• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TERHADAP PENGELOLAAN WAKAF MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN TERHADAP PENGELOLAAN WAKAF MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

TINJAUAN TERHADAP PENGELOLAAN WAKAF MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004

TENTANG WAKAF

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat

Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta

Oleh :

RATNA DUMILAH

E.0003034

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

TINJAUAN TERHADAP PENGELOLAAN WAKAF MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004

TENTANG WAKAF

Disusun oleh:

RATNA DUMILAH

NIM: E.0003034

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 2 Februari 2011

Pembimbing

(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

TINJAUAN TERHADAP PENGELOLAAN WAKAF MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004

TENTANG WAKAF

Oleh:

RATNA DUMILAH

NIM: E.0003034

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skrpsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada:

Hari : Rabu

Tanggal : 2 Februari 2011

DEWAN PENGUJI

[1]. Agus Rianto, SH.,Mhum.

NIP.196108131989031002 : ………

[2]. Zeni Lutfiyah, SAg., MAg. NIP.197210112005012001 : ………

[3].

M.Adnan, S.H., M.Hum.

NIP. 195407121984031002 : ………....

Mengetahui

Dekan Fakultas Hukum UNS,

(4)

commit to user

iv

MOTTO

Maha Suci Engkau, tiada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sungguh Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha

Bijaksana. (QS Al Baqarah:32)

Jika engkau bisa, jadilah seorang ulama. Jika engkau tidak mampu, maka jadilah penuntut ilmu. Bila engkau tidak bisa menjadi seorang penuntut ilmu, maka cintailah mereka. Dan jika kau tidak mencintai mereka, janganlah engkau benci

mereka."

(Umar bin Abdul Aziz)

(5)

commit to user

v

PERSEMBAHAN

Karena doa, harapan dan kemuliaan hati mereka, dapat kuselesaikan karya ini untuk kupersembahkan kepada:

Allah yang menciptakan, yang memiliki segala sesuatu di langit dan di bumi, yang Maha Pemurah lagi Penyayang.

Ayahku yang pemegang kejujuran dan ibuku pendamping setia, kakak-kakakku yang tiada henti tiada putus asa membantu dan berkorban untukku. Ya Allah

kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku sewaktu kecil.

Sahabat setia dalam suka dan duka yang senatiasa melimpahkan kesabaran, kasih sayang, semangat, menemani dan menghargai setiap usaha yang

kulakukan.

(6)

commit to user

vi

PERNYATAAN

Nama : Ratna Dumilah

NIM : E0003034

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi)

berjudul:”Tinjauan Terhadap Pengelolaan Wakaf Menurut Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal

yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini, diberi tanda citasi dan

ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan

saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa

pencabutan penulisan hukum dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum

(skripsi) ini.

Surakarta, 28 Januari 2011

Yang Membuat Pernyataan,

Ratna Dumilah NIM. E0003034

(7)

commit to user

vii

ABSTRAK

Ratna Dumilah. E.0003034. 2010. TINJAUAN TERHADAP

PENGELOLAAN WAKAF MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengelolaan wakaf di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan bagaimana peran Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga yang berkompeten dalam pengelolaan wakaf menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif yaitu berusaha mengetahui bagaimana pengelolaan wakaf di Indonesia dan peran Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga perwakafan. Pendekatan yang digunakan untuk menelaah penulisan hukum ini adalah dengan pendekatan perundang-undangan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Sumber bahan hukum yang digunakan ialah bahan hukum primer, sekunder dan tersier

melalui studi kepustakaan dan cybermedia. Analisis data yang digunakan adalah

analisis data kualitatif dengan logika deduktif.

Berdasar penelitian ini, diperoleh hasil bahwa pengelolaan wakaf di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga nazhir sesuai dengan prinsip syariah secara produktif. Nazhir dilarang melakukan perubahan peruntukkan harta wakaf kecuali atas ijin tertulis BWI. Harta wakaf berkembang dapat berupa benda bergerak. Wakaf tunai termasuk harta wakaf benda bergerak yang diwakafkan melalui lembaga keuangan syariah sebagai pengelola yang ditunjuk Menteri dan diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf tunai. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen yang dibentuk guna memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. Badan Wakaf Indonesia bertugas melakukan pembinaan, pengelolaan dan pengembangan terhadap penyelenggaraan wakaf berskala nasional dan internasional, bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan saran dari Menteri dan Majelis Ulama Indonesia.

(8)

commit to user

viii

ABSTRACT

Ratna Dumilah. E.0003034. 2010. THE CONSIDERATION OF WAQF MANAGE ACCORDING TO LAW NUMBER 41 OF 2004 ABOUT WAQF. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Purpose of this research is to know how the waqf manage in Indonesia according to Law Number 41 0f 2004 about waqf and how Badan Wakaf Indonesia`s job as a competent waqf institution in waqf manage according to Law Number 41 of 2004 about waqf.

This research is a normative, prescriptive and that is to know how the waqf manage in Indonesia and Badan Wakaf Indonesia`s job as waqf institution. Some approaches used to analyse this law research is statute approach. The kind of data sources that being used are secondary data. The law material sources used are primary, secondary and tertiary data through literature study and cybermedia. The analysis of legal materials use qualitative with deductive logic.

Based on this result of research, the conclusion that the waqf manage in Indonesia according to Law Number 41 of 2004 is executing by society through nazhir institution according to syariah principe and productive. It is forbidden to nazhir to change purpose and and benefit of waqf except by legal license by BWI. Waqf object expand to moved and unmoved object. Cash waqf included moved object through syariah financial institution by minister order and published in Cash Waqf Sertificate. Badan Wakaf Indonesia is independent institution formed to progress and expand national waqf. Badan Wakaf Indonesia have order to constructing, managing and expanding national and international waqf manage, cooperation with government, and society obey advice from minister and religious former.

(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Bismillah

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Maha Tinggi yang Maha Pengasih

lagi Maha Penyayang atas segala nikmat ilmuNya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul “TINJAUAN

TERHADAP PENGELOLAAN WAKAF MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF” ini dengan baik. Penulisan

Hukum ini disusun dan diajukan penulis untuk melengkapi persyaratan guna

memperoleh derajat S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

Pada kata pengantar ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis, baik yang

berupa materiil maupun immateriil selama proses penulisan karya tulis ini.

Berbagai faktor yang menghambat penulis untuk sesegera mungkin

menyelesaikan penulisan hukum ini tidak akan bisa penulis terlewati tanpa doa

dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati

penulis sampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya, terutama kepada :

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret beserta jajarannya.

2. Ibu Maria Madalina, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik penulis.

3. Bapak M. Adnan, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum dan

Masyarakat yang telah membantu dalam penunjukkan dosen

pembimbing skripsi dan telah bersedia meluangkan waktu berbagi ilmu

memberi bimbingan dan masukan untuk penulisan hukum ini.

4. Bapak Joko Susilo yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian

studi di Fakultas Hukum ini.

5. Segenap dosen dan karyawan di Fakultas Hukum dan Universitas

Sebelas Maret Surakarta yang turut membantu penulis dalam

(10)

commit to user

x

6. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Bapak Soekemi dan Ibu Amsiyah yang

dengan kesabarannya selalu berdoa agar anaknya segera lulus dan

menjadi insan mandiri yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya.

Mohon maaf jika selama ini mengecewakan dan belum mampu

membuat kalian bangga.

