• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rumah Potong Hewan Ruminansia

Rumah potong hewan (RPH) merupakan suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi masyarakat konsumsi umum. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyedia daging yang aman, sehat, utuh, dan halal serta sebagai sarana yang berfungsi untuk melaksanakan:

a. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariah agama);

b. Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection) dan pemeriksaan karkas, jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penyakit zoonotik;

c. Pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditentukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan. (Permentan No. 13/2010 tentang RPH)

Perancangan bangunan RPH berkualitas sebaiknya sesuai dengan standar yang telah ditentukan untuk menjamin produk sehat dan halal. Produk sehat dan halal dapat dijamin dengan RPH yang memiliki sarana untuk pemeriksaan kesehatan hewan potong, memiliki sarana menjaga kebersihan, dan mematuhi kode etik dan tata cara pemotongan hewan secara tepat.

2

yang digunakan untuk menentukan hewan mati sempurna adalah dengan melihat refleks kelopak mata. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menghitung waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan sehingga diperoleh data rataan waktu hewan mati sempurna.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghitung waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran perbedaan laju pemancaran darah pada sapi yang disembelih dengan perlakuan pemingsanan dan tanpa pemingsanan.

TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Potong Hewan Ruminansia

Rumah potong hewan (RPH) merupakan suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi masyarakat konsumsi umum. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyedia daging yang aman, sehat, utuh, dan halal serta sebagai sarana yang berfungsi untuk melaksanakan:

a. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariah agama);

b. Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection) dan pemeriksaan karkas, jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penyakit zoonotik;

c. Pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditentukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan. (Permentan No. 13/2010 tentang RPH)

Perancangan bangunan RPH berkualitas sebaiknya sesuai dengan standar yang telah ditentukan untuk menjamin produk sehat dan halal. Produk sehat dan halal dapat dijamin dengan RPH yang memiliki sarana untuk pemeriksaan kesehatan hewan potong, memiliki sarana menjaga kebersihan, dan mematuhi kode etik dan tata cara pemotongan hewan secara tepat.

3

Sapi Brahman Cross

Sapi Brahman Cross merupakan persilangan antara sapi Brahman dengan sapi Eropa (Bos taurus), awalnya merupakan bangsa sapi American Brahman yang diimpor ke Australia pada tahun 1933 (Minish dan Fox 1979). Sapi Brahman Cross mulai diimpor dari Australia ke Indonesia sejak tahun 1973. Sapi-sapi impor ini memiliki kelebihan mudah beradaptasi dengan lingkungan tropis di Indonesia, memiliki pertambahan bobot badan yang tinggi dengan waktu yang singkat dan produktivitas karkas yang tinggi (Hafid 1998). Di Indonesia sapi ini memiliki kontribusi yang cukup berarti bagi pemenuhan daging di Indonesia. Ciri-ciri sapi Brahman Cross mempunyai telinga besar, punuk besar, bertanduk, dan gelambir yang memanjang berlipat-lipat dari kepala ke dada. Sapi Brahman Cross memiliki warna kulit yang bervariasi, mulai dari abu-abu muda, merah sampai hitam. Kebanyakan berwarna abu-abu muda dan abu-abu tua. Sapi jantan warnanya lebih tua dari betina dan memiliki warna gelap di daerah leher, bahu dan paha bawah (Gunawan et al. 2008). Sapi ini senang menerima perlakuan halus dan dapat menjadi liar jika menerima perlakuan kasar. Konsekuensinya penanganan sapi ini harus hati-hati, tetapi secara keseluruhan sapi Brahman Cross mudah dikendalikan. Sapi Brahman Cross memiliki sifat pemalu dan cerdas serta dapat beradaptasi dengan lingkungan yang bervariasi.

