i
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN ASESMEN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS SEKOLAH INKLUSI DI DINAS
PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA PROVINSI DIY
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Eka Rachmad Yuliawan NIM 12110244022
PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
v MOTTO
Orang yang menginginkan impiannya menjadi kenyataan, harus menjaga diri agar tidak tertidur
(Richard Wheeler) Pendidikan yang benar untuk membuat ketimpangan, ketimpangan
vi
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya sederhana ini untuk :
1. Orang tuaku yang senantiasa
mendukung dan mendoakan
keberhasilan studiku
2. Almamaterku Universitas Negeri
Yogyakarta yang telah
memberikanku ilmu.
vii
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN ASESMEN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS SEKOLAH INKLUSI DI DINAS
PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA PROVINSI DIY Oleh
Eka Rachmad Yuliawan NIM 12110244022
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan: 1) implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY; 2) Faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus DISDIKPORA DIY.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Subyek penelitian ini adalah Kepala Seksi PLB, Kepala Kursis TK-SD, Kepala sekolah, guru pendamping khusus, guru kelas, dan orang tua sebagai subyek pendukung. Setting penelitian berada di DISDIKPORA Prov. DIY, DISDIK Kab. Sleman, dan SD N Brengosan I. Metode Pengumpulan data dengan wawancara, dokumentasi, dan observasi. Uji Keabsahan dengan teknik triangulasi. Teknik analisis data menggunakan model interaktif dari Miles dan Huberman.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : 1) Proses implementasi kebijakan pengelolaan asesmen ini dilakukan dengan membagi pihak yang berperan dalam mengelola pendidikan di DIY, mengembangkan kerangka kerja berdasar kebijakan pusat, mengkoordinasikan sumber daya dan pembiayaan antara Kabupaten/ Kota dengan Provinsi, dan mengaloksikan sumber daya dengan memperbantukan GPK. Hasil dari implementasi tersebut berupa pengadaan pelatihan asesmen, menjalin mitra kerja dengan lembaga terkait, dan membentuk lembaga khusus. SD N Brengosan I sebagai sekolah inklusi sudah dapat merasakan sarana seperti guru pendamping khusus, pelatihan guru, Puskesmas, dan pusat sumber yang diberikan Dinas terkait. Meskipun belum secara optimal, sekolah mampu untuk melaksanakan kebijakan asesmen ini melalui beberapa tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan tindak lanjut asesmen. Didukung dengan pelayanan khusus berupa penambahan jam belajar siswa ABK; 2) faktor pendukung implementasi tersebut berupa materi PLB (Pendidikan Luar Biasa) sudah diberikan pada mata kuliah kependidikan, tingkat pemahaman masyarakat terhadap pendidikan inklusi sudah meningkat, adanya Puskesmas sebagai mitra kerja sekolah. Sedangkan faktor penghambatnya adalah pemahaman guru reguler masih lemah, alokasi tenaga GPK (Guru Pendamping Khusus) yang terbatas, anggaran pelatihan bagi guru yang terbatas dan belum merata, beberapa orang tua kurang peduli dan sulit memahami arahan dari sekolah.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat- Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan skripsi dengan judul
“Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus
Sekolah Inklusi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY”
Skripsi yang ditulis sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri penulis,
namun demikian masih tersirat harapan skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Penulis menyadari bahwa keberhasilan
yang penulis capai ini bukanlah karena kerja individu semata, tetapi berkat
bantuan semua pihak yang ikut mendukung dalam penyelesaianya proposal
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang
terhormat:
1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah membantu dalam
memberikan izin atas terealisasikannya penelitian ini.
2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan atas izin yang
diberikan untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Drs. Joko Sri Sukardi, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini
sehingga dapat terwujud.
4. Bapak dan Ibu Dosen di Program Studi Kebijakan Pendidikan yang
ix
5. Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa, Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga Provinsi DIY yang telah memberikan izin penuiis untuk
melakukan penelitian, memberikan dukungan, kemudahan dan
kelancaran selama proses penelitian.
6. Kepala Bidang Kurikulum dan Kesiswaan TK-SD, Dinas Pendidikan
Kabupaten Sleman yang telah memberikan izin penulis untuk
melakukan penelitian, memberikan dukungan dan data penelitian,
kemudahan dan kelancaran selama proses penelitian berlangsung.
7. Kepala sekolah, guru kelas, guru pembimbing kbusus serta orang tua
siswa berkebutuhan khusus SD N Brengosan I Kabupaten Sleman
yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian,
memberikan dukungan, kemudahan memperoleh data penelitian dan
kelancaran selama proses penelitian.
8. Teman-teman Program Studi Kebijakan Pendidikan yang telah
membantu dalam rangka pelaksanaan penelitian sampai tersusunya
skripsi ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat saya sampaikan satu persatu yang telah
membantu dalam proses penyusunan penelitian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna
dan masih mempunyai kekurangan. Oleh karena itu penulis selalu mengharapkan
kritik dan saran kepada semua pihak.
Yogyakarta, 3 Mei 2017
x DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
SURAT PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR BAGAN ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Batasan Masalah ... 7
D. Rumusan Masalah ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 11
1. Rumusan Implementasi ... 11
2. Pengertian Kebijakan ... 13
3. Teori Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 14
4. Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 16
B. Pengertian Sekolah Inklusi ... 20
1. Pendidikan Inklusi ... 20
xi
3. Konsep Pendidikan Inklusi ... 23
C. Kajian Anak Berkebutuhan Khusus ... 24
1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ... 25
2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus ... 27
D. Kajian Pengelolaan Asesmen ... 30
1. Kajian tentang Pengelolaan ... 30
2. Kajian tentang Asesmen ... 30
3. Tujuan Asesmen ... 37
4. Tindakan dan Strategi Pelaksanaan Asesmen ... 39
E. Penelitian yang Relevan ... 44
F. Kerangka Pikir ... 48
G. Pertanyaan Penelitian ... 50
BAB III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 51
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 52
C. Subjek Penelitian ... 53
D. Teknik Pengumpulan Data ... 55
E. Instrumen Penelitian ... 57
F. Teknik Analisis Data ... 61
G. Uji Keabsahan Data ... 63
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A . Deskripsi Umum ... 65
1. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Yogyakarta ... 65
2. Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman ... 74
3. Sekolah Dasar Negeri Brengosan I ... 75
B. Hasil Penelitian ... 84
1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaharaga Prov. DIY ... 84
xii
B. Pembahasan ... 136
1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaharaga Prov. DIY ... 136
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK di DISDIKPORA Prov. DIY ... 160
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 163
B. Saran ... 164
DAFTAR PUSTAKA ... 166
xiii
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Indikator Asesmen ... 43
Tabel 2. Realisasi waktu penelitian ... 53
Tabel 3. Kisi- kisi pedoman wawancara ... 57
Tabel 4. Kisi- kisi pedoman observasi ... 59
Tabel 5. Kisi- kisi pedoman dokumentasi ... 60
Tabel 6. Rekapitulasi data individu sekolah inklusi dan ABK ... 73
Tabel 7. Data kepegawaian ... 80
Tabel 8. Data ruangan ... 81
Tabel 9. Alat peraga/ praktek penunjang ... 81
Tabel 10. Daftar siswa selama 3 tahun ... 83
xiv
DAFTAR BAGAN
hal
Bagan 1. Relasi Identifikasi dan Asesmen ... 31
Bagan 2. Program Pembelajaran Individual ... 42
Bagan 3. Kerangka Pikir ... 49
xv
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Pedoman observasi, dokumentasi, dan wawancara ... 169
Lampiran 2. Contoh analisis data ... 183
Lampiran 3. Catatan lapangan ... 206
Lampiran 4. Foto dokumentasi ... 212
Lampiran 5. Dokumen peserta didik ... 217
Lampiran 6. Surat-surat keputusan ... 236
1 BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Setiap pelaksanaan kegiatan tidak akan lepas dari sebuah kebijakan
baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya atau pendidikan. Kebijakan
menjadi satu hal yang sangat penting dalam pendidikan, dikarenakan
menyangkut arah pendidikan itu akan dibawa, kemajuan dan pendidikan yang
bermutu, tujuan dari pendidikan serta kepentingan unsur didalamnya. Proses
pembuatan kebijakan tidak akan lepas dari beberapa langkah dalam
merumuskan kebijakan pendidikan yaitu formulasi kebijakan, implementasi
kebijakan, dan evaluasi kebijakan.
