• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan tentang Wakaf

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Wakaf

a. Pengertian Wakaf

Menurut bahasa, wakaf berasal dari kata bahasa arab “waqafa” yang

berarti menahan atau berhenti di tempat. Ada berbagai pengertian wakaf yang telah dikenal masyarakat Indonesia, baik menurut bahasa, istilah,

maupun ahli fiqh. Pengertian wakaf menurut bahasa Arab berarti “

al-habsu”, yang berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan, menjauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan. Kemudian kata ini berkembang

menjadi “habbasa” dan berarti mewakafkan harta karena Allah (Adijani

al-Alabij, 1989: 23).

Wakaf menurut istilah, berdasar pendapat Basjir Azhar yang juga dikutip Farid Wasjdy dan Mursyid dalam buku Wakaf dan Kesejahteraan Umat (2007:29), wakaf adalah penahanan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah.

Secara harfiah wakaf bermakna “pembatasan” atau larangan, dalam Islam, kata wakaf dimaksudkan pemilikan atau pemeliharaan harta benda tertentu untuk diambil manfaat sosial tertentu dan agar mencegah penggunaan harta wakaf tersebut di luar tujuan yang telah ditetapkan.

Abu Bakar Jabir Al-Jazairi mengartikan wakaf sebagai penahanan harta sehingga harta tersebut tidak diwarisi, atau dijual, atau dihibahkan dan mendermakan hasilnya kepada penerima wakaf (Farid Wadjdy dan Mursyid, 2007: 30).

Abu Hanifah mendefinisikan wakaf sebagai penahanan pokok suatu harta dalam tangan pemilikan wakif dan hasil pemilikan barang itu digunakan untuk tujuan amal shaleh.

commit to user

Dalam buku-buku fiqh, para ulama fiqh berbeda-beda dalam memberi pengertian wakaf, perbedaan tersebut memberi akibat hukum yang berbeda pula terhadap akibat hukumnya. Menurut ahli fiqh Hanafiyah, wakaf adalah menahan materi benda dan menyedekahkan manfaatnya kepada siapapun untuk tujuan kebajikan. Akibat hukumnya wakif tetap menjadi pemilik harta, sedangkan yamg diwakafkan adalah manfaatnya. Malikiyah berpendapat, wakaf adalah memanfaatkan harta yang dimiliki (walau harta tersebut pemilikannya diperoleh dengan cara sewa) untuk diberikan pada orang yang berhak dengan jangka waktu tertentu. Definisi tersebut hanya menentukan pemberian wakaf hanya kepada orang atau tempat yang berhak saja. Syafi`iyah berpendapat wakaf adalah menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki wakif untuk diserahkan kepada nazhir yang diperbolehkan oleh syariah. Akibat hukumnya, harta yang diwakafkan adalah harta yang bersifat kekal materi bendanya, tidak mudah rusak atau musnah dan dapat diambil manfaatnya secara terus-menerus. Hanabilah mendefinisikan wakaf yaitu perbuatan menahan harta dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan.

Dalam peraturan pemerintah terdahulu yaitu PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik pada Pasal 1 ayat (1) terdapat pengertian wakaf yaitu perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaan berupa tanah milik untuk selama-lamanya guna kepentingan peribadatan atau keperluan umum sesuai ajaran Islam.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 sendiri telah mengatur definisi wakaf sebagai berikut : “Wakaf adalah perbuatan wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kasejahteraan umum menurut syariah”.

commit to user

Berdasarkan para ahli dan peraturan hukum yang memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai wakaf, dapat ditarik kesimpulan bahwa eksistensi benda wakaf haruslah bersifat tetap, artinya walau faedah harta itu telah diambil, namun benda yang diwakafkan tersebut masih tetap ada selama-lamanya, sedangkan hak pemilikannya berakhir dan berpindah ke tangan Tuhan. Jadi maksudnya wakaf dipersembahkan wakif (pewakaf) untuk tujuan amal guna mendapat keridhaan Tuhan (Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam: 1997).

Tujuan wakaf tersebut sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum (http://www.bwi.or.id).

b. Landasan Hukum Wakaf

Landasan hukum wakaf tidak terdapat secara jelas di dalam Al-Quran, namun beberapa ayat Al-Quran yang memberi petunjuk dapat dijadikan rujukan berdasar keumuman sifat ayat yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Ayat-ayat tersebut adalah:

1) Al-Baqarah:267 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”.

2) Ali Imran:92 yang artinya:

“Kamu sekali-sekali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai”.

3) Al Hajj:77 yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, rukuk dan sujudlah kamu dan sembahlah Tuhanmu serta berbuatlah kebaikan supaya kamu berbahagia ”.

commit to user

4) Al Baqarah:261 yang artinya:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui”.