Metode Penyembelihan Sapi

Penyembelihan adalah suatu aktivitas atau kegiatan menghilangkan nyawa hewan atau binatang dengan menggunakan alat bantu atau benda yang tajam ke arah leher dengan cara memotong trakhea, esophagus, arteri karotis, dan vena jugularis. Penyembelihan pada sapi biasanya dilakukan dengan menggunakan pisau. Penyembelihan dilakukan dengan pisau yang tajam pada bagian ventral leher (8-10 cm di belakang lengkung rahang bawah) sehingga trakhea, esophagus, arteri karotis, dan vena jugularis terpotong sekaligus. Prinsip penyembelihan hewan adalah hewan harus disembelih secepat mungkin dengan seminimal mungkin mengurangi rasa sakit untuk menghindari stres karena dapat mempengaruhi kualitas karkas yang dihasilkan. Di Indonesia ada dua teknik sebelum penyembelihan, yaitu dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan.

Penyembelihan Sapi dengan Pemingsanan

Pemingsanan merupakan salah satu teknik sebelum pemotongan pada hewan dengan tujuan untuk menghilangkan rasa sakit pada hewan dan memudahkan manusia dalam melaksanakan penyembelihan. Pemingsanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu kimia (CO2), mekanik (captive bolt dan gunshot), dan menggunakan arus listrik. Captive bolt stun gun merupakan sebuah alat berbentuk silinder yang menyerupai pistol dan berisi selongsong tanpa peluru. Ada dua tipe captive bolt stun gun yaitu penetrating dan non-penetrating. Alat ini bekerja dengan cara memberikan tekanan pada kepala sapi dan membuat hewan kehilangan kesadaran secara langsung. Keefektifan stun gun tergantung pada pukulan yang diberikan ke bagian yang benar dari tengkorak. Posisi terbaik adalah diantara otak dengan permukaan kepala, yaitu di daerah frontal (HSA 2013).

4

Menurut EFSA (2004) stun gun dapat bekerja maksimal jika dipukulkan 2 cm di atas titik silang dari garis imajiner yang ditarik antara pangkal tanduk dan mata kontra lateral.

Gambar 1 Posisi penggunaan captive bolt pada sapi (sumber: Giliam et al. 2012) Captive bolt stun gun tipe penetrating dapat membuat kerusakan permanen pada otak dan menyebabkan kematian, sedangkan captive bolt tipe non- penetrating tidak menyebabkan kematian kecuali terjadi perdarahan pada otak. RPH di Indonesia menggunakan Captive bolt stun gun tipe non-penetrating karena terkait dengan aspek kehalalan. Hewan dinyatakan pingsan dengan baik apabila tidak ada refleks kelopak mata, tidak ada rotasi bola mata, pupil mengalami dilatasi, dan reaksi menendang minimal saat disentuh (Algers dan Atkinson 2007).

Gambar 2 Penetrative, trigger-fired captive-bolt stunnerKey: Bolt (A), Stop washers (B), Flange & piston (C), Expansion chamber (D), Breech HAS, Ejector (F), Hammer (G), Trigger mechanism (H), Trigger (I), Undercut (J), Recuperator Sleeves (K) (sumber : HSA 2013).

Gambar 3 Non-pentrative, trigger-fired captive-bolt stunner Key: Cocking mechanism (A), Trigger (B), Breech (C), Ejector (D), Expansion chamber HAS, Flange & piston (F), Bolt (G), Barrel (H), Damper (I), Mushroom head (J) (sumber : HSA 2013).

5

Penyembelihan Sapi Tanpa Pemingsanan

Teknik tanpa pemingsanan sebelum penyembelihan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara konvensional dan menggunakan restraining box.

Restraining Box

Restraining box merupakan alat yang digunakan untuk memfiksasi hewan sebelum pemotongan. Menurut Grandin (1991), restraining box adalah alat yang digunakan untuk mengendalikan sapi sebelum disembelih agar tingkat stres pada sapi berkurang. Pada prinsipnya, tingkat stres dapat diturunkan karena (1) saat sapi masuk ke dalam restraining box sapi tidak merasa takut karena terhindar dari pengaruh lingkungan area penyembelihan. Hal tersebut penting terutama bagi sapi yang cukup agresif; (2) untuk mengatasi terjangan kepala sapi karena pandangan di sekeliling sapi tertutup penuh; (3) memudahkan dalam merobohkan sapi tanpa perlakuan kasar; (4) stabilitas alat ini membuat sapi menjadi lebih tenang dan mengatasi gerakan berontak yang tiba-tiba; dan (5) tekanan alat pada sapi tidak menimbulkan kesakitan dan berlangsung cepat. Ada beberapa tipe restraining box, yaitu restraining box mark I, restraining box mark II, restraining box mark III, dan restraining box mark IV.

