• Tidak ada hasil yang ditemukan

ROSITA Nomor Induk Mahasiswa :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ROSITA Nomor Induk Mahasiswa :"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

NOVEL BY ASMA NADIA AND HADIAH CINTA DARI ISTANBUL NOVEL BY FAIRUZ ABADI

TESIS

Oleh:

ROSITA

Nomor Induk Mahasiswa : 105040902014

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISITER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MAKASSAR 2016

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rosita

NIM : 105040902014

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Juli 2016 Yang menyatakan,

Rosita

(6)

v ABSTRAK

Rosita. 2016. Dekonstruksi Sosial dalam Novel Syurga yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia dan Hadiah Cinta dari Instanbul karya Fairuz Abadi. Tesis. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Program Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Andi Sukri Syamsuri dan Munirah.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dekonstruksi yang terdapat dalam novel SYTD karya asma Nadia dan HCDI karya Fairuz Abadi dan fenomena sosial dalam novel SYTD karya asma Nadia dan HCDI karya Fairuz Abadi berdasarkan perspektif feminisme.

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah novel SYTD karya asma Nadia dan HCDI karya Fairuz Abadi.

Data penelitian berupa ungkapan kata atau kalimat serta paragraf dalam dua novel.

Data dianalisis dengan membaca berulang-ulang, mengidentifikasi, mengklafisikasi, Berdasarkan hasil analisis dekonstruksi dalam novel SYTD karya Asma Nadia dan novel HCDI karya Fairuz Abadi, lahirnya pro-kontra paradigma dan ideologi tentang poligami baik oleh seseorang atau kelompok. Kebanyakan wanita yang telah berstatus istri sekaligus menjadi ibu mengalah dan memilih mempertahankan rumah tangganya yang hancur karena orang ketiga untuk tidak bercerai dengan alasan anak-anaknya. Fenomena sosial dalam novel SYTD karya Asma Nadia dan novel HCDI karya Fairuz Abadi adalah sosial yang menjadi gaya hidup kekinian besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat modern. sosok wanita yang dihadirkan penulis wanita itu sendiri seperti Asma Nadia dalam novel SYTD dengan perspektif feminisme, wanita yang tertindas dapat mempertahankan haknya untuk beragumentasi/berpendapat, berekspresi. Sosok wanita yang dihadirkan penulis laki-laki sebagimana goresan pena Fairuz Abadi yang tertuang dalam karyanya novel HCDI yakni, wanita diuraikan dengan penuh kekaguman seperti bidadari syurga yang hadir di dunia, wanita adalah makhluk lemah dengan sejuta keramahan serta kelembutan sebagaimana kodradnya.

Kata kunci: Dekonstruksi Sosial, Surga yang Tak Dirindukan, Hadiah Cinta dari Istanbul

(7)

ii ABSTRAK

Rosita. 2016. Dekonstruksi Sosial dalam Novel Syurga yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia dan Hadiah Cinta dari Instanbul karya Fairuz Abadi.

Tesis. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Program Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Andi Sukri Syamsuri dan Munirah.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dekonstruksi yang terdapat dalam novel SYTD karya asma Nadia dan HCDI karya Fairuz Abadi dan fenomena sosial dalam novel SYTD karya asma Nadia dan HCDI karya Fairuz Abadi berdasarkan perspektif feminisme.

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah novel SYTD karya asma Nadia dan HCDI karya Fairuz Abadi. Data penelitian berupa ungkapan kata atau kalimat serta paragraf dalam dua novel. Data dianalisis dengan membaca berulang-ulang, mengidentifikasi, mengklafisikasi,

Berdasarkan hasil analisis dekonstruksi dalam novel SYTD karya Asma Nadia dan novel HCDI karya Fairuz Abadi, lahirnya pro-kontra paradigma dan ideologi tentang poligami baik oleh seseorang atau kelompok. Kebanyakan wanita yang telah berstatus istri sekaligus menjadi ibu mengalah dan memilih mempertahankan rumah tangganya yang hancur karena orang ketiga untuk tidak bercerai dengan alasan anak-anaknya. Fenomena sosial dalam novel SYTD karya Asma Nadia dan novel HCDI karya Fairuz Abadi adalah sosial yang menjadi gaya hidup kekinian besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat modern. sosok wanita yang dihadirkan penulis wanita itu sendiri seperti Asma Nadia dalam novel SYTD dengan perspektif feminisme, wanita yang tertindas dapat mempertahankan haknya untuk beragumentasi/berpendapat, berekspresi. Sosok wanita yang dihadirkan penulis laki-laki sebagimana goresan pena Fairuz Abadi yang tertuang dalam karyanya novel HCDI yakni, wanita diuraikan dengan penuh kekaguman seperti bidadari syurga yang hadir di dunia, wanita adalah makhluk lemah dengan sejuta keramahan serta kelembutan sebagaimana kodradnya.

Kata kunci: Dekonstruksi Sosial, Surga yang Tak Dirindukan, Hadiah Cinta dari Istanbul

(8)

PRAKATA









ﻦﯿﻌﻤﺟا ﮫﺑﺎﺤﺻاو ﮫﻟا ﻰﻠﻋو ﷲ لﻮﺳر ﻰﻠﻋ مﻶﺴﻟاو ةﻸﺼﻟاو ﻦﯿﻤﻠﻌﻟا بر ﺪﻤﺤﻟ ا Syukur alhamdulillah, penyusun panjatkan ke hadirat Allah Azza wa Jalla atas segala rahmat, taufik, berkah serta hidayah-Nya serta salawat semoga selalu terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “ Dekonstruksi Sosial dalam Novel Surga yang tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan Hadiah Cinta dari Istambul Karaya Fairuz Abadi” semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk perkembangan pendidikan.

Penulis menyadari bahwa tidak mampu menyelesaikan tesis ini tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan yang tidak ternilai harganya dari berbagai pihak. Untuk itu, rasa syukur yang tidak terkira penulis panjatkan kepada Allah Azza wa Jalla yang Maha Metahui kelemahan penulis yang telah mengutus hamba-hambaNya yang berhati ikhlas untuk membantu dan mendukung penulis selam proses penyusunan hingga terselesaikannya tesis ini.

Dengan penuh rasa hormat, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua pembimbing, Dr. H. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum., dosen pembimbing I dan Dr. Munirah, M.Pd., dosen pembimbing II yang dengan sabar dan ikhlas meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan sejak penyusunan proposal hingga terselesaikannya tesis ini. Ucapan terima kasih pula

penulis kepada tim penguji, Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M.Pd., dan

vii

(9)

Prof. Dr. H. Achmad Tolla, M.Pd., yang memberikan kritikan dan saran serta tambahan ilmu kepada penulis demi penyempurnaan tesis ini.

Terima kasih dan penghormatan setinggi-tingginya kepada pihak Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu. Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr. H. Irwan Akib, M.Pd., Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, Prof. Dr. H. M Ide Said D.M., M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr. Abdul Rahman Rahim, M.Hum., segenap dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah banyak mencurahkan tenaga dan pikiran maupun dukungan moral selama perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini, staf Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah banyak membantu dalam administrasi selama proses perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini.

Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan sumbangsi, baik dalam bentuk tenaga, pikiran, maupun dukungan moral kepada keluarga, sahabat dan teman PPs., terutama Kelas B Angkatan 2014. Karya ini penulis persembahkan kepada ayahanda Bakrin bin H. Muhammad dan ibunda Siti Mariam binti Hamzah, saudara-saudaraku Dedi Riadin dan Muhram, Jazzakallahu khairat. Berkat doa dan usaha serta motivasi kalianlah hingga keberhasilan perjuangan ini tercapai dengan segala keridhaan Allah Azza wa Jalla.