7. Keluarga besar dengan saudara-saudara yang menyayangiku dan sangat

aku sayangi, dengan beda dimensi pemikiran dan jarak yang jauh

terbentang takkan memutus silatrahim kita. Terutama untuk mas Doni

dan mas Farid, yang lelah bersusah payah membantuku dan selalu

mendoakanku dengan tulus dan sabarnya. Juga mas Herry, mas Noer,

mas Hadi, mas Fendi dan mbak Ida.

8. Sahabat setiaku dalam suka dan duka, belahan jiwa pelimpah kasih

sayang penuh kesabaran yang senantiasa menemani dan

mendampingiku dengan tiada pernah lelah, membimbing, mendoakan

dan mengenalkan aku akan kebaikan dunia, Endra Dwisukma Abadi,

terima kasih yang tak terhingga.

9. Adik-adikku di HMI yang sangat membantuku, yang mau menerimaku

dengan segala kekuranganku dan sering merepotkan kalian, Dahat,

Marthin, Adil, Yasser, Anung, Okky, Didit, Refi dan lainnya yang

belum kusebut.

10.Bidadari-bidadari jelitaku Damai 1, yang telah sering direpotkan

penulis, Yunita, Dita, Titin, Widi, Indah, Putri, Esty, Dini, Tami, Dessy,

adik-adik baru Arum, Nurul, Aji, Rizky, Dwi dan semua warga Damai,

terima kasih sudah mengizinkanku bernaung di sini.

11.Sahabat-sahabatku yang cantik dan hebat, yang menerimaku,

menghiburku, mendampingiku dengan doa, menemani jalan-jalan dan

memberi semangat, Fajar Afril, Ruci, Inung, Eny, dan Cita.

12.Tak lupa pula untuk yang sering menjadi penguji hati dan kesabaran,

(11)

commit to user

xi

13.Kepada seluruh pegawai dan karyawan Departemen Agama Purworejo,

khususnya Bagian Zakat dan Wakaf yang telah mengizinkan penulis

menggunakan koleksi perpustakaannya.

14.Semua pihak yang telah membantu dan memperlancar penyusunan

Karya Tulis ini, yang belum penulis sebut satu persatu.

Penulis menyadari bahwa kualitas penulisan hukum ini masih jauh dari

sempurna. Untuk itu, penulis berharap saran dan kritik masukan kepada penulis

guna penyempuranaan karya ini. Mudah-mudahan penulisan hukum ini mampu

memberikan manfaat bagi kita semua.

Surakarta, Januari 2011

(12)

commit to user

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

a. Pengertian Pengelolaan Wakaf. ... 26

b. Ruang Lingkup Pengelolaan Wakaf. ... 27

3. Tinjauan tentang Badan Wakaf Indonesia ... 32

a. Struktur Organisasi ... 32

b. Kedudukan Badan Wakaf Indonesia ... 32

(13)

commit to user

xiii

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengelolaan Wakaf di Indonesia Menurut Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ... 36

B. Peran Badan Wakaf Indonesia sebagai Lembaga yang

Berkompeten dalam Pengelolaan Wakaf Menurut

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ... 90

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 108

(14)

commit to user

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia dan juga

memiliki aset wakaf yang cukup besar, perkembangan wakaf di Indonesia

tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara-negara mayoritas penduduk

muslim lain, hal ini tentunya dipengaruhi dengan berbagai faktor, di antaranya

terkait dengan pengelolaan wakafnya, baik sistem pengelolaan wakaf maupun

pihak pengelola wakafnya. Walaupun sudah ada BWI sebagai lembaga yang

khusus menangani permasalahan wakaf di Indonesia. Namun harus ada pula usaha

bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk memaksimalkan peran lembaga

tersebut (http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/07/dr-uswatun-hasanah.html).

Selain itu, pemahaman masyarakat terhadap ihwal benda wakaf juga masih

sempit. Harta yang bisa diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak,

yaitu tanah. Padahal, wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang,

logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa.

Hal ini tercantum dalam Bab II pasal 16 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

tentang Wakaf, dan juga sejalan dengan fatwa MUI ihwal diperbolehkannya

wakaf uang.

Sebab lain adalah jumlah tanah strategis dan kontroversi pengalihan tanah

wakaf, ditilik jumlah tanah wakaf, memang sangatlah luas. Tapi tak semuanya

bisa dikategorikan tanah strategis. Hal ini bisa dicermati dari lokasi dan kondisi

tanah. Kalau lokasinya di pedalaman desa dan tanahnya tak subur, secara

otomatis, susah untuk diproduktifkan. Karena itu, jalan keluarnya adalah

pengalihan tanah atau tukar guling (ruislag) untuk tujuan produktif, ternyata,

langkah ini pun berbuah kontroversi.

Memang secara fikih, ada perbedaan pendapat antara mazhab satu dengan

mazhab lainnya. Imam Syafii berpendapat bahwa tukar guling harta wakaf itu

tidak boleh secara mutlak, apapun kondisinya. Sementara sebagian Ulama

(15)

commit to user

sesuai syariah, dalam hal ini agar tanah wakaf tersebut dapat dimanfaatkan secara

lebih produktif. Selain itu, Abu Zahrah, menyatakan bahwa Imam Hambali dan

Hanafi juga memperbolehkan tukar guling dengan tujuan produktif

(http://bw-indonesia.net). Jadi, tukar guling itu hakikatnya diperbolehkan oleh para fuqaha

asal untuk tujuan produktif. Apalagi, kini permasalahan ini sudah diatur secara

gamblang dalam Bab VI, pasal 49-51, PP No. 42 tahun 2006. Hal lain yang

mempengaruhi perkembangan pengelolaan wakaf di negara kita adalah tanah

wakaf yang belum bersertifikat. Ini lebih dikarenakan tradisi kepercayaan yang

berkembang di masyarakat. Menurut kacamata agama, wakaf itu dipahami

masyarakat sebagai ibadah yang pahalanya mengalir (shadaqah jariyah), cukup

dengan membaca shighat wakaf seperti waqaftu (saya telah mewakafkan) atau

kata-kata sepadan yang dibarengi dengan niat wakaf secara tegas. Dengan

demikian, wakaf dinyatakan sah, jadi tidak perlu ada sertifikat dan administrasi

yang dianggap ruwet oleh masyarakat. Akibatnya, tanah wakaf yang tidak

bersertifikat itu tidak bisa dikelola secara produktif karena tidak ada legalitasnya.

Belum lagi, bisa terjadi kasus penyerobotan tanah wakaf yang tak bersertifikat.

Untuk itu, penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikat tanah

wakaf perlu digalakkan.

Selain hal-hal di atas, nazhir sebagai pengelola harta wakaf masih

berprinsip tradisional dan cenderung konsumtif. Meski tidak termasuk rukun

wakaf, para ahli fikih mengharuskan wakif (orang yang berwakaf) untuk

menunjuk nazhir wakaf. Nazhir inilah yang bertugas untuk mengelola harta

wakaf. Tapi, nazhir wakaf di Indonesia kebanyakan masih jauh dari harapan,

dengan pemahaman yang masih terbilang tradisional dan cenderung bersifat

konsumtif (non-produktif), tak heran jika pemanfaatan harta wakaf kebanyakan

digunakan untuk pembangunan masjid dan kuburan. Secara benefit, apa yang bisa

dihasilkan dari masjid dan kuburan? Bisa-bisa tidak dapat keuntungan malah tekor

untuk biaya perawatan (http://bwi.or.id).

