• Tidak ada hasil yang ditemukan

USM KATA SEGERA DALAM PRAPENUNTUTAN HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA SKRIPSI. Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "USM KATA SEGERA DALAM PRAPENUNTUTAN HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA SKRIPSI. Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

KATA “SEGERA” DALAM PRAPENUNTUTAN HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan

Program Studi S1. Ilmu Hukum

Oleh

Nama : Reza Mahendra NIM : A.111.14.0004

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

SEMARANG TAHUN 2018

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Hidayat serta Taufik-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Shalawat serta salam tidak lupa semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, kepada Keluarga, Sahabat, hingga kepada Umatnya hingga akhir zaman, amin.

Penulisan Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Semarang (USM) Fakultas Hukum, adapun judul yang penulis ajukan adalah : KATA “SEGERA” DALAM PRAPENUNTUTAN HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

Dalam penyusunan Skripsi ini saya juga tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Hendi Priyanto dan Ibu Suhermawati selaku Orangtua yang selalu memberikan dukungan moril maupun materil terhadap penulis.

2. Ibu Rini Heryanti, S.H.,M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum USM.

3. Bapak Amri, S.H.,M.H. selaku Ketua Program Studi Fakultas Hukum USM.

4. Bapak Dr. Muhammad Junaidi, S.HI.,M.H. selaku Dosen Wali penulis di Fakultas Hukum Universitas Semarang.

5. Ibu Ani Triwati, SH., M.H, dan Ibu Dewi Tuti M, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing dalam penulisan penelitian ini.

6. Keluarga Besar ORMA FH USM ( Organisasi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Semarang ).

(7)

vii

Kelompok Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Semarang ). 8. Dan berbagai pihak yang telah membantu dalam penulisan penelitian ini

yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Atas bantuan, bimbingan serta dukungan berbagai pihak, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semuanya. Demi perbaikan selanjutnya, saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan senang hati. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis serahkan segalanya, mudah-mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua.

Semarang, 14 Februari 2018

(8)

viii

Motto :

ط ِا ِبُِ ا ِعِلِمُِ : ِبُِط ا لبُا ِم ةِِ ، ط ا ِبُِ ِا ِعِلِةُ : ُِ ِنُِ ِا لإ لَِ ِِ و يِمِط ى َ ِر هُِ ع َ ا نِِِِِِل ُ

Artinya : “Orang yang menuntut ilmu bearti menuntut rahmat, orang yang

menuntut ilmu bearti menjalankan rukun Islam dan Pahala yang diberikan kepadanya sama dengan para Nabi”. ( HR. Dailani dari Anas r.a )

“Kawula Mung Saderma, Mobah-Mosik Kersaning Hyang Sukmo”

Artinya : “Lakukan yang kita bisa, setelahnya serahkan kepada Tuhan”

Persembahan :

1. Kepada Bapak Hendi Priyanto. 2. Kepada Ibu Suhermawati.

3. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang.

4. Organisasi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Semarang. 5. Almamater Universitas Semarang.

(9)

ix

1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Artinya, dalam Pasal tersebut terkandung pengertian bahwa implementasi hanya dapat dilakukan dengan penegakan supremasi hukum bagi setiap lapisan masyarakat, tanpa memandang agama, ras, kedudukan, dan lain sebagainya. Dalam hukum acara pidana di Indonesia, pengembalian berkas perkara dalam KUHAP lazimnya disebut dengan prapenuntutan. Prapenuntutan merupakan kewenangan penuntut umum yang diatur dalam Pasal 14 huruf b, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3), dan (4) KUHAP. Ketentuan Pasal 110 ayat (3) terkait dengan kata “segera” mengembalikan berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum ternyata tidak dimaknai dengan baik dan profesional oleh penyidik, dan penuntut umum sehingga dalam beberapa kasus banyak berkas perkara yang berhenti dalam tahap penyidikan. Pengaturan mengenai kuantitas batas pengembalian berkas perkara harus diatur, agar hak-hak tersangka tetap terjamin. Tujuan hukum berupa kepastian hukum dan keadilan juga dapat tercapai, selain itu sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Didalam penelitian ini, jenis/tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis, metode pengumpulan data menggunakan pengumpulan data sekunder sebagai data utama dengan data primer sebagai data pendukung, dan metode analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif.

(10)

x

guarantee, protection and legal certainty of justice and equal treatment before the law. That is, in the Article is contained the sense that implementation can only be done with law enforcement supremacy for every layer of society, regardless of religion, race, position, and so forth. In the criminal procedure law in Indonesia, the return of the case file in the Criminal Procedure Code is commonly referred to as a pre-order. The demand is the authority of the public prosecutor as stipulated in Article 14 letter b, taking into account the provisions of Article 110 paragraph (3), and (4) KUHAP. The provision of Article 110 paragraph (3) in relation to the word "immediate" returning the case files from the investigator to the prosecutor is not well understood and professional by the investigator and the public prosecutor so that in some cases many case files stop at the investigation stage. Arrangements concerning the quantity of restrictions on the return of case files must be arranged, so that the rights of the suspect will be guaranteed. The legal purpose of legal certainty and justice can also be achieved, besides it is in accordance with the principle of simple justice, fast and low cost. In this research, type / type of research used is normative juridical, research specification using descriptive analytical, data collection method using secondary data collection as primary data with primary data as supporting data, and method of data analysis in this research is qualitative data analysis.

(11)

xi

HALAMAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN MEMPERBANYAK ... iii

HALAMAN PENGESAHAN UJIAN ... iv

DOKUMENTASI PERPUSTAKAAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ...ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

2.1 Rumusan Masalah ... 13

3.1 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

4.1 Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Tinjauan tentang Prapenuntutan dalam Herziene Inlands Reglement (HIR), Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Rancangan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) di Indonesia ... 15

1.2 Tinjauan tentang Kewenangan Penyidik dan Kewenangan Kejaksaan ... 23

1.3 Tinjauan tentang Hak Tersangka dan Hak Terdakwa ... 30

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis/ Tipe Penelitian ... 34

3.2 Spesifikasi Penelitian ... 34

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 35

3.4 Metode Analisis Data ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Prapenuntutan Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia ... 39

4.2. Kata “Segera” Pada Pasal 110 ayat (3) Mengenai Prapenuntutan Dalam KUHAP di Indonesia ... 47

(12)

xii

5.2 Saran ... 56

(13)

1 1.1 LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), dan sebagai negara hukum berdasarkan amanat yang terkandung dalam konstitusi Negara Republik Indonesia wajib melindungi rakyat dari perlakuan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Disebutkan dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Artinya, dalam Pasal tersebut terkandung pengertian bahwa implementasi hanya dapat dilakukan dengan penegakan supremasi hukum bagi setiap lapisan masyarakat, tanpa memandang agama, ras, kedudukan, dan lain sebagainya. Hak dasar yang dimiliki oleh rakyat, harus diimplementasikan dalam segala aspek kehidupan, termasuk ketika seseorang beracara dalam peradilan pidana.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia disahkan pada tanggal 31 Desember 1981 oleh Presiden Soeharto. Pengesahan tersebut dimulai dari Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi KUHAP. Kemudian, agar masyarakat Indonesia mengetahuinya, oleh Menteri /Sekretaris Negara Undang-Undang Hukum Acara Pidana pengundangannya ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik

(14)

