• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Teori dan Konsep

Dalam dokumen ROSITA Nomor Induk Mahasiswa : (Halaman 29-50)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Tinjauan Teori dan Konsep

Novel berasal dari bahasa Latin ‘novellus’ yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena perbandingan jenis sastra lainnya seperti puisi, drama dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul kemudian. Banyak ahli sastra yang telah mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian novel, namun hingga saat ini belum ada satu patokan pun dari pendapat mereka yang dapat diterima oleh semua pihak. Hal ini disebabkan karena dalam membicarakan novel cakupan wilayah yang sangat luas atau tidak hanya menyangkut satu masalah saja tetapi banyak hal.

Sekalipun masih bersifat umum, berikut ini penulis ketengahkan beberapa pendapat para ahli sastra tentang definisi novel.

Novel menurut Tarigan (1986:154) adalah suatu cerita prosa yang fiktif dan panjang yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang refesentif dalam suatu keadaan yang agak kacau atau kusut (dalam artian, keadaan yang penuh konflik).

Novel lebih singkat dari pada roman, menampilkan satu episode saja. Dalam sastra Inggris istilah novel diperuntukan bagi roman yang ditulis pada abad ke-20 (a novel by Graham Greene).

Novel adalah karya fiksi yang mempunyai ruang gerak yang luas.Jalan ceritatentang pelaku lebih panjang. Novel tidak memusatkan pada salah satu fokus cerita, melainkan memuat perincian yang lebih

lengkap, sehingga terjadi perluasan pada batas yang wajar. Novel terkadang dipertentangkan dengan istilah roman. Namun sebetulnya tidak tidak ada perbedaannya. Yang membedakan hanya pada batas asal bahasa yang digunakan.Istilah roman berasal dari bahasa rakyat Prancis yang artinya cerita. Kemudian ke negeri Belanda, dan dari Belanda istilah Roman berkembang di Indonesia.

Menurut Sudjiman (1984:53) bahwa roman atau novel adalah proses rekaan yang panjang, menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan peristiwa dan latar secara tersusun.

Menurut Jassin, (1983:78) novel menceritakan sesuatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang, karena dari kejadian itu terlahir suatu konfliks, suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib mereka.

Novel dianggap sebagai dokumen atau kasus sejarah sebagai pengakuan (karena ditulis dengan sangat menyakinkan) sebagai sebuah cerita kejadian sebenarnya, sebagai sejarah hidup seseorang dan zamannya. (Wellek and Warren 1989:276).

Berbagi pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa novel adalah cerita fiktif yang melukiskan kehidupan para tokoh dan disusun dalam suatu alur tertentu.

Kata fiktif yang dimaksud bukanlah merupakan lawan dari kata

“kenyataan” melainkan lawan dari “fakta”, tetapi juga bukan merupakan hasil, dari kayalan belaka, karena yang dihasilkan

pengarang adalah hasil dari pemikiran atas dunia yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula kebenaran yang ada dalam dunia sastra tidak bisa disejajarkan dengan kebenaran dunia nyata, karena novel itu dihadirkan ketengah-tengah masyarakat untuk membentangkan segala permasalahan hidup, sekaligus menawarkan nilai-nilai dan cara pemecahan masalahnya, Nilai-nilai itu diharapkan dapat mengembalikan manusia pada keberadaannya.

Berdasarkan uraian tersebut dapatlah disimpulkan lebih jelas lagi bahwa pengertian novel adalah suatu bentuk cerita fiktif yang menceritakan atau melukiskan kehidupan para tokoh di dalam menghadapi dan memecahkan suatu masalah, yang disusun dalam suatu alur atau jalan cerita tertentu. Sehingga dengan membaca sebuah novel kita akan dapat mengetahui jalan pikiran orang lain dan dari orang lain pula kita bisa belajar tentang kehidupan, bisa menyelaraskan pola hidup yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain serta memiliki iman yang tebal.