Melihat fakta-fakta di atas, baik perkembangan perwakafan di Indonesia

maupun segala permasalahan yang ada, menunjukkan bahwa masyarakat maupun

(16)

commit to user

cukup memahami apa dan bagaimana sajakah yang termasuk perbuatan dan harta

wakaf, bagaimana pengelolaan wakaf yang baik dan sesuai dengan kebutuhan

masyarakat saat ini, serta sejauh manakah peran BWI sebagai lembaga yang

berwenang dalam menangani masalah perwakafan di Indonesia sesuai

undang-undang wakaf yang belaku, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.

Berdasarkan uraian dan permasalahan tersebut, maka penulis bermaksud

mengadakan pengkajian dan penelitian yang lebih lanjut mengenai pengelolaan

wakaf di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 serta

bagaimana peran Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga yang berkompeten

dalam pengelolaan wakaf menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dalam

bentuk penulisan hukum dengan judul "TINJAUAN TERHADAP

PENGELOLAAN WAKAF MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 41

TAHUN 2004 TENTANG WAKAF”

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah instansi vital dalam suatu karya ilmiah untuk

mengidentifikasi permasalahan yang akan diteliti agar lebih khusus dan

memperjelas arah penelitian, biasanya berisi pertanyaan–pertanyaan kritis,

sistematis, dan representatif guna mencari jawaban dari persoalan yang akan

dipecahkan. Arti penting perumusan masalah adalah sebagai pedoman bagi tujuan

dan manfaat penelitian dalam rangka mencapai kualitas penelitian yang optimal.

Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan permasalahan yang diteliti oleh

penulis adalah :

1. Bagaimana pengelolaan wakaf di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor

41 Tahun 2004 tentang Wakaf ?

2. Bagaimana peran Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga yang berkompeten

dalam pengelolaan wakaf menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

(17)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan suatu tindakan untuk lebih mengetahui dan

memahami objek yang diteliti.

Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas. Hal itu dimaksudkan

untuk menjawab masalah yang telah dirumuskan secara tegas dalam perumusan

masalahnya. Penelitian merupakan kegiatan ilmiah di mana berbagai data dan

informasi dikumpulkan, dirangkai, dan dianalisa yang bertujuan untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dan juga dalam rangka pemecahan masalah

yang dihadapi.

Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a) Untuk mengetahui pengelolaan wakaf di Indonesia menurut

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

b) Untuk mengetahui peran Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga yang

berkompeten dalam pengelolaan wakaf di Indonesia menurut

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

2. Tujuan Subyektif

a) Untuk menambah, mengembangkan pengetahuan, pengalaman, dan

pemahaman penulis mengenai ilmu hukum, khususnya peraturan hukum

yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia.

b) Untuk memberikan sumbangan berupa gambaran bagi ilmu pengetahuan

pada umumnya dan khususnya ilmu hukum Islam.

c) Untuk memperoleh data dalam rangka penyusunan skripsi sebagai syarat

guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum di Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Nilai dari suatu penelitian dapat dilihat dari adanya manfaat yang dapat

diberikan penelitian tersebut. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari

(18)

commit to user

1. Manfaat Teoritis

a) Memperkaya khasanah pemikiran dan pendapat hukum, memberi landasan

teoritis dan praktis bagi perkembangan ilmu hukum.

b) Menambah referensi/perbendaharaan pustaka, atau dapat juga dijadikan

sebagai sumber atau bahan dalam menyusun penelitian atau penulisan lain

yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

2. Manfaat Praktis

a) Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, serta

menerapkan ilmu yang penulis peroleh selama berada di bangku kuliah.

b) Merupakan sarana sosialisasi, menambah pengetahuan, dan

mengembangkan wawasan masyarakat terhadap permasalahan wakaf,

pengelolaan wakaf, dan lembaga yang memiliki kompetensi dalam

pengelolaannya.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian sangat diperlukan dalam suatu penelitian ilmiah.

1. Definisi Metode Penelitian

Penelitian hukum pada hakikatnya juga suatu upaya untuk mencari

dan menemukan pengetahuan yang benar mengenai hukum, yaitu pengetahuan

yang dapat dipakai untuk menjawab atau memecahkan secara benar suatu

masalah tentang hukum. Mencari dan menemukan itu tentu saja ada caranya.

Cara itu disebut metode, sedangkan perbincangan keilmuan tentang keilmuan

disebut metodologi (M. Syamsudin, 2007: 21).

Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai

suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis masalah yang

dihadapi, akan tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada

pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut dan

(19)

commit to user

Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan,

dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana

dilakukan dengan mengunakan metode ilmiah. Pentingnya dilaksanakan

penelitian hukum ialah untuk mengembangkan displin hukum dan ilmu hukum

sebagai salah satu tridarma perguruan tinggi. Penelitian hukum itu bertujuan

untuk membina kemampuan dan keterampilan para mahasiswa dan para

sarjana hukum dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah, yang obyektif,

metodik, dan sistematik (Hilman Hadikusuma, 1995: 8).

2. Jenis Penelitian

Penelitian dibutuhkan untuk memecahkan atau menyelesaikan suatu

masalah atau problem. Pada umumnya kegiatan penelitian ini diawali dengan

mencari sumber-sumber pengetahuan yang dapat dijadikan rujukan untuk

menjawab atau memecahkan masalah tersebut.

Jenis penelitian hukum dapat dibedakan antara lain penelitian hukum

normatif dan penelitian hukum sosiologis/empiris. Biasanya penelitian hukum

normatif yang diteliti adalah bahan pustaka atau data sekunder, sedangkan

penelitian hukum empiris yang diteliti adalah keberfungsian hukum dalam

masyarakat, terkait mengenai implementasi hukum di masyarakat (Soerjono

Soekanto, 2006: 52).

Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan penulisan

hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum

kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif atau

kepustakaan tersebut mencakup (Soerjono Soekanto, 2001: 13-14):

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum

b. Penelitian terhadap sistematik hukum

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal

d. PenelitianPerbandingan hukum

(20)

commit to user

Dalam penulisan hukum ini penulis menitikberatkan penulisannya

pada penelitian terhadap sistem pengelolaan wakaf di Indonesia menurut

berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

3. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam penelitian hukum normatif adalah preskriptif.

Sifat ini sesuai dengan karakteristik ilmu hukum karena mempelajari tujuan

hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum

dan norma-norma hukum. Penelitian hukum yang bersifat preskriptif

mengangkat kejadian-kejadian mengenai makna hukum di dalam kehidupan

bermasyarakat (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 22).

4. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian berguna untuk membatasi peneliti

mengeksplorasi landasan konseptual yang kelak bisa membedah objek

penelitian. Pendekatan (approach) merupakan suatu cara untuk mendekati

objek penelitian dan menentukan dari sisi mana sebuah objek penelitian akan

dikaji.

Oleh karena itu, pendekatan penelitian hendaklah diartikan sebagai

cara mendekati objek penelitian dari sisi tertentu. Pendekatan penelitian

menjadi dasar untuk menentukan teori penelitian. Pendekatan penelitian

janganlah dianggap memberatkan mahasiswa hukum yang akan menulis

proposal penelitian. Sebaliknya, ia justru membantu mahasiswa hukum untuk

tetap memelihara efisiensi penelitian (M. Syamsudin, 2007:56).

Dalam penelitian hukum dogmatik, beberapa pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach),

pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),

pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual

(21)

commit to user

Pendekatan yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah

pendekatan undang-undang. Pendekatan undang-undang dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan

masalah hukum yang sedang ditangani (M. Syamsudin, 2007: 58).

