• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Tinjauan Pustaka

A. Tinjauan Umum Bank

1. Pengertian Bank

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.14

Dari pengertian diatas maka tujuan bank harus terarah, tidak semata-mata hanya memutarkan uang untuk mencari keuntungan. Tetapi, bank harus mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat sesuai dengan pasal 1 undang-undang perbankan tahun 1992. Oleh karena itu dalam kegiatan perbankan sehari-hari bank tidak boleh terlepas dari kegiatan pembangunan, setiap kegiatan bank harus berguna bagi kepentingan masyarakat.

2. Asas, Fungsi dan Tujuan Bank

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, menyebutkan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Bank memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat, karena bank merupakan intisari dari sistem keuangan negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang

menjadi tempat bagi perusahaan, lembaga pemerintah, swasta, maupun perorangan untuk menyimpan dananya, baik melalui kegiatan perkreditan atau jasa perbankan yang lainnya. Bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian, sehingga dengan demikian besar andilnya bagi peningkatan laju pertumbuhan nasional suatu negara. Dipandang dari peranan ekonominya, bank menurut Ruddy Tri Santoso, menjalankan 4 fungsi pokok yaitu fungsi tabungan, pembayaran, pinjaman, dan fungsi uang.15 Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan, bahwa fungsi perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Hal ini berarti bahwa kehadiran bank sebagai salah satu badan usaha tidak semata-mata bertujuan bisnis, namun juga untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, maka fungsi bank mengalami perluasan guna memenuhi keperluan masyarakat. Bank selaku finance company, akhirnya juga berperan sebagai supporting financial yang mengarah kepada fee based income dan jasa konsultasi keuangan. Tujuan bank menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan, bahwa perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan

15

pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat.16

3. Prinsip Penilaian terhadap Pemberian Kredit Perbankan

Prinsip penilaian atau analisis kredit dilakukan secara cermat dan teliti dengan senantiasa memerhatikan atau berpedoman pada ketentuan yang berlaku yang mencakup analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Penilaian setiap permohonan kredit sangat tergantung pada faktor-faktor pokok mengenai kredit, seperti jenis usaha, sektor ekonomi, tujuan penggunaan kredit, jumlah kredit, dan faktor lain sejenisnya. Pada praktik perbankan nasional, prinsip dasar dalam menganalisis kredit dengan mengacu pada faktor-faktor tersebut di atas lazim dikenal dengan “Prinsip 5C (The 5C’s

Principles)”. Pentingnya penerapan prinsip-prinsip inilah yang

menjadikan keenam prinsip ini sebagai „jaminan awal‟ debitur untuk dipertimbangkan agar memeroleh kredit yang sebagaimana dimohonkan kepada pihak bank.

Dalam undang-undang perbankan 1967 jenis bank dapat dibedakan dari segi fungsi dan segi kepemilikannya. Dari segi fungsi ada 4 jenis bank yaitu Bank Sentral, Bank Umum, Bank Tabungan dan Bank Pembangunan. Sedangkan dilihat dari kepemilikannya

16 Rahmadi Halim, “Pelaksanaan Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi Penelitian di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Cabang Lumajang)”, Tesis 2006.

terdapat 3 macam, yaitu Bank Milik Negara, Bank Koperasi dan Bank Swasta.

Namun pada Undang-undang yang baru, Undang-undang Perbankan tahun 1992, jenis bank hanya dilihat dari segi fungsinya saja. Dimana hal ini diatur dalam pasal 5 ayat (1), yang terdiri dari :17 a. Bank Umum, yaitu bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu

lintas pembayaran (pasal 1 butir 2).

b. Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (pasal 1 butir 3).

4. Dasar Hukum Kredit Bank

Pengaturan perbankan pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, dimulai ketika dilakukan nasionalisasi perusahaan perbankan kolonial yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap De

Javasche Bank N.V., yang mana bank ini merupakan bank sentral

yang bersifat pertikelir dan merupakan milik pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebagai pemodal. Nasionalisasi ini dilakukan oleh Pemerintah dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. pada tanggal 15 Desember 1951. Pengundangan UU ini menjadi sejarah terhadap pengambilalihan bank sentral dari tangan pemerintahan kolonial Hindia Belanda ke tangan Pemerintah Republik Indonesia

