• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu henti darah memancar pada penyembelihan Sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Waktu henti darah memancar pada penyembelihan Sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

NADHEAR NADADYANHA DANNAR. Waktu Henti Darah Memancar pada Penyembelihan Sapi dengan Pemingsanan dan Tanpa Pemingsanan. Dibimbing oleh HERWIN PISESTYANI dan KOEKOEH SANTOSO.

Parameter yang dapat digunakan untuk melihat hewan mati sempurna setelah disembelih yaitu dengan melihat refleks kelopak mata dan atau waktu henti darah memancar. Waktu henti darah memancar merupakan indikasi bahwa jantung sudah tidak dapat memompa darah keluar dari tubuh akibat tidak ada lagi asupan oksigen darah dalam jantung, sehingga hewan tersebut dapat dikatakan mati. Tujuan dari penelitian ini untuk menghitung waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan sehingga diperoleh data rataan waktu hewan mati sempurna. Tiga puluh ekor sapi Brahman Cross dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu, sebanyak 15 ekor yang disembelih dengan pemingsanan (kelompok 1) dan sebanyak 15 ekor yang disembelih tanpa pemingsanan (kelompok 2). Waktu henti darah memancar dihitung sesaat setelah hewan disembelih sampai darah berhenti memancar. Hasil dari penelitian diperoleh rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang dipingsankan sebelum disembelih adalah sebesar 3.02 menit dan rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih tanpa pemingsanan adalah sebesar 2.13 menit. Selang waktu henti darah memancar antara sapi yang dipingsankan dengan sapi yang tidak dipingsankan sebelum disembelih adalah 53.4 detik. Waktu henti darah memancar dipengaruhi oleh perlakuan hewan sebelum pemotongan.

(2)

ABSTRACT

NADHEAR NADADYANHA DANNAR. Blood Gushing Downtime of Cattle Slaughter by Stunning and Non Stunning. Supervised by HERWIN PISESTYANI and KOEKOEH SANTOSO.

Palpebra reflex and gushing blood downtime can be used as parameters to see animals death after slaughtered. Stop bleeding time was an indication that the heart is unable to pump blood out of the body due to no more oxygen in the blood of the heart, so that the cattle can be said has been dead perfectly. The aims of this study was to calculate the stop bleeding time of cattle slaughtered by stunning and non stunning methods, thus obtained the avaraging data of perfectly death time of animals. Thirty catlles’s Brahman Cross divided into two treatment groups, firstly 15 cattle’s were slaughtered by stunning method (group 1) and the second one 15 cattle’s were slaughtered by non stunning method (group 2). Blood gushing downtime was calculated immediately after the animal is slaughtered until the blood stops radiating. The results showed the average blood gushing downtime in cattles that were stunning before slaughtered is 3.02 minutes and the average time to stop blood gushing in cattles of non stunning group is 2.13 minutes. The interval blood gushing downtime between the cattles' slaughtered by stunning and non stunning was 53.4 seconds. Blood gushing downtime was affected by the treatment of animals before they were slaughtered.

(3)

NADHEAR NADADYANHA DANNAR

WAKTU HENTI DARAH MEMANCAR PADA PENYEMBELIHAN

SAPI DENGAN PEMINGSANAN DAN TANPA PEMINGSANAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)
(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Waktu Henti Darah Memancar pada Penyembelihan Sapi dengan Pemingsanan dan Tanpa Pemingsanan adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

(6)
(7)

ABSTRAK

NADHEAR NADADYANHA DANNAR. Waktu Henti Darah Memancar pada Penyembelihan Sapi dengan Pemingsanan dan Tanpa Pemingsanan. Dibimbing oleh HERWIN PISESTYANI dan KOEKOEH SANTOSO.

Parameter yang dapat digunakan untuk melihat hewan mati sempurna setelah disembelih yaitu dengan melihat refleks kelopak mata dan atau waktu henti darah memancar. Waktu henti darah memancar merupakan indikasi bahwa jantung sudah tidak dapat memompa darah keluar dari tubuh akibat tidak ada lagi asupan oksigen darah dalam jantung, sehingga hewan tersebut dapat dikatakan mati. Tujuan dari penelitian ini untuk menghitung waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan sehingga diperoleh data rataan waktu hewan mati sempurna. Tiga puluh ekor sapi Brahman Cross dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu, sebanyak 15 ekor yang disembelih dengan pemingsanan (kelompok 1) dan sebanyak 15 ekor yang disembelih tanpa pemingsanan (kelompok 2). Waktu henti darah memancar dihitung sesaat setelah hewan disembelih sampai darah berhenti memancar. Hasil dari penelitian diperoleh rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang dipingsankan sebelum disembelih adalah sebesar 3.02 menit dan rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih tanpa pemingsanan adalah sebesar 2.13 menit. Selang waktu henti darah memancar antara sapi yang dipingsankan dengan sapi yang tidak dipingsankan sebelum disembelih adalah 53.4 detik. Waktu henti darah memancar dipengaruhi oleh perlakuan hewan sebelum pemotongan.

(8)

ABSTRACT

NADHEAR NADADYANHA DANNAR. Blood Gushing Downtime of Cattle Slaughter by Stunning and Non Stunning. Supervised by HERWIN PISESTYANI and KOEKOEH SANTOSO.

Palpebra reflex and gushing blood downtime can be used as parameters to see animals death after slaughtered. Stop bleeding time was an indication that the heart is unable to pump blood out of the body due to no more oxygen in the blood of the heart, so that the cattle can be said has been dead perfectly. The aims of this study was to calculate the stop bleeding time of cattle slaughtered by stunning and non stunning methods, thus obtained the avaraging data of perfectly death time of animals. Thirty catlles’s Brahman Cross divided into two treatment groups, firstly 15 cattle’s were slaughtered by stunning method (group 1) and the second one 15 cattle’s were slaughtered by non stunning method (group 2). Blood gushing downtime was calculated immediately after the animal is slaughtered until the blood stops radiating. The results showed the average blood gushing downtime in cattles that were stunning before slaughtered is 3.02 minutes and the average time to stop blood gushing in cattles of non stunning group is 2.13 minutes. The interval blood gushing downtime between the cattles' slaughtered by stunning and non stunning was 53.4 seconds. Blood gushing downtime was affected by the treatment of animals before they were slaughtered.

(9)

Skripsi

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

WAKTU HENTI DARAH MEMANCAR PADA PENYEMBELIHAN

SAPI DENGAN PEMINGSANAN DAN TANPA PEMINGSANAN

NADHEAR NADADYANHA DANNAR

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan September 2013 hingga Maret 2014 ini ialah Waktu Henti Darah Memancar pada Penyembelihan Sapi dengan Pemingsanan dan Tanpa Pemingsanan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi selaku ketua peneliti dengan penelitian yang berjudul Aspek Kesejahteraan Hewan, Status Fisiologis Hewan, dan Kehalalan Daging pada Sapi yang Disembelih dengan Pemingsanan dan Tanpa Pemingsanan dengan pendanaan yang berasal dari Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh Supratikno, MSi PAVet selaku dosen pembimbing akademik serta Ibu Drh Herwin Pisestyani, MSi dan Bapak Dr Drh Koekoeh Santoso selaku pembimbing tugas akhir yang telah banyak memberikan saran dan bimbingannya. Penulis ucapkan terima kasih kepada teman sepenelitian yaitu saudari Drh Anis Trisna Fitrianti, Drh Karunia Maghfiroh, MSi dan Fikri Mukhlisina Latief, SKH serta saudara Tri Handoko Lasrianto, SKH. Ucapan terima kasih penulis ucapkan juga kepada kedua orang tua dan seluruh keluarga atas doa dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa karya ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan karya tulis ini. Semoga karya ini dapat berguna bagi penulis dan pembaca serta untuk kemajuan bidang pendidikan kedokteran hewan.