Restraining box mark I merupakan alat fiksasi yang dirancang untuk memanipulasi perilaku melarikan diri alami pada hewan dalam proses perobohan dan pengekangan. Alat ini dirancang untuk merobohkan sapi dengan cara memasukkannya ke dalam restraining box, setelah sapi masuk kemudian kaki sapi diikat dengan tali agar saat pintu sebelah samping alat dibuka sapi mudah roboh. Sapi yang roboh kemudian pada bagian kepala, leher dan tanduk hewan dikekang menggunakan tali agar sapi tidak bisa berdiri kembali, dan selanjutnya sapi dapat disembelih.

Gambar 4 Restraining box mark I (sumber: Whittington dan Hewitt 2009)

Restraining box mark II dikembangkan untuk merobohkan hewan yang berukuran lebih besar dengan penambahan dinding berbentuk L. Pada dasarnya proses perobohan hewan hampir sama dengan restraining box mark I, akan tetapi saat hewan roboh tidak jatuh ke lantai beton namun ke dinding berbentuk L tersebut.

6

Gambar 5 Restraining box mark II (sumber: Whittington dan Hewitt 2009)

Restraining box mark III memiliki konstruksi dan fungsi yang sama dengan Restraining box mark II akan tetapi memiliki fitur tambahan berupa alat otomatis yang digunakan untuk memiringkan restraining box.

Gambar 6 Restraining box mark III (sumber: Whittington dan Hewitt 2009) Restraining box mark IV merupakan penyempurnaan dari restraining box III yang semua mekanisme penggunaan alat ini dilakukan secara otomatis dan memiliki kelebihan, yaitu:

 Lantai tidak licin

 Rangka kotak yang padat, membatasi gangguan eksternal, dan meningkatkan efisiensi

 Pergerakan alat halus dan memiliki kebisingan yang rendah sehingga dapat mengurangi tingkat stres

 Alat pengekang yang nyaman

 Meja miring lateral yang nyaman untuk posisi hewan saat akan dipotong maupun pendarahan

7

Gambar 7 Restraining box mark IV (sumber: Review of modified and copy mark IV type restraint boxes 2013)

Syok Hemoragik

Penghilangan nyawa melalui penyembelihan berdasarkan pada pengeluaran darah secara sengaja, tiba-tiba dan dalam jumlah yang banyak akibat pemotongan pembuluh darah besar di daerah leher yaitu arteri karotis dan vena jugularis. Syok hemoragik adalah gejala klinis hasil dari penurunan volume darah (hipovolemia) yang disebabkan oleh hilangnya darah, yang berakibat berkurangnya curah jantung dan perfusi organ. Menurut lokasinya perdarahan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perdarahan eksternal dan perdarahan internal. Perdarahan eksternal yaitu perdarahan yang keluar dari kulit atau jaringan lunak di bawahnya. Ada tiga jenis perdarahan eksternal, yaitu perdarahan yang terjadi pada arteri, vena dan kapiler. Diantara ketiga jenis perdarahan tersebut, perdarahan yang terjadi di arteri merupakan jenis perdarahan yang sangat serius karena kehilangan darah dalam jumlah besar dapat terjadi dalam waktu yang singkat. Perdarahan internal adalah perdarahan yang ditandai dengan masuknya darah ke dalam rongga tubuh atau jaringan (misalnya pendarahan internal yang disebabkan oleh pecahnya aorta aneurisma). Aorta aneurisma dapat terjadi di ruang abdominal yang disebabkan oleh aterosklerosis, infeksi, dan cedera. Selain itu, aorta aneurisma juga dapat terjadi di ruang thorak yang disebabkan oleh tekanan darah yang terlalu tinggi dan cedera secara tiba-tiba pada daerah thorak (Aortic aneurysm fact sheet 2009). Dalam konteks penyembelihan yang terjadi adalah perdarahan eksternal.