Indonesia (L.N. Tahun 1981 Nomor 76).1 Sebelum berlakunya KUHAP di Indonesia, sebagaimana diketahui bahwa ketentuan mengenai hukum acara di peradilan umum adalah Herziene Inlands Reglement atau disingkat HIR (Staatsblad Tahun 1941 nomor 44) yang mengatur tentang acara di bidang Perdata dan Pidana. Dengan berlakunya KUHAP maka ketentuan Hukum Acara Pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku. Pemberlakuan KUHAP secara otomatis merupakan hukum yang berlaku secara nasional, dan dengan diberlakukannya KUHAP di Indonesia, maka segala peraturan perundang-undangan sepanjang mengatur tentang pelaksanaan dari pada Hukum Acara Pidana dicabut. Betapapun besarnya karya bangsa ini dengan telah berhasil memiliki KUHAP yang bercorak nasional, ia tak akan bermakna tanpa dukungan kita semua untuk memasyarakatkannya, demikian hal yang tertuang dalam PRAKATA yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).2

Dilihat dari tujuan terbentuknya hukum, menurut Gustav Radbruch seorang filsuf hukum dari Jerman yang terkemuka yang mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum, bahwa menurutnya tiga tujuan hukum tersebut adalah kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.3 Dalam kebijakan hukum pidana (Penal Policy), Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa ilmu kriminal modern (Modern Criminal

Science) terdiri dari tiga komponen yaitu Criminology, Criminal Law, dan Penal Policy.4 Dikemukakan olehnya, bahwa penal policy adalah suatu Ilmu sekaligus

1 Sekretariat Negara RI, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, Jakarta, 1981.

2 Ibid.

3 Pengertian Dasar Hukum, “Tujuan Hukum Menurut Gustav Radbruch”, (online), (http://sharingaboutlawina.blogspot.sg/2014/12/tujuan-hukum-menurut-gustav-radbruch.html , diakses pada hari Rabu, 3 Januari 2018) 2014.

4 Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, (London : Routledge & Kegan Paul, 1965), halaman 4-5.

(15)

seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya bagi pembuat Undang-Undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan Undang-Undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.5 Berpangkal dari pemikiran Marc Ancel tersebut, peneliti menarik kesimpulan bahwa akan selalu ada kemungkinan untuk dapat merubah undang-undang secara lebih baik, sesuai yang dicita-citakan atau yang dibutuhkan masyarakat dan disesuaikan dengan perkembangan zaman di masa mendatang.

Berlakunya KUHAP sejak berlakunya tanggal 31 Desember 1981 hingga sekarang, pernah mengalami beberapa Pasal yang telah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Judicial review adalah pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Beberapa Pasal dalam KUHAP yang dinilai tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan telah di putusankan oleh mahkamah konstitusi, diantaranya:

1. PMK No.65/PUU-IX/2011 mengenai Pasal 83 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terkait dengan pemberian hak banding dalam putusan praperadilan pada penyidik dan penuntut umum, Mahkamah Konstitusi memutuskan dengan meniadakan hak banding kepada kedua pihak agar sama dengan hak kepada tersangka/terdakwa dimaksud maka pengujian Pasal 83 ayat (2).

5 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2010), halaman 23.

(16)

2. PMK No.65/PUU-VIII/2010 mengenai saksi pada Pasal 1, poin 26, dan 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

3. PMK No.34/PUU-XI/2013 terkait dengan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa Peninjauan Kembali (PK) boleh dilakukan tidak hanya sekali.

Penyelesaian perkara menurut KUHAP menganut sistem yang disebut sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System). Dalam sistem ini dikatakan bahwa proses penyelesaian perkara pidana diselesaikan melalui beberapa tahapan tertentu. Setiap tahapan ditangani oleh pejabat atau petugas yang berbeda, tetapi masing-masing mendukung dalam dalam proses penyelesaian perkara pidana.6 Sukarto Marmosudjono, menguraikan bahwa defisini mengenai Integrated

Criminal Justice System adalah sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan Integrated Criminal Justice System adalah peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsur nya terdiri atas persamaan presepsi tentang keadilan dan penyelenggaran peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan (Administration of Criminal Justice System).

Integrated Criminal Justice System adalah suatu usaha untuk mengintegrasikan semua komponen di atas sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan.7

Mekanisme proses penyelesaian perkara pidana dalam peradilan menurut KUHAP meliputi empat (4) tahapan, tahap yang pertama yaitu pemeriksaan di tingkat proses penyidikan yang dilakukan oleh pejabat polisi Negara Republik

6 Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut & Menjalankan Pidana (Jakarta : Penebar Swadaya Grup, 2012), halaman 5.

(17)

Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang sesuai Pasal 1 ayat (1) KUHAP, tahap kedua penuntutan yang dilakukan oleh jaksa sesuai Pasal 13 KUHAP, tahap ketiga pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim, dan tahap pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) oleh jaksa ke lembaga pemasyarakatan sesuai dengan Pasal 270 KUHAP.

Dalam proses penyelesaian perkara pidana, penyelidik dan penyidik bisa dikatakan sebagai tahap awal dari mekanisme proses penyelesaian perkara pidana atau sebagai sarana bekerjanya mekanisme Sistem Peradilan Pidana. Pengertian mengenai penyidik terdapat pada Pasal 1 angka 1 KUHAP yang menegaskan bahwa: Penyidik adalah pejabat Polisi negara Republik Indonesia atau Pejabat Negeri Sipil tertentu yg diberikan wewenang Khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan Penyidikan. Kemudian yang dimaksud dengan penyelidik menurut KUHAP terdapat pada pasal Pasal 1 angka 4 yang menegaskna bahwa: “Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.”

Bila saat dilakukan penyelidikan ternyata terdapat cukup bukti bahwa seseorang diduga melakukan tindak pidana, kemudian akan dilanjutkan dalam tahap penyidikan. Ketentuan mengenai perkara yang diyakini sebagai tindak pidana dalam proses penyidikan, diatur dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: (1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penunutut umum.

Setelah penyidik melakukan kegiatan penyidikan, maka kepala kepolisian di unit bersangkutan (Kapolres/Kapolsek) segera mengirim surat pemberitahuan

(18)

dimulainya penyidikan (SPDP) kepada jaksa penuntut umum melalui kepala kejaksaan tinggi/kepala kejaksaan negeri. Pengiriman SPDP inilah yang merupakan titik awal hubungan koordinasi antara kepolisian (penyidik) dengan kejaksaan (jaksa penuntut umum) dalam hal dilakukannya suatu kegiatan penyidikan. Selanjutnya, kepala kejaksaan tinggi/kepala kejaksaan negeri akan menunjuk jaksa untuk melakukan pemantauan perkembangan penyidikan dan melakukan penelitian berkas perkara (form surat P-16A) / surat perintah penunjukkan jaksa penuntut umum untuk penyelesaian perkara tindak pidana.