5. Jenis Data

Dilihat dari sumbernya, jenis data yang penulis gunakan dalam

penelitian ini merupakan data sekunder, yaitu data atau informasi hasil

penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya,

bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal,

maupun arsip-arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas

(Soerjono Soekanto, 2002: 16).

Selain data sekunder, penulis juga menggunakan jenis data tersier

berupa artikel dari media internet guna melengkapi penelitian hukum ini.

Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, data sekunder di bidang hukum ditinjau dari kekuatan

mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang

terdiri dari;

1) Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945

2) Peraturan Dasar

a) Batang Tubuh UUD 1945

b) Ketetapan MPR

3) Peraturan Perundang-undangan

a) Undang-undang dan peraturan yang setaraf

b) Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf

c) Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf

d) Keputusan Menteri dan keputusan yang setaraf

e) Peraturan-Peraturan Daerah

(22)

commit to user

5) Yurisprudensi

6) Traktat

7) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku,

seperti, KUHP (yang merupakan terjemahan yang secara yuridis

formal bersifat tidak resmi dari Wetboek van Strafrecht).

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti;

1) Rancangan peraturan perundang-undangan

2) Hasil karya ilmiah para sarjana

3) Hasil-hasil penelitian

c. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, misalnya bahan dari media internet, kamus, ensiklopedia,

indeks kumulatif, dan sebagainya (Soerjono Soekanto, 2002: 13).

6. Sumber Data

Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian hukum normatif ini

meliputi:

a) Sumber data primer, yaitu sumber data yang terdiri dari peraturan

perundang-undangan berupa Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

tentang Wakaf.

b) Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang terdiri dari buku-buku,

karya ilmiah, makalah hasil seminar, dokumen resmi, artikel yang ditulis

oleh ahli hukum dan lain sebagainya yang terkait dengan penelitian ini.

c) Sumber data tersier atau penunjang, yaitu sumber data yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap sumber data primer dan sekunder,

misalnya materi dari media internet, kamus, dan ensiklopedia.

7. Teknik Pengumpulan Data

Banyak cara yang dapat ditempuh oleh peneliti untuk mengumpulkan

data penelitian, yaitu:

(23)

commit to user

b. Angket atau skala

c. Wawancara

d. Pengamatan (observasi)

e. Tes atau eksperimen

Cara pengumpulan data yang sebaiknya dipergunakan tergantung pada

ruang lingkup dan tujuan penelitian hukum yang akan dilakukan, terutama

tergantung pada tipe data manapun yang dibutuhkan. Meskipun demikian, tipe

data manapun yang ingin diperoleh, selalu terlebih dahulu harus dilakukan

studi kepustakaan (M.Syamsudin, 2007: 101).

Dalam penulisan hukum ini penulis memilih pengumpulan data berupa

studi pustaka dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi,

dan data dari internet berupa artikel.

8. Teknik Analisis Data

Pengolahan data adalah kegiatan mengorganisasikan atau menata data

sedemikian rupa sehingga data penelitian tersebut dapat dibaca (readable) dan

ditafsirkan (interpretable). Sementara itu, analisis data adalah kegiatan

pemaknaan dan penafsiran terhadap hasil pengolahan data. Pemaknaan dan

penafsiran data dilakukan dengan menggunakan perspektif tertentu oleh

peneliti (M. Syamsudin, 2007: 119-120).

Pengolahan dan analisis data kualitatif adalah teknik yang lebih

menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta

pada dinamika hubungan antarfenomena yang diamati, dengan menggunakan

logika ilmiah (M.Syamsudin, 2007: 133).

Teknik analisis data yang digunakan penulis adalah analisis data

kualitatif yang menelaah isi dari Undang-Undang Wakaf guna menjawab

permasalahan yang dibahas.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Guna mendapatkan deskripsi yang menyeluruh mengenai materi yang

dibahas dalam penulisan hukum ini, penulis menguraikan sistematika

(24)

commit to user

BAB I. PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang Masalah

Dalam latar belakang masalah, dikemukakan apa yang menjadi

latar belakang dalam menyusun penulisan hukum ini, yaitu

masalah perwakafan di Indonesia, meliputi pengelolaan wakaf di

Indonesia, dan peranan Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga

yang berkompeten dalam bidang wakaf di Indonesia, sesuai

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

B. Perumusan Masalah

Dalam kerangka teori, dikemukakan tentang teori-teori yang

berhubungan dengan masalah yang akan dibahas, yaitu tentang

wakaf, pengelolaan wakaf dan tentang Badan Wakaf Indonesia.

B. Kerangka Pemikiran

Dalam kerangka pemikiran, dikemukakan keterkaitan masalah yang

akan dibahas dengan teori-teori yang ada dalam bentuk sistematika

bagan, yaitu hubungan antara masalah wakaf, pengelolaan

perwakafan, Badan Wakaf Indonesia dan peranannya menurut

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini disajikan tentang deskripsi pengelolaan wakaf di Indonesia,

meliputi masalah umum wakaf, masalah kontemporer wakaf dan

(25)

commit to user

bagaimana peranan Badan Wakaf Indonesia dalam masalah wakaf sesuai

kompetensinya menurut Undang-Undang Wakaf.

BAB IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran-saran

DAFTAR PUSTAKA

(26)

commit to user

13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Wakaf

a. Pengertian Wakaf

Menurut bahasa, wakaf berasal dari kata bahasa arab “waqafa” yang

berarti menahan atau berhenti di tempat. Ada berbagai pengertian wakaf

yang telah dikenal masyarakat Indonesia, baik menurut bahasa, istilah,

maupun ahli fiqh. Pengertian wakaf menurut bahasa Arab berarti “

al-habsu”, yang berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan, menjauhkan

orang dari sesuatu atau memenjarakan. Kemudian kata ini berkembang

menjadi “habbasa” dan berarti mewakafkan harta karena Allah (Adijani

al-Alabij, 1989: 23).

Wakaf menurut istilah, berdasar pendapat Basjir Azhar yang juga

dikutip Farid Wasjdy dan Mursyid dalam buku Wakaf dan Kesejahteraan

Umat (2007:29), wakaf adalah penahanan harta yang dapat diambil

manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah

serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah.

Secara harfiah wakaf bermakna “pembatasan” atau larangan, dalam

Islam, kata wakaf dimaksudkan pemilikan atau pemeliharaan harta benda

tertentu untuk diambil manfaat sosial tertentu dan agar mencegah

penggunaan harta wakaf tersebut di luar tujuan yang telah ditetapkan.

Abu Bakar Jabir Al-Jazairi mengartikan wakaf sebagai penahanan

harta sehingga harta tersebut tidak diwarisi, atau dijual, atau dihibahkan

dan mendermakan hasilnya kepada penerima wakaf (Farid Wadjdy dan

Mursyid, 2007: 30).

Abu Hanifah mendefinisikan wakaf sebagai penahanan pokok suatu

harta dalam tangan pemilikan wakif dan hasil pemilikan barang itu

(27)

commit to user

Dalam buku-buku fiqh, para ulama fiqh berbeda-beda dalam

memberi pengertian wakaf, perbedaan tersebut memberi akibat hukum

yang berbeda pula terhadap akibat hukumnya. Menurut ahli fiqh

Hanafiyah, wakaf adalah menahan materi benda dan menyedekahkan

manfaatnya kepada siapapun untuk tujuan kebajikan. Akibat hukumnya

wakif tetap menjadi pemilik harta, sedangkan yamg diwakafkan adalah

manfaatnya. Malikiyah berpendapat, wakaf adalah memanfaatkan harta

yang dimiliki (walau harta tersebut pemilikannya diperoleh dengan cara

sewa) untuk diberikan pada orang yang berhak dengan jangka waktu

tertentu. Definisi tersebut hanya menentukan pemberian wakaf hanya

kepada orang atau tempat yang berhak saja. Syafi`iyah berpendapat wakaf

adalah menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi

bendanya dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki wakif

untuk diserahkan kepada nazhir yang diperbolehkan oleh syariah. Akibat

hukumnya, harta yang diwakafkan adalah harta yang bersifat kekal materi

bendanya, tidak mudah rusak atau musnah dan dapat diambil manfaatnya

secara terus-menerus. Hanabilah mendefinisikan wakaf yaitu perbuatan

menahan harta dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan.