Pada dasarnya kebijakan dapat diungkap sebagai langkah dalam
melakukan ataupun bertindak sesuatu yang disengaja untuk mengatasi
beberapa masalah yang ditemui (Hugh Heclo dalam Arif Rohman, 2009:
108). Kebijakan pendidikan sendiri merupakan bagian dari kebijakan publik
yang didalamnya mengandung acuan atau aturan yang berkaitan dengan
alokasi, penyerapan, dan persebaran sumber, juga pengaturan perilaku dalam
dunia pendidikan (Arif Rohman, 2009: 108). Kebijakan pendidikan ini
merupakan bagian kebijakan publik dalam dunia pendidikan untuk mencapai
tujuan yang diharapkan.
Begitu halnya dengan kebijakan atau program yang ada di
DISDIKPORA (Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga) Provinsi
2
peningkatan mutu pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Seksi
Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Provinsi Yogyakarta merupakan
sebuah lembaga pendidikan yang bertugas melaksanakan perencanaan,
pengelolaan, monitoring, serta pengawasan seluruh kegiatan pembelajaran
pendidikan luar biasa di Provinsi Yogyakarta. Seksi PLB ini bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan pendidikan SLB (Sekolah Luar Biasa) yang ada
di 5 (lima) kabupaten di Provinsi Yogyakarta.
Seksi PLB tidak hanya bertanggung jawab pada Sekolah Luar Biasa,
namun juga berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan di setiap Kabupaten
terhadap keberlangsungan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi (SPPI).
Hal tersebut dikarenakan persebaran sekolah inklusi di seluruh kabupaten
yang terbilang banyak, sehingga butuh peran dari setiap Dinas Pendidikan
setempat. Seperti halnya DISDIKPORA Kabupaten Sleman yang turut
berperan dalam mengelola pendidikan inklusi di Kabupaten Sleman.
Anak yang dikategorikan sebagai ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)
sesuai dengan Permendiknas RI No.70 Tahun 2009 menimbang bahwa ”anak
berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami kelainanan fisik emosional, mental, sosial, dan/ atau bakat istimewa”. Sebagai manusia, ABK
memiliki hak untuk tumbuh kembang ditengah keluarga, masyarakat, dan
bangsa. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Diperkuat dengan UU
Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 1 yang mengatakan “setiap warga
3
bermutu”. ABK memiliki hak untuk sekolah sama seperti saudara lainnya
yang normal. Setiap ABK diperlukan layanan pendidikan khusus sesuai
dengan keterbatasan pada dirinya. Tidak ada satu alasan bagi Sekolah Luar
Biasa (SLB) dan Sekolah umum (TK, SD, SMP, SMA, atau SMK) melarang
ABK untuk masuk ke sekolah tersebut.
Pendidikan inklusi menurut Permendiknas No.70 tahun 2009 didefinisikan sebagai ”sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang mempunyai keterbatasan fisik
atau kelainan dan mempunyai kecerdasan maupun bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran didalam lingkungan pendidikan bersama peserta didik pada umumnya”.Sistem layanan pendidikan
disesuaikan dengan kebutuhan anak yang bersifat khusus. Penyesuain dalam
hal adapatasi kurikulum, pembelajaran, sarana prasarana ataupun penilaian.
Secara sederhana pendidikan inklusi ini untuk memberikan kesempatan yang
sama kepada setiap anak, menghargai keberagaman, tidak diskriminasi
kepada setiap peserta didik.
Suatu proses pendidikan atau pembelajaran tidak akan lepas dari peran
serta guru, murid, kurikulum dan faktor pendukung lainnya. Berdasarkan hal
tersebut, guru memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Tanpa
adanya guru yang berkompeten dapat menimbulkan kegagalan dalam proses
pembelajaran. Khususunya peran guru dalam proses pembelajaran di Sekolah
inklusi, sehingga dalam menentukan program belajar dan bimbingan anak
4
Didalam menghadapi anak berkebutuhan khsusus tidak serta merta
dapat diamati secara gamblang, sehingga peran guru harus berperan aktif
dalam melihat apa yang menjadi kendala siswa dalam belajar ataupun
mengetahui kebutuhan khusus yang dibutuhkan. Hal tersebut dapat dilakukan
melalui proses identifikasi dan asesmen pada peserta didik ketika ada anak
berkebutuhan khusus masuk ke sekolah.
Identifikasi dan asesmen pada anak berkebutuhan khusus merupakan
dua jenis kegiatan yang sangat penting dilakukan oleh seorang guru untuk
memahami anak. Hal tersebut sebagai bagian usaha mengembangkan
kemampuan yang dimiliki anak berkebutuhan khsusus secara dini.
Identifikasi anak berkebutuhan khusus sesuai Permendiknas No.70 tahun 2009 sebagai “proses penjaringan, yang akan menghasilkan peserta didik
yang berkelainan dan perlu mendapat layanan pendidikan”. Asesmen merupakan “penyaringan, menyusun informasi untuk bahan program
pembelajaran siswa, dengan memahami kelebihan dan kekurangan siswa”.
Dengan demikian identifikasi merupakan tahapan pertama sebelum
dilakukan asesmen, dan proses asesmen hanya dapat dilakukan setelah ada
identifikasi (McLoughlin dan Lewis dalam Budiyanto, 2014: 33). Keduanya
merupakan satu rangkaian yang saling berkaitan. Pelaksanaan asesmen
terhadap ABK di sekolah inklusi lebih tertuju pada peran guru dalam
mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal sesuai
kebutuhan yang dibutuhkan anak. Pelaksanaan asesmen harus dilakukan
5
sebagai anak berkebutuhan khusus. Dilanjutkan dengan memberikan
penanganan secara khusus pada ABK. Berhasil atau tidaknya pembelajaran
juga dipengaruhi oleh pemberian pelayanan anak berkelainan melalui
asesmen ini.
Jika melihat orang yang melakukannya, proses identifikasi dapat
dilakukan oleh guru, ahli yang profesioanal, dapat juga dilakukan oleh orang
terdekat, orang tua ataupun keluarga. Hal tersebut dikarenakan proses
identifikasi lebih menjaring kekurangan atau kelainan yang memang dapat
diamati dan diukur sesuai kriteria yang berlaku, seperti ciri ketunaan, faktor
penyebab, data anak dan sebagainya.
Disisi lain proses asesmen yang ideal merupakan suatu proses yang
harus dilakukan mendalam, berkesinambungan, melibatkan orang terdekat
dan dilakukan oleh pakar atau tenaga ahli yang sesuai bidang kemampuan
yang dimiliki seperti, psikolog, terapis ataupun sosiolog. Hal ini dikarenakan
dalam memahami kekhususan anak, ada anak-anak yang dapat dikenali
dengan mudah sebagai anak berkebutuhan khusus, namun ada juga yang
membutuhkan pendekatan dan peralatan khusus untuk menentukan,
penanganan yang akan diberikan. Anak-anak yang mengalami kelainan fisik
misalnya, dapat dikenali melalui pengamatan guru saja, sedangkan untuk
anak-anak yang mengalami kelainan dalam segi emosional dan intelektual
memerlukan alat khusus, pemahaman lebih serta penelusuran mendalam
untuk dapat menentukan penangan serta pelayanan bagi anak itu. Selain itu
6
dalam penyusunan RPP dan pelayanan. Hasil tersebut dapat menjadi modal
orang tua dalam membimbing anaknya dirumah. Berdasarkan proses asesmen
inilah muncul keselarasan antara pemberian pembelajaran disekolah dan
dirumah, sehingga ABK memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan, dan
berkesinambungan sampai anak itu mampu mengembangkan diri
Pada kenyataanya dilapangan banyak guru sekolah inklusi yang sukar
untuk mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus, membuat rencana
pembelajaran, atau memberikan pelayanan yang sesuai. Selain itu sulitnya
guru dalam mengajar atau mengarahkan anak berkebutuhan khusus didalam
kelas juga kerap ditemui. Hal ini dapat dipicu karena tidak semua guru di
sekolah inklusi berlatar belakang Pendidikan Luar Biasa sehingga masih
minim pengetahuan terkait penanganan anak berkebutuhan khusus. Tidak
seimbangnya pula guru pendamping khusus dengan sekolah inklusi dan
alokasi waktu yang diberikan. Selain itu adanya hubungan beberapa orang
tua ABK dan sekolah yang tidak selaras dengan yang diharapkan, seperti
beberapa orang tua yang kurang peduli dengan anaknya. Turut memberi
gambaran bahwa sekolahlah yang bertanggung jawab penuh, dan
pelayananannya hanya sebatas di sekolah saja.
