• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Umum Mengenai Baitul Maal Wat Tamwil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Mengenai Baitul Maal Wat Tamwil.

a. Sejarah Perkembangan Baitul Maal Wat Tamwil.

Jika kita menengok sejarah BMT, sebenarnya di masa Rasulullah

dan sahabat tidak dikenal istilah BMT, yang diketahui saat itu adalah

Baitul Maal, yakni lembaga keuangan dan kekayaan negara yang

dibentuk dan dijalankan oleh Pemerintahan Islam waktu itu. Baitul

Maal berfungsi sebagaimana Departemen Keuangan saat ini yaitu

menjadi petugas pemungut pajak dan pendapatan negara lainnya. Di

masa Rasulullah dan sahabat sampai pemerintahan khilafah islamiyah,

penerimaan pendapatan negara sangat beragam, antara lain kharaj,

jizyah, dam, ghanimah, dan termasuk zakat, infaq dan shodaqoh.

Pada masa Rasulullah SAW, Baitul Mal lebih mempunyai

pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda

kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu

Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta,

karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun

ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi bagikan kepada

kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka.

Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima

bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa

menunda-nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera

menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.

commit to user

Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq, Abu Bakar dikenal sebagai

Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan

pada hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau tetap

berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk

keperluan diri dan keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230

H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar yang

sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa barang-barang

dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke

pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin

Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu

Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin

Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai

pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana

aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata,

“Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Maal), agar ia

menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu

Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup

untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara

sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Mal.

Pada Masa Khalifah Umar bin Khathab, selama memerintah Umar

bin Khathab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima

pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan

mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah

satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373

M), penulis sejarah dan musafir, tentang hak seorang Khalifah dalam

Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik

Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong

pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan

sehari-commit to user

hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah

seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.

Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan.

Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan

Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan

Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab

Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya

dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah

mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan

tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia

memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang

kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara

684-685 M dari penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak

sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu

sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil

berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari

Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan

membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku.’ Itulah sebab rakyat

memprotesnya.

Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal

ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga

mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir,

mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai

separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan. Ketika

Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khalifah Bani Umayyah,

kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa

sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai

commit to user

amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan

Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan

Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.

Sejarah BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan

mahasiswa ITB di Masjid Salman yang mencoba menggulirkan

lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi usaha kecil. Kemudian

BMT lebih di berdayakan oleh ICMI sebagai sebuah gerakan yang

secara operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha

Kecil (PINBUK). BMT adalah lembaga keuangan mikro yang

dioperasikan dengan prinsip bagi hasil (syari’ah),

menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka

mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum

fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi : Baitul

Tamwil (Bait = Rumah, at Tamwil = Pengembangan Harta) –

melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan

investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan

kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang

pembiayaan kegiatan ekonominya. Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal

= Harta) – menerima titipan dana zakat, infak dan shadaqah serta

mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan pertaturan dan

amanahnya (http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com,

diakses tanggal 13 Agustus 2010).

b. Konsep Dasar Operasional Baitul Maal Wat Tamwil.

Munculnya banyak lembaga keunagan yang beroperasi

berdasarkan prinsip syariah termasuk BMT dalam tiga tahun terakhir,

merupakan fenomena aktual yang menarik untuk dicermati. Ini bisa

dijadikan awal yang baik untuk diterimanya sistem ekonomi yang

berlandaskan syariah di tengah masyarakat dengan tingkat peradaban

commit to user

yang sudah maju seperti sekarang ini. Fenomena tersebut sekaligus

menjawab atas keraguan sementara pihak terhadap otentitas ajaran

Islam yang tercermin dalam ayat-ayat Alquran yang telah selesai

diwahyukan Allah SWT.

