• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usaha peternakan ayam broiler terlihat mulai kembali berkembang setelah Indonesia dilanda krisis pada tahun 1997. Hal ini dapat dilihat dari terjadinya peningkatan populasi ayam broiler dari tahun 2000 sampai tahun 2004 sebesar 51,86%, dari sekitar 646 juta ekor menjadi 981 juta ekor seperti diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Populasi Ayam Ras

Tahun Ayam Broiler Ayam Layer Juta ekor 2000 646,0 57,6 2001 832,0 70,0 2002 898,0 73,5 2003 1.027,0 85,0 2004 981,0 75,6

Sumber : Mulyantono (Februari 2005)

Pada umumnya, usaha peternakan di Indonesia dapat dibedakan menjadi perusahaan peternakan dan peternakan rakyat. Menurut Undang-undang Peternakan tahun 1967 pasal 9 ayat 2 dan 3, peternakan rakyat adalah peternakan yang dikelola hanya sebagai usaha sampingan selain usaha pertanian, sedangkan perusahaan peternakan adalah peternakan yang dikelola secara profesional.

Sistem Bagi Hasil

Kerjasama permodalan pada usaha peternakan ayam broiler terdiri dari tiga jenis yaitu model mandiri, kemitraan dan bagi hasil. Menurut UU No. 9 Tahun 1995 kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar yang disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh perusahaan dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Pola kemitraan yang tercantum dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 940.Kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian terbagi menjadi lima macam, yaitu: (1) Pola Inti Plasma: merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra (perusahaan inti) dengan kelompok mitra. Perusahaan mitra (perusahaan inti) bertindak sebagai inti yang menampung, membeli hasil produksi, memberikan pembinaan teknologi maupun bimbingan teknis, (2) Pola Subkontrak; merupakan hubungan

6 kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan inti yang ada di dalamnya kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra (perusahaan inti) sebagai bagian dari produksinya, (3) Pola Dagang Umum; merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra (perusahaan inti) yang di dalamnya perusahaan mitra memasarkan hasil produksi kelompok mitra atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra, (4) Pola Keagenan; merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra (perusahaan inti) yang di dalamnya kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha perusahaan mitra, dan (5) Pola Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA); merupakan hubungan kemitraan, dimana kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan mitra (perusahaan inti) menyediakan biaya atau modal serta sarana untuk mengusahakan dan membudidayakan suatu komoditi pertanian.

Hasil penelitian Fitrifani (2003), menyatakan bahwa pola kemitraan antara peternak ayam broiler dengan Poultry Shop Sukahati adalah pola kemitraan inti-plasma. Pola kemitraan ini, pihak inti yaitu Poultry Shop Sukahati memberikan modal berupa sarana produksi peternakan (DOC, pakan dan obat-obatan) tanpa jaminan kepada pihak plasma yaitu peternak mitra dan pihak plasma menyediakan kandang, peralatan dan tenaga kerja. Plasma berkewajiban menjual hasil kepada inti dengan mendapatkan penerimaan dari upah bonus, selain itu biaya tunai yang dikeluarkan oleh peternak mitra dan peternak mandiri berbeda. Hal ini disebabkan, biaya sarana produksi yang seharusnya dikeluarkan oleh peternak mitra ditanggung oleh perusahaan mitra (perusahaan inti) sedangkan untuk peternak mandiri semua biaya sarana produksi ditanggung sendiri. Biaya tunai yang dikeluarkan peternak mitra hanya untuk biaya sekam, sewa kandang, tenaga kerja luar keluarga, minyak tanah serta listrik.

Menurut Undang-undang Peternakan tahun 1967 pasal 17 tentang Bagi Hasil Ternak dan Persewaan Ternak, ayat (1) peternak atas dasar bagi hasil ialah penyerahan ternak sebagai amanat yang dititipkan kepada orang lain untuk dipelihara baik-baik, diternakkan dengan perjanjian bahwa dalam waktu tertentu titipan tersebut dibayar kembali berupa ternak keturunannya atau dalam bentuk

7 lain yang disetujui oleh kedua belah pihak, ayat (2) waktu tertentu yang dimaksud pada ayat (1) tidak boleh kurang dari 5 (lima) tahun jika ternak atas dasar bagi hasil tersebut termasuk ternak besar tetapi untuk ternak kecil jangka waktu itu dapat diperpendek.

Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh peternak mandiri maupun peternak dengan sistem bagi hasil hampir sama komposisinya. Berbeda dengan peternak model kemitraan, pada peternak plasma sarana produksi ternaknya semua disediakan oleh peternak inti. Perhitungan untuk keseluruhan pengeluaran yang digunakan untuk produksi pada peternak plasma tetap dihitung sebagai biaya. Penelitian Nugroho (2004) menunjukkan perbedaan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh dua jenis usaha peternakan. Biaya tenaga kerja pada peternak mandiri dikeluarkan hanya untuk staf kandang saja, sedangkan pada peternak plasma biaya tenaga kerja selain untuk staf kandang juga dikeluarkan untuk manajer kandang. Biaya pakan yang dikeluarkan oleh kedua jenis peternakan ayam broiler besarnya relatif sama yaitu sebesar 64%. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing peternak dipengaruhi oleh banyaknya jumlah ayam yang dipelihara tiap periode dan fluktuasi harga dari masing-masing komponen biaya.

Penelitian Nugroho (2004), menunjukkan bahwa laba bersih tunai yang diterima oleh kedua jenis usaha peternakan tersebut sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya biaya yang dikeluarkan pada masing-masing periode. Laba bersih tunai tertinggi dan terendah terjadi pada peternakan mandiri yang menunjukkan fluktuasi risiko dalam berproduksi. Pada saat kondisi usaha peternakan rakyat ayam broiler mendapatkan keuntungan, maka keuntungan tersebut sepenuhnya akan menjadi milik peternak mandiri. Namun, pada saat kondisi usaha peternakan ayam broiler menderita kerugian, maka peternak mandiri harus menanggung semua kerugian yang ada.

Sebaliknya, pada peternakan plasma keuntungan yang diperoleh akan dipotong oleh pihak inti, yaitu sebesar 30% apabila para peternak plasma mempunyai hutang di masa lampau. Namun, pada saat kondisi usaha peternakan rakyat ayam broiler menderita kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pihak yang mengakibatkan kerugian tersebut terjadi, yaitu plasma atau inti. Selain

8 risiko, beda antara peternak mandiri dan peternak plasma adalah kebebasan menjual ayam broiler hasil panen dengan harga sesuai pasar. Sebaliknya, para peternak plasma tidak bebas menjual ayam broiler hasil panen karena ada perjanjian yang telah disepakati antara plasma dan inti. Sesuai perjanjian tersebut, ayam broiler hasil panen sebagai output dari peternak plasma tersebut dijual ke pihak inti.

Berbeda dengan kedua jenis usaha di atas, pada peternakan ayam broiler dengan sistem bagi hasil keuntungan (laba bersih) yang diperoleh dalam satu tahun produksi dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (penanam modal dan pengelola peternakan). Apabila kondisi usaha peternakan ayam broiler sedang mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh kedua belah pihak. Pengaruh dari kerugian tersebut yaitu pada besarnya pembagian karena dihitung dari besarnya laba bersih yang diperoleh. Usaha peternakan dengan sistem bagi hasil ini, pengelola peternakan bebas menjual ayam broiler hasil panen dan bebas menentukan pembelian sapronak (sarana produksi ternak) yang dibutuhkan.

Bibit Ayam (Day Old Chick)

Pemilihan DOC (Day Old Chick) yang baik sangat diperhatikan oleh peternakan, karena kualitas DOC akan berpengaruh pada keberhasilan produksi. Penelitian Veranza (2004) menunjukkan, bahwa strain broiler yang dipelihara di tempat penelitiannya bervariasi mulai dari strain Cobb, Hubbard, Hybro dan

Lohmann dengan standar berat DOC minimal 37 gram/ekor. DOC yang digunakan disuplai dari PT Samsung, PT Manggis, PT Wonokoyo Co., PT Leong Hub dan PT Multibreeder Adirama Indonesia.