Tidak hanya bersumber dari ayat Al-Quran, dasar hukum wakaf juga ada yang berasal dari hadist, yaitu:

1) Hadist Riwayat Al-Jamaah dari Ibnu Umar

”Dan dari Ibnu Umar, bahwa Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia bertanya: “Ya Rasulullah! Aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, suatu harta yang belum pernah kudapat sama sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang hendak Engkau perintahkan padaku?” maka Nabi menjawab, ”jika engkau suka, tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya,” Lalu Umar menyedekahkannya dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh diberikan, dan tidak boleh diwarisi, yaitu untuk orang-orang fakir, untuk keluarga dekat, untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk menjamu tamu, dan untuk orang yang keputusan bekal dalam perjalanan (Ibnu Sabil); dan tidak berdosa orang yang mengurusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik dan dalam satu riwayat dikatakan: dengan syarat jangan dikuasai pokoknya”.

2) Hadist Riwayat An-Nasai dan Turmudzi dari Ustman

“Dan dari Ustman, bahwa Nabi SAW pernah datang ke Madinah, sedangkan di Madinah ketika itu tidak ada air tawar kecuali sumur rumah, lalu ia bersabda, ”Siapakah yang mau membeli sumur rumah lalu ia memasukkan timbanya ke dalam sumur itu bersama timba-timba kaum Muslimin yang lainnya, dia akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari tulang punggung hartaku”(hadist ini hasan).

commit to user

3) Hadist Riwayat Ahmad dan Bukhari dari Abi Hurairah

“Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa menahan kuda untuk sabilillah dengan iman dan ihtisab (mengharap pahala), maka tubuh kuda, kotoran dan kencingnya menjadi timbangan kebaikannya”.

4) Hadist Riwayat Abu Dawud dari Ibnu Abbas

“Dari Ibnu Abbas, ia berkata, ”Rasulullah SAW berkehendak melakukan ibadah haji, seorang istri berkata kepada suaminya, ”hajikan saya bersama Rasulullah, dan suami menjawab, aku tidak punya sesuatu untuk menghajikanmu. Si istri berkata, hajikan saya dengan untamu. Si suami menjawab, itu adalah penahan harta untuk jalan Allah. ”Suami datang kepada Rasulullah, Rasulullah SAW bersabda, ”Adapun engkau, jika engkau hajikan dia dengan untamu, itu adalah fi sabilillah.”

Perjalanan panjang keberadaan wakaf di Indonesia tercermin dalam peraturan perundangan yang keberadaannya mengawali sekaligus menlandasi pengaturan wakaf dan pengelolaannya secara formal.

1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 29 ayat (1) memberi isyarat bahwa “Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan

Tanah Milik.

3) Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Perwakafan

Tanah Milik.

4) Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978 tentang

Pendelegasian Wewenang Kepala-Kepala Kantor Wilayah

Departemen Agama/Provinsi/setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat setiap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).

5) Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor

commit to user

Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Instruksi ini ditujukan kepada Gubernur dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi se-Indonesia.

6) Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D.II/5/Ed/11/1981

tanggal 16 April 1981 tentang Petunjuk Pemberian Nomor Pada Formulir Perwakafan Tanah Milik.

7) Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D.II/5/Hk/901/1989

tentang Petunjuk Perubahan Status Tukar-Menukar Tanah Wakaf.

8) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

9) SKB antara Departemen Agama dan Badan Pertanahan Nasional

tanggal 19 Oktober 2004 Nomor 422 Tahun 2004 tentang Percepatan Sertifikasi Tanah Wakaf.

Perwakafan di Indonesia apabila ditinjau dari aspek historis, umumnya berobyek tanah, sehingga tidak heran bila peraturan perundang-undangan yang ada mengatur tanah saja, hal ini terlihat dari UUPA Nomor 5 Tahun 1960 dan PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Ditinjau dari aspek teologis adalah Allah SWT dalam agama Islam mengajarkan pada umatnya akan perwujudan keadilan sosial. Prinsip pemilikan harta dalam Islam adalah tidak dibenarkannya harta hanya dikuasai oleh sekelompok orang. Hal ini menimbulkan wakaf sebagai instrumen sosial dari teologi Islam.

Regulasi wakaf berupa Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 mengenai Perwakafan Tanah Milik dan Kompilasi Hukum Islam belum secara utuh mengatur permasalahan-permasalahan wakaf misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 mengenai Perwakafan Tanah Milik yang substansinya hanya berkisar pada harta wakaf berupa tanah milik. Belum adanya peraturan mengenai benda wakaf dalam bentuk benda bergerak yang pada masa ini justru menjadi variabel penting dalam pengembangan ekonomi. Belum adanya instrumen hukum yang jelas

commit to user

menyebabkan perwakafan Indonesia sulit dikembangkan. Hal ini yang menjadikan kehadiran Undang-Undang Wakaf sangat urgen di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim.

