• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum

Dalam dokumen BAB 1 2 3 4 5 SEKRIPSI Sary (Halaman 23-34)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum

1) Kajian latar Belakang Kerajaan Sunda

Masyarakat Tatar Sunda sekarang masih mengenal nama-nama kerajaan yang pernah ada di wilayahnya, seperti Kerajaan Galuh, Kerajaan Kawali, dan Kerajaan Pajajaran. Dikenalnya nama-nama tersebut menyebabkan timbulnya anggapan bahwa di Tatar Sunda pada Jaman Kuna pernah terdapat beberapa kerajaan. Anggapan seperti ini memang beralasan, karena dalam beberapa sumber tertulis buhun dan sumber lisan dari masa yang lebih muda berupa certia pantun, disebutkan adanya

kerajaan-kerajaan tersebut. Sumber tertulis yang tertua berupa prasasti yang menyebutkan adanya kerajaan Sunda adalah prasasti Kebon Kopi II yang berangka tahun Saka dalam bentuk candrasengkala kawi haji panca pasagi (= 854 S.) yang bertepatan dengan tahun 932 M. Prasasti Kebon Kopi II menyebutkan sebuah peristiwa penting dalam sejarah Tatar Sunda, yaitu pemulihan kekuasaan kepada raja Sunda (barpulihkan haji sunda) (Djafar, 2008:1-2).

Demikian juga halnya dengan Antonio Pigafetta yang menulis buku Primo viaggio intorno al mondo pada 1522 yang memberitakan Sunda sebagai sebuah daerah yang banyak menghasilkan lada. Bahkan, dari masa yang sama itu juga terdapat kesaksian seorang penyair yang ikut dalam pelayaran keliling dunia dengan Magelhaens, Camoes, telah mengenal adanya kerajaan bernama Sunda (Lubis dkk., 2003: 80-81). Bujangga Manic juga melaporkan adanya pelabuhan (kalapa) dalam naskah yang ditulisnya sekitar (XIV-XV) menjelaskan bahwa kerajaan sunda telah memfungsikan pelabuhan kalapa (Ridwan Saidi, 1993:31).

Sumber kesusastraan yang sampai kepada kita lebih tegas lagi menyebut Sunda jika mengacu ke daerah yang sekarang disebut Jawa Barat. Carita Parahiyangan (akhir abad XVI) menyebut Sunda sebagai nama kawasan. Demikian pula Naskah Siksa Kanda ng Karesian yang berangka tahun 1440 Saka (1518 M). Penemuan prasasti batu Huludayeuh di daerah Sumber, Cirebon, pada tahun 1991, telah memperkuat kesimpulan-kesimpulan tersebut. Prasasti Huludayeuh ini memiliki

bahasa Sunda Kuna dengan aksara pasca Palawa yang memiliki kesamaan dalam bentuk paleografinya, prasasti tersebut. Menyebutkan pula raja yang berkuasa pada waktu itu ialah Sri Baduga Raharaja Ratu Haji dari Pakuan Pajajaran (Djafar, 2008: 3-4).

Dari sumber-sumber yang ada dapat pula digambarkan bagaimana bentuk keraton pada zaman Kerajaan Sunda. Tome Pires (1512-1515) telah memberitakan tentang ibu kota Kerajaan Sunda yang dapat dicapai dua hari perjalanan dari Kalapa. Kota besar itu penuh dengan rumah-rumah yang kokoh dari daun rumbia dan kayu. Dikatakan bahwa kediaman raja (keraton) mempunyai 330 tiang dari kayu yang tebalnya seperti drum anggur dengan tinggi lima fadem serta di bagian puncaknya diukir indah, merupakan bangunan yang kokoh (Lubis dkk., 2003: 83).

Kebijaksanaan pemerintahan di pusat kerajaan pada umumnya dilaksanakan pula di daerah-daerah kekuasaannya, seperti di kadipaten-kadipaten serta di kota-kota pelabuhan. Salah satu kota pelabuhan yang terutama dan terpenting serta letaknya paling dekat dan lurus ke ibukota kerajaan ialah kota pelabuhan Kalapa atau kelak disebut pula Sunda Kalapa. Ini berarti Kalapa sebagai kota pelabuhan yang amat penting, terutama strategis keletakannya serta terdekat ke pusat pemerintahan kerajaan Sunda, memerlukan daya juang para pejabat dan masyarakatnya untuk memenuhi keinginan pusat, terutama untuk melancarkan serta meningkatkan perdagangan dengan negeri-negeri lain, baik di lingkungan kerajaan-kerajaan di Indonesia maupun internasional. Pakuan Pajajaran merupakan pusat pemerintahan yang dapat digolongkan ke dalam City-sate (negara-kota) dan biasanya amat erat

kaitannya dengan pemasukan pendapatan kerajaan dari pajak ekspor dan impor perdagangan internasional (Leirissa dkk., 1997: 22-23).

Pelabuhan Sunda Kelapa dari sisi ekonomi memang memiliki nilai strategis, karena berdekatan dengan pusat-pusat perdagangan di Jakarta, seperti Glodok, Pasar Pagi, Mangga Dua, dan lain-lain. Wisatawan yang berkunjung ke sini dapat melihat keramaian aktivitas bongkar muat barang-barang kapal antarpulau berukuran 175 BRT (500 m2) yang mengangkut barang kebutuhan sehari-hari, seperti sembako dan tekstil. Selain itu, pengunjung juga dapat melihat aktivitas bongkar muat barang-barang lainnya, seperti, besi beton, kayu gergajian, rotan, kaoliang, dan kopra. Yang menarik, bongkar muat barang di pelabuhan ini masih menggunakan cara tradisional, yakni menggunakan tenaga manusia.

Ramainya aktivitas bongkar muat barang komoditas perdagangan ini sebenarnya memang ditunjang oleh kondisi fisik di pelabuhan tersebut. Menurut catatan, pelabuhan ini mempunyai luas daratan sekitar 760 hektar dan luas perairan sebesar 16.470 hektar yang terdiri dari pelabuhan utama dan Pelabuhan Kalibaru. Pelabuhan utama memiliki panjang area 3.250 meter dengan luas kolam 12.000 meter persegi, sedangkan Pelabuhan Kalibaru mempunyai panjang area 750 meter dengan luas daratan sekitar 343.339 meter persegi. Dengan ukuran tersebut, pelabuhan utama setidaknya bisa menampung sekitar 70 perayu layar motor, dan untuk Pelabuhan Kalibaru dapat menampung sekitar 65 kapal motor antarpulau.

Periode akhir Kerajaan Sunda semakin jelas karena sumber-sumber sezaman, baik sumber dalam negeri maupun sumber luar negeri, saling menguatkan data. Rekonstruksi periode akhir Kerajaan Sunda adalah Sebelum Portugis menguasai Malaka, jalur perniagaan di Kepulauan Nusantara senantiasa melewati Selat Malaka, baik yang bertujuan ke Cina maupun ke Maluku. Oleh karena itu, pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di Pesisir Utara Kerajaan Sunda kurang begitu berkembang meskipun tetap terlibat dalam perdagangan di Kepulauan Nusantara. Seiring dengan penguasaan Malaka oleh Portugis, Selat Sunda memegang peranan yang sangat penting dalam perdagangan di Kepulauan Nusantara. Hal tersebut dimungkinkan karena para pedagang Muslim tidak mau berdagang melalui Selat Malaka. Akibatnya, pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di sepanjang Pesisir Utara Kerajaan Sunda semakin memegang peranan yang sangat penting dalam perdagangan di Kepulauan Nusantara (Kosasih Anang 2013:29-30).

Dari bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan kembali sebagai berikut: 1. Di Tatar Sunda hanya ada satu kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda.

2. Galuh, Kawali dan Pajajaran, bukanlah nama kerajaan, melainkan nama pusat pemerintahan atau ibukota (dayeuh) dari kerajaan-kerajaan daerah. 3. Telah terjadi perpindahan pusat kerajaan, mulai dari Galuh dan berakhir di

Pakuan Pajajaran.

2) Kajian Latar Belakang Berdirinya Pelabuhan Sunda Kelapa

Menurut Djafar (1995:123-124) berdasarkan berita Cina abad V-VII di Daerah pantai utara Jawa Barat diperkirakan sudah ada kota-kota pelabuhan yang menjadi pusat-pusat perdagangan. Keletakan kota pelabuhan Sunda Kalapa sudah tertera

dalam peta-peta pelayaran dan perniagaan, sekitar tahun 1500-1600 yang dibuat oleh orang-orang Portugis.

Bagi Kerajaan Sunda, perkembangan pelabuhan-pelabuhan tersebut memberikan keuntungan yang signifikan bagi perkembangan perekonomiannya. Sektor perdagangan semakin memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ekonomi Kerajaan Sunda. Di pihak lain, perkembangan pelabuhan-pelabuhan tersebut melahirkan kekhawatiran yang semakin besar di kalangan penguasa Sunda karena perkembangan tersebut diiringi pula dengan masuknya faktor yang bisa menghancurkan negara. Faktor tersebut adalah semakin banyaknya saudagar Islam yang singgah di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda. Penguasaan Sunda merasa khawatir dengan kenyataan tersebut karena dengan demikian agama Islam akan semakin besar pengaruhnya di Kerajaan Sunda. Sejak tahun 1479 pengaruh Islam di Kerajaan Sunda sudah cukup kuat seiring dengan tumbuhnya Cirebon sebagai pusat kekuasaan baru di pesisir utara Tatar Sunda. Bagi Kerajaan Sunda, pertumbuhan Cirebon tersebut merupakan ancaman serius terhadap eksistensinya karena daerah ini telah mengembangkan kehidupan yang bercorak Islam.

Sedangkan Ruchiat 2012:151, Nama aslinya Sunda Kalapa adalah Kalapa, sebuah pelabuhan utama Kerajaan Sunda atau lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran. Sunda Kalapa yang merupakan salah satu pelabuahan utama dan terpenting dari Kerajaan Sunda dihubungkan dengan Ibukota Pakuan Pajajaran melalui Sungai Ciliwung yang bermuara di Teluk Jakarta. Ada jalan darat dari Pakuan Pajajaran

pelabuhannya di Teluk Banten melalui Jasinga, Rangkasbitung, samapai Banten Girang di Serang kini. Demikian pula ada jalan dari Banten Girang ke pelabuhannya melalui Sungai Cubanten. Dari Ibukota Kerajaan Sunda ke pelabuhan Tanggerang ada jalan darat melalui Ciampea dan Rumpin, yang dapat diteruskan melalui Sungai Cisadane sampai ke Tanggerang dan pelabuhannya. Ada kemungkinan pula dari Pakuan Pajajaran sudah menggunakan jalan Sungai Cisadane, mengingat sungai ini disebutkan dalam prasasti Muara pada zaman kerajaan Taruma sehingga mungkin sudah berperan sebagai hubungan lalulintas antara daerah pedalaman dan daerah pesisir.

Menurut sumber Portugis, Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kelapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti kota) dalam tempo dua hari. Pelabuhan ini telah dipakai sejak zaman Tarumanagara dan diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5 dan saat itu disebut Sundapura. Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik Kerajaan Sunda, yang memiliki ibukota di Pakuan Pajajaran atau Pajajaran yang saat ini menjadi Kota

Bogor. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan

Timur Tengah sudah berlabuh dipelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.

3) Tanjung Priok dibawah kekuasaan Sunda

Pelabuhan Sunda Kelapa adalah nama sebuah pelabuhan dan tempat sekitarnya di Jakarta, Indonesia. Pelabuhan ini terletak di kelurahan Penjaringan, kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan bersejarah peninggalan Kota Jakarta. Pelabuhan Sunda Kelapa terletak di Jalan Baruna Raya No.2, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia. Pelabuhan Sunda Kelapa memiliki berbagai daya tarik yang berbeda dengan pelabuhan-pelabuhan lainnya. Yaitu dengan adanya peninggalan dan jejak sejarah yang dapat menarik para wisatawan domestic maupun wisatawan asing untuk mengunjingi pelabuhan.

Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kalapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan

diperkirakan merupakan ibu kota Tarumanagara yang disebut Sundapura. Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.

Jakarta tempo dulu ketika berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda yaitu Galuh Pakuan Pajajaran bernama Sunda Kelapa, yang namanya telah digunakan sekitar abad ke 12. Nama Sunda Kelapa tersebut di ubah menjadi Jayakarta (Soekanto 1954:55). Pada waktu Faletehan berhasil mengalahkan Portugis yang atas izin kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran mendirikan benteng di wilayah Sunda Kelapa (Gie 1958:6). Nama Jayakarta tidak lama, hanya dapat bertahan kurang lebih satu abad, karena oleh bangsa Belanda pada Maret 1621 secara resmi namanya diganti menjadi Batavia (Gie, 1958:15). Kota itu kemudian dijadikan sebagai pusat perdagangan serta pemerintahan Bangsa Belanda.

Stad_Batavia merupakan bentuk pemerintahan pertama yang dijalankan bangsa Belanda di Batavia, pemerintahan ini di bentuk pada 18 agustus 1620 (Coen 1620:9) Peran pemerintah dan pembesar Negeri menginvestasi sebagian dari hartanya dalam perdagangan dan pelayaran. Mereka yang menghimpun modal untuk memperlengkapi kapal dan muatannya. Disamping itu, ada kapal-kapal malaka yang menjadi milik

Sultan Agung. dalam perdagangan yang dijalankannya memiliki keuntungan yang tidak sedikit dari perdagangannya (Poesponegoro & Notosusanto 2010:120).

Pengusaha swasta juga menanam modal di Indonesia dengan membuka perkebunan misalnya tembakau, kopi, karet, dan kelapa sawit. Untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan usaha swasta, dibangun sarana dan prasarana yaitu irigasi, jalan raya, jembatan dan kereta api. Bagi Belanda sistem ini telah memberi keuntungan yang besar karena meningkatkan tanaman ekspor seperti gula, kopi dan teh. Dalam perdagangan tidak adanya perbedaan antara pelaksana perdagangan dan yang melaksanakan pelayaran, nahkoda, dan pedagang. Ketiganya berada dalam satu individu. Angkutan laut dilayani oleh pengangkutan Belanda bernama (KPM) Koninklijke Paketvaart Maatchappij (Irfan Habib, 1990).

Daerah lingkungan kepentingan pelabuhan adalah wilayah perairan di sekeliling perairan pelabuhan laut yang digunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran. Yang dimaksud dengan keselamatan pelayaran adalah satu keadaan dimana terpenuhinya persyaratan keselamatan yang menyangkut angkutan diperairan dan dipelabuhan. Wilayah perairan yang digunakan untuk menjamin keselamtan adalah alur ke pelabuhan laut (Aripin 2004: 10).

Penduduk yang tinggal di kawasan ini pada umumnya terdiri dari berbagai suku bangsa yang terdapat di kepulauan Indonesia dan berbagai bangsa asing seperti Cina, India, dan Eropa (Wijaya1987:27). Mereka datang ke Sunda Kelapa dengan berbagai alasan, salah satunya adalah untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka.

Masing-masing suku bangsa tersebut hidup berbaur dengan suku bangsa lain. Meskipun demikian mereka pada umumnya tetap mempertahankan adat istiadat suku bangsa asal mereka, terutama untuk acara-acara khusus seperti upacara kelahiran,

kematian, perkawinan. Masing-masing suku bangsa tersebut hidup berbaur dengan suku bangsa lain. Meskipun demikian mereka pada umumnya tetap mempertahankan adat istiadat suku bangsa asal mereka, terutama untuk acara-acara khusus seperti upacara kelahiran, kematian, perkawinan (Hardi 1898:5).

Setiap suku bangsa telah mengembangkan budaya pelayarannya menurut arah, selera, kebutuhan. Karena tidak semua kapal membawa peta sewaktu berlayar. (Marwati djoened poesponegoro, 2010:99). Peta Decadas Da Asia IV Karya De Barros, di kenal sebagai Peta Lavanha Menggambarkan Pelabuhan Kelapa (Ridwan Saidi 1993: 33). Peta dan roteiros yaitu petunjuk untuk berlayar, tidak hanya di dasari atas observasi sendiri oleh orang portugis, tetapi oleh kemampuannya untuk memperoleh pengetahuan pengalaman pelaut di Indonesia, setelah mempelajari peta portugis yang sudah mengenal pantai dan pengetahuan yang di pakai untuk membetulkan, juga melengkapi peta yang sebelumnya. (Poesponegoro Djoened Marwati 2010:95).

B. Uraian Hasil Penelitian

Dalam dokumen BAB 1 2 3 4 5 SEKRIPSI Sary (Halaman 23-34)

Dokumen terkait