• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum Mengenai Kepailitan berdasarkan UU

BAB II FUNGSI DAN WEWENANG LEMBAGA KEJAKSAAN

C. Tinjauan Umum Mengenai Kepailitan berdasarkan UU

Seperti telah disinggung di atas, pengertian kepailitan, secara defenitif tidak ada pengaturannya atau penyebutannya di dalam Undang-Undang Kepailitan. Namun para sarjana kebanyakan mendasarkan defenisi kepailitan dari berbagai sudut pandang, juga dari berbagai pasal di dalam Undang-undang itu sendiri. Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang-orang yang berhutang) untuk kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang-orang berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu itu debitur dinyatakan pailit mempunyai hutang dan untuk jumlah piutang masing-masing kreditur memiliki pada saat itu.

Jadi, apabila di tarik unsur-unsur kepailitan, dapat dilihat sebagai berikut : 111 1. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor.

2. Sita itu semata-mata mengenai harta kekayaan.

3. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para kreditornya bersama-sama. Dewasa ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal kepailitan dalam hukumnya. Di Indonesia sendiri, secara formal hukum kepailitan sudah diatur dalam sebuah undang-undang khusus. Sementara seiring dengan waktu yang berjalan, kehidupan perekonomian berlangsung pesat, maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang dapat menjawab berbagai kondisi yang terjadi, yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar penyelesainnya terhadap kehidupan perekonomian nasional.

111

Mengingat restrukturisasi utang masih belum dapat diharapkan akan berhasil baik, sedangkan upaya melalui kepailitan dengan menggunakan

Faillissementsverordening yang masih berlaku dapat sangat lambat prosesnya dan

tidak dapat dipastikan hasilnya, maka kreditur, terutama kreditur luar negeri, menghendaki agar Peraturan Kepailitan Indonesia, yaitu Faillissements Verordening, secepatnya dapat diganti atau dirubah. IMF sebagai pemberi utang kepada pemerintah Republik Indonesia berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter Indonesia tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para pengusaha Indonesia kepada para kreditur luar negerinya dan upaya penyelesaian kredit-kredit macet perbankan Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana telah disebutkan di atas, maka IMF mendesak pemerintah Indonesia agar secara resmi mengganti atau mengubah Peraturan Kepailitan berlaku, yaitu Faillissements

Verordening, sebagai sarana penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada

para krediturnya. Sebagai hasil desakan IMF tersebut, akhirnya lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan (Perpu Kepailitan). Perpu tersebut mengubah dan menambah Peraturan Kepailitan (Faillissementsverordening).

Berdasarkan perkembangan yang terjadi, selanjutnya oleh Pemerintah dianggap perlu untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang kepailitan di atas yang dilakukan dengan memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuan- ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, yang jika ditinjau dari materi yang diatur

masih memiliki banyak kelemahan. Oleh karena hal tersebut di atas, maka pemerintah menganggap perlu untuk menerbitkan undang-undang kepailitan yang baru, yaitu UU No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan pembayaran utang. Undang-undang ini dianggap perlu karena beberapa alasan, yaitu 112:

1. untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur.

2. untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.

3. untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya, debitur berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditur tertentu sehingga kreditur lainnya dirugikan atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur.

Sebagaimana telah disinggung di atas, di dalam perkara kepailitan ditemukan pihak-pihak yang mengajukan di diajukan dalam permhonan pernyataan kepailitan. Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak yang mengajukan atau pemohon pailit yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut

112

Penjelasan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

sebagai pihak Penggugat (Pemohon Pailit). Di dalam Pasal 2 UU Kepailitan yang baru yaitu UU No. 37 Tahun 2004 terdapat 6 (enam) pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu :

1. Debitor itu sendiri. 2. Satu atau lebih kreditor.

3. Kejaksaan untuk kepentingan umum.

4. Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank.

5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debitornya adalah perusahaan Efek.

6. Menteri Keuangan jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi.

1. Syarat-Syarat Kepailitan

Syarat-syarat tersebut penting karena apabila permohonan kepailitan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Menurut Pasal 1 ayat (1) UUK: Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih Kreditornya.

1. Dalam Pasal 1 ayat (1) No. 37 Tahun 2004 tersebut di atas digunakan dua istilah yang sebenarnya sama artinya, yaitu permohonan ("... baik atas permohonannya

sendiri...") dan permintaan ("...maupun atas permintaan seorang..."). Tidak jelas mengapa tidak digunakan satu istilah saja, yaitu apakah menggunakan istilah "permohonan" saja atau istilah "permintaan" saja.

