SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum
Oleh: Faizal
NIM: 1110048000068
JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya yang mampu menerangi jalan menuju kepada kebenaran sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi yang berjudul “Mekanisme Objek Agunan Kredit Pada Bank Rakyat Indonesia Dengan Jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil Dilingkungan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta” dengan baik. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya. Skripsi ini disusun dalam rangka untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih atas bantuan, bimbingan, dukungan, semangat dan doa, baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, kepada:
1. Kedua Orang Tua, Mama dan Papa yang tidak hentinya melantunkan doa, mencurahkan kasih sayang dan perhatian untuk meluruhkan segala pikiran buruk penulis sehingga dapat selalu berfikir positif guna melanjutkan skripsi ini.
2. Kedua saudara kandung saya, kakak dan adik saya, atas segala kebaikannya selama ini memberikan bantuan dan menyemangati penulis.
3. Bapak Dr. H. JM Muslimin, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H. selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Seluruh dosen dan karyawan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan kepada penulis.
8. Risky Rani Permatasari, yang tidak hentinya memberikan doa, support, semangat, kisah kasih dan waktu untuk membantu selama penyusunan skripsi ini.
9. Sahabat - sahabat ilmu hukum, Ahmad Ilham Adha, Galuh Hayu Nastiti, Gerry Pamungkas,S.H., Ilham Herdinata, Jentel Chairnosia,S.H., Mona Hasinah, M. Iqrom, Septian Ardiansah dan yang lainnya yang selalu memberikan bantuan, semangat dan doa serta memberikan cerita persahabatan selama masa perkuliahan.
10. Semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu atas bantuannya dalam terselesainya penyusunan skripsi ini. Semoga amal kebaikan kalian semua dapat dibalas oleh Allah SWT.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 23 Januari 2015
Persetujuan Pembimbing ... ii
Lembar Pengesahan Penguji ... iii
Lembar Pernyataan ... iv
Abstrak... v
Kata Pengantar ... vi
Daftar Isi ... viii
Bab I Pendahuluan ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5
1.Pembatasan Masalah ... 5
2.Perumusan Masalah ... 5
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
1.Tujuan Penelitan ... 6
2.Manfaat Penelitian ... 6
D.Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 7
E.Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9
1.Kerangka Teoritis... 9
Bab II Tinjauan Pustaka ... 19
A.Tinjauan Umum Bank ... 19
1.Pengertian Bank ... 19
2.Asas, Fungsi dan Tujuan Bank... 19
3.Prinsip Penilaian terhadap Pemberian Kredit Perbankan ... 21
4.Dasar Hukum Kredit Bank ... 22
B.Pengertian dan unsur-unsur Kredit ... 26
C.Tujuan dan Fungsi Kredit ... 28
D.Jenis-Jenis Kredit Dan Jaminan Kredit ... 31
E.pihak pihak dalam perjanjian kredit ... 33
F.Syarat Sahnya Perjanjian kredit ... 34
G.Kredit Macet... 35
Bab III Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kerja Dan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (SK PNS) ... 38
A.Pengertian Perjanjian Kerja... 38
B.Syarat Sahnya Perjanjian Kerja. ... 39
C.Jenis-Jenis Perjanjian Kerja... 41
2.Kewajiban pengusaha. ... 46
E.Surat keputusan pengangkatan pegawai negeri sipil... 50
1.Pengertian pegawai negeri ... 50
2.Jenis-jenis pegawai negeri ... 51
3.Tugas dan fungsi pegawai negeri sipil ... 53
Bab IV Tinjauan Yuridis Sk Pns Sebagai Objek Jaminan Kredit Perbankan. ... 60
A.Jaminan berupa surat keputusan pengangkatan pegawai negeri sipil. .. 61
B.Syarat-syarat wanprestasi bagi debitur bank ... 66
1.kredit macet disebabkan karena instansi tempat debitur bekerja dilebur. ... 67
2.kredit macet disebabkan karena bendahara gaji. ... 69
3.kredit macet disebabkan karena pensiun atau pensiun dini. ... 70
C.Penyelesaian kredit macet ... 76
1.tindakan yang diambil dalam menghadapi debitur yang wanprestasi 76 2.pertanggungan ganti rugi oleh pihak ketiga. ... 77
3.penyelesaian melalui panitia urusan piutang negara (pupn). ... 83
4.penyelesaian melalui pengadilan negeri. ... 86
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam
kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran.1
Untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomian dan untuk
meningkatkan taraf hidup, hampir semua masyarakat telah menjadikan
kegiatan pinjam meminjam uang sebagai sesuatu yang sangat diperlukan. Dari
masyarakat yang ekonominya rendah, sampai kepada masyarakat yang
ekonominya mapan, dan dari berbagai latar belakang kedudukan sosial,
pendidikan, dan pekerjaan.
Meningkatnya kebutuhan akan jasa perbankan yang telah berkembang
pesat, maka landasan gerak perbankan yang ada dirasakan sudah saatnya
diadakan penyesuaian agar mampu menampung tuntutan pengembangan jasa
perbankan. Kemajuan yang dialami oleh lembaga perbankan dapat
ditingkatkan secara berkelanjutan dan benar-benar dapat memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi pelaksanaan pembangunan nasional, dan untuk
menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi, sehingga segala potensi,
inisiatif dan kreasi masyarakat dapat dikerahkan dan dikembangkan menjadi
suatu kekuatan riil bagi peningkatan kemakmuran rakyat. Sejalan dengan
1M.Bahsan, “
Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia”, (Jakarta: PT
kemajuan tersebut, usaha perbankan tumbuh menjadi bisnis yang sangat
berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi di Indonesia. Beraneka ragam
jasa-jasa perbankan serta semakin tingginya tingkat kemajuan teknologi dan
fasilitas yang juga diberikan dunia perbankan. Jasa pelayanan (services) yang
diberikan kepada masyarakat tersebut dapat mendukung laju pertumbuhan
perekonomian.
Kegiatan penyaluran kredit secara umum membutuhkan adanya
jaminan utang atau yang disebut jaminan kredit (agunan)2. Agunan yang
dijadikan salah satu persyaratan dalam pemberian kredit yaitu agunan berupa
benda yang menurut hukum digolongkan sebagai barang tidak bergerak seperti
tanah dan bangunan. Benda yang menurut hukum digolongkan sebagai barang
bergerak seperti kendaraan bermotor yang dilengkapi dengan Surat Tanda
Nomor Kendaraan (STNK) dan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB),
agunan berupa surat-surat berharga maupun surat-surat yang berharga yang di
dalamnya melekat hak tagih, seperti: saham, efek, Surat Keputusan
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (SK PNS) atau berupa Surat Keputusan
Pensiun PNS, dan lain sebagainya.3 Walaupun SK PNS bukan merupakan
benda yang dapat dipindahtangankan (yang mempunyai nilai pengalihan),
tetapi perkembangan dalam praktik perbankan yang melihat sisi ekonomis pada
surat tersebut menjadikannya dapat diterima oleh beberapa bank sebagai
2 Satrio, “
Hukum Jaminan, Hukum Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan”, (PT Citra
Aditya Bakti Bandung, 1997) hal. 26.
