• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN MENGENAI TANGGUNGJAWAB PELAKU

C. Tinjauan Umum Garansi Elektronik

1. Hubungan Garansi Barang Elektronik dengan Perlindungan Konsumen

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sebagian besar manusia tidak mampu untuk melakukan sendiri segala aktivitasnya. Manusia sering atau bahkan selalu membutuhkan sesuatu hal untuk mempermudah aktivitasnya. Hal tersebut biasanya berupa barang atau jasa seseorang. Definisi barang dapat dilihat dalam rumusan Pasal 1 angka 4 UUPK, yaitu setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, baik dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau

46 Komariah, Edisi Revisi Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2001), hlm. 12

47 Janus Sidabalok, Op.Cit, hlm. 10

dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan mengenai definisi Jasa terdapat dalam Pasal 1 angka 5 UUPK, yaitu “setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.”

Istilah barang dan/atau jasa sering juga disebut produk. Kata produk berasal dari Bahasa Inggris yaitu product. Menurut Philip Kotler, yang dimaksud dengan produk adalah segala sesuatu yang ditawarkan ke dalam pasar untuk diperhatikan, dimiliki, dipakai atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan suatu keinginan atau sesuatu kebutuhan.48

Philip Khotler juga mengatakan bahwa produk terdiri dari dua macam, yaitu berupa produk fisik (barang) dan jasa (kadang-kadang disebut produk jasa).

Philip Khotler memberikan pengertian tersendiri mengenai jasa, yaitu berbagai tindakan atau kinerja yang ditawarkan suatu pihak kepada yang lain yang pada dasarnya tidak dapat dilihat dan tidak menghasilkan hakmilik terhadap sesuatu.49 Produksinya dapat berkenaan dengan sebuah produk fisik ataupun tidak. Produk itu ada berbagai macam, seperti produk telematika, produk elektronika, produk yang berupa makanan, obat, jasa dan sebagainya. Tetapi karena objek penelitian dari skripsi ini adalah produk telematika dan elektronika maka penulis akan membatasi pembahasan penulis hanya mengenai kedua produk tersebut.

Asal-usul kata telematika ini berawal dari istilah Prancis, yaitu telematique yang kemudian menjadi istilah umum di Eropa. Telematika/telematics diartikan untuk memperlihatkan bertemunya sistem jaringan komunikasi dengan teknologi

48 Anggi Iskandarsya Nasution, Layanan Purna Jual dalam Kerangka Hukum Perlindungan Konsumen, (Skripsi, repository.usu.ac.id, Sumatera Utara), hlm. 16-17, diakses pada tanggal 30 Agustus 2020)

49 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, (Bandung: Nusa Media, 2008), hlm. 7

informasi. Dalam perkembangannya, telematics diartikan sebagai singkatan dari telecommunication and informatics sebagai wujud dari perpaduan konsep

computing and communication. Selain itu, istilah telematika juga ditujukan untuk memperlihatkan perkembangan konvergensi antara teknologi telekomunikasi, media dan informatika yang semula berkembang secara terpisah. Perwujudan dari konvergensi telematika yaitu penyelenggaraan sistem elektronik yang berbasiskan teknologi digital yang popular dengan istilah the Net. Istilah telematika, Teknologi Informasi (IT), multimedia ataupun Information and Communication Technologies (ICT) mempunyai maksud dan makna yang tidak jauh berbeda.55 Sedangkan definisi produk elektronika dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 Permendag No.19/M-DAG/PER/5/2009, yaitu produk-produk elektronika konsumsi yang dipergunakan dalam kehidupan rumah tangga. Selain definisi dari Pemendag tersebut, penulis juga mencoba menguraikan definisi elektronika yang diperoleh dari Ensiklopedia Indonesia, yakni:

Elektronika adalah ilmu yang mempelajari alat listrik arus lemah yang dioperasikan dengan cara mengontrol aliran elektron atau partikel bermuatan listrik dalam suatu alat seperti komputer, peralatan elektronik, termokopel, semikonduktor, dan lain sebagainya. Ilmu yang mempelajari alat-alat seperti ini merupakan cabang dari ilmu fisika, sementara bentuk desain dan pembuatan sirkuit elektroniknya adalah bagian dari teknik elektro, teknik komputer, dan ilmu/teknik elektronika dan instrumentasi. Alat-alat yang menggunakan dasar kerja elektronika ini disebut sebagai peralatan elektronik (electronic devices).

Alat elektronik yang ditujukan untuk penggunaan sehari-hari dan dapat digunakan untuk hiburan, komunikasi, serta bisnis disebut dengan elektronik konsumen. Penyiaran radio pada awal abad ke-20 menciptakan produk konsumen terbesar pada saat itu, yaitu penerima siaran radio. Produk selanjutnya yang termasuk dalam elektronik konsumen adalah komputer pribadi, telepon, pemutar MP3, perangkat audio, televisi, kalkulator, sistem navigasi kendaraan GPS, kamera digital, serta pemutar dan perekam media video seperti DVD, VHS, atau perekam kamera video(camcorder). Secara meningkat, produkproduk ini telah menjadi dasar teknologi digital, dan telah bergabung dengan industri komputer.

Pada era globalisasi dan perdagangan bebas, diharapkan terjadinya persaingan jujur karena arus barang dan/atau masuk ke suatu negara secara bebas.

Persaingan jujur adalah suatu persaingan dimana konsumen dapat memiliki barang dan atau jasa karena jaminan kualitas dengan harga yang wajar.50

Dalam Buku II KUHPerdata diatur mengenai jaminan kebendaan yang meliputi piutang-piutang yang diistimewakan, gadai, dan hipotek. Sedangkan dalam Buku III KUHPerdata diatur mengenai jaminan perseorangan, yaitu penanggungan utang (borgtocht), perikatan tanggung menanggung dan perjanjian garansi. 51

Perjanjian garansi dikategorikan sebagai jaminan perorangan. Maka disimpulkan bahwa jaminan produk termasuk bagian dari jaminan perorangan.

Menurut Sri Soedewi Masjchoen jaminan perorangan adalah jaminan yang

50 Wikipedia Indonesia, Elektronika, (http://id.wikipedia.org/wiki/Elektronika, diakses pada tanggal 30 Agustus 2020)

51 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hlm.

23-25.

menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan pada debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya.

Unsur jaminan perorangan yaitu menimbulkan hubungan langsung pada orang tertentu, hanya dapat dipertahankan pada debitur tertentu, dan terhadap harta kekayaan debitur umumnya.52

Surbekti dalam buku H. Salim mengartikan jaminan perorangan sebagai suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan di luar atau tanpa si berhutang tersebut.53

Garansi yang diberikan oleh penjual dipasaran ada dua macam yaitu garansi toko dan garansi resmi. Garansi toko ini diberikan oleh toko tempat membeli suatu produk dengan tujuan untuk memberikan jaminan. Garansi toko ini diberikan karena sebenarnya produk tersebut tidak disertai dengan garansi resmi, dengan kata lain produk tersebut diperoleh secara illegal. Penjual bermaksud menjual produk dengan kualitas sama akan tetapi dengan harga yang lebih murah untuk menarik minat konsumen namun sebenarnya barang yang dijual itu adalah barang yang ilegal, dipasok secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan pemerintah guna menghindari pajak.

Pasal 1 angka 8 Permendag No.19/M-DAG/PER/5/2009, yaitu kartu yang menyatakan adanya jaminan ketersediaan suku cadang serta fasilitas dan pelayanan purna jual produk telematika dan elektronika. Dalam Pasal 2 ayat (1) permendag ini dinyatakan bahwa Setiap produk telematika dan elektronika yang

52 H.Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, hlm. 21

53 Ibid, hlm. 218

diproduksi dan/atau diimpor untuk diperdagangkan di pasar dalam negeri wajib dilengkapi dengan petunjuk penggunaan dan kartu jaminan dalam Bahasa Indonesia. Untuk produk-produk yang wajib dilengkapi dengan kartu jaminan terdapat dalam Lampiran I Permendag ini. Produk-produk tersebut, penulis lampirkan juga dalam Lampiran I skripsi ini. Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Permendag ini mengindikasi bahwa pemerintah tidak ingin lagi melihat ada produk telematika dan elektronika tertentu yang tidak memiliki kartu garansi beredar dipasaran. Hal ini sebenarnya merupakan salah satu langkah yang ditempuh pemerintah untuk mengurangi peredaran produk illegal.

Adanya peraturan ini, maka dapat dikatakan bahwa garansi tidak harus digantungkan lagi terhadap ada atau tidaknya ditentukan dalam suatu perjanjian.

Artinya meskipun dalam perjanjian para pihak tidak ditentukan mengenai garansi, pihak konsumen dapat menuntut ganti rugi terhadap pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajibannya dalam menyediakan kartu garansi.

2. Kedudukan Garansi Dalam KUHPerdata

Dalam KUHPerdata, kedudukan perjanjian garansi adalah dalam buku ke III (tiga) yaitu tentang perikatan dan landasan hukum dasarnya adalah pasal ketentuan-ketentuan umum perikatan seperti Pasal 1233 dan Pasal 1234.

Pasal 1233 berbunyi :“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Dalam hal ini, perjanjian garansi lahir

karena adanya persetujuan.

Pasal 1234 berbunyi :“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”

Seperti yang telah diuraikan dalam pengertian mengenai Garansi, pada dasarnya perjanjian garansi yang dimaksud dalam hal jaminan suatu produk ini adalah suatu perjanjian penjaminan dimana pihak ketiga (dalam hal ini produsen atau importir) menjamin bahwa produk yang dijual oleh pihak pertama (dalam hal ini disebut penjual atau distributor) kepada pihak kedua (pembeli atau konsumen) adalah produk yang terbebas dari kesalahan pekerja dan kesalahan bahan.

Dalam Pasal 1316 KUHPerdata dikatakan bahwa adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa saja yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika pihak ini memenuhi perikatannya.

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN ATAS KLAIM GARANSI MESIN ELEKTRONIK

A. Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup. Segala upaya yang dimaksudkan dalam perlindungan konsumen tersebut tidak saja terhadap tindakan preventif tetapi juga tindakan represif dalam semua bidang perlindungan yang diberikan kepada konsumen, maka pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan cara:54

a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastian hukum.

b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha.

c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.

d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan menyesatkan.

e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.

Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen”

merupakan istilah yang sering disama artikan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hukum konsumen adalah juga hukum perlindungan konsumen, namun ada juga yang mengatakan bahwa dari segi substansi dan luas lingkupnya antara hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen adalah berbeda. Hingga

54 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, (Bandung: Nusa Media, 2008), hlm. 7

saat ini, para pakar ilmu hukum belum memberikan pengertian yang pasti dan baku mengenai kedua hal tersebut.55

Pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban produsen, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan kewajiban.56

Hasil temuan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengenai mutu barang, menunjukkan masih banyak produk yang tidak memenuhi syarat mutu. Manipulasi mutu banyak dijumpai pada produk bahan bangunan seperti seng, kunci dan grandel pintu, triplek, besi beton serta kabel listrik. Selanjutnya transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha, cenderung bersifat tidak balance.

Konsumen terpaksa menandatangani perjanjian yang sebelumnya telah disiapkan oleh pelaku usaha. Permasalahan yang dihadapi konsumen tersebut pada dasarnya disebabkan oleh kurang adanya tanggung jawab pengusaha dan juga lemahnya pengawasan pemerintah. 57

55 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006) , hlm 36.

56 Ibid

57 Zumrotin, Problematika Perlindungan Konsumen di Indonesia, Sekarang dan yang Akan Datang, Surakarta: Fakultan Hukum Universitas Sebelas Maret, 2007), hlm. 2

Secara normatif pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 19 ayat (1) dan (2) UUPK).

Menurut Az. Nasution dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, membedakan antara hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen. Menurut beliau, hukum konsumen adalah:

“keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat”. Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah “Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.”58

Lebih lanjut AZ. Nasution menjelaskan bahwa:

“Hukum Konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan.

Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat bagi mereka yang berkedudukan seimbang demikian, maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah.

Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak

58 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2002), hlm. 37.

yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang”.59

Pada dasarnya, hukum perlindungan konsumen lahir dari kesadaran masyarakat yang bertindak sebagai konsumen untuk melindungi dirinya dalam sebuah transaksi dengan pelaku usaha. Perkembangan peradaban membawa manusia ke dalam kemajuan teknologi yang semakin cepat. Terkadang, perkembangan itu bukan saja membawa dampak yang positif, namun juga membawa dampak yang negatif kepada konsumen. Unsur-unsur perlindungan konsumen menurut Shidarta:60

a. Semua badan/organisasi secara langsung maupun tidak langsung bergerak dalam perlindungan konsumen. Badan-badan organisasi tersebut dapat terdiri dari badan-badan pemerintah maupun badan swasta yang khusus didirikan untuk tujuan tersebut. Sebagai upaya dari kalangan swasta, gerakan perlindungan konsumen ini sudah dapat dikatakan cukup lama keberadaannya, yaitu sejak didirikan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 1973. Badan swasta ini bergerak secara langsung melindungi konsumen di Indonesia, untuk sementara terutama di Jakarta dengan cara-cara spesifik, yaitu dengan melindungi konsumen dengan tidak merugikan apalagi mematikan usaha produsen nasional.

b. Secara tidak langsung juga para produsen barang maupun jasa, turut pula melindungi konsumen, terutama sekali para produsen bonafide, artinya yang memperkirakan bahwa keuntungan mereka peroleh dalam memasukkan hasil produksinya akan lebih terjamin dan langgseng apabila keseluruhan produksinya memenuhi persayaratan tentang mutu, kesehatan, pengepakan, dan lain sebagainya, sebagaimana dikehendaki oleh UUPK.

c. Konsumen, di mana konsumen sendiri juga wajib melindungi diri sendiri dalam tindakan mengkonsumsi barang dan/jasa yang dilakukannya dengan cara meningkatkan kewaspadaan yang dilandasi oleh kemampuan dalam memilih dan mengenal suatu produk.

Melakukan konsumsi yang seimbang dengan penghasilan, dengan demikian mencegah diri sendiri terjerat oleh pola konsumsi yang tinggi yang tidak berfaedah.

59 Ibid, hlm 38

60 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.Grasindo, 2000), hal.15.

Berdasarkan Pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian khusus dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.61

2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Di dalam ketentuan Pasal 2 UUPK terdapat lima asas yakni

“Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.” Dimana di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat penjelasan kelima asas tersebut yakni sebagai berikut:62

a. Asas manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

b. Asas keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum

61Az. Nasution 2, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum Pada Perlindungan Konsumen, cet 1, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), hlm. 65.

62 Indonesia (a), Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No.42 Tahun 1999, TLN. No. 3821, Ps. 2 beserta penjelasannya.

Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:63

a. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,

b. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan c. Asas kepastian hukum.

Tujuan Perlindungan Konsumen, sebagaimana termaksud dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah :

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Dari keenam tujuan perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum

63 Ahmad Miru & Sutarman Yodo , Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 26

untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dam huruf e, sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan terlihat dalam rumusan huruf a, b, termasuk c dan d serta huruf f. Terakhir tujuan yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum tercermin dalam rumusan huruf d.64

3. Macam-Macam Liability Dalam Perlindungan Konsumen

Bentuk- bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain:65

a. Contractual liability, yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan.

b. Product liability, yaitu tanggung jawab perdata terhadap produk secara langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan.

Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum (tortius liability). Unsur-unsur dalam tortius liability antara lain adalah unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian dan hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul.

c. Professional liability, yaitu tanggung jawab pelaku usaha sebagai pemberi jasa atas kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat memanfaatkan atau menggunakan jasa yang diberikan.

d. Criminal liability, yaitu pertanggungjawaban pidana pelaku usaha sebagai hubungan antara pelaku usahadengan negara.

Merujuk UUPK Pasal 19 ayat (1), jika suatu produk merugikan konsumen, maka produsen bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang diderita konsumen. Kedudukan tanggung jawab perlu diperhatikan, karena mempersoalkan kepentingan konsumen harus disertai pula analisis mengenai siapa yang semestinya dibebani tanggung jawab dan sampai batas mana pertanggungjawaban itu dibebankan kepadanya. Tanggung jawab atas suatu

64 Ibid, hlm. 34-35

65 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika-Suatu Kompilasi Kajian, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2005), hlm. 268-378

barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan atau industri dalam pengertian yuridis lazim disebut sebagai product liability. Dalam UUPK, setiap orang yang melakukan suatu akibat kerugian bagi orang lain, harus memikul tanggung jawab yang diperbuatnya. Setiap orang mengalami kerugian, berhak mengajukan tuntutan kompensasi atau ganti rugi kepada pihak yang melakukan perbuatan itu. Kompensasi tersebut menurut Pasal 19 ayat (2) meliputi:

a. Pengembalian sejumlah uang

b. Penggantian barang atau jasa yang sejenis atau setara c. Perawatan kesehatan

d. Pemberian santunan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Istilah dan definisi product liability dikalangan para pakar dan sejumlah peraturan diartikan secara berbeda-beda. Kata produk diartikan sebagai barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak (tetap). Pengertian benda secara hukum dapat kita lihat dalam Pasal 499 KUHPerdata yang berbunyi “menurut paham Undang-Undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.”

Tanggung jawab dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan Undang-Undang gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum, namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir (tortius liability).66

Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya:67

a. Pelanggaran jaminan (breach of warranty)

66 Shidarta, Op.Cit, hlm. 80

67 Ibid, hlm. 81

b. Kelalaian (negligence)

c. Tanggung jawab mutlak (strict liability)

Pelanggaran jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha (khususnya produsen), bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat.

Kelalaian (negligence) adalah bila si pelaku usaha digugat itu gagal menunjukan,

Kelalaian (negligence) adalah bila si pelaku usaha digugat itu gagal menunjukan,

Dokumen terkait