Perbedaan penilaian dan pemahaman tersebut membuat pemberian
pembelajaran yang dilakukan oleh sekolah menjadi kurang tepat sasaran dan
pemenuhan kebutuhan terhadap anak didiknya menjadi terhambat. Hal
tersebut membuat guru sulit untuk mengetahui perkembangan anak dan cara
7
Dampaknya justru menghambat bakat, minat, serta intelektual anak
berkebutuhan khusus dalam pembelajaran.
Implementasi kebijakan seharusnya mampu mengatasi permasalahan
yang ada untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sebuah proses penerapan
kebijakan, harus ada bentuk pengawasan dan tindak lanjutnya. Apakah
kebijakan tersebut mampu mengatasi permasalahan yang ada atau tidak.
Berdasarkan permasalahan diatas dibentuklah kebijakan pendidikan dalam
pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di DISDIKPORA DIY.
Kebijakan pengelolaan asesmen seharusnya ada sinergi antara Dinas
Pendidikan sebagai pemegang kebijakan, pihak-pihak pendukung dan sekolah
sebagai sasaran kebijakan. Dinas Pendidikan seharusnya menindaklanjuti
kebijakan yang diterapkan, tidak hanya sebatas menerapkan. Sehingga
penerapannya tidak hanya sebatas sampai di lembaga saja, namun juga
elemen masyarakat. SD Negeri Brengosan I merupakan salah satu satuan
pendidikan Dinas Pendidikan Provinsi Yogyakarta berbasis inklusi yang
melaksanakan kebijakan pengelolaan asesmen tersebut. Sekolah ini berada di
dusun Kayunan, Desa Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman.
Tercatat pada tahun 2015/2016 ini ada sekitar 20 anak yang berkelainan
(ABK) di SD N Brengosan I.
Kenyataannya, sekolah masih mengalami kendala dalam melakukan
asesmen dan pelayanan khusus. Kendala tersebut muncul karena faktor intern
disekolah (SDM) dan ekstern (seperti orang tua). Oleh karena itu penelitian
8
kebijakan pengelolaan asesmen ABK yang dilaksanakan oleh DISDIKPORA
DIY dan ditindaklanjuti dengan mengetahui penerapannya di sekolah inklusi
tersebut.
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis lampirkan dapat
diidentifikasi beberapa masalah diantaranya:
1. Anak Berkebutuhan khusus kurang mendapatkan pelayanan dan
penanganan yang sesuai kebutuhan anak.
2. Tidak semua guru berlatarbelakang Pendidikan Luar Biasa
3. Guru sulit mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus
4. Pemenuhan kebutuhan terhadap anak kurang tepat sasaran
5. Terbatasnya guru pendamping khusus di sekolah inklusi.
6. Beberapa orang tua anak berkebutuhan khusus yang kurang peduli.
7. Implementasi kebijakan asesmen di sekolah belum optimal.
C.Batasan Penelitian
Berdasarkan beberapa identifikasi masalah pengelolaan asesmen anak
berkebutuhan khusus yang luas, maka peneliti disini lebih berfokus pada
masalah implementasi kebijakan pengelolaan assesmen anak berkebutuhan
9 D.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan penelitian skripsi ini adalah:
1. Bagaimana proses dan hasil implementasi kebijakan pengelolaan
asesmen anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi di Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY?
2. Faktor Pendukung dan penghambat implementasi kebijakan
pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus DISDIKPORA DIY?
E.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
mendeskripsikan:
1. Proses dan hasil implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak
berkebutuhan khusus di DISDIKPORA DIY meliputi taahapan proses
implementasi, program hasil implementasi kebijakan, pelaksanaan
asesmen di sekolah, peran sekolah, guru kelas, dan guru pendamping
khusus, proses belajar mengajar, evaluasi dan tindak lanjut.
2. Faktor yang menjadi pendukung dan penghambat proses implementasi
kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di
DISDIKPORA DIY.
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini
10 1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan gambaran pengetahuan bagi mahasiswa serta untuk
menambah perbendaharaan kepustakaan bagi kampus.
b. Memberikan gambaran dan wawasan bagi penulis terkait masalah yang
menjadi fokus penelitian.
c. Menjadikan salah satu penggambaran tentang kebijakan pengelolaan
asesmen anak berkebutuhan khsusus di sekolah inklusi yang
dilaksanakan oleh Dinas terkait.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi:
a. Kepala Sie. Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Provinsi
Yogyakarta sebagai bahan masukan dalam pengambilan, pelaksanaan,
pengembangan, permasalahan serta evaluasi dalam pengelolaan asesmen
anak berkebutuhan khusus.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kepala sekolah
dalam penentuan kebijakan pelaksanaaan dan pengelolaan asesmen anak
berkebutuhan khusus, serta pelayanan pendidikan khusus.
c. Guru (guru kelas/ dan guru pendamping khusus) dapat menjadi bahan
masukan dalam meningkatkan kompetensi guru dalam pengelolaan
asesmen, serta pemberian pelayanan pendidikan khusus bagi ABK.
11 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.Konsep Implementasi Kebijakan Pendidikan 1. Rumusan Implementasi
Pada dasarnya dalam merumuskan kebijakan bertujuan untuk
mengatasi suatu permasalahan atau hambatan yang ada. Pencapaian
tujuan tersebut dapat dilaksanakan melalui proses implementasi kebijakan
yang tepat sasaran.
Webster (Arif Rohman , 2012: 105) menjelaskan implementasi
sebagai ;
“To provide the means for carrying out (mempersiapkan sarana untuk melaksanaan sesuatu); to give practical effect to ( mengakibatkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”.
Proses implementasi seperti yang dijelaskan Webster tersebut
bahwasanya implementasi seperti sebuah tindakan dalam melaksanakan
sesuatu yang dapat memunculkan dampak dan akibat. Dampak tersebut
dapat berupa peraturan, kebijakan yang dirumuskan pemerintah atau
lembaga untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pandangan lain seperti
diungkapkan Van Meter dan Van Horn dalam Arif Rohman (2009: 134)
bahwa implementasi adalah suatu tindakan yang dilaksanakan oleh
pemerintah atau swasta sebagai pemegang kebijakan yang ditujukan untuk
mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Oleh karena itu, tindakan
implementasi dilakukan oleh pemegang kebijakan untuk mencapai tujuan
12
M Grindle dalam Arif Rohman (2009: 134) juga mendefinisikan
implementasi sebagai berikut:
“Implementasi mencakup tugas dalam membentuk suatu ikatan yang memungkinkan arah suatu kebijakan dapat direalisasikan sebagai hasil dari aktivitas pemerintah”.
Jadi menurut pendapat tersebut implementasi merupakan keseluruhan
hubungan yang berpengaruh dalam merealisasikan kebijakan yang
dirumuskan pemerintah. Seorang pakar bernama Charles O, Jones (Arif
Rohman, 2009: 135) mendasarkan diri pada konsep aktifasi fungsional,
untuk mengoperasikan program. Tiga pilar tersebut adalah :
a. Pengorganisasian, dengan cara pembentukan atau penataan kembali sumberdaya, unit, atau metode guna menjalankan program tersebut.
b. Interpretasi, sebagai aktifitas dalam menafsirkan agar suatu program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima dan dilakukan.
c. Aplikasi, meliputi perlengkapan rutin bagi pelayanan, pembayaran dan lain sebagainya yang disesuaikan dengan tujuan atau keperluan program.
