commit to user
SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM SEKOLAH INKLUSI
DI KABUPATEN WONOGIRI
Disusun Oleh :
LUTFI ISNI BADIAH
K5108039
SKRIPSI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM SEKOLAH INKLUSI
DI KABUPATEN WONOGIRI
SKRIPSI
Disusun Oleh :
LUTFI ISNI BADIAH
K5108039
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
iii
SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DALAM SEKOLAH INKLUSI DI KABUPATEN WONOGIRI
Oleh : Lutfi Isni Badiah
K5108039
SKRIPSI
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar
Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa
Jurusan Ilmu Pendidikan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
iv
commit to user
commit to user
vi
HALAMAN PENGESAHAN
MOTTO
“ Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”.
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan untuk:
Bapak dan Mama tercinta yang telah memberikan
segalanya, dukungan, motivasi terutama doa semoga
Allah SWT memberikan kebaikan dan kemuliaan di
dunia dan akhirat
Kakakku Dhanang dan Sophia yang selalu memberiku
semangat
Nanang Pambudi yang selalu menemani, mendukung dan mendo‟akanku dalam menyelesaikan skripsi ini
Ponakanku Dhia yang selalu menjadi pencerah
pikiranku
Sahabat Romantis, Santi, Dian, Wiwit, Esti, Rima,
Nurul, Putri, Gandis, Risti, Tita, dan Siska.
Terimakasih atas persahabatan yang indah selama 4
tahun. Semoga persahabatan kita tak kan pernah
berakhir.
Rekan-rekan PPL di SLB B YRTRW Surakarta: Esti,
Gandis, Shanti, Siska, Tina, Cristanti, Lia, Yunirawati
Teman-teman PKh angkatan 2008
commit to user
viii
ABSTRAK
Lutfi Isni Badiah. SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DALAM SEKOLAH INKLUSI DI KABUPATEN WONOGIRI. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juli. 2012.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) ada atau tidaknya perbedaan sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua terhadap ABK dalam sekolah inklusi, (2) ada atau tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap masyarakat terhadap ABK dalam sekolah inklusi, dan (3) ada atau tidaknya perbedaan sikap antara orangtua siswa normal dan orangtua siswa ABK.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknik pengambilan sampel penelitian ini dengan menggunakan stratified sample non random. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala sekolah, guru dan orangtua di Kabupaten Wonogiri. Sedangkan untuk sampelnya terdiri dari 50 orangtua siswa normal, 30 orangtua siswa ABK, 50 guru, dan 25 kepala sekolah, sehingga totalnya 145 responden. Teknik pengumpulan data menggunakan skala likert yang berisi 35 butir pernyataan terdiri dari pernyataan positif dan negatif. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua terhadap ABK dalam sekolah inklusi digunakan uji KruskalWallis, untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap masyarakat terhadap ABK dalam sekolah inklusi digunakan uji korelasi Pearson, sedangkan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sikap antara orangtua siswa normal dan orangtua siswa ABK digunakan uji Mann-Whitney.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tidak terdapat adanya perbedaan sikap antara kelompok kepala sekolah, guru dan orangtua terhadap ABK dalam sekolah inklusi dilihat dari nilai p-value=0,99>0,05; (2) tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap masyarakat terhadap ABK di sekolah inklusi, dilihat nilai p-value=0,326>0,05; (3) terdapat adanya perbedaan sikap antara orangtua normal dan orangtua ABK terhadap ABK di sekolah inklusi, dilihat dari nilai p-value=0,048<0,05.
commit to user
ix
ABSTRACK
Lutfi Isni Badiah. K5108039. COMMUNITY‟S ATTITUDE TO DISABLED CHILD IN INCLUSIVE SCHOOL IN WONOGIRI REGENCY. Skripsi, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. July. 2012.
The research aims to find out: (1) whether or not there is a difference of attitudes among headmaster, teacher and parents to disabled child at inclusive, school, (2) whether or not there is a relationship between education level and comunity's attitudes to disabled child in inclusive school , and (3) whether or not there is a difference of attitude between normal student‟s parent and Disabled Child„s parents.
The research method used was quantitative method with descriptive approach. The sampling technique used in this research was stratified sample. The population of research was all headmasters, teachers, and parents in Wonogiri Regency. Meanwhile, the sample consisted of 50 normal student‟s parents, 20 disabled child‟s parents, 50 teachers and 25 headmasters, so that there were totally 145 respondents. Technicque of collecting data used was likert scale containing 35 items, both positive and negative. To find out whether or not there was difference of attitude among headmaters, teachers and parents to disabled child at inclusive school, Kruskal Wallis test was used; to find out whether or not there is a relationship between education level and community‟s attitude to disabled child in inclusive school, Pearson correlation test was used, meanwhile, to find out whether or not there is a difference of attitude between normal student‟s parent and disabled child‟s parents, Mann-Whitney test was used.
The results showed that: (1) there was no difference of attitude among headmaster, teacher and parent groups to disabled child at inclusive school, as could be seen from p-value = 0.99 > 0.05; (2) there was no relationship between education level and community‟s attitude to disabled child in inclusive school, as could be seen from p-value = 0.326 > 0.05, (3) there was difference of attitude between the normal student‟s parents and disabled child‟s parents to disabled child in inclusive school, as could be seen from the p-value = 0.048 < 0 , 05.
commit to user
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan berkah-Nya skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk
memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Banyak hambatan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat
bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat
teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuan, penulis menyampaikan terima kasih
antara lain kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatulah, M.Pd, Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah
memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;
2. Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si, Pembantu Dekan 1 Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah
memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;
3. Drs. Amir Fuady, M.Hum, Pembantu Dekan III Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah
memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;
4. Drs. Rusdiana Indianto, M.Pd, Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP UNS
Surakarta, yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi;
5. Drs. Hermawan, M. Si, Ketua Program Studi Pendidikan Khusus FKIP
UNS yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi;
6. Sekertaris Program Studi Pendidikan Luar Biasa Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Priyono,S.Pd, M.Si;
7. Prof. Drs. Sunardi, M.Sc, Ph.D, selaku Pembimbing I yang dengan sabar
telah memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan;
8. Drs. Maryadi, M.Ag, selaku Pembimbing II yang dengan sabar telah
memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan selama penulis
commit to user
xi
9. Dewi Sri Rejeki, S. Pd, M.Pd, pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan serta pengarahan
10.Drs. H. Siswanto M.Pd, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri
yang telah memberikan ijin penelitian.
11.Dra Sri Mulyati, M.Pd, selaku Kepala Bagian Pendidikan TK/SD beserta
jajaran staf Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri yang selalu
meluangkan waktu guna terselesaikannya penelitian ini.
12.Segenap Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Khusus yang telah
memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini
13.Teman-teman Kost Kiki yang selalu menemani dan memberi dukungan
sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
14.Berbagai pihak yang telah membantu peneliti demi lancarnya penulisan
skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata, semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi pihak yang
bersedia membacanya dan bagi penulis khususnya.