Makassar, Juli 2016

Rosita

(10)

ix

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMANPENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

PRAKATA... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 15

A. Tinjauan Pustaka... 15

B. Tinjauan Teori dan Konsep ... 18

C. Kerangka Pikir... 39

BAB III METODE PENELITIAN ... 41

A. Pendekatan Penelitian ... 41

B. Teknik Pengumpulan Data ... 42

C. Teknik Analsisi Data ... 43

D. Pengecekan Keabsahan Temuan ... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Hasil Penelitian... 45

B. Pembahasan ... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. Kesimpulan... 73

B. Saran... 74

(11)

x

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, dunia intelektual diguncang oleh munculnya arus pemikiran, paham, gerakan, atau bahkan mungkin era baru yaitu yang dikenal dengan sebutan posmodernisme atau ada juga yang menyebutnya sebagai pascamodernisme. Sesuai dengan namanya, posmodern merupakan rekreasi keras dan penolakan terhadap pandangan-pandangan modern yang dianggap terlalu banyak cacat.

Posmodern menunjukkan suatu rasa yang meluas tentang merosotnya wewenang modernisme dan munculnya epistemologi baru dalam jangkauan khasanah kesenian dan intelektual memutuskan hubungan dan berlawanan dengan paradigma modernisme. Bagi yang lain, posmodern merupakan pertanda kematian modernisme beserta garda depannya, atau merupakan pembelotan dari berbagai aturan modernisme yang dianggap sebagai kemapanan (Dunn, 1993: 38). http://ahmada- tasnim-fib12.web.html (diakses tgl 31 Desember 2015).

Posmodernisme menolak universalitas, totalitas, keutuhan organis, pensisteman dan segala macam legitimasi, termasuk dalam bidang keilmuan atau apa yang oleh Lyotard disebut grand-narrative. Ia menolak kemapaman atau kebakuan teori-teori modernisme, untuk linguistik misalnya teori strukturalisme yang disebutnya sebagai grand-theory, karena teori-teori itu dianggapnya terlalu menyederhanakan persoalan

1

(13)

yang sesungguhnya dan cenderung menolak pluralisme. Posmodernisme menggoyang sendi-sendi teori atau ilmu sastra, linguistik, estetika, dan sampai pada pemikiran antiteori. Salah satu bentuk penolakan teori itu misalnya teori dekonstruksi yang juga diterapkan dalam pendekatan kesastraan (Abrams, 1981: 34 - 40).

Model pendekatan dekonstruksi dalam bidang kesastraan khususnya fiksi dewasa ini terlihat banyak diminati orang sebagai salah satu model atau alternatif dalam kegiatan pengkajian sastra. Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapan (walau hal itu hanya secara implisit) bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentu (Abrams, 1981:38).

Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan sebagaimana halnya pada pandangan strukturalisme klasik.Tidak ada ungkapan atau bentuk- bentuk kebahasaan yang dipergunakan untuk membahasakan objek yang bermakna tertentu dan pasti. Hal ini merupakan alasan mengapa paham dekonstruksi disebut sebagai poststrukturalis. Selain itu, ia juga disebutkan sebagai paham yang menolak konsep teori Saussure, juga Jakobson (yang dapat dipandang sebagai grand-theory) baik yang berupa teori linguistik struktural maupun teori semiotik yang dikembangkan dari teori strukturalisme itu. Kesetiaan yang berlebihan terhadap suatu teori menurut

(14)

paham ini, justru akan memunculkan adanya pembangkangan terhadap kebenaran teori itu sendiri-dekonstruksi dalam hal ini dapat dipandang sebagai pembangkang terhadap teori struktural dan semiotik dalam linguistik itu.

Mendekonstruksi sebuah wacana (kesastraan) dengan demikian adalah menunjukkan bagaimana meruntuhkan filosofi yang melandasinya atau beroposisi secara hierarkis terhadap sesuatu yang menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operasional retorika yang ada dalam teks itu (Culler, 1983:86). Dekonstruksi terhadap suatu teks kesastraan, dengan demikian menolak makna umum yang diasumsikan ada dan melandasi karya yang bersangkutan dengan unsur- unsur yang ada dalam karya itu sendiri. Berangkat dari latar belakang tersebut dapat diketahui rumusan masalah seperti berikut. Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan- anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan- anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.

Munculnya pascastrukturalis secara otomatis akan melupakan struktus dan akan mendekonstruksi karya sastra sehingga pascastrukturalis juga sering disebut sebagai istilah dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan

(15)

ragam terori sastra yang tidak begitu menghiraukan struktur karya sastra.

Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks.

Menurut Ratna (2004:222) dekonstruksi, yang dipolopori oleh Juques Derrida, menolak adanya logosentisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lain yang bersifat hierarkis dikotomi.

Abrams (dalam Rokhomansyah, 2013:124) mengungkapkan bahwa dekonstruksi pada hakikatnya merupakan cara membaca teks yang menumbangkan anggapan untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentu. Teori ini menolak anggapan bahwa bahasa memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik.

Tujuan yang diinginkan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dia menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepingan di balik teks-teks (Norris, 2006:13). Jika ujaran memerlukan kehadiran baik penutur maupun pengengaran, maka tulisan memerlukan ketidakhadiran dan penundaan sehingga menimbulkan ambiguitas.

Metode dekonstruksi merupakan proyek filsafat yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkan bahwa filsafat barat seluruhnya bersifat logosentris. Dengan demikian, dekonstruksi

(16)

mengkritik seluruh proyek filsafat barat. Dekonstruksi terhadap suatu teks kesastraan, dengan demikian menolak makna umum yang diasumsikan ada dan melandasi karya yang bersangkutan dengan unsur-unsur yang ada dalam karya itu sendiri.

Pendekatan dekonstruksi ini bisa diterapkan dalam menganalisis karya sastra maupun filsafat. Dalam pembacaan karya sastra, dekonstruksi bukan maksud untuk mendekatkan makna makna sebagaimana yang biasa dilakukan. Derrida selalu ingin memulai filsafat dekonstruksinya dari hal- hal yang tidak terpikirkan. Maksudnya, bahwa unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar, bukanlah hal yang remeh temeh, melainkan unsur yang secara filosofis menjadi menentu atau unsur yang menjadikan teks tersebut menjadi filosofis ( Norris, 2006:12)

Banyak batasan mengenai definisi sastra, antara lain: (1) sastra adalah seni; (2) sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam; (3) sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa, sedangkan yang dimaksud dengan pikiran adalah pandangan, ide-ide, perasaan, pimikiran, dan semua kegiatan mental manusia; (4) sastra adalah inspirasi kehidupan yang dimaterikan (diwujudkan) dalam sebuah bentuk keindahan; (5) sastra adalah semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang mendalam dan kekuatan moral dengan sentuhan kesucian kebebasan pandangan dan bentuk yang mempesona.

Karya sastra adalah pengejawantahan kehidupan, hasil pengamatan sastrawan atas kehidupan sekitarnya, kehidupan yang diwarnai dengan

(17)

sikap penulisnya, latar belakang pendidikan, keyakinan, dan sebagiannya (Suharianto, 1982:11). Dengan kata, lain karya sastra tercipta karena adanya pengalaman batin pangarang, berupa peristiwa atau pengalaman hidup yang kemudian menghadirkan gagasan atau imajinasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Karya sastra tercipta karena adanya peristiwa atau persoalan dunia yang terekam oleh jiwa pengarang. Melalui karya sastra, seorang sastrawan mengungkapkan berbagai pengalaman manusia agar memetik pelajaran baik daripadanya.