Bogor, Januari 2015

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Rumah Potong Hewan Ruminansia 2

Sapi Brahman Cross 3

Metode Penyembelihan Sapi 3

Penyembelihan Sapi Dengan Pemingsanan 3

Penyembelihan Sapi Tanpa Pemingsanan 5

Restraining Box 5

Syok Hemoragik 7

METODE 10

Waktu dan Lokasi Penelitian 10

Alat dan Bahan 10

Metode Penelitian 10

Analisis Data 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

SIMPULAN DAN SARAN 13

DAFTAR PUSTAKA 13

LAMPIRAN 17

(16)

DAFTAR TABEL

1 Waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan

pemingsanan dan tanpa pemingsangan 11

DAFTAR GAMBAR

1 Posisi penggunaan captive bolt pada sapi 4

2 Penetrative, trigger-fired captive-bolt stunner Key: Bolt (A), Stop washers (B), Flange & piston (C), Expansion chamber (D), Breech (E), Ejector (F), Hammer (G), Trigger mechanism (H), Trigger (I), Undercut

(J), Recuperator Sleeves (K) 4

3 Non-pentrative, trigger-fired captive-bolt stunner Key: Cocking mechanism (A), Trigger (B), Breech (C), Ejector (D), Expansion chamber (E), Flange & piston (F), Bolt (G), Barrel (H), Damper (I),

Mushroom head (J) 4

4 Restraining box mark I 5 5 Restraining box mark II 6

6 Restraining box mark III 6

7 Restraining box mark IV 7

8 Mekanisme tubuh dalam upaya mengembalikan tekanan arteri dan

volume darah kembali normal 8

9 Mekanisme tubuh dalam upaya mengembalikan tekanan arteri dan

volume darah kembali normal 9

DAFTAR LAMPIRAN

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan daging sapi dan kerbau untuk konsumsi dan industri di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 484 ribu ton (Ditjennak dan Keswan 2012). Setiap tahun permintaan tersebut akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi penduduk dan tingginya minat masyarakat terhadap konsumsi daging. Tingginya permintaan menyebabkan intensitas pemotongan juga meningkat, sehingga keberadaan rumah potong hewan (RPH) sebagai tempat untuk pemotongan hewan sangat diperlukan. Dalam pelaksanaannya RPH harus dapat menjaga kualitas daging, baik dari tingkat kebersihan, kesehatan, ataupun kehalalan dagingnya. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah mendirikan RPH di berbagai daerah seluruh Indonesia. Semakin bertambahnya RPH, namun belum diikuti dengan meningkatnya fasilitas di RPH. Hampir sebagian besar RPH masih menggunakan metode konvensional dalam proses penyembelihan, yaitu dengan cara sapi diikat dan ditarik dengan kuat sehingga sapi roboh ke lantai baru kemudian disembelih. Perlakuan tersebut mengakibatkan banyak hewan mengalami stres sehingga dapat mempengaruhi nilai karkas atau daging yang dihasilkan. Perlakuan yang kasar dalam penanganan pemotongan hewan akan menyebabkan stres pada hewan dan menghasilkan kualitas daging yang rendah. Penanganan hewan saat pemotongan harus diatur dengan baik untuk mempertahankan standar karena kesejahteraan hewan merupakan bagian dari kualitas daging (Grandin 2001). Di Indonesia ada dua metode sebelum pemotongan, yaitu dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan. Praktik pemotongan sapi tanpa dipingsankan terlebih dahulu telah dilakukan sejak lama di Indonesia, sedangkan pemotongan dengan pemingsanan bertujuan agar sapi mendapatkan perlakuan sesuai dengan kesejahteraan hewan, sehingga meminimalkan kejadian stres pada sapi.

(18)

2

yang digunakan untuk menentukan hewan mati sempurna adalah dengan melihat refleks kelopak mata. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menghitung waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan sehingga diperoleh data rataan waktu hewan mati sempurna.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghitung waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran perbedaan laju pemancaran darah pada sapi yang disembelih dengan perlakuan pemingsanan dan tanpa pemingsanan.

TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Potong Hewan Ruminansia

Rumah potong hewan (RPH) merupakan suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi masyarakat konsumsi umum. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyedia daging yang aman, sehat, utuh, dan halal serta sebagai sarana yang berfungsi untuk melaksanakan:

a. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariah agama);

b. Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection) dan pemeriksaan karkas, jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penyakit zoonotik;

c. Pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditentukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan. (Permentan No. 13/2010 tentang RPH)

(19)

3

Sapi Brahman Cross

Sapi Brahman Cross merupakan persilangan antara sapi Brahman dengan sapi Eropa (Bos taurus), awalnya merupakan bangsa sapi American Brahman yang diimpor ke Australia pada tahun 1933 (Minish dan Fox 1979). Sapi Brahman Cross mulai diimpor dari Australia ke Indonesia sejak tahun 1973. Sapi-sapi impor ini memiliki kelebihan mudah beradaptasi dengan lingkungan tropis di Indonesia, memiliki pertambahan bobot badan yang tinggi dengan waktu yang singkat dan produktivitas karkas yang tinggi (Hafid 1998). Di Indonesia sapi ini memiliki kontribusi yang cukup berarti bagi pemenuhan daging di Indonesia. Ciri-ciri sapi Brahman Cross mempunyai telinga besar, punuk besar, bertanduk, dan gelambir yang memanjang berlipat-lipat dari kepala ke dada. Sapi Brahman Cross memiliki warna kulit yang bervariasi, mulai dari abu-abu muda, merah sampai hitam. Kebanyakan berwarna abu-abu muda dan abu-abu tua. Sapi jantan warnanya lebih tua dari betina dan memiliki warna gelap di daerah leher, bahu dan paha bawah (Gunawan et al. 2008). Sapi ini senang menerima perlakuan halus dan dapat menjadi liar jika menerima perlakuan kasar. Konsekuensinya penanganan sapi ini harus hati-hati, tetapi secara keseluruhan sapi Brahman Cross mudah dikendalikan. Sapi Brahman Cross memiliki sifat pemalu dan cerdas serta dapat beradaptasi dengan lingkungan yang bervariasi.

Metode Penyembelihan Sapi

Penyembelihan adalah suatu aktivitas atau kegiatan menghilangkan nyawa hewan atau binatang dengan menggunakan alat bantu atau benda yang tajam ke arah leher dengan cara memotong trakhea, esophagus, arteri karotis, dan vena jugularis. Penyembelihan pada sapi biasanya dilakukan dengan menggunakan pisau. Penyembelihan dilakukan dengan pisau yang tajam pada bagian ventral leher (8-10 cm di belakang lengkung rahang bawah) sehingga trakhea, esophagus, arteri karotis, dan vena jugularis terpotong sekaligus. Prinsip penyembelihan hewan adalah hewan harus disembelih secepat mungkin dengan seminimal mungkin mengurangi rasa sakit untuk menghindari stres karena dapat mempengaruhi kualitas karkas yang dihasilkan. Di Indonesia ada dua teknik sebelum penyembelihan, yaitu dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan.

Penyembelihan Sapi dengan Pemingsanan

(20)

4

Menurut EFSA (2004) stun gun dapat bekerja maksimal jika dipukulkan 2 cm di atas titik silang dari garis imajiner yang ditarik antara pangkal tanduk dan mata kontra lateral.

Gambar 1 Posisi penggunaan captive bolt pada sapi (sumber: Giliam et al. 2012) Captive bolt stun gun tipe penetrating dapat membuat kerusakan permanen pada otak dan menyebabkan kematian, sedangkan captive bolt tipe non- penetrating tidak menyebabkan kematian kecuali terjadi perdarahan pada otak. RPH di Indonesia menggunakan Captive bolt stun gun tipe non-penetrating karena terkait dengan aspek kehalalan. Hewan dinyatakan pingsan dengan baik apabila tidak ada refleks kelopak mata, tidak ada rotasi bola mata, pupil mengalami dilatasi, dan reaksi menendang minimal saat disentuh (Algers dan Atkinson 2007).

Gambar 2 Penetrative, trigger-fired captive-bolt stunnerKey: Bolt (A), Stop washers (B), Flange & piston (C), Expansion chamber (D), Breech HAS, Ejector (F), Hammer (G), Trigger mechanism (H), Trigger (I), Undercut (J), Recuperator Sleeves (K) (sumber : HSA 2013).

(21)

5

Penyembelihan Sapi Tanpa Pemingsanan

Teknik tanpa pemingsanan sebelum penyembelihan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara konvensional dan menggunakan restraining box.