Surakarta, Juli 2012
commit to user
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERNYATAAN ... ii
HALAMAN PENGAJUAN ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... v
HALAMAN MOTTO ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACK ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR GRAFIK ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Pembatasan Masalah ... 6
D. Perumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 7
commit to user
xiii
Halaman
BAB II LANDASAN TEORI ... 9
A. Tinjauan Pustaka ... 9
1. Tinjauan Tentang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ... 9
a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ... 9
b. Faktor Penyebab ABK ... 10
c. Klasifikasi ABK ... 15
d. Karakteristik ABK ... 17
2. Tinjauan Tentang Sikap Masyarakat ... 22
a. Sikap ... 22
1) Pengertian Sikap ... 22
2) Komponen Sikap ... 23
3) Pembentukan Sikap ... 27
b. Masyarakat ... 29
1) Pengertian Masyarakat ... 29
2) PeranMasyarakat Dalam Dunia Pendidikan ... 30
a) Peran Masyarakat Dalam Pendidikan ... 30
b) Peran Masyarakat Dalam Pendidikan Inklusi ... 32
3) Masyarakat Wonogiri ... 35
3. Tinjauan Tentang Pendidikan Inklusi ... 41
a. Pengertian Pendidikan Inklusi ... 41
b. Karakteristik Pendidikan Inklusi ... 42
c. Landasan Pendidikan Inklusi ... 44
d. Manfaat Pendidikan Inklusi ... 44
B. Kerangka Berpikir ... 46
C. Hipotesis ... 48
BAB III METODE PENELITIAN ... 49
A. Setting Penelitian ... 49
1. Lokasi Penelitian ... 49
commit to user
xiv
Halaman
B. Rancangan/Desain Pendidikan ... 50
C. Populasi dan Sampel ... 51
1. Populasi ... 51
2. Sampel ... 51
D. Teknik Pengambilan Sampel ... 52
E. Teknik Pengumpulan Data ... 52
F. Uji Coba Instrumen Penelitian ... 54
G. Teknik Analisis Data ... 57
BAB VI PEMBAHASAN ... 58
A. Pelaksanaan Penelitian... 58
B. Deskripsi Data ... 58
1. Sikap Masyarakat Secara Umum ... 59
2. Sikap Kepala Sekolah ... 60
3. Sikap Guru ... 62
4. Sikap Orangtua Secara Umum ... 63
5. Sikap orangtua Siswa Normal ... 65
6. Sikap Orangtua ABK ... 66
7. Sikap Masyarakat Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 68
C. Hasil Analisis dan Pembahasan ... 69
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 75
A. Kesimpulan ... 75
B. Implikasi ... 75
C. Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 77
commit to user
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Daftar Nama Kecamatan di kabupaten Wonogiri ... 36
Tabel 2.2 Jumlah SLB, TK dan SD, Guru dan Murid Diperinci per Kecamatan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2007/2008 ... 37
Tabel 2.3. Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Atas Diperinci per Kecamatan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2007/2008 ... 38
Tabel 2.4. Daftar Nama Sekolah Inklusi di Kabupaten Wonogiri Tahun Anggaran 2004 ... 40
Tabel 3.1. Jenis Kegiatan dan Waktu Penelitian ... 49
Tabel 3.2. Kisi-Kisi Sikap Masyarakat Terhadap ABK di Sekolah Inklusi ... 54
Tabel 4.1 Sikap Masyarakat Secara Umum ... 59
Tabel 4.2 Sikap Kepala Sekolah ... 61
Tabel 4.3 Sikap Guru ... 62
Tabel 4.4 Sikap Orangtua secara umum ... 64
Tabel 4.5. Sikap orangtua siswa normal terhadap ABK ... 65
Tabel 4.6. Sikap orangtua siswa ABK ... 67
Tabel 4.7 Sikap Masyarakat Berdasarkan tingkat Pendidikan ... 68
Tabel 4.8 Distribusi Sikap kepala sekolah, guru dan orangtua ... 69
Tabel 4.9 Distribusi Sikap Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 71
commit to user
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
commit to user
xvii
DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 4.1. Sikap Masyarakat Secara Umum ... 60
Grafik 4.2. Sikap Kepala Sekolah ... 62
Grafik 4.3. Sikap Guru Terhadap ABK di Sekolah Inklusi ... 63
Grafik 4.4. Sikap Orangtua secara umum ... 65
Grafik 4.5 Sikap Orangtua Siswa Normal ... 66
Grafik 4.6 Sikap Orangtua Siswa ABK ... 67
commit to user
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Kisi-Kisi Instrumen Ujicoba ... 81
Lampiran 2. Instrumen Ujicoba ... 87
Lampiran 3. Data Uji Coba Instumen ... 94
Lampiran 4. Perhitungan Validitas Item ... 97
Lampiran 5. Perhitungan Reliabilitas Item ... 103
Lampiran 6. Instrumen Penelitian ... 104
Lampiran 7. Statistik Responden ... 110
Lampiran 8. Perhitungan antara kelompok kepala sekolah, guru dan orangtua ... 116
Lampiran 8. Perhitungan hubungan antara sikap dan tingkat pendidikan ... 117
Lampiran 9. Perhitungan perbedaan antara orangtua normal dan orangtua ABK ... 118
commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu hak asasi yang paling mendasar bagi
setiap manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan
khusus. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1
dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
bab III ayat 5 yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian,
anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras dan anak berkesulitan belajar juga memiliki kesempatan yang
sama untuk mendapatkan pendidikan.
Sampai saat ini belum ada angka yang pasti mengenai prevalensi jumlah
anak berkebutuhan khusus (ABK) yang ada di Indonesia. Namun, yang pasti
jumlah ABK yang belum memperoleh hak pendidikan masih sangat banyak. Data
resmi dari Direktorat PSLB tahun 2007 menyebutkan jumlah ABK yang sudah
mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7% atau 78.689 anak dari
populasi anak cacat di Indonesia, yaitu 318.600 anak (Direktorat PSLB, 2008).
Hal ini berarti bahwa masih terdapat 65,3% ABK yang masih termarjinalisasikan
dan belum mendapatkan hak pendidikan. Kondisi di atas tentu sangat
memprihatinkan, mengingat bahwa pendidikan merupakan salah satu hak asasi
manusia yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai hukum internasional maupun
nasional.
Selama ini, pendidikan di Indonesia bagi anak berkebutuhan khusus
disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa
(SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB,
sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis
kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB
commit to user
SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya
mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,
dan/atau tunaganda. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang
juga menampung anak berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran,
dan kegiatan belajar mengajar yang sama.
Di Indonesia sendiri, pada umumnya ABK bersekolah di SLB atau SDLB
yang terpisah dari anak normal. Padahal lokasi SLB atau SDLB kebanyakan
berada di ibukota kabupaten, sedangkan anak-anak berkebutuhan khusus tersebar
hampir di seluruh daerah pelosok, tidak hanya berdomisili di ibukota kabupaten
saja. Akibatnya, sebagian dari mereka, terutama yang keadaan kemampuan
ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak bersekolah karena lokasi SLB jauh
dari rumah. Sedangkan apabila akan mendirikan SLB di setiap daerah pelosok,
tentu akan menghabiskan dana yang tinggi. Anak berkebutuhan khusus juga tidak
bisa bersekolah di SD terdekat, karena SD tersebut tidak bersedia menerima dan
merasa tidak mampu melayani. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat
diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka,
akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.
Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar 9
tahun seperti yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Oleh karena itu diperlukan
suatu layanan pendidikan yang mampu mengakomodir seluruh kebutuhan ABK
tanpa adanya diskriminasi. Maka diterapkanlah pendidikan inklusi di berbagai
sekolah umum untuk melayani pendidikan ABK.
Pendidikan inklusi ini sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang baru di
dunia pendidikan. Sebelumnya, istilah inklusi tersebut lebih dikenal dengan
mainstreaming atau pendidikan terpadu. Di Indonesia sendiri, istilah pendidikan
inklusi mulai diperkenalkan dan disosialisasikan sejak tahun 2001. Pemerintah
Indonesia sendiri mendukung adanya pengembangan pendidikan inklusi dengan
dibuatnya Peraturan Mendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Tentang Pendidikan
Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi
Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Di mata dunia, pendidikan inklusi juga
commit to user
diratifikasi Indonesia, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948),
Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990), Peraturan Standar PBB
tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993), Pernyataan
Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO (1994), Undang-undang Penyandang
Kecacatan (1997), Kerangka Aksi Dakar (2000) dan Deklarasi Kongres Anak
Internasional (2004). Semua instrumen hukum tersebut ingin memastikan bahwa
semua anak, tanpa kecuali, memperoleh pendidikan.
Pendidikan inklusi adalah suatu layanan pendidikan yang memberikan
kesempatan sebesar-besarnya bagi anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama dengan anak normal di sekolah umum dengan fasilitas yang sesuai
dengan kebutuhannya. Hal ini senada dengan simpulan Staub dan Peck dalam
Budiyanto (2009: 3) bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak luar
biasa tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas biasa. Definisi
ini menganggap bahwa kelas biasa merupakan penempatan yang relevan bagi
semua anak luar biasa, bagaimanapun tingkatannya. Pengertian lain mengenai
pendidikan inklusi juga diungkapkan oleh Gunarhadi (2001: 65):
Pendidikan inklusi merupakan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan khusus anak secara individual dalam pembersamaan klasikal. Dalam pendekatan ini, tidak akan dilihat dari segi ketidakmampuannya, kecacatannya, dan tidak pula dari segi penyebab kecacatannya.
Edi Purwanta (2002: 3-4) mengemukakan beberapa alasan pentingnya
pendidikan inklusi dikembangkan dalam layanan pendidikan bagi anak luar
biasa. Alasan tersebut antara lain:
1. Semua anak, baik cacat maupun tidak mempunyai hak yang untuk belajar
bersama-sama dengan anak yang lain.
2. Seyogyanya anak tidak diberi label atau dibeda-bedakan secara rigid, tetapi
perlu dipandang bahwa mereka memiliki kesulitan dalam belajar.
3. Tidak ada alasan yang mendasar untuk memisah-misahkan anak dalam
pendidikan. Anak memiliki kebersamaan yang saling diharapkan di antara
mereka. Ia tidak pernah ada upaya untuk melindungi dirinya dengan yang
commit to user
4. Penelitian menunjukkan bahwa anak cenderung menunjukkan hasil yang baik
secara akademik dan sosial bila mereka berada pada setting kebersamaan.
5. Tidak ada layanan pendidikan di SLB yang mampu mengambil bagian dalam
menangani anak di sekolah pada umumnya.
6. Semua anak membutuhkan pendidikan yang dapat mengembangkan
hubungan antar mereka dan mempersiapkan untuk hidup dalam
masyarakatnya.
7. Hanya pendidikan inklusi yang potensial untuk menekan rasa takut dalam
membangun kebertemanan, tanggung jawab, dan pemahaman diri.
Layanan pendidikan inklusi ini telah diterapkan di negara-negara maju di
dunia, seperti Amerika dan Norwegia. Norwegia merupakan salah satu negara
yang telah menerapkan sistem pendidikan inklusi secara keseluruhan. Semua
sekolah disana telah diberikan ketentuan untuk menerima semua siswa normal
maupun siswa berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dalam sekolah
tersebut. Di Indonesia sendiri, model pendidikan inklusi mulai dirintis sejak tahun
2001 dan diujicobakan pada tahun 2002 di Kabupaten Gunung Kidul yang pada
saat itu masih menggunakan istilah pendidikan terpadu. Hanya bedanya, dalam
pendidikan terpadu, anak berkebutuhan khusus masih harus menyesuaikan diri
dengan kurikulum yang ada. Sedangkan dalam pendidikan inklusi, kurikulum
yang menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing siswa ABK sehingga
dalam kegiatan belajar mengajar diperlukan adanya program pembelajaran
individual (PPI).
Munculnya pendidikan inklusi ini, menimbulkan sikap yang berbeda-beda
pada masyarakat. Persepsi, sikap, tingkah laku, dan kesiapan untuk menerima dan
menerapkannya pun berbeda-beda pula. Sikap masyarakat yang banyak
ditunjukkan terhadap pendidikan inklusi dibedakan menjadi tiga, yakni sikap
mendukung, sikap menolak, serta sikap acuh tak acuh atau tidak peduli. Adanya
perbedaan sikap masyarakat tersebut menurut Ari Wahyudi (2003: 85)
dipengaruhi oleh beberapa variabel, diantaranya faktor latar belakang keluarga,
commit to user
cenderung bersikap lebih positif. Sedangkan dalam kultur tertentu yang
menganggap kecacatan dianggap sebagai hal yang terkutuk, menyebabkan
masyarakat umumnya bersikap lebih negatif. Untuk variabel lain seperti umur,
jenis kelamin, dan faktor demografi lainnya, lebih berpengaruh pada cara
mengekspresikan sikap, bukan pada proses pembentukannya. Menurut beberapa
penelitian tentang anak luar biasa, tidak ada perbedaan yang berarti dalam sikap
antara pria dan wanita. Hanya wanita cenderung mengekspresikan sikapnya
dengan cara yang lebih halus. Semakin dewasa seseorang, semakin positif juga
sikapnya terhadap penyandang cacat. Ada dugaan ini berkaitan dengan semakin
lengkapnya informasi yang diperoleh tentang anak luar biasa.
Penyelenggaraan sistem pendidikan inklusi ini tentunya mengalami
berbagai hambatan diantaranya yaitu: kurangnya sosialisasi tentang pendidikan
inklusi sehingga berdampak pada kurangnya pengetahuan masyarakat serta
kurangnya kesadaran dari masyarakat tentang anak luar biasa yang membutuhkan
pelayanan dan kebutuhan khusus. Ditambah lagi, Ari Wahyudi (1998: 22)
menyebutkan bahwa masyarakat pada umumnya masih memandang penyandang
cacat merupakan bagian dari sekelompok orang yang perlu dikasihani, sehingga
sikap negatif terhadap penyandang cacat cenderung nampak dalam kehidupan
masyarakat. Apabila kondisi tersebut diatas tidak segera diatasi, maka
penyelenggaraan pendidikan sekolah reguler tidak dapat ditingkatkan dengan
baik. Untuk itu, diperlukan perhatian dan kerjasama masyarakat terhadap kondisi
anak normal dengan anak berkebutuhan khusus.
