• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Masyarakat terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam Sekolah Inklusi di Kabupaten Wonogiri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sikap Masyarakat terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam Sekolah Inklusi di Kabupaten Wonogiri"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM SEKOLAH INKLUSI

DI KABUPATEN WONOGIRI

Disusun Oleh :

LUTFI ISNI BADIAH

K5108039

SKRIPSI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM SEKOLAH INKLUSI

DI KABUPATEN WONOGIRI

SKRIPSI

Disusun Oleh :

LUTFI ISNI BADIAH

K5108039

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(3)

commit to user

(4)

commit to user

iii

SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DALAM SEKOLAH INKLUSI DI KABUPATEN WONOGIRI

Oleh : Lutfi Isni Badiah

K5108039

SKRIPSI

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar

Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa

Jurusan Ilmu Pendidikan

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(5)

commit to user

iv

(6)

commit to user

(7)

commit to user

vi

HALAMAN PENGESAHAN

MOTTO

“ Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”.

(8)

commit to user

vii

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan untuk:

 Bapak dan Mama tercinta yang telah memberikan

segalanya, dukungan, motivasi terutama doa semoga

Allah SWT memberikan kebaikan dan kemuliaan di

dunia dan akhirat

 Kakakku Dhanang dan Sophia yang selalu memberiku

semangat

 Nanang Pambudi yang selalu menemani, mendukung dan mendo‟akanku dalam menyelesaikan skripsi ini

 Ponakanku Dhia yang selalu menjadi pencerah

pikiranku

 Sahabat Romantis, Santi, Dian, Wiwit, Esti, Rima,

Nurul, Putri, Gandis, Risti, Tita, dan Siska.

Terimakasih atas persahabatan yang indah selama 4

tahun. Semoga persahabatan kita tak kan pernah

berakhir.

 Rekan-rekan PPL di SLB B YRTRW Surakarta: Esti,

Gandis, Shanti, Siska, Tina, Cristanti, Lia, Yunirawati

 Teman-teman PKh angkatan 2008

(9)

commit to user

viii

ABSTRAK

Lutfi Isni Badiah. SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DALAM SEKOLAH INKLUSI DI KABUPATEN WONOGIRI. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juli. 2012.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) ada atau tidaknya perbedaan sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua terhadap ABK dalam sekolah inklusi, (2) ada atau tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap masyarakat terhadap ABK dalam sekolah inklusi, dan (3) ada atau tidaknya perbedaan sikap antara orangtua siswa normal dan orangtua siswa ABK.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknik pengambilan sampel penelitian ini dengan menggunakan stratified sample non random. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala sekolah, guru dan orangtua di Kabupaten Wonogiri. Sedangkan untuk sampelnya terdiri dari 50 orangtua siswa normal, 30 orangtua siswa ABK, 50 guru, dan 25 kepala sekolah, sehingga totalnya 145 responden. Teknik pengumpulan data menggunakan skala likert yang berisi 35 butir pernyataan terdiri dari pernyataan positif dan negatif. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua terhadap ABK dalam sekolah inklusi digunakan uji KruskalWallis, untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap masyarakat terhadap ABK dalam sekolah inklusi digunakan uji korelasi Pearson, sedangkan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sikap antara orangtua siswa normal dan orangtua siswa ABK digunakan uji Mann-Whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tidak terdapat adanya perbedaan sikap antara kelompok kepala sekolah, guru dan orangtua terhadap ABK dalam sekolah inklusi dilihat dari nilai p-value=0,99>0,05; (2) tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap masyarakat terhadap ABK di sekolah inklusi, dilihat nilai p-value=0,326>0,05; (3) terdapat adanya perbedaan sikap antara orangtua normal dan orangtua ABK terhadap ABK di sekolah inklusi, dilihat dari nilai p-value=0,048<0,05.

(10)

commit to user

ix

ABSTRACK

Lutfi Isni Badiah. K5108039. COMMUNITY‟S ATTITUDE TO DISABLED CHILD IN INCLUSIVE SCHOOL IN WONOGIRI REGENCY. Skripsi, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. July. 2012.

The research aims to find out: (1) whether or not there is a difference of attitudes among headmaster, teacher and parents to disabled child at inclusive, school, (2) whether or not there is a relationship between education level and comunity's attitudes to disabled child in inclusive school , and (3) whether or not there is a difference of attitude between normal student‟s parent and Disabled Child„s parents.

The research method used was quantitative method with descriptive approach. The sampling technique used in this research was stratified sample. The population of research was all headmasters, teachers, and parents in Wonogiri Regency. Meanwhile, the sample consisted of 50 normal student‟s parents, 20 disabled child‟s parents, 50 teachers and 25 headmasters, so that there were totally 145 respondents. Technicque of collecting data used was likert scale containing 35 items, both positive and negative. To find out whether or not there was difference of attitude among headmaters, teachers and parents to disabled child at inclusive school, Kruskal Wallis test was used; to find out whether or not there is a relationship between education level and community‟s attitude to disabled child in inclusive school, Pearson correlation test was used, meanwhile, to find out whether or not there is a difference of attitude between normal student‟s parent and disabled child‟s parents, Mann-Whitney test was used.

The results showed that: (1) there was no difference of attitude among headmaster, teacher and parent groups to disabled child at inclusive school, as could be seen from p-value = 0.99 > 0.05; (2) there was no relationship between education level and community‟s attitude to disabled child in inclusive school, as could be seen from p-value = 0.326 > 0.05, (3) there was difference of attitude between the normal student‟s parents and disabled child‟s parents to disabled child in inclusive school, as could be seen from the p-value = 0.048 < 0 , 05.

(11)

commit to user

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas rahmat dan berkah-Nya skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk

memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Banyak hambatan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat

bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat

teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuan, penulis menyampaikan terima kasih

antara lain kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatulah, M.Pd, Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah

memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;

2. Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si, Pembantu Dekan 1 Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah

memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;

3. Drs. Amir Fuady, M.Hum, Pembantu Dekan III Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah

memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;

4. Drs. Rusdiana Indianto, M.Pd, Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP UNS

Surakarta, yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi;

5. Drs. Hermawan, M. Si, Ketua Program Studi Pendidikan Khusus FKIP

UNS yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi;

6. Sekertaris Program Studi Pendidikan Luar Biasa Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Priyono,S.Pd, M.Si;

7. Prof. Drs. Sunardi, M.Sc, Ph.D, selaku Pembimbing I yang dengan sabar

telah memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi sehingga skripsi

ini dapat terselesaikan;

8. Drs. Maryadi, M.Ag, selaku Pembimbing II yang dengan sabar telah

memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan selama penulis

(12)

commit to user

xi

9. Dewi Sri Rejeki, S. Pd, M.Pd, pembimbing akademik yang telah

memberikan bimbingan serta pengarahan

10.Drs. H. Siswanto M.Pd, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri

yang telah memberikan ijin penelitian.

11.Dra Sri Mulyati, M.Pd, selaku Kepala Bagian Pendidikan TK/SD beserta

jajaran staf Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri yang selalu

meluangkan waktu guna terselesaikannya penelitian ini.

12.Segenap Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Khusus yang telah

memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu

menyelesaikan penulisan skripsi ini

13.Teman-teman Kost Kiki yang selalu menemani dan memberi dukungan

sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

14.Berbagai pihak yang telah membantu peneliti demi lancarnya penulisan

skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi pihak yang

bersedia membacanya dan bagi penulis khususnya.

