terakhir dari perutnya.
Kumbang betina memiliki sedikit pemisah diantara tiga bagian segmen perut paling
ujung dan hampir tidak terlihat. Sedangkan pada jantan memiliki membran
intersegmental yang berwarna terang (Bhattacharya dan Waldbauer, 1970).
Mortalitas
Mortalitas merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat keberhasilan dari suatu usaha peternakan. Hutauruk (2005)
menjelaskan bahwa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya mortalitas adalah
stres yang tinggi akibat suhu dan kelembaban udara yang tidak sesuai, jumlah
populasi atau kepadatan dan tempat pemeliharaan serta manajemen pemeliharaan
yang kurang baik. Hampir semua serangga sensitif terhadap panas (Marlanti, 2006).
Culin (2005) menambahkan bahwa semakin rendah suhu lingkungan akan
menyebabkan terlambatnya perkembangan ulat tepung, bahkan bisa mencapai enam
10
Manfaat Tenebrio molitor
Sebagai Pakan Ternak
Di kalangan peternak Indonesia, ulat tepung ini dibagi ke dalam dua
golongan yaitu ulat tepung kecil atau ulat hongkong (yellow mealworms) dan ulat
tepung besar atau ulat jerman (king mealworms). Ulat tepung biasanya digunakan
sebagai pakan untuk burung, kura-kura, reptil, katak, anjing, kucing dan ikan
akuarium karena memiliki kandungan nutrisi yang baik untuk mendukung
pertumbuhannya (nyworms, 2007; Shaghai Baoshan Area Huang Fenchong Breeding
Farm, 2008). Secara umum ulat tepung terbagi ke dalam tiga tipe yaitu superworm
(Zophobas morio), giant mealworm dan mealworm (Tenebrio molitor) (Chameleon`s
Dish, 2006). Di Indonesia, giant mealworm jarang sekali ditemukan bahkan
mungkin tidak ada. Jenis ulat yang sering ditemukan sekarang adalah superworm
(ulat jerman) dan mealworm (ulat hongkong). Akan tetapi, keberadaan ulat hongkong
kini sudah jarang ditemukan di pasaran.
Gambar 3. Superworm (ulat jerman) (A), giant mealworm (B) dan mealworm (ulat hongkong) (C).
Sumber : Chameleon`s Dish (2006)
Burdett (1999) menyarankan agar tidak membeli ulat tepung giant karena
mereka telah mendapatkan penambahan hormone pertumbuhan serangga (insect
growth hormone) untuk mencegah mereka berubah menjadi kumbang. Ulat tepung
jenis ini hanya akan mengalami pertambahan ukuran saja dan jika ulat ini berubah
menjadi kumbang, kemungkinan kumbang-kumbang tersebut akan steril. A
B
11 Penggunaan ulat tepung sebagai sumber pakan dipilih karena kandungan
nutrisinya yang tinggi terutama pada protein dan lemaknya. Persentase kandungan
protein dan lemak berturut-turut adalah 48-56,58 % dan 25-40 % (Ecvv, 2008;
Purwakusuma, 2007; Shanghai Baoshan Area Huang Fenchong Breeding Farm,
2008). Kandungan nutrisi ulat tepung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Nutrisi dan Asam Amino Ulat Tepung.
Sumber : 1. Shanghai Baoshan Area Huang Fenchong Breeding Farm (2008) 2. Purwakusuma (2007)
3. Ecvv (2008)
Sebagai Tambahan Protein Bagi Manusia
Ulat tepung dapat dijadikan makanan tambahan alternatif bagi manusia
khususnya untuk meningkatkan kandungan nutrisi dalam makanan. Ulat tepung
dapat dibuat menjadi ulat tepung kering (dried yellow mealworm) dan tepung ulat
tepung (mealworm powder). Bahan-bahan tersebut dapat ditambahkan dalam roti,
mie instan, kue tart dan biskuit (Haocheng Yellow Mealworm, 2002; Ecvv, 2008).