2. Unsur – Unsur Struktural Novel

Novel merupakan hasil karya seorang sastrawan yang melalui suatu proses kreatif sastra yang disusun dalam alur tertentu dan dibangun oleh beberapa unsur yang selalu terkait, sehingga menjadi satu kesatuan yang padu dan utuh.

Pendek kata novel adalah suatu sistem yang terdiri atas beberapa komponen atau unsur yang terorganisasi sehingga menjadi suatu kesatuan yang bulat dan utuh untuk mencpai suatu tujuan tertentu yang diharapkan.

Unsur-unsur yang membangun suatu novel itu (unsur struktural) meliputi: tema, alur, peokohan, latar belakang, tegangan dan padahan, suasana, pusat pengisahan dan gaya bahasa. (Suharianto, 1982:37).

Sedangkan menurut Lukman Ali, (1978:116) unsur-unsur tersebut meliputi: alur, penokohan, latar, sudut pandang, tema dan amanat.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut dapat penulis simpulkan bahwa unsur-unsur yang membangun suatu novel meliputi:

tema, amanat, alur, penokohan, setting, pusat pengisahan, dan gaya bahasa.

Berikut akan penulis jelaskan satu persatu mengenai unsur-unsur pembangun novel tersebut.

a. Tema

Tema adalah suatu gagasan yang mendasari suatu cerita. Dalam suatu cerita, tema ini menduduki suatu titik yang sentral, karena cerita itu dikembangkan berdasarkan tema yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Tema akan selalu menjiwai keseluruhan karangan atau cerita.

Semi (1993:43), berpendapat bahwa tema adalah gagasan sentral yang menjadi dasar dan tujan atau amanat pengarang kepada pembaca. Tema merupakan pokok suatu pembicaraan atau ide pokok suatu tulisan. Tema adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita dan

memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai pedoman penngarang dalam mebuat cerita, sasaran tujuan penggarang cerita, dan mengikat peristiwa-peristiwa cerita dala suatu alur.

Tema memiliki peranan yang sangat besar di dalam suatu certa, karena berhasil tidaknya suatu cerita ditentukan pula oleh ketepatan dalam pemilihan tema. Suatu cerita yang tidak memiliki tema tentu tak ada gunanya dan artinya. (Tarigan 1985:125). Sekarang kita mengetahui betapa pentingnya suatu tema dalam cerita rekaan.

Scarbach dalam Aminudin, (1987:91) menyatakan bahwa tema berasal dari bahsa latin, yang berarti tempat meletakan sesuatu perangkat. Disebut demikian, karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita, sehingga berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.

Selanjutnya Panuti Sujiman menjelaskan, tema adalah gagasan yang mendasari karya sastra. Tema itu kadang-kadang di dukung oleh pelukisan latar, dalam karya lain tersirat dalam lakuan tokoh, atau dalam penokohan. Tema bahkan menjadikan faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu alaur. (1987:51).

Berdasarkan pendapat para ahli, tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tema adalah suatu ide atau pokok pikiran yang utama yang mendasari pengembangan keseluruhan cerita, sehingga berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya

fiksi yang diciptakannya dan akan selalu menjiwai cerita dan mengikat unsur-unsur cerita itu.

b. Amanat

Amanat suatu cerita berkaitan erat dengan tema yang diangkat oleh penulis. Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang lewat karyanya kepada para penikmat sastra. Dalam sastra lama, umumnya amanat disampaikan secara tersurat, tetapi dalam karya sastra medern, amamnat yang disampaikan cenderung dikemukakan secara tersirat. Amanat dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca.

Selanjutnya dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa amanat, pesan itu sama dengan “message” yang berarti pesan yang ingin disampaikan pengarang lewat karyanya kepada para pembaca atau pendengar.

