• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERAN PENELITIAN KEMASYARAKATAN DAN

C. Tinjauan Umum Tentang Kenakalan Anak

Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang.

Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke-19, dimana anak dijadikan sebagai “objek” yang dipelajari secara ilmiah. Pelopornya adalah Wilhelm Preyer dalam bukunya die seele des kindes (jiwa anak) pada tahun 1882, kemudian disusul oleh berbagai ahli yang meneliti anak dan menulis psikologi anak, antara lain William Sterm menulis buku psychologie der fruhen kindheit (psikologi Anak pada tahun 1989 dan bukunya kindheit fund jugend (masa kanak- kanak dan masa muda) yang ditulis bersama istrinya bernama Charlotte Buhler, buku ini sangat masyhur.

Di Amerika Serikat tokoh-tokoh terkenal yang mempelajari masalah anak- anak, antara lain ialah Tracy, G. Stanly Hall dari Clark University, menulis

Adolescence. Di Inggris antara lain Sully dan Balwim. Di Prancis dikenal nama Compayre dan Claparade dan lain-lain kemudian Heinrich Pestalozzi (1746-1582)

dari Italia meneliti masalah kejiwaan anak dan mengembangkan satu metode mengajar yang berprinsip pada auto-education.

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa sejak dahulu para tokoh pendidikan dan para ahli sudah memperhatikan perkembangan kejiwaan anak, karena anak adalah anak, anak tidak sama dengan orang dewasa. Anak memiliki sistem penelitian

kanak-kanak yang menampilkan martabat anak sendiri dan kriteria norma tersendiri, sebab sejak lahir anak sudah menampakkan ciri-ciri dan tingkah laku karakteristik yang mandiri, memiliki kepribadian yang khas dan unik. Hal ini disebabkan oleh karena taraf perkembangan anak itu memang selalu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya, dimulai pada usia bayi, remaja, dan usia lanjut, akan berlainan psikis maupun jasmaninya.

Sistem penilaian anak-anak ini dengan bantuan usaha pendidikan harus bisa dikaitkan atau disesuaikan dengan sistem penilaian manusia dewasa. Namun demikian adalah salah apabila menerapkan kadar nilai orang dewasa pada diri anak- anak. Untuk memudahkan dalam mengerti tentang anak dan menghindari salah penerapan kadar penilaian orang dewasa terhadap anak, maka perlu diketahui bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak.

Adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase pertumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak. Penggolongan tersebut dibagi ke dalam 3 (tiga) fase, yaitu:

1) Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7 (tujuh) tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi-fungsi tubuh, perkembangan kehidupan emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi anak-anak, masa kritis

2) Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 (tujuh) sampai dengan 14 (empat belas) tahun disebut sebagai masa kanak-kanak, dimana dapat digolongkan ke dalam 2 periode, yaitu:

a. Masa anak Sekolah Dasar dimulai dari usia 7-12 tahun adalah periode intelektual.

Periode intelektual ini adalah masa belajar awal dimulai dengan memasuki masyarakat di luar keluarga, yaitu lingkungan sekolah kemudian teori pengamatan anak dengan hidupnya perasaan, kemauan serta kemampuan anak dalam berbagai macam potensi, namun masih bersifat tersimpan atau masa latensi (masa tersembunyi).

b. Masa remaja/pra-pubertas atau pubertas awal yang dikenal dengan sebutan periode pueral.

Pada periode ini, terdapat kematangan fungsi jasmaniah ditandai dengan berkembangnya tenaga fisik yang melimpah-limpah yang menyebabkan tingkah laku anak kelihatan kasar, canggung, berandal, kurang sopan, liar dan lain-lain.

Sejalan dengan berkembangnya fungsi jasmaniah, perkembangan intelektual pun berlangsung sangat intensif sehingga minat pada pengetahuan dan pengalaman baru pada dunia luar sangat besar terutama yang bersifat konkrit, karenanya anak puber disebut sebagai fragmatis atau utilitas kecil, dimana minatnya terarah pada kegunaan-kegunaan teknis.

3) Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 sampai 21 tahun, yang dinamakan masa remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase puberitas dan adolescent, dimana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa. Masa remaja atau masa pubertas bisa dibagi dalam 4 (empat) fase, yaitu:

a) Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pueral/prapubertas

b) Masa menentang kedua, fase negatif, trozalter kedua, periode verneinung. c) Masa pubertas sebenarnya, mulai kurang lebih 14 tahun. Masa pubertas pada

anak wanita pada umumnya berlangsung lebih awal dari pada masa pubertas anak laki-laki.

d) Fase adolescence, mulai kurang lebih usia 17 tahun sampai sekitar 19 hingga 21 tahun.

Fase ketiga ini mencakup point c dan d di atas, di dalam periode ini terjadi perubahan-perubahan besar. Perubahan besar yang dialami anak akan membawa pengaruh pada sikap dan tindakan ke arah lebih agresif sehingga pada periode ini banyak anak-anak dalam bertindak dapat digolongkan ke dalam tindakan yang menunjukkan ke arah gejala kenakalan anak.

Kenakalan anak ini diambil dari istilah asing juvinile deliquency, tetapi kenakalan anak ini bukan kenakalan yang dimaksud dalam Pasal 489 KUH Pidana.

Juvenile artinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa

muda sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan deliquency artinya doing

asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.

Istilah kenakalan anak itu pertama kali ditampilkan pada bahan peradilan di Amerika Serikat dalam rangka usaha membentuk suatu Undang-undang Peradilan bagi anak di negara tersebut.

Paul Moedikno memberikan perumusan, mengenai pengertian juvenile

deliquency, yaitu sebagai berikut :

a) Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan deliquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan sebagainya. b) Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang

menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki tidak sopan, mode “you can see” dan sebagainya.

c) Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.

Menurut Kartini Kartono yang dikatakan juvenile delinquency adalah:62

Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabdian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. Menurut Fuad Hassan, yang dikatakan juvenile deliquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan.

Sedangkan menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa yang dimaksud dengan Anak Nakal adalah:

a. Anak yang melakukan tindakan pidana, atau;

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

62

Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta : Raja Grafindo Persada 1998), hlm. 6

Tim proyek juvenile deliquency Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Desember 1967 memberikan perumusan mengenai juvenile deliquency sebagai berikut: “suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela”.

Romli Atmasasmita memberikan pula perumusan Juvenile Deliquency, yaitu sebagai berikut:63 “setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan”.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Juvenile Deliquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggar norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh angka-anak usia muda.

Hal tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak daripada kejahatan anak, terlalu ekstrim rasanya seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat, sementara kejadiannya adalah proses alami yang tidak boleh tidak setiap manusia harus mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaannya.

Dalam KUH Pidana di Indonesia, jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur:

63

a) Adanya perbuatan manusia.;

b) Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum; c) Adanya kesalahan;

d) Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan;

Batasan-batasan tersebut belum berarti sama dengan batas usia pemidanaan anak. Apalagi dalam KUHPidana ditegaskan bahwa seseorang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya diisyaratkan adanya kesadaran diri yang bersangkutan. Ia harus mengetahui bahwa perbuatan itu terlarang menurut hukum yang berlaku, sedangkan predikat anak disini menggambarkan usia tertentu, dimana ia belum mampu dikategorikan orang dewasa yang karakteristiknya memiliki cara berpikir normal akibat dari kehidupan rohani yang sempurna, pribadi yang mantap menampakkan rasa tanggung jawab sehingga dapat mempertanggungjawabkan atas segala tindakan yang dipilihnya karena ia berada pada posisi dewasa.