Penggunaan dan pengkonsumsian serangga ini sebagai makanan tergantung dari
budaya masyarakat.
Perkembangan Usaha Ulat Tepung
Di Cina, ulat tepung sudah dijadikan tepung ulat tepung yang digunakan
sebagai bahan tambahan dalam makanan untuk meningkatkan kandungan nutrisinya.
Bahkan sudah didirikan perusahaan yang khusus untuk menangani masalah breeding
12 dan penjualan ulat tepung. Perusahaan tersebut sudah dapat memproduksi 50 ton ulat
tepung hidup per bulan dan mengekspor 200 ton ulat tepung kering per tahun ke
daerah Amerika Utara, Eropa, Australia, Asia Tenggara, Jepang dan lain-lain
(Haocheng Yellow Mealworm, 2002).
Di Indonesia sendiri, belum ditemukan adanya perusahaan khusus yang
menangani produksi dan pemasaran ulat hongkong. Perkembangan ulat hongkong
dimulai pada tahun 1977-1978 dengan harga per kilogramnya saat itu sekitar Rp
60.000,00. Seiring dengan banyaknya orang yang memelihara ulat hongkong, harga
per kilogramnya anjlok menjadi Rp 7.500,00 (pada tahun 90-an). Kemudian pada
tahun 2007, harga ulat ini sudah mencapai Rp 50.000,00 – Rp 60.000,00 per
kilogramnya (Karjono, 1999).
Sistem Pemeliharaan
Ulat Hongkong (Tenebrio molitor)
Memelihara dan mengembangbiakkan ulat tepung sangat mudah. Untuk awal
pemeliharaan, ulat tepung (dalam bentuk larva) bisa dibeli di pasar-pasar burung dan
pakan. Biasanya, larva ulat tepung yang dijual berukuran 1-2 cm dan membutuhkan
waktu kira-kira satu bulan untuk menjadi kumbang. Kumbang ulat tepung biasanya
ditempatkan pada wadah-wadah plastik (untuk pemeliharaan dalam skala kecil) atau
pada kotak kayu (dengan ukuran panjang 80 cm; lebar 60 cm; tinggi 6-7 cm untuk
skala besar). Bagian atas tempat pemeliharaan dibiarkan terbuka dan pada dinding
bagian atasnya dilapisi lakban plastik agar larva maupun kumbang ulat tepung tidak
keluar (Karjono, 1999)
Sebagai pakannya, biasanya ditambahkan 1-3 cm pakan ayam komersial
yang sekaligus menjadi media hidup ulat tepung. Dapat juga digunakan campuran
onggok dan ampas tahu (di Indonesia), gandum, tepung roti atau sereal (di Luar
Negeri). Tambahan sayuran dan buah-buahan digunakan untuk memenuhi kebutuhan
air ulat tepung. Akan tetapi jika menggunakan ampas tahu, penambahan sayuran atau
buah-buahan dalam pakan tidak diharuskan (Tricia`s Water Dragon, 2006; Karjono,
1999).
Untuk media bertelur, biasanya ditambahkan kapas setebal 1 cm atau
potongan kayu yang berlubang yang diletakkan di atas lapisan pakan. Kemudian
13 potongan kayu berlubang. Pemindahan Induk kumbang dilakukan setiap 10 hari
sekali pada tempat yang berbeda sampai kumbang tersebut mati. Setelah larva mulai
terlihat, larva diayak dan dibagi kedalam dua tempat untuk seterusnya dipelihara.
Pada saat pemeliharaan larva, tidak perlu ditambahkan kapas atau potongan kayu
berpori. Larva-larva yang dipelihara akan berubah menjadi pupa kemudian pupa
menjadi kumbang. Setelah dewasa, kumbang-kumbang ini akan melakukan
perkawinan dan menghasilkan telur (Tricia`s Water Dragon, 2006; Karjono, 1999).