Restraining Box

Restraining box merupakan alat yang digunakan untuk memfiksasi hewan sebelum pemotongan. Menurut Grandin (1991), restraining box adalah alat yang digunakan untuk mengendalikan sapi sebelum disembelih agar tingkat stres pada sapi berkurang. Pada prinsipnya, tingkat stres dapat diturunkan karena (1) saat sapi masuk ke dalam restraining box sapi tidak merasa takut karena terhindar dari pengaruh lingkungan area penyembelihan. Hal tersebut penting terutama bagi sapi yang cukup agresif; (2) untuk mengatasi terjangan kepala sapi karena pandangan di sekeliling sapi tertutup penuh; (3) memudahkan dalam merobohkan sapi tanpa perlakuan kasar; (4) stabilitas alat ini membuat sapi menjadi lebih tenang dan mengatasi gerakan berontak yang tiba-tiba; dan (5) tekanan alat pada sapi tidak menimbulkan kesakitan dan berlangsung cepat. Ada beberapa tipe restraining box, yaitu restraining box mark I, restraining box mark II, restraining box mark III, dan restraining box mark IV.

Restraining box mark I merupakan alat fiksasi yang dirancang untuk memanipulasi perilaku melarikan diri alami pada hewan dalam proses perobohan dan pengekangan. Alat ini dirancang untuk merobohkan sapi dengan cara memasukkannya ke dalam restraining box, setelah sapi masuk kemudian kaki sapi diikat dengan tali agar saat pintu sebelah samping alat dibuka sapi mudah roboh. Sapi yang roboh kemudian pada bagian kepala, leher dan tanduk hewan dikekang menggunakan tali agar sapi tidak bisa berdiri kembali, dan selanjutnya sapi dapat disembelih.

Gambar 4 Restraining box mark I (sumber: Whittington dan Hewitt 2009)

(22)

6

Gambar 5 Restraining box mark II (sumber: Whittington dan Hewitt 2009)

Restraining box mark III memiliki konstruksi dan fungsi yang sama dengan Restraining box mark II akan tetapi memiliki fitur tambahan berupa alat otomatis yang digunakan untuk memiringkan restraining box.

Gambar 6 Restraining box mark III (sumber: Whittington dan Hewitt 2009)

Restraining box mark IV merupakan penyempurnaan dari restraining box III yang semua mekanisme penggunaan alat ini dilakukan secara otomatis dan memiliki kelebihan, yaitu:

 Lantai tidak licin

 Rangka kotak yang padat, membatasi gangguan eksternal, dan meningkatkan efisiensi

 Pergerakan alat halus dan memiliki kebisingan yang rendah sehingga dapat mengurangi tingkat stres

 Alat pengekang yang nyaman

 Meja miring lateral yang nyaman untuk posisi hewan saat akan dipotong maupun pendarahan

(23)

7

Gambar 7 Restraining box mark IV (sumber: Review of modified and copy mark IV type restraint boxes 2013)

Syok Hemoragik

Penghilangan nyawa melalui penyembelihan berdasarkan pada pengeluaran darah secara sengaja, tiba-tiba dan dalam jumlah yang banyak akibat pemotongan pembuluh darah besar di daerah leher yaitu arteri karotis dan vena jugularis. Syok hemoragik adalah gejala klinis hasil dari penurunan volume darah (hipovolemia) yang disebabkan oleh hilangnya darah, yang berakibat berkurangnya curah jantung dan perfusi organ. Menurut lokasinya perdarahan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perdarahan eksternal dan perdarahan internal. Perdarahan eksternal yaitu perdarahan yang keluar dari kulit atau jaringan lunak di bawahnya. Ada tiga jenis perdarahan eksternal, yaitu perdarahan yang terjadi pada arteri, vena dan kapiler. Diantara ketiga jenis perdarahan tersebut, perdarahan yang terjadi di arteri merupakan jenis perdarahan yang sangat serius karena kehilangan darah dalam jumlah besar dapat terjadi dalam waktu yang singkat. Perdarahan internal adalah perdarahan yang ditandai dengan masuknya darah ke dalam rongga tubuh atau jaringan (misalnya pendarahan internal yang disebabkan oleh pecahnya aorta aneurisma). Aorta aneurisma dapat terjadi di ruang abdominal yang disebabkan oleh aterosklerosis, infeksi, dan cedera. Selain itu, aorta aneurisma juga dapat terjadi di ruang thorak yang disebabkan oleh tekanan darah yang terlalu tinggi dan cedera secara tiba-tiba pada daerah thorak (Aortic aneurysm fact sheet 2009). Dalam konteks penyembelihan yang terjadi adalah perdarahan eksternal.

Tingkat keparahan syok hemoragik dan gejala yang terkait tergantung pada volume darah yang hilang dan cepatnya darah hilang. Secara umum, kehilangan darah <15% total volume darah sebesar 8% dari berat badan menyebabkan hanya sedikit peningkatan frekuensi jantung dan tidak ada perubahan yang signifikan pada tekanan arteri. Kehilangan darah antara 15-40% mengakibatkan tekanan pada arteri dan denyut nadi turun, dan frekuensi jantung meningkat. Besarnya perubahan ini karena terkait dengan banyaknya darah yang hilang.

(24)

8

perdarahan akut menyebabkan penurunan tekanan vena cava dan penurunan pengisian darah ke jantung. Hal ini menyebabkan penurunan tekanan curah jantung (stroke volume) dan tekanan arteri. Tubuh memiliki sejumlah mekanisme yang menjadi aktif dalam upaya untuk mengembalikan tekanan arteri dan volume darah kembali normal. Mekanisme ini meliputi refleks baroreseptor, refleks kemoreseptor, peredaran vasokonstriktor, reabsorpsi ginjal natrium dan air, aktivasi mekanisme haus, dan reabsorpsi cairan jaringan (Gambar 8).

Gambar 8 Mekanisme tubuh dalam upaya mengembalikan tekanan arteri dan volume darah kembali normal.

(25)

9

Gambar 9 Mekanisme tubuh dalam upaya mengembalikan tekanan arteri dan volume darah kembali normal

Dampak gabungan dari hipotensi arteri dan aktivasi saraf simpatis menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi humoral. Stimulasi saraf simpatis dari kelenjar adrenal merangsang pelepasan katekolamin ke dalam darah, yang memperkuat efek aktivasi saraf simpatis pada jantung dan pembuluh darah. Ginjal melepaskan lebih banyak renin sehingga terjadi peningkatan sirkulasi angiotensin II dan aldosteron. Hal ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah, peningkatan aktivitas saraf simpatis, stimulasi pelepasan vasopresin , aktivasi mekanisme haus, dan hal yang terpenting adalah peningkatan reabsorpsi natrium dan air oleh ginjal untuk meningkatkan volume darah. Mekanisme pada ginjal ini sangat penting dalam pemulihan jangka panjang dari kehilangan darah.

(26)

10

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RPHR wilayah Depok, Tangerang, dan Tasikmalaya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013 hingga Maret 2014.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan untuk menghitung waktu henti darah memancar antara lain stopwatch, alat penampung darah, tisu, dan alat tulis. Obyek hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi.

Metode Penelitian

Sampel berupa 30 ekor sapi Brahman Cross yang dipilih menggunakan metode purposive sampling. Waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan dihitung menggunakan stopwatch. Tombol start pada stopwatch ditekan sesaat setelah sapi disembelih dan terlihat darah pertama kali memancar. Ditunggu selang beberapa waktu sampai terlihat darah sudah tidak lagi memancar lalu tombol stop pada stopwatch ditekan dan dilihat waktu yang tertera pada layar stopwatch.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif. Data dianalisis dengan uji t untuk mengetahui perbedaan waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan dengan menggunakan SPSS 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

(27)

11 Tabel 1 Waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan

pemingsanan dan tanpa pemingsangan

Metode Waktu henti darah memancar (menit) Rata-rata Minimum Maksimum

Pemingsanan 3.02 ± 0.74a 1.53 4.33

Tanpa pemingsanan 2.13 ± 0.60b 1.04 3.14

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan uji berbeda nyata pada taraf 5% (p<0.05).

Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan waktu henti darah yang signifikan (P<0.05) pada sapi yang disembelih dengan pemingsanan dan sapi yang disembelih tanpa pemingsanan terlebih dahulu. Rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang dipingsankan terlebih dahulu sebelum disembelih adalah sebesar 3.02 menit dengan waktu henti darah maksimum sebesar 4.33 menit dan minimum sebesar 1.53 menit. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk darah berhenti memancar pada sapi yang disembelih tanpa dipingsankan terlebih dahulu rata-rata sebesar 2.13 menit dengan waktu henti darah minimum sebesar 1.04 menit dan maksimum sebesar 3.14 menit. Perbedaan waktu henti darah berhenti memancar antara sapi yang dipingsankan dengan sapi yang tidak dipingsankan sebelum disembelih adalah 53.4 detik. Sapi yang dipingsankan sebelum disembelih membutuhkan waktu henti darah lebih lama dibandingkan sapi yang tidak dipingsankan. Waktu henti darah memancar dipengaruhi oleh perlakuan hewan sebelum penyembelihan.