Dari latar belakang masalah tersebut, maka penulis menyimpulkan
commit to user
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang diatas dapat penulis simpulkan identifikasi masalah
sebagai berikut:
1. Masih banyaknya anak berkebutuhan khusus yang belum mendapatkan
layanan pendidikan.
2. Kurangnya sekolah luar biasa (SLB) yang dapat menampung anak
berkebutuhan khusus.
3. Masih kurangnya layanan pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan
khusus.
4. Masih adanya stigma negatif dari masyarakat tentang ABK yang
menganggap bahwa kecacatan merupakan kutukan dari Tuhan atau aib
keluarga.
5. Kurangnya sosialisasi tentang pendidikan inklusi sehingga berdampak pada
kurangnya pengetahuan masyarakat.
6. Kurangnya kesadaran dari masyarakat tentang anak luar biasa yang
membutuhkan pelayanan dan kebutuhan khusus.
7. Persepsi masyarakat yang berbeda mengenai pendidikan inklusi di sekolah
dasar sesuai dengan tingkat sosial, pemahaman, dan tingkat pendidikannya.
C. Pembatasan Masalah
Dalam identifikasi masalah, muncul permasalahan-permasalahan yang
dapat dijadikan obyek penelitian. Hal ini akan mempermudah dalam memilih
permasalahan yang ada untuk diteliti. Berdasarkan uraian identifikasi masalah
diatas, penulis membatasi masalah pada :
1. Perbedaan sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua.
2. Hubungan sikap dan tingkat pendidikan serta
commit to user
D. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah
yang timbul secara sistematik. Berdasarkan pembatasan masalah yang telah
diuraikan di atas, maka perumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah:
1. Apakah ada perbedaan sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua
terhadap ABK dalam sekolah inklusi?
2. Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap mastarakat
terhadap ABK dalam sekolah inklusi?
3. Apakah ada perbedaan sikap antara orangtua siswa normal dan orangtua
siswa ABK?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang dapat
dikemukakan adalah:
1. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sikap antara kepala sekolah,
guru dan orangtua terhadap ABK dalam sekolah inklusi.
2. Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan
dengan sikap masyarakat terhadap ABK dalam sekolah inklusi.
3. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sikap antara orangtua siswa
normal dan orangtua siswa ABK.
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis.
Secara teoritis, melalui penelitian ini diharapkan dapat membantu mengetahui
sikap masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Wonogiri terhadap anak
berkebutuhan khusus (ABK) dalam sekolah inklusi, dilihat dari perbedaan
sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua, hubungan sikap dan tingkat
commit to user 2. Manfaat Praktis.
a. Dapat memberikan data mengenai sikap masyarakat Wonogiri terhadap
anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam sekolah inklusi.
b. Dapat memberikan masukan kepada lembaga/penyelenggara sekolah
commit to user
9 BAB II
LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Anak Berkebutuhan Khusus
a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak luar biasa masih merupakan istilah yang dipergunakan sampai
saat ini, meskipun secara perundang-undangan dan wacana yang berkembang
sekarang ini peristilahan tersebut perlu ditinjau kembali.
Banyak istilah yang telah digunakan untuk menyebut anak
berkebutuhan khusus, ada yang menyebut sebagai anak cacat, anak
berkelainan, anak luar biasa, dan lain sebagainya. Menurut Lay Kekeh
Mathan (2007: 35), WHO telah mengemukakan tentang tiga istilah yang
berbeda mengenai anak berkebutuhan khusus, yaitu impairment, disability,
dan handicap. Impairment, yang menunjuk pada kelainan atau kekurangan
(deficit) secara organik yaitu hilangnya atau adanya abnormalitas dari struktur
atau fungsi psikologis, fisiologis maupun anatomis baik bersifat menetap
maupun tidak; 2) disability, merujuk pada keterbatasan-keterbatasan segala
sesuatu sebagai akibat dari adanya gangguan, sedangkan handicap, lebih
merujuk pada anak-anak yang mengalami impairment atau disability sebagai
akibat dari faktor-faktor sosial diluar kontrol individu sehingga individu
tersebut kurang mampu untuk menampilkan suatu peranan sosialnya.
Menurut Mohammad Efendi (2006: 6), “Anak berkebutuhan khusus
adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada
umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau
fisik”. Yang termasuk ke dalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak
berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. Karena karakteristik dan
hambatan yang dimiliki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan
commit to user
bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan
braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak
berkebutuan khusus biasanya bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) sesuai
dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB
bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D
untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk
cacat ganda.
Sementara Jamila K.A. Muhammad (2008: 37) mendefinisikan anak
luar biasa yaitu “Anak-anak yang berbeda dari anak-anak biasa dalam hal
ciri-ciri mental, kemampuan komunikasi, sensorik, tingkah laku sosial,
ataupun ciri-ciri fisik”. Sehingga perbedaan ini menyebabkan mereka
memerlukan modifikasi dalam aktivitas sekolah ataupun pelayanan
pendidikan khusus agar mampu untuk berkembang dengan kapasitas
maksimal. Sedangkan I.G.A.K Wardhani dkk (2009: 13), mendefinisikan
anak luar biasa sebagai anak yang mempunyai sesuatu yang luar biasa yang
secara signifikan membedakannya dengan anak-anak seusia pada umumnya.
Berdasarkan definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa anak
berkebutuhan khusus atau yang juga disebut anak luar biasa diartikan sebagai
anak yang memiliki kelainan atau penyimpangan baik dalam hal fisik, mental,
emosi, komunikasi, sensorik atau gabungan dari kelainan tersebut yang
sifatnya sedemikian rupa sehingga memerlukan bentuk pelayanan pendidikan
khusus yang sudah dimodifikasi sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan
potensi mereka masing-masing agar mampu untuk berkembang secara
maksimal.
b. Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus
Usaha untuk menemukan faktor penyebab terjadinya anak
berkebutuhan khusus sudah lama dilakukan. Meskipun sampai kini sudah
banyak faktor penyebab yang telah diungkap, belum semua penyebab anak
berkebutuhan khusus dapat diketahui. Menurut beberapa referensi ada
commit to user
Menurut Mohammad Efendi (2006: 12), “Faktor penyebab kelainan
pada seseorang dilihat dari masa terjadinya kelainan itu sendiri dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yakni kelainan yang terjadi sebelum anak lahir
(prenatal), kelainan saat pada anak lahir (neonatal), dan kelainan setelah anak
lahir (postnatal)”. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Kelainan terjadi sebelum anak lahir (prenatal), yaitu masa di mana anak
masih berada dalam kandungan diketahui setelah mengalami kelainan
atau ketunaan. Hal ini bisa disebabkan adanya pengaruh bahan kimia atau
trauma akibat gesekan atau guncangan, dan obat-obatan. Faktor lain yang
mempengaruhi terhadap kelainan anak pada masa prenatal ini antara lain
penyakit kronis, diabetes, anemia, kanker, kurang gizi, toxemia, rh faktor,
infeksi (rubella, syiphilis, toxoplasmosis, dan cytomegalic inclusion
disease/CID), radiasi, kelainan genetik, kelainan kromosom, obat-obatan
dan bahan kimia lainnya yang berinteraksi dengan ibu anak semasa
hamil.