Tetapi anak dalam hal ini adalah anak yang di Amerika Serikat dikenal dengan istilah juvenile deliquency, memiliki kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis yang sedang berlangsung menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukkan kebengalan yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan karena tindakannya lahir dari kondisi psikologis yang tidak seimbang, disamping itu pelakunyapun tidak sadar akan apa yang seharusnya ia lakukan. Tindakannya merupakan menifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain sebagai apa yang diisyaratkan dalam

suatu perbuatan kejahatan (KUH Pidana), yaitu menyadari akibat dari perbuatannya dan pelakunya mampu bertanggungjawab.

Tingkah laku yang menjurus kepada masalah juvenile deliquency ini menurut Adler adalah :

1) Kebutuhan-kebutuhan di jalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa sendiri dan orang lain;

2) Perilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan ketentraman lingkungan sekitarnya. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitive yang tidak terkendali serta kesukan menteror lingkungan; 3) Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran),

sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa;

4) Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindakan a-susila;

5) Kriminalitas anak, remaja dan adolensens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mengganggu, menggarong, melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya, mencekik, meracun, tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya;

6) Berpesta-pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau

orgi (mabuk-mabukan yang menimbulkan keadaan kacau-balau) yang

mengganggu sekitarnya;

7) Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial, atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan investor, menuntut pengakuan diri, depresi, rasa kesunyian, emosi balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain;

8) Kecanduan dan ketagihan narkoba;

9) Tindakan-tindakan moral seksual secara terang-terangan tanpa “tedeng aling- aling”, tanpa malu dengan cara kasar. Ada seks dan cinta bebas tanpa kendali yang didorong oleh hiperseksualitas, dorongan menuntut hak, dan usaha- usaha kompensasi lainnya yang sifatnya kriminal;

10)Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas lainnya pada anak remaja disertai dengan tindakan-tindakan sadis;

11)Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga menimbulkan akses kriminalitas-kriminalitas seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan pembunuhan bayi-bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin;

12)Tindakan radikal dan ekstrim dengan jalan kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja;

13)Perbuatan a-sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak dan remaja psikopatik, neurotic dan menderita gangguan jiwa lainnya;’

14)Tindakan kejahatan disebabkan oleh penyakit tidur dan ledakan maningitis serta post-encephalitics, juga luka di kepala dengan kerusakan pada otak ada kalanya membuahkan kerusakan mental, sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan control diri;

15)Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang inferior.64 2. Identifikasi Gejala Kenakalan Anak

Gejala kenakalan anak akan terungkap apabila kita meneliti bagaimana ciri- ciri khas atau ciri umum yang amat menonjol pada tingkah laku dari anak-anak puber tersebut di atas, antara lain:

1) Rasa harga diri yang semakin menguat dan gengsi yang terlalu besar serta kebutuhan untuk memamerkan diri, sementara lingkungan masyarakat dewasa ini sedang demam materiil dimana orang mendewa-dewakan kehidupan lux atau kemewahan, sehingga anak-anak muda usia yang emosi dan mentalnya belum matang serta dalam situasi labil, maka dengan mudah ia ikut terjangkit nafsu serakah dunia materiil.

2) Energi yang berlimpah-limpah memanifestasikan diri dalam bentuk keberanian yang condong melebih-lebihkan kemampuan diri sendiri, misalnya terefleksi pada kesukaan anak muda untuk kebut-kebutan di jalan raya.

3) Senang mencari perhatian dengan jalan menonjolkna diri, misalnya dengan jalan mabuk-mabukan minuman keras.

64

www.google.co.id dengan penelusuran juvenile deliquency, diakses pada tanggal 20 September 2008

4) Sikap hidupnya bercorak anti sosial dan keluar dari pada dunia objektif ke arah dunia subjektif, sehingga ia tidak lagi suka pada kegunaan-kegunaan teknis yang sifatnya fragmatis, melainkan lebih suka bergerombol dengan kawan sebaya. Dengan demikian mereka merasa lebih kuat, aman dan lebih berani untuk berjuang dalam melakukan eksplorasi dan eksperimen hidup dalam dunianya yang baru, maka banyak kita temui pemuda-pemuda yang mempunyai geng-geng tersendiri. Akibatnya timbul kericuhan, perkelahian antar geng dimana-diman.

5) Pencarian suatu identitas kedewasaan cenderung melepaskan diri dari identitas maupun identifikasi lama dan mencari aku “ideal” sebagai identitas baru serta substitusi identifikasi yang lama.

Hal-hal tersebut di atas, bisa dimengerti, fase-fase remaja dan adolescent adalah suatu proses transisi dimana tingkah laku anti sosial yang potensial disertai banyak pergolakan hati dan kekisruhan hati membuat anak remaja/adolesens kehilangan control, kendali emosi yang meletup menjadi boomerang baginya. Apabila dibiarkan tanpa adanya pembinaan dan pengawasan yang tepat, cepat serta terpadu oleh semua pihak, maka gejala kenakalan anak ini akan menjadi tindakan- tindakan yang mengarah kepada tindakan yang bersifat kriminalitas

Untuk lebih memperjelas kajian tentang gejala kenakalan anak seperti yang telah diuraikan di muka, perlu diketahui sebab-sebab timbulnya kenakalan anak atau faktor-faktor yang mendorong anak melakukan kenakalan atau dapat juga dikatakan

latar belakang dilakukannya perbuatan itu. Dengan perkataan lain, perlu diketahui motifasinya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa yang dikatakan motivasi itu adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu. Motifasi sering juga diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.

Bentuk dari motivasi itu ada 2 (dua) macam, yaitu:

Motivasi intrinsik dan motivasi eksterinsik. Yang dimaksud dengan motivasi intrinsic adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, sedangkan motivasi eksterinsik adalah dorongan yang datang dari luar diri seseorang.

Berikut ini Romli Atmasasmita mengemukakan pendapatnya mengenai motivasi insterinsik dan eksterinsik dari kenakalan anak:

1. Yang termasuk motivasi interinsik daripada kenakalan anak adalah: a.Faktor Intelegentia

Intelegentia adalah kecerdasan seseorang, menurut pendapat Wundt dan Eisler adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan.

Anak-anak delinquent ini pada umumnya mempunyai intelegensia verbal lebih rendah dan ketinggalan dan pencapaian hasil-hasil skolastik (prestasi sekolah lebih rendah). Dengan kecerdasan yang rendah dan wawasan sosial yang kurang

tajam, mereka mudah sekali terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi delikuen jahat.65

b.Faktor Usia

Stephen Hurwitz mengungkapkan “age is importance factor individu the

causation of crime” (usia adalah factor yang paling penting dalam sebab-musabab

timbulnya kejahatan). Apabila pendapat tersebut kita ikuti secara konsekuen, maka dapat pula dikatakan bahwa usia seseorang adalah factor yang penting dalam sebab- musabab timbulnya kenakalan.

c.Faktor Kelamin

Di dalam penyelidikannya Paul. W. Tappan mengemukakan pendapatnya, bahwa kenakalan anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun oleh anak perempuan, sekalipun dalam prakteknya jumlah anak laki-laki yang melakukan kenakalan jauh lebih banyak dari pada anak perempuan pada batas usia tertentu.66

Adanya perbedaan jenis kelamin, mengakibatkan pula timbulnya perbedaan, tidak hanya dalam segi kuantitas kenakalan semata-mata akan tetapi juga segi kualitas kenakalannya. Sering kali kita melihat atau membaca dalam mass media, baik cetak maupun media elektronik bahwa perbuatan kejahatan banyak dilakukan oleh anak laki-laki seperti pencurian, penganiayaan, perampokan, pembunuhan, perkosaan dan lain sebagainya. Sedangkan perbuatan pelanggaran banyak dilakukan oleh anak perempuan, seperti pelanggaran terhadap ketertiban umum, pelanggaran kesusilaan

65

Wagiati Soedjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung : Refika Aditama, 2006), hlm. 17 66

misalnya melakukan persetubuhan di luar perkawinan sebagai akibat pergaulan bebas.

d.Faktor Kedudukan Anak dalam Keluarga

Yang dimaksud kedudukan anak dalam keluarga adalah kedudukan seorang anak dalam keluarga menurut urutan kelahirannya misalnya anak pertama, kedua, dan seterusnya.67

2. Motivasi Ekstrinsik Kenakalan Anak

Motivasi Ekstrinsik dari kenakalan anak meliputi: a.Faktor keluarga

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak mendapat pendidikan yang pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merupakan lingkungan yang paling kuat dalam membesarkan anak dan terutama bagi anak yang belum sekolah. Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak. Keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan anak. Sedangkan keluarga yang jelek akan berpengaruh negatif. Oleh karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan untuk seterusnya sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga maka sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya delinguency itu sebagian juga berasal dari keluarga.68

67

Ibid, hlm.19 68

Adapun keluarga yang dapat menjadi sebab timbulnya delinguency dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken home) dan keadaan jumlah anggota keluarga yang kurang menguntungkan.

Menurut Moelyatno bahwa menurut pendapat umum pada broken home ada kemungkinan besar bagi terjadinya kenakalan anak, dimana terutama perceraian atau perpisahan orang tua mempengaruhi perkembangan si anak.69

Dalam broken home pada prinsipnya struktur keluarga tersebut sudah tidak

lengkap lagi yang disebabkan adanya hal-hal:

b) Salah satu dari kedua orang tua atau kedua-duanya meninggal dunia. c) Perceraian orang tua.

d) Salah satu dari kedua orang tua atau keduanya tidak hadir secara kontinyu dalam tenggang waktu yang cukup lama.

Keadaan keluarga yang tidak normal bukan hanya terjadi pada broken home, akan tetapi dalam masyarakat modern sering pula terjadi suatu gejala adanya broken home semua ialah kedua orang tuanya masih utuh, tetapi karena masing-masing anggota keluarga (ayah dan ibu) mempunyai kesibukan masing-masing sehingga orang tua tidak sempat memberikan perhatiannya terhadap pendidikan anak-anaknya.

Pada dasarnya kenakalan anak yang disebabkan karena broken home dapat diatasi atau ditanggulangi dengan cara-cara tertentu. Dalam broken home, cara mengatasi agar anak tidak menjadi delikuen ialah orang tua yang bertanggungjawab dalam memelihara anak-anaknya hendaklah mampu memberikan kasih sayang

69

sepenuhnya sehingga anak tersebut merasa seolah-olah tidak pernah kehilangan ayah dan ibunya. Di samping itu, keperluan anak secara jasmani harus dipenuhi pula sebagaimana layaknya sehingga anak tersebut terhindar dari perbuatan yang melanggar hukum.

b.Faktor Pendidikan dan Sekolah

Sekolah adalah sebagai media atau perantara bagi pembinaan jiwa anak-anak atau dengan kata lain, sekolah ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan tingkah laku. Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak secara tidak langsung menunjukkan kurang berhasilnya sistem pendidikan di sekolah-sekolah.

Dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak. Selama mereka menempuh pendidikan di sekolah terjadi interaksi antara anak dengan sesamanya, juga interaksi antara anak dengan guru. Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat sampingan yang negatif bagi perkembangan mental anak sehingga anak menjadi delikuen.

Menurut Zakiah Darajat bahwa pengaruh negative yang menangani langsung proses pendidikan antara lain, kesulitan ekonomi yang dialami guru dapat mengurangi perhatiannya terhadap anak didik. Guru sering tidak masuk akibatnya anak-anak didik terlantar, bahkan sering terjadi guru marah pada muridnya. Biasanya guru melakukan hal demikian bila terjadi sesuatu yang menghalangi keinginannya. Dia akan marah, apabila kehormatannya direndahkan, baik secara langsung maupun

tidak langsung atau aktivitas bisnis lainnya terganggu, sebagian atau seluruhnya atau lain dari itu.

c.Faktor Pergaulan Anak.

Harus disadari betapa besar pengaruh yang dimainkan oleh lingkungan anak,

Dokumen terkait