Banyaknya DOC di pasar dipengaruhi oleh jumlah produksi perusahaan pembibitan dan permintaan konsumen akan ayam broiler. Tabel 2 memperlihatkan data peredaran jumlah DOC yang ada di Indonesia diperoleh dari NPISS (National Poultry Industry Statistic Service).

9 Tabel 2. Bibit/DOC Final Stock yang Beredar di Indonesia

(Produksi + Impor – Ekspor)

Bulan Tahun

Januari Februari Maret April Mei Juni

Total Ribuan ekor

2005 96.126 95.155.8 94.157.8 96.597 102.44 103.327 587.552.6 Sumber : NPISS (Agustus 2005)

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada tiap bulan terjadi kenaikan jumlah DOC yang beredar di Indonesia, walaupun pada bulan Februari – Maret 2005 terjadi penurunan jumlah DOC. Hal tersebut dikarenakan pada bulan tersebut permintaan akan ayam broiler menurun dibandingkan pada bulan Januari. Bulan Januari bertepatan dengan banyaknya pesta yang diadakan oleh masyarakat Indonesia.

Harga DOC yang fluktuatif sangat dipengaruhi oleh permintaan konsumen dan supply DOC di pasar. Hal tersebut juga terjadi di wilayah DKI – Jakarta seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Harga DOC di wilayah DKI - Jakarta

Sumber: Mulyantono (Agustus 2005)

Gambar 2 memperlihatkan bahwa DOC broiler di wilayah DKI – Jakarta selama bulan Januari sampai Juli 2005, tidak terjadi kenaikan ataupun penurunan harga DOC yang sangat tajam. Hal ini menandakan bahwa di pasar permintaan DOC broiler relatif konstan.

10 Ekonomis Umur Akhir Nilai Investasi Nilai

Biaya dan Penerimaan Biaya

Biaya merupakan hal penting bagi petani dalam membuat keputusan untuk manajemen usahanya. Mubyarto (1989) menjelaskan, biaya tetap adalah jenis biaya yang jumlahnya tidak tergantung pada jumlah produksi, sedangkan biaya variabel adalah jenis biaya yang jumlahnya tergantung pada jumlah produksi. Penggolongan biaya menurut Munawir (2000) meliputi:

1) Biaya Tetap

Biaya tetap usaha peternakan meliputi biaya penyusutan dan biaya pemasaran. Biaya penyusutan investasi merupakan biaya tetap usaha peternakan ayam broiler, yang dikenakan untuk tujuan perhitungan nilai korbanan peternakan dari investasi yang telah ditanamkannya. Perhitungan biaya penyusutan investasi menggunakan metode garis lurus, yaitu besarnya biaya penyusutan per tahun adalah tetap.

Asumsi yang digunakan adalah nilai investasi pada akhir umur ekonomis tidak bersisa (sama dengan nol) sehingga rumus untuk biaya penyusutan per tahun adalah sebagai berikut:

Penyusutan per tahun (Rp/Th) =

2) Biaya Variabel

Biaya variabel dikeluarkan peternak ayam broiler untuk biaya produksi atau biaya operasional.

Biaya total sendiri merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh peternak yang terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel.

Besarnya biaya tetap maupun biaya variabel yang digunakan untuk usaha peternakan ayam broiler pada masing-masing jenis usaha selalu berbeda. Penelitian Veranza (2004) pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penyusutan dihitung dengan metode garis lurus, tetapi nilai sisa untuk peralatan tidak sama dengan nol.