2) Kelainan saat pada anak lahir (neonatal), yakni masa dimana kelainan itu
terjadi pada saat anak dilahirkan. Ada beberapa sebab kelainan saat anak
dilahirkan, antara lain anak lahir sebelum waktunya (prematurity), lahir
dengan bantuan alat (tang verlossing), posisi bayi tidak normal,
analgesia, dan anasthesia, kelahiran ganda, aphyxia, atau karena
kesehatan bayi yang bersangkutan.
3) Kelainan yang terjadi setelah anak lahir (postnatal), yakni masa dimana
kelainan itu terjadi setelah bayi itu dilahirkan, atau saat anak dalam masa
perkembangan. Ada beberapa sebab kelainan setelah anak dilahirkan,
antara lain infeksi, luka, bahan kimia, malnutrisi, deprivation factor dan
meningitis, stuip, dan lain-lain.
Menurut I.G.A.K Wardhani dkk dalam Buku Pengantar Pendidikan
Luar Biasa, faktor penyebab kelainan pada seseorang dapat dilihat atau
bertolak dari jenis keluarbiasaan seseorang. Adapun penjelasannya adalah
commit to user a) Faktor Penyebab Ketunanetraan
Faktor penyebab tunanetra dapat dibedakan menjadi faktor internal
dan faktor eksternal.
1) Faktor internal
Faktor internal merupakan penyebab ketunanetraan yang timbul
dari dalam individu, atau sering disebut juga faktor keturunan.
Faktor ini kemungkinan besar terjadi pada perkawinan
antarkeluarga dekat dan perkawinan antartunanetra.
2) Faktor eksternal
Faktor eksternal merupakan penyebab yang datang dari luar diri
individu. Penyebab eksternal ketunanetraan diantaranya karena
penyakit rubella dan syphilis, glaukoma (glaucoma), retinopati
diabetes (diabetic retinopathy), retinoblastoma, kekurangan
vitamin A, terkena zat kimia, dan kecelakaan.
b) Faktor Penyebab Ketunarunguan
Penyebab tunarungu dilihat dari letak gangguan secara anatomis
dapat didasarkan pada tipe konduktif dan sensorineural.
1) Tipe konduktif
Pada tipe konduktif, terdapat dua bagian kerusakan/gangguan
yaitu pada telinga luar dan telinga tengah. Penyebab
kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar antara lain
karena tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar dan
terjadinya peradangan pada lubang telinga luar. Sedangkan
penyebab kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah
antara lain: ruda paksa (adanya benturan keras), terjadinya
peradangan pada telinga tengah, otosclerosis, tympanisclerosis,
commit to user 2) Tipe sensorineural
Penyebab tunarungu tipe sensorineural dapat disebabkan oleh
faktor genetik dan non genetik. Ketunarunguan karena faktor
genetik (keturunan) disebabkan oleh adanya gen ketunarunguan
yang menurun dari orang tua kepada anaknya. Sedangkan
penyebab ketunarunguan faktor non genetik antara lain: adanya
ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak, terkena penyakit
meningitis dan rubella campak Jerman, trauma akustik.
c) Faktor Penyebab Tunagrahita
Seseorang menjadi tunagrahita disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya sebagai berikut:
1) Faktor keturunan
Penyebab kelainan yang berkaitan dengan faktor keturunan ini
meliputi kelainan kromosom dan kelainan gen karena mutasi.
2) Faktor gangguan metabolisme dan gizi
Kegagalan metabolisme dan kegagalan pemenuhan kebutuhan
gizi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fisik dan mental
pada individu.
3) Faktor infeksi dan keracunan
Keadaan ini disebabkan karena terjangkitnya penyakit-penyakit
seperti rubella atau syphilis selama janin masih berada di dalam
kandungan.
4) Trauma dan zat radioaktif
Terjadinya trauma terutama pada otak saat bayi dilahirkan
dengan alat bantu atau terkena radiasi zat radioaktif (radiasi
sinar-X) saat hamil dapat menyebabkan ketunagrahitaan.
5) Masalah pada kelahiran
Masalah yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kelahiran yang
disertai hypoxia dipastikan bayi akan menderita kerusakan otak,
commit to user 6) Faktor lingkungan
Lingkungan yang menjadi faktor penyebab tunagrahita misalnya
status sosial ekonomi yang rendah, serta latar belakang
pendidikan keluarga.
d) Faktor Penyebab Tunadaksa
Faktor penyebab tunadaksa dilihat dari penggolongan kelainan
sistem otot dan rangka dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Poliomyelitis, disebabkan karena terkena virus polio yang
mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya tetap.
2) Muscle dystrophy, penyakit ini ada hubungannya dengan
keturunan atau gen.
3) Spina bifida, terbukanya satu atau tiga ruas tulang belakang dan
tidak tertutup lagi semasa masa perkembangan.
e) Faktor Penyebab Tunalaras
Faktor penyebab tunalaras dilihat dari penggolongan jenis tunalaras
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Hiperaktivitas, disebabkan karena adanya disfungsi otak,
kekurangan oksigen, kecelakaan fisik, keracunan serbuk timah,
kekurangan gizi, minuman keras, dan mengkonsumsi obat
terlarang selama kehamilan.
2) Distrakbilitas, disebabkan karena disfungsi minimal otak,
gangguan metabolisme, kelainan fisik minimal, faktor
lingkungan dan faktor keterlambatan perkembangan.
3) Impulsif , disebabkan adanya faktor keturunan, cemas, budaya,
disfungsi saraf, perilaku yang dipelajari dari lingkungan, salah
commit to user f) Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Banyak referensi yang mempunyai pandangan berbeda mengenai
faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar. Ada yang
menyebutkan kesulitan belajar khusus karena disfungsi sistem saraf
yang disebabkan oleh cedera otak pada masa perkembangan otak,
ketidakseimbangan zat kimiawi dalam otak, gangguan
perkembangan saraf, dan kelambatan proses berkembangan.
Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada
berbagai faktor penyebab keluarbiasaan atau seseorang bisa menjadi
berkebutuhan khusus. Faktor penyebab kelainan pada seseorang bisa dilihat
dari masa terjadinya kelainan itu sendiri atau bertolak dari jenis
keluarbiasaan seseorang. Dengan mengetahui berbagai faktor penyebab
tersebut, maka diharapkan dapat menghindari atau mencegah terjadinya
keluarbiasaan yang berada di bawah normal dan dapat meminimalkan
dampak yang ditimbulkannya.
c. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Untuk keperluan pembelajaran, Kirk dan Gallagher dalam Mulyono
Abdurrahman (1995: 11) mengklasifikasikan anak luar biasa ke dalam lima
kelompok, yaitu kelainan mental, kelainan sensoris, gangguan komunikasi,
gangguan perilaku dan tunaganda atau cacat berat.:
1) Kelainan mental, meliputi anak – anak
a) Yang memiliki kapasitas intelektual luar biasa tinggi (intellectually
superior) dan
b) Yang lamban dalam belajar (mentally retarded);
2) Kelainan sensoris, meliputi anak–anak dengan
a) kerusakan pendengaran (auditory impairments) dan
b) kerusakan penglihatan (visual impairments);
3) Gangguan komunikasi, meliputi anak – anak dengan
commit to user
b) Gangguan dalam berbicara dan bahasa (speech dan language
impairments);
4) Gangguan perilaku, meliputi
a) Gangguan emosional (emotional disturbance) dan
b) Ketidaksesuaian perilaku sosial atau tunalaras (social maladjusment);
dan
5) Tunaganda atau cacat berat, meliputi macam–macam kombinasi
kecacatan, seperti: cerebral palsy dengan tunagrahita, tunanetra dengan
tunagrahita, dan sebagainya.
Menurut Lynch dalam Joppy Liando & Aldjon Dapa (2007: 21)
mengungkapkan ada tiga kategori anak berkebutuhan khusus, yaitu: anak
yang telah berada disekolah namun karena berbagai faktor dan alasan, mereka
tidak mencapai kemajuan sebagaimana layaknya; anak-anak yang belum
masuk sekolah karena alasan tertentu meskipun umurnya sudah cukup,
bahkan akibat sekolah kurang tanggap terhadap keadaan mereka, hal ini
semata-mata bukan karena mereka tidak tanggap dalam segi intelektual;
kelompok kecil anak yang memiliki kecacatan fisik atau mental yang
memerlukan penanganan khusus dalam pendidikannya. Sedangkan
pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya sesuai
dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan
Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah
Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan (sic) adalah sebagai berikut:
A. Tunanetra
B. Tunarungu
C. Tunagrahita : (antara lain: Down Syndrome)
1. C : Tunagrahita Ringan (IQ=50-70)
2. C1 : Tunagrahita Sedang (IQ=25-50)
3. C2 : Tunagrahita Berat (IQ<25 )
D. Tunadaksa :
commit to user 2. D1 : Tunadaksa Sedang
3. Tunalaras (Dysruptive)
4. Tunawicara
5. Tunaganda
6. HIV AIDS
7. Gifted : Potensi Kecerdasan Istimewa (IQ>125)
8. Talented : Potensi Bakat Istimewa (Multiple Intelligences: Language,
Logico-mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical,
Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual)
9. Kesulitan Belajar (antara lain: Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca,
Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara,
Dyspraxia/Motorik)
10. Lambat Belajar (IQ=70–90)
11. Autis
12. Korban Penyalahgunaan Narkoba
13. Indigo
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa
klasifikasi anak berkebutuhan khusus pada dasarnya dibedakan menjadi
beberapa kelompok seseuai dengan keperluan dan tujuan pengklasifikasian.
Secara garis besar, klasifikasi ABK meliputi kelainan secara fisik (tunanetra,
tunarungu, tunadaksa); kelainan secara mental (tunagrahita dan anak
berbakat); kelainan perilaku (tunalaras); dan kelainan ganda, termasuk juga
anak dengan HIV AIDS, anak gifted, kesulitan belajar lambat belajar, autis,
korban penyalahgunaan narkoba, serta indigo.
d. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
Setiap anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik tertentu yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk keperluan identifikasi,
di bawah ini akan disebutkan ciri-ciri yang menonjol dari masing-masing
commit to user
1) Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan
Anak yang mengalami gangguan penglihatan (tunanetra) secara umum
memiliki karakteristik seperti tidak mampu melihat; tidak mampu
mengenali orang pada jarak 6 meter; kerusakan nyata pada kedua bola
mata; sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan; mengalami kesulitan
mengambil benda kecil di dekatnya; bagian bola mata yang hitam
berwarna keruh/besisik/kering; peradangan hebat pada kedua bola mata;
mata bergoyang terus. Nilai standarnya 6, artinya bila anak mengalami 6
gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong tunanetra.
Anak yang mengalami gangguan penglihatan atau tunanetra, biasanya
mempunyai penglihatan yang sangat terbatas sehingga untuk belajar
mereka memerlukan alat bantu. Pada umumnya anak tunanetra membaca
dan menulis dengan huruf braille. Sedangkan pada anak yang ketajaman
penglihatannya rendah atau lemah (low vision) masih dapat belajar melalui
saluran penglihatan dan biasanya masih dapat membaca tulisan cetak.
Pada umumnya anak tunanetra maupun low vision mempunyai IQ
yang normal sama seperti anak normal lainnya, sehingga mereka bisa
dididik dan bisa ditempatkan di kelas reguler atau inklusi. Hanya saja,
diperlukan alat bantu yang bisa membantu anak dalam belajarnya,
misalnya alat tulis braille, buku–buku dengan huruf braille, serta alat bantu
pembelajaran yang lain seperti peta timbul dan kamus bicara, dll.
Sedangkan untuk anak low vision diperlukan buku cetak dengan huruf
yang tebal dan berwarna cerah.
2) Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran
Secara umum, karakteristik anak tunarungu adalah tidak mampu
mendengar; terlambat perkembangan bahasa; sering menggunakan isyarat
dalam berkomunikasi; kurang/tidak tanggap bila diajak bicara; ucapan kata
tidak jelas; kualitas suara aneh/monoton; sering memiringkan kepala
dalam usaha mendengar; banyak perhatian terhadap getaran; keluar nanah
commit to user
artinya bila anak mengalami 7 gejala di atas, atau lebih, maka anak
tergolong tunarungu.
Pada umumnya, intelegensi anak tunarungu secara potensial sama
dengan anak normal sehingga bisa mendapatkan layanan pendidikan dan
bisa ditempatkan dalam sekolah inklusi, hanya saja mereka mengalami
keterhambatan dalam aspek intelegensi dikarenakan dampak
ketunarunguannya. Karena ketunarunguannya inilah, mereka mengalami
hambatan dalam kemampuan berbahasanya dan mengalami keterbatasan
informasi.
Anak tunarungu perlu mendapatkan alat bantu untuk menunjang
mereka belajar. Alat bantu di bidang pengembangan akademik bagi anak
tunarungu pada hakekatnya tidak jauh berbeda dengan anak normal, tetapi
karena mereka memiliki kelebihan di bidang visual, alat bantu tersebut
sebaiknya diberikan aksen warna yang kuat. Untuk membantu
pendengarannya dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu dengar
(hearing aid) dan untuk membantu pendengaran dalam proses
pembelajaran dapat digunakan alat–alat seperti hearing group dan loop
induction system. Sedangkan untuk membantu pengembangan kemampuan
berkomunikasi dan bahasa perlu diberikan latihan bina persepsi bunyi dan
irama pada anak.
3) Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh gerakan
Secara fisik, anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan
memiliki karakteristik seperti anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh;
kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali);
terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih
kecil dari biasa; terdapat cacat pada alat gerak; jari tangan kaku dan tidak
dapat menggenggam; kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk; dan
menunjukkan sikap tubuh tidak normal; hiperaktif/tidak dapat tenang.