Karya sastra selalu menampilkan gambaran hidup dari kehidupan itu sendiri, yang merupakan refleksi hasil interaksi pengarang dengan kenyataan yang ditemukannya dalam masyarakat. (realitas objektif) yang dapat berbentuk peristiwa, norma (tata nilai), ajaran agama, dan pandangan hidup yang ada dalam masyarakat. Karena itu, seorang pencipta sastra tidak hanya mengekspresikan pengalaman jiwanya, tetapi juga bermaksud mendorong, mempengaruhi, dan menyadarkan penikmatnya tentang permasalahan serta ide yang dituangkan dalam karyanya. Interaksi tersebut merupakan ikatan timbal balik antara karya sastra dengan masyarakat. Sehingga, sekalipun karya sastra hanyalah sebuah cerita rekaan, tetapi mampu memberikan manfaat bagi pembacanya. Meski demikian, tidak berarti bahwa sastra yang baik adalah sastra yang penuh nasihat. Sebagai representasi kehidupan sosial sebuah karya sastra menyumbangkan tata nilai figur dan tuntutan masyarakat.

Tidak heran jika kemudian sebuah karya sastra dianggap sebagai salah

(18)

satu medium yang paling efektif untuk membna karakter dan kepribadian suatu kelompok masyarakat.

Menurut Wellek dan Warren (1995:3) karya sastra merupakan sebuah cerita dan karena itu, di dalamnya terkandunng sebuah tujuan memberikan sebuah hiburan kepada pembaca. Menurut Sumardjo dan Saini (1988:3) Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa karya sastra yang baik adalah karya sastra yang menunjukan suatu pengalaman sehingga kita dapat belajar lewat karya sastra. Karya sastra dapat membuka mata pembaca untuk mengetahui realitas sosial, politik serta budaya dalam bingkai moral dan estetika.

Novel sebagai salah satu karya sastra adalah suatu bentuk karya sastra yang melukiskan kehidupan dalam uraian cerita kejadian yang menyangkut kehidupan manusia dalam segenap kondisi, baik itu sedih, bahagia, gembira, benci, cinta, kesengsaraan, dan penderitaan. Novel bukan sekedar serangkaian tulisan yang menarik ketika dibaca, melainkan merupakan struktur pikiran yang tersusun dari unsur-unsur yang terpadu.

Menurut Jassin (1991:64-65), novel adalah suatu karya prosa yang bersifat cerita, yang menceritakan suatu kejadian luar biasa dari kehidupan orang- orang (tokoh cerita), dari kejadian ini muncul konflik suatu pertikaian yang menimbulkan pergolakan jiwa tokoh-tokoh sehingga mengubah jalan hidup tokoh-tokoh tersebut.

(19)

Seorang pengarang yang mampu mengarang sebuah novel dengan baik dan biasanya tema yang diangkat berasal dari kehidupan yang pernah dialaminya sendiri, pengalaman orang lain yang pernah pengarang lihat dan dengar, ataupun hasil imajinasi pengarang. Wujud dari novel adalah kosentrasi, pemusatan atau memfokuskan kehidupan dalam suatu krisis yang menetukan. Novel merupakan salah satu bentuk karya fiksi yang menyampaikan permasalahan kehidupan yang kompleks dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai salah satu bentuk karya sastra yang merupan potret kehidupan sosial, novel dapat dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan masyarakat.

Novel Syurga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan novel Hadiah Cinta dari Istanbul Karya Fairuz Abadi kedua novel tersebut melukiskan keteguhan hati kaum perempuan yang telah berstatus istri dalam menjalani kehidupan di lingkungan sosial dalam menapak prahara rumah tangga yang tak terlepas dari ujian dan cobaan. Bukan hanya kisah seorang istri dengan kesedihan yang mengharu biru, melainkan juga tentang bagaimna seorang wanita menghadapi semua problematika kehidupan dalam rumah tangga dengan segenap hati dan perasaan yang mendalam.

Di tengah gelombang problematika kekinian dalam kehidupan rumah tangga, kedua novel tersebut memberikan nilai dan pesan yang sangat diperlukan di tengah kehidupan yang semakin materialis dan hedonis, serta jauh dari tuntutan syari’ah. Fokus utama kedua novel ini

(20)

adalah cara istri menyikapi prahara rumah tangga yang diambang perceraian lantaran suami menikah lagi atau dikenal dengan istilah poligami. Karya Asma Nadia dan Fairuz Abadi tersebut memberikan ruang besar untuk dominasi maskulin yang begitu kuat dalam kehidupan sosial manusia. Novel Surga yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia dan Hadia Cinta dari Istanbul karya Fairuz Abadi ini merupakan sebuah novel yang tidak cukup dibaca saja, melainkan perlu mendapat tanggapan ilmiah.

Peneliti memilih novel Asma Nadia dan Fairuz Abadi karena pengarang tersebut terkenal sebagai penulis Indonesia yang terhitung produktif yang menganut aliran idealisme. Selain itu ia tergolong pengarang yang banyak disenangi karya-karyanya oleh pembaca.

Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji dekonstruksi sosial dalam novel Syurga yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia dan Hadiah Cinta dari Istanbul karya Fairuz Abadi. Fokus utama kedua novel tersebut adalah bagaimana seorang istri menyikapi prahara rumah tangga.

Penulis tergelitik dengan fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita sebagian dengan mudahnya menganggampangkan untuk poligami dan juga bersanding kalangan yang tidak sedikit pula menolak mentah-mentak tanpa alasan jelas menolak poligami, ironinya poligami dianggap kutukan dalam sebuah rumah tangga. Tentu saja hal ini keluar dari ajaran islam yang membolehkan poligami sebagiaman Firman Allah dalam QS. An- Nisaa’:3 sebagai berikut:



























































(21)

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak- hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Al- Quranulkarim, 2007:77).

Ayat yang peneliti kutip di atas sangat jelas dibolehkan poligami bagi yang mau dan mampu. Juga terdapat dalam UU Perkawinan Pasal 3 Ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” (UU Perkawinan, 2015: 2)

UU Perkawinan pasal 4 Ayat 1-2 yang berbunyi sebagai berikut:

“(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2) Pengadilan dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

[265] berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

(22)

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri;

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.” (UUP, 2015:2-3) UU Perkawinan Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:

“Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang harus memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan- keperluan hidup anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. (UUP, 2015:3)

Pernikahan poligami telah ada sejak zaman Nabi-nabi terdahulu.