11 Tabel 3. Penyusutan Aset Peternakan ”X”

Aset Nilai Beli (Rp)

Umur Ekonomis

(Tahun)

Asumsi Nilai Bekas (Rp) Kandang (m2) 65.000 10 130 Mess (m2) 250.000 10 6.250 Gudang (m2) 250.000 10 6.250 Sanyo (buah) 500.000 10 15.000 Sprayer (buah) 375.000 10 12.375 Pemanas (buah) 195.000 2 5.850 Tempat Pakan dan minum (buah) 19.500 3 975 Timbangan (buah) 400.000 15 20.000 Drum (buah) 50.000 5 7.500 Sekop (buah) 20.000 2 3.000 Pembatas (buah) 56.000 3 5.600 Tambang (500 m) 17.000 5 1.122 Ember (buah) 7.500 2 750 Jerigen (buah) 25.000 5 1.875 Tirai (m) 6.000 3 300 Sapu (buah) 5.000 1 250 Lampu (buah) 8.500 1 170 Cangkul (buah) 25.000 2 2.500 Thermometer (buah) 10.000 2 1.000 Baki Pakan (buah) 5.000 3 250 Sikat (buah) 3.000 3 bulan 150 Sumber : Veranza (2004)

Biaya pakan merupakan biaya terbesar yang dikeluarkan oleh peternakan ayam broiler model mandiri, yaitu sebesar 63,26% dan untuk biaya tenaga kerja sebesar 2,61% (Wahid, 2004). Biaya pakan yang dikeluarkan peternak plasma sebesar 54,94% sedangkan biaya variabel lain yang persentasenya juga tinggi adalah biaya DOC, obat-obatan dan tenaga kerja (Pakarti, 2000).

Tabel 4. Rata-rata Biaya Produksi Peternak Mandiri per 10.000 ekor

Input Produksi Biaya Produksi (Rp) Persentase (%) DOC 24.500.000 26,39 Pakan 56.725.000 63,26 Tenaga Kerja 2.418.640 2,61 Obat, Vaksin dan Desinfektan 2.755.700 2,97 Bahan Penolong Produksi 1.759.300 1,90 Depresiasi Kandang dan Peralatan 1.860.750 2,00 Listrik 550.000 0,59 Bahan Bakar 265.200 0,29 Total Biaya 92.834.590 100,00 Sumber : Wahid (2004)

12 Tabel 5. Komposisi Biaya Peternak Plasma per 100 ekor Ayam Broiler

Input Produksi Biaya Produksi (Rp) Persentase (%) Biaya Variabel Pakan 487.550 54,94 DOC 335.200 37,37 Obat-obatan 29.410 3,31 Tenaga Kerja 13.720 1,55 Bahan Bakar 4.500 0,51 Sekam 1.240 0,14 Listrik dan Air 2.000 0,23 Sanitasi 1.430 0,16 Sub Total 875.050 98,61 Biaya Tetap Depresiasi Kandang 9.400 1,06 Depresiasi Alat 2.960 0,33 Sub Total 12.360 1,39 Biaya Total 887.410 100,00 Sumber : Pakarti (2000) Penerimaan

Laba bersih usahatani merupakan selisih dari penerimaan yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan (Hernanto, 1995). Penerimaan usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahaternak. Oleh karena itu penerimaan merupakan ukuran keuntungan usahaternak yang dapat dipakai untuk membandingkan penampilan beberapa usahaternak (Soekartawi et al., 1986).

Penelitian Veranza (2004) menunjukkan bahwa harga ayam broiler selama satu tahun produksi berkisar antara Rp 4.600 – Rp 7.400 per kilogram bobot hidup. Ayam culling pada usaha peternakan X tetap dijual, tetapi dengan harga yang lebih rendah yaitu berkisar antara Rp 3.500 – Rp 5.500 per kilogram bobot hidup.

Penelitian Setriani (2005) menunjukkan bahwa usahaternak yang dilakukan oleh peternak mitra lebih efisien daripada usahaternak yang dilakukan oleh peternak mandiri (Tabel 6). Hal ini dikarenakan semua sarana produksi ternak didapat dari peternak inti sehingga total biaya tunai yang dikeluarkan peternak lebih kecil dibandingkan dengan total biaya tunai peternak mandiri. Laba bersih yang diperoleh peternak mitra atas biaya tunai pun lebih besar dari laba bersih atas biaya tunai peternak mandiri.