Surakarta, Juli 2012

(13)

commit to user

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

HALAMAN PENGAJUAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACK ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR GRAFIK ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

(14)

commit to user

xiii

Halaman

BAB II LANDASAN TEORI ... 9

A. Tinjauan Pustaka ... 9

1. Tinjauan Tentang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ... 9

a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ... 9

b. Faktor Penyebab ABK ... 10

c. Klasifikasi ABK ... 15

d. Karakteristik ABK ... 17

2. Tinjauan Tentang Sikap Masyarakat ... 22

a. Sikap ... 22

1) Pengertian Sikap ... 22

2) Komponen Sikap ... 23

3) Pembentukan Sikap ... 27

b. Masyarakat ... 29

1) Pengertian Masyarakat ... 29

2) PeranMasyarakat Dalam Dunia Pendidikan ... 30

a) Peran Masyarakat Dalam Pendidikan ... 30

b) Peran Masyarakat Dalam Pendidikan Inklusi ... 32

3) Masyarakat Wonogiri ... 35

3. Tinjauan Tentang Pendidikan Inklusi ... 41

a. Pengertian Pendidikan Inklusi ... 41

b. Karakteristik Pendidikan Inklusi ... 42

c. Landasan Pendidikan Inklusi ... 44

d. Manfaat Pendidikan Inklusi ... 44

B. Kerangka Berpikir ... 46

C. Hipotesis ... 48

BAB III METODE PENELITIAN ... 49

A. Setting Penelitian ... 49

1. Lokasi Penelitian ... 49

(15)

commit to user

xiv

Halaman

B. Rancangan/Desain Pendidikan ... 50

C. Populasi dan Sampel ... 51

1. Populasi ... 51

2. Sampel ... 51

D. Teknik Pengambilan Sampel ... 52

E. Teknik Pengumpulan Data ... 52

F. Uji Coba Instrumen Penelitian ... 54

G. Teknik Analisis Data ... 57

BAB VI PEMBAHASAN ... 58

A. Pelaksanaan Penelitian... 58

B. Deskripsi Data ... 58

1. Sikap Masyarakat Secara Umum ... 59

2. Sikap Kepala Sekolah ... 60

3. Sikap Guru ... 62

4. Sikap Orangtua Secara Umum ... 63

5. Sikap orangtua Siswa Normal ... 65

6. Sikap Orangtua ABK ... 66

7. Sikap Masyarakat Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 68

C. Hasil Analisis dan Pembahasan ... 69

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Implikasi ... 75

C. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(16)

commit to user

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Daftar Nama Kecamatan di kabupaten Wonogiri ... 36

Tabel 2.2 Jumlah SLB, TK dan SD, Guru dan Murid Diperinci per Kecamatan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2007/2008 ... 37

Tabel 2.3. Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Atas Diperinci per Kecamatan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2007/2008 ... 38

Tabel 2.4. Daftar Nama Sekolah Inklusi di Kabupaten Wonogiri Tahun Anggaran 2004 ... 40

Tabel 3.1. Jenis Kegiatan dan Waktu Penelitian ... 49

Tabel 3.2. Kisi-Kisi Sikap Masyarakat Terhadap ABK di Sekolah Inklusi ... 54

Tabel 4.1 Sikap Masyarakat Secara Umum ... 59

Tabel 4.2 Sikap Kepala Sekolah ... 61

Tabel 4.3 Sikap Guru ... 62

Tabel 4.4 Sikap Orangtua secara umum ... 64

Tabel 4.5. Sikap orangtua siswa normal terhadap ABK ... 65

Tabel 4.6. Sikap orangtua siswa ABK ... 67

Tabel 4.7 Sikap Masyarakat Berdasarkan tingkat Pendidikan ... 68

Tabel 4.8 Distribusi Sikap kepala sekolah, guru dan orangtua ... 69

Tabel 4.9 Distribusi Sikap Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 71

(17)

commit to user

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(18)

commit to user

xvii

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik 4.1. Sikap Masyarakat Secara Umum ... 60

Grafik 4.2. Sikap Kepala Sekolah ... 62

Grafik 4.3. Sikap Guru Terhadap ABK di Sekolah Inklusi ... 63

Grafik 4.4. Sikap Orangtua secara umum ... 65

Grafik 4.5 Sikap Orangtua Siswa Normal ... 66

Grafik 4.6 Sikap Orangtua Siswa ABK ... 67

(19)

commit to user

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kisi-Kisi Instrumen Ujicoba ... 81

Lampiran 2. Instrumen Ujicoba ... 87

Lampiran 3. Data Uji Coba Instumen ... 94

Lampiran 4. Perhitungan Validitas Item ... 97

Lampiran 5. Perhitungan Reliabilitas Item ... 103

Lampiran 6. Instrumen Penelitian ... 104

Lampiran 7. Statistik Responden ... 110

Lampiran 8. Perhitungan antara kelompok kepala sekolah, guru dan orangtua ... 116

Lampiran 8. Perhitungan hubungan antara sikap dan tingkat pendidikan ... 117

Lampiran 9. Perhitungan perbedaan antara orangtua normal dan orangtua ABK ... 118

(20)

commit to user

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu hak asasi yang paling mendasar bagi

setiap manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan

khusus. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1

dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional

bab III ayat 5 yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai

kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian,

anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita,

tunadaksa, tunalaras dan anak berkesulitan belajar juga memiliki kesempatan yang

sama untuk mendapatkan pendidikan.

Sampai saat ini belum ada angka yang pasti mengenai prevalensi jumlah

anak berkebutuhan khusus (ABK) yang ada di Indonesia. Namun, yang pasti

jumlah ABK yang belum memperoleh hak pendidikan masih sangat banyak. Data

resmi dari Direktorat PSLB tahun 2007 menyebutkan jumlah ABK yang sudah

mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7% atau 78.689 anak dari

populasi anak cacat di Indonesia, yaitu 318.600 anak (Direktorat PSLB, 2008).

Hal ini berarti bahwa masih terdapat 65,3% ABK yang masih termarjinalisasikan

dan belum mendapatkan hak pendidikan. Kondisi di atas tentu sangat

memprihatinkan, mengingat bahwa pendidikan merupakan salah satu hak asasi

manusia yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai hukum internasional maupun

nasional.

Selama ini, pendidikan di Indonesia bagi anak berkebutuhan khusus

disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa

(SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB,

sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis

kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB

(21)

commit to user

SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya

mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,

dan/atau tunaganda. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang

juga menampung anak berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran,

dan kegiatan belajar mengajar yang sama.

Di Indonesia sendiri, pada umumnya ABK bersekolah di SLB atau SDLB

yang terpisah dari anak normal. Padahal lokasi SLB atau SDLB kebanyakan

berada di ibukota kabupaten, sedangkan anak-anak berkebutuhan khusus tersebar

hampir di seluruh daerah pelosok, tidak hanya berdomisili di ibukota kabupaten

saja. Akibatnya, sebagian dari mereka, terutama yang keadaan kemampuan

ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak bersekolah karena lokasi SLB jauh

dari rumah. Sedangkan apabila akan mendirikan SLB di setiap daerah pelosok,

tentu akan menghabiskan dana yang tinggi. Anak berkebutuhan khusus juga tidak

bisa bersekolah di SD terdekat, karena SD tersebut tidak bersedia menerima dan

merasa tidak mampu melayani. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat

diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka,

akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.

Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar 9

tahun seperti yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Oleh karena itu diperlukan

suatu layanan pendidikan yang mampu mengakomodir seluruh kebutuhan ABK

tanpa adanya diskriminasi. Maka diterapkanlah pendidikan inklusi di berbagai

sekolah umum untuk melayani pendidikan ABK.

Pendidikan inklusi ini sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang baru di

dunia pendidikan. Sebelumnya, istilah inklusi tersebut lebih dikenal dengan

mainstreaming atau pendidikan terpadu. Di Indonesia sendiri, istilah pendidikan

inklusi mulai diperkenalkan dan disosialisasikan sejak tahun 2001. Pemerintah

Indonesia sendiri mendukung adanya pengembangan pendidikan inklusi dengan

dibuatnya Peraturan Mendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Tentang Pendidikan

Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi

Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Di mata dunia, pendidikan inklusi juga

(22)

commit to user

diratifikasi Indonesia, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948),

Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990), Peraturan Standar PBB

tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993), Pernyataan

Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO (1994), Undang-undang Penyandang

Kecacatan (1997), Kerangka Aksi Dakar (2000) dan Deklarasi Kongres Anak

Internasional (2004). Semua instrumen hukum tersebut ingin memastikan bahwa

semua anak, tanpa kecuali, memperoleh pendidikan.

Pendidikan inklusi adalah suatu layanan pendidikan yang memberikan

kesempatan sebesar-besarnya bagi anak berkebutuhan khusus untuk belajar

bersama dengan anak normal di sekolah umum dengan fasilitas yang sesuai

dengan kebutuhannya. Hal ini senada dengan simpulan Staub dan Peck dalam

Budiyanto (2009: 3) bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak luar

biasa tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas biasa. Definisi

ini menganggap bahwa kelas biasa merupakan penempatan yang relevan bagi

semua anak luar biasa, bagaimanapun tingkatannya. Pengertian lain mengenai

pendidikan inklusi juga diungkapkan oleh Gunarhadi (2001: 65):

Pendidikan inklusi merupakan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan khusus anak secara individual dalam pembersamaan klasikal. Dalam pendekatan ini, tidak akan dilihat dari segi ketidakmampuannya, kecacatannya, dan tidak pula dari segi penyebab kecacatannya.

Edi Purwanta (2002: 3-4) mengemukakan beberapa alasan pentingnya

pendidikan inklusi dikembangkan dalam layanan pendidikan bagi anak luar

biasa. Alasan tersebut antara lain:

1. Semua anak, baik cacat maupun tidak mempunyai hak yang untuk belajar

bersama-sama dengan anak yang lain.

2. Seyogyanya anak tidak diberi label atau dibeda-bedakan secara rigid, tetapi

perlu dipandang bahwa mereka memiliki kesulitan dalam belajar.

3. Tidak ada alasan yang mendasar untuk memisah-misahkan anak dalam

pendidikan. Anak memiliki kebersamaan yang saling diharapkan di antara

mereka. Ia tidak pernah ada upaya untuk melindungi dirinya dengan yang

(23)

commit to user

4. Penelitian menunjukkan bahwa anak cenderung menunjukkan hasil yang baik

secara akademik dan sosial bila mereka berada pada setting kebersamaan.

5. Tidak ada layanan pendidikan di SLB yang mampu mengambil bagian dalam

menangani anak di sekolah pada umumnya.

6. Semua anak membutuhkan pendidikan yang dapat mengembangkan

hubungan antar mereka dan mempersiapkan untuk hidup dalam

masyarakatnya.

7. Hanya pendidikan inklusi yang potensial untuk menekan rasa takut dalam

membangun kebertemanan, tanggung jawab, dan pemahaman diri.

Layanan pendidikan inklusi ini telah diterapkan di negara-negara maju di

dunia, seperti Amerika dan Norwegia. Norwegia merupakan salah satu negara

yang telah menerapkan sistem pendidikan inklusi secara keseluruhan. Semua

sekolah disana telah diberikan ketentuan untuk menerima semua siswa normal

maupun siswa berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dalam sekolah

tersebut. Di Indonesia sendiri, model pendidikan inklusi mulai dirintis sejak tahun

2001 dan diujicobakan pada tahun 2002 di Kabupaten Gunung Kidul yang pada

saat itu masih menggunakan istilah pendidikan terpadu. Hanya bedanya, dalam

pendidikan terpadu, anak berkebutuhan khusus masih harus menyesuaikan diri

dengan kurikulum yang ada. Sedangkan dalam pendidikan inklusi, kurikulum

yang menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing siswa ABK sehingga

dalam kegiatan belajar mengajar diperlukan adanya program pembelajaran

individual (PPI).

Munculnya pendidikan inklusi ini, menimbulkan sikap yang berbeda-beda

pada masyarakat. Persepsi, sikap, tingkah laku, dan kesiapan untuk menerima dan

menerapkannya pun berbeda-beda pula. Sikap masyarakat yang banyak

ditunjukkan terhadap pendidikan inklusi dibedakan menjadi tiga, yakni sikap

mendukung, sikap menolak, serta sikap acuh tak acuh atau tidak peduli. Adanya

perbedaan sikap masyarakat tersebut menurut Ari Wahyudi (2003: 85)

dipengaruhi oleh beberapa variabel, diantaranya faktor latar belakang keluarga,

(24)

commit to user

cenderung bersikap lebih positif. Sedangkan dalam kultur tertentu yang

menganggap kecacatan dianggap sebagai hal yang terkutuk, menyebabkan

masyarakat umumnya bersikap lebih negatif. Untuk variabel lain seperti umur,

jenis kelamin, dan faktor demografi lainnya, lebih berpengaruh pada cara

mengekspresikan sikap, bukan pada proses pembentukannya. Menurut beberapa

penelitian tentang anak luar biasa, tidak ada perbedaan yang berarti dalam sikap

antara pria dan wanita. Hanya wanita cenderung mengekspresikan sikapnya

dengan cara yang lebih halus. Semakin dewasa seseorang, semakin positif juga

sikapnya terhadap penyandang cacat. Ada dugaan ini berkaitan dengan semakin

lengkapnya informasi yang diperoleh tentang anak luar biasa.

Penyelenggaraan sistem pendidikan inklusi ini tentunya mengalami

berbagai hambatan diantaranya yaitu: kurangnya sosialisasi tentang pendidikan

inklusi sehingga berdampak pada kurangnya pengetahuan masyarakat serta

kurangnya kesadaran dari masyarakat tentang anak luar biasa yang membutuhkan

pelayanan dan kebutuhan khusus. Ditambah lagi, Ari Wahyudi (1998: 22)

menyebutkan bahwa masyarakat pada umumnya masih memandang penyandang

cacat merupakan bagian dari sekelompok orang yang perlu dikasihani, sehingga

sikap negatif terhadap penyandang cacat cenderung nampak dalam kehidupan

masyarakat. Apabila kondisi tersebut diatas tidak segera diatasi, maka

penyelenggaraan pendidikan sekolah reguler tidak dapat ditingkatkan dengan

baik. Untuk itu, diperlukan perhatian dan kerjasama masyarakat terhadap kondisi

anak normal dengan anak berkebutuhan khusus.

Dari latar belakang masalah tersebut, maka penulis menyimpulkan

(25)

commit to user

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang diatas dapat penulis simpulkan identifikasi masalah

sebagai berikut:

1. Masih banyaknya anak berkebutuhan khusus yang belum mendapatkan

layanan pendidikan.