3Widjaja, Gunawan & Yani, Ahmad. “
jaminan kredit. Namun apakah SK PNS yang bersangkutan yang dijadikan
sebagai jaminan kredit Bank itu dapat memperkecil risiko timbulnya kerugian
yang akan dialami bank mengingat bahwa SK tersebut tidak dapat dialihkan
sehingga akan menimbulkan kesulitan terhadap pihak bank untuk dapat
melakukan eksekusi apabila terjadi kredit macet dalam masa pelunasan atas
kredit dimaksud. Dari praktik perbankan, sering kita liat adanya penjualan
(pencairan) objek jaminan kredit yang dilakukan untuk melunasi kredit macet
pihak peminjam. Hal tersebut perlu dilakukan bank untuk memperoleh kembali
pelunasan dana yang dipinjamkan karena pihak peminjam tidak memenuhi
kewajibannya kepada bank sesuai dengan perjanjian kredit. Hasil penjualan
jaminan kredit tersebut dapat digunakan untuk melunasi utang pihak peminjam
kepada bank sehingga diharapkan dapat meminimalkan kerugian bank. Jadi,
bisa dikatakan, jaminan kredit berfungsi sebagai pengamanan pengembalian
dana bank yang disalurkannya kepada pihak peminjam. Selain itu, jaminaan
kredit juga memiliki fungsi yang berkaitan dengan kesungguhan pihak
peminjam untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan
sehingga akan dapat mencegah terjadinya pencairan jaminan karedit yang
mungkin saja tidak diinginkan pihak peminjam karena nilai (harga) jaminan
kredit pada umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan utang pihak
peminjam kepada bank.4 Dalam hukum jaminan, benda atau objek jaminan
mempunyai syarat-syarat.
4M.Bahsan, “
Dengan uraian di atas maka Surat Keputusan PNS memungkinkan
masuk kategori surat yang berharga, karena tanpa SK tersebut seorang PNS
tidak dapat bekerja dan tidak dapat memperoleh haknya sebagai PNS. Dalam
pelaksanaannya hampir seluruhnya atau setidaknya kurang lebih 90% Pegawai
Negri Sipil menjaminkan Surat Keputusannya namun tidak mengetahui apa
yang akan terjadi jika para Pegawai tersebut melakukan cidera janji atau
wanprestasi. Banyak pula yang masih mempertanyakan, bisakah Surat
Keputusan tersebut di eksekusi apabila seorang penjamin tidak mampu
memenuhi kewajibannya. di Indonesia SK PNS tidak termasuk dalam jaminan
kebendaan maupun jaminan perorangan, tetapi termasuk sebagai hak istimewa
(prevelege) yang wujudnya dapat berupa ijasah, Surat Keputusan (SK), Surat
pensiun dan lain-lain.5 Sehingga dalam perkreditan di Indonesia SK PNS dapat
dijadikan sebagai jaminan kredit. Apabila terjadi wanprestasi, yang dapat
disebabkan antara lain karena meninggal dunia, mengundurkan diri. berarti
secara otomatis juga menyebabkan berakhirnya keanggotaan sebagai Pegawai
Negeri Sipil beserta hak istimewanya, maka bank akan sulit untuk
mengeksekusi, karena SK PNS bukan benda yang dapat diperjual belikan
sehingga tidak bisa dieksekusi secara langsung.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji
permasalahan tersebut melalui penelitian dalam bentuk skripsi yang berkaitan
dengan kredit perbankan dengan judul: “Mekanisme Objek Agunan Kredit
5J. Satrio, “
Pada Bank Rakyat Indonesia Dengan Jaminan Surat Keputusan Pegawai
Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta”.
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan pembahasan terkait hukum jaminan
dan perbankan maka penelitian ini difokuskan mengkaji tentang mekanisme
seorang Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan kredit pinjaman
menggunakan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil sebagai objek jaminan
di Bank Rakyat Indonesia serta langkah-langkah bank sebagai kreditur
dalam menangani kredit bermasalah atau kredit macet.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah mekanisme perjanjian kredit dengan jaminan Surat
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil ?
b. Bagaimanakah langkah yang akan dilakukan Bank Rakyat Indonesia
dalam penyelesaian kredit macet jika Pegawai Negeri Sipil yang
menjaminkan Surat Keterangannya wanprestasi?
c. Bagaimanakah upaya hukum kreditur jika Pegawai Negeri Sipil yang
menjaminkan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil mengalami
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitan
a. Untuk mengetahui mekanisme perjanjian kredit dengan menggunakan
jaminan Surat Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil.
b. Untuk mengetahui langkah-langkah yang akan dilakukan Bank selaku
kreditur dalam penyelesaian kredit macet apabila Pegawai Negeri Sipil
wanprestasi.
c. Untuk mengetahui upaya hukum yang dilakukan oleh Bank selaku
kreditur ketika debitur wanprestasi yang disebabkan pemutusan
hubungan kerja antara debitur yang menjaminkan Surat Keputusan
Pegawai Negeri Sipil dengan instansinya.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yakni
manfaat teoretis dan manfaat praktis. Adapun manfaat tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Manfaat Teoretis
1) Manfaat penelitian yang bersifat teoretis diharapkan bahwa hasil
penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran baru di bidang
hukum perdata terutama hukum perbankan perihal penyelesaian
2) Salain itu, hasil penelitian ini akan memberikan informasi
mengenai alternatif konsep yang lebih baik dalam pola pemberian
kredit lunak kepada Pegawai Negeri Sipil.
b. Manfaat Praktis
1) Manfaat penelitian yang bersifat praktis yaitu hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan masukan
bagi kalangan birokrat, akademisi, praktisi dan bankir dalam
menyelesaikan kredit macet sehubungan dengan perjanjian kredit
perbankan.
2) Di samping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
mengungkap berbagai kendala yang timbul dalam perjanjian kredit
Pegawai Negeri Sipil, khususnya mengenai penyebab timbulnya
kredit macet.
D.Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian dengan judul “Mekanisme Objek Agunan Kredit Pada Bank
Rakyat Indonesia Dengan Jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil Di
Lingkungan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta” yang diketahui
berdasarkan penelusuran atas hasil-hasil penelitian hukum, khususnya di
Lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, belum pernah dilakukan. Namun demikian terdapat
beberapa judul penelitian yang terkait dengan judul skripsi penulis melalui
1. Jefri Lumbantobing, dengan judul skripsi Tinjauan Yuridis Terhadap
Penyelesaian Kredit Macet Dalam Perjanjian Kredit Perbankan Dengan
Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi pada
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Lubuk Pakam);
2. Fitria Dewi Purnamasari, dengan judul tesis Pelaksanaan Perjanjian Kredit
Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Di
PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Salatiga.