Nabi Ibrahim, Ishaq, Dawud, dan Sulaiman pun menikahi lebih dari satu wanita. Islam pun membolehkan memiliki budak wanita dan menggaulinya sebagai mana Allah tegaskan dalam surah al-Mukminnuun dan al- Ma’aarij. Dan dengan ayat pada surah itu pula para ulama bersepakat memiliki budak wanita yang boleh digauli. Namun agama Islam bukanlah yang pertama membolehkannya. Syariat ini telah ada sejak zaman Nabi Ibrahim alaihissalam sebagaimana beliau memiliki Hajar, wanita hadiah dari Raja Mesir yang kemudian dinikahinya. Nabi Sulaiman

(23)

pun memiliki budak wanita sebanyak seratus. Bahkan dalam kitab Taurad bahwa Nabi-nabi Bani Israil juga memiliki budak-budak wanita. Jadi, poligami pun sudah dikenal dan dipraktikan oleh orang-orang Yahudi. Dan di kitab Injil pun pernikahan poligami telah ada hingga tersebut kisah yusuf an-Najjar, maryam, dan saudara Isa. Fuad al-Hasyimi, seorang profesor yang masuk Islam mengatakan bahwa agama Nasrani mengakui bolehnya poligami dan itu di akui oleh Wester Mark, sebagaimana juga yang di paparkan oleh Gustion. (Dr. Syauqi Abu Khali dalam bukunya al- Islam fi Qafashi al-ittiham dalam Fauruz, 2015:340)

Polimik yang berkembang dalam masyarakat kekinian ihwal gampang-sukarnya menjalani poligami telah akut menyerang dalam rana segelintir masyarakat sebagaimana yang tersirat dalam isi novel Surga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan novel Hadiah Cinta dari Istanbul Karya FairuzAbadi.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tergelitik untuk menyikapi, menanggapi, menelaah, dan menganalisis dekonstruksi sosial dalam novel Surga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan novel Hadiah Cinta dari Istanbul Karya Fairuz Abadi.

(24)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagiamanakah dekonstruksi yang terdapat dalam Novel Surga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan novel Hadiah Cinta dari Istanbul Karya Fairuz Abadi?

2. Bagaimanakah fenomena sosial dalam novel Surga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan novel Hadiah Cinta dari Istanbul Karya Fairuz Abadi?

C. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mendeskripsikan dekonstruksi yang terdapat dalam dalam novel Surga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan novel Hadiah Cinta dari Istanbul Karya Fairuz Abadi.

2. Untuk mendeskripsikan fenomena sosial dalam novel Surga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan novel Hadiah Cinta dari Istanbul Karya Fairuz Abadi.

(25)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini yakni sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

a. Menambah wawasan dan cakrawala pengetahuan tentang penerapan teori-teori dekonstruksi dan kritik sastra dalam sastra Indonesia.

b. Memperoleh gambaran sosial masyarakat Indonesia khususnya polemik ajaran agama dalam dinamika ekstensi perempuan di Indonesia.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Penulis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih berupa pengetahuan fenomena sosial yang berkecamung di tengah masyarakat lewat karya sastra Indonesia.

b. Bagi Pembaca

Menambah wawsan tentang kritik sastra dekonstrusi sosial dalam novel Indonesia, khususnya novel Surga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan novel Hadiah Cinta dari Istanbul Karya Fairuz Abadi.

c. Bagi Penulis Lain

Dapat digunakan sebagai tambahan referensi dan menambah pengetahuan tentang menganalisis novel berdasarkan dekonstruksi sosial.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

Langkah-langkah penerapan pendekatan dekonstruksi, seperti yang disintesakan oleh Radolph Gasche (dalam Norris, 2006:13) adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi hierarki oposisi teks dimana biasanya terlihat peristilahan mana yang tidak;

2. Membongkar oposisi biner, yaitu dengan cara membalik oposisi biner- marginal jadi dominan, decentering, sous rature, dan pengubahan perpsektif; dan

3. Memperkenalkan sebuah gagaasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama.

Dekonstruksi berupaya untuk membuktikan bahwa makna dalam sebuah karya sastra tidak tunggal.

Sebagai acuan dalam penelitian yang penulis angkat dengan judul;

Dekonstruksi Sosial dalam novel Surga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan Novel Hadiah Cinta dari Istanbul Karya Fairuz Abadi yakni berpedoman pada beberapa penelian berikut:

Kajian serupa dalam fenomena sosial karya sastra telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Salah satunya Efendi, (2014) dengan judul, “Analisis Nilai Sosial dalam Novel Edensor Karya Andrea Hirata”.

15

(27)

Berdasarkan hasil analisisnya, Efendi (2014) menyimpulkan bahwa nilai sosial dalam novel Edenson melukiskan kehidupan yang memiliki nilai sosial. Setiap tokoh cerita di dalam novel menciptakan suasana keakraban, kekompakan, keharmonisan, dan bersifat kemanusiaan. Tokoh-tokoh dalam cerita memilki rasa kepedulian terhadap masalah kemanusia.

Hakikat hidup manusia, setiap tokoh memilki cara atau perencanaaan dalam menentukan perjalanan hidupnya.

Penelitian serupa dilakukan oleh Ambarwati (2009) dalam penelitian yang berjudul, “Perspektif Feminisme dalam Novel Perempuan di Titik Nol Terjemahan Novel Imra’atul’inda Nuqtah Al-Shifr Karya Nawal El-Sa’dawi dan Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El- Khalieqy”, juga mengungkapkan fenomena sosial dalam novel PdTN dan PBS yang menunjukkan eksistensi mereka sebagia manusia yang mandiri, terlepas dari segala bentuk penindasan atas nama gender, serta mampu menunjukkan harkat dan martabat sebagai manusia.Ekstensi tersebut terwujut dalam bentuk kebebasan memilih dan memutuskan sendiri apa yang menurut mereka baik, tanpa harus bersumber atau ditentukan oleh laki-laki maupun orang lain di luar dirinya sebagai perempuan.

Hj. Roslida (2015), dalam peneltian yang berjudul, “Fenomena Sosial dalam Novel Muhasabah Cinta dan Novel Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia”, berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa baik novel CHSI dan MCSI mengusung gtema yang sama, yakni tentang keluarga dan kehidupan suami istri dalam rumah tangga. Perempuan perlu

(28)

mempertahankan hak dan martabatnya dengan hidup mandiri, berani menyampaikan pendapat, mempertahankan hak-hak individu berupa hak untuk berpendapat dan berekspresi diri. Menunjukkan adanya fenomena sosial yang menunjukan bahwa perempuan sebagia sosok yang tertindas dalamkehidupan rumah tanganya.

Penelitian Serupa dilakukan oleh Agus Budiyanto (2015) "Respons Neurotik Kehidupan Sosial Tokoh Sentral dalam Novel Boulevard De Clichy (Agonia Cinta Monyet) Karya Remy Sylado: Kajian Psikoanalisis Karen Horney”. diperoleh hasil sebagai berikut: (1) tokoh Nunuk dan Budiman menampilkan representasi kehidupan sosial meliputi kehidupan ekonomi, kehidupan budaya, dan kehidupan politik; (2) Nunuk memiliki 4 kebutuhan neurotik dan Budiman memiliki 2 kebutuhan neurotik.

Keduanya menampilkan respons neurotik sesuai dengan kebutuhan yang dimiliki.

Keempat penelitian sebelumnya yang diuraikan di atas, memiliki persamaan, yakni mengkaji fenomena sosial dalam karya sastra dari persamaannya, yakni mengkaji fenomena sosial dalam kehidupan.

Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji dekonstruksi sosial dalam novel Surga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan Novel Hadiah Cinta dari Istanbul Karya Fairuz Abadi. Fokus utama dalam kedua novel tersebut adalah bagaimana seorang istri menyikapi praha rumah tangganya.

(29)

B. Tinjauan Teori dan Konsep 1. Novel

Novel berasal dari bahasa Latin ‘novellus’ yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena perbandingan jenis sastra lainnya seperti puisi, drama dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul kemudian. Banyak ahli sastra yang telah mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian novel, namun hingga saat ini belum ada satu patokan pun dari pendapat mereka yang dapat diterima oleh semua pihak. Hal ini disebabkan karena dalam membicarakan novel cakupan wilayah yang sangat luas atau tidak hanya menyangkut satu masalah saja tetapi banyak hal.