Dalam peraturan pemerintah terdahulu yaitu PP Nomor 28 Tahun

1977 tentang Perwakafan Tanah Milik pada Pasal 1 ayat (1) terdapat

pengertian wakaf yaitu perbuatan hukum seseorang atau badan hukum

yang memisahkan sebagian harta kekayaan berupa tanah milik untuk

selama-lamanya guna kepentingan peribadatan atau keperluan umum

sesuai ajaran Islam.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 sendiri telah mengatur

definisi wakaf sebagai berikut : “Wakaf adalah perbuatan wakif untuk

memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk

dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan

kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kasejahteraan umum

(28)

commit to user

Berdasarkan para ahli dan peraturan hukum yang memberikan

definisi yang berbeda-beda mengenai wakaf, dapat ditarik kesimpulan

bahwa eksistensi benda wakaf haruslah bersifat tetap, artinya walau

faedah harta itu telah diambil, namun benda yang diwakafkan tersebut

masih tetap ada selama-lamanya, sedangkan hak pemilikannya berakhir

dan berpindah ke tangan Tuhan. Jadi maksudnya wakaf dipersembahkan

wakif (pewakaf) untuk tujuan amal guna mendapat keridhaan Tuhan

(Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam: 1997).

Tujuan wakaf tersebut sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan

oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 yang menyatakan

wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta

benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan

kesejahteraan umum (http://www.bwi.or.id).

b. Landasan Hukum Wakaf

Landasan hukum wakaf tidak terdapat secara jelas di dalam

Al-Quran, namun beberapa ayat Al-Quran yang memberi petunjuk dapat

dijadikan rujukan berdasar keumuman sifat ayat yang menjelaskan tentang

infaq fi sabilillah. Ayat-ayat tersebut adalah:

1) Al-Baqarah:267 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah)

sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa

yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”.

2) Ali Imran:92 yang artinya:

“Kamu sekali-sekali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)

sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai”.

3) Al Hajj:77 yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, rukuk dan sujudlah kamu dan

sembahlah Tuhanmu serta berbuatlah kebaikan supaya kamu

(29)

commit to user

4) Al Baqarah:261 yang artinya:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang

menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir

benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji.

Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan

Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui”.

Tidak hanya bersumber dari ayat Al-Quran, dasar hukum wakaf juga

ada yang berasal dari hadist, yaitu:

1) Hadist Riwayat Al-Jamaah dari Ibnu Umar

”Dan dari Ibnu Umar, bahwa Umar pernah mendapatkan sebidang

tanah di Khaibar, lalu ia bertanya: “Ya Rasulullah! Aku mendapatkan

sebidang tanah di Khaibar, suatu harta yang belum pernah kudapat

sama sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang

hendak Engkau perintahkan padaku?” maka Nabi menjawab, ”jika

engkau suka, tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya,” Lalu

Umar menyedekahkannya dengan syarat tidak boleh dijual, tidak

boleh diberikan, dan tidak boleh diwarisi, yaitu untuk orang-orang

fakir, untuk keluarga dekat, untuk memerdekakan hamba sahaya,

untuk menjamu tamu, dan untuk orang yang keputusan bekal dalam

perjalanan (Ibnu Sabil); dan tidak berdosa orang yang mengurusinya

itu untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk

memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan

hak milik dan dalam satu riwayat dikatakan: dengan syarat jangan

dikuasai pokoknya”.

2) Hadist Riwayat An-Nasai dan Turmudzi dari Ustman

“Dan dari Ustman, bahwa Nabi SAW pernah datang ke Madinah,

sedangkan di Madinah ketika itu tidak ada air tawar kecuali sumur

rumah, lalu ia bersabda, ”Siapakah yang mau membeli sumur rumah

lalu ia memasukkan timbanya ke dalam sumur itu bersama

timba-timba kaum Muslimin yang lainnya, dia akan mendapatkan sesuatu

(30)

commit to user

3) Hadist Riwayat Ahmad dan Bukhari dari Abi Hurairah

“Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa menahan kuda untuk

sabilillah dengan iman dan ihtisab (mengharap pahala), maka tubuh

kuda, kotoran dan kencingnya menjadi timbangan kebaikannya”.

4) Hadist Riwayat Abu Dawud dari Ibnu Abbas

“Dari Ibnu Abbas, ia berkata, ”Rasulullah SAW berkehendak

melakukan ibadah haji, seorang istri berkata kepada suaminya,

”hajikan saya bersama Rasulullah, dan suami menjawab, aku tidak

punya sesuatu untuk menghajikanmu. Si istri berkata, hajikan saya

dengan untamu. Si suami menjawab, itu adalah penahan harta untuk

jalan Allah. ”Suami datang kepada Rasulullah, Rasulullah SAW

bersabda, ”Adapun engkau, jika engkau hajikan dia dengan untamu,

itu adalah fi sabilillah.”

Perjalanan panjang keberadaan wakaf di Indonesia tercermin dalam

peraturan perundangan yang keberadaannya mengawali sekaligus

menlandasi pengaturan wakaf dan pengelolaannya secara formal.

1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 29 ayat (1)

memberi isyarat bahwa “Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur

dengan Peraturan Pemerintah”.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan

Tanah Milik.

3) Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Perwakafan

Tanah Milik.

4) Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978 tentang

Pendelegasian Wewenang Kepala-Kepala Kantor Wilayah

Departemen Agama/Provinsi/setingkat di seluruh Indonesia untuk

mengangkat setiap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai

Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).

5) Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor

(31)

commit to user

Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Instruksi ini ditujukan

kepada Gubernur dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama

Provinsi se-Indonesia.

6) Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D.II/5/Ed/11/1981

tanggal 16 April 1981 tentang Petunjuk Pemberian Nomor Pada

Formulir Perwakafan Tanah Milik.

7) Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D.II/5/Hk/901/1989

tentang Petunjuk Perubahan Status Tukar-Menukar Tanah Wakaf.

8) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

9) SKB antara Departemen Agama dan Badan Pertanahan Nasional

tanggal 19 Oktober 2004 Nomor 422 Tahun 2004 tentang Percepatan

Sertifikasi Tanah Wakaf.

Perwakafan di Indonesia apabila ditinjau dari aspek historis,

umumnya berobyek tanah, sehingga tidak heran bila peraturan

perundang-undangan yang ada mengatur tanah saja, hal ini terlihat dari UUPA Nomor

5 Tahun 1960 dan PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah

Milik.

Ditinjau dari aspek teologis adalah Allah SWT dalam agama Islam

mengajarkan pada umatnya akan perwujudan keadilan sosial. Prinsip

pemilikan harta dalam Islam adalah tidak dibenarkannya harta hanya

dikuasai oleh sekelompok orang. Hal ini menimbulkan wakaf sebagai

instrumen sosial dari teologi Islam.