Jaksa yang ditunjuk kemudian melakukan koordinasi dengan para penyidik dalam hal menentukan suatu perkara layak atau tidak ditingkatkan dalam tahap penuntutan di pengadilan. Apabila hasil penyidikan dianggap telah lengkap dan layak untuk diajukan ke dalam tahap penuntutan (P-21), maka berkas perkara yang dikirim ke kejaksaan kemudian dilakukan penelitian oleh jaksa penuntut umum, untuk kemudian dibuatkan surat dakwaan. Namun, apabila dalam hal berkas perkara belum lengkap (P-19), maka berkas perkara tersebut dikembalikan oleh jaksa penuntut umum kepada penyidik disertai petunjuk untuk kemudian dilakukan penyidikan tambahan dalam jangka waktu empat belas hari terhitung sejak di terimanya berkas perkara, sesuai Pasal 138 ayat (2) KUHAP.

Dalam istilah KUHAP mengenai pengembalian berkas perkara lazimnya disebut dengan sebutan prapenuntutan. Pasal 110 ayat (3) KUHAP berbunyi :

(3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum sesuai.

(19)

Pengembalian berkas perkara inilah yang disebut dengan prapenuntutan. Tahap awal proses penyelesaian perkara pidana yang menjadi tugas penuntut umum adalah melakukan penelitian berkas perkara yang menurut istilah KUHAP adalah prapenuntutan. Mengenai kewenangan penuntut umum dalam KUHAP terdapat pada Pasal 14, bahwa penuntut umum mempunyai wewenang:

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d. membuat surat dakwaan;

e. melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g. Melakukan penuntutan;

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. mengadakan tindakan lain dalam iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j. Melaksanakan penetapan hakim.

Pada bagian prapenuntutan tercantum dalam Pasal 14 huruf b, dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4). Prapenuntutan sendiri dimaknai sebagai proses pengembalian berkas perkara dari penuntut umum kepada penyidik dalam rangka penyempurnaan berkas perkara dipengadilan.

Jangka waktu sejak diterimanya berkas perkara kepada penuntut umum adalah tujuh hari, dan apabila setelah lewat empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penunutut umum kepada

(20)

penyidik, terhadap berkas perkara tersebut dianggap telah selesai, sesuai Pasal 110 ayat (4) KUHAP. Penyidikan tambahan merupakan kewajiban yang harus segera dituntaskan oleh penyidik, mengingat kata “segera” dalam Pasal 110 ayat (3) KUHAP setelah adanya prapenuntutan dari jaksa penuntut umum. Hasil penyidikan haruslah disesuaikan dengan petunjuk dari penuntut umum sebagai koordinasi yang jelas, sehingga berkas perkara dapat dikatakan sebagai berkas perkara lengkap (P-21). Meskipun KUHAP memberikan jangka waktu penyidik untuk melakukan penyidikan tambahan selama empat belas hari, namun pengaturan jangka waktu terhadap berkas perkara yang dimintakan penuntut umum tidak di batasi dalam KUHAP, sehingga menimbulkan kepastian hukum, dan menyalahi asas peradilan sederhana, dan cepat.

Implementasi mengenai proses penyidikan tambahan yang dilakukan penyidik, dalam beberapa contoh kasus, peneliti menemukan adanya ketidakpastian hukum dalam memahami kata “segera” sesuai Pasal 103 ayat (3) KUHAP. Seperti kasus Usman Hamid, berkas perkara berhenti di penyidik dan selama bertahun-tahun tidak ditanggapi atau dilanjutkan. Kata “segera” pada Pasal 110 ayat (3) KUHAP tidak selalu dimaknai dengan jelas oleh penyidik maupun penuntut umum sebagai bentuk koordinasi dari kedua lembaga tersebut, dan seringkali menimbulkan berlarutnya penanganan tindak pidana pada proses penyidikan. Dengan tidak ditentukan berapa kali pengembalian berkas perkara (penyidikan tambahan) secara timbal balik, maka akan terjadi pengembalian berkas perkara yang terus menerus. Hal ini tentu saja akan berpotensi mencederai hak asasi manusia.

(21)

Pengaturan mengenai hak tersangka dan terdakwa diatur dalam BAB VI Pasal 50 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum”. Pada BAB X.A mengenai Hak Asasi Manusia UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28G ayat (1) berbunyi : “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Diatur lebih lanjut, dalam peraturan lain pada Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, disebutkan :

(1) Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti. (2) Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara.8

Mengenai berapa lama seseorang menyandang status menjadi tersangka, hal ini bergantung dari berapa lama proses penyidikan. Selama proses penyidikan masih berlangsung, orang tersebut masih berstatus sebagai tersangka, sedangkan jika penyidikan telah selesai, dan berkas perkara tersebut disidangkan di pengadilan, maka status orang tersebut berubah menjadi terdakwa. Pasal 31 ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian

8 Sekretariat Negara RI, Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan

Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia,

(22)

Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai batas waktu penyelesaian perkara dihitung sejak diterimanya Surat Perintah Penyidikan meliputi:

a. 120 hari untuk penyidikan perkara sangat sulit. b. 90 hari untuk penyidikan perkara sulit.

c. 60 hari untuk penyidikan perkara sedang. d. 30 hari untuk penyidikan perkara mudah.9

Meskipun batas waktu dalam penyelesaian perkara telah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, faktanya masih ada beberapa berkas perkara yang berhenti di tahap penyidikan. Hasil mengenai proses penanganan perkara tindak pidana umum pada tahap penyidikan yang dilakukan oleh penyidik (kepolisian), diantaranya sebagai berikut;

a. Kasus yang menyita waktu cukup lama dan berkas perkara yang dikembalikan berulang-ulang antara penyidik dan penuntut umum yang terekspos di media massa, di antaranya kasus tersangka atas nama Jessica Kumala Wongso. “Berkas Jessica telah lima kali dikembalikan ke Kejaksaan Tinggi DKI”.10 Selain itu, terdapat contoh kasus lain

tersangka atas nama Usman Hamid yang berkas perkaranya tidak di tanggapi penyidik selama bertahun-tahun. “Hingga kini nasib perkara itu tak jelas lantaran berkas perkara yang membuatnya menjadi tersangka tak juga dilimpahkan ke penuntutan karena tak kunjung dilengkapi.”11

b. Sebuah riset yang dilaksanakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bekerja sama dengan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) menemukan bahwa tidak ada koordinasi antara jaksa dengan kepolisian dalam menangani berkas perkara. Dalam riset itu, LBH Jakarta dan MaPPI Fakultas Hukum Universitas Indonesia hasil penelitian yang dilakukan MaPPI FHUI, mencatakan sepanjang tahun 2012-2014 pihak Kepolisian Republik Indonesia menerima sekitar 1.144.108 laporan polisi dan perkara yang dalam proses penyidikan.

9 Kepolisian RI, Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan

Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia,

Pasal 31 ayat (2).

10 Friski Riana, “Berkas Jessica Bolak-Balik ke Kejaksaan, Kapan Selesai?”, (online), (https://m.tempo.co/, diakses, Selasa, 24 September 2017), 2016.

11 Muhammad Agung Riyadi, “Menggugat Kewenangan Penyidik “Menggantung” Nasib Tersangka”, (online), (http://www.gresnews.com/, diakses, Selasa, 24 November 2017), 2016.