13 Tabel 6. Analisis Laba Bersih Ayam Broiler di Kecamatan Singaparna

Periode Februari – Maret 2003*)

Uraian Peternak Mitra Peternak Mandiri

Biaya Tunai

a. Sarana Produksi 0 6.897.825,45 b. Sekam 25.416,67 30.121,00 c. Sewa Kandang 32.500,00 60.416,67 d. Tenaga Kerja Luar Keluarga 172.500,00 167.550,00 e. Listrik 19.011,11 18.500,00 f. Minyak Tanah 75.600,00 78.470,05 Total 325.027,78 7.252.883,17

Biaya Tidak Tunai

a. Penyusutan Kandang 100.878,30 69.548,61 b. Penyusutan Peralatan 32.768,63 38.141,81 c. Tenaga Kerja Dalam Keluarga 22.500,00 27.450,00 Total 156.146,93 135.140,42

Total Biaya 481.174,93 7.388.023,59 Total Penerimaaan 582.663,41 7.504.980,00 Laba bersih Atas Biaya Total 101.488,70 116.956,41 Laba bersih Atas Biaya Tunai 257.635,63 252.096,83

Keterangan : *) per 1000 ekor Sumber : Setriani (2005)

Nugroho (2004) menyatakan bahwa penerimaan untuk peternak mandiri dan peternak plasma sangat dipengaruhi oleh harga jual per kilogram bobot hidup ayam broiler. Penerimaan terbesar peternak mandiri dicapai pada periode pertama karena jumlah pemeliharaannya paling besar (23.000 ekor), mortalitas rendah (5,00%) dan harga jual yang tinggi per kilogramnya (Rp 7.400). Dibandingkan dengan penerimaan untuk peternak plasma di Kabupaten yang sama, maka penerimaan peternak mandiri lebih besar. Akan tetapi bila dilihat dari sisi harga jual, peternak plasma lebih baik.

Sedangkan pada peternak plasma, harga jual per kg cenderung konstan karena sesuai dengan kesepakatan antara plasma dan pihak inti. Penerimaan terendah terjadi pada periode ketujuh (Rp 92.770.897,33), hal ini dikarenakan tingginya tingkat mortalitas pada periode tersebut yaitu 9,15%.

Konsep Profitabilitas

Masalah profitabilitas suatu peternakan berkaitan dengan selisih antara harga jual dan biaya per unit (Buffa dan Rakesh, 1994). Suatu usaha dikatakan mendapat profitabilitas jika penerimaan atau nilai penjualan produknya lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk tersebut, dan rugi jika mengalami hal yang sebaliknya. Diantara kondisi laba dan rugi tersebut

14 terdapat kondisi titik impas, yaitu saat penerimaan yang diperoleh sama dengan biaya.

Suatu usaha didirikan dengan tujuan untuk memperoleh laba. Peternak perlu melakukan evaluasi apakah usaha yang dijalankannya masih menguntungkan, sehingga dapat diambil keputusan apakah usaha tersebut dapat dilanjutkan bahkan terus dikembangkan atau tidak. Untuk itu peternak memerlukan suatu alat analisis untuk menghitung kemampuan suatu peternakannya untuk memperoleh laba, yaitu analisis profitabilitas. Analisis profitabilitas yang digunakan antara lain titik impas (Break Even Point), MOS (Margin of Safety) dan MIR (Marginal Income Ratio) serta rentabilitas.

Titik Impas (Break Even Point)

Titik impas dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana suatu perusahaan belum mendapat laba dan tidak mengalami kerugian. Dengan kata lain, titik impas terjadi ketika penghasilan sama dengan biaya total atau laba sama dengan nol. Titik impas ini sangat sensitif terhadap perubahan sejumlah faktor, khususnya biaya tetap, biaya variabel per unit dan harga jual per unit produk. Apabila biaya tetap diturunkan maka tingkat titik impas akan bergerak turun ke titik yang lebih rendah (Boediono, 2000).