Regulasi wakaf berupa Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

mengenai Perwakafan Tanah Milik dan Kompilasi Hukum Islam belum

secara utuh mengatur permasalahan-permasalahan wakaf misalnya

Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 mengenai Perwakafan Tanah

Milik yang substansinya hanya berkisar pada harta wakaf berupa tanah

milik. Belum adanya peraturan mengenai benda wakaf dalam bentuk

benda bergerak yang pada masa ini justru menjadi variabel penting dalam

(32)

commit to user

menyebabkan perwakafan Indonesia sulit dikembangkan. Hal ini yang

menjadikan kehadiran Undang-Undang Wakaf sangat urgen di tengah

kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim.

Wakaf merupakan lembaga amal yang bersumber dari hukum

Islam, walaupun lembaga wakaf ini bersumber dari hukum Islam, namun

bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sudah

mengenal dan mengetahui lembaga wakaf sebagaimana yang diatur

hukum Islam semenjak sebelum merdeka. Oleh karena itu, pihak

pemerintah kemudian menetapkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun

2004 tentang Wakaf, dan untuk melengkapi undang-undang tersebut,

pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun

2006 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.

c. Ruang Lingkup Wakaf

1) Dalam fikih Islam, ada 4 unsur atau rukun yang harus dipenuhi dalam

berwakaf, yaitu: waqif (orang yang berwakaf), al-mauquf (harta yang

akan diwakafkan), al-mauquf alaih (pihak yang akan menerima wakaf)

dan sighat (lafal atau ikrar wakaf).

2) Selain rukun sebagai unsur pokok yang harus dipenuhi, terdapat juga

beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu:

a) Syarat wakif

(4) Orang tersebut mampu bertindak secara hukum (rasyid).

b) Syarat mauquf

(1) Harta wakaf tidak sah dipindahmilikkan, kecuali telah

memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

(2) Harta yang diwakafkan adalah barang berharga/bermanfaat

(33)

commit to user

(3) Diketahui kadarnya, jadi apabila tidak diketahui jumlahnya

(majhul) maka pengalihan kepemilikan harta ketika itu tidak

sah.

(4) Harta yang diwakafkan adalah milik sah wakif, tidak melekat

pada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah

ghaira shai`.

c) Syarat al-mauquf alaih

Dari segi klasifikasi, ada 2 pihak yang menerima wakaf,

yaitu:

(1) Tertentu (mu`ayyan), yaitu bahwa jelas orang yang menerima

wakaf itu adalah seseorang, atau dua orang, atau kumpulan,

yang semuanya tidak boleh dirubah. Syaratnya adalah ahlan li

al-tamlik, jadi orang muslim, merdeka, dan kafir zimmi boleh

memiliki harta wakaf ini. Adapun orang bodoh, hamba sahaya

dan orang gila, tidak sah menerima wakaf.

(2) Tidak tertentu (ghaira mu`ayyan), yaitu bahwa penerima

wakaf tersebut dapat menjadikan wakaf untuk kebaikan,

sehingga dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah, dan

wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.

d) Syarat sighah

Syarat shigah berkaitan dengan ucapan, dan

memerlukan beberapa syarat, yaitu:

(1) Kata-kata tersebut harus mengandung kekalnya wakaf (ta`bid),

tidak sah wakaf kalau ada batas waktu tertentu.

(2) Ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz) tanpa

digantungkan atau disangkutkan pada syarat tertentu.

(3) Ucapan shigah bersifat pasti.

(4) Ucapan shigah tidak diikuti syarat yang membatalkan.

Apabila semua syarat telah dipenuhi, maka penguasaan wakaf atas

penerima wakaf adalah sah. Wakif tidak dapat lagi menarik balik

(34)

commit to user

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, unsur

wakaf sebagai berikut:

1) Wakif, adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Pasal 7

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 terdapat berbagai jenis yaitu

wakif, perseorangan, organisasi dan badan hukum.

2) Nazhir, adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif

untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

3) Harta benda wakaf, adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama

dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi

menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.

4) Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakaf yang diucapkan secara

lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda

miliknya.

5) Peruntukan harta benda wakaf.

6) Jangka waktu wakaf.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal

8, terdapat pula syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam berwakaf, antara

lain:

1) Syarat wakif

a) Perseorangan, wakif perseorangan hanya dapat melakukan wakaf

apabila memenuhi persyaratan: dewasa, berakal sehat, tidak

terhalang melakukan perbuatan hukum, pemilik sah harta benda

wakaf.

b) Organisasi, wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf

apabila memenuhi ketentuan organisasi yaitu mewakafkan

mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan

anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.

c) Badan hukum, wakif badan hukum dapat melakukan wakaf

apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan

harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran

(35)

commit to user

2) Syarat Nazhir

Nazhir sebagai pihak yang menerima harta benda wakaf untuk

dikelola dan dikembangkan sesuai peruntukannya sesuai Pasal 9

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 meliputi nazhir perseorangan,

organisasi, badan hukum.

Persyaratan untuk menjadi Nazhir telah diatur dalam Pasal 10

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 baik untuk nazhir

perseorangan, nazhir organisasi, maupun nazhir berupa badan hukum

sebagai berikut:

a) Nazhir perseorangan sesuai Pasal 10 ayat (1) adalah calon nazhir

tersebut warga negara Indonesia, beragama Islam, dewasa,

amanah, mampu secara jasmani dan rohani, tidak terlarang

melakukan perbuatan hukum.

b) Nazhir organisasi sesuai Pasal 10 ayat (2) adalah pengurus

organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir

perseorangan sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1),

organisasi tersebut bergerak di bidang sosial, pendidikan,

kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.

c) Nazhir badan hukum

Suatu badan hukum dapat menjadi nazhir badan hukum

apabila telah memenuhi persyaratan sesuai Pasal 10 ayat (3) yaitu:

(1) Pengurusnya memenuhi persyaratan nazhir perseorangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(2) Badan hukum tersebut adalah badan hukum Indonesia yang

dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

(3) Badan hukum yang bersangkutan tersebut adalah suatu badan

hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan,

(36)

commit to user

3) Syarat Harta Benda Wakaf

Harta yang dapat diwakafkan adalah harta yang dimiliki dan

dikuasai secara sah oleh wakif, ketentuan ini sesuai dengan Pasal 15

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

4) Syarat Ikrar Wakaf

Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan

secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta

benda miliknya, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 3

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.