Akan tetapi, variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini seperti
perumusan masalah, metode pendekatan, maupun lokasi penelitian berbeda.
Walaupun ada pendapat melalui kutipan dalam penulisan ini, semata-mata
adalah sebagai faktor pelengkap dalam usaha menyelesaikan penelitian,
karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan dalam penulisan. Jadi
penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur,
rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat di pertanggung
jawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Dalam kedua skripsi diatas, perbedaan terhadap karya penulis saat ini
adalah pembahasan serta pendekatannya. Dimana pembahasan yang saat ini
penulis fokuskan adalah tindakan pidana yang dilakukan oleh debitur
terhadap kreditur dimana penulis menjelaskan apa saja tindak perlawanan
hukum yang dilakukan debitur dan apa saja langkah yang ditempuh oleh
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Asas, Fungsi, dan Tujuan Bank
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, menyebutkan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip
kehati-hatian. Bank memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat, karena bank merupakan intisari dari sistem keuangan negara.
Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi
perusahaan, lembaga pemerintah, swasta, maupun perorangan untuk
menyimpan dananya, baik melalui kegiatan perkreditan atau jasa
perbankan yang lainnya. Bank melayani kebutuhan pembiayaan serta
melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor
perekonomian sehingga dengan demikian besar andilnya bagi peningkatan
laju pertumbuhan nasional suatu negara.6
Dipandang dari peranan ekonominya, bank menurut Ruddy Tri
Santoso, menjalankan 4 fungsi pokok yaitu fungsi tabungan, pembayaran,
pinjaman, dan fungsi uang.7 Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 menyatakan, bahwa fungsi perbankan Indonesia adalah
sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Hal ini berarti bahwa
6
Suyatno, dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta : STIE Perbanas, 1999), hal 15 7
kehadiran bank sebagai salah satu badan usaha tidak semata-mata
bertujuan bisnis, namun juga untuk menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berkenaan dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan,
maka fungsi bank mengalami perluasan guna memenuhi keperluan
masyarakat. Bank selaku finance company, akhirnya juga berperan sebagai
supporting financial yang mengarah kepada fee based income dan jasa
konsultasi keuangan.8
Tujuan bank menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 disebutkan, bahwa perbankan Indonesia bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Kerangka Konseptual
Usaha Perbankan
Sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, maka usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh bank meliputi:9
8
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung : Mandar Maju Jaya, 2000), hal 2 9
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan kredit.
3. Menerbitkan surat pengakuan hutang.
4. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah.
5. Menempatkan dana pada, meminjam dari, atau meminjamkan dana
kepada bank lain.
6. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.
7. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
8. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak.
9. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya
dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
10.Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian
dalam hal debitor tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada
bank, dengan ketentuan agunan yangdibeli tersebut wajib dicairkan
11.Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit ddan kegiatan
wali amanat.
12.Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, meyediakan
pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip
Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
13.Melakukan kegiatan yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Selain
melakukan kegiatan usaha tersebut di atas, bank umum dapat pula:10
a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi
ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.
b. Melakukan kegiatan dalam penyertaan modal.
c. Melakukan kegiatan dalam penyertaan modal sementara untuk
mengatasi akibat kegagalan kredit, dengan syarat harus menarik
kembali penyertaannya dengan memenuhi ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
d. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun,
sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pension
yang berlaku.
10
F. Asumsi
Asumsi adalah anggapan tentang suatu masalah atau fakta yang
sudah mengandung kebenaran tanpa melakukan pembuktian. Dengan kata
lain masalah yang dipaparkan dalam asumsi tidak perlu lagi diuji
kebenarannya, hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan
“Anggapan dasar adalah suatu yang diyakini kebenarannya oleh peneliti
yang akan berfungsi sebagai hal yang dipakai untuk tempat berpijak dalam
melaksanakan penelitiannya”. Anggapan dasar adalah suatu titik tolak
pemikirannya diterima oleh penyelidik. Dalam penelitian yang berjudul
“Mekanisme Objek Agunan Kredit Pada Bank Rakyat Indonesia Dengan
Jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan
Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta” penulis mengemukakan
asumsi sebagai berikut:
1. Objek Agunan haruslah sesuatu yang dapat dibebani dengan hak
tanggunang atau bersifat jelas, dapat dialaihkan atau dipindah
tangankan dan mempunyai nilai ekonomis
2. Undang-Undang pokok perbankan mengisyaratkan bahwa dalam
pemberian kredit harus didasarkan pada keyakinan bank atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya
sesuai perjanjian.
3. Pegawai Negeri Sipil unsur utama sumber daya manusia yang
mempunyai peranan yang menentukan keberhasilan
G. Metode Penelitian
Metodologi dalam suatu penelitian berfungsi sebagai sarana
berbentuk tertulis yang berisi tentang cara bagaimana pendekatan masalah
yang digunakan, sumber bahan hukum yang terkait, metode penggumpulan
data serta teknik analisa data. Berdasarkan pendapat Bambang Sunggono
terhadap penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan
bukan hanya sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu obyek yang
mudah terpegang, di tangan.11
Penelitian ini merupakan jenis penelitian Hukum Normatif Empiris.
Penelitian Hukum Normatif adalah metode penelitian hukum yang
dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 12
1. Tipe penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisis dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis
dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara
tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan
konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu
kerangka tertentu.
11
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009), hal. 27.
12
Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu,
dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala
yang bersangkutan.
2. Pendekatan Masalah
Penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang
bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang
menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menanalisis peraturan
hukum.13 Dengan menggunakan sifat deskriptif, maka peraturan
hukum dalam penelitian dapat dengan tepat digambarkan dan
dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi
perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim. Bahan
Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
13
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan.
Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan nonhukum dapat berupa
buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat,
Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang
mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan
non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas
wawasan peneliti.
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun sumber
non-hukum yang telah didapatkan itu kemudian dikumpulkan berdasarkan
rumusan masalah dan diklasifikasikan menurut sumber dan
hierarkinya.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara
pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang
akhirnya akan diketahui tinjauan hukum jaminan di Indonesia.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab
terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti.
Adapun perinciannya sebagai berikut:
Bab. I : Merupakan Bab Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab. II : Bab ini terdiri dari beberapa pembahasan yaitu tentang pengertian, fungsi dan penilaian kredit perbankan.
Bab. III : Merupakan bab. Penjelasan tentang perjanjian kerja dan membahas tentang Surat Keputusan Pegwai Negeri Sipil.
Bab IV : Bab ini membahas tentang Surat Keputsan Pegawi Negeri Sipil sebagai jaminan kredit pada perusahaan perbankan.