Islam dalam menentukan suatu larangan terhadap aktivitas

duniawiyah tentunya mempunyai hikmah tersendiri di dalamnya,

dimana hikmah itu akan memberikan kemaslahatan, ketenangan dan

keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Namun demikian, Islam

tidak melarang begitu saja kecuali di sisi lain ada alternatif

konseptional maupun operasional diberikannya, misalnya saja

larangan terhadap riba. Alternatif yang diberikan Islam dalam rangka

menghapuskan riba dalam praktik muamalah yang dilakukan manusia

melalui dua jalan. Jalan pertama dalam bentuk shadaqah atau

Al-qardhul hasan (pinjaman kebaikan) yang merupakan solusi bagi siapa

saja yang melakukan aktifitas riba untuk keperluan biaya hidup

ataupun usaha dalam skala mikro. Sedangkan jalan kedua sistem

perbankan Islam yang di dalamnya menyangkut penghimpunan dana

melalui tabungan mudharabah, deposito (musyarakah), dan giro

(wadiah) yang kemudian disalurkan malalui pinjaman dengan prinsip

bagi hasil (Qordhowi, 1989:25)

BMT berasaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta

berlandaskan syariah Islam, keimanan, keterpaduan (kaffah),

kekeluargaan/koperasi, kebersamaan, kemandirian, dan

profesionalisme. Secara Hukum BMT berpayung pada koperasi tetapi

sistem operasionalnya tidak jauh berbeda dengan Bank Syari’ah. Oleh

karena berbadan hukum koperasi, maka BMT harus tunduk pada

Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan

Peraturan Pemrintah Nomor 9 tahun 1995 tentang pelaksanaan usaha

commit to user

simpan pinjam oleh koperasi. Juga dipertegas oleh Peraturan Menteri

Negara Koperasi Nomor 35 Tahun 2007 tentang Koperasi Jasa

keuangan syari’ah. Undang-undang tersebut sebagai payung berdirinya

BMT/ Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (http://hendrakholid.net

diakses tanggal 9 Agustus 2010)

c. Tujuan Dan Ciri-ciri Baitul Maal Wat Tamwil.

Sistem operasional dari BMT tidak jauh beda dengan Bank Syariah,

maka tujuan dibentuknya BMT juga sama dengan Bank Syariah,

yaitu:

1) Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalah secara

Islam, agar terhindar dari praktik-praktik riba atau jenis-jenis

usaha/ perdgangan lain yang mengandung gharar (tipuan), dimana

jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam, juga telah

menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi umat.

2) Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi, dengan

jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak

terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal (orang

kaya) dengan pihak yang membutuhkn dana (orang miskin).

3) Untuk meningkatkan kualitas hidup umat, dengan jalan membuka

peluang berusaha yang lebih besar terutama kepada kelompok

miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif,

menuju terciptanya kemandirian berusaha.

4) Untuk membantu menanggulangi masalah kemiskinan, yang pada

umumnya merupakan progam utama dari negara-negara yang

sedang berkembang. Upaya dalam mengentaskan kemiskinan ini

berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan

dari siklus usaha yang lengkap seperti progam pembinaan

commit to user

pengusaha, pembinaan pedagang perantara, program

pengembangan modal kerja dan program usaha bersama ( Warkum

Sumitra, 2004:22)

5) Menumbuhsuburkan dakwah Islam untuk menyadarkan umat

bahwa sistem ekonomi yang berlandaskan syariah merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam yang harus

diwujudkan dalam operasional nyata di lapangan sebagai salah

satu bentuk ibadah yang memiliki derajat dan tanggungjawab yang

seimbang dengan ibadah-ibadah lainnya.

6) Mengerahkan pengumpulan dan pengalokasian dana ZIS dan

simpanan-simpanan secara efisien sesuai dengan karakteristik

penyaluran kedua sumber dana tersebut atas dasar Syariah dan

dukungan manajemen modern ( Jamal Lulail Yunus, 2009:120)

Baitul Maal Wat Tamwil yang beroperasi berdasarkan

prinsip-prinsip syariah menurut ketentuan Al Qur’an dan Al Hadits, memiliki

ciri-ciri itu antara lain:

1) Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan

pemanfaatan ekonomi paling banyak untuk anggota dan

lingkungannya.

2) Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan

pembayaran selalu dihindarkan, karena presentase bersifat melekat

pada sisa utang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir.

Sistem persentase memungkinkan beban bunga semakin tinggi,

yang apabila nasabah terlambat membayar beban bunga menjadi

berlipat ganda. Lebih-lebih apabila nasabah tidak mampu

mengembalikan pinjaman itu karena sesuatu hal, secara terus

menerus nasabah terbebani bunga yang pada akhirnya bisa terjadi

commit to user

jumlah bunga jauh lebih besar daripada jumlah pokok pinjaman.

Akibat penerapan bunga berdasarkan persentase seperti ini jelas

mempunyai maksud yang sama dengan bunga berbunga

(compound interest), karena setiap bunga yang sudah jatuh

temponya dan nasabah tidak mampu lagi membayar akan tetapi

diperhitungakan sebagai bagian utang yang otomatis dan secara

terus menerus dikenakan bunga. Hal ini sangat menjerat peminjam

yang pada umumnya posisi ekonominya lebih lemah.

3) Bukan lembaga sosial, tetapi dapat dimanfaatkan untuk

mengefektifkan penggunaan zakat, infaq dan sadaqah bagi

kesejahteraan orang banyak.

4) Milik bersama masyarakat kecil bawah dan dari lingkungan BMT

itu sendiri, bukan milik orang seorang.

5) BMT mengadakan kegiatan keagamaan (pengajian) rutin secara

berkala yang waktu dan tempatnya ditentukan (biasanya madrasah,

mushalla atau masjid). Setelah kegiatan keagamaan biasanya

dilanjutkan dengan perbincangan bisnis dari anggota atau nasabah

BMT.

6) Manajemen BMT adalah profesional dan agamis: Manajer BMT

berpendidikan minimal D3, dilatih pertama kali 2 minggu oleh

Pusdiklat PINBUK Administrasi pembukuan dan prosedur ditata

dengan sistem manajemen keuangan yang rapi dan sesuai standar

(ilmiah). Proaktif bersilaturrahmi “menjemput bola”,

beranjangsana dan berinisiatif dalam prakarsa.

commit to user

d. Prinsip dan Produk Baitul Maal Wat Tamwil.

Baitul Maal wat Tamwil sebenarnya merupakan dua kelembagaan

yang menjadi satu, yaitu lembaga Baitul Maal dan lembaga Baitul

Tamwil. Prinsip dari Baitul Maal adalah :

1) Produk Penghimpun Dana

Dalam produk penghimpunan dana ini, Baitul Maal menerima

dan mencari dana berupa zakat, infaq, dan shadaqah. Baitul Maal

juga menerima dana berupa sumbangan, hibah, ataupun wakaf

serta dana yang bersifat sosial.

2) Produk Penyaluran Dana

Penyaluran dana-dana yang bersumber dari dana-dana Baitul

Maal harus bersifat spesifik, terutama dana yang bersumber dari

zakat, karena dana zakat ini sarana penyalurannya sudah

ditetapkan secara tegas dalam Al-Qur’an, yaitu kepada faqir,

miskin, amilin,mua’laf, fisabilillah, ghorimin, hamba sahaya dan

mushafir. Sedangkan dana di luar zakat digunakan untuk

pengembangan usaha orang-orang miskin, pembangunan lembaga

pendidikan, masjid maupun biaya-biaya operasional kegiatan

sosial lainnya.

Baitul Tamwil tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip yang

digunakan oleh Bank Islam. Ada 3 prinsip yang dapat

dilaksanakan oleh BMT dalam fungsinya sebagai Baitul Tamwil

yaitu prinsip bagi hasil, prinsip jual beli dengan mark-up

(keuntungan) dan prinsip non profit.

commit to user

Adapun mengenai produk inti dari BMT (sebagai Baitul

Tanwil) adalah sebagai penghimpun dana dan penyalur dana.

Produk-produknya adalah :

1) Al-Wadiah

Salah satu prinsip yang digunakan dalam penghimpunan dana

dengan prinsip titipan. Yaitu perjanjian antara pemilik barang

(termasuk uang) dengan penyimpan (termasuk bank) di mana

pihak penyimpan bersedia untuk menyimpan dan menjaga

keselamatan barang atau uang yang dititipkan kepadanya. Jadi

al-wadiah itu merupakan titipan murni yang dipercayakan oleh

pemiliknya dan setiap saat dapat diambil jika pemiliknya

menghendaki.

Dasar Hukum al-wadiah adalah

a) Al-Qur’an

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan

amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya.”(QS.

An-Nisa’:58)

“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka

hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (utangnya),

hendaklah ia bertakwa kepada Tuhannya.” (QS. Al-Baqarah

283)

b) Al-Hadits

Dari Ibnu Umar berkata, bahwasanya Rasulullah SAW, telah

bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi orang yang tidak

beramanah, tiada shalat bagi yang tak bersuci.” (HR.

Thabrani)

commit to user

Berkata Rasulullah SAW: “Sampaikanlah (tunaikanlah)

amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan

membalas dengan khianat kepada orang yang telah

menghianatimu.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Terdapat dua jenis al-wadiah :

a) Al-wadiah Amanah.

Pihak penyimpan tidak bertanggungjawab terhadap kerusakan

atau kehilangan barang yang disimpan, yang tidak diakibatkan

oleh perbuatan atau kelalaian penyimpan. Jenis ini mempunyai

karakteristik sebagai berikut:

(1) Harta atau benda yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan

dan digunakan oleh penerima titipan.

(2) Penerimaan titipan hanya berfungsi sebagai penerima

amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga

barang yang dititipkan tanpa mengambil manfaat.

(3) Sebagai konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk

membebankan biaya (fee) kepada yang menitipkan

(Gemala Dewi, 2004:83).

b) Al-wadiah Dhamanah.

Pihak penyimpan dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat

memanfaatkan barang yang dititipkan dan bertanggungjawab

atas kerusakan atau kehilangan barang yang disimpan. Semua

manfaat dan keberuntungan yang diperoleh dalam penggunaan

barang tersebut menjadi hak penyimpan (Warkum Sumitra,

2004:32). Ciri-ciri nya sebagai berikut:

commit to user

(1) Harta atau benda yang dititipkan diperbolehkan untuk

dimanfaatkan penyimpan.

(2) Apabila ada hasil dari pemanfaatan benda titipan, maka

hasil tersebut akan menjadi hak daripenyimpan. Tidak ada

kewajiban dari penyimpan untuk memberikan hasil tersebut

kepada penitip debgai pemilik benda.

2) Al-Mudharabah

Akad yang sesuai dengan prinsip investasi. Yaitu perjanjian

antara pemilik modal (uang atau barang) dengan pengusaha.

Dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu

proyek/usaha dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek

tersebut dengan pembagian hasil sesuai perjanjian. Pemilik modal

sebagai deposan di BMT berperan sebagai investor murni. Pemilik

modal tidak dibenarkan ikut dalam pengeloalaan usaha, tetapi

diperbolehkan membuat usulan dan melakukan pengawasan.

Apabila usaha yang dibiayai mengalami kerugian, maka kerugian

ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal, kecuali kerugian

terjadi karena penyelewengan atau penyalahgunaan pengusaha

(Warkum Sumitra, 2004:34).

“Mudharabah is a very potent tool for removing interest from

society by providing in interest free tool for skill utilization and

ecspecially can helping mobilizing resources of society by

employing them as mudarib while Bank will provide the finance

and lso bear the chances to profit and loss, which is absent in

interest based financing for venture capital” yang artinya

mudharabah adalah alat yang ampuh untuk menghapus bunga dari

pandangan masyarakat, sebagai alat untuk membantu dalam

commit to user

memobilisasi sumber daya alam, dengan cara memperkerjakan

mereka sebagai mudarib sedangkan bank (dalam hal ini BMT)

akan menyediakan pembiayaan dan menanggung laba rugi (Journal

International of Islamic Banking Of Economic, Islamic Law and

Law World Paper No. 07-05)

Dasar hukum Al-Mudharabah adalah

a) Al-Qur’an

”Dan sebagian dari mereka orang-orang yang berjalan

dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT.”(QS.

Al-Muzamil:20)

”Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di

muka bumi dan carilah karunia Allah SWT.” (QS. Al-Jum’ah

10)

”Tidak ada dosa (halangan) bagimu untuk mencari karunia

dari Tuhanmu.” (QS. Al-Baqarah 198)

b) Al-Hadits

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya ”Sayyidina Abbas

jikalau memberikan dana ke mitra usahanya secara

mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa

mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau

membeli ternak yang berparu-paru basah, jika menyalahi

peraturan maka yang bersangkutan bertanggungjawab atas

dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut ke

Rasulullah Saw, dan dia pun memperkenankannya.” (Hadis

dikutip oleh Imam Alfasi dalam majma azzawaid)

commit to user

Dari Suhaib r.a bahwa Rasulullah SAW, bersabda: ”tiga

perkara didalamnya terdapat keberkatan, yaitu menjual

dengan pembayaran secara kredit, muqaradhah (nama lain

dari Mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung

untuk keperluan rumah dan bukan untuk dijual”. (HR.Ibnu

Majah)

Secara garis besar, mudharabah terbagi menjadi dua jenis:

a) Mudharabah Muthlaqah (General Investment).

Dalam prinsip ini hal utama yang menjadi cirinya adalah

pemilik dana (Shahibul Mall) tidak memberikan

batasan-batasan atas dana yang diinvestasikannya atau dengan kata

lain. Pengelola dana/pengusaha/mudharib diberi wewenang

penuh mengelola tanpa terikat waktu, tempat, jenis usaha dan

jenis pelayanannya. Aplikasi perbankan yang sesuai dengan

akad ini adalah tabungan dan deposito berjangka.

b) Mudharabah Muqayyadah.

Pada jenis akad ini, pemilik modal memberikan batasan atas

dana yang diinvestasikannya. Pengusaha hanya bisa mengelola

dana tersebut sesuai dengan batasan jenis usaha, tempat dan

waktu tertentu saja.

3) Al-Musyarakah

Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih pemilik

modal (uang atau barang) untuk membiayai suatu usaha.

Keuntungan dari usaha tersebut dibagi sesuai dengan persetujuan

antara pihak-pihak tersebut, yang tidak harus sama dengan pangsa

modal masing-masing pihak. Dalam hal ini terjadi kerugian, maka

commit to user

pembagian kerugian dilakukan sesuai pangsa modal

masing-masing.

Al-Musyarakah adalah bentuk pembiayaan berdasarkan akad

kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu,

masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan

ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama

sesuai dengan kesepakatan (Fatwa Dewan Syariah Nasional No.

08/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 13 April 2000).

Al-Musyarakah lebih dikenal dengan sebutan syarikat

merupakan gabungan pemegang saham untuk membiayai suatu

proyek, keuntungan dari proyek tersebut dibagi menurut presentase

yang disetujui, dan seandainya proyek tersebut mengalami

kerugian, maka beban kerugian tersebut ditanggung bersama oleh

pemegang saham secara proposional.

"Musyarakah is encourages partnership with a recognized

party. Most of unkown profit of business will be determined

accurately, and major share of profit will go to bank and finally to

its depositors unlike interest based banking when only determined

interest rate goes to bank and its creditors. All this activity will

help in removing the black economy and idle resources to use and

shared with small savers of economy, reducing level of population

below poverty line" yang artinya Musyarakah adalah mendorong

kemitraan dengan pihak yang diakui. Sebagian besar keuntungan

usaha akan ditentukan secara akurat, dan bagian utama dari

keuntungan akan digunakan oleh bank dan akhirnya ke penabung

tidak seperti perbankan berbasis bunga ketika hanya tingkat suku

bunga ditentukan oleh bank. Semua kegiatan ini akan membantu

dalam menghilangkan keburukan dalam perekonomian sehingga

commit to user

dapat berbagi dengan nasabah dengan tingkat ekonomi rendah dan

mengurangi tingkat penduduk di bawah garis kemiskinan (Journal

International of Islamic Banking Of Economic, Islamic Law and

Law World Paper No. 07-05).

Dasar hukum Al-musyarakah:

a) Al-Qur’an

”Jikalau saudara-saudara itu lebih dari seorang, maka mereka

bersekutu dalam sepertiga itu.” (Al-Nisa’:12)

”Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang

berkongsi itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian

lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal yang

saleh.” (QS. Shad 24)

b) Al-Hadist

Dalam hadis kudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah

bahwa Rasulullah Saw, telah bersabda: “Allah Swt telah

berfirman Aku menyukai dua pihak yang sedang berkongsi

Dokumen terkait