Dalam Undang-Undang Wakaf juga terdapat ketentuan yang

lebih rinci mengenai tata cara pelaksanaan ikrar wakaf yang dimuat

dalam Pasal 17-21, yaitu:

a) Pasal 17 ayat (1) menentukan pelaksanaan ikrar wakaf

dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir di hadapan PPAIW dengan

disaksikan oleh 2 orang saksi.

b) Pasal 17 ayat (2) menyatakan bahwa ikrar wakaf dapat dinyatakan

baik secara lisan ataupun tulisan serta ikar tersebut haruslah

dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.

c) Pasal 18 menyatakan apabila wakif tidak dapat menyatakan ikrar

wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar

wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, maka wakif

tersebut dapat menunjukkan kuasa hukumnya dengan surat kuasa

yang diperkuat oleh 2 orang saksi.

d) Pasal 19 mengatur pelaksanaan ikrar wakaf, di mana wakif atau

kuasanya harus menyerahkan surat dan bukti kepemilikan atas

harta benda yang akan diwakafkan kepada PPAIW sebagai syarat

pelaksanaan wakaf.

e) Pasal 20 merinci mengenai syarat saksi ikrar wakaf yaitu saksi

haruslah sudah dewasa, beragama Islam, berakal sehat, dan tidak

(37)

commit to user

f) Pasal 21 pada prinsipnya mengatur ketentuan mengenai akta ikrar

wakaf, yang dirinci dalam ayat-ayatnya, sebagai berikut: ayat (1)

memuat ketentuan bahwa ikrar wakaf dimuat dalam bentuk akta

wakaf; ayat (2) hal-hal yang dimuat dalam akta ikrar wakaf antara

lain nama dan identitas wakif, data dan keterangan harta benda

wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf;

ayat (3) berisi ketentuan-ketentuan mengenai akta ikrar tersebut

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

5) Syarat Peruntukan Harta Benda Wakaf

Peruntukan harta benda wakaf dirinci dalam Pasal 22 dan Pasal

23 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 sebagai berikut :

a) Pasal 22 merinci harta benda wakaf dalam rangka mencapai tujuan

dan fungsi wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi :

(1) Sarana dan kegiatan ibadah

(2) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan

(3) Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea

siswa

(4) Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat

(5) Kemajuan dan kesejahteraan umum lainnya yang tidak

bertentangan dengan syariah dan peraturan

perundang-undangan.

b) Pasal 23 ayat (1) menjelaskan bahwa penetapan peruntukan harta

benda wakaf pada Pasal 22 dilakukan oleh wakif pada waktu

pelaksanaan ikrar wakaf.

c) Pasal 23 ayat (2) menyatakan apabila wakif tidak menetapkan

peruntukan harta benda wakaf, nazhir dapat menetapkan

peruntukan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsi

wakaf.

6) Bentuk Wakaf

a) Bentuk wakaf ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa

wakaf tersebut ada dua macam:

(1) Wakaf Ahli yaitu wakaf yang ditujukan kepada pihak tertentu,

(38)

commit to user

berdasar hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan

Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga

Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. Wakaf ahli disebut

juga wakaf dzurri.

(2) Wakaf Khairi yaitu wakaf yang ditujukan untuk kepentingan

keagamaan atau kemasyarakatan (kebajikan umum).

Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf khairi lebih banyak

manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli (Fiqih Wakaf.

Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf. Direktorat Bimas dan

Penyelenggaraan Haji. Departemen Agama RI. 2003: Jakarta).

b) Bentuk wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

Menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun

2004, harta benda yang dapat diwakafkan terdiri dari benda tidak

bergerak benda bergerak.

Sedangkan Pasal 16 ayat (2) merinci benda tidak bergerak

yang dapat diwakafkan sebagai berikut:

(1) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun

belum terdaftar.

(2) Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri di atas tanah

sebagaimana dimaksud ketrerangan di atas.

(3) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.

(4) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah

dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan benda tidak bergerak sebagaimana yang

disebutkan dalam ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak

bisa habis karena dikonsumsi, meliputi uang, surat berharga,

(39)

commit to user

bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

2. Tinjauan tentang Pengelolaan Wakaf

a. Pengertian Pengelolaan Wakaf

Definisi pengelolaan wakaf tidak tercantum secara jelas dan tersurat

baik dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf

maupun dalam literatur lain. Namun, dari berbagai referensi, dapat

diambil kesimpulan mengenai pengelolaan wakaf.

Kamus besar bahasa Indonesia memberikan definisi pengelolaan

sebagai berikut :

1) proses, cara, perbuatan mengelola.

2) proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga

orang lain.

3) proses membantu merumuskan kebijakan dan tujuan organisasi.

4) proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat

dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan (Kamus

Besar Bahasa Indonesia).

Berdasar definisi atas, dapat disimpulkan bahwa definisi

pengelolaan wakaf adalah proses mengelola wakaf, proses mengawasi

semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan wakaf dan

pencapaian tujuan wakaf.

Dalam pemahaman yang lain, kata manajemen sering disebutkan

bersama dengan kata pengelolaan. Menurut James Stoner seperti yang

dikutip oleh Eri Sudewo dalam bukunya Manajemen Zakat (2004: 63),

manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan

pengawasan usaha para anggota organisasi dengan menggunakan sumber

daya yang ada agar mencapai tujuan organisasi yang sudah ditetapkan.

Dalam bahasa arab, kata manajemen disebut dengan kata idarah dan

(40)

commit to user

yang digunakan dalam Al-Quran, tetapi dalam bentuk kata kerja yudabbir,

di antaranya pada Quran Surat 10 ayat 3 dan31, di mana dalam ayat itu

dijelaskan bahwa Allahlah yang memanage semua urusan di langit dan

bumi seperti kehidupan, kematian, rizki, pendengaran, dan penglihatan

(Farid Wadjdy dan Mursyid, 2007:174).

b. Ruang Lingkup Pengelolaan Wakaf

1) Prinsip Pengelolaan Wakaf

a) Asas Keabadian manfaat

Praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh nabi yang

telah dicontohkan oleh Umar bin Khattab dan diikuti oleh

beberapa sahabat nabi lainnya yang sangat menekankan

pentingnya menahan eksistensi benda wakaf, dan diperintahkan

untuk menyedahkahkan hasil dari pengelolaan benda tersebut.

Pemahaman yang paling mudah untuk dicerna dari maksud Nabi

adalah bahwa substansi ajaran wakaf itu tidak semata-mata

terletak pada pemeliharaan bendanya (wakaf), tapi yang jauh lebih

penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut untuk

kepentingan kebijakan umum.

b) Asas Pertanggungjawaban

Bentuk dari pertanggung jawaban tersebut adalah

pengelolaan secara sungguh-sungguh dan semangat yang didasari

oleh :

(1) Tanggung jawab kepada Allah SWT, yaitu atas perilaku

perbuatannya, apakah sesuai atau bertentangan dengan

aturan-aturanNya.

(2) Tanggung jawab Kelembagaan, yaitu tanggung jawab kepada

pihak yang memberikan wewenang (lembaga yang lebih

tinggi).

(3) Tanggung jawab Hukum, yaitu tanggung jawab yang

dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang

(41)

commit to user

(4) Tanggung jawab Sosial, yaitu tanggung jawab yang terkait

dengan moral masyarakat.

c) Asas Profesional Manajemen

Manajemen pengelolaan menempati pada posisi paling urgen

dalam dunia perwakafan. Karena yang paling menentukan benda

wakaf itu lebih bermanfaat atau tidak tergantung pada pola

pengelolaan, bagus atau buruk. Pengelola wakaf itu sendiri harus

memiliki sifat Nabi yang 4 yaitu Amanah (dapat dipercaya),

Shiddiq (jujur), Fathanah (cerdas/brilian), Tabligh (menyampaikan

informasi yang tepat dan benar)

d) Asas Keadilan Sosial

Penegakan keadilan sosial dalam Islam merupakan

kemurnian dan legalitas agama. Orang yang menolak prinsip

keadilan sosial ini dianggap sebagai pendusta agama (QS.

147/Al-Ma’un). Substansi yang terkandung dalam ajaran wakaf ini sangat

tampak adanya semangat menegakkan keadilan sosial melalui

pendermaan harta utuk kebajikan umum (Paradigma Baru Wakaf

di Indonesia, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Departemen

Agama, 2007, hal 65-85).