Wakaf merupakan lembaga amal yang bersumber dari hukum Islam, walaupun lembaga wakaf ini bersumber dari hukum Islam, namun bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sudah mengenal dan mengetahui lembaga wakaf sebagaimana yang diatur hukum Islam semenjak sebelum merdeka. Oleh karena itu, pihak pemerintah kemudian menetapkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan untuk melengkapi undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.

c. Ruang Lingkup Wakaf

1) Dalam fikih Islam, ada 4 unsur atau rukun yang harus dipenuhi dalam

berwakaf, yaitu: waqif (orang yang berwakaf), al-mauquf (harta yang akan diwakafkan), al-mauquf alaih (pihak yang akan menerima wakaf) dan sighat (lafal atau ikrar wakaf).

2) Selain rukun sebagai unsur pokok yang harus dipenuhi, terdapat juga

beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu:

a) Syarat wakif

(1) Orang yang berwakaf memiliki secara penuh harta tersebut,

dan berwakaf secara sukarela.

(2) Orang tersebut berakal, tidak sah wakaf orang yang gila,

bodoh, atau mabuk.

(3) Baligh.

(4) Orang tersebut mampu bertindak secara hukum (rasyid).

b) Syarat mauquf

(1) Harta wakaf tidak sah dipindahmilikkan, kecuali telah

memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

(2) Harta yang diwakafkan adalah barang berharga/bermanfaat

commit to user

(3) Diketahui kadarnya, jadi apabila tidak diketahui jumlahnya

(majhul) maka pengalihan kepemilikan harta ketika itu tidak sah.

(4) Harta yang diwakafkan adalah milik sah wakif, tidak melekat

pada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah

ghaira shai`.

c) Syarat al-mauquf alaih

Dari segi klasifikasi, ada 2 pihak yang menerima wakaf, yaitu:

(1) Tertentu (mu`ayyan), yaitu bahwa jelas orang yang menerima

wakaf itu adalah seseorang, atau dua orang, atau kumpulan,

yang semuanya tidak boleh dirubah. Syaratnya adalah ahlan li

al-tamlik, jadi orang muslim, merdeka, dan kafir zimmi boleh memiliki harta wakaf ini. Adapun orang bodoh, hamba sahaya dan orang gila, tidak sah menerima wakaf.

(2) Tidak tertentu (ghaira mu`ayyan), yaitu bahwa penerima

wakaf tersebut dapat menjadikan wakaf untuk kebaikan, sehingga dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah, dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.

d) Syarat sighah

Syarat shigah berkaitan dengan ucapan, dan

memerlukan beberapa syarat, yaitu:

(1) Kata-kata tersebut harus mengandung kekalnya wakaf (ta`bid),

tidak sah wakaf kalau ada batas waktu tertentu.

(2) Ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz) tanpa

digantungkan atau disangkutkan pada syarat tertentu.

(3) Ucapan shigah bersifat pasti.

(4) Ucapan shigah tidak diikuti syarat yang membatalkan.

Apabila semua syarat telah dipenuhi, maka penguasaan wakaf atas penerima wakaf adalah sah. Wakif tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta (http://www.bwi.or.id).

commit to user

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, unsur wakaf sebagai berikut:

1) Wakif, adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Pasal 7

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 terdapat berbagai jenis yaitu wakif, perseorangan, organisasi dan badan hukum.

2) Nazhir, adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif

untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

3) Harta benda wakaf, adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama

dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.

4) Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakaf yang diucapkan secara

lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.

5) Peruntukan harta benda wakaf.

6) Jangka waktu wakaf.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 8, terdapat pula syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam berwakaf, antara lain:

1) Syarat wakif

a) Perseorangan, wakif perseorangan hanya dapat melakukan wakaf

apabila memenuhi persyaratan: dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, pemilik sah harta benda wakaf.

b) Organisasi, wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf

apabila memenuhi ketentuan organisasi yaitu mewakafkan mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.

c) Badan hukum, wakif badan hukum dapat melakukan wakaf

apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.

commit to user

2) Syarat Nazhir

Nazhir sebagai pihak yang menerima harta benda wakaf untuk dikelola dan dikembangkan sesuai peruntukannya sesuai Pasal 9 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 meliputi nazhir perseorangan, organisasi, badan hukum.