2. Syarat Paling Sedikit Harus Ada 2 (dua) Kreditor (Concursus Creditorum)

Pengadilan Niaga dalam putusannya No. 26/Pailit/1999/PN.Niaga/ Jkt.Pst. tanggal 31 Mei 1999 dalam perkara kepailitan antara PT Liman Internasional Bank sebagai Pemohon Pailit melawan PT Wahana Pandugraha sebagai Termohon Pailit berpendirian bahwa Kantor Palayanan Pajak Jakarta-Gambir dan Kantor Pelayan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Pandeglang yang ditarik dalam permohonan sebagai Kreditor lain oleh pemohon dan ditolak oleh yang bersangkutan, maka Majelis Hakim dapat menerima alasan penolakan tersebut karena utang pajak timbul berdasarkan ketentuan undang-undang bukan karena adanya perjanjian utang-piutang antara Termohon dengan Kantor Pelayanan Pajak.

Terhadap perkara tersebut Mahkamah Agung RI dalam putusan Kasasinya, yaitu putusan No. 015K7N/1999 tanggal 14 Juli 1999 mengemukakan dalam pertimbangannya: bahwa Kantor Pelayanan Pajak maupun Kantor Pelayana Pajak Bumi dan Bangunan, tidak termasuk Kreditor dalam ruang lingkup pailit. Bentuk utang pajak adalah tagihan yang lahir dari UU No. 6 tahun 1983 (sebagaimana dirubah dengan UU No. 9 tahun 1994, Ketentuan Umum Perpajakan = KUP). Berdasarkan undang-undang tersebut, memberi kewenangan khusus Pejabat Pajak untuk melakukan eksekusi langsung terhadap utang pajak di luar campur tangan

kewenangan Pengadilan. Dengan demikian terhadap tagihan utang pajak harus diterapkan ketentuan Pasal 41 ayat (3) UU No. 4 tahun 1998, yakni menempatkan penyelesaian penagihan utang pajak berada di luar jalur proses pailit, karena mempunyai kedudukan hak istimewa penyelesaiannya.

Harus dibedakan antara pengertian Kreditor dalam kalimat "...mempunyai dua atau lebih Kreditor..." dan Kreditor dalam kalimat "...atas permintaan seorang atau lebih Kreditornya." yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Kalimat yang pertama adalah untuk mensyaratkan bahwa Debitor tidak hanya mempunyai utang kepada satu Kreditor saja. Dengan demikian menurut pendapat penulis, kata "Kreditor" yang dimaksud dalam kalimat yang pertama itu adalah sembarang Kreditor, yaitu baik Kreditor konkuren maupun Kreditor preferen. Yang ditekankan di sini adalah bahwa keuangan Debitor bukan bebas dari utang, tetapi memikul beban kewajiban membayar utang-utang. Sedangkan maksud kalimat yang kedua adalah untuk menentukanbahwa permohonan pailit dapat diajukan bukan saja oleh Debitor sendiri tetapi juga oleh Kreditor.

Dalam kalimat yang kedua ini, Kreditor yang dimaksud adalah Kreditor konkuren. Mengapa harus Kreditor konkuren adalah karena seorang Kreditor separatis atau Kreditor pemegang Hak Jaminan tidak memmpunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat Kreditor separatis telah terjamin sumber pelunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan yang dibebani dengan Hak Jaminan.

Apabila seorang Kreditor separatis merasa kurang terjamin sumber pelunasan piutangnya karena nilai Hak Jaminan yang dipegangnya lebih rendah daripada nilai piutangnya, dan apabila Kreditor separatis itu menghendaki untuk mem- peroleh sumber pelunasan dari harta pailit, maka Kreditor separatis itu harus terlebih dahulu melepaskan hak separatisnya, sehingga dengan demikian berubah statusnya menjadi Kreditor konkuren.113

Berlakunya ketentuan bahwa Debitor harus mempuyai dua atau lebih Kreditor, menimbulkan masalah hukum. Haruskah Kreditor pemohon pernyataan pailit membuktikan bahwa Debitor mempunyai Kreditor lain selain dari Kreditor pemohon? Apabila memang Kreditor pemohon diharuskan untuk dapat membuktikan bahwa selain Kreditor pemohon masih ada Kreditor lain, hal itu tidaklah mudah dilakukan oleh Kreditor tersebut.