Munawir (2000) menyebutkan, bahwa analisis titik impas perlu mengetahui tentang jalannya pembiayaan total. Pendekatan dengan analisis titik impas ini pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari analisis keuntungan yang didasarkan pada analisis marginal baik terhadap penghasilan maupun pembiayaan yang dikeluarkan. Analisis ini memberikan manfaat kepada perusahaan, yaitu:

1) peternak dapat mengetahui efisiensi yang harus dilakukan agar semua biaya operasi dapat tertutup,

2) peternak dapat mengevaluasi tingkat-tingkat penjualan tertentu dalam hubungannya dengan tingkat keuntungan.

Analisis titik impas pada penelitian ini menggunakan metode persamaan matematis atau teknik aljabar. Satuan yang digunakan untuk perhitungan impas dinyatakan dalam rupiah penjualan, dengan menggunakan rumus menurut Munawir (2000) sebagai berikut:

15 Penjualan Hasil Variabel Biaya -1 Tetap Biaya Unit Variabel/ Biaya -Jual/ Unit Harga Tetap Biaya Impas (Rp) = Impas (Unit) =

Selain dapat dihitung secara matematis atau teknik aljabar, titik impas juga bisa dihitung secara grafis:

TVC

Gambar 3. Grafik Titik Impas

Sumber : Munawir (2000)

Keterangan: TR = Penerimaan Penjualan (Total Revenue) TC = Biaya Total (Total Cost)

TFC = Biaya Tetap Total (Total Fixed Cost) TVC = Biaya Variabel Total (Total VariableCost) I = Titik Impas Penjualan

X = Volume Penjualan

X’ = Volume Penjualan Pada Titik Impas

A = Daerah di mana Peternak Mengalami Kerugian B = Daerah di mana Peternak Memperoleh Keuntungan.

Margin of Safety dan Marginal Income Ratio

Menurut Munawir (2000), kemampuan memperoleh laba oleh suatu peternakan dapat diketahui dengan perhitungan Margin of Safety (MOS) dan

Marginal Income Ratio (MIR). 1) Margin of Safety (MOS)

MOS merupakan rasio antara tingkat penjualan tertentu dengan tingkat penjualan pada kondisi impas. Nilai MOS menjadi petunjuk bagi manajemen peternakan mengenai batas toleransi penurunan penjualan, agar

16 Aktual Penjualan Tingkat Impas Penjualan Tingkat Aktual Penjualan Tingkat Penjualan Pendapatan Total Variabel Biaya Penjualan Pendapatan

peternak tidak menderita kerugian walaupun belum memperoleh laba. Semakin besar MOS semakin baik peternakan tersebut, karena semakin besar batas keamanan peternakan untuk mengalami penurunan tingkat penjualannya.

Secara matematis nilai MOS dirumuskan sebagai berikut:

MOS = x 100 %

2) Marginal Income Ratio (MIR) atau disebut juga dengan Margin Contribution Ratio, merupakan rasio antara Marginal Income atau laba kontribusi dengan penerimaan penjualan. Laba kontribusi sendiri adalah selisih antara penerimaan penjualan dengan biaya variabel total. Nilai MIR menunjukkan bagian dari penerimaan penjualan yang tersedia untuk menutupi biaya tetap dan memberikan laba. Semakin besar nilai MIR semakin baik keadaan peternakan, karena semakin besar kemampuan usaha untuk menutupi biaya tetap dan memperoleh laba.