Persyaratan untuk menjadi Nazhir telah diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 baik untuk nazhir perseorangan, nazhir organisasi, maupun nazhir berupa badan hukum sebagai berikut:

a) Nazhir perseorangan sesuai Pasal 10 ayat (1) adalah calon nazhir

tersebut warga negara Indonesia, beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, tidak terlarang melakukan perbuatan hukum.

b) Nazhir organisasi sesuai Pasal 10 ayat (2) adalah pengurus

organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1), organisasi tersebut bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.

c) Nazhir badan hukum

Suatu badan hukum dapat menjadi nazhir badan hukum apabila telah memenuhi persyaratan sesuai Pasal 10 ayat (3) yaitu:

(1) Pengurusnya memenuhi persyaratan nazhir perseorangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(2) Badan hukum tersebut adalah badan hukum Indonesia yang

dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Badan hukum yang bersangkutan tersebut adalah suatu badan

hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakaan, dan/atau keagamaan Islam.

commit to user

3) Syarat Harta Benda Wakaf

Harta yang dapat diwakafkan adalah harta yang dimiliki dan dikuasai secara sah oleh wakif, ketentuan ini sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

4) Syarat Ikrar Wakaf

Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.

Dalam Undang-Undang Wakaf juga terdapat ketentuan yang lebih rinci mengenai tata cara pelaksanaan ikrar wakaf yang dimuat dalam Pasal 17-21, yaitu:

a) Pasal 17 ayat (1) menentukan pelaksanaan ikrar wakaf

dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 orang saksi.

b) Pasal 17 ayat (2) menyatakan bahwa ikrar wakaf dapat dinyatakan

baik secara lisan ataupun tulisan serta ikar tersebut haruslah dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.

c) Pasal 18 menyatakan apabila wakif tidak dapat menyatakan ikrar

wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, maka wakif tersebut dapat menunjukkan kuasa hukumnya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 orang saksi.

d) Pasal 19 mengatur pelaksanaan ikrar wakaf, di mana wakif atau

kuasanya harus menyerahkan surat dan bukti kepemilikan atas harta benda yang akan diwakafkan kepada PPAIW sebagai syarat pelaksanaan wakaf.

e) Pasal 20 merinci mengenai syarat saksi ikrar wakaf yaitu saksi

haruslah sudah dewasa, beragama Islam, berakal sehat, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

commit to user

f) Pasal 21 pada prinsipnya mengatur ketentuan mengenai akta ikrar

wakaf, yang dirinci dalam ayat-ayatnya, sebagai berikut: ayat (1) memuat ketentuan bahwa ikrar wakaf dimuat dalam bentuk akta wakaf; ayat (2) hal-hal yang dimuat dalam akta ikrar wakaf antara lain nama dan identitas wakif, data dan keterangan harta benda wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf; ayat (3) berisi ketentuan-ketentuan mengenai akta ikrar tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

5) Syarat Peruntukan Harta Benda Wakaf

Peruntukan harta benda wakaf dirinci dalam Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 sebagai berikut :

a) Pasal 22 merinci harta benda wakaf dalam rangka mencapai tujuan

dan fungsi wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi :

(1) Sarana dan kegiatan ibadah

(2) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan

(3) Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea

siswa

(4) Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat

(5) Kemajuan dan kesejahteraan umum lainnya yang tidak

bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.

b) Pasal 23 ayat (1) menjelaskan bahwa penetapan peruntukan harta

benda wakaf pada Pasal 22 dilakukan oleh wakif pada waktu pelaksanaan ikrar wakaf.

c) Pasal 23 ayat (2) menyatakan apabila wakif tidak menetapkan

peruntukan harta benda wakaf, nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.

6) Bentuk Wakaf

a) Bentuk wakaf ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa

wakaf tersebut ada dua macam:

(1) Wakaf Ahli yaitu wakaf yang ditujukan kepada pihak tertentu,

commit to user

berdasar hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. Wakaf ahli disebut

juga wakaf dzurri.

(2) Wakaf Khairi yaitu wakaf yang ditujukan untuk kepentingan

keagamaan atau kemasyarakatan (kebajikan umum).

Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf khairi lebih banyak

manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli (Fiqih Wakaf. Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf. Direktorat Bimas dan Penyelenggaraan Haji. Departemen Agama RI. 2003: Jakarta).

b) Bentuk wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

Menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, harta benda yang dapat diwakafkan terdiri dari benda tidak bergerak benda bergerak.

Sedangkan Pasal 16 ayat (2) merinci benda tidak bergerak yang dapat diwakafkan sebagai berikut:

(1) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun belum terdaftar.

(2) Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri di atas tanah

sebagaimana dimaksud ketrerangan di atas.

(3) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.

(4) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah

dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan benda tidak bergerak sebagaimana yang disebutkan dalam ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi uang, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda

commit to user

bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dokumen terkait