(23)

Dari jumlah tersebut, sekitar 645.780 laporan ditindaklanjuti. Bukti tindak lanjut itu berupa diajukannya perkara tersebut ke tingkat penuntutan (P-21), atau dihentikan dengan dikeluarkannya SP-3. Setelah dibandingkan dengan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan atau SPDP, yang diterima kejaksaan, ternyata hanya sekitar 2.716 perkara. Karenanya diduga sekitar 255.618 perkara tanpa SPDP atau tidak dikoordinasikan dengan Jaksa. Kemudian dugaan bolak-balik perkara dalam tahap prapenuntutan dimana terdapat 44.273 perkiraan perkara yang hilang. Padahal dalam mekanisme KUHAP ada proses, dimana penyidik memberikan berkas perkara yang terdiri dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi, tersangka dan lain-lain kepada Jaksa. Sementara itu dalam penelitian ditemukan ada sekitar 33.755 perkara tidak dikembalikan kepada Jaksa. 12

c. Hasil penelitian bahan pustaka Majalah Adhyaksa (2014), menyajikan sekilas mengenai banyaknya perkara tindak pidana umum yang ditangani di wilayah Kepolisian Daerah (Polda) Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Ibu (DKI) Kota Jakarta, dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang diterima sebanyak 697 buah, sedangkan berkas perkara tahap pertama yang diterima di kejaksaan sebanyak 608 berkas dan berkas tersebut dinyatakan lengkap (482), belum lengkap (99), masih tahap penelitian (27).13

d. Perkara Nomor 130/PUU-XIII/2015 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengungkapkan data, terdapat sekitar 44.000 kasus pidana yang terkatung-katung karena tidak adanya batas waktu pelimpahan perkara dari penyidik kepada kejaksaan dalam KUHAP. Hal tersebut dinilai Ahli yaitu Wibisana, memperlihatkan rendahnya penegakkan hukum, namun anggaran bagi para penegak hukum tetap dan bahkan cenderung bertambah.14

Dari beberapa hasil penelitian dan contoh kasus di atas, mengindikasikan bahwa kata “segera” dalam Pasal 103 ayat (3) KUHAP, tidak dimaknai dengan koordinasi yang baik oleh aparat penegak hukum di Indonesia, lain halnya pada saat masa berlakunya Herziene Inlands Reglement (HIR), dimana jika terdapat kekurangan dalam pengerjaan berkas perkara dapat dilengkapi oleh penuntut

12 Tempo.com, “Riset: Puluhan Ribu Berkas Kasus Hilang di Polisi dan Jaksa”. (online,

https://nasional.tempo.co/read/789662/riset-puluhan-ribu-berkas-kasus-hilang-di-polisi-dan-jaksa#w83XKVOCqJcbKUpw.99) , (diakses Jumat, 3 November 2017) 2016.

13 PT. Haidar Indo Telenet, “Qou Vadis Kejaksaan RI Eksekutif atau Yudikatif”, Ed. Khusus,

Adhyaksa Indonesia, 2014, halaman 85.

14 Mahkamah Konstitusi Indonesia, "Ahli: Pelimpahan Perkara Tak Berbatas Waktu Lemahkan Penegakan Hukum", (online), (http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/) , (diakses Senin, 29 November 2017) 2016.

(24)

umum. Hal ini disebabkan pada saat sebelum berlakunya KUHAP, penuntut umum mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan lanjutan.15

Berlakunya KUHAP saat ini masih menimbulkan ketidakpuasan masyarakat sebagai bentuk dari perkembangan zaman. Dalam pembentukan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP 2012), memberikan pengaturan lebih jelas terkait dengan koordinasi antara penyidik dan penuntut umum. Pasal penjelas pada Pasal 13 ayat (2) RKUHAP Tahun 2012 menyatakan bahwa: Pelaksanaan koordinasi dan konsultasi dari penyidik kepada penuntut umum serta petunjuk dari penuntut umum kepada penyidik dapat dilakukan secara langsung, baik tertulis maupun lisan yang dapat dilakukan dengan telepon, faksimili, e-mail atau alat elektronik yang lain. Hal tersebut memberikan pengertian lebih spesifik terkait dengan pelaksaan koordinasi dari penyidik kepada penuntut umum sebagai lembaga yang berperan dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP). Tujuan dari terbentuknya hukum haruslah memiliki keadilan, kepastian, dan kemanfaatan agar hukum itu dapat dikatakan sebagai hukum yang ideal dan tepat untuk di terapkan dalam masyarakat.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul KATA “SEGERA” DALAM

PRAPENUNTUTAN HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah yang diajukan berdasarkan uraian latar belakang di atas adalah sebagai berikut :

(25)

1. Bagaimana prapenuntutan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia ? 2. Bagaimana kata “segera” pada Pasal 110 ayat (3) mengenai prapenuntutan

dalam KUHAP di Indonesia ?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui prapenuntutan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia.

2. Untuk memahami kata “segera” pada Pasal 110 ayat (3) mengenai prapenuntutan dalam KUHAP di Indonesia.

1.3.2 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penulisan ini diharapkan dapat digunakan dalam pengembangan pemikiran yang sesuai dengan disiplin ilmu hukum acara pidana di Indonesia khususnya dalam memahami kata “segera” pada Pasal 110 ayat (3) mengenai prapenuntutan dalam KUHAP. 2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti dan masyarakat serta lembaga terkait, mengenai kata “segera” dalam prapenuntutan hukum acara pidana di Indonesia.

(26)

1.4 Sistematika Penulisan

BAB. I PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini, diuraikan tinjauan tentang prapenuntutan dalam Herziene

Inlands Reglement (HIR), Hukum Acara Pidana (KUHAP), Rancangan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), tinjauan tentang kewenangan penyidik, dan kewenangan kejaksaan, tinjauan tentang penangkapan dan penahanan dalam KUHAP, Tinjauan Tentang Hak Tersangka dan Hak Terdakwa.

BAB. III METODE PENELITIAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai jenis/tipe penelitian, spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data.

BAB. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini dibahas tentang hasil penelitian dan pembahasan mengenai prapenuntutan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, dan pemahaman dari kata “segera” pada Pasal 110 ayat (3) mengenai prapenuntutan dalam KUHAP di Indonesia.

BAB. V PENUTUP

Dalam bab ini, merupakan bab yang terakhir dari skripsi yang terdiri dari simpulan serta saran-saran yang isinya berkaitan dengan pokok permasalahan.

(27)

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Prapenuntutan dalam Herziene Inlands Reglement (HIR), Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) di Indonesia. 2.2.1 Tinjauan tentang Prapenuntutan dalam Herzien Inlandsch

Reglement (HIR).

Setiap negara memiliki konsepsi negaranya masing-masing. “Negara Indonesia adalah negara hukum”.16 Menurut Subekti, bahwa

konsepsi negara hukum jelas disebutkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 dalam untaian kalimat filosofis, yaitu kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan, dan pernyataan bahwa pemerintah wajib melindungi tumpah darah, melindungi segenap rakyat dari perlakuan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang.17 Negara memiliki kekuasaan yang besar, tetapi kekuasaan negara dibatasi oleh hak alamiah yang dimiliki manusia sejak lahir, yaitu hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan dan hak atas milik pribadi.18 Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting, baik kelompok maupun perorangan atau bahkan sebagai seorang pelaku kejahatan.19

16 Sekretariat Negara RI, Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Jakarta, 2004. 17 Valina Singka dan Subekti, Dinamika Konsolidasi Demokrasi: dari Ide Pembaruan Sistem

Politik hingga ke Praktik Pemerintahan Demokratis (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,

2015), halaman 195.

18 Mirza Nasution, Politik Hukum dalam Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia (Jakarta,: Puspantara, 2015), halaman 109.