Sekalipun masih bersifat umum, berikut ini penulis ketengahkan beberapa pendapat para ahli sastra tentang definisi novel.

Novel menurut Tarigan (1986:154) adalah suatu cerita prosa yang fiktif dan panjang yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang refesentif dalam suatu keadaan yang agak kacau atau kusut (dalam artian, keadaan yang penuh konflik).

Novel lebih singkat dari pada roman, menampilkan satu episode saja. Dalam sastra Inggris istilah novel diperuntukan bagi roman yang ditulis pada abad ke-20 (a novel by Graham Greene).

Novel adalah karya fiksi yang mempunyai ruang gerak yang luas.Jalan ceritatentang pelaku lebih panjang. Novel tidak memusatkan pada salah satu fokus cerita, melainkan memuat perincian yang lebih

(30)

lengkap, sehingga terjadi perluasan pada batas yang wajar. Novel terkadang dipertentangkan dengan istilah roman. Namun sebetulnya tidak tidak ada perbedaannya. Yang membedakan hanya pada batas asal bahasa yang digunakan.Istilah roman berasal dari bahasa rakyat Prancis yang artinya cerita. Kemudian ke negeri Belanda, dan dari Belanda istilah Roman berkembang di Indonesia.

Menurut Sudjiman (1984:53) bahwa roman atau novel adalah proses rekaan yang panjang, menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan peristiwa dan latar secara tersusun.

Menurut Jassin, (1983:78) novel menceritakan sesuatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang, karena dari kejadian itu terlahir suatu konfliks, suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib mereka.

Novel dianggap sebagai dokumen atau kasus sejarah sebagai pengakuan (karena ditulis dengan sangat menyakinkan) sebagai sebuah cerita kejadian sebenarnya, sebagai sejarah hidup seseorang dan zamannya. (Wellek and Warren 1989:276).

Berbagi pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa novel adalah cerita fiktif yang melukiskan kehidupan para tokoh dan disusun dalam suatu alur tertentu.

Kata fiktif yang dimaksud bukanlah merupakan lawan dari kata

“kenyataan” melainkan lawan dari “fakta”, tetapi juga bukan merupakan hasil, dari kayalan belaka, karena yang dihasilkan

(31)

pengarang adalah hasil dari pemikiran atas dunia yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula kebenaran yang ada dalam dunia sastra tidak bisa disejajarkan dengan kebenaran dunia nyata, karena novel itu dihadirkan ketengah-tengah masyarakat untuk membentangkan segala permasalahan hidup, sekaligus menawarkan nilai-nilai dan cara pemecahan masalahnya, Nilai-nilai itu diharapkan dapat mengembalikan manusia pada keberadaannya.

Berdasarkan uraian tersebut dapatlah disimpulkan lebih jelas lagi bahwa pengertian novel adalah suatu bentuk cerita fiktif yang menceritakan atau melukiskan kehidupan para tokoh di dalam menghadapi dan memecahkan suatu masalah, yang disusun dalam suatu alur atau jalan cerita tertentu. Sehingga dengan membaca sebuah novel kita akan dapat mengetahui jalan pikiran orang lain dan dari orang lain pula kita bisa belajar tentang kehidupan, bisa menyelaraskan pola hidup yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain serta memiliki iman yang tebal.

2. Unsur – Unsur Struktural Novel

Novel merupakan hasil karya seorang sastrawan yang melalui suatu proses kreatif sastra yang disusun dalam alur tertentu dan dibangun oleh beberapa unsur yang selalu terkait, sehingga menjadi satu kesatuan yang padu dan utuh.

(32)

Pendek kata novel adalah suatu sistem yang terdiri atas beberapa komponen atau unsur yang terorganisasi sehingga menjadi suatu kesatuan yang bulat dan utuh untuk mencpai suatu tujuan tertentu yang diharapkan.

Unsur-unsur yang membangun suatu novel itu (unsur struktural) meliputi: tema, alur, peokohan, latar belakang, tegangan dan padahan, suasana, pusat pengisahan dan gaya bahasa. (Suharianto, 1982:37).

Sedangkan menurut Lukman Ali, (1978:116) unsur-unsur tersebut meliputi: alur, penokohan, latar, sudut pandang, tema dan amanat.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut dapat penulis simpulkan bahwa unsur-unsur yang membangun suatu novel meliputi:

tema, amanat, alur, penokohan, setting, pusat pengisahan, dan gaya bahasa.

Berikut akan penulis jelaskan satu persatu mengenai unsur-unsur pembangun novel tersebut.

a. Tema

Tema adalah suatu gagasan yang mendasari suatu cerita. Dalam suatu cerita, tema ini menduduki suatu titik yang sentral, karena cerita itu dikembangkan berdasarkan tema yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Tema akan selalu menjiwai keseluruhan karangan atau cerita.

Semi (1993:43), berpendapat bahwa tema adalah gagasan sentral yang menjadi dasar dan tujan atau amanat pengarang kepada pembaca. Tema merupakan pokok suatu pembicaraan atau ide pokok suatu tulisan. Tema adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita dan

(33)

memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai pedoman penngarang dalam mebuat cerita, sasaran tujuan penggarang cerita, dan mengikat peristiwa-peristiwa cerita dala suatu alur.

Tema memiliki peranan yang sangat besar di dalam suatu certa, karena berhasil tidaknya suatu cerita ditentukan pula oleh ketepatan dalam pemilihan tema. Suatu cerita yang tidak memiliki tema tentu tak ada gunanya dan artinya. (Tarigan 1985:125). Sekarang kita mengetahui betapa pentingnya suatu tema dalam cerita rekaan.

Scarbach dalam Aminudin, (1987:91) menyatakan bahwa tema berasal dari bahsa latin, yang berarti tempat meletakan sesuatu perangkat. Disebut demikian, karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita, sehingga berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.

Selanjutnya Panuti Sujiman menjelaskan, tema adalah gagasan yang mendasari karya sastra. Tema itu kadang-kadang di dukung oleh pelukisan latar, dalam karya lain tersirat dalam lakuan tokoh, atau dalam penokohan. Tema bahkan menjadikan faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu alaur. (1987:51).

Berdasarkan pendapat para ahli, tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tema adalah suatu ide atau pokok pikiran yang utama yang mendasari pengembangan keseluruhan cerita, sehingga berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya

(34)

fiksi yang diciptakannya dan akan selalu menjiwai cerita dan mengikat unsur-unsur cerita itu.

b. Amanat

Amanat suatu cerita berkaitan erat dengan tema yang diangkat oleh penulis. Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang lewat karyanya kepada para penikmat sastra. Dalam sastra lama, umumnya amanat disampaikan secara tersurat, tetapi dalam karya sastra medern, amamnat yang disampaikan cenderung dikemukakan secara tersirat. Amanat dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca.

Selanjutnya dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa amanat, pesan itu sama dengan “message” yang berarti pesan yang ingin disampaikan pengarang lewat karyanya kepada para pembaca atau pendengar.

Enesten (1991: 92) mengemukakan bahwa amanat merupakan hasil akhir dari pemecahan berbagai permasalahn yang terkandung dalam tema sentral. Amanat ada kalanya diungkapkan secara implisit sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda sesuai dengan kadar kemampuan yang dimiliki setiap orang dalam menghadapi setiap persoalan. Penikmat sastra dituntut untuk menggali lebih dalam untuk menemukan amanat yang dititipkan oleh pengarang. Sedangkan amanat yang diungkapkan secara eksplisit memungkinkan setiap orang

(35)

berada dalam kadar keputusan yang sejalan atau satu dengan yang lainnya

Dari pendapat tersebut sudah dapat disimpulkan bahwa pengertian amanat adalah suatu pesan, ajaran moral yang ingin disampaikan pengarang lewat karyanya kepada pembaca atau pendengar. Pesan ini bisa disampaikan secara tersurat maupun tersirat.