King Mealworm (Zophobas morio)
Sistem pemeliharaan king mealworm (ulat jerman) sedikit berbeda dengan
ulat hongkong. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memilih 10 ekor ulat
jerman (bisa kurang atau lebih). Kemudian ulat jerman dimasukkan ke dalam bekas
tempat film, botol pil atau tempat yang tidak terlalu besar secara individu. jika
menggunakan tempat film atau botol pil sebaiknya diberi tutup yang sebelumnya
telah dilubangi. Untuk pakan ulat jerman, dapat menggunakan pakan komersial ayam
petelur atau yang sejenisnya kira-kira 1/3-1/2 tinggi tempat pemeliharaan. Setelah
ulat-ulat menjadi pupa, kira-kira dibutuhkan waktu satu minggu untuk mendapatkan
kumbang ulat jerman. Kumbang-kumbang yang didapatkan kemudian disatukan pada
tempat yang lebih luas yang telah dialasi dengan pakan dan dibiarkan kawin. Satu
bulan setelah penyatuan kumbang, maka larva-larva kecil ulat jerman akan mulai
terlihat. Ulat-ulat tersebut dibiarkan dalam tempat pemeliharaan sampai cukup besar
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor yang dimulai pada bulan November 2007 sampai Mei 2008. Analisa
kandungan nutrisi media yang digunakan dilakukan di Pusat Penelitian Sumberdaya
Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat,
Institut Pertanian Bogor.
Materi
Kumbang Ulat Tepung
Kumbang ulat tepung (T. molitor) yang digunakan adalah kumbang berumur
8 hari sebanyak 36 ekor yang terdiri dari 9 ekor kumbang betina dan 27 ekor
kumbang jantan. Kumbang ini diperoleh dari hasil pemeliharaan ulat tepung yang
dibeli dari Pasar Burung Bandung.
Pakan
Pakan yang diberikan pada kumbang ulat tepung adalah 100% konsentrat
(pakan ayam broiler yang diperoleh dari pasar Gunung Batu) dan irisan wortel untuk
memenuhi kebutuhan airnya. Wortel diiris dengan diameter rata-rata 1 cm dan tinggi
0,2 mm. Pakan yang diberikan pada larva adalah 100% konsentrat. Kandungan
nutrisi pakan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Zat Nutrisi Konsentrat yang Digunakan
Zat Nutrisi Jumlah
15
Peralatan
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah rak, baki plastik
(insektarium) untuk tempat penyimpanan pupa sebelum menjadi kumbang yang akan
digunakan dalam penelitian, kuas untuk alat bantu dalam menghitung jumlah larva,
sendok plastik, kertas berwarna hitam yang digunakan sebagai media bertelur
kumbang betina, gelas plastik untuk tempat pembiakan ulat tepung, timbangan untuk
menimbang larva ulat tepung, sapu kecil untuk membersihkan kandang,
termohigrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban serta alat tulis dan tabel
untuk mencatat hasil pengamatan.
Rancangan
Perlakuan
Penelitian ini dirancang dalam tiga perlakuan. Perlakuan pertama (BJ1) yaitu
mengawinkan satu ekor kumbang betina dengan satu ekor kumbang jantan,
perlakuan kedua (BJ3) yaitu mengawinkan satu ekor kumbang betina dengan tiga
ekor kumbang jantan dan perlakuan yang ketiga (BJ5) yaitu mengawinkan satu ekor
kumbang betina dengan lima ekor kumbang jantan. Masing-masing perlakuan terdiri
dari lima ulangan sehingga terdapat 15 satuan pengamatan. Perlakuan pertama
dianggap sebagai kontrol. Perlakuan tersebut dinotasikan kedalam:
BJ1 : Perkawinan satu betina dengan satu jantan
BJ3 : Perkawinan satu betina dengan tiga jantan
BJ5 : Perkawinan satu betina dengan lima jantan
Model
Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
menggunakan model matematika dari Gaspersz (1995) yaitu:
Yij = + αi + εij
16
Peubah yang Diamati
1. Jumlah larva/satuan pengamatan
Jumlah larva dihitung setiap sepuluh hari sekali mulai dari hari ke-20 setelah
pengawinan kumbang.