19 Anggun Malinda, Perempuan dalam Sistem Peradilan Pidana (Tersangka, Terdakwa,

(28)

Dalam hukum acara pidana di Indonesia, proses penyelidikan terhadap seseorang tersangka merupakan hal yang sangat penting untuk menentukan ada atau tidaknya bukti atau peristiwa yang merupakan tindak pidana.20 Dengan demikian, hukum acara pidana harus merumuskan ketentuan mengenai koordinasi dan hubungan fungsional yang erat antara dua lembaga penegak hukum yang bertanggung jawab pada masalah ini yaitu penyidik dan penuntut umum.21 Sejarah hukum acara pidana di Indonesia, mencatat dari tanggal 17 Desember 1945 hingga 31 Desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur dalam

Herziene Inlands Reglement (HIR) atau diterjemahkan dengan

Reglemen Indonesia yang diperbarui (RIB S.1941 No.44). Selain HIR, peraturan mengenai hukum acara pidana yaitu Reglement op de

Rechterlijke Organisatie en het beleid der justitie (RO) yaitu peraturan

tentang Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan Pengadilan.22

Mengenai prapenuntutan, dalam HIR tidak mengatur hal tersebut dikarenakan penuntut umum juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan. Ketentuan tersebut yaitu Pasal 38-45 HIR/RIB menegaskan kejaksaan mempunyai tugas bukan hanya melingkupi penuntutan melainkan meluas juga pada bidang penyidikan. Artinya, antara penyidikan dan penuntutan tidak ada batasan sehingga tidak ada pemisahan antara kepolisian dan kejaksaan.

20 Topo Santoso, “Studi Tentang Hubungan Polisi dan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999), halaman 3.

22Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) halaman 48.

(29)

Menurut sistem Herziene Inlands Reglement (HIR), jaksa mempunyai tugas dan wewenang yang sangat menentukan (centralfigur) dalam pemeriksaan pendahuluan yang mencakup penyidikan, penyidikan lanjutan dan melakukan penuntutan. Pada masa ini jaksa diberi tugas dan wewenang selaku lembaga (badan atau dinas) negara yang dinamakan

openbaar ministeire (badan penuntut umum) yang mempunyai tugas

pokok antara lain:

1. Mempertahankan segala peraturan negara

2. Melakukan penuntutan terhadap segala tindak pidana

3. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang.23 Pemeriksaan pendahuluan merupakan pemeriksaan tahap penyidikan atau pemeriksaan sebelum diajukan di depan persidangan pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan dimaksudkan sebagai persiapan pemeriksaan di muka pengadilan, dan atas dasar pemeriksaan ini suatu tuntutan yang diajukan akan diputus oleh hakim. Tindakan pada pemeriksaan pendahuluan ini pertama-tama ditujukan pada pengumpulan alat-alat bukti. Alat-alat bukti yang dikumpulkan harus memungkinkan, sehingga penuntut umum dapat membentuk suatu permulaan keyakinan tentang hal-hal yang telah terjadi. Beberapa wewenang penuntut umum menurut HIR adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan Pasal 46 ayat (1) HIR sebagai pegawai penuntut umum pada pengadilan negeri, jaksa karena jabatannya bertugas

23 Marwan Effendy, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008) halaman 64.

(30)

mengusut dengan seksama, segala kejahatan dan pelanggaran serta menuntut agar si bersalah diadili oleh hakim;

2. Jika terdapat keterangan-keterangan yang cukup menunjukkan bahwa tersangka itu bersalah sedangkan untuk kepentingan atau pemeriksaan perkaranya itu perlu ditahan, atau untuk menghindarkan ia akan mengulangi perbuatannya itu, atau menjaga supaya ia tidak melarikan diri, maka jaksa dalam hal-hal tersebut berdasarkan Pasal 75 ayat (1) HIR dapat memerintahkan supaya tersangka itu ditahan;

3. Jaksa dapat dengan seijin hakim menggeledah rumah, bahkan dapat pula melakukan pemeriksaan surat-surat sesuai dengan Pasal 77 dan Pasal 78 HIR;

4. Dalam hal kedapatan tertangkap tangan, maka jaksa memerintahkan supaya orang yang diduga bersalah, agar ditahan dan dibawa kepadanya. Apabila dari keterangannya menunjukkan bahwa ia bersalah terhadap perbuatannya itu jaksa diperbolehkan mengadakan penahanan sementara, yang selanjutnya mengeluarkan perintah penahanan sementara, demikian menurut ketentuan Pasal 64 HIR;

5. Berdasarkan Pasal 53 HIR pejabat kepolisian yang melakukan penyidikan bertindak sebagai pembantu jaksa (hulp magistraat), sehingga apabila antara polisi dan jaksa bersamaan mengusut

(31)

perkara, maka polisi menghentikan penyidikannya dan diserahkan ke jaksa.24

Bila jaksa berpendapat bahwa hasil penyidikan perkara telah lengkap, maka ia dapat memutuskan apakah ia akan mengesampingkan perkara (deponering) atau menuntut perkara itu di hadapan pengadilan. Dalam hal akan melakukan penuntutan maka dikirimnya berkas perkara itu kepada ketua Pengadilan Negeri setempat. Pada waktu berlakunya HIR khususnya di Jawa dan Madura (untuk luar jawa berlaku Rbg) kedudukan jaksa hanya sebagai adjust magistraat sedangkan penuntut umumnya magistraat tetap di tangan asisten resident.25 Sikap dan praktek demikian tidak lepas dari latar belakang kolonialisme pada masa lalu.

2.2.2 Tinjauan tentang Prapenuntutan dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia.

Dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia, istilah mengenai prapenuntutan merupakan salah satu kewenangan penuntut umum dalam KUHAP sesuai Pasal 14 huruf b. Pasal 14 KUHAP menyatakan bahwa penuntut umum mempunyai wewenang:

a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

24 Herziene Inlands Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB). 25 Yulya Arisma, “Penyelesaian Perkara Pidana Pada Tahap Pra Penuntutan” Laporan Penelitian, Universitas Sumatera Utara, 2012.

(32)

c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d. membuat surat dakwaan;

e. melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g. melakukan penuntutan;

h. menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

j. melaksanakan penetapan hakim.26

Pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi sebagaimana tertulis pada Pasal 110 ayat (3) disebut prapenuntutan dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, dan merupakan kewenangan penuntut umum dalam rangka penyempurnaan berkas berkara untuk selanjutnya dilakukan penyidikan tambahan oleh penyidik.

2.2.3 Tinjauan tentang Prapenuntutan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) Tahun 2012 di Indonesia.

Dewasa ini Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia sedang dalam proses perubahan. Perubahan ini melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), yang telah disiapkan oleh pemerintah. RKUHAP diharapkan dapat menggantikan KUHAP yang diundangkan pada tanggal 31 Desember tahun 1981. Disebut proses perubahan Sistem Peradilan Pidana (SPP), karena RKUHAP nantinya

(33)

tidak saja sekedar penggantian undang-undang saja, tetapi juga akan membangun suatu Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang diharapkan mampu merespon setiap permasalahan peradilan saat ini, sekaligus dapat mengantisipasi perkembangan hukum acara pidana sesuai tuntutan perubahan ke depan.