2. Kurangnya sekolah luar biasa (SLB) yang dapat menampung anak

berkebutuhan khusus.

3. Masih kurangnya layanan pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan

khusus.

4. Masih adanya stigma negatif dari masyarakat tentang ABK yang

menganggap bahwa kecacatan merupakan kutukan dari Tuhan atau aib

keluarga.

5. Kurangnya sosialisasi tentang pendidikan inklusi sehingga berdampak pada

kurangnya pengetahuan masyarakat.

6. Kurangnya kesadaran dari masyarakat tentang anak luar biasa yang

membutuhkan pelayanan dan kebutuhan khusus.

7. Persepsi masyarakat yang berbeda mengenai pendidikan inklusi di sekolah

dasar sesuai dengan tingkat sosial, pemahaman, dan tingkat pendidikannya.

C. Pembatasan Masalah

Dalam identifikasi masalah, muncul permasalahan-permasalahan yang

dapat dijadikan obyek penelitian. Hal ini akan mempermudah dalam memilih

permasalahan yang ada untuk diteliti. Berdasarkan uraian identifikasi masalah

diatas, penulis membatasi masalah pada :

1. Perbedaan sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua.

2. Hubungan sikap dan tingkat pendidikan serta

(26)

commit to user

D. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah

yang timbul secara sistematik. Berdasarkan pembatasan masalah yang telah

diuraikan di atas, maka perumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah:

1. Apakah ada perbedaan sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua

terhadap ABK dalam sekolah inklusi?

2. Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap mastarakat

terhadap ABK dalam sekolah inklusi?

3. Apakah ada perbedaan sikap antara orangtua siswa normal dan orangtua

siswa ABK?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang dapat

dikemukakan adalah:

1. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sikap antara kepala sekolah,

guru dan orangtua terhadap ABK dalam sekolah inklusi.

2. Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan

dengan sikap masyarakat terhadap ABK dalam sekolah inklusi.

3. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sikap antara orangtua siswa

normal dan orangtua siswa ABK.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis.

Secara teoritis, melalui penelitian ini diharapkan dapat membantu mengetahui

sikap masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Wonogiri terhadap anak

berkebutuhan khusus (ABK) dalam sekolah inklusi, dilihat dari perbedaan

sikap antara kepala sekolah, guru dan orangtua, hubungan sikap dan tingkat

(27)

commit to user 2. Manfaat Praktis.

a. Dapat memberikan data mengenai sikap masyarakat Wonogiri terhadap

anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam sekolah inklusi.

b. Dapat memberikan masukan kepada lembaga/penyelenggara sekolah

(28)

commit to user

9 BAB II

LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Tentang Anak Berkebutuhan Khusus

a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Anak luar biasa masih merupakan istilah yang dipergunakan sampai

saat ini, meskipun secara perundang-undangan dan wacana yang berkembang

sekarang ini peristilahan tersebut perlu ditinjau kembali.

Banyak istilah yang telah digunakan untuk menyebut anak

berkebutuhan khusus, ada yang menyebut sebagai anak cacat, anak

berkelainan, anak luar biasa, dan lain sebagainya. Menurut Lay Kekeh

Mathan (2007: 35), WHO telah mengemukakan tentang tiga istilah yang

berbeda mengenai anak berkebutuhan khusus, yaitu impairment, disability,

dan handicap. Impairment, yang menunjuk pada kelainan atau kekurangan

(deficit) secara organik yaitu hilangnya atau adanya abnormalitas dari struktur

atau fungsi psikologis, fisiologis maupun anatomis baik bersifat menetap

maupun tidak; 2) disability, merujuk pada keterbatasan-keterbatasan segala

sesuatu sebagai akibat dari adanya gangguan, sedangkan handicap, lebih

merujuk pada anak-anak yang mengalami impairment atau disability sebagai

akibat dari faktor-faktor sosial diluar kontrol individu sehingga individu

tersebut kurang mampu untuk menampilkan suatu peranan sosialnya.

Menurut Mohammad Efendi (2006: 6), “Anak berkebutuhan khusus

adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada

umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau

fisik”. Yang termasuk ke dalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu,

tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak

berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. Karena karakteristik dan

hambatan yang dimiliki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan

(29)

commit to user

bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan

braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak

berkebutuan khusus biasanya bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) sesuai

dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB

bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D

untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk

cacat ganda.

Sementara Jamila K.A. Muhammad (2008: 37) mendefinisikan anak

luar biasa yaitu “Anak-anak yang berbeda dari anak-anak biasa dalam hal

ciri-ciri mental, kemampuan komunikasi, sensorik, tingkah laku sosial,

ataupun ciri-ciri fisik”. Sehingga perbedaan ini menyebabkan mereka

memerlukan modifikasi dalam aktivitas sekolah ataupun pelayanan

pendidikan khusus agar mampu untuk berkembang dengan kapasitas

maksimal. Sedangkan I.G.A.K Wardhani dkk (2009: 13), mendefinisikan

anak luar biasa sebagai anak yang mempunyai sesuatu yang luar biasa yang

secara signifikan membedakannya dengan anak-anak seusia pada umumnya.

Berdasarkan definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa anak

berkebutuhan khusus atau yang juga disebut anak luar biasa diartikan sebagai

anak yang memiliki kelainan atau penyimpangan baik dalam hal fisik, mental,

emosi, komunikasi, sensorik atau gabungan dari kelainan tersebut yang

sifatnya sedemikian rupa sehingga memerlukan bentuk pelayanan pendidikan

khusus yang sudah dimodifikasi sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan

potensi mereka masing-masing agar mampu untuk berkembang secara

maksimal.

b. Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus

Usaha untuk menemukan faktor penyebab terjadinya anak

berkebutuhan khusus sudah lama dilakukan. Meskipun sampai kini sudah

banyak faktor penyebab yang telah diungkap, belum semua penyebab anak

berkebutuhan khusus dapat diketahui. Menurut beberapa referensi ada

(30)

commit to user

Menurut Mohammad Efendi (2006: 12), “Faktor penyebab kelainan

pada seseorang dilihat dari masa terjadinya kelainan itu sendiri dapat

diklasifikasikan menjadi tiga, yakni kelainan yang terjadi sebelum anak lahir

(prenatal), kelainan saat pada anak lahir (neonatal), dan kelainan setelah anak

lahir (postnatal). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1) Kelainan terjadi sebelum anak lahir (prenatal), yaitu masa di mana anak

masih berada dalam kandungan diketahui setelah mengalami kelainan

atau ketunaan. Hal ini bisa disebabkan adanya pengaruh bahan kimia atau

trauma akibat gesekan atau guncangan, dan obat-obatan. Faktor lain yang

mempengaruhi terhadap kelainan anak pada masa prenatal ini antara lain

penyakit kronis, diabetes, anemia, kanker, kurang gizi, toxemia, rh faktor,

infeksi (rubella, syiphilis, toxoplasmosis, dan cytomegalic inclusion

disease/CID), radiasi, kelainan genetik, kelainan kromosom, obat-obatan

dan bahan kimia lainnya yang berinteraksi dengan ibu anak semasa

hamil.