Sapi yang diamati dengan perlakuan pemingsanan sebelum penyembelihan, dipingsankan mengunakan captive bolt stun gun non-penetrating. Non-penetrating captive bolt stun gun yang digunakan di RPH di Indonesia adalah tipe Cash Magnum Knocker caliber 0.25 yang diproduksi oleh Accles dan Shelvoke. Cash Magnum Knocker menembakkan baut (bolt) berukuran panjang 121 mm dan diameter 11.91 yang berbentuk kepala jamur (mushroom-headed). Cartridge merupakan tenaga pendorong untuk menyebabkan trauma ke korteks otak tanpa penetrasi ke dalam tengkorak (Accles dan Shelvoke 2014). Tipe non-penetrating menyebabkan ketidaksadaran melalui pelemahan sistem syaraf yang mengakibatkan hilangnya kesadaran tanpa perubahan anatomis di otak. Pemingsanan menyebabkan sapi tidak mengalami stres, sehingga kondisi jantung tidak berubah. Jantung pada sapi dapat memompa darah lebih stabil tanpa adanya peningkatan frekuensi jantung. Penurunan tekanan jantung terutama ventrikel selama pengeluaran darah terjadi karena penurunan oksigen darah pada miokardium. Respirasi pada hewan yang dipingsankan akan menurun sehingga distribusi oksigen ke jantung juga menurun. Hal ini mengakibatkan kekuatan frekuensi jantung dan tekanan darah menurun (Vemini et al. 1983). Kondisi tersebut membuat waktu henti darah memancar pada sapi yang dipingsankan lebih lama dibandingkan dengan sapi yang tidak dipingsankan.

(28)

12

(Review of modified and copy mark IV type restraint boxes 2013). Upaya penurunan stres menggunakan mark IV masih menyisakan sapi dalam keadaan sadar, sehingga stres masih berpengaruh pada sapi dibandingkan dengan metode pemingsanan. Implikasi dari penggunaan metode mark IV tetap mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan darah dan frekuensi jantung. Peningkatan frekuensi jantung menyebabkan darah yang dipompa keluar pada saat disembelih menjadi lebih cepat, sehingga darah yang memancar pada sapi akan lebih cepat berhenti.

Peningkatan tekanan darah terjadi akibat adanya penyempitan pembuluh darah kapiler pada jaringan. Darah dipompakan melalui pembuluh darah oleh jantung. Pembuluh-pembuluh darah merupakan sistem yang tertutup, yang membawa darah dari jantung ke seluruh jaringan tubuh dan kembali ke jantung. Aliran darah ke tiap-tiap jaringan diatur oleh mekanisme kimia lokal dan mekanisme saraf umum yang melebarkan atau menyempitkan pembuluh darah jaringan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan oksigen pada jaringan melalui sistem kemoreseptor (Guyton dan Hall 2006). Mekanisme kimia lokal merupakan mekanisme pengaturan saraf otonom, yaitu oleh zat-zat kimia seperti asetilkolin dan katekolamin, yang utama adalah norepinefrin dan epinefrin. Katekolamin menyebabkan penyempitan buluh-buluh darah sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Stres sehubungan dengan pemingsanan dan pengeluaran darah secara normal menyebabkan pelepasan katekolamin sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah jaringan (Vemini et al. 1983).

Penyembelihan sapi dengan pemingsanan maupun tanpa pemingsanan harus memenuhi kaidah halal diantaranya harus memotong tiga saluran pada leher, yaitu esofagus, trakhea, dan pembuluh darah (vena jugularis dan arteri karotis). Proses penyembelihan mengakibatkan pengeluaran darah dari pembuluh darah dalam jumlah yang besar. Respon fisiologis dari hewan yang kehilanganya darah dalam jumlah yang besar secara tiba-tiba disebut syok hemoragik. Syok hemoragik merupakan gejala klinis akibat berkurangnya curah jantung dan perfusi darah ke organ karena penurunan volume darah (hipovolemia) yang disebabkan oleh hilangnya darah. Hal ini disebabkan ketidakmampuan sistem homestasis tubuh dalam mengembalikan jumlah normal darah akibat banyaknya darah yang keluar. Penurunan volume darah selama perdarahan akut menyebabkan penurunan tekanan vena cava dan pengisian darah ke jantung. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan arteri. Tubuh memiliki sejumlah mekanisme yang menjadi aktif dalam upaya untuk mengembalikan tekanan arteri kembali normal melalui refleks baroreseptor dan refleks kemoreseptor. Namun, karena terhentinya asupan oksigen dan nutrisi ke jantung akibat perdarahan yang sangat parah (hypovolemia) menyebabkan jantung gagal berkontraksi. Kegagalan jantung berkontraksi mengakibatkan tidak ada lagi aliran darah dalam tubuh, sehingga perfusi darah ke organ tidak terjadi (Klabunde 2011). Proses ini dapat berujung pada kematian.

(29)

13 curah jantung adalah karena jantung memiliki mekanisme di dalam jantung itu sendiri yang biasanya memungkinkan jantung untuk memompa secara otomatis berapapun darah yang mengalir ke dalam atrium kanan yang berasal dari vena. Tujuan dari pengeluaran darah adalah untuk mengeluarkan darah dan memastikan hewan mati dengan menghentikan suplai oksigen ke otak (Gregory 1998). Pengeluaran darah yang baik dapat terjadi pada hewan dalam keadaan sehat namun dapat diperlambat jika hewan mengalami kondisi demam, infeksi pada bagian jantung, paru-paru dan otot (Roca 2002; Agbeniga 2011). Kerusakan otot dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena terbanting atau karena penyakit infeksius yang menyebabkan rusaknya pembuluh darah kapiler pada jaringan sehingga darah masuk ke otot yang menyebabkan kualitas daging menurun. Kesempurnaan pengeluaran darah merupakan syarat agar kualitas daging yang dihasilkan baik.

Kontraksi, gravitasi dan aktifitas jantung merupakan faktor yang mempengaruhi pengeluaran darah otot-otot hewan (Vemini et al. 1983). Oleh sebab itu, selama penyembelihan hewan harus dibiarkan berkontraksi hingga mati sempurna, setelah itu baru dilakukan penggantungan dan pelepasan kulit.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan metode pemingsanan adalah 3.02 menit dan rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan metode tanpa pemingsanan adalah 2.13 menit.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang korelasi antara waktu henti darah memancar dan reflek kornea untuk mengetahui kematian sempurna pada sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Accles, Shelvoke. 2014. Cash magnum knocker product data sheet [Internet]. [diunduh 2015 Jan 13]. Tersedia pada: http://acclesandshelvoke.co.uk/ cash_magnum_knocker.htm.

Agbeniga B. 2011. Influence of conventional and kosher slaughter techniques in cattle on carcass and meat quality [thesis]. Pretoria (ZA): University of Pretoria.

(30)

14

Hygiene; 2007 Jun 17-21; Tartu, Estonia. Tartu (EE): Estonian Univ of Life Sciences.hlm 1023-1027.

Aortic aneurysm fact sheet. 2009. Kota tidak diketahui (US): Department of Health and Human Services-USA.

Review of modified and copy mark IV type restraint boxes. 2013. Kota tidak diketahui (AU): Department of Agriculture, Fisheries and Forestry

[Ditjennak dan Keswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Press release konfrensi pers direktur jenderal peternakan dan kesehatan hewan tentang supply demand daging sapi/kerbau sampai dengan Desember 2012. Jakarta (ID): Ditjennak dan Keswan.

[EFSA] European Food Safety Authority. 2004. Welfare aspects of animal stunning and killing methods. Scientific report of the scientific panel for animal health and welfare on a request from the commission related to welfare aspects of animal stunning and killing methods (Question N°

EFSA-Q-2003-093) [internet]. [28 Oktober 2014].

http://www.efsa.europa.eu/en/science/ahaw/ahaw_opinions/495.html.