Dalam RKUHAP Tahun 2012, ada perubahan dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) dengan adanya hakim pemeriksa pendahuluan (HPP). Dalam konsep lama RKUHAP yaitu RKUHAP Tahun 2011, hakim pemeriksa pendahuluan (HPP) ini disebut dengan “hakim komisaris”. Hakim pemeriksa pendahuluan (HPP) yang dalam rancangan awal RKUHAP sebagai hakim komisaris, mempunyai kewenangan untuk menetapkan atau memutuskan:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan;

b. Pembatalan atau penangguhan penahanan;

c. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwadengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;

d. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti;

e. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah;

f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh advokat;

g. Bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah;

h. Penghentian penyidikan atau penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;

i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan;

j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan yang diuraikan di atas pada dasarnya adalah hakim yang bertugas di pengadilan negeri.27

27 Sekretariat Negara Indonesia, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, RUU Nomor ... Tahun 2012, LN Tahun ... Nomor ..., TLN Nomor ..., Pasal 111 ayat (1).

(34)

Untuk dapat diangkat sebagai hakim pemeriksa pendahuluan, hakim harus memiliki pengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun. Sebagai hakim pemeriksa pendahuluan masa jabatannya untuk dua tahun dan dapat diangkat lagi untuk satu kali masa jabatan lagi. Selama bertugas sebagai hakim pemeriksa pendahuluan, hakim yang bersangkutan dibebastugaskan sebagai hakim pengadilan negeri untuk sementara waktu dan dapat kembali sebagai hakim biasa setelah jabatannya berakhir.28 HPP juga berwenang memberi masukan BAP kepada penyidik, sebagai keterangan dari alat bukti dengan standar diindikasikannya telah ada “bukti permulaan”.

Terkait dengan prapenuntutan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) Tahun 2012, dalam RKUHAP Tahun 2012, tidak mengenal istilah prapenuntutan. Namun dalam perluasan RKUHAP Tahun 2012 ini, tetap ada penyidikan tambahan yang dilakukan oleh penyidik apabila penuntut umum berpandangan bahwa berkas perkara yang diserahkan kurang lengkap sesuai Pasal 46 ayat (3) RKUHAP Tahun 2012. Perbedaan antara RKUHAP Tahun 2012 dengan KUHAP adalah dalam hal bentuk koordinasi yang semakin di perjelas dalam RKUHAP. Pada Pasal penjelas, yakni Pasal 13 ayat (2) RKUHAP Tahun 2012 menyatakan bahwa: “Pelaksanaan koordinasi dan konsultasi dari penyidik kepada penuntut umum serta petunjuk dari penuntut umum kepada penyidik dapat dilakukan secara langsung, baik

28 Jurnal Teropong, “Pembaharuan Hukum Acara Pidana”, Vol. 1, 1 Agustus 2014, halaman 15.

(35)

tertulis maupun lisan yang dapat dilakukan dengan telepon, faksimili, e-mail atau alat elektronik yang lain.” Hal tersebut memberikan pengertian lebih spesifik terkait dengan pelaksaan koordinasi dari penyidik kepada penuntut umum sebagai lembaga yang berperan dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP).

Dengan demikian, RKUHAP diharapkan bisa menjadi hukum yang di cita-citakan sebagai berjalannya sistem peradilan pidana di Indonesia, terkait dengan prapenuntutan agar supaya tetap menjamin hak-hak dari seorang tersangka dan terdakwa. Berkas yang selama ini berhenti di penyidikan akibat dari adanya kurang koordinasi dari kedua lembaga tersebut dapat terselesaikan terkait dengan penyidikan tambahan.

2.2 Tinjauan Tentang Kewenangan Penyidik, dan Kewenangan Kejaksaan. 2.2.1 Tinjauan Tentang Kewenangan Penyidik.

Pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, yang berwenang melakukan penyidikan adalah penyidik sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yang berbunyi: “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.” Adapun arti penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP berbunyi : “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Selain

(36)

penyidik, ada juga yang disebut dengan penyidik pembantu yang terdapat pada Pasal 1 angka 3 KUHAP yang berbunyi: "Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang ini.” Dari definisi penyidik dalam KUHAP, dapat dipahami bahwa penyidik itu merupakan pejabat kepolisian, dan juga pejabat pegawai negeri sipil (PNS) tertentu yang memang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Dalam ketentuan lain yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 14 ayat (1) huruf g, kepolisian bertugas: Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Ini artinya, Polri berwenang untuk bertindak sebagai penyelidik dan penyidik dalam tindak pidana umum dan tindak pidana khusus lainnya.

Sejalan dengan ketentuan penyidikan tersebut, Alfitra menyatakan bahwa hasil penyidikan haruslah diusahakan selengkap mungkin, sehingga berkas perkara dapat dikatakan sebagai berkas perkara lengkap. Kelengkapan ini meliputi kelengkapan pemeriksaan penyidikan yang penting untuk mendapat perhatian. Kekuranglengkapan dari hasil penyidikan setelah diteliti oleh penuntut umum bukan tidak mungkin akan dikembalikan kepada penyidik yang bersangkutan. Pada tahap prapenuntutan, penuntut umum dapat dapat mengembalikan berkas perkara hasil penyidikan yang dilakukan penyidik bila terjadi

(37)

kekurangan dalam berkas perkara tersebut sepanjang penuntut umum belum menyatakan lengkap.

Lain halnya masa berlakunya Herzien Inlandsch Reglement (HIR), jika terdapat kekurangan dalam kelengkapan berkas perkara dapat dilengkapi oleh Penuntut Umum. Hal ini disebabkan pada saat sebelum berlakunya KUHAP, Penuntut Umum mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan lanjutan. 29

2.2.2 Tinjauan Tentang Kewenangan Kejaksaan.

Pada hakikatnya salah satu prinsip perlindungan hukum adalah asas persamaan di depan hukum (equality before the law) merupakan salah satu ciri negara hukum. Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, pada hakikatnya kekuasaan penuntutan hanya terdapat pada satu lembaga yang berwenang melaksanakan yaitu lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Apabila dalam penyidikan, banyak lembaga lain yang mempunyai kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang, maka kewenangan untuk menjalankan penuntutan terhadap semua tindak pidana yang masuk dalam lingkup Peradilan Umum hanya dapat dilakukan oleh Kejaksaan.30

Ketentuan tentang penyidikan dan penuntutan dalam KUHAP menunjukkan hubungan yang erat antara penyidikan (penyidik) dengan penuntutan (jaksa/penuntut umum). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyidikan merupakan kegiatan untuk mengumpulkan alat bukti mengenai adanya satu tindak pidana beserta pelaku tindak pidana

29 Alfitra, Op.Cit.., halaman 10.

30 Tina Asmarawati, Pidana dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitensier), Ed. 1 Cet. 2 (Yogyakarta : Deepublish, 2015), halaman 1.

(38)

tersebut, sementara penuntutan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk mempertanggung jawabkan hasil dari kegiatan penyidikan di forum pengadilan.

Mengenai kewenangan kejaksaan, diatur dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). Mengenai wewenang kejaksaan terdapat beberapa bidang di antaranya bidang pidana, perdata, dan tata usaha negara serta bidang kertertiban dan kesejahteraan umum namun peneliti hanya akan membatasi pada persoalan dalam bidang pidana saja. Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam bidang pidana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) BAB III Bagian Pertama Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang tertulis:

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim, dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang.