Enesten (1991: 92) mengemukakan bahwa amanat merupakan hasil akhir dari pemecahan berbagai permasalahn yang terkandung dalam tema sentral. Amanat ada kalanya diungkapkan secara implisit sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda sesuai dengan kadar kemampuan yang dimiliki setiap orang dalam menghadapi setiap persoalan. Penikmat sastra dituntut untuk menggali lebih dalam untuk menemukan amanat yang dititipkan oleh pengarang. Sedangkan amanat yang diungkapkan secara eksplisit memungkinkan setiap orang

berada dalam kadar keputusan yang sejalan atau satu dengan yang lainnya

Dari pendapat tersebut sudah dapat disimpulkan bahwa pengertian amanat adalah suatu pesan, ajaran moral yang ingin disampaikan pengarang lewat karyanya kepada pembaca atau pendengar. Pesan ini bisa disampaikan secara tersurat maupun tersirat.

Amanat dimaksudkan sebagai suatu saran yang berkaitan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis dan dapat diambil serta ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.

Penafsiran setiap pembaca berbeda-beda tentang apa dan bagaimana manat dan sebuah karya sastra. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwaa amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca dan biasanya bersifat tersirat, sehingga penafsiran pembaca berbeda-beda mengenai amanat.

c. Alur Cerita (Plot)

Alur disebut juga plot atau jalan cerita. Alur merupakan salah satu unsur pembentuk novel. Pada bagian alur nampak bagaimana usaha pengarang dalam menyususun cerita untuk mengerjakan tema, membeberkan ide serta menyampaikan amanat kepada pembaca.

Menurut Semi (1993:43), alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagia interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi.

Djunaedie (1995:8), mengemukakan hal serupa bahwa alur adalah

rangkaian peristiwa yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh. Alur mengatur jalinan peristiwa yang dialami oleh tokoh dalam hubungan kausalitas, dimana satu peristiwa menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Hubungan peristiwa dalam cerita yang satu dengan peristiwa yang lain bersifat logis, juga mengandung hubungan kualitas, yaitu peristiwa yang satu menjadi penyebab timbulnya peristiwa yang lain. Alur cerita ditentukan dengan menguji sebab akibat peristiwa pokok. Sebab alur cerita sambung-menyambung.

Untuk lebih jelasnya tentang pengertian alur, berikut akan penulis kutip pendapat dari beberapa ahli sastra.

Alur adalah rangkaian cerita yang oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga terjadi suatu yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminudin, 1987:83). Sedangkan menurut Tarigan, yang dimaksud alur atau plot ialah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama (Taringan, 1985:126).

Selanjutnya Panuti sudjiman mengumpamakan alur itu sangkutan, tempat menyangkutkan bagian-bagian cerita, sehingga terbentuklah suatu bangunan yang utuh. (1987:29).

Alur sama dengan plot. Secara komplomenter berkaitan dengan cerita (story).

Berdasarkan beberapa uraian tersebut penulis mempunyai beberapa kesimpulan bahwa alur atau plot adalah rangkaian cerita yang oleh

tahapan-tahapan peristiwa dan struktur gerak yang terdapat dalam suatu cerita fiksi dimana terdapat sangkutan antara bagian yang satu dengan yang lain. Sehingga terjadi suatu yang dihadirkan oleh para pelaku untuk membentuk suatu bangunan cerita yang utuh.

Alur tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur cerita lain, karena merupakan bagian integral suatu cerita. Sehingga andaikata unsur-unsur tersebut dipisahkan dari suatu cerita, maka cerita itu akan matii atau beku sehingga tak lebih hanya sederetan fakta atau data saja.

Pengaluran yang harmonis akan menjadikan cerita lebih memikat, nampak betul-betul hidup, dan pembaca bisa hanyut dalam arus cerita yang dibacanya.

Plot atau alur dalam suatu cerita tidak harus dimulai dari pemaparan, pengngawatan dan seterusnya, tetapi bisa berubah-rubah berlangsungnya susunan cerita. Hal ini memungkinkan jalan cerita nampak realitis, tidak dibuat-buat oleh pengarangnya.

Perlu diketahui pula bahwa alur dalam cerita fiktif tidak harus ada satu pemaparan, penajakan dan sebagainya, melainkan bisa lebih dari satu. Hal ini nampak pada pengaluran yang terdapat dalam novel “para priyayi” (objek kajian skripsi ini).Setelah itu juga ditemui monolog interior dalam cerita (ungkapan yang hanya ada dalam benak tokoh dan tidak dilisankan) yang memungkinkan bisa mengaburkan alur.