Gilliam JN, Shearer JK, Woods J, Hill J, Reynolds J, Taylor JD, Bahr RJ, Crochik S, Snider TA. 2012. Captive-bolt euthanasia of cattle: determination of optimal-shot placement and evaluation of the cash special euthanizer kit (R) for euthanasia of cattle. J Anim Welfare. 21:99-102.

Grandin T. 1991. Double Restrainer for Handling Beef Cattle. Kota tidak diketahui (US): American Soc Agric Engin.

Grandin T. 2001. Antemortem handling and welfare. Di dalam: Hui YH, editor. Meat Science and Applications. New York (US): Marcel Dekker.

Gregory NG. 1998. Animal Welfare and Meat Production. Cambridge (GB): Cambridge University Pr.

Gunawan, Abubakar, Tri Pambudi G, Karim K, Nista D, Purwadi A, Putro PP. 2008. Petunjuk Pemeliharaan Sapi Brahman Cross. BPTU Sapi Dwiguna dan Ayam Sembawa. Palembang (ID): Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.

Guyton AC, Hall JE. 2006. Fisiologi Kedokteran. Irawati, Ramadhani D, Indriyani F, Dany F, Nuryanto I, Rianti S, Resmisari T, Suyono Y, penerjemah; Rachman LY, Hartanto H, Novrianti A, Wulandari N, editor. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiologi. Ed ke-11.

Hafid HH. 1998. Kinerja produksi sapi Australian commercial cross yang dipelihara secara feedlot dengan kondisi bakaln dan lama penggemukan berbeda [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[HSA] Human Slaughter Association. 2013. Captive-bolt stunning of livestock. [internet]. [27 Oktober 2014]. www.hsa.org.uk.

Klabunde RE. 2011. Cardiovascular Physiology Concepts. Indiana (US): Marian University College of Osteopathic Medicine.

Minish GL, Fox DG. 1979. Beef Production and Management. Virginia (US): Reston.

(31)

15 Roca RO. 2002. Humane slaughter of bovine. [internet]. [20 Okober 2014].

http://www.cpap.pdf

Vemini RJ, Field RA, Riley ML, Varnell TR. 1983. Effect of delayed bleeding after captive bolt stunning on heart activity and removal in beef cattle. J Sci. 57:3.

(32)
(33)

17

LAMPIRAN

Lampiran 1 Uji kenormalan data

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

waktu

N 30

Normal Parametersa Mean 2.5760

Std. Deviation .80437

Most Extreme Differences Absolute .129

(34)

18

Lampiran 3 Waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan

No Jenis Kelamin Bangsa Sapi Jenis Pemingsanan

Waktu henti darah

No. Jenis Kelamin Bangsa Sapi Tanpa Pemingsanan

(35)

19

RIWAYAT HIDUP

(36)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan daging sapi dan kerbau untuk konsumsi dan industri di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 484 ribu ton (Ditjennak dan Keswan 2012). Setiap tahun permintaan tersebut akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi penduduk dan tingginya minat masyarakat terhadap konsumsi daging. Tingginya permintaan menyebabkan intensitas pemotongan juga meningkat, sehingga keberadaan rumah potong hewan (RPH) sebagai tempat untuk pemotongan hewan sangat diperlukan. Dalam pelaksanaannya RPH harus dapat menjaga kualitas daging, baik dari tingkat kebersihan, kesehatan, ataupun kehalalan dagingnya. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah mendirikan RPH di berbagai daerah seluruh Indonesia. Semakin bertambahnya RPH, namun belum diikuti dengan meningkatnya fasilitas di RPH. Hampir sebagian besar RPH masih menggunakan metode konvensional dalam proses penyembelihan, yaitu dengan cara sapi diikat dan ditarik dengan kuat sehingga sapi roboh ke lantai baru kemudian disembelih. Perlakuan tersebut mengakibatkan banyak hewan mengalami stres sehingga dapat mempengaruhi nilai karkas atau daging yang dihasilkan. Perlakuan yang kasar dalam penanganan pemotongan hewan akan menyebabkan stres pada hewan dan menghasilkan kualitas daging yang rendah. Penanganan hewan saat pemotongan harus diatur dengan baik untuk mempertahankan standar karena kesejahteraan hewan merupakan bagian dari kualitas daging (Grandin 2001). Di Indonesia ada dua metode sebelum pemotongan, yaitu dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan. Praktik pemotongan sapi tanpa dipingsankan terlebih dahulu telah dilakukan sejak lama di Indonesia, sedangkan pemotongan dengan pemingsanan bertujuan agar sapi mendapatkan perlakuan sesuai dengan kesejahteraan hewan, sehingga meminimalkan kejadian stres pada sapi.

(37)

2

yang digunakan untuk menentukan hewan mati sempurna adalah dengan melihat refleks kelopak mata. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menghitung waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan sehingga diperoleh data rataan waktu hewan mati sempurna.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghitung waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran perbedaan laju pemancaran darah pada sapi yang disembelih dengan perlakuan pemingsanan dan tanpa pemingsanan.

TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Potong Hewan Ruminansia

Rumah potong hewan (RPH) merupakan suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi masyarakat konsumsi umum. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyedia daging yang aman, sehat, utuh, dan halal serta sebagai sarana yang berfungsi untuk melaksanakan:

a. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariah agama);

b. Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection) dan pemeriksaan karkas, jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penyakit zoonotik;

c. Pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditentukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan. (Permentan No. 13/2010 tentang RPH)

(38)

2

yang digunakan untuk menentukan hewan mati sempurna adalah dengan melihat refleks kelopak mata. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menghitung waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan sehingga diperoleh data rataan waktu hewan mati sempurna.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghitung waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran perbedaan laju pemancaran darah pada sapi yang disembelih dengan perlakuan pemingsanan dan tanpa pemingsanan.

TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Potong Hewan Ruminansia

Rumah potong hewan (RPH) merupakan suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi masyarakat konsumsi umum. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyedia daging yang aman, sehat, utuh, dan halal serta sebagai sarana yang berfungsi untuk melaksanakan:

a. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariah agama);

b. Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection) dan pemeriksaan karkas, jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penyakit zoonotik;

c. Pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditentukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan. (Permentan No. 13/2010 tentang RPH)

(39)

3

Sapi Brahman Cross

Sapi Brahman Cross merupakan persilangan antara sapi Brahman dengan sapi Eropa (Bos taurus), awalnya merupakan bangsa sapi American Brahman yang diimpor ke Australia pada tahun 1933 (Minish dan Fox 1979). Sapi Brahman Cross mulai diimpor dari Australia ke Indonesia sejak tahun 1973. Sapi-sapi impor ini memiliki kelebihan mudah beradaptasi dengan lingkungan tropis di Indonesia, memiliki pertambahan bobot badan yang tinggi dengan waktu yang singkat dan produktivitas karkas yang tinggi (Hafid 1998). Di Indonesia sapi ini memiliki kontribusi yang cukup berarti bagi pemenuhan daging di Indonesia. Ciri-ciri sapi Brahman Cross mempunyai telinga besar, punuk besar, bertanduk, dan gelambir yang memanjang berlipat-lipat dari kepala ke dada. Sapi Brahman Cross memiliki warna kulit yang bervariasi, mulai dari abu-abu muda, merah sampai hitam. Kebanyakan berwarna abu-abu muda dan abu-abu tua. Sapi jantan warnanya lebih tua dari betina dan memiliki warna gelap di daerah leher, bahu dan paha bawah (Gunawan et al. 2008). Sapi ini senang menerima perlakuan halus dan dapat menjadi liar jika menerima perlakuan kasar. Konsekuensinya penanganan sapi ini harus hati-hati, tetapi secara keseluruhan sapi Brahman Cross mudah dikendalikan. Sapi Brahman Cross memiliki sifat pemalu dan cerdas serta dapat beradaptasi dengan lingkungan yang bervariasi.