Serta langkah-langkah yang ditempuh pihak Bank apabila
debitur wanprestasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Bank
1. Pengertian Bank
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.14
Dari pengertian diatas maka tujuan bank harus terarah, tidak
semata-mata hanya memutarkan uang untuk mencari keuntungan.
Tetapi, bank harus mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat
sesuai dengan pasal 1 undang-undang perbankan tahun 1992. Oleh
karena itu dalam kegiatan perbankan sehari-hari bank tidak boleh
terlepas dari kegiatan pembangunan, setiap kegiatan bank harus
berguna bagi kepentingan masyarakat.
2. Asas, Fungsi dan Tujuan Bank
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, menyebutkan bahwa perbankan Indonesia dalam
melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Bank memegang peranan penting
dalam kehidupan masyarakat, karena bank merupakan intisari dari
sistem keuangan negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang
14 Supramono, Gatot “
menjadi tempat bagi perusahaan, lembaga pemerintah, swasta,
maupun perorangan untuk menyimpan dananya, baik melalui kegiatan
perkreditan atau jasa perbankan yang lainnya. Bank melayani
kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem
pembayaran bagi semua sektor perekonomian, sehingga dengan
demikian besar andilnya bagi peningkatan laju pertumbuhan nasional
suatu negara. Dipandang dari peranan ekonominya, bank menurut
Ruddy Tri Santoso, menjalankan 4 fungsi pokok yaitu fungsi
tabungan, pembayaran, pinjaman, dan fungsi uang.15 Menurut Pasal 3
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan, bahwa fungsi
perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat. Hal ini berarti bahwa kehadiran bank sebagai salah satu
badan usaha tidak semata-mata bertujuan bisnis, namun juga untuk
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahuan, maka fungsi bank mengalami
perluasan guna memenuhi keperluan masyarakat. Bank selaku finance
company, akhirnya juga berperan sebagai supporting financial yang
mengarah kepada fee based income dan jasa konsultasi keuangan.
Tujuan bank menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
disebutkan, bahwa perbankan Indonesia bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan
15
pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan kesejahteraan masyarakat.16
3. Prinsip Penilaian terhadap Pemberian Kredit Perbankan
Prinsip penilaian atau analisis kredit dilakukan secara cermat
dan teliti dengan senantiasa memerhatikan atau berpedoman pada
ketentuan yang berlaku yang mencakup analisis kuantitatif dan
analisis kualitatif. Penilaian setiap permohonan kredit sangat
tergantung pada faktor-faktor pokok mengenai kredit, seperti jenis
usaha, sektor ekonomi, tujuan penggunaan kredit, jumlah kredit, dan
faktor lain sejenisnya. Pada praktik perbankan nasional, prinsip dasar
dalam menganalisis kredit dengan mengacu pada faktor-faktor
tersebut di atas lazim dikenal dengan “Prinsip 5C (The 5C’s
Principles)”. Pentingnya penerapan prinsip-prinsip inilah yang
menjadikan keenam prinsip ini sebagai „jaminan awal‟ debitur untuk
dipertimbangkan agar memeroleh kredit yang sebagaimana
dimohonkan kepada pihak bank.
Dalam undang-undang perbankan 1967 jenis bank dapat
dibedakan dari segi fungsi dan segi kepemilikannya. Dari segi fungsi
ada 4 jenis bank yaitu Bank Sentral, Bank Umum, Bank Tabungan
dan Bank Pembangunan. Sedangkan dilihat dari kepemilikannya
16 Rahmadi Halim, “
terdapat 3 macam, yaitu Bank Milik Negara, Bank Koperasi dan Bank
Swasta.
Namun pada Undang-undang yang baru, Undang-undang
Perbankan tahun 1992, jenis bank hanya dilihat dari segi fungsinya
saja. Dimana hal ini diatur dalam pasal 5 ayat (1), yang terdiri dari :17
a. Bank Umum, yaitu bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran (pasal 1 butir 2).
b. Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang menerima simpanan
hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan/atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (pasal 1 butir 3).
4. Dasar Hukum Kredit Bank
Pengaturan perbankan pada masa awal kemerdekaan Republik
Indonesia, dimulai ketika dilakukan nasionalisasi perusahaan
perbankan kolonial yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap De
Javasche Bank N.V., yang mana bank ini merupakan bank sentral
yang bersifat pertikelir dan merupakan milik pemerintahan kolonial
Hindia Belanda sebagai pemodal. Nasionalisasi ini dilakukan oleh
Pemerintah dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. pada
tanggal 15 Desember 1951. Pengundangan UU ini menjadi sejarah
terhadap pengambilalihan bank sentral dari tangan pemerintahan
kolonial Hindia Belanda ke tangan Pemerintah Republik Indonesia
17 Supramono, Gatot “
sekaligus awal dimana Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan
berdaulat memiliki bank sentral yang bersifat nasional. Sebagaimana
judul undang-undang tersebut, dalam undang-undang tersebut hanya
mengatur hal-hal terkait dengan perubahan nama, pengambilalihan
saham dan modal, dan hal teknis lainnya dalam melaksanakan
nasionalisasi De Javasche Bank N.V. tersebut menjadi Bank
Indonesia. Oleh karenanya, dalam undang-undang ini tidak ada
mengatur bahkan menyebut mengenai kredit bank yang merupakan
kegiatan usaha perbankan yang diawasi oleh Bank Indonesia sebagai
bank sentral. Pasca nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah
Republik Indonesia terhadap De Javasche Bank N.V., pada tanggal 2
Juni 1953 Pemerintah kembali mengesahkan dan mengundangkan
Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan
Undang-Undang Pokok Bank Indonesia. Dalam undang-undang ini diatur
mengenai tugas, pengurus, neraca, laba, dan hal pokok lainnya terkait
Bank Indonesia. Pada undang-undang ini, kata-kata kredit telah
disebutkan pada Pasal 7 ayat (3) sampai dengan ayat (5), Pasal 7 ayat
(5) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1953 ini memerintahkan agar
Pemerintah segera membentuk suatu peraturan pemerintah yang
mengatur tentang pengawasan terhadap urusan kredit secara khusus.
Dan dengan didasari ayat (5) tersebut, maka pada tangga l 4 Februari
1955 diundangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1955
mengalami perubahan dan penambahan beberapa pasal dengan
pengundangan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1964 tentang
Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1955
tentang Pengawasan terhadap Urusan Kredit pada tanggal 2 Mei 1964.
Kemudian pada tahun 1966 tepatnya pada tanggal 5 Juli 1966,
ditetapkanlah Ketetapan MPRS RI Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang
Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan yang memerintahkan untuk dilakukannya perbaikan
kemerosotan perekonomian negara yang disebabkan oleh tata kelola
negara yang salah serta pemberontakan gerakan kontra revolusi
G.30.S/PKI dan juga penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar
1945. Salah satu target pembaharuan kebijaksanaan landasan
ekonomi, keuangan, dan pembangunan dalam Tap MPRS tersebut
adalah sektor perbankan, sebagaimana Pasal 55 yang berbunyi:
“Dalam rangka pengamanan keuangan negara pada umumnya
dan pengawasan serta penyehatan tata perbankan pada khususnya,
maka segera harus ditetapkan Undang-Undang Pokok Perbankan dan
Undang-Undang Bank Sentral.”