Nilai standarnya 5, artinya bila anak mengalami 5 gejala di atas, atau lebih,
commit to user
Anak anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan
(tunadaksa) memerlukan pengajaran, peralatan, dan penempatan secara
khusus. Sangat penting bagi seorang pendidik untuk mengerti bagaimana
gangguan fisik dan kesehatan itu berpengaruh terhadap belajar,
perkembangan atau tingkah laku anak.
Akibat mengalami gangguan pada motorik dan intelegensinya, maka
anak tunadaksa (terutama cerebal palsy) sering mengalami kesulitan dalam
menguasai kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Karenanya
diperlukan layanan dan alat bantu khusus seperti kartu abjad untuk
pengenalan huruf, kata dan kalimat; kotak bilangan; dan geometri sharpe
untuk pengenalan bentuk dan menyortir bentuk geometri.
4) Tunagrahita/anak yang mengalami kelainan mental
Karakteristik secara umum anak yang mengalami kelainan mental
(tunagrahita) memiliki penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala
terlalu kecil/besar; tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia;
perkembangan bicara/bahasa terlambat; tidak ada/kurang sekali
perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong); koordinasi
gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali); sering keluar ludah
(cairan) dari mulut (ngiler). Nilai standarnya 4, artinya bila anak
mengalami 4 gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong tunagrahita.
Untuk keperluan pembelajaran, menurut Budiyanto (2009: 120)
anak yang mengalami kelainan mental diklasifikasikan berdasarkan taraf
subnormalitas intelektual (sic) adalah sebagai berikut:
a) Taraf perbatasan atau lamban belajar (the borderline or the slow
learner, IQ 70-85)
b) Tunagrahita mampu didik (educable mentally retarded, IQ 50-70
atau 75)
c) Tunagrahita mampu latih (trainable mentally retarded, IQ 30 atau 35
commit to user
d) Tunagrahita mampu rawat (dependent or profoundly mentally
retarded, IQ di bawah 25 atau 30).
Anak tunagrahita mampu didik karena perkembangan mentalnya
yang tergolong subnormal, akan mengalami kesulitan dalam mengikuti
program reguler di sekolah dasar. Meskipun demikian, anak tunagrahita
mampu didik dipandang masih memiliki potensi untuk menguasai mata
pelajaran akademik di sekolah dasar, dan mampu di didik untuk
melakukan penyesuaian sosial yang dalam jangka panjang dapat berdiri
sendiri dalam masyarakat. Sarana dan prasarana khusus yang dibutuhkan
anak tunagrahita antara lain latihan sensori visual, latihan sensori
perabaan, latihan sensori pengecap dan perasa, latihan bina diri, konsep
dan simbol bilangan, kreativitas daya pikir dan konsentrasi, alat
pengajaran bahasa, serta latihan perseptual motor.
5) Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku
Karakteristik anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku
memiliki karakteristik sebagai berikut: bersikap membangkang; mudah
terangsang emosinya; sering melakukan tindakan agresif; sering bertindak
melanggar norma sosial/norma susila/hukum. Nilai standar 4, artinya bila
anak mengalami 4 gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong
tunalaras.
Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan
anak-anak pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan
karena mereka kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah
gangguan emosi yang mereka alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah
seringkali menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki intelegensi
yang rendah. Untuk mendidik anak yang mengalami gangguan emosi dan
perilaku diperlukan sarana dan prasarana khusus misalnya asesmen
gangguan perilaku dengan adaptive behavior Inventory for Children dan
commit to user
Dari penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa secara
keseluruhan, ABK masih dapat dididik dan masih bisa dikembangkan potensi
yang dimilikinya. Bahkan, ABK pun bisa ditempatkan dalam sekolah inklusi
dan bisa mengikuti pelajaran bersama anak normal lainnya di sekolah reguler.
Agar ABK bisa mengikuti program di sekolah dengan baik, maka sekolah
inklusi pun perlu memodifikasi pembelajaran, mempersiapkan dan
menyediakan sarana dan prasarana khusus yang dibutuhkan dan sesuai
dengan kebutuhan masing-masing anak berkebutuhan khusus.
2. Tinjauan Tentang Sikap Masyarakat a. Sikap
1) Pengertian Sikap
Secord dan Backman sebagaimana dikutip oleh Saifuddin Azwar
(2011: 5) mendefinisikan sikap sebagai “Keteraturan tertentu dalam hal
perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi)
seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya”.
Sementara La. Pierre dalam Saifuddin Azwar (2011: 5)
mendefinisikan sikap sebagai “Perilaku tendensi atau kesiapan antisipasif
predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara
sederhana sikap adalah respon terhadap stimuli yang terkondisikan”.
Pengertian sikap menurut Mar’at (1984: 12) adalah merupakan
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek ini di lingkungan tertentu sebagai
suatu penghayatan terhadap objek tersebut.
Sementara pengertian sikap Bimo Walgito (1997: 5) adalah
keberadaan dalam diri manusia yang menggerakkan untuk bertindak,
menyertai manusia dengan perasaan–perasaan tertentu di dalam
menghadapi objek tertentu atas dasar pengalaman-pengalaman.
Zimbardo dan Ebbesen dalam Abu Ahmadi (1991: 163)
mengemukakan bahwa sikap adalah suatu predisposisi (keadaan mudah
terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau objek yang berisi komponen
commit to user
Dari beberapa definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sikap
adalah suatu kesiapan untuk bereaksi terhadap seseorang, ide atau objek
yang berisi komponen kognitif, afektif, dan behaviour yang kemudian
menggerakkan seseorang untuk bertindak dan menghadapi objek tertentu
atas dasar pengalaman-pengalamannya sebagai suatu penghayatan
terhadap objek tersebut.
2) Komponen Sikap
Menurut Saifuddin Azwar (2011:23-28), struktur sikap terdiri atas
tiga komponen yang saling menunjang yaitu komponen kognitif
(cognitive), komponen afektif (affective), dan komponen konatif
(conative). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut
a) Komponen kognitif (cognitive)
Komponen kognitif merupakan representasi apa yang
dipercayai oleh individu pemilik sikap. Komponen ini berhubungan
dengan “belief ide dan konsep”. Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai
sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini disamakan dengan
pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau
problem yang kontroversial.
b) Komponen afektif (affective)
Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut
aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar
paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang
paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan
mengubah sikap seseorang.
c) Komponen konatif (conative).
Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan
berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh
seseorang. Komponen konasi atau komponen perilaku dalam struktur
commit to user
berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek
sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa
kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Objek
sikap merupakan kecenderungan bertingkah laku tentang kesediaan
atau kesiapan untuk bertindak melakukan sesuatu.