2) Kelainan saat pada anak lahir (neonatal), yakni masa dimana kelainan itu

terjadi pada saat anak dilahirkan. Ada beberapa sebab kelainan saat anak

dilahirkan, antara lain anak lahir sebelum waktunya (prematurity), lahir

dengan bantuan alat (tang verlossing), posisi bayi tidak normal,

analgesia, dan anasthesia, kelahiran ganda, aphyxia, atau karena

kesehatan bayi yang bersangkutan.

3) Kelainan yang terjadi setelah anak lahir (postnatal), yakni masa dimana

kelainan itu terjadi setelah bayi itu dilahirkan, atau saat anak dalam masa

perkembangan. Ada beberapa sebab kelainan setelah anak dilahirkan,

antara lain infeksi, luka, bahan kimia, malnutrisi, deprivation factor dan

meningitis, stuip, dan lain-lain.

Menurut I.G.A.K Wardhani dkk dalam Buku Pengantar Pendidikan

Luar Biasa, faktor penyebab kelainan pada seseorang dapat dilihat atau

bertolak dari jenis keluarbiasaan seseorang. Adapun penjelasannya adalah

(31)

commit to user a) Faktor Penyebab Ketunanetraan

Faktor penyebab tunanetra dapat dibedakan menjadi faktor internal

dan faktor eksternal.

1) Faktor internal

Faktor internal merupakan penyebab ketunanetraan yang timbul

dari dalam individu, atau sering disebut juga faktor keturunan.

Faktor ini kemungkinan besar terjadi pada perkawinan

antarkeluarga dekat dan perkawinan antartunanetra.

2) Faktor eksternal

Faktor eksternal merupakan penyebab yang datang dari luar diri

individu. Penyebab eksternal ketunanetraan diantaranya karena

penyakit rubella dan syphilis, glaukoma (glaucoma), retinopati

diabetes (diabetic retinopathy), retinoblastoma, kekurangan

vitamin A, terkena zat kimia, dan kecelakaan.

b) Faktor Penyebab Ketunarunguan

Penyebab tunarungu dilihat dari letak gangguan secara anatomis

dapat didasarkan pada tipe konduktif dan sensorineural.

1) Tipe konduktif

Pada tipe konduktif, terdapat dua bagian kerusakan/gangguan

yaitu pada telinga luar dan telinga tengah. Penyebab

kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar antara lain

karena tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar dan

terjadinya peradangan pada lubang telinga luar. Sedangkan

penyebab kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah

antara lain: ruda paksa (adanya benturan keras), terjadinya

peradangan pada telinga tengah, otosclerosis, tympanisclerosis,

(32)

commit to user 2) Tipe sensorineural

Penyebab tunarungu tipe sensorineural dapat disebabkan oleh

faktor genetik dan non genetik. Ketunarunguan karena faktor

genetik (keturunan) disebabkan oleh adanya gen ketunarunguan

yang menurun dari orang tua kepada anaknya. Sedangkan

penyebab ketunarunguan faktor non genetik antara lain: adanya

ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak, terkena penyakit

meningitis dan rubella campak Jerman, trauma akustik.

c) Faktor Penyebab Tunagrahita

Seseorang menjadi tunagrahita disebabkan oleh beberapa faktor,

diantaranya sebagai berikut:

1) Faktor keturunan

Penyebab kelainan yang berkaitan dengan faktor keturunan ini

meliputi kelainan kromosom dan kelainan gen karena mutasi.

2) Faktor gangguan metabolisme dan gizi

Kegagalan metabolisme dan kegagalan pemenuhan kebutuhan

gizi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fisik dan mental

pada individu.

3) Faktor infeksi dan keracunan

Keadaan ini disebabkan karena terjangkitnya penyakit-penyakit

seperti rubella atau syphilis selama janin masih berada di dalam

kandungan.

4) Trauma dan zat radioaktif

Terjadinya trauma terutama pada otak saat bayi dilahirkan

dengan alat bantu atau terkena radiasi zat radioaktif (radiasi

sinar-X) saat hamil dapat menyebabkan ketunagrahitaan.

5) Masalah pada kelahiran

Masalah yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kelahiran yang

disertai hypoxia dipastikan bayi akan menderita kerusakan otak,

(33)

commit to user 6) Faktor lingkungan

Lingkungan yang menjadi faktor penyebab tunagrahita misalnya

status sosial ekonomi yang rendah, serta latar belakang

pendidikan keluarga.

d) Faktor Penyebab Tunadaksa

Faktor penyebab tunadaksa dilihat dari penggolongan kelainan

sistem otot dan rangka dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Poliomyelitis, disebabkan karena terkena virus polio yang

mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya tetap.

2) Muscle dystrophy, penyakit ini ada hubungannya dengan

keturunan atau gen.

3) Spina bifida, terbukanya satu atau tiga ruas tulang belakang dan

tidak tertutup lagi semasa masa perkembangan.

e) Faktor Penyebab Tunalaras

Faktor penyebab tunalaras dilihat dari penggolongan jenis tunalaras

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Hiperaktivitas, disebabkan karena adanya disfungsi otak,

kekurangan oksigen, kecelakaan fisik, keracunan serbuk timah,

kekurangan gizi, minuman keras, dan mengkonsumsi obat

terlarang selama kehamilan.

2) Distrakbilitas, disebabkan karena disfungsi minimal otak,

gangguan metabolisme, kelainan fisik minimal, faktor

lingkungan dan faktor keterlambatan perkembangan.

3) Impulsif , disebabkan adanya faktor keturunan, cemas, budaya,

disfungsi saraf, perilaku yang dipelajari dari lingkungan, salah

(34)

commit to user f) Faktor Penyebab Kesulitan Belajar

Banyak referensi yang mempunyai pandangan berbeda mengenai

faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar. Ada yang

menyebutkan kesulitan belajar khusus karena disfungsi sistem saraf

yang disebabkan oleh cedera otak pada masa perkembangan otak,

ketidakseimbangan zat kimiawi dalam otak, gangguan

perkembangan saraf, dan kelambatan proses berkembangan.

Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada

berbagai faktor penyebab keluarbiasaan atau seseorang bisa menjadi

berkebutuhan khusus. Faktor penyebab kelainan pada seseorang bisa dilihat

dari masa terjadinya kelainan itu sendiri atau bertolak dari jenis

keluarbiasaan seseorang. Dengan mengetahui berbagai faktor penyebab

tersebut, maka diharapkan dapat menghindari atau mencegah terjadinya

keluarbiasaan yang berada di bawah normal dan dapat meminimalkan

dampak yang ditimbulkannya.

c. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Untuk keperluan pembelajaran, Kirk dan Gallagher dalam Mulyono

Abdurrahman (1995: 11) mengklasifikasikan anak luar biasa ke dalam lima

kelompok, yaitu kelainan mental, kelainan sensoris, gangguan komunikasi,

gangguan perilaku dan tunaganda atau cacat berat.:

1) Kelainan mental, meliputi anak – anak

a) Yang memiliki kapasitas intelektual luar biasa tinggi (intellectually

superior) dan

b) Yang lamban dalam belajar (mentally retarded);

2) Kelainan sensoris, meliputi anak–anak dengan

a) kerusakan pendengaran (auditory impairments) dan

b) kerusakan penglihatan (visual impairments);

3) Gangguan komunikasi, meliputi anak – anak dengan

(35)

commit to user

b) Gangguan dalam berbicara dan bahasa (speech dan language

impairments);

4) Gangguan perilaku, meliputi

a) Gangguan emosional (emotional disturbance) dan

b) Ketidaksesuaian perilaku sosial atau tunalaras (social maladjusment);

dan

5) Tunaganda atau cacat berat, meliputi macam–macam kombinasi

kecacatan, seperti: cerebral palsy dengan tunagrahita, tunanetra dengan

tunagrahita, dan sebagainya.

Menurut Lynch dalam Joppy Liando & Aldjon Dapa (2007: 21)

mengungkapkan ada tiga kategori anak berkebutuhan khusus, yaitu: anak

yang telah berada disekolah namun karena berbagai faktor dan alasan, mereka

tidak mencapai kemajuan sebagaimana layaknya; anak-anak yang belum

masuk sekolah karena alasan tertentu meskipun umurnya sudah cukup,

bahkan akibat sekolah kurang tanggap terhadap keadaan mereka, hal ini

semata-mata bukan karena mereka tidak tanggap dalam segi intelektual;

kelompok kecil anak yang memiliki kecacatan fisik atau mental yang

memerlukan penanganan khusus dalam pendidikannya. Sedangkan

pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya sesuai

dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan

Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah

Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan (sic) adalah sebagai berikut:

A. Tunanetra

B. Tunarungu

C. Tunagrahita : (antara lain: Down Syndrome)

1. C : Tunagrahita Ringan (IQ=50-70)

2. C1 : Tunagrahita Sedang (IQ=25-50)

3. C2 : Tunagrahita Berat (IQ<25 )

D. Tunadaksa :

(36)

commit to user 2. D1 : Tunadaksa Sedang

3. Tunalaras (Dysruptive)

4. Tunawicara

5. Tunaganda

6. HIV AIDS

7. Gifted : Potensi Kecerdasan Istimewa (IQ>125)

8. Talented : Potensi Bakat Istimewa (Multiple Intelligences: Language,

Logico-mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical,

Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual)

9. Kesulitan Belajar (antara lain: Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca,

Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara,

Dyspraxia/Motorik)

10. Lambat Belajar (IQ=70–90)

11. Autis

12. Korban Penyalahgunaan Narkoba

13. Indigo

Dari beberapa penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa

klasifikasi anak berkebutuhan khusus pada dasarnya dibedakan menjadi

beberapa kelompok seseuai dengan keperluan dan tujuan pengklasifikasian.

Secara garis besar, klasifikasi ABK meliputi kelainan secara fisik (tunanetra,

tunarungu, tunadaksa); kelainan secara mental (tunagrahita dan anak

berbakat); kelainan perilaku (tunalaras); dan kelainan ganda, termasuk juga

anak dengan HIV AIDS, anak gifted, kesulitan belajar lambat belajar, autis,

korban penyalahgunaan narkoba, serta indigo.

d. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus

Setiap anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik tertentu yang

berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk keperluan identifikasi,

di bawah ini akan disebutkan ciri-ciri yang menonjol dari masing-masing

(37)

commit to user

1) Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan

Anak yang mengalami gangguan penglihatan (tunanetra) secara umum

memiliki karakteristik seperti tidak mampu melihat; tidak mampu

mengenali orang pada jarak 6 meter; kerusakan nyata pada kedua bola

mata; sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan; mengalami kesulitan

mengambil benda kecil di dekatnya; bagian bola mata yang hitam

berwarna keruh/besisik/kering; peradangan hebat pada kedua bola mata;

mata bergoyang terus. Nilai standarnya 6, artinya bila anak mengalami 6

gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong tunanetra.

Anak yang mengalami gangguan penglihatan atau tunanetra, biasanya

mempunyai penglihatan yang sangat terbatas sehingga untuk belajar

mereka memerlukan alat bantu. Pada umumnya anak tunanetra membaca

dan menulis dengan huruf braille. Sedangkan pada anak yang ketajaman

penglihatannya rendah atau lemah (low vision) masih dapat belajar melalui

saluran penglihatan dan biasanya masih dapat membaca tulisan cetak.

Pada umumnya anak tunanetra maupun low vision mempunyai IQ

yang normal sama seperti anak normal lainnya, sehingga mereka bisa

dididik dan bisa ditempatkan di kelas reguler atau inklusi. Hanya saja,

diperlukan alat bantu yang bisa membantu anak dalam belajarnya,

misalnya alat tulis braille, buku–buku dengan huruf braille, serta alat bantu

pembelajaran yang lain seperti peta timbul dan kamus bicara, dll.

Sedangkan untuk anak low vision diperlukan buku cetak dengan huruf

yang tebal dan berwarna cerah.

2) Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran

Secara umum, karakteristik anak tunarungu adalah tidak mampu

mendengar; terlambat perkembangan bahasa; sering menggunakan isyarat

dalam berkomunikasi; kurang/tidak tanggap bila diajak bicara; ucapan kata

tidak jelas; kualitas suara aneh/monoton; sering memiringkan kepala

dalam usaha mendengar; banyak perhatian terhadap getaran; keluar nanah

(38)

commit to user

artinya bila anak mengalami 7 gejala di atas, atau lebih, maka anak

tergolong tunarungu.

Pada umumnya, intelegensi anak tunarungu secara potensial sama

dengan anak normal sehingga bisa mendapatkan layanan pendidikan dan

bisa ditempatkan dalam sekolah inklusi, hanya saja mereka mengalami

keterhambatan dalam aspek intelegensi dikarenakan dampak

ketunarunguannya. Karena ketunarunguannya inilah, mereka mengalami

hambatan dalam kemampuan berbahasanya dan mengalami keterbatasan

informasi.

Anak tunarungu perlu mendapatkan alat bantu untuk menunjang

mereka belajar. Alat bantu di bidang pengembangan akademik bagi anak

tunarungu pada hakekatnya tidak jauh berbeda dengan anak normal, tetapi

karena mereka memiliki kelebihan di bidang visual, alat bantu tersebut

sebaiknya diberikan aksen warna yang kuat. Untuk membantu

pendengarannya dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu dengar

(hearing aid) dan untuk membantu pendengaran dalam proses

pembelajaran dapat digunakan alat–alat seperti hearing group dan loop

induction system. Sedangkan untuk membantu pengembangan kemampuan

berkomunikasi dan bahasa perlu diberikan latihan bina persepsi bunyi dan

irama pada anak.

3) Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh gerakan

Secara fisik, anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan

memiliki karakteristik seperti anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh;

kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali);

terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih

kecil dari biasa; terdapat cacat pada alat gerak; jari tangan kaku dan tidak

dapat menggenggam; kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk; dan

menunjukkan sikap tubuh tidak normal; hiperaktif/tidak dapat tenang.

Nilai standarnya 5, artinya bila anak mengalami 5 gejala di atas, atau lebih,

(39)

commit to user

Anak anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan

(tunadaksa) memerlukan pengajaran, peralatan, dan penempatan secara

khusus. Sangat penting bagi seorang pendidik untuk mengerti bagaimana

gangguan fisik dan kesehatan itu berpengaruh terhadap belajar,

perkembangan atau tingkah laku anak.

Akibat mengalami gangguan pada motorik dan intelegensinya, maka

anak tunadaksa (terutama cerebal palsy) sering mengalami kesulitan dalam

menguasai kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Karenanya

diperlukan layanan dan alat bantu khusus seperti kartu abjad untuk

pengenalan huruf, kata dan kalimat; kotak bilangan; dan geometri sharpe

untuk pengenalan bentuk dan menyortir bentuk geometri.

4) Tunagrahita/anak yang mengalami kelainan mental

Karakteristik secara umum anak yang mengalami kelainan mental

(tunagrahita) memiliki penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala

terlalu kecil/besar; tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia;

perkembangan bicara/bahasa terlambat; tidak ada/kurang sekali

perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong); koordinasi

gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali); sering keluar ludah

(cairan) dari mulut (ngiler). Nilai standarnya 4, artinya bila anak

mengalami 4 gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong tunagrahita.

Untuk keperluan pembelajaran, menurut Budiyanto (2009: 120)

anak yang mengalami kelainan mental diklasifikasikan berdasarkan taraf

subnormalitas intelektual (sic) adalah sebagai berikut:

a) Taraf perbatasan atau lamban belajar (the borderline or the slow

learner, IQ 70-85)

b) Tunagrahita mampu didik (educable mentally retarded, IQ 50-70

atau 75)

c) Tunagrahita mampu latih (trainable mentally retarded, IQ 30 atau 35

(40)

commit to user

d) Tunagrahita mampu rawat (dependent or profoundly mentally

retarded, IQ di bawah 25 atau 30).

Anak tunagrahita mampu didik karena perkembangan mentalnya

yang tergolong subnormal, akan mengalami kesulitan dalam mengikuti

program reguler di sekolah dasar. Meskipun demikian, anak tunagrahita

mampu didik dipandang masih memiliki potensi untuk menguasai mata

pelajaran akademik di sekolah dasar, dan mampu di didik untuk

melakukan penyesuaian sosial yang dalam jangka panjang dapat berdiri

sendiri dalam masyarakat. Sarana dan prasarana khusus yang dibutuhkan

anak tunagrahita antara lain latihan sensori visual, latihan sensori

perabaan, latihan sensori pengecap dan perasa, latihan bina diri, konsep

dan simbol bilangan, kreativitas daya pikir dan konsentrasi, alat

pengajaran bahasa, serta latihan perseptual motor.

5) Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku

Karakteristik anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku

memiliki karakteristik sebagai berikut: bersikap membangkang; mudah

terangsang emosinya; sering melakukan tindakan agresif; sering bertindak

melanggar norma sosial/norma susila/hukum. Nilai standar 4, artinya bila

anak mengalami 4 gejala di atas, atau lebih, maka anak tergolong

tunalaras.

Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan

anak-anak pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan

karena mereka kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah

gangguan emosi yang mereka alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah

seringkali menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki intelegensi

yang rendah. Untuk mendidik anak yang mengalami gangguan emosi dan

perilaku diperlukan sarana dan prasarana khusus misalnya asesmen

gangguan perilaku dengan adaptive behavior Inventory for Children dan

(41)

commit to user

Dari penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa secara

keseluruhan, ABK masih dapat dididik dan masih bisa dikembangkan potensi

yang dimilikinya. Bahkan, ABK pun bisa ditempatkan dalam sekolah inklusi

dan bisa mengikuti pelajaran bersama anak normal lainnya di sekolah reguler.

Agar ABK bisa mengikuti program di sekolah dengan baik, maka sekolah

inklusi pun perlu memodifikasi pembelajaran, mempersiapkan dan

menyediakan sarana dan prasarana khusus yang dibutuhkan dan sesuai

dengan kebutuhan masing-masing anak berkebutuhan khusus.

2. Tinjauan Tentang Sikap Masyarakat a. Sikap

1) Pengertian Sikap

Secord dan Backman sebagaimana dikutip oleh Saifuddin Azwar

(2011: 5) mendefinisikan sikap sebagai “Keteraturan tertentu dalam hal

perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi)

seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya”.

Sementara La. Pierre dalam Saifuddin Azwar (2011: 5)

mendefinisikan sikap sebagai “Perilaku tendensi atau kesiapan antisipasif

predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara

sederhana sikap adalah respon terhadap stimuli yang terkondisikan”.

Pengertian sikap menurut Mar’at (1984: 12) adalah merupakan

kesiapan untuk bereaksi terhadap objek ini di lingkungan tertentu sebagai

suatu penghayatan terhadap objek tersebut.

Sementara pengertian sikap Bimo Walgito (1997: 5) adalah

keberadaan dalam diri manusia yang menggerakkan untuk bertindak,

menyertai manusia dengan perasaan–perasaan tertentu di dalam

menghadapi objek tertentu atas dasar pengalaman-pengalaman.

Zimbardo dan Ebbesen dalam Abu Ahmadi (1991: 163)

mengemukakan bahwa sikap adalah suatu predisposisi (keadaan mudah

terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau objek yang berisi komponen

(42)

commit to user

Dari beberapa definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sikap

adalah suatu kesiapan untuk bereaksi terhadap seseorang, ide atau objek

yang berisi komponen kognitif, afektif, dan behaviour yang kemudian

menggerakkan seseorang untuk bertindak dan menghadapi objek tertentu

atas dasar pengalaman-pengalamannya sebagai suatu penghayatan

terhadap objek tersebut.

2) Komponen Sikap

Menurut Saifuddin Azwar (2011:23-28), struktur sikap terdiri atas

tiga komponen yang saling menunjang yaitu komponen kognitif

(cognitive), komponen afektif (affective), dan komponen konatif

(conative). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut

a) Komponen kognitif (cognitive)

Komponen kognitif merupakan representasi apa yang

dipercayai oleh individu pemilik sikap. Komponen ini berhubungan

dengan “belief ide dan konsep”. Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai

sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini disamakan dengan

pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau

problem yang kontroversial.

b) Komponen afektif (affective)

Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut

aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar

paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang

paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan

mengubah sikap seseorang.

c) Komponen konatif (conative).

Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan

berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh

seseorang. Komponen konasi atau komponen perilaku dalam struktur

(43)

commit to user

berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek

sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa

kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Objek

sikap merupakan kecenderungan bertingkah laku tentang kesediaan

atau kesiapan untuk bertindak melakukan sesuatu.

Sedangkan menurut Mar’at (1984: 13) sikap mempunyai tiga komponen sebagai berikut:

1. Komponen kognisi yang hubungannya dengan beliefs, ide, dan

konsep;

2. Komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang;

3. Komponen konasi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku.

Dalam dunia pendidikan, Benjamin Bloom dalam John W. Santrock

(2009: 147) telah mengembangkan sistem klasifikasi tujuan pendidikan

yang lebih dikenal dengan taksonomi Bloom (Bloom’s taxonomy).

Taksonomi ini dibagi menjadi tiga yaitu: ranah kognitif, ranah afektif,

dan ranah psikomotorik yang penjelasannya sebagai berikut:

a. Ranah Kognitif

Taksonomi kognitif Bloom mempunyai enam tujuan, yaitu:

1) Pengetahuan

Pada tingkat ini, siswa-siswa mempunyai kemampuan untuk

mengingat informasi. Sebagai contoh, salah satu tujuannya

mungkin untuk menyebutkan atau mendeskripsikan

keuntungan utama dari penggunaan telefon sebagai alat

berkomunikasi.

2) Pemahaman

Pada tingkat ini, siswa-siswa dapat memahami informasi dan

(44)

commit to user 3) Aplikasi

Di tingkat aplikasi ini, siswa dapat menggunakan pengetahuan

yang telah dimilikinya untuk menyelesaikan masalah dalam

kehidupan nyata.