Atas perintah Tap MPRS ini terutama Pasal 55 tersebut, maka
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Perbankan pada tanggal 30 Desember 1967 dan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral pada
perbankan mulai mendapat perhatian yang terlihat pengaturannya
dalam UU ini yakni pada Bab V mengenai Usaha-Usaha Perbankan;
Pasal 23 sampai Pasal 25 untuk kredit yang diberikan oleh Bank
Umum; Pasal 26 sampai Pasal 27 untuk kredit yang diberikan oleh
Bank Tabungan; serta Pasal 28 dan Pasal 29 untuk kredit yang
diberikan oleh BankPembangunan.
Pada Bab V ini, jumlah kredit yang dapat dapat diberikan oleh
masing-masing bank tersebut harus berdasarkan ketetapan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagaimana tercamtum pada Pasal
25 ayat (1) untuk Bank Umum, Pasal 27 untuk Bank Tabungan, dan
Pasal 29 ayat (2) untuk Bank Pembangunan. Hal ini mengandung arti
bahwa Bank Indonesia memiliki tugas sekaligus kewenangan untuk
menetapkan jumlah atau besaran kredit yang dapat diberikan oleh
bank-bank yang telah disebutkan itu. Dengan demikian pada masa
berlakunya Undang-Undang Pokok-Pokok Perbankan ini, Bank
Indonesia memiliki tugas dan kewenangan hanya sebatas penetapan
jumlah kredit yang dapat diberikan oleh bank dimaksud.
Perkembangan perekonomian nasional maupun internasional
yang senantiasa bergerak cepat disertai dengan tantangan-tantangan
yang semakin luas, mendorong dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan tujuan agar
perbankan nasional dapat menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya
nasional. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka
Undamg-Undang Pokok-Pokok Perbankan dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi, termasuk mengenai pengaturan kredit perbankan.
Sehingga kredit sebagai kegiatan usaha perbankan dijalankan
berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan. Ketiadaan regulasi yang mengatur
tentang kredit perbankan secara khusus menyebabkan pengaturan
kredit tersebut bergantung kepada UU perbankan sebagai lembaga
penyalur kredit perbankan itu sendiri.
Hingga kini, yang menjadi dasar hukum pemberian kredit
perbankan di Indonesia yaitu: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Bank Indonesia dimana peraturan pelaksana
kredit secara teknis diatur dalam Peraturan Bank Indonesia dan lebih
lanjut diatur dalam peraturan masing-masing bank.
B. Pengertian dan unsur-unsur Kredit
Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.18
Dari pengertian di atas dapatlah dijelaskan bahwa kredit dapat
berupa uang atau tagihan yang nilainya di ukur dengan uang, misalnya
bank membiayai kredit untuk pembelian rumah atau mobil. Kemudian
adanya kesepakatan antara bank (kreditur) dengan nasabah penerima
kredit (debitur), bahwa mereka sepakat sesuai dengan perjanjian yang
telah dibuatnya. Dalam perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban
masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan
bersama. Demikian pula dengan masalah sanksi apabila si debitur ingkar
janji terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama.
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu
fasilitas kredit adalah sebagai berikut:
1. Kepercayaan
Yaitu suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan
(berupa uang, barang atau jasa) akan benar-benar diterima kembali di
masa tertentu di masa datang.19
2. Kesepakatan
Di samping unsur percaya di dalam kredit juga mengandung unsur
kesepakatan antara si pemberi kredit dengan si penerima kredit.
18 Kasmir, “
Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya” (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2011), hal. 96.
19Kasmir, “
Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dimana
masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing-masing-masing.
3. Jangka Waktu
Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka
waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati.
Jangka waktu tersebut bias berbentuk jangka pendek, jangka menengah
atau jangka panjang.
4. Risiko
Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu
risiko tidak tertagihnya/macet pemberian kredit. Semakin panjang
suatu kredit semakin besar risikonya demikian pula sebaliknya. Risiko
ini menjadi tanggungan bank, baik risiko yang disengaja oleh nasabah
yang lalai, maupun oleh risiko yang tidak disengaja.
5. Balas Jasa
Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut
yang kita kenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga
dan biaya administrasi kredit ini merupakan keuntungan bank.
Sedangkan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah balas jasanya
ditentukan dengan bagi hasil.
C. Tujuan dan Fungsi Kredit
Pemberian suatu fasilitas kredit mempunyai tujuan tertentu. Tujuan
didirikan. Adapun tujuan utama pemberian suatu kredit adalah sebagai
berikut:
1. Mencari keuntungan
Yaitu bertujuan untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut.
Hasil tersebut terutama dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank
sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan
kepada nasabah. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup
bank. Jika bank yang terus menerus menderita kerugian, maka besar
kemungkinan bank tersebut akan dilikuidasi (dibubarkan).
2. Membantu usaha nasabah
Tujuan lainnya adalah untuk membantu usaha nasabah yang
memerlukan dana, baik dan investasi maupun dana untuk modal kerja.
Dengan dana tersebut, maka pihak debitur akan dapat mengembangkan
dan memperluaskan usahanya.
3. Membantu pemerintah
Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak
perbankan, maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit
berarti adanya peningkatan pembangunan di berbagai sektor.
Kemudian disamping tujuan di atas suatu fasilitas kredit memiliki
fungsi sebagai berikut:
1. Untuk meningkatkan daya guna uang
Dengan adanya kredit dapat meningkatkan daya guna uang maksudnya
berguna. Dengan diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna
untuk menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit.
2. Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari
satu wilayah ke wilayah lainnya sehingga suatu daerah yang
kekurangan uang dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan
memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya.
3. Untuk meningkatkan daya guna barang
Kredit yang diberikan oleh bank akan dapat digunakan oleh si debitur
untuk mengolah barang yang tidak berguna menjadi berguna atau
bermanfaat.
4. Meningkatkan peredaran barang
Kredit dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari satu
wilayah ke wilayahh lainnya sehingga jumlah barang yang beredar dari
satu wilayah ke wilayah lainnya bertambah atau kredit dapat pula
meningkatkan jumlah barang yang beredar.
5. Sebagai alat stabilitas ekonomi
Dengan memberikan kredit dapat dikatakan sebagai stabilitas ekonomi
karena dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah
barang yang diperlukan oleh masyarakat. Kemudian dapat pula kredit
membantu dalam mengekspor barang dari dalam negeri ke luar negeri
6. Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan
Semakin banyak kredit yang disalurkan, akan semakin baik, terutama
dalam hal meningkatkan pendapatan. Jika sebuah kredit diberikan untuk
membangun pabrik, maka pabrik tersebut tentu membutuhkan tenaga
kerja sehingga dapat pula mengurangi pengangguran, Di samping itu,
bagi masyarakat sekitar pabrik juga akan dapat meningkatkan
pendapatannya seperti membuka warung atau menyewa rumah
kontrakan atau jasa lainnya.