Tingkat keparahan syok hemoragik dan gejala yang terkait tergantung pada volume darah yang hilang dan cepatnya darah hilang. Secara umum, kehilangan darah <15% total volume darah sebesar 8% dari berat badan menyebabkan hanya sedikit peningkatan frekuensi jantung dan tidak ada perubahan yang signifikan pada tekanan arteri. Kehilangan darah antara 15-40% mengakibatkan tekanan pada arteri dan denyut nadi turun, dan frekuensi jantung meningkat. Besarnya perubahan ini karena terkait dengan banyaknya darah yang hilang.

Perdarahan yang dihentikan menyebabkan tekanan arteri perlahan pulih dan penurunan frekuensi jantung sebagai mekanisme kompensasi jangka panjang diaktifkan untuk mengembalikan tekanan arteri normal. Waktu untuk pemulihan lebih lama ketika ada banyak darah yang hilang. Penurunan volume darah selama

8

perdarahan akut menyebabkan penurunan tekanan vena cava dan penurunan pengisian darah ke jantung. Hal ini menyebabkan penurunan tekanan curah jantung (stroke volume) dan tekanan arteri. Tubuh memiliki sejumlah mekanisme yang menjadi aktif dalam upaya untuk mengembalikan tekanan arteri dan volume darah kembali normal. Mekanisme ini meliputi refleks baroreseptor, refleks kemoreseptor, peredaran vasokonstriktor, reabsorpsi ginjal natrium dan air, aktivasi mekanisme haus, dan reabsorpsi cairan jaringan (Gambar 8).

Gambar 8 Mekanisme tubuh dalam upaya mengembalikan tekanan arteri dan volume darah kembali normal.

Tubuh dapat dengan cepat merasakan penurunan tekanan darah melalui arteri dan cardiopulmonary baroreseptor, kemudian mengaktifkan sistem saraf simpatis adrenergik untuk merangsang jantung (meningkatkan konstraksi frekuensi jantung) dan konstriksi pembuluh darah sehingga terjadi peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik. Berkurangnya aliran darah ke organ yang disebabkan oleh vasokonstriksi dan pengurangan tekanan arteri menyebabkan penurunan tekanan O2 dan asidosis sistemik dan hal tersebut direspon oleh reflek kemoreseptor. Reflek kemoreseptor menyebabkan peningkatan ventilasi untuk mengembalikan pH, CO2 dan O2 darah arteri kembali normal (Gambar 9).

9

Gambar 9 Mekanisme tubuh dalam upaya mengembalikan tekanan arteri dan volume darah kembali normal

Dampak gabungan dari hipotensi arteri dan aktivasi saraf simpatis menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi humoral. Stimulasi saraf simpatis dari kelenjar adrenal merangsang pelepasan katekolamin ke dalam darah, yang memperkuat efek aktivasi saraf simpatis pada jantung dan pembuluh darah. Ginjal melepaskan lebih banyak renin sehingga terjadi peningkatan sirkulasi angiotensin II dan aldosteron. Hal ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah, peningkatan aktivitas saraf simpatis, stimulasi pelepasan vasopresin , aktivasi mekanisme haus, dan hal yang terpenting adalah peningkatan reabsorpsi natrium dan air oleh ginjal untuk meningkatkan volume darah. Mekanisme pada ginjal ini sangat penting dalam pemulihan jangka panjang dari kehilangan darah.