4) Analisis

Pada tingkat analisis ini, siswa-siswa mampu memecah

informasi yang kompleks menjadi bagian-bagian yang lebih

kecil dan mampu menghubungkan satu informasi dengan

informasi yang lain.

5) Sintesis

Di tingkat sintesis ini, siswa mampu mengkombinasikan

elemen-elemen dan menciptakan informasi baru.

6) Evaluasi

Sedangkan pada tingkat evaluasi ini, siswa-siswa mulai dapat

membuat penilaian dan keputusan yang bagus.

b. Ranah Afektif

Pada ranah afektif ini, terdapat lima tujuan yang berhubungan

dengan respons emosional terhadap tugas. Setiap tujuan berikut

mengharuskan siswa untuk menunjukkan beberapa tingkat komitmen

atau intensitas emosional.

1) Menerima

Pada tingkat ini,siswa memperhatikan sesuatu dalam lingkungan.

2) Merespons

Siswa-siswa menjadi termotivasi untuk belajar dan

memperlihatkan perilaku baru sebagai hasil dari pengalaman.

3) Menghargai

Siswa menjadi lebih terlibat atau berkomitmen dalam beberapa

(45)

commit to user 4) Mengorganisasi

Siswa-siswa dapat mengintegrasikan nilai baru ke dalam

serangkaian nilai yang sudah ada dan memberinya prioritas yang

sesuai.

5) Menghayati nilai-nilai

Pada tingkat ini, siswa-siswa mampu bertindak sesuai dengan

nilai dan berkomitmen terhadap nilai tersebut.

c. Ranah Psikomotorik

Tujuan psikomotor Bloom meliputi hal-hal berikut:

1) Gerakan refleks

Siswa merespons dengan tidak sengaja dan tanpa pemikiran

untuk sebuah stimulus.

2) Fundamental dasar

Siswa melakukan gerakan dasar yang disengaja yang dilakukan

untuk tujuan tertentu.

3) Kemampuan perseptual

Siswa menggunakan indra mereka, seperti melihat, mendengar,

atau menyentuh untuk memandu usaha keterampilan mereka.

4) Kemampuan fisik

Siswa mengembangkan keterampilan umum daya tahan,

kekuatan, fleksibilitas, dan ketangkasan.

5) Gerakan yang terampil

Siswa melakukan keterampilan fisik yang kompleks dan

membutuhkan kecakapan.

6) Perilaku non verbal (tidak dinyatakan melalui diskusi).

Siswa mampu mengkomunikasikan perasaan dan emosi melalui

tindakan tubuh, misal bermain musikal.

Hal senada juga dijelaskan oleh Nana Sudjana (2011: 22-23) bahwa

dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik

(46)

commit to user

hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya

menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.

Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri

dari enam aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis,

sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif rendah dan

keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Ranah afektif,

berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan,

jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah

psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan

kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotorik, yakni

gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual,

keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, gerakan

ekspresif dan interpretatif.

Dari berbagai uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap terdiri

atas tiga komponen yaitu komponen kognisi, komponen afeksi dan

komponen konasi yang kemudian ketiga komponen ini saling berkaitan

serta menunjang satu sama lain. Dalam dunia pendidikan, Benjamin

Bloom juga menggunakan ranah kognitif, afeksi dan psikomotorik

(konasi) dalam perencanaan pelajaran untuk menciptakan tujuan dan

sasaran pendidikan.

3) Pembentukan Sikap

Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami

oleh individu. Dalam interaksinya sosialnya, individu bereaksi

membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai obyek psikologis

yang dihadapinya. Saifuddin Azwar (2011: 30-38) mengemukakan

enam faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap antara lain

pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting,

pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga

agama, serta pengaruh faktor emosional. Adapun pejelasannya adalah

(47)

commit to user a. Pengalaman Pribadi

Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman

pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap

akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi itu terjadi

dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi

yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih

mendalam dan lebih lama membekas.

b. Pengaruh Orang lain Yang Dianggap Penting

Orang lain di sekitar individu merupakan salah satu diantara

komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap individu itu

sendiri. Seseorang yang biasa dianggap penting bagi individu

adalah orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman

sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami, dan

lain-lain. Pada umumnya, individu lebih cenderung untuk memiliki

sikap yang searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting

karena dimotivasi oleh keinginan menghindari konflik dengan

orang yang dianggapnya penting tersebut.

c. Pengaruh Kebudayaan

Kebudayaan dimana individu hidup dan dibesarkan

mempunyai peranan bersar terhadap pembentukan sikap.

Hergenhahn dalam Saifuddin Azwar (2011: 34) mengutarakan

bahwa kepribadian tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten

yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami.

d. Media Massa

Dalam penyampaian informasi, media massa membawa pula

pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini

seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal

memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap

terhadap hal tersebut. Apabila pesan-pesan sugestif yang dibawa

(48)

commit to user

afektif bagi individu dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuk

arah sikap tertentu.

e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu

sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap

dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep

moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis

pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan

dan diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta

ajaran-ajarannya.

f. Pengaruh Faktor Emosional

Suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh

emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau

pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian

dapat merupakan sikap sementara dan segera berlalu begitu frustasi

hilang, namun dapat pula merupakan sikap yang lebih presisten dan

bertahan lama.

b. Masyarakat

1) Pengertian Masyarakat

Masyarakat adalah suatu kesatuan yang selalu berubah, karena

proses masyarakat sendiri yang menyebabkan perubahan itu.

Hasan Sadily (1989: 47) berpendapat bahwa masyarakat adalah

“Golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi

satu sama lain”. Pengaruh dan pertalian yang terjadi dengan sendirinya di

sini menjadi unsur yang sine qua non (yang harus ada) bagi masyarakat.

Masyarakat bukannya ada dengan hanya menjumlahkan adanya

orang-orang saja, tapi diantara mereka harus ada pertalian satu sama lain.

Pengertian masyarakat menurut Ralph Linton dalam Basrowi (2005:

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir    ..........................................................
Grafik 4.1. Sikap Masyarakat Secara Umum    .......................................
Tabel 2.1 Daftar Kecamatan di Kabupaten Wonogiri
Tabel 2.2. Jumlah SLB, TK dan SD, Guru dan Murid Diperinci per Kecamatan di Kabupaten Wonogiri Tahun Ajaran 2007/2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) persepsi guru matematika terhadap ABK dalam pembelajaran matematika kelas VIII di SMP Negeri

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan: 1) implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi Dinas

Pada tahun pertama (2012) kegiatan penelitian diarahkan untuk (1) mengetahui prevalensi ABK menurut jenisnya, (2) mengetahui kebutuhan guru akan buku panduan

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif, karena penelitian ini mempelajari sikap

Penempatan kelas untuk ABK tunanetra di SMA Muhammadiyah 4 dilakukan dengan model kelas reguler (inklusi penuh) yang berarti ABK tunanetra bersama anak lain (normal), belajar

Sekolah inklusi merupakan sekolah pada umumnya yang ditunjuk oleh dinas pendidikan setempat yang dipercaya memiliki kesiapan baik guru, kepala sekolah, dab

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan manajemen sarana prasarana sekolah inklusi SMP N 2 sewon Bantul Yogyakarta dalam rangka

EFEKTIVITAS PELATIHAN IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PADA GURU SEKOLAH INKLUSI Yohana Wuri Satwika1, Riza Noviana Khoirunnisa2, Hermien Laksmiwati3, Miftakhul Jannah4