7. Untuk meningkatkan kegairahan berusaha
Bagi si penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan kegairahan
berusaha, apalagi bagi si nasabah yang memang modalnya pas-pasan.
8. Untuk meningkatkan hubungan internasional
Dalam hal pinjaman internasional akan dapat meningkatkan saling
membutuhkan antara si penerima kredit dengan si pemberi kredit.
Pemberian kredit oleh negara lain akan meningkatkan kerja sama di
bidang lainnya.
D. Jenis-Jenis Kredit Dan Jaminan Kredit
Kredit yang diberikan bank umum dan bank perkreditan rakyat
untuk masyarakat terdiri dari berbagai jenis. Secara umum jenis-jenis
kredit antara lain sebagai berikut:
a. Kredit Investasi
Biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha atau
b. Kredit modal kerja
Digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam
operasionalnya.
Seperti sudah dibahas diatas bahwa kredit dapat diberikan dengan
jaminan atau tanpa jaminan. Kredit tanpa jaminan sangat membahayakan
posisi bank, mengingat jika nasabah mengalami suatu kemacetan, maka
akan sulit untuk menutupi kerugian terhadap kredit yang disalurkan.
Sebaliknya dengan jaminan kredit relatif lebih aman mengingat setiap
kredit macet akan dapat di tutupi oleh jaminan tersebut.
Adapun jaminan yang dapat dijadikan jaminan kredit oleh calon
debitur adalah sebagai berikut:
1. Dengan jaminan
a. Jaminan benda berwujud, yaitu barang-barang yang dapat dijadikan
jaminan seperti tanah, bangunan, kendaraan bermotor,
mesin-mesin/peralatan, barang dagangan, tanaman/kebun/sawah dan
lainnya.
b. Jaminan benda tidak berwujud yaitu benda-benda yang merupakan
surat-surat yang dijadikan jaminan seperti sertifikat saham, sertifikat
obligasi, sertifikat tanah, sertifikat deposito, rekening tabungan yang
dibekukan, rekening giro yang dibekukan, promes, wesel dan surat
c. Jaminan orang
Yaitu jaminan yang diberikan oleh seseorang dan apabila kredit
tersebut macet, maka orang yang memberikan jaminan itulah yang
menanggung risikonya.
2. Tanpa Jaminan
Kredit tanpa jaminan maksudnya adalah bahwa kredit yang diberikan
bukan dengan jaminan barang. Biasanya diberikan untuk perusahaan
yang benar-benar bonafit dan profesional sehingga kemungkinan kredit
tersebut macet sangat kecil. Dapat pula kredit tanpa jaminan hanya
dengan penilaian terhadap prospek usahanya atau dengan
pertimbangan untuk pengusaha-pengusaha ekonomi lemah.
E. pihak pihak dalam perjanjian kredit
Dalam suatu perjanjian kredit terdapat 2 (dua) pihak yaitu pemberi
kredit (bank) dan penerima kredit. Adapun kriteria dari kedua pihak
tersebut adalah sebagai berikut:20
a. Pihak Pemberi Kredit (Bank)
Pemberi kredit ini dapat dilakukan oleh bank pemerintah dan bank
swasta. Dalam Pasal 1 sub 2 Undang-undang No. 10 tahun 1998
dinyatakan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka
20Jatmiko Winarno, ”
SK Pegawai Negeri Sebagai Jaminan Kredit di Bank” Jurnal Karya
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Didalam akta perjanjian kredit
bank yang pada umumnya mengatur mengenai hak dan kewajiban bank
namun didalam kenyataan yang lebih menonjol adalah ketentuan
mengenai hak dibanding dengan ketentuan mengenai kewajiban dari
bank, karena dalam hal ini perjanjian hanya ditentukan secara sepihak
oleh pemberi kredit.
b. Pihak Penerima Kredit
Dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 pasal l ayat 18 terdapat
adanya pengertian penerima kredit/nasabah debitur adalah nasabah
yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank
dengan nasabah yang bersangkutan. Dalam Pasal 1 ayat 12
Undang-undang No. 10 tahun 1998 menyatakan bahwa penerima kredit
mempunyai kewajiban pokok melunasi hutangnya setelah jangka waktu
tertentu, dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil
keuntungan.
F. Syarat Sahnya Perjanjian kredit
Untuk syahnya perjanjian harus memenuhi 4 (empat) unsur seperti
yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri,
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3. Suatu hal tertentu,
Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subyektif atau
pihak-pihak dalam perjanjian sehingga disebut sebagai syarat subyektif,
sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif karena
mengenai syarat obyek perjanjian. Dalam hal ini harus dibedakan antara
syarat subyektif dan syarat obyektif, sebab dalam syarat obyektif jika
syarat ini tidak terpenuhi, maka perjanjian ini batal demi hukum artinya
dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada
suatu perikatan, jika syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian bukan batal
demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta
supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan
adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya
tidak bebas. Perjanjian demikian dinamakan Voidable.
G. Kredit Macet
Dalam prosesnya nasabah-nasabah yang memperoleh kredit dari
bank tidak seluruhnya dapat mengembalikan dengan baik tepat pada
waktuya, sebagian nasabah tidak bisa mengembalikan kredit kepada bank
yang telah meminjamnya. Akibat nasabah tidak dapat membayar lunas
utangnya, maka perjalanan kredit terhenti atau macet.
Keadaan yang demikian dalam hukum perdata disebut wanprestasi
perjanjian pinjam uang, maka debitur yang tidak dapat membayar lunas
utangnya setelah jangka waktunya habis, adalah wanprestasi.21
Dalam kredit macet ada beberapa faktor yang mempengaruhinya,
antara lain :
1. Berasal dari nasabah
a. Nasabah menyalahgunakan kredit yang diperolehnya.
Dimana nasabah memperjanjikan tujuan kreditnya namun nasabah
menyimpang. Misalnya kredit nasabah diperuntukan untuk jasa
pengangkutan, tetapi dipergunakan untuk usaha pertanian.
b. Nasabah kurang mampu mengelola usahanya.
Hal ini terjadi kepada nasabah yang tidak memiliki cukup
kemampuan dibidang usahanya namun nasabah mampu meyakinkan
pihak bank untuk memberikan kredit. Oleh karena itu usaha yang
dijalankan menghasilkan produksi yang kualitasnya rendah sehingga
tidak mampu bersaing.
c. Nasabah tidak beritikad baik.
Dimana nasabah ini dari awal sudah mempunyai itikad buruk,
dengan menghindari pembayaran kredit sebelum jatuh tempo dengan
cara melarikan diri atau menghindari tanggung jawab dengan segala
daya dan upaya.