Hipotensi yang dikombinasikan dengan penyempitan arteri dan arteriol menyebabkan penurunan tekanan hidrostatik kapiler. Tekanan ini biasanya mendorong filtrasi cairan dari darah, melewati kapiler endotelium, dan menuju ke dalam ruang interstitial. Pada saat tekanan hidrostatik kapiler berkurang, maka sedikit cairan meninggalkan kapiler. Pada saat tekanan menurun bersamaan dengan kehilangan darah mulai dari sedang sampai berat, maka reabsorpsi cairan dapat terjadi dari interstitium jaringan kembali ke plasma kapiler. Cairan yang diserap kembali ini tidak mengandung sel-sel, akan tetapi cairan ini mengandung elektrolit dan beberapa protein untuk meningkatkan volume plasma. Mekanisme reabsorbsi kembali cairan ini disebut hemodilusi darah, oleh karena itu hematokrit dilepaskan untuk merespon pergantian cairan ini. Mekanisme ini dapat menyebabkan hingga 1 liter/jam cairan ditarik dari ruang interstitial kembali ke plasma.

10

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RPHR wilayah Depok, Tangerang, dan Tasikmalaya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013 hingga Maret 2014.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan untuk menghitung waktu henti darah memancar antara lain stopwatch, alat penampung darah, tisu, dan alat tulis. Obyek hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi.

Metode Penelitian

Sampel berupa 30 ekor sapi Brahman Cross yang dipilih menggunakan metode purposive sampling. Waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan dihitung menggunakan stopwatch. Tombol start pada stopwatch ditekan sesaat setelah sapi disembelih dan terlihat darah pertama kali memancar. Ditunggu selang beberapa waktu sampai terlihat darah sudah tidak lagi memancar lalu tombol stop pada stopwatch ditekan dan dilihat waktu yang tertera pada layar stopwatch.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif. Data dianalisis dengan uji t untuk mengetahui perbedaan waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan dengan menggunakan SPSS 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Obyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi Brahman Cross jantan. Jumlah total sapi yang diamati pada penghitungan waktu henti darah memancar adalah sebanyak 30 ekor yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebanyak 15 ekor disembelih dengan dilakukan pemingsanan terlebih dahulu dan 15 ekor disembelih tanpa melalui proses pemingsanan. Hasil penghitungan waktu henti darah memancar pada sapi Brahman Cross yang dipingsankan dan tanpa pemingsanan sebelum disembelih disajikan dalam Tabel 1.

10

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RPHR wilayah Depok, Tangerang, dan Tasikmalaya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013 hingga Maret 2014.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan untuk menghitung waktu henti darah memancar antara lain stopwatch, alat penampung darah, tisu, dan alat tulis. Obyek hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi.

Metode Penelitian

Sampel berupa 30 ekor sapi Brahman Cross yang dipilih menggunakan metode purposive sampling. Waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan dihitung menggunakan stopwatch. Tombol start pada stopwatch ditekan sesaat setelah sapi disembelih dan terlihat darah pertama kali memancar. Ditunggu selang beberapa waktu sampai terlihat darah sudah tidak lagi memancar lalu tombol stop pada stopwatch ditekan dan dilihat waktu yang tertera pada layar stopwatch.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif. Data dianalisis dengan uji t untuk mengetahui perbedaan waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan dengan menggunakan SPSS 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Obyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi Brahman Cross jantan. Jumlah total sapi yang diamati pada penghitungan waktu henti darah memancar adalah sebanyak 30 ekor yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebanyak 15 ekor disembelih dengan dilakukan pemingsanan terlebih dahulu dan 15 ekor disembelih tanpa melalui proses pemingsanan. Hasil penghitungan waktu henti darah memancar pada sapi Brahman Cross yang dipingsankan dan tanpa pemingsanan sebelum disembelih disajikan dalam Tabel 1.

11 Tabel 1 Waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan

pemingsanan dan tanpa pemingsangan

Metode Waktu henti darah memancar (menit) Rata-rata Minimum Maksimum

Pemingsanan 3.02 ± 0.74a 1.53 4.33

Tanpa pemingsanan 2.13 ± 0.60b 1.04 3.14

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan uji berbeda nyata pada taraf 5% (p<0.05).

Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan waktu henti darah yang signifikan (P<0.05) pada sapi yang disembelih dengan pemingsanan dan sapi yang disembelih tanpa pemingsanan terlebih dahulu. Rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang dipingsankan terlebih dahulu sebelum disembelih adalah sebesar 3.02 menit dengan waktu henti darah maksimum sebesar 4.33 menit dan minimum sebesar 1.53 menit. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk darah berhenti memancar pada sapi yang disembelih tanpa dipingsankan terlebih dahulu rata-rata sebesar 2.13 menit dengan waktu henti darah minimum sebesar 1.04 menit dan maksimum sebesar 3.14 menit. Perbedaan waktu henti darah berhenti memancar antara sapi yang dipingsankan dengan sapi yang tidak dipingsankan sebelum disembelih adalah 53.4 detik. Sapi yang dipingsankan sebelum disembelih membutuhkan waktu henti darah lebih lama dibandingkan sapi yang tidak dipingsankan. Waktu henti darah memancar dipengaruhi oleh perlakuan hewan sebelum penyembelihan.

Sapi yang diamati dengan perlakuan pemingsanan sebelum penyembelihan, dipingsankan mengunakan captive bolt stun gun non-penetrating. Non-penetrating captive bolt stun gun yang digunakan di RPH di Indonesia adalah tipe Cash Magnum Knocker caliber 0.25 yang diproduksi oleh Accles dan Shelvoke. Cash Magnum Knocker menembakkan baut (bolt) berukuran panjang 121 mm dan diameter 11.91 yang berbentuk kepala jamur (mushroom-headed). Cartridge merupakan tenaga pendorong untuk menyebabkan trauma ke korteks otak tanpa penetrasi ke dalam tengkorak (Accles dan Shelvoke 2014). Tipe non-penetrating menyebabkan ketidaksadaran melalui pelemahan sistem syaraf yang mengakibatkan hilangnya kesadaran tanpa perubahan anatomis di otak. Pemingsanan menyebabkan sapi tidak mengalami stres, sehingga kondisi jantung tidak berubah. Jantung pada sapi dapat memompa darah lebih stabil tanpa adanya peningkatan frekuensi jantung. Penurunan tekanan jantung terutama ventrikel selama pengeluaran darah terjadi karena penurunan oksigen darah pada miokardium. Respirasi pada hewan yang dipingsankan akan menurun sehingga distribusi oksigen ke jantung juga menurun. Hal ini mengakibatkan kekuatan frekuensi jantung dan tekanan darah menurun (Vemini et al. 1983). Kondisi tersebut membuat waktu henti darah memancar pada sapi yang dipingsankan lebih lama dibandingkan dengan sapi yang tidak dipingsankan.

Sapi yang disembelih tanpa melalui proses pemingsanan terlebih dahulu difiksasi menggunakan restraining box mark IV. Restraining box tersebut berfungsi untuk menurunkan tingkat stres pada sapi. Pada prinsipnya, tingkat stres dapat diturunkan karena pergerakan alat halus, memiliki tingkat kebisingan yang rendah, tekanan alat pada sapi tidak menimbulkan kesakitan, dan sapi tidak merasa takut karena terhindar dari pengaruh lingkungan area penyembelihan

12

(Review of modified and copy mark IV type restraint boxes 2013). Upaya penurunan stres menggunakan mark IV masih menyisakan sapi dalam keadaan sadar, sehingga stres masih berpengaruh pada sapi dibandingkan dengan metode pemingsanan. Implikasi dari penggunaan metode mark IV tetap mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan darah dan frekuensi jantung. Peningkatan frekuensi jantung menyebabkan darah yang dipompa keluar pada saat disembelih menjadi lebih cepat, sehingga darah yang memancar pada sapi akan lebih cepat berhenti.

Peningkatan tekanan darah terjadi akibat adanya penyempitan pembuluh darah kapiler pada jaringan. Darah dipompakan melalui pembuluh darah oleh jantung. Pembuluh-pembuluh darah merupakan sistem yang tertutup, yang membawa darah dari jantung ke seluruh jaringan tubuh dan kembali ke jantung. Aliran darah ke tiap-tiap jaringan diatur oleh mekanisme kimia lokal dan mekanisme saraf umum yang melebarkan atau menyempitkan pembuluh darah

Dokumen terkait