Amanat dimaksudkan sebagai suatu saran yang berkaitan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis dan dapat diambil serta ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.

Penafsiran setiap pembaca berbeda-beda tentang apa dan bagaimana manat dan sebuah karya sastra. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwaa amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca dan biasanya bersifat tersirat, sehingga penafsiran pembaca berbeda-beda mengenai amanat.

c. Alur Cerita (Plot)

Alur disebut juga plot atau jalan cerita. Alur merupakan salah satu unsur pembentuk novel. Pada bagian alur nampak bagaimana usaha pengarang dalam menyususun cerita untuk mengerjakan tema, membeberkan ide serta menyampaikan amanat kepada pembaca.

Menurut Semi (1993:43), alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagia interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi.

Djunaedie (1995:8), mengemukakan hal serupa bahwa alur adalah

(36)

rangkaian peristiwa yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh. Alur mengatur jalinan peristiwa yang dialami oleh tokoh dalam hubungan kausalitas, dimana satu peristiwa menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Hubungan peristiwa dalam cerita yang satu dengan peristiwa yang lain bersifat logis, juga mengandung hubungan kualitas, yaitu peristiwa yang satu menjadi penyebab timbulnya peristiwa yang lain. Alur cerita ditentukan dengan menguji sebab akibat peristiwa pokok. Sebab alur cerita sambung-menyambung.

Untuk lebih jelasnya tentang pengertian alur, berikut akan penulis kutip pendapat dari beberapa ahli sastra.

Alur adalah rangkaian cerita yang oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga terjadi suatu yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminudin, 1987:83). Sedangkan menurut Tarigan, yang dimaksud alur atau plot ialah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama (Taringan, 1985:126).

Selanjutnya Panuti sudjiman mengumpamakan alur itu sangkutan, tempat menyangkutkan bagian-bagian cerita, sehingga terbentuklah suatu bangunan yang utuh. (1987:29).

Alur sama dengan plot. Secara komplomenter berkaitan dengan cerita (story).

Berdasarkan beberapa uraian tersebut penulis mempunyai beberapa kesimpulan bahwa alur atau plot adalah rangkaian cerita yang oleh

(37)

tahapan-tahapan peristiwa dan struktur gerak yang terdapat dalam suatu cerita fiksi dimana terdapat sangkutan antara bagian yang satu dengan yang lain. Sehingga terjadi suatu yang dihadirkan oleh para pelaku untuk membentuk suatu bangunan cerita yang utuh.

Alur tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur cerita lain, karena merupakan bagian integral suatu cerita. Sehingga andaikata unsur- unsur tersebut dipisahkan dari suatu cerita, maka cerita itu akan matii atau beku sehingga tak lebih hanya sederetan fakta atau data saja.

Pengaluran yang harmonis akan menjadikan cerita lebih memikat, nampak betul-betul hidup, dan pembaca bisa hanyut dalam arus cerita yang dibacanya.

Plot atau alur dalam suatu cerita tidak harus dimulai dari pemaparan, pengngawatan dan seterusnya, tetapi bisa berubah-rubah berlangsungnya susunan cerita. Hal ini memungkinkan jalan cerita nampak realitis, tidak dibuat-buat oleh pengarangnya.

Perlu diketahui pula bahwa alur dalam cerita fiktif tidak harus ada satu pemaparan, penajakan dan sebagainya, melainkan bisa lebih dari satu. Hal ini nampak pada pengaluran yang terdapat dalam novel “para priyayi” (objek kajian skripsi ini).Setelah itu juga ditemui monolog interior dalam cerita (ungkapan yang hanya ada dalam benak tokoh dan tidak dilisankan) yang memungkinkan bisa mengaburkan alur.

(38)

Menurut susunannya alur bisa dibedakan atas tiga bentuk yaitu : 1. Alur lurus (cerita yang disusun dari titik awal dilanjutkan

peristiwa berikutnya sampai akhir cerita);

2. Alur sorot balik (cerita yang disusun dari bagian akhir dan bergerak menuju bagian awal);

3. Alur campuran (campuran antara alur lurus dengan alur sorot balik).

Alur dalam cerita rekaan, terdiri dari beberapa tahapan yang masing-masing tahapan salaing berkaitan. Tahapan alur itu biasanya disebut struktur alur.

Panuti Sudjiman (1987:30) menggambarkan struktur umum alur itu sebagai berikut :

Awal:

1. Paparan (exposition)

2. Rangsangan (inciting moment) 3. Gawatan (rising action)

Tengah:

1. Tikaian (conflict) 2. Rumitan (complication) 3. Klimaks (climaks)

Akhir:

(39)

1. Leraian (falling action) 2. Selesaian (denoument)

Sehubungan dengan tahap-tahap alur di atas, secara sederhana H.B., Jassin (1965:65), mengatakan bahwa alur atau plot terdiri atas tiga bagian yaitu permulaan; pertikaian dan penyelesaian.

Selanjutnya tentang tipe alur, Saleh Saad membedakan antara alur/plot yang erat dan longgar. (Lukman Ali, 1967:122).

Dalam plot yang erat, antara peristiwa satu dengan yang lain peristiwa itu organik sekali, tidak ada sebuah peristiwapun yang dapat dihilangkan sebab kalau dihilangkan akan mengganggu keseluruhan cerita. Sedangkan yang dimaksud alur longgar adalah hubungan peritiwa yang satu dengan lain tidak tidak sepadu dalam alur erat, sehingga mungkin ada peristiwa yang dapat ditinggalkan tanpa mengganggu keterpaduan cerita.

d. Tokoh dan Penokohan

Masalah watak dan penokohan dalam suatu cerita merupakan hal yang kehadirannya sangat penting, bahkan menentukan. Fiksi mempunyai sifat bercerita dan yang diceritakan adalah manusia dengan segala kemungkinannya. Penokohan adalah bagaimana cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh

(40)

dalam sebuah cerita rekaan Esten, (1990:27). Setiap tokoh mempunyai watak yang berbeda dengan tokoh lainnya.

Menurut Robert Stanton yang dikutip Baribin (1985:54) perwatakan dalam suatu fiksi biasanya dapat dipandang dari dua segi.

Pertama, mengacu kepada orang atau tokoh yang bermain dalam cerita. Dan yang kedua, mengacu kepada pembauran dan minat, keinginan, emosi dan moral yang membentuk individu yang bermain dalam suatu cerita.

Sujiman, (1991:23) mengartikan penokohan sebagai penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh dalam karya sastra. Tokoh itu sebenarnya tidak ada dalam dunia nyata. Namun, boleh jadi tokoh itu mempunyai sifat dan watak yang sama dengan seseorang yang kita kenal. Menurut Mursal Esten, (1990:27) ada dua cara menggambarkan watak tokoh-tokoh dalam suatu cerita.

Secara analitik, pengarang langsung menceritakan watak tokoh- tokohnya.

Secara dramatik, pengarang tidak langsung menggambarkan watak tokoh-tokohnya tetapi melaui penggambaran tempat, lingkungan tokoh, bentuk lahir, percakapan (dialog) maupun melalui perilakunya.

Nurgiyantoro (2005:176-194) membedakan tokoh dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan.

Pembagian jenis tokoh tersebut diuraikan sebagai berikut:

1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

(41)

Tokoh utama adalah tokoh yang menjadi pusat penceritaan.

Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak begitu dipentingkan dalam cerita, dalam keseluruhan cerita pemunculan lebih sedikit. Perbedaan tersebut dapat dilihat berdasarkakn segi peran. Peran utama lebih kompleks sementara tokoh tambahan perannya lebih sederhana, dan tidak begitu banyak berpengaruh memengaruhi alur cerita.

2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi dalam cerita karena kebaikan karakternya. Sementara tokoh penyebab terjadinya konflik disebut antagonis. Perbedaan ini berdasarkan fungsi penampilan tokoh

3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Adalah tokoh yang hanya memilki satu kualitas sisi kepribadian yang diungkapkan pengarang, sedangkan tokoh bulat memiliki berbagai sisi kehidupan dan jati dirinya.

4) Tokoh Statis dan Tokoh Dinamis

Tokoh statis adalah tokoh yang tidak memiliki pengembangan perwatakan sebagai akibat terjadinya konflik.

Sedangkan tokoh dinamis mengalami pengembangan perwatakan.

e. Latar atau Setting

Latar atau setting adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi.

Termasuk dalam latar adalah tempat atau ruang yang dapat diamati

(42)

serta waktu, hari, tahun, musim atau periode. Hal ini sejalan dengan pendapat Aminuddin (1987:65) yang menyatakan bahwa peristiwa- peristiwa dalam cerita fiksi selalu dilatarbelakangi oleh tempat, waktu maupun situasi tertentu.

Dalam cerita fiksi latar bukan hanya berfugsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat cerita menjadi logis, tetapi juga memiliki fungsi psikologis, sehingga latar dapat memperjelas makna tertentu yang mengarahkan emosi atau aspek kejiwaan pembaca.

Latar fisikal berhubungan dengan tempat serta bentuk dalam lingkungan tertentu, sedangkan latar psikologis dapat berupa suasana maupun sikap serta jalan pikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu.

Untuk memahami latar yang bersifat fisikal pembaca cukup melihat dari apa yang tersurat, sedangkan untuk melihat latar psikologis membutuhkan penghayatan atau penapsiran.

Suroto, (1989:94) mengartikan latar atau setting sebagai penggambaran situasi, tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa. Latar memiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah karya fiksi. Karena sekailipun hanya cerita rekaan belaka, cerita fiksi tetap menyajikan sebuah dunia yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang dikisahkan hidup sebagaimana manusia pada kehidupan nyata.

Kehadiran tokoh ini mutlak memmerlukan ruang, tempat, dan waktu.

(43)

f. Sudut Pandang

Menurut Muchtar Lubis (1981:20) untuk menceritakan suatu cerita pengarang boleh memilih dari sudut mana ia akan menceritakan cerita itu, apakah dia sebagai orang di luar cerita ataukah dia sebagai orang yang berperan dalam cerita.Dengan demikian sudut pandang dapat diartikan sebagai posisi pengarang dalam cerita yang dibuatnya.

Selanjutnya Muchtar Lubis (1981:20) menjelaskan bahwa terdapat empat jenis sudut pandang, yakni:

a) Author Participant, penagarang turut mengambil bagian dalam cerita. Di sini pengarang biasanya sebagai tokoh utama dengan kata lain “aku” atau hanya mengambil bagian saja (tokoh bawahan).

b) Author Observer, pengarang sebagai peninjau.

c) Author Omniscient atau orang ketiga, dipakai pengarang dengan menggunakan kata “dia”.

d) Multiplek atau campuran dari ketiganya.

Nilai Pendidikan dalam karya Sasatra

Karya sastra sebagai hasil karya manusia mengandung nilai-nilai pendidikan, hal ini karena sastra dapat mengembangkan aspek cipta, rasa dan karsa manusia. Setidaknya ada tiga nilai pendidikan yang terdapat dalam suatu karya sastra, yakni: nilai sosial, nilai ketuhanan, dan nilai estetis.

(44)

Nilai Sosial

Nilai sosial merupakan himah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi disekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir sosial, dan sebagainya.

Sikap seseorang terhadap peristiwa sosial yang terjadi disekitarnya dapat dipergunakan untuk mmengetahui seberapa jauh kadar cita rasa sosial yang dimilikinya.

1) Nilai Ketuhanan

Sebuah novel yang baik, ia tidak akan lepas dari nilai-nilai ke- Tuhanan. Novel tersebut akan memberikan pendidikan ke-Tuhanan terhadap para pembacanya. Nilai ketuhanan itu sendiri bukan hanya meliputi kegiatan religi, tetapi juga kegiatan religiusitas.Artinya, tidak hanya meliputi pernyataan agama sebagai wujud ke-Tuhanan, tetapi juga mencakup totalitas citra rasa pribadi manusia yang mengakui agama.

Nilai pendidikan ke-Tuhanan dalam suatu novel mencakup, antara lain: sikap yang mencerminkan nilai keagamaan dan perbuatan yang mencerminkan pengamalan akan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya.

Kedua hal tersebut dapat terungkap dalam sutau novel secara tersurat maupun melalui dialog dan perbuatan para tokoh yang peran dalam cerita tersebut.

(45)

2) Nilai Estetis

Nilai pendidikan estetis dalam sebuah novel terlihat dari keindahan untaian kata-kata yang dapat membangkitkan emosi artistik pembaca serta mampu menjadikan karya sastra terasa indah. Keindahan tersebut dapat pula terungkap melalui gaya bahasa yang digunakan, diksi (pilihan kata), jalinan peritiwa, latar dan penokohan.

Umumnya pilihan kata dan penempatan kata yang tepat mampu menciptakan keindahan. Keindahan tercipta itu akan membawa pembaca merasakan terlibat suasana atau keadaan yang sesuai dengan cerita itu.

Selain itu, jalinan peritiwa yang dialami tokoh, dan latar yang diungkapkan dapat pula bernilai seni apabila mampu membangkitkan rasa estetis pembacanya.

3. Konstruksi Fenomena Sosial

Kluckhon (dalam Efendi, 2014:1) mengemukakan 5 macam nilai sosial yaitu: 1) hakikat hidup manusia, 2) hakikat karya manusia, 3) hakikat kehidupan manusia dalam ruang dan waktu, 4) hubungan manusia dan alam semesta, dan 5) hakikat manusia dengan sesamanya.

Realitas menurut pandangan paradigma defenisi sosial terhadap dunia sosial sekeliling. Realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesan bahwa ralitas itu “ada” dilihat dari subjektivitas “ada” itu sendiri dan dunia objektif di sekeliling realitas sosial itu. Individu itu tidak hanya dilihat dari mana “kedirian” itu berada, bagaimana ia menweima dan mengaktualisasikan dirinya serta

(46)

bagaimana lingkungan memerimanya. Realitas sosial sebagai perilaku sosial yangmemiliki makna subjektif , karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Perilaku sosial ini menjadi ‘sosial”, apabila yang dimaksudkan subjektif dari perilaku sosial membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan perlakuan orang lain dan mengarahkan kepada subjek itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat (Veeger dalam Bungin, 2007:188).

Istilah konstruksi sosial terhadap realitas (sosial construction of reality), menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Berger dan Luckman (1990) melalui bukunya yang mberjudul “The Social Construction of Reality, a Treatise it the Sociological of Knowledge”.

Asal mula konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme, yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme, (1) konstruktivisme radikal, hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran manusia, (2) konstruktivisme realism hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki, (3) konstruktivisme biasa, memahami pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentu realitas objek dalam dirinya sendiri (Suparno dalam Bungin, 2007:190).

Ketiga paham konstruktivisme tersebut memiliki persamaan, yaitu sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas

(47)

yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu membangun pengetahuan atas realita yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Konstruktivisme yangoleh Berger dan Luckman (1990:1), disebut dengan konstruksi sosial. Berger dan Luckman (1990:1), mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas, yang diakuimemiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung pada kehenda kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik (Berger dan Luckman, 1990:1). Realitas sosial tersebut adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.

Dalam penjelasan antologi, paradigma konstruktivisme, realitass merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuatu konteks spesifik yang dinilai relavan oleh perilaku sosial (Hidayat dalam Bungin, 2007:187).

Realitas sosial yang dimaksud terdiri atas realitas objektif, realitas simbolis dan realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berda di luar diri individu, dan realitas ini dianggap kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objekfi dalam berbagai

(48)

bentuk. Sedangkan ralitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbilis ke dalam individu melalui proses internalisasi (Subiakto dalam Bungin, 2007:192).

Pareran (dalam Berger dan Luckman, 1990:xx) menjelaskan tugas pokok sosiologi pengetahuan yaitu menjelaskan dialektika antara diri (self) dengan dunia sosiokultur. Dialektika ini berlangsung proses dengan tiga momen simultan, (1) eksternalisasi (penyusuaian diri) dengan dunia sosiakultur sebagia duunia produk manusia, (2) objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalma dunia intersubjektif yang dilambangkan atau mengalami proses instutisosialisasi; sedangkan (3) internalisasi, yaitu proses individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Parera (dalam Berger dan Luckman, 1990:xx) menambahkan, tiffga momen dielektika itu memunculkan suatu proses kontruksi sosial yang dilihat dari segi asal munculnya merupakan hasil ciptaan manusia yaitu buatan intersujektif.

Melalui proses dialektika ini, realita sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivitas, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi bagian dari dunia sosialkulturalnya. Dengan kata lain, ekstranalisasi terjadi pada tahap yang sangat mendasar, dalma satu pola perilaku interaksi antara individu dengan produk-produk sosial masyarakatnya. Maksud

(49)

dari proses ini adalah ketika sebuah produk sosial telah menjadi sebuah bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat dibutuhkan individu, maka produk sosial itu menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar. Dengan demikian, tahap eksternalisasi ini berlangsung ketika produk sosial tercipta di dalam masyarakat. Kemudian individu mengeksternalisasikan (penyesuaian diri) ke dalam dunia sosiokulturalnya sebagai bagian dari produk manusia (Bungin, 2007: 193-194).

Hal terpenting dalam objektivitas adalah pembuatan signifikasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Sebuah wilaya penandaan (signifikasi) menjembatani wilayah kenyataan, yang dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol dan modus linguistik, juga dengan apa trensendensi seperti itu dicapai. Dapat juga dinamakan sebagai simbol.

Bahasa merupakan alat simbolis untuk melakukan signifikasi dengan menambahkan logika secara mendasar kepada dunia sosial yang objektifitas. Bahasa digunakan untuk mensignifikasikan makna yang dipahami sebagai pengetahuan yang relavan dengan masyarakatnya, sebagaimana dikatakan oleh Berger dan Luckman (1990:100), pengetahuan itu dianggap relavan bagi semua orang dan sebgaian lagi hanya relavan bagi tipe orang tertentu saja.

Dengan demikian, yang terpenting dalam objektivasi ini adalah signifikasi, yang memberikan tanda bahasa dan simbolisasi benda yang disignifikasikan. Melakukan tipifikasi terhadap kegiatan seseorang yang

(50)

kemudian menjadi objektivasi linguistik, yaitu pemberian tanda verbal maupun simbolisasi yang kompleks (Bungin, 2007:196). Berger dan Luckman (1990), menyatakan, dalam kehidupan setiap individu ada suatu urutan waktu, dan selama itu pula ia diimbaskan sebagai partisipan ke dalam dialektika masyrakat. Individu tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, internalisasi dalam arti umum merupakan dasar bagi pemahaman mengenai “sesama saya”, yaitu pemahaman individu dan orang lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai suatu yang maknawi dari kenyataan sosial.

C. Kerangka Pikir

Dalam penelitian ini, penulis mengakat karya sastra sebagai bahan penelitia yaitu mengkaji dua novel yang sama-sama menyusun tema pernikahan poligami dan konflik kehidupan sosial, kedua novel yang dimaksud adalah Surga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan Hadiah Cinta Dari Istambu Karya Fairuz Abadi.

Penulis meneliti dekonstrksi sosial dalam Surga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan Hadiah Cinta Dari Istambu Karya Fairuz Abadi untuk dianalisi sehingga menemukan hasil penelitian.

(51)

Adapun kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada bagan kerangka pikir berikut:

Puisi Prosa

Dekonstruksi Sosial dalam Novel Surga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan Novel Hadiah Cinta

dari Istanbul Karya Fairuz Abadi KARYA SASTRA

Novel

Analisis

Temuan

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Faruk (2012:17) pendekatan penelitian adalah cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek tertentu dan karenanya harus sesuai dengan kodrat keberadaan objek itu sebagaimana yang dinyatakan oleh teori. Untuk dapat menghasilkan suatu penelitian yang baik harus sesuai dengan kenyataan adanya objek yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang disebut sebagai kodrat keberadaan objek itu (Faruk, 2012:23).

Penelitian ini bersifat studi pustaka yang disajikan secara deskriptif kualitatif. Desain penelitian kualitatif ini dipilih karena data penelitian berupa kata, kalimat maupun paragraf yang menggambarkan adanya figur perempuan serta perjuangannya dalam mewujudkan kehidupan yang layak secara sosial. Baik berupa kalimat-kalimat maupun paragraf-paragraf akan dianalisis menggunakan metode deskriptif. Data yang dimaksud adalah kutipan dari isi cerita dalam novel Surga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan Hadiah Cinta dari Istanbul Karya Fairuz Abadi yang mengandung aspek figur perempuan serta perjuangnya dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga dalam menghadapi segelumit cobaan tanpa harus bercerai sebagai solusi.

novel Surga yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia dan Hadiah Cinta dari Istanbul Karya Fairuz Abadi, merupakan komplikasi dari kisah

41

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga sudah dapat menggunakan fasilitas kesehatan dengan baik, bila ada anggota keluarga yang sakit maka dibawa berobat ke dokter, Puskesmas atau rumah

Dengan pengertian tersebut di atas, konsep Green Economy telah mengalami evolusi dari perpekstif lama yang bersifat regulasi untuk “menghijaukan” kegiatan

Berdasarkan hasil analisi data dengan menggunakan rumus Shannon- Whiener indekx (H’), didapatkan nilai Shannon-Whiener index (H’) pada Agroforest Sederhana yaitu

Dalam melaksanakan pelayanan di bidang pengelolaan kekayaan negara, pengurusan piutang negara dan lelang, KPKNL Dumai memberikan kontribusi penerimaan negara dalam bentuk

Kepala sekolah juga mempunyai peranan penting dalam membangun serta melestarikan budaya mutu di sekolah, untuk membentuk karakter lembaga sebagai identitas yang dapat

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui saluran pemasaran kentang dan kubis oleh gapoktan bermitra dan gapoktan tidak bermitra untuk tujuan ekspor,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas serbuk alang-alang (Imperat cylindrica) sebagai anti nyamuk elektrik terhadap nyamuk Aedes aegypti dan