Menurut susunannya alur bisa dibedakan atas tiga bentuk yaitu : 1. Alur lurus (cerita yang disusun dari titik awal dilanjutkan

peristiwa berikutnya sampai akhir cerita);

2. Alur sorot balik (cerita yang disusun dari bagian akhir dan bergerak menuju bagian awal);

3. Alur campuran (campuran antara alur lurus dengan alur sorot balik).

Alur dalam cerita rekaan, terdiri dari beberapa tahapan yang masing-masing tahapan salaing berkaitan. Tahapan alur itu biasanya disebut struktur alur.

Panuti Sudjiman (1987:30) menggambarkan struktur umum alur itu sebagai berikut :

Awal:

1. Paparan (exposition)

2. Rangsangan (inciting moment) 3. Gawatan (rising action)

Tengah:

1. Tikaian (conflict) 2. Rumitan (complication) 3. Klimaks (climaks)

Akhir:

1. Leraian (falling action) 2. Selesaian (denoument)

Sehubungan dengan tahap-tahap alur di atas, secara sederhana H.B., Jassin (1965:65), mengatakan bahwa alur atau plot terdiri atas tiga bagian yaitu permulaan; pertikaian dan penyelesaian.

Selanjutnya tentang tipe alur, Saleh Saad membedakan antara alur/plot yang erat dan longgar. (Lukman Ali, 1967:122).

Dalam plot yang erat, antara peristiwa satu dengan yang lain peristiwa itu organik sekali, tidak ada sebuah peristiwapun yang dapat dihilangkan sebab kalau dihilangkan akan mengganggu keseluruhan cerita. Sedangkan yang dimaksud alur longgar adalah hubungan peritiwa yang satu dengan lain tidak tidak sepadu dalam alur erat, sehingga mungkin ada peristiwa yang dapat ditinggalkan tanpa mengganggu keterpaduan cerita.

d. Tokoh dan Penokohan

Masalah watak dan penokohan dalam suatu cerita merupakan hal yang kehadirannya sangat penting, bahkan menentukan. Fiksi mempunyai sifat bercerita dan yang diceritakan adalah manusia dengan segala kemungkinannya. Penokohan adalah bagaimana cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh

dalam sebuah cerita rekaan Esten, (1990:27). Setiap tokoh mempunyai watak yang berbeda dengan tokoh lainnya.

Menurut Robert Stanton yang dikutip Baribin (1985:54) perwatakan dalam suatu fiksi biasanya dapat dipandang dari dua segi.

Pertama, mengacu kepada orang atau tokoh yang bermain dalam cerita. Dan yang kedua, mengacu kepada pembauran dan minat, keinginan, emosi dan moral yang membentuk individu yang bermain dalam suatu cerita.

Sujiman, (1991:23) mengartikan penokohan sebagai penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh dalam karya sastra. Tokoh itu sebenarnya tidak ada dalam dunia nyata. Namun, boleh jadi tokoh itu mempunyai sifat dan watak yang sama dengan seseorang yang kita kenal. Menurut Mursal Esten, (1990:27) ada dua cara menggambarkan watak tokoh-tokoh dalam suatu cerita.

Secara analitik, pengarang langsung menceritakan watak tokoh-tokohnya.

Secara dramatik, pengarang tidak langsung menggambarkan watak tokoh-tokohnya tetapi melaui penggambaran tempat, lingkungan tokoh, bentuk lahir, percakapan (dialog) maupun melalui perilakunya.

Nurgiyantoro (2005:176-194) membedakan tokoh dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan.

Pembagian jenis tokoh tersebut diuraikan sebagai berikut:

1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang menjadi pusat penceritaan.

Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak begitu dipentingkan dalam cerita, dalam keseluruhan cerita pemunculan lebih sedikit. Perbedaan tersebut dapat dilihat berdasarkakn segi peran. Peran utama lebih kompleks sementara tokoh tambahan perannya lebih sederhana, dan tidak begitu banyak berpengaruh memengaruhi alur cerita.

2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi dalam cerita karena kebaikan karakternya. Sementara tokoh penyebab terjadinya konflik disebut antagonis. Perbedaan ini berdasarkan fungsi penampilan tokoh

3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Adalah tokoh yang hanya memilki satu kualitas sisi kepribadian yang diungkapkan pengarang, sedangkan tokoh bulat memiliki berbagai sisi kehidupan dan jati dirinya.

4) Tokoh Statis dan Tokoh Dinamis

Tokoh statis adalah tokoh yang tidak memiliki pengembangan perwatakan sebagai akibat terjadinya konflik.

Sedangkan tokoh dinamis mengalami pengembangan perwatakan.

e. Latar atau Setting

Latar atau setting adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi.

Termasuk dalam latar adalah tempat atau ruang yang dapat diamati

serta waktu, hari, tahun, musim atau periode. Hal ini sejalan dengan pendapat Aminuddin (1987:65) yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa dalam cerita fiksi selalu dilatarbelakangi oleh tempat, waktu maupun situasi tertentu.

Dalam cerita fiksi latar bukan hanya berfugsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat cerita menjadi logis, tetapi juga memiliki fungsi psikologis, sehingga latar dapat memperjelas makna tertentu yang mengarahkan emosi atau aspek kejiwaan pembaca.

Latar fisikal berhubungan dengan tempat serta bentuk dalam lingkungan tertentu, sedangkan latar psikologis dapat berupa suasana maupun sikap serta jalan pikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu.

Untuk memahami latar yang bersifat fisikal pembaca cukup melihat dari apa yang tersurat, sedangkan untuk melihat latar psikologis membutuhkan penghayatan atau penapsiran.

Suroto, (1989:94) mengartikan latar atau setting sebagai penggambaran situasi, tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa. Latar memiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah karya fiksi. Karena sekailipun hanya cerita rekaan belaka, cerita fiksi tetap menyajikan sebuah dunia yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang dikisahkan hidup sebagaimana manusia pada kehidupan nyata.

Kehadiran tokoh ini mutlak memmerlukan ruang, tempat, dan waktu.

f. Sudut Pandang

Menurut Muchtar Lubis (1981:20) untuk menceritakan suatu cerita pengarang boleh memilih dari sudut mana ia akan menceritakan cerita itu, apakah dia sebagai orang di luar cerita ataukah dia sebagai orang yang berperan dalam cerita.Dengan demikian sudut pandang dapat diartikan sebagai posisi pengarang dalam cerita yang dibuatnya.

Selanjutnya Muchtar Lubis (1981:20) menjelaskan bahwa terdapat empat jenis sudut pandang, yakni:

a) Author Participant, penagarang turut mengambil bagian dalam cerita. Di sini pengarang biasanya sebagai tokoh utama dengan kata lain “aku” atau hanya mengambil bagian saja (tokoh bawahan).

b) Author Observer, pengarang sebagai peninjau.

c) Author Omniscient atau orang ketiga, dipakai pengarang dengan menggunakan kata “dia”.

d) Multiplek atau campuran dari ketiganya.

Nilai Pendidikan dalam karya Sasatra

Karya sastra sebagai hasil karya manusia mengandung nilai-nilai pendidikan, hal ini karena sastra dapat mengembangkan aspek cipta, rasa dan karsa manusia. Setidaknya ada tiga nilai pendidikan yang terdapat dalam suatu karya sastra, yakni: nilai sosial, nilai ketuhanan, dan nilai estetis.

Nilai Sosial

Nilai sosial merupakan himah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi disekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir sosial, dan sebagainya.

Sikap seseorang terhadap peristiwa sosial yang terjadi disekitarnya dapat dipergunakan untuk mmengetahui seberapa jauh kadar cita rasa sosial yang dimilikinya.

1) Nilai Ketuhanan

Sebuah novel yang baik, ia tidak akan lepas dari nilai-nilai ke-Tuhanan. Novel tersebut akan memberikan pendidikan ke-Tuhanan terhadap para pembacanya. Nilai ketuhanan itu sendiri bukan hanya meliputi kegiatan religi, tetapi juga kegiatan religiusitas.Artinya, tidak hanya meliputi pernyataan agama sebagai wujud ke-Tuhanan, tetapi juga mencakup totalitas citra rasa pribadi manusia yang mengakui agama.

Nilai pendidikan ke-Tuhanan dalam suatu novel mencakup, antara lain: sikap yang mencerminkan nilai keagamaan dan perbuatan yang mencerminkan pengamalan akan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya.

Kedua hal tersebut dapat terungkap dalam sutau novel secara tersurat maupun melalui dialog dan perbuatan para tokoh yang peran dalam cerita tersebut.

2) Nilai Estetis

Nilai pendidikan estetis dalam sebuah novel terlihat dari keindahan untaian kata-kata yang dapat membangkitkan emosi artistik pembaca serta mampu menjadikan karya sastra terasa indah. Keindahan tersebut dapat pula terungkap melalui gaya bahasa yang digunakan, diksi (pilihan kata), jalinan peritiwa, latar dan penokohan.

Umumnya pilihan kata dan penempatan kata yang tepat mampu menciptakan keindahan. Keindahan tercipta itu akan membawa pembaca merasakan terlibat suasana atau keadaan yang sesuai dengan cerita itu.

Selain itu, jalinan peritiwa yang dialami tokoh, dan latar yang diungkapkan dapat pula bernilai seni apabila mampu membangkitkan rasa estetis pembacanya.

3. Konstruksi Fenomena Sosial

Kluckhon (dalam Efendi, 2014:1) mengemukakan 5 macam nilai sosial yaitu: 1) hakikat hidup manusia, 2) hakikat karya manusia, 3) hakikat kehidupan manusia dalam ruang dan waktu, 4) hubungan manusia dan alam semesta, dan 5) hakikat manusia dengan sesamanya.

Realitas menurut pandangan paradigma defenisi sosial terhadap dunia sosial sekeliling. Realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesan bahwa ralitas itu “ada” dilihat dari subjektivitas “ada” itu sendiri dan dunia objektif di sekeliling realitas sosial itu. Individu itu tidak hanya dilihat dari mana “kedirian” itu berada, bagaimana ia menweima dan mengaktualisasikan dirinya serta

bagaimana lingkungan memerimanya. Realitas sosial sebagai perilaku sosial yangmemiliki makna subjektif , karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Perilaku sosial ini menjadi ‘sosial”, apabila yang dimaksudkan subjektif dari perilaku sosial membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan perlakuan orang lain dan mengarahkan kepada subjek itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat (Veeger dalam Bungin, 2007:188).

Istilah konstruksi sosial terhadap realitas (sosial construction of reality), menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Berger dan Luckman (1990) melalui bukunya yang mberjudul “The Social Construction of Reality, a Treatise it the Sociological of Knowledge”.

Asal mula konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme, yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme, (1) konstruktivisme radikal, hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran manusia, (2) konstruktivisme realism hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki, (3) konstruktivisme biasa, memahami pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentu realitas objek dalam dirinya sendiri (Suparno dalam Bungin, 2007:190).

Ketiga paham konstruktivisme tersebut memiliki persamaan, yaitu sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas

yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu membangun pengetahuan atas realita yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Konstruktivisme yangoleh Berger dan Luckman (1990:1), disebut dengan konstruksi sosial. Berger dan Luckman (1990:1), mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas, yang diakuimemiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung pada kehenda kita sendiri. Sedangkan

yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu membangun pengetahuan atas realita yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Konstruktivisme yangoleh Berger dan Luckman (1990:1), disebut dengan konstruksi sosial. Berger dan Luckman (1990:1), mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas, yang diakuimemiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung pada kehenda kita sendiri. Sedangkan

Dalam dokumen ROSITA Nomor Induk Mahasiswa : (Halaman 29-50)

Dokumen terkait