Oleh karena tidak ada ketentuan yang mewajibkan agar setiap utang yang diterima oleh seorang Debitor harus didaftarkan pada suatu badan tertentu yang diserahi tugas untuk mencatat utang-utang dalam suatu daftar khusus, maka sulit bagi Kreditor pemohon untuk dapat mengetahui siapa saja Kreditor-kreditor dari Debitor.

Oleh karena menurut KUH Acara Perdata Indonesia (HIR) seorang yang mengajukan gugatan atau permohonan harus membuktikan kebenaran gugatan atau permohonannya, atau dengan kata lain beban pembuktian ada pada

113

Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, (Jakarta :Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 109.

penggugat atau pemohon, maka pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa Debitor memiliki lebih dari satu Kreditor (terdapat Kreditor lain selain Kreditor pemohon), dan harus dapat pula menyebutkan dengan mengemukakan bukti-bukti siapa saja Kreditor-kreditor lain itu.

3. Syarat Harus Adanya Utang Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon pernyataan pailit ialah harus adanya utang. UU No. 37 Tahun 2004 tidak menentukan apa yang dimaksudkan dengan utang. Dengan demikian para pihak yang terkait dengan suatu permohonan pernyataan pailit dapat berselisih pendapat mengenai ada atau tidak adanya utang. Pihak-pihak yang dimaksud ialah (penasihat hukum dari) pemohon, (penasihat hukum dari) Debitor, dan Majelis Hakim yang memeriksa permohonan itu, baik Majelis Hakim Pengadilan Niaga, Majelis Hakim Kasasi, maupun Majelis Hakim Peninjauan Kembali.

4. Syarat Utang Harus Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tidak membedakan tetapi menyatukan syarat utang yang telah jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih. Penyatuan tersebut ternyata dari kata "dan" di antara kata "jatuh waktu" dan "dapat ditagih". Kedua istilah itu dapat berbeda pengertiannya dan kejadiannya. Suatu utang dapat saja telah dapat ditagih tetapi belum jatuh waktu. Pada perjanjian-perjanjian kredit perbankan, kedua hal tersebut jelas dibedakan. Utang yang telah jatuh waktu ialah utang yang dengan lampaunya waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu, menjadi jatuh waktu dan karena itu pula Kreditor berhak untuk menagihnya.

Pengertian "utang yang telah jatuh waktu" dan "utang yang telah dapat ditagih" berbeda. "Utang yang telah jatuh waktu", atau utang yang telah expired, dengan sendirinya menjadi "utang yang telah dapat ditagih", namun utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh waktu. Utang hanyalah jatuh waktu apabila menurut perjanjian kredit atau perjanjian utang- piutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh Debitor sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian itu. Misalnya saja telah sampai jadwal cicilan bagi pelunasan kredit investasi yang ditentukan bertahap, misalnya setiap 6 (enam) bulan sekali setelah masa tenggang (grace period) lampau, dan harus telah dilunasi seluruhnya pada akhir perjanjian yang bersangkutan. Namun, suatu utang sekalipun jatuh waktunya belum tiba, mungkin saja utang itu telah dapat ditagih, yaitu karena telah terjadi salah satu peristiwa yang disebut events of default sebagaimana ditentukan ai dalam perjanjian itu.114

Maka seyogianya kata-kata di dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 yang berbunyi "utang yang telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih" diubah menjadi cukup berbunyi "utang yang telah dapat ditagih" atau "utang yang telan dapat ditagih baik utang tersebut telah jatuh waktu atau belum". Penulisan seperti kalimat yang penulis usulkan itu akan menghindarkan selisih pendapat apakah utang yang "telah dapat ditagih" tetapi belum "jatuh waktu" dapat dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit. Biasanya diberikan

114

somasi dahulu apabila tidak diindahkan, maka Debitor tersebut dianggap lalai dan utang telah dapat ditagih.

5. Syarat Cukup Satu Utang Saja Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih Bunyi Pasal 1 ayat (1) di dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 sebagaimana telah disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 merupakan perubahan dari bunyi Pasal 1 Faillissementsverordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348. Bunyi Pasal 1 ayat (1) sebelum diubah, yaitu bunyi Pasal 1 ayat (1) Fv, adalah: Setiap Debitor yang tidak mampu membayar utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang tersebut, baik atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang kreditor atau beberapa orang kreditornya, dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan dalam keadaan pailit. Seyogianya salah satu syarat untuk mengajukan permohonan pemyataan pailit terhadap seorang Kreditor adalah bahwa selain Debitor memiliki lebih dari seorang Kreditor, Debitor tersebut harus pula dalam keadaan insolven, yaitu tidak membayar lebih dari 50% (lima puluh perseratus) utang-utangnya.

Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 maupun dalam pasal-pasal lain, tidak ditentukan bahwa apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang Kreditor, dipersyaratkan bahwa utang kepada Kreditor pemohon harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih serta tidak dibayar oleh Debitor. Dengan demikian dapat dipertanyakan apakah seorang Kreditor sekalipun piutangnya belum jatuh waktu dan dapat ditagih boleh tampil sebagai pemohon pernyataan pailit dengan

syarat pemohon harus dapat membuktikan bahwa Debitor memiliki utang kepada Kreditor lain yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. 115

Bank pemberi kredit secara mudah dapat mengetahui keadaan keuangan para Debitornya dari laporan hasil pemeriksaan (audit) oleh akuntan publik yang diwajibkan oleh bank yang bersangkutan untuk disampaikan oleh Debitor kepada bank dari waktu ke waktu. Kalau Kreditor hanya boleh mengajukan permohonan pernyataan pailit menunggu sampai utang Debitor telah jatuh waktu dan dapat ditagih, yang mungkin saja masih agak lama, maka kepentingan Kreditor dapat sangat dirugikan.

Berbeda dengan kasus di atas, dapat muncul kasus lain. Misalnya, Debitor D memiliki utang kepada Kreditor A, B, dan C. Utang kepada Kreditor A telah jatuh waktu dan dapat ditagih, sedangkan utang Debitor kepada Kreditor B, dan C, belum jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam kasus ini pertanyaan yang timbul adalah apakah dimungkinkan permohonan pailit diajukan oleh Kreditor A karena utang Debitor kepadanya telah jatuh waktu dan dapat ditagih tetapi utang Debitor terhadap Kreditor B dan C belum jatuh waktu dan dapat ditagih?

Dari bunyi Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 dapat ditafsirkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap seorang Debitor dapat diajukan cukup apabila Debitor tidak membayar hanya untuk satu utang saja yang telah jatuh waktu dan dapa ditagih, sepanjang Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor. Sekali lagi, Debitor

115

H. Man. S. Sastrawidjaya, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

harus dalam keadaan insolven (telah berada dalam keadaan berhenti membayar kepada para Kreditornya), bukan sekadar tidak membayar kepada satu atau dua orang Kreditor saja, sedangkan kepada para Kreditor lainnya Debitor masih melaksanakan kewajiban pembayaran utang-utangnya dengan baik.116

Dalam hal Debitor hanya tidak membayar kepada satu atau dua orang Kreditor saja, sedangkan kepada para Kreditor yang lain Kreditor masih membayar utang-utangnya, ma.ka terhadap Debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga tetapi diajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri (pengadilan perdata biasa.)

Ada sebuah contoh yang sangat menarik mengenai putusan pailit Pengadilan Niaga terhadap suatu perusahaan yang masih solven hanya berdasarkan dalih bahwa perusahaan tersebut tidak membayar kewajibanya kepada salah satu Kreditor tertentu saja, sekalipun kepada Kreditor-kreditor lainnya perusahaan tersebut masih memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan baik. Putusan yang dimaksud adalah Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. "PAILIT/2000/PN. NIAGA.JKT.PST tanggal 13 Juni 2002 itu, yang menyatakan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI) pailit. Putusan tersebut telah memicu reaksi yang keras tidak saja dari dalam negri, tetapi juga dari dunia internasional.117

Manulife adalah Suatu perusahaan asuransi yang didirikan oleh sebuah perusahaan di Kanada, saham sebesar 51%, Dharmala Sakti Sejahtera, Tbk 40%, dan

116

Ibid, hal. 25 117

Syarat-Syarat Kepailitan, http://www.hukumonline.com, terakhir diakses pada tanggal 2

International Finance Corporation (IFC) 9%. Perusahaan asuransi jiwa yang

tergolong terbesar di Indonesia itu pada saat dipailitkan memiliki keadaan keuangan yang cukup baik dengan aset senilai Rp 1,3 triliun, 400 ribu pemegang polis.