2. Bobot Larva Total
Larva dihitung dan ditimbang tiap 10 hari sejak larva berumur 33 hari (40
hari setelah pengawinan kumbang). Bobot akhir larva diambil pada saat
perhitungan ke-X sebelum didapatkannya pupa pertama kali. Untuk
mendapatkan rata-rata bobot larva per individu, maka bobot massa larva
dibagi dengan jumlah larva total. Penimbangan ini dilakukan sampai semua
larva dalam satuan pengamatan berubah menjadi pupa.
3. Bobot Pupa
Penimbangan dilakukan ketika larva sudah berubah menjadi pupa.
Penimbangan ini dilakukan setiap kali ada larva yang berubah menjadi pupa.
Pengamatan untuk melihat adanya perubahan fase dari larva menjadi pupa
dilakukan tiga kali sehari.
4. Bobot Kumbang
Penimbangan dilakukan ketika kumbang sudah keluar dari fase pupa.
Penimbangan ini dilakukan setiap kali ada pupa yang berubah menjadi
kumbang. Akan tetapi jika warna tubuh kumbang masih putih, penimbangan
ditunda beberapa saat sampai tubuh kumbang cukup keras atau agak
kecokelatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya kanibalisme
diantara kumbang. Pengamatan untuk melihat adanya perubahan fase pupa
menjadi kumbang dilakukan setiap tiga kali sehari.
5. Mortalitas larva/satuan pengamatan (%)
Mortalitas larva ulat tepung dihitung dengan cara mengurangi total populasi
larva ulat tepung saat penghitungan dengan jumlah larva yang telah berubah
menjadi pupa. Rumus yang digunakan yaitu:
17 6. Mortalitas pupa/satuan pengamatan (%)
Mortalitas pupa dihitung dengan cara mengurangi jumlah pupa total dengan
jumlah pupa yang telah menjadi kumbang. Rumus yang digunakan yaitu:
Mortalitas Pupa = Jumlah pupa - jumlah pupa yang menjadi kumbang X 100% Jumlah pupa
7. Jumlah Kumbang Jantan dan Betina Anaknya
Pupa yang telah berubah menjadi kumbang kemudian diidentifikasi untuk
membedakan jenis kelaminnya. Kumbang jantan dan betina yang didapatkan
kemudian dipisahkan dan dilakukan penghitungan untuk mengetahui
jumlahnya.
Data pendukung yang diamati yaitu :
1. Temperatur Kandang.
Dilakukan pada pagi hari (pukul 08.00 WIB), siang hari (pukul 12.00 WIB)
dan sore hari (pukul 15.00 WIB).
2. Kelembaban Kandang.
Dilakukan pada pagi hari (pukul 08.00 WIB), siang hari (pukul 12.00 WIB)
dan sore hari (pukul 15.00 WIB).
Analisa Data
Untuk mengetahui pengaruh masing-masing perlakuan terhadap parameter
yang diukur, data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam
(ANOVA). Apabila terdapat hasil yang berbeda, akan dilanjutkan dengan uji Tukey.