2. Berasal dari bank
a. Persaingan antar bank.
21
Jumlah bank yang beroperasi terus meningkat menyebabkan
persaingan antar bank kian ketat. Dalam melakukan persaingan
tersebut bank selalu memberikan pelayanan terbaik kepada
masyarakat agar mendapatkan nasabah yang banyak dan nasabah
yang sudah ada tidak berpaling ke bank lainnya. Dalam kondisi
seperti ini banyak bank yang bertindak spekulatip, dengan
memberikan fasilitas yang mudah untuk nasabahnya dengan
mengabaikan prinsip-prinsip perbankan yang sehat.
b. Hubungan ke dalam.
Hubungan ini banyak terjadi dilingkungan bank swasta. Hubungan
yang dimaksud adalah hubungan bank dengan perusahaan
perusahaan yang tergabung dalam kelompoknya dan juga hubungan
dengan para pengurus serta pemegang saham. Dari hubungan
tersebut bank cenderung setia melayani nasabah yang mempunyai
hubungan dalam ini dengan segala kemudahan walaupun proyek
yang dibiayai kurang menguntungkan. Itulah yang menjadi salah
satu faktor jatuhnya usaha bank.
c. Pengawasan.
Pengawasan dilakukan baik oleh bank itu sendiri melalui bagian
pengawasan kredit maupun oleh Bank Indonesia. Terlepas dari
pengawasan yang dilakukan, apabila pengawasan lemah maka
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA DAN SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (SK PNS)
A. PENGERTIAN PERJANJIAN KERJA.
Perjanjian kerja mempunyai manfaat yang sangat besar bagi para
pihak yang membuat perjanjian kerja tersebut, karena dengan perjanjian
kerja yang dibuat dan di taati dengan itikad baik dapat menciptakan suatu
ketenangan dalam bekerja serta menjadi jaminan akan kepastian hak dan
kewajiban para pihak yang terkait. Dengan demikian produktivitas dapat
meningkat sehingga para pengusaha dapat mengembangkan
perusahaannya menjadi lebih luas dan membuka lapangan kerja yang baru,
maka berarti pula ikut dalam berpartisipasi dalam pembangunan nasional.
Perjanjian kerja yang baik memiliki sifat-sifat khusus sebagai berikut:22
1. Menerbitkan suatu hubungan yang diperatas, yaitu hubungan antar
pekerja dan atasan. Dimana pihak yang satu berhak memberikan
perintah – perintah kepada pihak yang lain bagaimana pekerja
harus melakukan pekerjaannya.
2. Selalu diperjanjikan suatu gaji atau upah, yang lazimnya berupa
uang, tetapi ada juga (sebagian) berupa pengobatan dengan
percuma, kendaraan, makanan, penginapan, pakaian, dan
sebagainya.
22
3. Dibuat untuk suatu waktu tertentu atau sampai diakhiri oleh salah
satu pihak.
Dalam undang-undang ketenagakerjaan memang tidak dijumpai
syarat-syarat seorang pengusaha berhak atau tidak membuat perjanjian
kerja, dan tidak ada tentang syarat seseorang berhak atau tidak menjadi
pengusaha. Oleh karena itu untuk meninjau hal ini harus kembali melihat
ketentuan KUH perdata di dalam pasal 1330 KUH perdata dimana orang
yang belum dewasa, orang yang dalam pengampuan dan orang gila tidak
berhak membuat suatu persetujuan, terlebih lagi menjadi seorang
pengusaha.
B. SYARAT SAHNYA PERJANJIAN KERJA.
Setiap perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis dan lisan. Dalam
perjanjian kerja tertulis maupun lisan, harus dilaksanakan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berikut ini adalah syarat syarat dalam
membuat perjanjian kerja:23
1. Kesepakatan kedua belah pihak
2. Kemempuan atau kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum.
3. Adanya pekerjaan yang dijanjikan
4. Pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
23
Perjanjian kerja tanpa adanya kesepakatan para pihak ataupun
salah satu pihak tidak mampu atau tidak cakap melakukan perbuatan
hukum, maka perjanjian tersebut bisa dibatalkan. Sedangkan jika
perjanjian tersebut dibuat tanpa adanya pekerjaan yang diperjanjikan
ataupun pekerjaan yang diperjanjikan melanggar ketertiban hukum,
kesusilaan, dan undang-undang yang berlaku, maka perjanjian tersebut
batal demi hukum. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis
sekurang-kurangnya memuat:24
1. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha.
2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja.
3. Jabatan atau jenis pekerjaan.
4. Tempat pekerjaan.
5. Besarnya upah dan cara pembayarannya.
6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha
dan pekerja.
7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja.
8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat.
9. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Perjanjian kerja harus dibuat sekurang-kurangnya rankap dua, yang
mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja maupun pengusaha
masing-masing mendapat satu perjanjian kerja.
24
C. JENIS-JENIS PERJANJIAN KERJA.
1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu.
Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis
dengan menggunakan bahasa indonesia dan huruf latin serta harus
memenuhi syarat-syarat, antara lain:
a. Harus mempunyai jangka waktu tertentu.
b. Adanya suatu pekerjaan yang selesai dalam kurun waktu tertentu.
c. Tidak mempunyai syarat-syarat masa percobaan.
Jika perjanjian kerja untuk waktu tertentu bertentangan dengan
ketentuan diatas maka perjanjian tersebut akan dianggap sebagai
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk
waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan akan selesai dalam
waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun.
c. Pekerjaan yang bersifat musiman.
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,
atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka
waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan boleh
Untuk perusahaan yang ingin memperpanjang jangka waktu paling
lambat tujuh hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
memberitahukan secara tertulis kepada pekerja yang bersangkutan.
2. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
Perjanjian untuk waktu tidak tertentu adalah suatu perjanjian kerja
yang umum dijumpai dalam suatu perusahaan, yang tidak memiliki
jangka waktu berlakunya. Dengan demikian maka perjanjian kerja
waktu tidak tertentu akan berlaku terus sampai:
a. Pihak pekerja memasuki usia pensiun.
b. Pihak pekerja diputuskan hubungan kerjanya oleh perusahaan karena
membuat kesalahan.
c. Pekerja meninggal dunia.
d. Adanya putusan pengadilan yang menyatakan pekerja telah
melakukan tidak pidana sehingga perjanjian kerja tidak dapat
dilanjutkan.
Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu tidak akan berakhir
dikarenakan pengusaha atau pemilik perusahaan meninggal atau
beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan oleh penjualan
perusahaan, pewarisan perusahaan ataupun dihibahkannya perusahaan
tersebut. Apabila hal itu terjadi maka hak para pekerja beralih menjadi
tanggung jawab pengusaha yang baru, kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian peralihan yang tidak mengurangi hak-hak para pekerja.
perusahaannya ahli waris dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah
melakukan perundingan kepada pekerja yang bersangkutan.