Metode Penyembelihan Sapi

Penyembelihan adalah suatu aktivitas atau kegiatan menghilangkan nyawa hewan atau binatang dengan menggunakan alat bantu atau benda yang tajam ke arah leher dengan cara memotong trakhea, esophagus, arteri karotis, dan vena jugularis. Penyembelihan pada sapi biasanya dilakukan dengan menggunakan pisau. Penyembelihan dilakukan dengan pisau yang tajam pada bagian ventral leher (8-10 cm di belakang lengkung rahang bawah) sehingga trakhea, esophagus, arteri karotis, dan vena jugularis terpotong sekaligus. Prinsip penyembelihan hewan adalah hewan harus disembelih secepat mungkin dengan seminimal mungkin mengurangi rasa sakit untuk menghindari stres karena dapat mempengaruhi kualitas karkas yang dihasilkan. Di Indonesia ada dua teknik sebelum penyembelihan, yaitu dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan.

Penyembelihan Sapi dengan Pemingsanan

(40)

4

Menurut EFSA (2004) stun gun dapat bekerja maksimal jika dipukulkan 2 cm di atas titik silang dari garis imajiner yang ditarik antara pangkal tanduk dan mata kontra lateral.

Gambar 1 Posisi penggunaan captive bolt pada sapi (sumber: Giliam et al. 2012) Captive bolt stun gun tipe penetrating dapat membuat kerusakan permanen pada otak dan menyebabkan kematian, sedangkan captive bolt tipe non- penetrating tidak menyebabkan kematian kecuali terjadi perdarahan pada otak. RPH di Indonesia menggunakan Captive bolt stun gun tipe non-penetrating karena terkait dengan aspek kehalalan. Hewan dinyatakan pingsan dengan baik apabila tidak ada refleks kelopak mata, tidak ada rotasi bola mata, pupil mengalami dilatasi, dan reaksi menendang minimal saat disentuh (Algers dan Atkinson 2007).

Gambar 2 Penetrative, trigger-fired captive-bolt stunnerKey: Bolt (A), Stop washers (B), Flange & piston (C), Expansion chamber (D), Breech HAS, Ejector (F), Hammer (G), Trigger mechanism (H), Trigger (I), Undercut (J), Recuperator Sleeves (K) (sumber : HSA 2013).

(41)

5

Penyembelihan Sapi Tanpa Pemingsanan

Teknik tanpa pemingsanan sebelum penyembelihan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara konvensional dan menggunakan restraining box.

Restraining Box

Restraining box merupakan alat yang digunakan untuk memfiksasi hewan sebelum pemotongan. Menurut Grandin (1991), restraining box adalah alat yang digunakan untuk mengendalikan sapi sebelum disembelih agar tingkat stres pada sapi berkurang. Pada prinsipnya, tingkat stres dapat diturunkan karena (1) saat sapi masuk ke dalam restraining box sapi tidak merasa takut karena terhindar dari pengaruh lingkungan area penyembelihan. Hal tersebut penting terutama bagi sapi yang cukup agresif; (2) untuk mengatasi terjangan kepala sapi karena pandangan di sekeliling sapi tertutup penuh; (3) memudahkan dalam merobohkan sapi tanpa perlakuan kasar; (4) stabilitas alat ini membuat sapi menjadi lebih tenang dan mengatasi gerakan berontak yang tiba-tiba; dan (5) tekanan alat pada sapi tidak menimbulkan kesakitan dan berlangsung cepat. Ada beberapa tipe restraining box, yaitu restraining box mark I, restraining box mark II, restraining box mark III, dan restraining box mark IV.

Restraining box mark I merupakan alat fiksasi yang dirancang untuk memanipulasi perilaku melarikan diri alami pada hewan dalam proses perobohan dan pengekangan. Alat ini dirancang untuk merobohkan sapi dengan cara memasukkannya ke dalam restraining box, setelah sapi masuk kemudian kaki sapi diikat dengan tali agar saat pintu sebelah samping alat dibuka sapi mudah roboh. Sapi yang roboh kemudian pada bagian kepala, leher dan tanduk hewan dikekang menggunakan tali agar sapi tidak bisa berdiri kembali, dan selanjutnya sapi dapat disembelih.

Gambar 4 Restraining box mark I (sumber: Whittington dan Hewitt 2009)

(42)

6

Gambar 5 Restraining box mark II (sumber: Whittington dan Hewitt 2009)

Restraining box mark III memiliki konstruksi dan fungsi yang sama dengan Restraining box mark II akan tetapi memiliki fitur tambahan berupa alat otomatis yang digunakan untuk memiringkan restraining box.

Gambar 6 Restraining box mark III (sumber: Whittington dan Hewitt 2009)

Restraining box mark IV merupakan penyempurnaan dari restraining box III yang semua mekanisme penggunaan alat ini dilakukan secara otomatis dan memiliki kelebihan, yaitu:

 Lantai tidak licin

 Rangka kotak yang padat, membatasi gangguan eksternal, dan meningkatkan efisiensi

 Pergerakan alat halus dan memiliki kebisingan yang rendah sehingga dapat mengurangi tingkat stres

 Alat pengekang yang nyaman

 Meja miring lateral yang nyaman untuk posisi hewan saat akan dipotong maupun pendarahan

(43)

7

Gambar 7 Restraining box mark IV (sumber: Review of modified and copy mark IV type restraint boxes 2013)

Syok Hemoragik

Penghilangan nyawa melalui penyembelihan berdasarkan pada pengeluaran darah secara sengaja, tiba-tiba dan dalam jumlah yang banyak akibat pemotongan pembuluh darah besar di daerah leher yaitu arteri karotis dan vena jugularis. Syok hemoragik adalah gejala klinis hasil dari penurunan volume darah (hipovolemia) yang disebabkan oleh hilangnya darah, yang berakibat berkurangnya curah jantung dan perfusi organ. Menurut lokasinya perdarahan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perdarahan eksternal dan perdarahan internal. Perdarahan eksternal yaitu perdarahan yang keluar dari kulit atau jaringan lunak di bawahnya. Ada tiga jenis perdarahan eksternal, yaitu perdarahan yang terjadi pada arteri, vena dan kapiler. Diantara ketiga jenis perdarahan tersebut, perdarahan yang terjadi di arteri merupakan jenis perdarahan yang sangat serius karena kehilangan darah dalam jumlah besar dapat terjadi dalam waktu yang singkat. Perdarahan internal adalah perdarahan yang ditandai dengan masuknya darah ke dalam rongga tubuh atau jaringan (misalnya pendarahan internal yang disebabkan oleh pecahnya aorta aneurisma). Aorta aneurisma dapat terjadi di ruang abdominal yang disebabkan oleh aterosklerosis, infeksi, dan cedera. Selain itu, aorta aneurisma juga dapat terjadi di ruang thorak yang disebabkan oleh tekanan darah yang terlalu tinggi dan cedera secara tiba-tiba pada daerah thorak (Aortic aneurysm fact sheet 2009). Dalam konteks penyembelihan yang terjadi adalah perdarahan eksternal.

Tingkat keparahan syok hemoragik dan gejala yang terkait tergantung pada volume darah yang hilang dan cepatnya darah hilang. Secara umum, kehilangan darah <15% total volume darah sebesar 8% dari berat badan menyebabkan hanya sedikit peningkatan frekuensi jantung dan tidak ada perubahan yang signifikan pada tekanan arteri. Kehilangan darah antara 15-40% mengakibatkan tekanan pada arteri dan denyut nadi turun, dan frekuensi jantung meningkat. Besarnya perubahan ini karena terkait dengan banyaknya darah yang hilang.

(44)

8

perdarahan akut menyebabkan penurunan tekanan vena cava dan penurunan pengisian darah ke jantung. Hal ini menyebabkan penurunan tekanan curah jantung (stroke volume) dan tekanan arteri. Tubuh memiliki sejumlah mekanisme yang menjadi aktif dalam upaya untuk mengembalikan tekanan arteri dan volume darah kembali normal. Mekanisme ini meliputi refleks baroreseptor, refleks kemoreseptor, peredaran vasokonstriktor, reabsorpsi ginjal natrium dan air, aktivasi mekanisme haus, dan reabsorpsi cairan jaringan (Gambar 8).

Gambar 8 Mekanisme tubuh dalam upaya mengembalikan tekanan arteri dan volume darah kembali normal.

(45)

9

Gambar 9 Mekanisme tubuh dalam upaya mengembalikan tekanan arteri dan volume darah kembali normal

Dampak gabungan dari hipotensi arteri dan aktivasi saraf simpatis menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi humoral. Stimulasi saraf simpatis dari kelenjar adrenal merangsang pelepasan katekolamin ke dalam darah, yang memperkuat efek aktivasi saraf simpatis pada jantung dan pembuluh darah. Ginjal melepaskan lebih banyak renin sehingga terjadi peningkatan sirkulasi angiotensin II dan aldosteron. Hal ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah, peningkatan aktivitas saraf simpatis, stimulasi pelepasan vasopresin , aktivasi mekanisme haus, dan hal yang terpenting adalah peningkatan reabsorpsi natrium dan air oleh ginjal untuk meningkatkan volume darah. Mekanisme pada ginjal ini sangat penting dalam pemulihan jangka panjang dari kehilangan darah.

(46)

10

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RPHR wilayah Depok, Tangerang, dan Tasikmalaya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013 hingga Maret 2014.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan untuk menghitung waktu henti darah memancar antara lain stopwatch, alat penampung darah, tisu, dan alat tulis. Obyek hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi.

Metode Penelitian

Sampel berupa 30 ekor sapi Brahman Cross yang dipilih menggunakan metode purposive sampling. Waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan dihitung menggunakan stopwatch. Tombol start pada stopwatch ditekan sesaat setelah sapi disembelih dan terlihat darah pertama kali memancar. Ditunggu selang beberapa waktu sampai terlihat darah sudah tidak lagi memancar lalu tombol stop pada stopwatch ditekan dan dilihat waktu yang tertera pada layar stopwatch.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif. Data dianalisis dengan uji t untuk mengetahui perbedaan waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan dengan menggunakan SPSS 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

(47)

10

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RPHR wilayah Depok, Tangerang, dan Tasikmalaya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013 hingga Maret 2014.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan untuk menghitung waktu henti darah memancar antara lain stopwatch, alat penampung darah, tisu, dan alat tulis. Obyek hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi.

Metode Penelitian

Sampel berupa 30 ekor sapi Brahman Cross yang dipilih menggunakan metode purposive sampling. Waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan dihitung menggunakan stopwatch. Tombol start pada stopwatch ditekan sesaat setelah sapi disembelih dan terlihat darah pertama kali memancar. Ditunggu selang beberapa waktu sampai terlihat darah sudah tidak lagi memancar lalu tombol stop pada stopwatch ditekan dan dilihat waktu yang tertera pada layar stopwatch.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif. Data dianalisis dengan uji t untuk mengetahui perbedaan waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan dengan menggunakan SPSS 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

(48)

11 Tabel 1 Waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan

pemingsanan dan tanpa pemingsangan

Metode Waktu henti darah memancar (menit) Rata-rata Minimum Maksimum

Pemingsanan 3.02 ± 0.74a 1.53 4.33

Tanpa pemingsanan 2.13 ± 0.60b 1.04 3.14

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan uji berbeda nyata pada taraf 5% (p<0.05).

Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan waktu henti darah yang signifikan (P<0.05) pada sapi yang disembelih dengan pemingsanan dan sapi yang disembelih tanpa pemingsanan terlebih dahulu. Rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang dipingsankan terlebih dahulu sebelum disembelih adalah sebesar 3.02 menit dengan waktu henti darah maksimum sebesar 4.33 menit dan minimum sebesar 1.53 menit. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk darah berhenti memancar pada sapi yang disembelih tanpa dipingsankan terlebih dahulu rata-rata sebesar 2.13 menit dengan waktu henti darah minimum sebesar 1.04 menit dan maksimum sebesar 3.14 menit. Perbedaan waktu henti darah berhenti memancar antara sapi yang dipingsankan dengan sapi yang tidak dipingsankan sebelum disembelih adalah 53.4 detik. Sapi yang dipingsankan sebelum disembelih membutuhkan waktu henti darah lebih lama dibandingkan sapi yang tidak dipingsankan. Waktu henti darah memancar dipengaruhi oleh perlakuan hewan sebelum penyembelihan.

Sapi yang diamati dengan perlakuan pemingsanan sebelum penyembelihan, dipingsankan mengunakan captive bolt stun gun non-penetrating. Non-penetrating captive bolt stun gun yang digunakan di RPH di Indonesia adalah tipe Cash Magnum Knocker caliber 0.25 yang diproduksi oleh Accles dan Shelvoke. Cash Magnum Knocker menembakkan baut (bolt) berukuran panjang 121 mm dan diameter 11.91 yang berbentuk kepala jamur (mushroom-headed). Cartridge merupakan tenaga pendorong untuk menyebabkan trauma ke korteks otak tanpa penetrasi ke dalam tengkorak (Accles dan Shelvoke 2014). Tipe non-penetrating menyebabkan ketidaksadaran melalui pelemahan sistem syaraf yang mengakibatkan hilangnya kesadaran tanpa perubahan anatomis di otak. Pemingsanan menyebabkan sapi tidak mengalami stres, sehingga kondisi jantung tidak berubah. Jantung pada sapi dapat memompa darah lebih stabil tanpa adanya peningkatan frekuensi jantung. Penurunan tekanan jantung terutama ventrikel selama pengeluaran darah terjadi karena penurunan oksigen darah pada miokardium. Respirasi pada hewan yang dipingsankan akan menurun sehingga distribusi oksigen ke jantung juga menurun. Hal ini mengakibatkan kekuatan frekuensi jantung dan tekanan darah menurun (Vemini et al. 1983). Kondisi tersebut membuat waktu henti darah memancar pada sapi yang dipingsankan lebih lama dibandingkan dengan sapi yang tidak dipingsankan.

(49)

12

(Review of modified and copy mark IV type restraint boxes 2013). Upaya penurunan stres menggunakan mark IV masih menyisakan sapi dalam keadaan sadar, sehingga stres masih berpengaruh pada sapi dibandingkan dengan metode pemingsanan. Implikasi dari penggunaan metode mark IV tetap mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan darah dan frekuensi jantung. Peningkatan frekuensi jantung menyebabkan darah yang dipompa keluar pada saat disembelih menjadi lebih cepat, sehingga darah yang memancar pada sapi akan lebih cepat berhenti.

Peningkatan tekanan darah terjadi akibat adanya penyempitan pembuluh darah kapiler pada jaringan. Darah dipompakan melalui pembuluh darah oleh jantung. Pembuluh-pembuluh darah merupakan sistem yang tertutup, yang membawa darah dari jantung ke seluruh jaringan tubuh dan kembali ke jantung. Aliran darah ke tiap-tiap jaringan diatur oleh mekanisme kimia lokal dan mekanisme saraf umum yang melebarkan atau menyempitkan pembuluh darah jaringan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan oksigen pada jaringan melalui sistem kemoreseptor (Guyton dan Hall 2006). Mekanisme kimia lokal merupakan mekanisme pengaturan saraf otonom, yaitu oleh zat-zat kimia seperti asetilkolin dan katekolamin, yang utama adalah norepinefrin dan epinefrin. Katekolamin menyebabkan penyempitan buluh-buluh darah sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Stres sehubungan dengan pemingsanan dan pengeluaran darah secara normal menyebabkan pelepasan katekolamin sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah jaringan (Vemini et al. 1983).

Penyembelihan sapi dengan pemingsanan maupun tanpa pemingsanan harus memenuhi kaidah halal diantaranya harus memotong tiga saluran pada leher, yaitu esofagus, trakhea, dan pembuluh darah (vena jugularis dan arteri karotis). Proses penyembelihan mengakibatkan pengeluaran darah dari pembuluh darah dalam jumlah yang besar. Respon fisiologis dari hewan yang kehilanganya darah dalam jumlah yang besar secara tiba-tiba disebut syok hemoragik. Syok hemoragik merupakan gejala klinis akibat berkurangnya curah jantung dan perfusi darah ke organ karena penurunan volume darah (hipovolemia) yang disebabkan oleh hilangnya darah. Hal ini disebabkan ketidakmampuan sistem homestasis tubuh dalam mengembalikan jumlah normal darah akibat banyaknya darah yang keluar. Penurunan volume darah selama perdarahan akut menyebabkan penurunan tekanan vena cava dan pengisian darah ke jantung. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan arteri. Tubuh memiliki sejumlah mekanisme yang menjadi aktif dalam upaya untuk mengembalikan tekanan arteri kembali normal melalui refleks baroreseptor dan refleks kemoreseptor. Namun, karena terhentinya asupan oksigen dan nutrisi ke jantung akibat perdarahan yang sangat parah (hypovolemia) menyebabkan jantung gagal berkontraksi. Kegagalan jantung berkontraksi mengakibatkan tidak ada lagi aliran darah dalam tubuh, sehingga perfusi darah ke organ tidak terjadi (Klabunde 2011). Proses ini dapat berujung pada kematian.