Kecuali untuk bobot larva dan sex rasio kumbang jantan F1. Bobot larva dianalisis
secara deskriptif sedangkan jumlah kumbang F1dianalisis menggunakan Chi-kuadrat
dengan model yang disadur dari Noor (2004) yaitu:
X2 = ∑
18
Prosedur
Tahap Persiapan
Materi awal penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah kumbang ulat
tepung hasil budidaya di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan. Kumbang
diperoleh dan dikumpulkan mulai dari fase pupa. Pupa kemudian ditempatkan pada
baki plastik yang berukuran 35 x 28 x 16 cm tanpa diberi alas pakan. Pupa yang
telah berubah menjadi kumbang kemudian diidentifikasi dan dikumpulkan sampai
terdapat sembilan ekor kumbang betina dan 27 ekor kumbang jantan yang memiliki
umur yang sama. Kumbang tersebut kemudian dipisahkan ke dalam wadah yang
terpisah sebelum diberi perlakuan. Dipersiapkan juga kumbang jantan maupun betina
stok dengan umur yang sama sebagai pengganti apabila kumbang jantan maupun
betina tidak mau melakukan perkawinan. Dalam pemeliharaannya, kumbang jantan
dan betina stok dikondisikan sama dengan kumbang jantan dan betina yang akan
dipakai dalam perlakuan.
Tahap Penelitian
Kumbang ulat tepung yang telah berumur 8 hari (virgin) kemudian disatukan
untuk dikawinkan sesuai dengan perlakuannya. Tempat perkawinan yang digunakan
adalah gelas plastik yang sudah diisi dengan konsentrat sebanyak 1/8 dari tinggi
gelas. Konsentrat tersebut digunakan sebagai media hidup dan juga pakan bagi
kumbang betina dan larva yang baru menetas. Setelah selesai melakukan proses
perkawinan, pakan kumbang betina ditambah dengan irisan wortel yang berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan air kumbang. Media bertelur yang digunakan adalah
kertas hitam yang diletakkan kedalam gelas plastik jika proses perkawinan telah
selesai. Ilustrasi tempat dan media yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 4.
Lamanya perkawinan diperkirakan 45-120 detik. Jika selama 10 menit
kumbang jantan maupun betina belum melakukan perkawinan, maka dilakukan
penggantian kumbang jantan yang diperoleh dari jantan stok. Jika selama 10 menit
kemudian belum juga terjadi perkawinan, maka dilakukan penggantian kumbang
betina yang diperoleh dari betina stok. Jika pada perkawinan kedua dan selanjutnya
tidak terjadi perkawinan, maka hanya dilakukan penggantian kumbang jantan saja
19 betina sebanyak satu kali. Tabel waktu kegiatan perkawinan kumbang dapat dilihat
pada Lampiran 20.
Tempat Bertelur Tempat Pembesaran
Gambar 4. Tempat dan Media yang Digunakan Untuk Perkembangbiakan
Setelah kumbang selesai melakukan perkawinan, maka kumbang jantan
segera dipisahkan dari kumbang betina. Kumbang betina dipindahkan pada media
yang baru setiap lima hari sekali sampai dengan hari ke 20. Penghitungan jumlah
larva pertama kali dilakukan pada hari ke-20 setelah pengawinan kumbang.
Larva-larva yang diperoleh dari masing-masing gelas plastik kemudian dipindahkan ke
dalam media pertumbuhan setelah sebelumnya dilakukan penghitungan.
Penghitungan jumlah larva dilakukan setiap 10 hari sekali bersamaan dengan
penggantian pakan. Media pertumbuhan yang digunakan sama dengan media
perkawinan kumbang. Larva yang telah berubah menjadi pupa kemudian dihitung
dan dikumpulkan kedalam satu tempat sesuai dengan perlakuannya. Penghitungan
20 diikuti dengan proses identifikasi jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin kumbang
ulat tepung dan alur kegiatan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 dan
Gambar 6.
Gambar 5. Perbedaan Jenis Kelamin Kumbang Ulat Tepung
21
Alur Kerja Penelitian
Larva ulat tepung
Kumbang
Pengumpulan kumbang
Identifikasi dan pemisahan kumbang jantan dan betina
Kumbang jantan (27 ekor) + jantan stok
Kumbang betina (9 ekor) + betina stok
Pengawinan kumbang
Pemindahan induk kumbang betina setiap lima hari sekali s.d. hari ke-20
Tempat I
Tempat II
Tempat III
Tempat IV