Tidak seperti perjanjian kerja waktu tertentu, perjanjian kerja
waktu tidak tertentu dapat dibuat secara tertulias maupun lisan. Namun
apabila perjanjian dibuat secara lisan, pengusaha harus membuat surat
pengangkatan bagi para pekerja, dengan sekurang kurangnya memuat
tentang:25
a. Nama dan alamat pekerja.
b. Tanggal mulai bekerja.
c. Jenis pekerjaan.
d. Besarnya upah.
D. KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA
1. Kewajiban pekerja.
Dalam KUH perdata pasal 1603d dinyatakan bahwa pekerja
yang baik adalah :
“pekerja yang menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik, yang dallam hal ini kewajiban untuk elakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan sama, seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan”
Selanjutnya dalam KUH perdata (yang sampai sekarang
dipakai sebagai pedoman) dirinci kewajiban pekerja sebagai berikut :
25
a. Pekerja berkewajiban untuk melakukan pekerjaan yang dijanjikan
menurut kemampuannya dengan sebaik-baiknya.
b. Pekerja atau buruh berkewajiban melakukan sendiri pekerjaannya,
hanya dengan seijin pengusaha pekerja bisa menyuruh orang ketiga
untuk menggantikannya.
c. Pekerja wajib taat terhadap peraturan mengenai hal melakukan
pekerjaannya.
d. Pekerja yang tinggal pada pengusaha, wajib berkelakuan baik
menurut tata tertib rumah tangga pengusaha.
Selain itu pekerja berkewajiban melakukan tugas-tugas antara
lain sebagai berikut:
Melakukan pekerjaan.
Pengertian pekerjaan dan seperti apa pekerjaan yang haru
dikerjakan oleh pekerja atau buruh tidak dijumpai dalam peraturan
ketenagakerjaan(Undang-undang No.13 Tahun 2003). Pekerjaan
yang diperjanjikan oleh pekerja atau buruh harus dikerjakan sendiri
oleh pekerja tersebut, apalagi kalau pekerjaan itu adalah pekerjaan
yang memerlukan keahlian tertentu akan menimbulkan
ketidakmungkinan untuk diganti oleh orang lain, tidak bisa pula
pekerja tersebut menyuruh salah seorang keluarganya untuk
Petunjuk pengusaha.
Petunjuk pengusaha adalah petunjuk-petunjuk yang harus
diperhatikan oleh pekerja dalam menjalankan pekerjaannya.
Petunjuk petunjuk inidiberikan oleh penguasa atau oleh orang yang
dikuasakan untuk itu selama pekerja tersebut melaksanakan
pekerjaannya. Sebetulnya ketentuan tentang adanya petunjuk
pengusaha dalam melaksanakan pekerjaan ini didasarkan atas
ketentuan KUH perdata, khususnya pasal 1603b yang menentukan
bahwa : “buruh wajib menaati aturan tentang hal melaksanakan
pekerjaan dan aturan yang ditujukan kepada perbaikan tata tertib
dalam perusahaan majikan yang diberikan kepadanya oleh orang
atau atas nama majikan dalam batas-batas aturan
perundang-undangan, atau bila tidak ada, menurut kebiasaan.”26
Namun kita
mempunyai pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar falsafah
negara. Pancasila itu harus diwujudkan dalam kehidupan nyata,
termasuk dalam kehidupan ketenagakerjaan, maka ketentuan pasal
1603b khususnya dan ketentuan KUH perdata bab 7a umumnya
harus diserasikan dengan pancasila.
Dengan adanya hubungan pancasila ini, jelaslah bagaimana
kedudukan KUH perdata sekarang di dalam dunia ketenagakerjaan
kita. KUH perdata sekarang hanya dapat dipakai sebagai pedoman,
itupun bagi ketentuan yang serasi dengan hubungan pancasila,
26
sedangkan yang tidak sesuai dibuang atau dengan kata lain tidak
berlaku lagi.
2. Kewajiban pengusaha.
Kewajiban utama pengusaha dengan adanya hubungan atau
perjanjian kerja dengan pekerjanya adalah membayar upah atau gaji
kepada pekerja. Namun selain membayarkan gaji atau upah tersebut
perusahaan juga berkewajiban memberikan surat keterangan kepada
pekerjanya yang dengan kemauan sendiri hendak berhendi dari
pekerjaan yang ia kerjakan di dalam perusahaan. Dengan begitu
perusahaan mempunyai dua kewajiban yang harus dipenuhi terhadap
para pekerjanya, yaitu:
a. Membayar upah.
Dalam melakukan pekerjaan ada beberapa makna yang
dapat diperoleh oleh pekerja, antara lain dari segi indidu
merupakan gerak dari badan dan pikiran setiap orang guna
memelihara kelangsungan hidup badaniah dan juga rohania
sedangkan ditinjau dari segi sosial adalah melakukan pekerjaan
untuk menghasilkanbarang ataupun jasa guna memuaskan
kebutuhan masyarakat luas. Selain itu ditinjau dari segi spiritual
merupakan hak dan kewajiban manusia dalam memulihkan dan
Oleh karena itu pembayaran gaji ataupun upah oleh
perusahaan sangatlah memegang peranan penting karena untuk
memelihara kelangsungan hidup badaniah dan rohaniah.
1) Pengertian upah.
Secara umum upah adalah pembayaran yang di terima
oleh pekerja selama ia melakukan pekerjaan ataupun
dipandang melakukan pekerjaan. Namun menurut Pasal 1
angka 30 UU No.13 Tahun 2003 upah adalah “hak pekerja
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu pejanjian
kerja, kesepakatan, atau perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atau suatu
pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan”27
Walaupun demikian, upah bagi masing-masing pihak
adalah suatu hal yang berbeda. Bagi pengusaha upah adalah
biaya produksi yang harus dikeluarkan dan ditekan
pengeluarannya serendah rendahnya agar harga barang yang
di produksi tidak terlalu tinggi. Namun bagi para pekerja
upah adalah sejumlah uang yang mereka terima pada waktu
tertentu, yang lebih pentting lagi adalah jumlah barang
27
kebutuhan hidup yang mereka bisa dapatkan dengan uang
upah atau gaji yang telah mereka dapatkan.
2) Jenis jenis upah.
a. Upah nominal.
Upah nominal adalah upah yang diterima oleh para
pekerja dengan tunai sesuai dengan pengarahan jasa-jasa
atau pelayanan dalam perjanjian kerja yang telah
disepakati.
b. Upah nyata.
Upah nyata adalah uang nyata yang harus benar-benar
diterima oleh pekerja yang berhak. Biasanya upah nyata
ditentukan oleh daya belu upah tersebut seperti besar
kecilnya uuang tersebut ataupun besar kecilnya biaya
hidup yang diperlukan.
c. Upah hidup.