Lineberry dalam Sudiyono (2007: 80) menyatakan bahwa
implementasi mencakup beberapa tahap- tahap, yaitu:
a. Membuat dan menyusun staf suatu agen baru guna melaksanakan sebuah kebijakan baru.
b. Menerjemahkan tujuan legislatif dan secara sungguh – sungguh memasukkannya dalam aturan pelaksanaan, mengembangkan panduan atau kerangka kerja bagi pelaksana kebijakan.
c. Melakukan koordinasi terkait sumberdaya dan pembiayaan untuk kelompok sasaran, pengembangan pembagian tanggung jawab antar agen.
d. Mengalokasikan sumber daya untuk mendapatkan dampak kebijakan.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas dapat ditegaskan bahwa
13
pemerintah atau organisasi tertentu untuk direalisasikan guna mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
2. Pengertian Kebijakan
Kebijakan Secara etimologi, istilah kebijakan berasal dari Bahasa
Inggris yaitu “policy”. Istilah kebijakan kadang disamakan dengan makna
kebijaksanaan. Pada dasarnya kebijakan dapat diungkapkan sebagai
langkah dalam melakukan ataupun bertindak sesuatu yang disengaja untuk
mengatasi beberapa masalah yang ditemui (Hugh Heclo dalam Arif
Rohman, 2009: 108). Jadi menurut pendapat tersebut keijakan diartikan
sebagai tindakan untuk mengatasi suatu permasalahan, baik disengaja
ataupun tidak.
James E. Anderson mengatakan jika suatu kebijakan merupakan
tindakan yang mempunyai tujuan, diikuti oleh sekelompok orang,
organisasi atau individu guna menyelesaikan permasalahan yang ditemui
(Sudiyono, 2007: 4). Jadi Sebuah kebijakan dibuat untuk berbagai tujuan
atau menyelesaikan masalah. Syafaruddin (2008: 75) mengatakan jika
sebuah kebijakan atau policy yang menyangkut ide tata kelola, pengaturan
didalam organisasi disebut policy berkenaan dengan gagasan pengaturan
organisasi diterima pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah dibuat.
Dengan demikian kebijakan merupakan ide, atau aturan yang dibuat
organisasi atau pemerintah agar diikuti setiap individu untuk mencapai
14
Perumusan kebijakan merupakan hal yang penting dan sangat
berpengaruh kedepannya, para pemegang kuasa dalam membuat kebijakan
tentu didasarkan pada aspek yang dihadapi, sarana yang dibutuhkan, serta
pengaruh atau dampak yang dapat timbul. Setiap jenis perumusan
kebijakan berkaitan dengan berbagai aspek seperti sudut pandang
(perspective), menyangkut hakikat (substance), kajian filosofi
(metapolicy), dan perilaku (behaviour) tersembunyi atau nyata dari
pembuat kebijakan (Hodgkinson dalam Arif Rohman, 2009: 113).
Terdapat dua jenis pendekatan dalam merumuskan sebuah kebijakan
menurut Arif Rohman (2009: 114) yaitu:
a. Social Demand Approach
Social demand approach adalah suatu pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan yang berlandaskan pada aspek tuntutan, aspirasi dan apa yang didesakan oleh masyarakat kepada pemerintah. Pada dasarnya pendekatan ini tidak hanya menanggapi respon dari masyarakat namun juga tuntutan masyarakat terkait pelaksanaan pendidikan.
b. Man-Power Approach
Pendekatan man-power ini berfokus pada perumusan keijakan yang didasarkan pada pertimbangan –pertimbangan yang dibutuhkan dalam menciptakan ketersediaan sumberdaya manusia yang cukup di masayarakat. Pendekatan ini lebih memunculkan seorang pemimpin atau aktor kebijakan yang memiliki pandangan yang lebih jauh kedepan, tidak menunggu adanya tuntutan dari masyarakat.
Jadi dua pendekatan kebijakan tersebut didasarkan pada dorongan
atau respon dari masyarakat, serta pendekatan yang berlandaskan pada
pertimbangan kebutuhan di masyarakat. Berdasarkan beberapa penjelasan
15
tindakan yang dibuat oleh pemerintah atau organisasi untuk diterapkan dan
diikuti, yang bertujuan untuk mengatasi suatu permasalahan yang ada.
3. Teori Implementasi Kebijakan Pendidikan
Terdapat beberapa macam teori yang menjabarkan tentang
implementasi kebijakan pendidikan yang digagas oleh para ahli.
Diantaranya terdapat tiga teori yang paling menonjol. Menurut Arif
Rohman (2009: 136-140) ketiga teori tersebut dikembangkan oleh:
a. Brian W. Hoogwood dan Lewis A. Gunn
Dua ahli ini berpandangan bahwa dalam
mengimplementasikan suatu kebijakan yang sempurna (perfect
implementation) diperlukan syarat khusus. Syarat tersebut
diantaranya kondisi eksternal yang dihadapi instansi pelaksana
tidak menimbulkan dampak atau kendala serius. Harus tersedia
waktu dan sumber yang cukup bagi pelaksana program. Sumber –sumber yang dibutuhkan harus tersedia dan terpadu. Kebijakan
yang akan diimplementasikan harus berdasar pada hubungan
kausalitas yang handal. Hubungan kausalitas tersebut harus
bersifat langsung dan minim rantai penghubungnya.
b. Van Metter dan Van Horn
Van Metter dan Van Horn menngembangkan sebuah teori
yang disebut Model Proses Implementasi Kebijakan (A Model of
the Policy Implementation Process). Kedua pakar tersebut
16
jumlah setiap perubahan yang akan dihasilkan. Kedua, jangkauan
atau ruang lingkup kesepakatan terkait tujuan diantara pihak –
pihak yang turut serta dalam proses implementasi. Berdasar pada
dua indikator tersebut, suatu proses implementasi kebijakan akan
berhasil jika pada sisi segi perubahan yang dikehendaki relatif
sedikit, dan pada segi yang lain terdapat kesepakatan terhadap
tujuan dari para pelaksana dalam mengoperasikan program yang
cukup tinggi.
c. Daniel Mazmanian dan Paul. A Sabatier
Teori yang dikembangkan kedua ahli ini dikenal sebagai a
frame work for implementation anlysis atau Kerangka Analisis
Implementasi (KAI). Peran dari teori KAI ini menunjukkan
bahwa suatu kebijakan pendidikan adalah mengidentifikasi
variabel – variabel yang dapat mempengaruhi terwujud tujuan
formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel yang
berpengaruh terhadap tercapainya tujuan formal implementasi
diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu; (a) tingkat kesulitan
yang akan digarap atau dikendalikan, (b) kemampuan dari
keputusan kebijakan untuk menyusun struktur yang tepat dalam
proses implementasi, (c) pengaruh langsung variabel politik
terhadap keseimbangan dukungan terkait tujuan yang terkandung
17 4. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Proses implementasi kebijakan merupakan proses yang sangat
penting dan penuh resiko. Apabila sebuah kebijakan sudah dibuat namun
tidak ada tindak lanjut atas penerapan kebijakan tersebut hanya sia –sia,
hanya menjadi wacana. Peran dari setiap elemen sangat dibutuhkan agar
suatu kebijakan dan terealisasaikan. Terdapat beberapa faktor yang dapat
menjadi sumber keberhasilan atau kegagalan dari proses implementasi
kebijakan, yaitu; (a) faktor yang terletak pada rumusan kebijakan, (b)
faktor yang terletak pada personil pelaksana, dan (c) faktor pada sistem
organisasi pelaksana (Arif Rohman, 2009: 147). Beberapa faktor tersebut
berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan dalam penerapan
sebuah kebijakan.
Pendidikan merupakan suatu proses pengembangan diri yang telah
dimulai sejak manusia tersebut dilahirkan hingga mereka meninggal.
Pendidikan akan menuntun seorang anak untuk tumbuh dan
mengembangkan potensinya hingga anak menjadi dewasa. Pendidikan
yang mampu memberikan bekal pengalaman bagi siswa pada masa yang
akan datang. Proses pendidikan di keluarga sebagai bagian awal dari
pembelajaran anak sudah berkembang seiring jaman dengan munculnya
sekolah- sekolah. Saat ini proses pendidikan sudah banyak dilakukan di
berbagai lingkungan baik itu formal, informal, atau non formal.
Oleh karena itu dalam pelaksanaan pendidikan tersebut dibutuhkan
18
kebijakan pendidikan. Kebijakan pendidikan sebagai keseluruhan tatanan
proses dan hasil perumusan langkah strategis pendidikan yang
digambarkan melalui visi, misi pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan dalam suatu masyarakat untuk kurun waktu tertentu (H.A.R.
Tilaar dan Riant Nugroho, 2008: 140). Kebijakan pendidikan menurut Arif
Rohman (2009: 86) adalah
“ Kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik yang secara khusus mengatur penyerapan sumber, alokasi, perilaku dan distribusi sumber dalam pendidikan”.
Jadi kebijakan pendidikan dapat dimaknai sebagai aturan tentang
proses pendayagunaan berbagai sumber, alokasi, dan perilaku dalam
pendidikan. Melalui kebijakan pendidikan tersebut maka tujuan dari
lembaga pendidikan dapat tercapai. Implementasi kebijakan pendidikan
sebagai proses yang tidak hanya menyangkut lembaga administratif yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan program serta memunculkan
kepatuhan kepada kelompok sasaran, melainkan faktor hukum, politik,
sosial, ekonomi yang secara langsung maupun tidak dapat berpengaruh
pada perilaku pihak yang ada dalam program (Arif Rohman, 2009: 135).
Tidak jarang munculnya kebijakan juga dipicu oleh adanya
masalah yang terjadi antara kenyataan dan harapan yang berbanding
terbalik. Seperti halnya dalam pemberian pelayanan pendidikan bagi setiap
anak untuk bersekolah, namun memunculkan pandangan diskrimanasi
pada anak berkebutuhan khusus. Harapan untuk meningkatkan
19
pengetahuan guru terhadap penanganan anak berkebutuhan khusus.
Beberapa hal tersebutlah yang menjadi salah satu faktor adanya kebijakan
pendidikan.
Masalah yang dihadapi oleh suatu daerah atau bangsa tentunya
berbeda- beda. Suryati Sidharto dalam Arif Rohman (2009: 87)
mengatakan jika Indonseia sendiri mempunyai lima pokok masalah yakni
a) Relevansi pendidikan b) Daya tampung pendidikan c) Pemerataan pendidikan d) Kualitas pendidikan
e) Efisiensi dan efektifitas pendidikan
Kelima pokok masalah tersebutlah yang sering dihadapi oleh
Indonesia dan perlu untuk segera diatasi, salah satu nya melalui
perumusan kebijakan pendidikan. Kebijakan tersebut akan menjadi
pedoman yang dapat bersifat sederhana, rumit, khusus atau umum dan
dirumuskan secara proses politik terkait satu arah tindakan, rencana, atau
program tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan (Arif Rohman,
2009: 86). Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kebijakan
pendidikan dibuat dan dirancang untuk mengatasi suatu masalah dalam
dunia pendidikan, selain itu sebuah kebijakan hanya akan menjadi wacana
jika tidak dimplementasikan dalam suatu program untuk mengatasi
20 B.Pengertian Sekolah Inklusi
1. Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan
terpadu. Pendidikan inklusi ini berbeda dengan pendidikan luar biasa. Pada
sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, seluruh
kebutuhan yang dibutuhkan anak diupayakan agar dapat terpenuhi dengan
baik melalui penyesuaian dalam pembelajaran yang meliputi guru, sarana
dan prasarana, sistem penilaian, bahan ajar, kurikulum yang disesuaikan
dari anak normal ke anak yang memilki kebutuhan khusus tersebut.
Sehingga dalam pendidikan inklusi bentuk penyelenggaraan pendidikan
yang dilakukan dengan menggabungkan anak yang memiliki keterbatasan
dengan anak yang normal pada umumnaya untuk saling belajar. Pendidikan
inklusi ini menjadi cerminan pendidikan yang tidak membedakan karakter
setiap anak (diskriminasi anak) khususnya dengan keterbatasan fisik
seorang anak.
Berdasarkan Permendiknas No.70 pasal 1 tahun 2009 Tentang
Pendidikan Inklusif bagi Peserta didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, disebutkan bahwa
pendidikan inklusi adalah :
“Sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama dengan peserta didik pada umumnya”.
Jadi berdasarkan pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa
21
menerima setiap anak, tanpa memandang latar belakang. Hal tersebut
diperkuat dengan Peraturan Gubernur DIY No.21 pasal 1 tahun 2013
tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi adalah:
“Sistem pendidikan yang memberikan peran kepada semua peserta didik dalam suatu iklim dan proses pembelajaran bersama dalam satu lingkungan tanpa membedakan latar belakang sosial, politik, ekonomi, etnik kepercayaan, kondisi fisik/ mental, sehingga sekolah merupakan miniatur masyarakat”.
Oleh karena itu sistem pendidikan inklusi memberikan kesempatan
yang sama kepada setiap anak tanpa kecuali, untuk belajar bersama di
sekolah pada umumnya. Konsep pendidikan inklusi ini menjadi bagian
dalam menghilangkan pandangan diskrimnasi terhadap anak berkebutuhan
khusus, serta mampu mengubah sikap masyarakat terhadap anak
berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi dapat disebut pula sebagai sebuah
sistem pelayanan pendidikan yang mengharuskan setiap anak yang
mempunyai keterbatasan untuk dapat bersekolah di lingkungan terdekat
mereka, dikelas reguler (SD, SMP, SMA, dan SMK) bersama siswa lainnya (O’Neil dalam Muhammad Takdir Illahi, 2013: 27)
Staub dan Peck dalam Budiyanto (2014: 4) menyebutkan bahwa
pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan
berat secara penuh di kelas untuk mengikuti pembelajaran dalam lingkungan
pendidikan yang sama. Jadi setiap anak akan mempunyai hak yang sama
dalam mengikuti proses pembelajaran sekolah yang sama.
Tarmansayah (2007: 84) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi
22
oleh setiap anak tanpa memandang latar belakang anak seperti kondisi fisik,
intelektual, sosial- emosional, linguistik, mencakup anak berkelainan dan
bakat istimewa, kelompok minoritas atau anak dari daerah yang kurang
beruntung. Oleh karena itu, setiap sekolah harus menerima setiap anak tanpa
memandang latar belakang anak, sehingga pelayanan pendidikan dapat
diterima setiap anak.
Berdasarkan beberapa pandangan pendidikan inklusi tersebut dapat
ditegaskan bahwa pendidikan inklusi merupakan bentuk pelayanan
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus
untuk dapat memperoleh pendidikan layak, yang ditempatkan pada kelas
reguler dengan menggabungkan antara anak berkebutuhan khusus dan anak
normal, dengan penyesuaian- penyesuaian yang dibutuhkan.
2. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi
Berdasarkan Permendiknas No.70 tahun 2009 dijelaskan bahwa dalam
menyelenggarakan pendidikan inklusi berlandaskan pada beberapa aspek
diantaranya, yaitu: a) prinsip pemerataan dan peningkatan mutu; b) prinsip
kebutuhan individual; c) prinsip kebermaknaan; d) prinsip keberlanjutan; e)
prinsip keterlibatan. Secara lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut:
a. Prinsip Pemerataan dan Peningkatan Mutu
Pemerintah mempunyai kuasa dan tanggung jawab didalam
merumuskan kebijakan kaitannya dengan usaha mengatasi masalah
pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu. Pendidikan inklusi
23
kesempatan kepada setiap anak untuk bersekolah menggunakan metode
pengajaran yang bervariasi.
b. Prinsip Kebutuhan Individual
Potensi serta kebutuhan setiap anak berbeda, dan pendidikan harus
menyesuaikan dengan keadaan anak.
c. Prinsip kebermaknaan
Pendidikan inklusi sebagai pendidikan dengan lingkungan yang
ramah anak, anti- diskriminasi, menghargai perbedaan.
d. Prinsip Keberlanjutan
Pelaksanaan pendidikan inklusi secara berkesinambungan pada
setiap jenjang pendidikan.
e. Prinsip Keterlibatan
Pelaksanaan pendidikan inklusi melibatkan semua unsur
pendidikan terkait.
Berdasarkan penjelasan aspek- aspek pendidikan inklusi yang ada
dalam Permendiknas RI No. 70 tahun 2009 tersebut dapat dimaknai sebagai
prinsip-prinsip dasar dalam menciptakan lingkungan pendidikan inklusi yang
dapat mengembangkan potensi, memberikan bekal pada anak, dalam upaya
memeratakan pendidikan.
3. Konsep Pendidikan Inklusi
Konsep pendidikan inklusi seperti yang dikemukakan oleh Moh. Takdir
Ilahi (2013: 117-132) yakni: a) konsep anak dan peran orang tua; b) konsep
24
konsep memajukan inklusi; e) konsep sumber daya manusia. Lebih lanjut
dapat dikaji sebagai berikut:
a. Konsep anak dan peran orang tua, konsep anak ini lebih identik
dengan dunia permainan, peran orang tua untuk mendidik dan
membimbing perilaku anak hingga terjun di masyarakat.
b. Konsep Sistem Pendidikan dan sekolah, peran lembaga sangat
menunjang terhadap pengolahan sistem atau cara bergaul dengan
orang lain. Sekolah inilah yang diharapkan dapat memberi skill atau
bekal untuk hidup dimasa yang akan datang.
c. Konsep keberagaman dan diskriminasi, konsep ini mencerminkan
sikap saling menghormati satu sama lain, juga sebagai bentuk
penghargaan terhadap segala perbedaan dalam setiap pribadi anak,
baik normal atau cacat.
d. Konsep memajukan inklusi, berkaitan bagaimana setiap unsur
masyarakat secara bersama memajukan sekolah inklusi demi ABK.
e. Konsep sumber daya manusia, konsep ini berkaitan dengan sumber
daya manusia yang berperan dalam setiap kegiatan pelaksanaan
kegiatan belajar anak didik. Sumber daya untuk mengoptimalkan
potensi ABK.
Dengan demikian konsep pendidikan inklusi menurut Tarmanysah
tersebut dapat dimaknai bahwa pendidikan inklusi harus berpegang pada
kelima konsep tersebut agar pembelajaran dapat berjalan sesuai tujuan.
25
dikemukakan oleh Sunaryo (2009:4) yakni konsep sistem pendidikan dan
sekolah diantaranya: a) Pendidikan yang lebih luas dibandingkan
pendidikan formal umumnya; b) lingkungan pendidikan yang ramah
anak; d) sistem yang bersifat responsif; e) perbaikan kualitas sekolah; f)
pendekatan yang menyeluruh serta bekerja sama dengan mitra kerja. Jadi
pendidikan inklusi juga melibatkan peran serta dari berbagai pihak, demi
terwujudnya lingkungan inklusi yang optimal.
Berdasarkan beberapa pandangan konsep pendidikan inklusi
tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan inklusi sebagai
lingkungan pembelajaran yang dekat dengan anak, jauh dari diskriminasi
dan menjunjung keberagaman antar sesama.
C. Kajian tentang Anak Berkebutuhan Khusus 1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebtuhan khusus secara sederhana sebagai anak yang
mengalami kelainan dan membutuhkan pelayanan yang disesuaikan
dengan kebutuhan anak, berbeda dengan anak normal pada umumnya.
Berdasarkan Permendiknas No.70 Tahun 2009 menyebutkan jika anak
berkebutuhan khusus adalah:
“ Mereka peserta didik yang mempunyai kelainanan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang membutuhkan pelayanan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan dan hak asasinya”.
Jadi ABK adalah peserta didik yang memiliki kelainan dalam hal
psikis, fisik, atau tingkat kecerdasaran anak, sehingga membutuhkan
26
Illahi (2013: 137) mengatakan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah
anak yang memiliki kecacatan ataupun kebutuhan khusus sementara atau
permanen dan memerlukan pelayanan pendidikan yang intens. Sehingga
anak tersebut membutuhkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Oleh karena itu tidak semua kelainan yang ada pada ABK bersifat tetap,
namun ada pula yang dapat disembuhkan melalui pelayanan pendidikan
berupa terapi, sedangkan ABK tetap dapat melalui pengembangan potensi.
Anak berkebutuhan khusus menurut Lynch dalam Lay Kekeh
Marthan (2007: 33) semua anak yang mengalami gangguan fisik, mental,
ataua emosi dari gangguan tersebut sehingga mereka membutuhkan
pendidikan khusus beserta guru dan lembaga khusus baik permanen atau
sementara. Jadi, anak berkebutuhan khusus membutuhkan kebutuhan dan
pelayanan yang bersifat khusus untuk menunjang kemampuan anak.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat ditegaskan bahwa
anak berkebutuhan khusus adalah anak- anak yang mengalami kelainan
baik fisik, emosional, sosial yang membutuhkan pelayanan pendidikan
secara khusus menyesuaikan kebutuhan karakter anak. Setiap anak berhak
mendapatkan pendidikan yang layak bagi mereka, begitu pula dengan anak
berkebutuhan khusus. Mereka mempunyai hak yang sama dengan anak
normal lainya untuk dapat mengenyam pendidikan. Pendidikan yang
27
2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus dapat digolongkan dalam
dua kategori, yakni anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara
serta anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen (Moh. Takdir,
2013: 139). Perbedaan kelompok tersebut dapat dipicu oleh beberapa
faktor yang berasal dari pengaruh luar (eksternal) dan pengaruh dari dalam
(internal) diri anak (Budiyanto, 2014: 37). Anak berkebutuhan khusus
sementara cenderung dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pengaruh
tindak kekerasaan, penyalahgunaan narkoba, kerusakan lingkungan,
ekonomi, dan sebagainya sehingga mengalami gangguan dalam
kesehariaannya. Disisi lain anak berkebutuhan khusus permanen
kebanyakan berasal dari faktor dalam diri anak seperti kelainana fisik,
emosi yang sangat sulit untuk disembuhkan cenderung menetap.
Perbedaan tersebut menjelaskan jika dalam penanganan anak
berkebutuhan khusus tersebut juga berbeda, menyesuaikan kebutuhan
anak. Jika pada anak berkebutuhan khusus sementara mereka
membutuhkan pelayanan khusus seperti terapi atau pelatihan yang
bertujuan untuk proses penyembuhan anak menjadi seperti semula.
Sedangkan pada anak yang mengalami kelaianan permanen, penanganan
lebih pada pengembangan potensi, ataupun meminimalisir kekurangan
anak dengan bakatnya. Penanganan tersebut membutuhkan proses
identifikasi dan asesmen agar penanganan dapat sesuai dengan karakter
28
Tarmansyah (2012: 82) menjabarkan konsep anak berkebutuhan
khusus berdasarkan jenis ketunaannya seperti: a) anak dengan gangguan
penglihatan; b) anak dengan gangguan pendengaran; c) anak ganagguan
kecerdasan; d) anak dengan intelegensi diatas rata-rata; e) anak dengan
gangguan gerak; f) anak dengan gangguan perilaku; g) autisme; h)
hiperaktif, dan i) anak berkesulitan belajar spesifik. Lebih lanjut dapat
dikaji sebagai berikut:
a). Anak dengan gangguan penglihatan,
- Anak low vision (menggunakan perabaan, mata bergoyang
terus, tidak dapat mengikuti garis lurus)...
- Anak tunanetra total.
b). Gangguan pendengaran dan bicara (tunarungu wicara).
- Anak kurang dengar (hard of hearing), anak sering
memiringkan kepala, tidak ada reaksi terhadap bunyi
disekitarnya, sering menggunakan isyarat, kurang tanggap
dalam berkomunikasi...
- Anak tuli atau tidak dapat mendengar (deaf).
c). Anak gangguan kecerdasan (intelektual) di bawah rata-rata
(tunagrahita).
- Anak tunagrahita ringan ( IQ 50 - 70).Kriteria anak ini seperti
dua kali anak tidak naik kelas, tidak mampu berpikir abstrak,
29
- Anak tunagrahita sedang (IQ 25 - 49). Anak hanya mampu
membaca kalimat tunggal, sulit berhitung, sulit beradaptasi
dengan lingkungan baru, kurang mampu mengurus diri...
- Anak tunagrahita berat (IQ 25 – ke bawah). Anak hanya
mampu membaca satu kata, tidak dapat melakukan kontak
sosial, tidak mampu mengurus diri, banyak bergantung pada
bantuan orang lain...
d). Anak dengan kemampuan intelegensi di atas rata-rata.
- Giffted dan genius, yaitu anak yang memiliki kecerdasan di
atas rata-rata...
e). Anak dengan gangguan anggota gerak (tunadaksa).
- Anak layuh anggota gerak tubuh (polio). Anak memiliki
anggota gerak yang kaku, lemah, lumpuh dan layu...
- Anak dengan gangguan fungsi syaraf otak (cerebral palcy).
Gerak yang ditampilkan cenderung kaku dan tremor.
f) Anak dengan gangguan perilaku dan emosi (tunalaras). Anak
cenderung emosional, menentang otoritas, dan agresif.
g) Anak autisisme, memiliki kecenderungan untuk sulit dalam
mengenal dan mersepon emosi dan isyarat sosial, ekspresi emosi
yang kaku, perilaku yang meledak – ledak...
h).Anak Hiperaktif ADHD (Attention Deficit Hyperactivity
Disorders),
30
- Gangguan belajar membaca (disleksia)...
- Gangguan belajar menulis (disgrafia)...
- Gangguan belajar berhitung (diskalkula)...
D.Kajian Tentang Pengelolaan Asesmen 1. Kajian tentang Pengelolaan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 534), kata pengelolaan berasal dari kata “kelola”. Mendapat imbuhan pe- dan an
sehingga menjadi pengelolaan. Pengelolaan sebagai proses, cara, perbuatan
mengelola atau proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakan
tenaga orang lain, dan atau proses yang membantu perumusanan kebijakan
dan tujuan organisasi. Kata pengelolaan menurut Tatang M. Amirin (2011:
7) dapat diartikan sebagai :
“manajemen mengandung dua substansi, yaitu sebagai proses atau kegiatan memanajeman dan orang yang melakukan manajemen menjadi manajer. Manajeman bukan sekedar menyelenggarakan atau melaksanakan dengan baik, dengan ditata atau diatur. Penataan dan pengaturan itulah yang kemudian disebut pengelolaan”.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat ditegaskan bahwa
pengelolaan dapat diartikan sebagai manajemen, yang mempunyai makna
sebagai suatu rangkaian pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh
sekelompok orang untuk melakukan serangkaian kerja dengan lebih tertata
dan teratur dalam mencapai tujan tertentu.
2. Kajian tentang Asesmen
Kata assessment merupakan istilah asing berbahasa Inggris yang
artinya penilaian. Pada akhir suatu program pendidikan dan pengajaran,
31
dengan pendidikan inklusi makna asesmen merupakan satu rangkaian
kegiatan yang diawali dengan identifikasi (penjaringan) dilanjutkan dengan
proses asesmen (penyaringan). Proses asesmen tidak dapat dilakukan jika
kegiatan identifkasi belum dilakukan. Kedua proses tersebut dilaksanakan
saat anak yang berkelainan akan mengikuti pendidikan di sekolah reguler.
Desain relasi identifikasi dan asesmen seperti yang dikemukakan Budiyanto
(dalam Modul Training of Trainer, 2009: 27).
Identifikasi
Diperoleh Data Anak Berkebutuhan Khusus
Asesmen
Asesmen Non Akademik Asesmen Akademik
Data
1. Kecerdasan, potensi, bakat, emosi, komunikasi
2. Kondisi Kesiapan Pra Akademik
Data
Kebutuhan khusus sesuai kelainan anak
Data
Kemampuan anak di bidang akademik (kelebihan dan kekurangan
Pedoman
Penyusunan program layanan kompensatoris
Pedoman
Penyusunan rencana pembelajaran
32 a. Hakikat Identifikasi
Identifikasi merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum
dilaksanakan asesmen. Suatu proses yang dilakukan terhadap anak yang
mengalami kelaianan atau gangguan, baik yang akan masuk di sekolah
inklusi dan yang tidak bersekolah. Kegiatan identifikasi anak berkelaianan
menurut Permendiknas RI No.70 tahun 2009 adalah ;
“Teknik penjaringan, dengan kata lain proses identifikasi dimaksudkan sebagai upaya seseorang baik guru, orang tua atau tenaga kependidikan untuk melaksanakan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami gangguan atau kelaianan fisik, emosional, sosial, intelektual dalam rangka pemberian pelayanan pendidikan yang sesuai”.
Jadi identifikasi merupakan proses penjaringan yang dilakukan
guru atau orang tua terkait gangguan atau kelainan pada anak agar
pemberian pelayanan dapat sesuai. Proses identifikasi sebagai tahap pertama
sebelum melakukan asesmen, cenderung melihat karakter atau kelaianan
yang dimiliki anak. Identifikasi menurut Budiyanto (2014: 34) adalah usaha
sesorang (orang tua, keluarga, guru, atau tenaga kependidikan) untuk
mengetahui seorang anak mengalami kelainan baik fisik, emosional, sosial,
neuorolgis, intelektual dalam tumbuh kembang anak diluar dari konteks
anak normal. Oleh karena itu, identifikasi dapat dilakukan oleh orang
terdekat untuk mengetahui anak yang diduga mengalami gangguan atau
penyimpangan dibandingkan anak normal seusianya.
Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa
identifikasi adalah proses menemukan dan mengenali anak berkebutuhan
33
Proses ini harus dilakukan dengan baik agar tidak terjadi kesalahpahaman
dalam menghimpun atau menafsirkan informasi, demi ketepatan tindak
lanjut yang akan dilakukan.
b. Tujuan Identifikasi
Pada dasarnya kegiatan identifikasi untuk memperoleh data terkait
kondisi anak sebagai bahan pertimbangan pelayanan kebutuhan dan rencana
pembelajarannya. Menurut Lerner dalam Budiyanto (2014: 35)
mengelompokkan identifikasi dalam lima keperluan, yaitu:
1) Penjaringan (screening), yaitu kegiatan identifikasi yang
berfungsi untuk menetapkan anak yang mempunyai kondisi
gangguan atau kelaianan fisik, emosional, intelektual, sosial
beserta gejala tingkah laku menyimpang atau berlaianan dengan
kondisi anak normal. Jadi proses ini merupakan pengamatan
terhadap perilaku anak yang berbeda dengan anak normal, dan
diduga mengalami gangguan.
2) Pengalihtanganan (referal), yaitu kegiatan yang dilakukan untuk
mengalihtangankan ke tenaga ahli yang berkompeten di
bidangnya seperti, seperti psikolog, terapis, dokter, konselor
terhadap gejala yang diamati dengan teliti. Oleh karena itu untuk
memastikan temuan yang ada, perlu dipastikan melalui tenaga
ahli sesuai dibidangnya.
3) Klasifikasi (classification), yaitu kegiatan identifikasi yang
34
dalam anak berkebutuhan khusus yang memang mempunyai
kelainan fisik, emosional, gejala menyimpang lain, sehingga
dibutuhkan penanganan khusus. Jadi anak yang sudah ditetapkan
menjadi ABK membutuhkan pelayanan khusus sesuai kebutuhan
anak agar dapat berkembang.
4) Perencanaan Pembelajaran (instructional planning), kegiatan
identifikasi yang dilakukan untuk bahan penyusunan program
pengajaran individu yang bersangkutan berdasarkan hasil dari
klasifikasi. Jadi kegiatan ini bertujuan untuk memetakan setiap
penyusunan rencana belajar sesuai kebutuhan anak yang telah
diklasifikasikan.
5) Pemantauan kemajuan belajar (monitoring pupil progress),
kegiatan untuk mengetahui keberlangsungan program
pembelajaran khusus yang diberikan berhasil atau tidak dalam
meningkatkan kemampuan anak. Jadi berhasil atau tidaknya
progam pembelajaran yang diberikan, akan terlihat melalui
kegiatan pemantauan belajar seperti tes, atau ulangan anak.
c. Sasaran identifikasi
Setiap anak dalam kehidupan sehari hari seperti dalam
pembelajaran pasti mengalami hambatan dan kesulitan, namun kesulitan
tersebut dapat diatasi dengan penanganan, pelayanan pendidikan pada
umumnya. Berbeda dengan anak yang mengalami kelainan mereka
35
Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus dapat dibedakan dari
dua faktor, menurut Budiyanto (2014: 37) yakni faktor internal sebagai
faktor yang berasal dari dalam diri anak seperti kelaianan fisik, sosial,
emosi yang cenderung berifat susah disembuhkan. Sedangkan faktor
eksternal adalah faktor yang berasal dari luar anak, seperti korban
bencana alam, narkoba, lingkungan. Oleh karena itu, ada ABK yang
dapat disembuhkan karena ketunaannya sementara, namun ABK tetap
sulit disembuhkan dan hanya diberi pelayanan pengembangan potensi.
Sasaran dalam pelaksanaan identikasi anak berkebutuhan khusus ini
sendiri dibatasi pada faktor internal sesuai dengan Munawar Yusuf
dalam Budiyanto (2014: 37) seperti:
1) Anak yang mengalami gangguan belajar spesifik
- Gangguan belajar membaca (disleksia)
- Gangguan belajar menulis (disgrafia)
- Gangguan belajar berhitung (diskalkula)
2) Anak lamban belajar
3) Anak dengan gejala Under Achiever
4) Anak memiliki gejala gangguan emosional (tunalaras)
5) Anak memiliki gangguan komunikasi
6) Anak dengan gangguan penglihatan (tunanetra)
7) Anak dengan gangguan pendengaran (tunarungu)
8) Anak dengan gangguan kesehatan
36 10) Anak autisme
11) Anak korban penyalahgunaan narkoba
d. Hakekat Asesmen
Kegiatan asesmen merupakan tahapan lanjutan setelah dilakukan
identifikasi pada anak berkebutuhan khusus. Pelaksanaan asesmen hanya
dapat dilakukan oleh pakar atau ahli yang ada dibidangnya. Asesmen pada
anak berkebutuhan khusus berbeda dengan asesmen pada umumnya.
Asesmen pada tingkatan sekolah khusus adalah penghimpunan informasi
yang rinci, baik kelemahan, potensi dan perilaku anak untuk penetapan
penyusunan rencana pembelajaran.
Kegiatan Asesmen menurut Permendiknas RI No.70 Tahun 2009
adalah :
“Proses pengumpulan informasi sebelum disusun program pembelajaran bagi siswa berkelainan. Asesmen ini ditujukan untuk memahami keunggulan dan hambatan belajar siswa, sehingga diharapkan program yang disusun benar- benar sesuai dengan kebutuhan belajar siswa”.
Berdasarkan pengertian tersebut, asesmen dapat diartikan sebagai
proses pengumpulan berbagai informasi tentang potensi, hambatan belajar
sebelum disusun program pembelajaran. Lerner dalam Budiyanto (2014:
55) mengartikan asesmen sebagai langkah menghimpun informasi terkait
anak berkebutuhan khusus yang dtujukan sebagai bahan pertimbangan dan
keputusan terhadap anak tersebut. Jadi asesemen, adalah langkah menggali
37
keputusan anak tersebut. Serupa dengan Roger Pierangelo (2009: 9)
menyatakan bahwa:
“ assessment is a complex process that needs to be conducted by a multidiciplinary team of trained professionals and involved both formal and informa methods of collecting informatian about students.”
Jadi asesmen sebagai suatu proses kompleks yang membutuhkan
peran dari para ahli dalam team serta menggunakan formal dan informal
metode asesmen untuk menggali informasi tentang siswa secara rinci.
Tarmansyah (2007: 183) mengungkapkan jika kegiatan asesmen
merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya
memperoleh informasi terkait hambatan belajar, kebutuhan pelayanan
yang harus terpenuhi, serta potensi yang dimiliki, sehingga dapat menjadi
dasar pembuatan rencana pembelajaran sesuai kemampuan anak. Jadi hasil
dari asesmen ini menjadi bahan dalam menyusun program belajar anak.
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai asesmen tersebut dapat
ditegaskan bahwa asesmen sebagai suatu proses menggali informasi
tentang karakter, potensi dan kelemahan pada anak yang dilakukan oleh
seorang pakar dibidangnya, sebagai bahan kajian dalam penetapan dan
penyusunan rencana belajar yang optimal serta pelayanan khusus yang
sesuai dengan kebutuhan anak.
3. Tujuan Asesmen
Proses asemen merupakan tahapan penting dalam memberikan
38
sesuai dengan kondisi pada anak. Mereka dapat mengikuti proses belajar
mengajar di sekolah inklusi sesuai kondisi dan kebutuhan anak, sehingga
anak dapat mengoptimalkan potensi yang ada dan meminimalisir
kekurangan yang ada pada anak. Secara sederhana tujuan dari kegiatan
asesmen (Sunardi dan Sunaryo dalam Budiyanto, 2014: 56) memaparkan
tujuan utama dari proses asesmen ini sebagai berikut:
1) Mendapatkan informasi yang akurat, obyektif, relevan tentang
keadaan anak berkebutuhan khusus.
2) Mengetahui data anak yang lengkap, seperti potensi dalam
diri anak, hambatan dalam belajar, keadaan lingkungan,
kebutuhan pelayanan khusus, serta kondisi lingkungan yang
dapat mendukung anak.
3) Menetapakan pelayanan khusus yang sesuai dengan kondisi
anak sesuai kebutuhannya, secara berkala dipantau kemajuan
perkembangan anak.
Marit Holm (Tarmansyah, 2007: 184) lebih lanjut mengatakan
jika tujuan yang akan dicapai dalam melakukan asesmen adalah
a) Menemukan jenis gangguan, apakah siswa memiliki gangguan akademik , maupun gangguan lain .
b) Menganalisa pekerjaan siswa, hasil yang diperoleh dari kegiatan yang dilakukan siswa yang mengalami gangguan, cara kerja, pemahaman, dan merefleksikan kemampuan c) Menganalisa bagaimana cara siswa bekerja, melihat
bagaimana siswa memecahkan masalah, memecahkan soal, hubungan sosial, berinteraksi dengan lingkunannya. d) Menganalisa penyebabnya, bertujuan untuk memahami
39
e) Merumuskan hipotesa, dengan memberikan kesimpulan, cara siswa bekerja, dan masalah yang dialami siswa. f) Mengembangkan rencana intervensi, menyusun rencana
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, monitoring, evaluasi dan rekomendasi pelayanan.
Hasil dari asesmen tersebut berguna dalam membuat pendidkan
khusus untuk mengembangkan potensi yang dimilik anak. Dengan
demikian, pelaksanaan asesmen menentukan bagaimana menciptakan
lingkungan pembelajaran dan pelayanan yang sesuai dengan anak.
Ditujukan agar potensi yang ada dapat lebih menonjol, dan meminimalisir
kelemahan yang ada pada diri anak. Selain itu asesmen dilakukan
berkesinambungan, tidak dalam waktu singkat agar informasi yang
diperoleh akurat dan efektif.
4. Tindakan dan Strategi Pelaksanaan Asesmen a. Tindakan Asesmen
Pelaksanaan asesmen, pada dasarnya merupakan tahap penyaringan
setelah dilakukan penjaringan pada anak berkebutuhan khusus. Sasaran
pelaksanaan asesmen ini ditujukan pada anak – anak yang ada disekolah
reguler, khususnya anak yang telah teridentifikasi mengalami kelaianan atau
berkebutuhan khusus dan membutuhkan pelayanan khusus. Penanganan
tersebut diharapkan dapat mengembangkan potensi yang ada dalam anak.
Didalam proses ini para pelaku asesmen dilakukan oleh seorang yang
kompeten dibidangnya seperti sosiolog, terapis, psikolog, dokter. Walaupun
sebenarnya dapat juga dilakukan oleh guru, namun ada beberapa hal yang
40
menggali informasi tentang kondisi anak berkebutuhan khus