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya di koordinasikan dengan penyidik.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) BAB III Bagian Pertama Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa tugas dan kewenangan kejaksaan sangat menentukan dalam membuktikan apakah seseorang atau korporasi terbukti melakukan suatu tindak pidana atau tidak. Selain tugas dan

(39)

kewenangan yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) di atas, dimungkinkan pula kejaksaan diberikan tugas dan wewenang tertentu berdasarkan Undang yang lain. Hal ini diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi: “Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.”

Pengaturan mengenai pengembalian berkas perkara juga diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:

PER-036/A1JAl09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP)

Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, Pasal 11 dijelaskan bahwa "Dalam hal Penuntut Umum menerima kembali berkas perkara yang sebelumnya dinyatakan belum lengkap, tetapi tidak dilengkapi sesuai petunjuk, padahal hal tersebut berpengaruh terhadap pembuktian di persidangan, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik."31 Pengembalian berkas perkara setelah lebih dari tiga kali,

penuntut umum harus memberikan petunjuk kepada penyidik agar penyidik menentukan sikap sesuai dengan fakta hukurn yang ditemukan dalarn penanganan perkara tersebut sebagaimana petunjuk sebelumnya.

2.3 Tinjauan tentang penangkapan dan penahanan dalam KUHAP.

Dasar hukum atas penangkapan/penahanan, dan pembatasan jangka waktu penahanan, yaitu adalah setiap tindakan penangkapan/penahanan yang

31 Jaksa Agung Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Tentang

Standar Operasional Prosedur (SOP)Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, Nomor : PER

(40)

dilakukan terhadap tersangka/terdakwa yang kemudian harus didasarkan pada bukti yang cukup bahwa orang tersebut melakukan tindak pidana yang menurut ketentuan hukum yang berlaku dapat dikenakan penahanan serta berdasarkan kepentingan penyidikan dikhawatirkan tersangka melarikan diri dan atau merusak/menghilangkan bukti atau mengulangi melakukan tindak pidana.32 Definisi mengenai penangkapan menurut Pasal 1 angka 20 KUHAP bahwa: Suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.33

Lebih lanjut, diatur pada BAB V bagian kesatu mengenai penangkapan dalam Pasal 17 KUHAP diatur bahwa: Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.34 Dalam penjelasan Pasal 17 KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 14 KUHAP. Adapun Pasal 1 angka 14 KUHAP menjelaskan mengenai definisi tersangka sebagai seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Jangka waktu penahanan dalam tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung, diatur dalam Pasal 24 KUHAP sampai dengan Pasal 29 KUHAP, dengan perincian sebagai berikut:

32 Hma Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum (Malang : UMM Press, 2010), halaman 2.

33 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Op.Cit., Pasal 1 angka 20.

(41)

Tingkat Penahanan Pihak yang Berwenang Melakukan Penahanan Dasar Hukum Maksimal Jangka Waktu Penahana n Perpanjanga n Jangka Waktu Penahanan Penyidikan Penyidik, dapat diperpanjan g oleh penuntut umum Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) KUHA P 20 hari 40 hari Penuntutan Penuntut umum, dapat diperpanjan g oleh ketua pengadilan negeri Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) KUHA P 20 hari 30 hari Pemeriksaa n di Pengadilan Negeri Hakim pengadilan negeri, dapat diperpanjan g oleh oleh ketua pengadilan negeri Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) KUHA P 30 hari 60 hari Pemeriksaa n di Pengadilan Tinggi Hakim pengadilan tinggi, dapat diperpanjan g oleh ketua pengadilan tinggi Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) KUHA P 30 hari 60 hari Pemeriksaa n di Pengadilan Tingkat Kasasi Hakim Mahkamah Agung, dapat diperpanjan g oleh Ketua Mahkamah Agung Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) KUHA P 50 hari 60 hari

(42)

2.4 Tinjauan Tentang Hak Tersangka dan Hak Terdakwa

Setiap manusia yang hidup di dunia memiliki hak dari lahir hingga manusia itu meninggal dunia. Secara universal, masyarakat dunia mengakui bahwa setiap manusia mempunyai sejumlah hak yang menjadi miliknya sejak keberadaannya sebagai manusia diakui, sekalipun manusia itu belum dilahirkan ke dunia ini. Hak-hak yang paling fundamental adalah aspek-aspek kodrat manusia atau kemanusian itu sendiri. Kemanusiaan setiap manusia merupakan ide yang luhur dari Sang pencipta yang menginginkan setiap orang berkembang dan mencapai kesempurnaannya sebagai manusia. Oleh karena itu, setiap manusia harus dapat mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga dapat terus berkembang secara leluasa.

Disebutkan dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Artinya, dalam Pasal tersebut terkandung pengertian bahwa implementasi hanya dapat dilakukan dengan penegakan supremasi hukum bagi setiap lapisan masyarakat, tanpa memandang agama, ras, kedudukan, dan lain sebagainya.

KUHAP memberikan perhatian pada hak tersangka dan terdakwa dibandingkan dengan HIR. KUHAP telah mengatur secara jelas, dan tegas hal-hal yang berkaitan hak-hak tersangka (Pasal 50 sampai Pasal 68 KUHAP), dan setiap pihak wajib menghormati hak-hak tersangka tersebut. Adapun hak-hak

(43)

mengenai tersangka, peneliti akan memberikan beberapa ulasan sebagai berikut :

a. Hak Prioritas Penyelesaian Perkara

Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 50 KUHAP yang berbunyi :

(1) Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik selanjutnya dapat diajukan ke Penuntut Umum.

(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke Pengadilan oleh Penuntut Umum.

(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh Pengadilan.

Pasal tersebut menginginkan proses penyelesaian perkara ditangani dengan cepat sehingga semuanya bisa dituntaskan dalam waktu yang singkat. Terkait dengan prapenuntutan pada Pasal 110 ayat (3) mengenai kata “segera” tentunya akan menimbulkan penafsiran yang berbeda, sehingga akan terjadi pelanggaran terhadap hak tersangka dan terdakwa pada Pasal 50 ayat (2), dan (3).

b. Hak Persiapan Pembelaan.

Hak ini didasarkan pada Pasal 51 KUHAP huruf a, yang berbunyi : Untuk mempersiapkan pembelaan :

a. Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.

dalam KUHAP, apabila tidak dibatasi waktu pengembalian berkas perkara

(44)

c. Hak Memberi Keterangan Secara Bebas

Sebagai bukti bahwa hak untuk memberikan keterangan secara bebas dijamin oleh hukum, terdapat dalam ketentuan Pasal 52 KUHAP yang berbunyi, sebagai berikut: “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan tersangka atau terdakwa berhak memberi keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.

d. Hak Mendapatkan Juru Bahasa

Tidak semua pelaku tindak pidana atau tersangka bisa berkomunikasi dengan baik dan dapat mengerti apa yang dikatakan penyidik maupun penuntut umum. Untuk mengatasi hal tersebut maka Negara sudah sepatutnya menyediakan juru bahasa bagi mereka yang tidak bisa memahami bahasa yang digunakan selama penyidikan maupun selama sidang. Dasar hukum terhadap hak ini adalah Pasal 53 KUHAP yang berbunyi :

(1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidik dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapatkan bantuan juru Bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177.