Secara matematis nilai MIR dapat dirumuskan sebagai berikut:

MIR = x 100 %

Selanjutnya kemampuan memperolah labapeternakan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Kemampuan Memperoleh Laba (KML) = MOS x MIR x 100 %

Rentabilitas

Menurut Riyanto (1995), rentabilitas pada suatu usaha peternakan menunjukkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut. Dengan kata lain rentabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan labaselama periode tertentu, dan umumnya dirumuskan sebagai berikut:

100% x M

17 dimana L adalah jumlah laba yang diperoleh selama periode tertentu dan M adalah modal atau aktiva yang digunakan untuk menghasilkan labatersebut. Cara untuk menilai rentabilitas suatu perusahaan bermacam-macam dan tergantung pada laba dan aktiva atau modal mana yang akan diperbandingkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat dibedakan dua macam rentabilitas yang digunakan sebagai alat pengukur efisiensi penggunaan modal dalam usaha peternakan, yaitu rentabilitas ekonomi dan rentabilitas modal sendiri.

1) Rentabilitas Ekonomi (Earning Power)

Rentabilitas ekonomi ialah perbandingan antara laba usaha dengan modal sendiri dan modal asing (seluruh modal yang bekerja di dalam usaha peternakan/operating capital) yang dipergunakan untuk menghasilkan laba tersebut dan dinyatakan dalam persentase. Dengan demikian modal yang ditanamkan dalam peternakan lain atau modal yang ditanamkan dalam efek tidak diperhitungkan dalam menghitung rentabilitas ekonomi.

Laba yang diperhitungkan untuk menghitung rentabilitas ekonomi hanyalah laba yang berasal dari operasional peternakan, yaitu yang disebut labausaha (net operating income).

Bagi suatu usaha pada umumnya masalah rentabilitas lebih penting daripada masalah laba, karena laba yang besar saja belum merupakan ukuran bahwa peternakan itu telah dapat bekerja dengan efisien. Efisiensi baru dapat diketahui dengan membandingkan laba yang diperoleh itu dengan kekayaan atau modal yang menghasilkan laba tersebut. Tinggi rendahnya rentabilitas ekonomi (earning power) itu sendiri ditentukan oleh dua faktor, yaitu:

a) Profit Margin, yaitu perbandingan antara net operating income dengan

net sales dan dinyatakan dengan persentase.

Profit Margin = Sales Net Income Operating Net X 100 %

Dapat dikatakan bahwa profit margin ialah selisih antara net sales

dengan operating expenses (harga pokok penjualan + biaya administrasi + biaya penjualan + biaya umum), hasilnya dinyatakan dalam persentase dari net sales.

18 sendiri Modal pajak sesudah netto Keuntungan

b) Turnover of operating assets atau tingkat perputaran aktiva usaha, yaitu kecepatan berputarnya operating assets dalam suatu periode tertentu.

Turnover tersebut dapat ditentukan dengan membagi net sales dengan

operating assets.

Turnover of Operating Assets =

Assets Operating

Sales Net

Operating assets turnover dimaksudkan untuk mengetahui efisiensi peternakan dengan melihat kecepatan perputaran operating assets dalam suatu periode tertentu. Hasil akhir dari profit margin dan operating assets turnover menentukan tinggi rendahnya earning power. Oleh karena itu makin tingginya tingkat profit margin atau operating assets turnover masing-masing atau kedua-duanya akan mengakibatkan naiknya earning power.

Hubungan antara profit margin dan operating assets turnover dapatlah digambarkan sebagai berikut:

Profit Margin X Operating Assets Turnover = Earning Power

2) Rentabilitas Modal Sendiri (Return on Equity)

Rentabilitas modal sendiri atau sering juga dinamakan rentabilitas usaha adalah kemampuan suatu peternakan dengan modal sendiri untuk menghasilkan profit. Labayang diperhitungkan untuk menghitung rentabilitas modal sendiri adalah labausaha setelah dikurangi dengan bunga modal asing dan pajak perseroan (Earning After Tax), sedangkan modal yang diperhitungkan hanya modal sendiri yang diinvestasikan di dalam peternakan. Rentabilitas modal sendiri dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Penjualan Hasil Variabel Biaya -1 Tetap Biaya kg Variabel/ Biaya -kg Jual/ Harga Tetap Biaya METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait