• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan tentang Prapenuntutan dalam Rancangan Kitab Undang- Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) Tahun 2012 di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Prapenuntutan dalam Herziene Inlands Reglement (HIR), Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Rancangan Kitab

2.2.3 Tinjauan tentang Prapenuntutan dalam Rancangan Kitab Undang- Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) Tahun 2012 di Indonesia

Dewasa ini Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia sedang dalam proses perubahan. Perubahan ini melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), yang telah disiapkan oleh pemerintah. RKUHAP diharapkan dapat menggantikan KUHAP yang diundangkan pada tanggal 31 Desember tahun 1981. Disebut proses perubahan Sistem Peradilan Pidana (SPP), karena RKUHAP nantinya

tidak saja sekedar penggantian undang-undang saja, tetapi juga akan membangun suatu Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang diharapkan mampu merespon setiap permasalahan peradilan saat ini, sekaligus dapat mengantisipasi perkembangan hukum acara pidana sesuai tuntutan perubahan ke depan.

Dalam RKUHAP Tahun 2012, ada perubahan dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) dengan adanya hakim pemeriksa pendahuluan (HPP). Dalam konsep lama RKUHAP yaitu RKUHAP Tahun 2011, hakim pemeriksa pendahuluan (HPP) ini disebut dengan “hakim komisaris”. Hakim pemeriksa pendahuluan (HPP) yang dalam rancangan awal RKUHAP sebagai hakim komisaris, mempunyai kewenangan untuk menetapkan atau memutuskan:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan;

b. Pembatalan atau penangguhan penahanan;

c. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwadengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;

d. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti;

e. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah;

f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh advokat;

g. Bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah;

h. Penghentian penyidikan atau penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;

i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan;

j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan yang diuraikan di atas pada dasarnya adalah hakim yang bertugas di pengadilan negeri.27

27 Sekretariat Negara Indonesia, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, RUU Nomor ... Tahun 2012, LN Tahun ... Nomor ..., TLN Nomor ..., Pasal 111 ayat (1).

Untuk dapat diangkat sebagai hakim pemeriksa pendahuluan, hakim harus memiliki pengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun. Sebagai hakim pemeriksa pendahuluan masa jabatannya untuk dua tahun dan dapat diangkat lagi untuk satu kali masa jabatan lagi. Selama bertugas sebagai hakim pemeriksa pendahuluan, hakim yang bersangkutan dibebastugaskan sebagai hakim pengadilan negeri untuk sementara waktu dan dapat kembali sebagai hakim biasa setelah jabatannya berakhir.28 HPP juga berwenang memberi masukan BAP kepada penyidik, sebagai keterangan dari alat bukti dengan standar diindikasikannya telah ada “bukti permulaan”.

Terkait dengan prapenuntutan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) Tahun 2012, dalam RKUHAP Tahun 2012, tidak mengenal istilah prapenuntutan. Namun dalam perluasan RKUHAP Tahun 2012 ini, tetap ada penyidikan tambahan yang dilakukan oleh penyidik apabila penuntut umum berpandangan bahwa berkas perkara yang diserahkan kurang lengkap sesuai Pasal 46 ayat (3) RKUHAP Tahun 2012. Perbedaan antara RKUHAP Tahun 2012 dengan KUHAP adalah dalam hal bentuk koordinasi yang semakin di perjelas dalam RKUHAP. Pada Pasal penjelas, yakni Pasal 13 ayat (2) RKUHAP Tahun 2012 menyatakan bahwa: “Pelaksanaan koordinasi dan konsultasi dari penyidik kepada penuntut umum serta petunjuk dari penuntut umum kepada penyidik dapat dilakukan secara langsung, baik

28 Jurnal Teropong, “Pembaharuan Hukum Acara Pidana”, Vol. 1, 1 Agustus 2014, halaman 15.

tertulis maupun lisan yang dapat dilakukan dengan telepon, faksimili, e-mail atau alat elektronik yang lain.” Hal tersebut memberikan pengertian lebih spesifik terkait dengan pelaksaan koordinasi dari penyidik kepada penuntut umum sebagai lembaga yang berperan dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP).

Dengan demikian, RKUHAP diharapkan bisa menjadi hukum yang di cita-citakan sebagai berjalannya sistem peradilan pidana di Indonesia, terkait dengan prapenuntutan agar supaya tetap menjamin hak-hak dari seorang tersangka dan terdakwa. Berkas yang selama ini berhenti di penyidikan akibat dari adanya kurang koordinasi dari kedua lembaga tersebut dapat terselesaikan terkait dengan penyidikan tambahan.

2.2 Tinjauan Tentang Kewenangan Penyidik, dan Kewenangan Kejaksaan. 2.2.1 Tinjauan Tentang Kewenangan Penyidik.

Pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, yang berwenang melakukan penyidikan adalah penyidik sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yang berbunyi: “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.” Adapun arti penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP berbunyi : “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Selain

penyidik, ada juga yang disebut dengan penyidik pembantu yang terdapat pada Pasal 1 angka 3 KUHAP yang berbunyi: "Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang ini.” Dari definisi penyidik dalam KUHAP, dapat dipahami bahwa penyidik itu merupakan pejabat kepolisian, dan juga pejabat pegawai negeri sipil (PNS) tertentu yang memang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Dalam ketentuan lain yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 14 ayat (1) huruf g, kepolisian bertugas: Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Ini artinya, Polri berwenang untuk bertindak sebagai penyelidik dan penyidik dalam tindak pidana umum dan tindak pidana khusus lainnya.

Sejalan dengan ketentuan penyidikan tersebut, Alfitra menyatakan bahwa hasil penyidikan haruslah diusahakan selengkap mungkin, sehingga berkas perkara dapat dikatakan sebagai berkas perkara lengkap. Kelengkapan ini meliputi kelengkapan pemeriksaan penyidikan yang penting untuk mendapat perhatian. Kekuranglengkapan dari hasil penyidikan setelah diteliti oleh penuntut umum bukan tidak mungkin akan dikembalikan kepada penyidik yang bersangkutan. Pada tahap prapenuntutan, penuntut umum dapat dapat mengembalikan berkas perkara hasil penyidikan yang dilakukan penyidik bila terjadi

kekurangan dalam berkas perkara tersebut sepanjang penuntut umum belum menyatakan lengkap.

Lain halnya masa berlakunya Herzien Inlandsch Reglement (HIR), jika terdapat kekurangan dalam kelengkapan berkas perkara dapat dilengkapi oleh Penuntut Umum. Hal ini disebabkan pada saat sebelum berlakunya KUHAP, Penuntut Umum mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan lanjutan. 29

Dokumen terkait