(2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178.

e. Hak Mendapatkan Bantuan Hukum

Dasar hukum terhadap hak ini adalah Pasal 54 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat permeriksaan, menuirut tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang.”

(45)

f. Hak Memilih Sendiri Penasehat Hukumnya

Tujuan hak ini untuk mendapatkan penasihat hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 54 KUHAP tersangka dibolehkan untuk menentukan dan memilih sendiri penasehat hukumnya sesuai dengan keinginannya.

(46)

34 BAB III

METODE PENELITIAN 3.5 Jenis/ Tipe Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis/tipe penelitian hukum doktrinal/penelitian yuridis normatif dalam mengkaji dan menelusuri norma-norma serta peraturan-peraturan yang mengatur tentang prapenuntutan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jenis/tipe penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian berdasarkan bahan hukum menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema penelitian ini, yaitu kata “segera” dalam prapenuntutan hukum acara pidana di Indonesia.

3.6 Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Spesifikasi penelitian deskriptif analitis, yaitu menguraikan hasil-hasil penelitian sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang akan dicapai serta menganalisanya dari segi peraturan perundangan yang berlaku/menggambarkan peraturan perundangan yang berlaku dikaitkan dengan teori – teori hukum dan peraturan lama maupun rancangan perundang-undangan, kemudian dikaitkan dalam praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas.35 Deskriptif ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis

35 Moch Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008), halaman 84. 3.1

(47)

dan menyeluruh mengenai hal yang berkaitan dengan kata “segera” pada Pasal 110 ayat (3) mengenai prapenuntutan dalam KUHAP. Analitis di sini mengandung makna mengelompokkan, menghubungkan, menjelaskan dan memberi makna pada pokok permasalahan yang akan dianalisis sehingga dapat memberikan pemahaman yang jelas terhadap permasalahan kata “segera” pada Pasal 110 ayat (3) mengenai prapenuntutan dalam KUHAP.

3.7 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan pengumpulan data sekunder, “Data yang dikumpulkan dapat diperoleh dari literatur dengan cara mengutip.”36 Data sekunder merupakan data yang umumnya telah dalam keadaan

siap terbuat (ready mode). Pengumpulan data dengan melakukan kegiatan kepustakaan, dengan mempelajari prapenuntutan dalam Hukum Acara Pidana dan peraturan lain yang mengatur mengenai prapenuntutan di luar KUHAP. Peneliti juga menggunakan pengumpulan data primer berupa wawancara sebagai data pendukung data sekunder.

Adapun sumber data berupa data sekunder yang biasa digunakan dalam penelitian hukum normatif terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–

36 Adi Rianto, Aspek Hukum dalam Penelitian. Ed.1, Cet. 1 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), halaman. 4.

(48)

undangan, dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang peneliti gunakan di dalam penulisan ini yakni:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana.

c. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002.

d. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004.

e. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kekuasaan Kehakiman, Nomor 48 Tahun 2009.

f. Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

g. Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkap No. 14 Tahun 2012).

h. Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pengawasan Penyidikan Tindak Pidana.

i. Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-036/A1JAl09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.

j. Herziene Inlands Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB).

(49)

k. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) Tahun 2012.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Bahan sekunder disini oleh peneliti adalah doktrin– doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet,37 yang berkaitan dengan prapenuntutan dalam KUHAP.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh peneliti adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Hukum, dalam kaitannya dengan prapenuntutan dalam KUHAP.38

3.8 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Tahap analisis data dilakukan melalui proses mendengar, membaca, dan mempelajari data yang terkumpul, dan kemudian mencari hubungan antara data-data yang diperoleh dengan konsep dan teori. Data yang diperoleh kemudian

37 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), halaman 93.

38 Ibid.

(50)

dideskripsikan oleh peneliti menggunakan teknik deskriptif dalam menguraikan kondisi, teknik argumentatif yang penilaiannya didasari alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum, dan teknik evaluatif dalam penelitian sehingga menjadi penelitian yang akurat dapat memunculkan gagasan yang solutif dalam rangka perbaikan hukum yang ada.39 Dari deskripsi tersebut, kemudian peneliti menganalisa data tersebut sehingga memberikan kesimpulan yang jelas terkait dengan kata “segera” pada Pasal 110 ayat (3) mengenai prapenuntutan dalam KUHAP.

39 Tahapan analisis data penelitian kualitatif, “tahap-tahap analisi kualitatif”, (online),

(https://bersukacitalah.wordpress.com/tag/tahap-tahap-analisis-kualitatif/), (diakses pada hari Minggu, 19 November 2017), 2016.

(51)

39 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.3. Prapenuntutan Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia.

Pengertian hukum acara pidana menurut ahli, Mochtar Kusuma Atmadja ialah suatu peraturan hukum yang berhubungan dengan tindak pidana yang mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya suatu hukum materiil. Hukum pidana formil sendiri memproses suatu proses hukum menghukum seseorang yang telah dituduh melakukan tindak pidana.40 Sumber dalam hukum pidana meliputi hukum

pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil di Indonesia adalah KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang memuat:

1. Aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana.

2. Aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana.

3. Ketentuan mengenai pidana.41

Hukum pidana formil di Indonesia adalah KUHAP, yakni suatu peraturan hukum yang berhubungan dengan tindak pidana yang mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya suatu hukum materiil, seperti yang telah di jelaskan oleh ahli Mochtar Kusuma Atmadja.42

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran meteriil, yakni kebenaran yang

40 Hukum Acara Pidana, “Tesis Hukum“, (online), (

http://tesishukum.com/pengertian-hukum-acara-pidana-menurut-para-ahli/, diakses pada 12 Desember 2017), 2014. 41 Law Community, “Hukum Pidana”, (online),

(https://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-pidana/ , diakses pada hari Rabu, 3 Januari 2018), 2015.

42 Ibid. 4.1

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat bahwa ada banyak aturan-aturan hukum yang menormakan bahwa sejatinya Negara Indonesia melindungi anak-anak beserta hak-haknya agar tidak dieksploitasi

Hasil analisis terhadap pretest dan posttest dengan wilcoxontest menunjukkan bahwa Z = 1,445 dan Sig (2-tailed) bernilai 0,148 > 0,05, maka dapat disimpulkan

 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2005 – 2025 yang selanjutnya disebut sebagai RPJP Daerah adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode

Untuk kajian ini, penyelidik memilih untuk menggunakan soal selidik strategi pembelajaran bahasa seperti yang dijelaskan oleh Alwahibee (2000) dimana strategi

Berdasarkan observasi pada pembelajaran IPA Fisika khususnya materi Pesawat Sedehana di MTsN 1 Pidie Jaya, di temukan bahwa metode guru dalam pembelajaran

Tesis dengan judul ”Manajemen Kepala Madrasah Dalam Meningkatkan Layanan Bimbinga Karir Siswa (Studi Multi Kasus di MAN Kunir Wonodadi Blitar dan MA Ma’arif Udanawu Blitar) ”

Riana Lutfitasari / A210120041, Pengaruh Kompetensi Akuntansi dan Pengalaman Praktik Kerja Industri Terhadap Kesiapan Kerja Siswa Kelas XI Program Keahlian Akuntansi SMK

Pada tahap pertama yaitu eksplorasi konsep, dijelaskan bahwa berdasarkan perumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya, dilakukan studi literatur mengenai konsep yang