sekaligus awal dimana Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat memiliki bank sentral yang bersifat nasional. Sebagaimana judul undang-undang tersebut, dalam undang-undang tersebut hanya mengatur hal-hal terkait dengan perubahan nama, pengambilalihan saham dan modal, dan hal teknis lainnya dalam melaksanakan nasionalisasi De Javasche Bank N.V. tersebut menjadi Bank Indonesia. Oleh karenanya, dalam undang-undang ini tidak ada mengatur bahkan menyebut mengenai kredit bank yang merupakan kegiatan usaha perbankan yang diawasi oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Pasca nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia terhadap De Javasche Bank N.V., pada tanggal 2 Juni 1953 Pemerintah kembali mengesahkan dan mengundangkan Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia. Dalam undang-undang ini diatur mengenai tugas, pengurus, neraca, laba, dan hal pokok lainnya terkait Bank Indonesia. Pada undang-undang ini, kata-kata kredit telah disebutkan pada Pasal 7 ayat (3) sampai dengan ayat (5), Pasal 7 ayat (5) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1953 ini memerintahkan agar Pemerintah segera membentuk suatu peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengawasan terhadap urusan kredit secara khusus. Dan dengan didasari ayat (5) tersebut, maka pada tangga l 4 Februari 1955 diundangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1955 tentang Pengawasan terhadap Urusan Kredit yang kemudian

mengalami perubahan dan penambahan beberapa pasal dengan pengundangan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1955 tentang Pengawasan terhadap Urusan Kredit pada tanggal 2 Mei 1964. Kemudian pada tahun 1966 tepatnya pada tanggal 5 Juli 1966, ditetapkanlah Ketetapan MPRS RI Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan yang memerintahkan untuk dilakukannya perbaikan kemerosotan perekonomian negara yang disebabkan oleh tata kelola negara yang salah serta pemberontakan gerakan kontra revolusi G.30.S/PKI dan juga penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu target pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan dalam Tap MPRS tersebut adalah sektor perbankan, sebagaimana Pasal 55 yang berbunyi:

“Dalam rangka pengamanan keuangan negara pada umumnya dan pengawasan serta penyehatan tata perbankan pada khususnya, maka segera harus ditetapkan Undang-Undang Pokok Perbankan dan Undang-Undang Bank Sentral.”

Atas perintah Tap MPRS ini terutama Pasal 55 tersebut, maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan pada tanggal 30 Desember 1967 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral pada tanggal 7 Desember 1968. Kredit perbankan dalam undang-undang

perbankan mulai mendapat perhatian yang terlihat pengaturannya dalam UU ini yakni pada Bab V mengenai Usaha-Usaha Perbankan; Pasal 23 sampai Pasal 25 untuk kredit yang diberikan oleh Bank Umum; Pasal 26 sampai Pasal 27 untuk kredit yang diberikan oleh Bank Tabungan; serta Pasal 28 dan Pasal 29 untuk kredit yang diberikan oleh BankPembangunan.

Pada Bab V ini, jumlah kredit yang dapat dapat diberikan oleh masing-masing bank tersebut harus berdasarkan ketetapan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagaimana tercamtum pada Pasal 25 ayat (1) untuk Bank Umum, Pasal 27 untuk Bank Tabungan, dan Pasal 29 ayat (2) untuk Bank Pembangunan. Hal ini mengandung arti bahwa Bank Indonesia memiliki tugas sekaligus kewenangan untuk menetapkan jumlah atau besaran kredit yang dapat diberikan oleh bank-bank yang telah disebutkan itu. Dengan demikian pada masa berlakunya Undang-Undang Pokok-Pokok Perbankan ini, Bank Indonesia memiliki tugas dan kewenangan hanya sebatas penetapan jumlah kredit yang dapat diberikan oleh bank dimaksud.

Perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang senantiasa bergerak cepat disertai dengan tantangan-tantangan yang semakin luas, mendorong dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan tujuan agar perbankan nasional dapat menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya kepada masyarakat guna menunjang pelaksanaan pembangunan

nasional. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Undamg-Undang Pokok-Pokok Perbankan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, termasuk mengenai pengaturan kredit perbankan. Sehingga kredit sebagai kegiatan usaha perbankan dijalankan berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Ketiadaan regulasi yang mengatur tentang kredit perbankan secara khusus menyebabkan pengaturan kredit tersebut bergantung kepada UU perbankan sebagai lembaga penyalur kredit perbankan itu sendiri.

Hingga kini, yang menjadi dasar hukum pemberian kredit perbankan di Indonesia yaitu: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia dimana peraturan pelaksana kredit secara teknis diatur dalam Peraturan Bank Indonesia dan lebih lanjut diatur dalam peraturan masing-masing bank.

Dokumen terkait