2) Lembaga Pengelola Wakaf

Keberadaan lembaga pengelola wakaf mutlak diperlukan

mengingat begitu besarnya aset wakaf yang tersebar diberbagai

wilayah di Indonesia. Kesadaran ini terwujud dengan lahirnya

beberapa lembaga pengelola wakaf baik dalam skala lokal maupun

nasional.

a) Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhid (DPU DT) Jakarta

Dompet Peduli Ummat adalah Sebuah Lembaga Amil Zakat

yang merupakan Lembaga Nirlaba yang bergerak dibidang

penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat, infaq dan

shodaqah. Didirikan oleh KH. Abdullah Gymnastiar pada tanggal

16 juni 1999, DPU-DT menjadi LAZNAZ (Lembaga Amil Zakat

(42)

commit to user

REPUBLIKA, sebagai sebuah badan hukum yayasan yang telah

kredibel dan memenuhi persyaratan sebagai Nazhir Wakaf

sebagaimana dimaksud Undang-undang Wakaf. Badan hukum ini

adalah badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bergerak di

bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan / atau keagamaan

Islam (http://www.tabungwakaf.net).

c) Badan Wakaf Indonesia (BWI)

Lembaga yang khusus mengelola wakaf yang ada dan

bersifat nasional yang berada di pusat sebagai produk langsung

dari Undang-Undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

(http://www.bwi.or.id).

3) Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Beberapa Negara Muslim

Dalam catatan sejarah Islam, wakaf sudah dipraktikkan baik

dalam bentuknya yang masih tradisional/konvensional, dalam arti

bentuk wakaf berupa benda-benda tidak bergerak maupun wakaf

produktif berupa wakaf uang atau wakaf tunai (cash waqf) bahkan,

wakaf tunai (cash waqf) ternyata sudah diperaktikan sejak awal abad

kedua Hijriyah. M Syafii Antonio mengutip hadist yang diriwayatkan

oleh Imam Bukhari, menjelaskan bahwa Imam az Zuhri (w. 124 H)

salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar kondifikasi hadist

(tadwnin-al hadist) mengeluarkan fatwa yang berisi anjuran

melakukan wakaf dinar dan dirham untuk membangun sarana dakwah,

sosial, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan

(43)

commit to user

menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf (Ahmad Djunaidi dan

Thobieb Al-Asyhar, 2007: 27-44).

a) Turki

Di Turki terdapat pusat administrasi wakaf sebagai lembaga

pengelola wakaf yang berkembang dengan baik, dan untuk

memobilisasi sumber-sumber wakaf dan membiayai

bermacam-macam jenis proyek joint venture telah didirikan Waqf Bank &

Finance Coorporation.

b) Malaysia

Perkembangan wakaf di Malaysia masih cenderung stagnan,

karena wakaf memilik dua model yaitu ‘Am dan Khas. Cenderung

lebih banyak wakaf Khas sehingga tidak berkembang.

c) Mesir

Ada badan wakaf yang didirikan oleh negara dan

sepenuhnya bertugas membuat suatu perencanaan, mengelola,

mendistribusikan hasil wakaf dan menyampaikan laporan kepada

masyarakat.

d) Arab Saudi

Pemerintah kerajaan Saudi Arabia membuat peraturan bagi

majelis tinggi wakaf dengan ketetapan No. 574 tanggal 16 Rajab

1386 sesuai dengan surat keputusan kerajaan No. M/35, Tanggal

18b Rajab 1386. Majelis tinggi wakaf diketahui oleh Menteri Haji

dan Wakaf, yakni menteri yang menguasai wakaf dan menguasai

permasalahan-permasalahan perwakafan sebelum dibentuk majelis

tinggi wakaf. Majelis tinggi wakaf mempunyai wewenang untuk

membelanjakan hasil pengembangan wakaf dan menentukan

langkah-langkah dalam mengembangkan wakaf bedasarkan

syarat-syarat yang ditentukan wakif dan menajemen wakaf. Tanah

wakaf di sekitar Madinah dan Makkah dikelola secara khusus,

yaitu dengan didirikan hotel dan hasilnya untuk merawat aset-aset

(44)

commit to user

e) Yordania

Secara administratif, pelaksanaan pengelolaan wakaf di

kerajaan Yordania didasarkan pada Undang-Undang wakaf Islam

No. 25/1947. Dalam Undang-Undang tersebut bahwa yang

termasuk dalam urusan kementrian wakaf dan kementerian agama

Islam adalah wakaf masjid, madrasa lembaga-lembaga Islam,

rumah-rumah yatim, tempat pendidikan, lembaga-lembaga

syariah, kuburan-kuburan Islam, urusan-urusan haji dan urusan

fatwa.

f) Bangladesh

Di Bangladesh wakaf telah dikelolah oleh Social

Investement Ltd (SIBL). Bank ini telah mengembangkan pasar

modal sosial (The Voluntary Capital Market). Instrumen-

instrumen keuangan Islam yang telah dikembangkan,antara lain:

surat obligasi pembangunan perangkat wakaf, sertifikat wakaf

tunai, sertifikat wakaf keluarga, obligasi pembangunan perangkat

masjid, saham komunitas masjid, sertifikat pembayaran zakat,

sertifikat simpangan haji, dan lain-lain

(45)

commit to user

3. Tinjauan tentang Badan Wakaf Indonesia (BWI)

a. Struktur Organisasi

Sumber dari data di atas adalah Badan Wakaf Indonesia (http://www.bwi.or.id)

b. Kedudukan Badan Wakaf Indonesia

Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah lembaga yang independen

dalam rangka melaksanakan tugasnya, yaitu memajukan dan

mengembangkan perwakafan nasional. Hal ini sesuai dengan Pasal 47 ayat

(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan

Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau

Kabupaten/Kota sesuai kebutuhan, kedudukan Badan Wakaf Indonesia

diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang

Wakaf.

STRUKTUR ORGANISASI BADAN WAKAF INDONESIA Periode 2007-2010

Dewan Pertimbangan Ketua

: Dr. H.M. Anwar Ibrahim (Ketua)

Wakit Ketua : Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA

: Prof. Dr. KH. Muhammad Tholhah Hasan

Wakit Ketua I

: H. Mustafa Edwin Nasution, Ph.D Wakil Ketua II

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapat karyawan seperti yang diharapkan, perusahaan sehingga kualitas dan kuantitas produksi semakin meningkat dengan baik.Harapan

Produksi arang terpadu dengan hasil cuka kayu dari limbah kayu dengan menggunakan tungku drum ganda yang dilengkapi alat pengkondensasi asap berkisar 6,00 - 15,00 kg.. Rendemen

Untuk menentukan parameter-parameter yang berpengaruh dalam sel surya digunakan persamaan Shockley untuk model dioda tunggal melalui persamaan 2 didapatkan

Ahlaisten saaristossa (näytepiste 12 ja 13), Haminanholmassa (näytepiste 14), Merikarvian edustalla (näytepiste 16, 19 ja 37) sekä Kasalanjoen edustalla (näytepiste 17 ja

Materi IPA yang diajarkan kepada siswa adalah contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pada proses pembelajaran semua materi dikaitkan dengan kehidupan

Sebagian kelompok sudah didaftarkan ke Dinas pertanian, peternakan dan perhutanan kota metro untuk dibuatkan Tanda Pencatatan Usaha Pembudidayaan Ikan (TPUPI). Selanjutnya,

Persentase penguasaan atau ketuntasan siswa terhadap materi pembelajaran yang telah diajarkan sebesar 60% pada siklus I dan 85% pada siklus II untuk mata

Hal tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan asupan zat gizi sehingga dapat mengakibatkan ketidaksempurnaan pertumbuhan tubuh baik fisik maupun mental (Chinue,