Sedangkan menurut Mar’at (1984: 13) sikap mempunyai tiga komponen sebagai berikut:
1. Komponen kognisi yang hubungannya dengan beliefs, ide, dan
konsep;
2. Komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang;
3. Komponen konasi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku.
Dalam dunia pendidikan, Benjamin Bloom dalam John W. Santrock
(2009: 147) telah mengembangkan sistem klasifikasi tujuan pendidikan
yang lebih dikenal dengan taksonomi Bloom (Bloom’s taxonomy).
Taksonomi ini dibagi menjadi tiga yaitu: ranah kognitif, ranah afektif,
dan ranah psikomotorik yang penjelasannya sebagai berikut:
a. Ranah Kognitif
Taksonomi kognitif Bloom mempunyai enam tujuan, yaitu:
1) Pengetahuan
Pada tingkat ini, siswa-siswa mempunyai kemampuan untuk
mengingat informasi. Sebagai contoh, salah satu tujuannya
mungkin untuk menyebutkan atau mendeskripsikan
keuntungan utama dari penggunaan telefon sebagai alat
berkomunikasi.
2) Pemahaman
Pada tingkat ini, siswa-siswa dapat memahami informasi dan
commit to user 3) Aplikasi
Di tingkat aplikasi ini, siswa dapat menggunakan pengetahuan
yang telah dimilikinya untuk menyelesaikan masalah dalam
kehidupan nyata.
4) Analisis
Pada tingkat analisis ini, siswa-siswa mampu memecah
informasi yang kompleks menjadi bagian-bagian yang lebih
kecil dan mampu menghubungkan satu informasi dengan
informasi yang lain.
5) Sintesis
Di tingkat sintesis ini, siswa mampu mengkombinasikan
elemen-elemen dan menciptakan informasi baru.
6) Evaluasi
Sedangkan pada tingkat evaluasi ini, siswa-siswa mulai dapat
membuat penilaian dan keputusan yang bagus.
b. Ranah Afektif
Pada ranah afektif ini, terdapat lima tujuan yang berhubungan
dengan respons emosional terhadap tugas. Setiap tujuan berikut
mengharuskan siswa untuk menunjukkan beberapa tingkat komitmen
atau intensitas emosional.
1) Menerima
Pada tingkat ini,siswa memperhatikan sesuatu dalam lingkungan.
2) Merespons
Siswa-siswa menjadi termotivasi untuk belajar dan
memperlihatkan perilaku baru sebagai hasil dari pengalaman.
3) Menghargai
Siswa menjadi lebih terlibat atau berkomitmen dalam beberapa
commit to user 4) Mengorganisasi
Siswa-siswa dapat mengintegrasikan nilai baru ke dalam
serangkaian nilai yang sudah ada dan memberinya prioritas yang
sesuai.
5) Menghayati nilai-nilai
Pada tingkat ini, siswa-siswa mampu bertindak sesuai dengan
nilai dan berkomitmen terhadap nilai tersebut.
c. Ranah Psikomotorik
Tujuan psikomotor Bloom meliputi hal-hal berikut:
1) Gerakan refleks
Siswa merespons dengan tidak sengaja dan tanpa pemikiran
untuk sebuah stimulus.
2) Fundamental dasar
Siswa melakukan gerakan dasar yang disengaja yang dilakukan
untuk tujuan tertentu.
3) Kemampuan perseptual
Siswa menggunakan indra mereka, seperti melihat, mendengar,
atau menyentuh untuk memandu usaha keterampilan mereka.
4) Kemampuan fisik
Siswa mengembangkan keterampilan umum daya tahan,
kekuatan, fleksibilitas, dan ketangkasan.
5) Gerakan yang terampil
Siswa melakukan keterampilan fisik yang kompleks dan
membutuhkan kecakapan.
6) Perilaku non verbal (tidak dinyatakan melalui diskusi).
Siswa mampu mengkomunikasikan perasaan dan emosi melalui
tindakan tubuh, misal bermain musikal.
Hal senada juga dijelaskan oleh Nana Sudjana (2011: 22-23) bahwa
dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik
commit to user
hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya
menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri
dari enam aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis,
sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif rendah dan
keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Ranah afektif,
berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan,
jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah
psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan
kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotorik, yakni
gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual,
keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, gerakan
ekspresif dan interpretatif.
Dari berbagai uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap terdiri
atas tiga komponen yaitu komponen kognisi, komponen afeksi dan
komponen konasi yang kemudian ketiga komponen ini saling berkaitan
serta menunjang satu sama lain. Dalam dunia pendidikan, Benjamin
Bloom juga menggunakan ranah kognitif, afeksi dan psikomotorik
(konasi) dalam perencanaan pelajaran untuk menciptakan tujuan dan
sasaran pendidikan.
3) Pembentukan Sikap
Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami
oleh individu. Dalam interaksinya sosialnya, individu bereaksi
membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai obyek psikologis
yang dihadapinya. Saifuddin Azwar (2011: 30-38) mengemukakan
enam faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap antara lain
pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting,
pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga
agama, serta pengaruh faktor emosional. Adapun pejelasannya adalah
commit to user a. Pengalaman Pribadi
Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman
pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap
akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi itu terjadi
dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi
yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih
mendalam dan lebih lama membekas.
b. Pengaruh Orang lain Yang Dianggap Penting
Orang lain di sekitar individu merupakan salah satu diantara
komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap individu itu
sendiri. Seseorang yang biasa dianggap penting bagi individu
adalah orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman
sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami, dan
lain-lain. Pada umumnya, individu lebih cenderung untuk memiliki
sikap yang searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting
karena dimotivasi oleh keinginan menghindari konflik dengan
orang yang dianggapnya penting tersebut.
c. Pengaruh Kebudayaan
Kebudayaan dimana individu hidup dan dibesarkan
mempunyai peranan bersar terhadap pembentukan sikap.
Hergenhahn dalam Saifuddin Azwar (2011: 34) mengutarakan
bahwa kepribadian tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten
yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami.
d. Media Massa
Dalam penyampaian informasi, media massa membawa pula
pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini
seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal
memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap
terhadap hal tersebut. Apabila pesan-pesan sugestif yang dibawa
commit to user
afektif bagi individu dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuk
arah sikap tertentu.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu
sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap
dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep
moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis
pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan
dan diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta
ajaran-ajarannya.
f. Pengaruh Faktor Emosional
Suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh
emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau
pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian
dapat merupakan sikap sementara dan segera berlalu begitu frustasi
hilang, namun dapat pula merupakan sikap yang lebih presisten dan
bertahan lama.
b. Masyarakat
1) Pengertian Masyarakat
Masyarakat adalah suatu kesatuan yang selalu berubah, karena
proses masyarakat sendiri yang menyebabkan perubahan itu.
Hasan Sadily (1989: 47) berpendapat bahwa masyarakat adalah
“Golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi
satu sama lain”. Pengaruh dan pertalian yang terjadi dengan sendirinya di
sini menjadi unsur yang sine qua non (yang harus ada) bagi masyarakat.
Masyarakat bukannya ada dengan hanya menjumlahkan adanya
orang-orang saja, tapi diantara mereka harus ada pertalian satu sama lain.
Pengertian masyarakat menurut Ralph Linton dalam Basrowi (2005: