• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Tentang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Anak luar biasa masih merupakan istilah yang dipergunakan sampai saat ini, meskipun secara perundang-undangan dan wacana yang berkembang sekarang ini peristilahan tersebut perlu ditinjau kembali.

Banyak istilah yang telah digunakan untuk menyebut anak berkebutuhan khusus, ada yang menyebut sebagai anak cacat, anak berkelainan, anak luar biasa, dan lain sebagainya. Menurut Lay Kekeh Mathan (2007: 35), WHO telah mengemukakan tentang tiga istilah yang berbeda mengenai anak berkebutuhan khusus, yaitu impairment, disability, dan handicap. Impairment, yang menunjuk pada kelainan atau kekurangan (deficit) secara organik yaitu hilangnya atau adanya abnormalitas dari struktur atau fungsi psikologis, fisiologis maupun anatomis baik bersifat menetap maupun tidak; 2) disability, merujuk pada keterbatasan-keterbatasan segala sesuatu sebagai akibat dari adanya gangguan, sedangkan handicap, lebih merujuk pada anak-anak yang mengalami impairment atau disability sebagai akibat dari faktor-faktor sosial diluar kontrol individu sehingga individu tersebut kurang mampu untuk menampilkan suatu peranan sosialnya.

Menurut Mohammad Efendi (2006: 6), “Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik”. Yang termasuk ke dalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. Karena karakteristik dan hambatan yang dimiliki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya

commit to user

bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.

Sementara Jamila K.A. Muhammad (2008: 37) mendefinisikan anak luar biasa yaitu “Anak-anak yang berbeda dari anak-anak biasa dalam hal ciri-ciri mental, kemampuan komunikasi, sensorik, tingkah laku sosial, ataupun ciri-ciri fisik”. Sehingga perbedaan ini menyebabkan mereka memerlukan modifikasi dalam aktivitas sekolah ataupun pelayanan pendidikan khusus agar mampu untuk berkembang dengan kapasitas maksimal. Sedangkan I.G.A.K Wardhani dkk (2009: 13), mendefinisikan anak luar biasa sebagai anak yang mempunyai sesuatu yang luar biasa yang secara signifikan membedakannya dengan anak-anak seusia pada umumnya.

Berdasarkan definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus atau yang juga disebut anak luar biasa diartikan sebagai anak yang memiliki kelainan atau penyimpangan baik dalam hal fisik, mental, emosi, komunikasi, sensorik atau gabungan dari kelainan tersebut yang sifatnya sedemikian rupa sehingga memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang sudah dimodifikasi sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan potensi mereka masing-masing agar mampu untuk berkembang secara maksimal.

b. Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus

Usaha untuk menemukan faktor penyebab terjadinya anak berkebutuhan khusus sudah lama dilakukan. Meskipun sampai kini sudah banyak faktor penyebab yang telah diungkap, belum semua penyebab anak berkebutuhan khusus dapat diketahui. Menurut beberapa referensi ada berbagai faktor yang dapat menyebabkan anak berkebutuhan khusus.

commit to user

Menurut Mohammad Efendi (2006: 12), “Faktor penyebab kelainan pada seseorang dilihat dari masa terjadinya kelainan itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni kelainan yang terjadi sebelum anak lahir (prenatal), kelainan saat pada anak lahir (neonatal), dan kelainan setelah anak lahir (postnatal). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1) Kelainan terjadi sebelum anak lahir (prenatal), yaitu masa di mana anak masih berada dalam kandungan diketahui setelah mengalami kelainan atau ketunaan. Hal ini bisa disebabkan adanya pengaruh bahan kimia atau trauma akibat gesekan atau guncangan, dan obat-obatan. Faktor lain yang mempengaruhi terhadap kelainan anak pada masa prenatal ini antara lain penyakit kronis, diabetes, anemia, kanker, kurang gizi, toxemia, rh faktor, infeksi (rubella, syiphilis, toxoplasmosis, dan cytomegalic inclusion disease/CID), radiasi, kelainan genetik, kelainan kromosom, obat-obatan dan bahan kimia lainnya yang berinteraksi dengan ibu anak semasa hamil.

2) Kelainan saat pada anak lahir (neonatal), yakni masa dimana kelainan itu terjadi pada saat anak dilahirkan. Ada beberapa sebab kelainan saat anak dilahirkan, antara lain anak lahir sebelum waktunya (prematurity), lahir dengan bantuan alat (tang verlossing), posisi bayi tidak normal,

analgesia, dan anasthesia, kelahiran ganda, aphyxia, atau karena kesehatan bayi yang bersangkutan.

3) Kelainan yang terjadi setelah anak lahir (postnatal), yakni masa dimana kelainan itu terjadi setelah bayi itu dilahirkan, atau saat anak dalam masa perkembangan. Ada beberapa sebab kelainan setelah anak dilahirkan, antara lain infeksi, luka, bahan kimia, malnutrisi, deprivation factor dan

meningitis, stuip, dan lain-lain.

Menurut I.G.A.K Wardhani dkk dalam Buku Pengantar Pendidikan Luar Biasa, faktor penyebab kelainan pada seseorang dapat dilihat atau bertolak dari jenis keluarbiasaan seseorang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

commit to user a) Faktor Penyebab Ketunanetraan

Faktor penyebab tunanetra dapat dibedakan menjadi faktor internal dan faktor eksternal.

1) Faktor internal

Faktor internal merupakan penyebab ketunanetraan yang timbul dari dalam individu, atau sering disebut juga faktor keturunan. Faktor ini kemungkinan besar terjadi pada perkawinan antarkeluarga dekat dan perkawinan antartunanetra.

2) Faktor eksternal

Faktor eksternal merupakan penyebab yang datang dari luar diri individu. Penyebab eksternal ketunanetraan diantaranya karena penyakit rubella dan syphilis, glaukoma (glaucoma), retinopati diabetes (diabetic retinopathy), retinoblastoma, kekurangan vitamin A, terkena zat kimia, dan kecelakaan.

b) Faktor Penyebab Ketunarunguan

Penyebab tunarungu dilihat dari letak gangguan secara anatomis dapat didasarkan pada tipe konduktif dan sensorineural.

1) Tipe konduktif

Pada tipe konduktif, terdapat dua bagian kerusakan/gangguan yaitu pada telinga luar dan telinga tengah. Penyebab kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar antara lain karena tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar dan terjadinya peradangan pada lubang telinga luar. Sedangkan penyebab kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah antara lain: ruda paksa (adanya benturan keras), terjadinya peradangan pada telinga tengah, otosclerosis, tympanisclerosis, anomaly congenital, disfungsi tuba eustachius.

commit to user 2) Tipe sensorineural

Penyebab tunarungu tipe sensorineural dapat disebabkan oleh faktor genetik dan non genetik. Ketunarunguan karena faktor genetik (keturunan) disebabkan oleh adanya gen ketunarunguan yang menurun dari orang tua kepada anaknya. Sedangkan penyebab ketunarunguan faktor non genetik antara lain: adanya ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak, terkena penyakit meningitis dan rubella campak Jerman, trauma akustik.

c) Faktor Penyebab Tunagrahita

Seseorang menjadi tunagrahita disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:

1) Faktor keturunan

Penyebab kelainan yang berkaitan dengan faktor keturunan ini meliputi kelainan kromosom dan kelainan gen karena mutasi. 2) Faktor gangguan metabolisme dan gizi

Kegagalan metabolisme dan kegagalan pemenuhan kebutuhan gizi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fisik dan mental pada individu.

3) Faktor infeksi dan keracunan

Keadaan ini disebabkan karena terjangkitnya penyakit-penyakit seperti rubella atau syphilis selama janin masih berada di dalam kandungan.

4) Trauma dan zat radioaktif

Terjadinya trauma terutama pada otak saat bayi dilahirkan dengan alat bantu atau terkena radiasi zat radioaktif (radiasi sinar-X) saat hamil dapat menyebabkan ketunagrahitaan.

5) Masalah pada kelahiran

Masalah yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kelahiran yang disertai hypoxia dipastikan bayi akan menderita kerusakan otak, kejang dan napas pendek.

commit to user 6) Faktor lingkungan

Lingkungan yang menjadi faktor penyebab tunagrahita misalnya status sosial ekonomi yang rendah, serta latar belakang pendidikan keluarga.

d) Faktor Penyebab Tunadaksa

Faktor penyebab tunadaksa dilihat dari penggolongan kelainan sistem otot dan rangka dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Poliomyelitis, disebabkan karena terkena virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya tetap.

2) Muscle dystrophy, penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan atau gen.

3) Spina bifida, terbukanya satu atau tiga ruas tulang belakang dan tidak tertutup lagi semasa masa perkembangan.

e) Faktor Penyebab Tunalaras

Faktor penyebab tunalaras dilihat dari penggolongan jenis tunalaras dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Hiperaktivitas, disebabkan karena adanya disfungsi otak, kekurangan oksigen, kecelakaan fisik, keracunan serbuk timah, kekurangan gizi, minuman keras, dan mengkonsumsi obat terlarang selama kehamilan.

2) Distrakbilitas, disebabkan karena disfungsi minimal otak, gangguan metabolisme, kelainan fisik minimal, faktor lingkungan dan faktor keterlambatan perkembangan.

3) Impulsif , disebabkan adanya faktor keturunan, cemas, budaya, disfungsi saraf, perilaku yang dipelajari dari lingkungan, salah asuh dan trauma dalam kehidupannya.

commit to user f) Faktor Penyebab Kesulitan Belajar

Banyak referensi yang mempunyai pandangan berbeda mengenai faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar. Ada yang menyebutkan kesulitan belajar khusus karena disfungsi sistem saraf yang disebabkan oleh cedera otak pada masa perkembangan otak, ketidakseimbangan zat kimiawi dalam otak, gangguan perkembangan saraf, dan kelambatan proses berkembangan.

Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada berbagai faktor penyebab keluarbiasaan atau seseorang bisa menjadi berkebutuhan khusus. Faktor penyebab kelainan pada seseorang bisa dilihat dari masa terjadinya kelainan itu sendiri atau bertolak dari jenis keluarbiasaan seseorang. Dengan mengetahui berbagai faktor penyebab tersebut, maka diharapkan dapat menghindari atau mencegah terjadinya keluarbiasaan yang berada di bawah normal dan dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkannya.

c. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Untuk keperluan pembelajaran, Kirk dan Gallagher dalam Mulyono Abdurrahman (1995: 11) mengklasifikasikan anak luar biasa ke dalam lima kelompok, yaitu kelainan mental, kelainan sensoris, gangguan komunikasi, gangguan perilaku dan tunaganda atau cacat berat.:

1) Kelainan mental, meliputi anak – anak

a) Yang memiliki kapasitas intelektual luar biasa tinggi (intellectually superior) dan

b) Yang lamban dalam belajar (mentally retarded); 2) Kelainan sensoris, meliputi anak–anak dengan

a) kerusakan pendengaran (auditory impairments) dan b) kerusakan penglihatan (visual impairments); 3) Gangguan komunikasi, meliputi anak – anak dengan

commit to user

b) Gangguan dalam berbicara dan bahasa (speech dan language impairments);

4) Gangguan perilaku, meliputi

a) Gangguan emosional (emotional disturbance) dan

b) Ketidaksesuaian perilaku sosial atau tunalaras (social maladjusment); dan

5) Tunaganda atau cacat berat, meliputi macam–macam kombinasi kecacatan, seperti: cerebral palsy dengan tunagrahita, tunanetra dengan tunagrahita, dan sebagainya.

Menurut Lynch dalam Joppy Liando & Aldjon Dapa (2007: 21) mengungkapkan ada tiga kategori anak berkebutuhan khusus, yaitu: anak yang telah berada disekolah namun karena berbagai faktor dan alasan, mereka tidak mencapai kemajuan sebagaimana layaknya; anak-anak yang belum masuk sekolah karena alasan tertentu meskipun umurnya sudah cukup, bahkan akibat sekolah kurang tanggap terhadap keadaan mereka, hal ini semata-mata bukan karena mereka tidak tanggap dalam segi intelektual; kelompok kecil anak yang memiliki kecacatan fisik atau mental yang memerlukan penanganan khusus dalam pendidikannya. Sedangkan pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya sesuai dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan (sic) adalah sebagai berikut: A. Tunanetra

B. Tunarungu

C. Tunagrahita : (antara lain: Down Syndrome) 1. C : Tunagrahita Ringan (IQ=50-70) 2. C1 : Tunagrahita Sedang (IQ=25-50) 3. C2 : Tunagrahita Berat (IQ<25 ) D. Tunadaksa :

commit to user 2. D1 : Tunadaksa Sedang 3. Tunalaras (Dysruptive) 4. Tunawicara 5. Tunaganda 6. HIV AIDS

7. Gifted : Potensi Kecerdasan Istimewa (IQ>125)

8. Talented : Potensi Bakat Istimewa (Multiple Intelligences: Language, Logico-mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual)

9. Kesulitan Belajar (antara lain: Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca,

Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara,

Dyspraxia/Motorik)

10. Lambat Belajar (IQ=70–90) 11. Autis

12. Korban Penyalahgunaan Narkoba 13. Indigo

Dari beberapa penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa klasifikasi anak berkebutuhan khusus pada dasarnya dibedakan menjadi beberapa kelompok seseuai dengan keperluan dan tujuan pengklasifikasian. Secara garis besar, klasifikasi ABK meliputi kelainan secara fisik (tunanetra, tunarungu, tunadaksa); kelainan secara mental (tunagrahita dan anak berbakat); kelainan perilaku (tunalaras); dan kelainan ganda, termasuk juga anak dengan HIV AIDS, anak gifted, kesulitan belajar lambat belajar, autis, korban penyalahgunaan narkoba, serta indigo.

d. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus

Setiap anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik tertentu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk keperluan identifikasi, di bawah ini akan disebutkan ciri-ciri yang menonjol dari masing-masing jenis anak berkebutuhan khusus menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa:

commit to user

1) Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan

Anak yang mengalami gangguan penglihatan (tunanetra) secara umum memiliki karakteristik seperti tidak mampu melihat; tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter; kerusakan nyata pada kedua bola mata; sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan; mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya; bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering; peradangan hebat pada kedua bola mata; mata bergoyang terus. Nilai standarnya 6, artinya bila anak mengalami 6 gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong tunanetra.

Anak yang mengalami gangguan penglihatan atau tunanetra, biasanya mempunyai penglihatan yang sangat terbatas sehingga untuk belajar mereka memerlukan alat bantu. Pada umumnya anak tunanetra membaca dan menulis dengan huruf braille. Sedangkan pada anak yang ketajaman penglihatannya rendah atau lemah (low vision) masih dapat belajar melalui saluran penglihatan dan biasanya masih dapat membaca tulisan cetak.

Pada umumnya anak tunanetra maupun low vision mempunyai IQ yang normal sama seperti anak normal lainnya, sehingga mereka bisa dididik dan bisa ditempatkan di kelas reguler atau inklusi. Hanya saja, diperlukan alat bantu yang bisa membantu anak dalam belajarnya, misalnya alat tulis braille, buku–buku dengan huruf braille, serta alat bantu pembelajaran yang lain seperti peta timbul dan kamus bicara, dll. Sedangkan untuk anak low vision diperlukan buku cetak dengan huruf yang tebal dan berwarna cerah.

2) Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran

Secara umum, karakteristik anak tunarungu adalah tidak mampu mendengar; terlambat perkembangan bahasa; sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi; kurang/tidak tanggap bila diajak bicara; ucapan kata tidak jelas; kualitas suara aneh/monoton; sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar; banyak perhatian terhadap getaran; keluar nanah dari kedua telinga; terdapat kelainan organis telinga. Nilai standarnya 7,

commit to user

artinya bila anak mengalami 7 gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong tunarungu.

Pada umumnya, intelegensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak normal sehingga bisa mendapatkan layanan pendidikan dan bisa ditempatkan dalam sekolah inklusi, hanya saja mereka mengalami keterhambatan dalam aspek intelegensi dikarenakan dampak ketunarunguannya. Karena ketunarunguannya inilah, mereka mengalami hambatan dalam kemampuan berbahasanya dan mengalami keterbatasan informasi.

Anak tunarungu perlu mendapatkan alat bantu untuk menunjang mereka belajar. Alat bantu di bidang pengembangan akademik bagi anak tunarungu pada hakekatnya tidak jauh berbeda dengan anak normal, tetapi karena mereka memiliki kelebihan di bidang visual, alat bantu tersebut sebaiknya diberikan aksen warna yang kuat. Untuk membantu pendengarannya dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu dengar

(hearing aid) dan untuk membantu pendengaran dalam proses pembelajaran dapat digunakan alat–alat seperti hearing group dan loop induction system. Sedangkan untuk membantu pengembangan kemampuan berkomunikasi dan bahasa perlu diberikan latihan bina persepsi bunyi dan irama pada anak.

3) Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh gerakan

Secara fisik, anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan memiliki karakteristik seperti anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh; kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali); terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa; terdapat cacat pada alat gerak; jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam; kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk; dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal; hiperaktif/tidak dapat tenang. Nilai standarnya 5, artinya bila anak mengalami 5 gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong tunadaksa.

commit to user

Anak anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan (tunadaksa) memerlukan pengajaran, peralatan, dan penempatan secara khusus. Sangat penting bagi seorang pendidik untuk mengerti bagaimana gangguan fisik dan kesehatan itu berpengaruh terhadap belajar, perkembangan atau tingkah laku anak.

Akibat mengalami gangguan pada motorik dan intelegensinya, maka anak tunadaksa (terutama cerebal palsy) sering mengalami kesulitan dalam menguasai kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Karenanya diperlukan layanan dan alat bantu khusus seperti kartu abjad untuk pengenalan huruf, kata dan kalimat; kotak bilangan; dan geometri sharpe

untuk pengenalan bentuk dan menyortir bentuk geometri. 4) Tunagrahita/anak yang mengalami kelainan mental

Karakteristik secara umum anak yang mengalami kelainan mental (tunagrahita) memiliki penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar; tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia; perkembangan bicara/bahasa terlambat; tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong); koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali); sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler). Nilai standarnya 4, artinya bila anak mengalami 4 gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong tunagrahita.

Untuk keperluan pembelajaran, menurut Budiyanto (2009: 120) anak yang mengalami kelainan mental diklasifikasikan berdasarkan taraf subnormalitas intelektual (sic) adalah sebagai berikut:

a) Taraf perbatasan atau lamban belajar (the borderline or the slow learner, IQ 70-85)

b) Tunagrahita mampu didik (educable mentally retarded, IQ 50-70 atau 75)

c) Tunagrahita mampu latih (trainable mentally retarded, IQ 30 atau 35 sampai 50 atau 55) dan

commit to user

d) Tunagrahita mampu rawat (dependent or profoundly mentally retarded, IQ di bawah 25 atau 30).

Anak tunagrahita mampu didik karena perkembangan mentalnya yang tergolong subnormal, akan mengalami kesulitan dalam mengikuti program reguler di sekolah dasar. Meskipun demikian, anak tunagrahita mampu didik dipandang masih memiliki potensi untuk menguasai mata pelajaran akademik di sekolah dasar, dan mampu di didik untuk melakukan penyesuaian sosial yang dalam jangka panjang dapat berdiri sendiri dalam masyarakat. Sarana dan prasarana khusus yang dibutuhkan anak tunagrahita antara lain latihan sensori visual, latihan sensori perabaan, latihan sensori pengecap dan perasa, latihan bina diri, konsep dan simbol bilangan, kreativitas daya pikir dan konsentrasi, alat pengajaran bahasa, serta latihan perseptual motor.

5) Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku

Karakteristik anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku memiliki karakteristik sebagai berikut: bersikap membangkang; mudah terangsang emosinya; sering melakukan tindakan agresif; sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum. Nilai standar 4, artinya bila anak mengalami 4 gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong tunalaras.

Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan karena mereka kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah seringkali menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki intelegensi yang rendah. Untuk mendidik anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku diperlukan sarana dan prasarana khusus misalnya asesmen gangguan perilaku dengan adaptive behavior Inventory for Children dan

commit to user

Dari penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa secara keseluruhan, ABK masih dapat dididik dan masih bisa dikembangkan potensi yang dimilikinya. Bahkan, ABK pun bisa ditempatkan dalam sekolah inklusi dan bisa mengikuti pelajaran bersama anak normal lainnya di sekolah reguler. Agar ABK bisa mengikuti program di sekolah dengan baik, maka sekolah inklusi pun perlu memodifikasi pembelajaran, mempersiapkan dan menyediakan sarana dan prasarana khusus yang dibutuhkan dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak berkebutuhan khusus.

2. Tinjauan Tentang Sikap Masyarakat

Dokumen terkait