(50)

13 curah jantung adalah karena jantung memiliki mekanisme di dalam jantung itu sendiri yang biasanya memungkinkan jantung untuk memompa secara otomatis berapapun darah yang mengalir ke dalam atrium kanan yang berasal dari vena. Tujuan dari pengeluaran darah adalah untuk mengeluarkan darah dan memastikan hewan mati dengan menghentikan suplai oksigen ke otak (Gregory 1998). Pengeluaran darah yang baik dapat terjadi pada hewan dalam keadaan sehat namun dapat diperlambat jika hewan mengalami kondisi demam, infeksi pada bagian jantung, paru-paru dan otot (Roca 2002; Agbeniga 2011). Kerusakan otot dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena terbanting atau karena penyakit infeksius yang menyebabkan rusaknya pembuluh darah kapiler pada jaringan sehingga darah masuk ke otot yang menyebabkan kualitas daging menurun. Kesempurnaan pengeluaran darah merupakan syarat agar kualitas daging yang dihasilkan baik.

Kontraksi, gravitasi dan aktifitas jantung merupakan faktor yang mempengaruhi pengeluaran darah otot-otot hewan (Vemini et al. 1983). Oleh sebab itu, selama penyembelihan hewan harus dibiarkan berkontraksi hingga mati sempurna, setelah itu baru dilakukan penggantungan dan pelepasan kulit.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan metode pemingsanan adalah 3.02 menit dan rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan metode tanpa pemingsanan adalah 2.13 menit.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang korelasi antara waktu henti darah memancar dan reflek kornea untuk mengetahui kematian sempurna pada sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Accles, Shelvoke. 2014. Cash magnum knocker product data sheet [Internet]. [diunduh 2015 Jan 13]. Tersedia pada: http://acclesandshelvoke.co.uk/ cash_magnum_knocker.htm.

Agbeniga B. 2011. Influence of conventional and kosher slaughter techniques in cattle on carcass and meat quality [thesis]. Pretoria (ZA): University of Pretoria.

(51)

13 curah jantung adalah karena jantung memiliki mekanisme di dalam jantung itu sendiri yang biasanya memungkinkan jantung untuk memompa secara otomatis berapapun darah yang mengalir ke dalam atrium kanan yang berasal dari vena. Tujuan dari pengeluaran darah adalah untuk mengeluarkan darah dan memastikan hewan mati dengan menghentikan suplai oksigen ke otak (Gregory 1998). Pengeluaran darah yang baik dapat terjadi pada hewan dalam keadaan sehat namun dapat diperlambat jika hewan mengalami kondisi demam, infeksi pada bagian jantung, paru-paru dan otot (Roca 2002; Agbeniga 2011). Kerusakan otot dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena terbanting atau karena penyakit infeksius yang menyebabkan rusaknya pembuluh darah kapiler pada jaringan sehingga darah masuk ke otot yang menyebabkan kualitas daging menurun. Kesempurnaan pengeluaran darah merupakan syarat agar kualitas daging yang dihasilkan baik.

Kontraksi, gravitasi dan aktifitas jantung merupakan faktor yang mempengaruhi pengeluaran darah otot-otot hewan (Vemini et al. 1983). Oleh sebab itu, selama penyembelihan hewan harus dibiarkan berkontraksi hingga mati sempurna, setelah itu baru dilakukan penggantungan dan pelepasan kulit.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan metode pemingsanan adalah 3.02 menit dan rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan metode tanpa pemingsanan adalah 2.13 menit.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang korelasi antara waktu henti darah memancar dan reflek kornea untuk mengetahui kematian sempurna pada sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Accles, Shelvoke. 2014. Cash magnum knocker product data sheet [Internet]. [diunduh 2015 Jan 13]. Tersedia pada: http://acclesandshelvoke.co.uk/ cash_magnum_knocker.htm.

Agbeniga B. 2011. Influence of conventional and kosher slaughter techniques in cattle on carcass and meat quality [thesis]. Pretoria (ZA): University of Pretoria.

(52)

NADHEAR NADADYANHA DANNAR

WAKTU HENTI DARAH MEMANCAR PADA PENYEMBELIHAN

SAPI DENGAN PEMINGSANAN DAN TANPA PEMINGSANAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(53)

13 curah jantung adalah karena jantung memiliki mekanisme di dalam jantung itu sendiri yang biasanya memungkinkan jantung untuk memompa secara otomatis berapapun darah yang mengalir ke dalam atrium kanan yang berasal dari vena. Tujuan dari pengeluaran darah adalah untuk mengeluarkan darah dan memastikan hewan mati dengan menghentikan suplai oksigen ke otak (Gregory 1998). Pengeluaran darah yang baik dapat terjadi pada hewan dalam keadaan sehat namun dapat diperlambat jika hewan mengalami kondisi demam, infeksi pada bagian jantung, paru-paru dan otot (Roca 2002; Agbeniga 2011). Kerusakan otot dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena terbanting atau karena penyakit infeksius yang menyebabkan rusaknya pembuluh darah kapiler pada jaringan sehingga darah masuk ke otot yang menyebabkan kualitas daging menurun. Kesempurnaan pengeluaran darah merupakan syarat agar kualitas daging yang dihasilkan baik.

Kontraksi, gravitasi dan aktifitas jantung merupakan faktor yang mempengaruhi pengeluaran darah otot-otot hewan (Vemini et al. 1983). Oleh sebab itu, selama penyembelihan hewan harus dibiarkan berkontraksi hingga mati sempurna, setelah itu baru dilakukan penggantungan dan pelepasan kulit.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan metode pemingsanan adalah 3.02 menit dan rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan metode tanpa pemingsanan adalah 2.13 menit.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang korelasi antara waktu henti darah memancar dan reflek kornea untuk mengetahui kematian sempurna pada sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Accles, Shelvoke. 2014. Cash magnum knocker product data sheet [Internet]. [diunduh 2015 Jan 13]. Tersedia pada: http://acclesandshelvoke.co.uk/ cash_magnum_knocker.htm.

Agbeniga B. 2011. Influence of conventional and kosher slaughter techniques in cattle on carcass and meat quality [thesis]. Pretoria (ZA): University of Pretoria.

Gambar

Gambar 2  Penetrative, trigger-fired captive-bolt stunner Key: Bolt (A), Stop washers (B),
Gambar 4 Restraining box mark I (sumber: Whittington dan Hewitt 2009)
Gambar 5 Restraining box mark II (sumber: Whittington dan Hewitt 2009)
Gambar 7 Restraining box mark IV (sumber: Review of modified and copy mark IV
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karena dalam menerima materi pelajaran baca tulis Al- Qur’an mata pelajaran Pendidikan Agama Islam adalah proses mengingat maka perlu di ingat secara sempurna..

Sikap dan keaktifan petani dalam penyuluhan berpengaruh positif terhadap adopsi inovasi budidaya bawang merah, sedangkan modal sosial, usia, pendidikan, motivasi,

Terlihat bahwa semakin tinggi tingkat kejenuhan ammonium sulphat yang digunakan untuk ekstraksi dari endapan preparat menghasilkan rendemen protease kasar biduri yang

Untuk menganalisis apakah variabel Return On Asset, Return On Equity, dan Net Profit Margin berpengaruh signifikan secara bersamaan terhadap Harga Saham...

Setelah selesai mengikuti pelatihan, peserta mampu: 1) Memahami jabatan fungsional Fisikawan Medis. 2) Memahami etika profesi Fisikawan Medis. 3) Memahami dasar hukum dan

2) nilai-nilai pengharapan, 3 cinta, 4) ketabahan dan pengorbanan. 5) ketertarikan dan kecantikan, 6) kerjasama dan gotong royong, 7) tanggungjawab dan keseriusan, 8) do’a restu,

(a) Apakah keistimewaan kawasan tersebut yang menyumbang kepada proses Pembentukan Tamadun Hwang Ho?Gunakan maklumat daripada peta dan pengetahuan anda..

Kompensasi yang diterima dapat berupa finansial yaitu bentuk gaji, upah, bonus, komisi, asuransi karyawan, bantuan sosial, tunjangan libur atau cuti maupun bentuk