Dengan alasan tidak membayar dividen keuntungan perusahaan tahun 1998, PT. AJMI dimohon melalui Pengadilan Niaga Jakarta untuk dinyatakan pailit. Yang memohon putusan pernyataan pailit itu ialah Paul Sukran, S.H. yang berkedudukan selaku Kurator dari perusahaan yang sudah dinyatakan pailit sebelumnya, yaitu PT. Dharmala Sakti Sejahtera, Tbk. (PT. DSS), yang pada 1998 memiliki 40% saham PT. AJMI sebagaimana telah dikemukakan di atas. Sesudah PT DSS pailit, saham PT. AJMI miliknya dilelang dan dibeli oleh Manulife. Pertimbangan PT. DSS sebagai pemohon dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT. AJMI itu adalah bahwa dengan dinyatakannya PT. DSS pailit, maka segala sesuatu yang menyangkut pengurusan harta kekayaan PT. DSS (Debitor pailit) sepenuhnya dilakukan oleh Kurator. Selaku Kurator yang diangkat berdasarkan Penetapan Pengadilan Niaga, Pemohon (sebagai Kurator) bertugas melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit serta berusaha mengumpulkan semua harta kekayaan yang dimiliki oleh PT. DSS termasuk tugasnya sebagai Kurator, adalah melakukan penagihan kepada PT. AJMI selaku termohon berupa membayarkan dividen tahun buku 1999 berikut bunga-bunganya kepada PT. DSS selaku pemilik/pemegang 40% saham pada PT. AJMI yang tercatat untuk tahun buku 1999. Dalam Pasal X Akte Perjanjian Usaha Patungan, di antara para pemegang saham, dalam mendirikan PT. AJMI, telah disepakati bahwa "Sejauh perusahaan memperoleh laba dan telah

mendapatkan suatu surplus untuk dibagikan kepada para pemegang saham untuk tahun pembukuan Perusahaan yang mana pun (sebagaimana dapat dilihat dari Laporan Keuangan yang telah diaudit sehubungan dengan tahun pembukuan yang bersangkutan), hak akan mengatur agar perusahaan (PT. Asuransi Jiwa Manulife- semua membayar dividen sedikitnya sama dengan 30% dari life surplus yang melebihi Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).118

Berdasarkan Laporan Keuangan PT. AJMI tahun buku 1999 dan 1998 yang dibuat oleh ERNST & YOUNG selaku auditor independen, "Consolidated Financial Statement Desember 31, 1999 and 1998 telah ditentukan bahwa PT AJMI telah mendapat surplus dari keuntungan sebesar Rp 186.306.000.000,00 (seratus delapan puluh enam miliar tiga ratus enam juta rupiah). Berdasarkan Laporan Keuangan tersebut dan dengan mengacu kepada Pasal X Akta Perjanjian Usaha Patungan, maka menurut Pemohon, dividen yang harus dibagikan kepada para pemegang saham Termohon (PT AJMI) adalah sebesar Rp 55.891.800.000,00 (lima puluh lima miliar delapan ratus sembilan puluh satu juta delapan ratus ribu rupiah) yaitu sebesar 30% x Rp 186.306.000.000,00. Berdasarkan hal tersebut di atas dan dengan mengacu kepada Pasal X Akta Perjanjian Usaha Patungan, maka menurut Pemohon, PT DSS sebagai pemegang saham sebanyak 40% berhak untuk mendapat pembagian dividen beserta bunga-bunganya sebesar 40% x Rp 55.891.800.000,00, yaitu sebesar Rp 22.356.720.000,00 (dua puluh dua miliar tiga ratus lima puluh enam juta tujuh ratus dua puluh ribu rupiah). Total kewajiban Termohon kepada Pemohon setelah utang

118 Ibid.

dividen itu ditambah dengan bunga yang belum dibayarkan sejak tanggal 01 Januari 2000 sampai dengan 30 April 2002 (2 tahun 4 bulan) dengan perhitungan bunga sebesar 20% pertahun adalah berjumlah Rp 32.789.856.000,00 (tiga puluh dua milyar tujuh ratus delapan puluh sembilan juta delapan ratus lima puluh enam ribu rupiah). Termohon dengan berbagai alasan berusaha untuk menghindar dari kewajiban membayar dividen tersebut yang telah diupayakan penagihannya oleh Pemohon.119

Permohonan Pemohon untuk memailitkan Termohon PT. AJMI telah dikabulkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan putusan sebagaimana dikemukakan di atas. Sehubungan dengan putusan pernyataan pailit terhadap PT. AJMI oleh Pengadilan Niaga tersebut reaksi keras datang dari pemerintah Kanada. Reaksi keras tersebut muncul karena MI merupakan perusahaan yang keadaan keuangannya masih solven.

Menteri Luar Negeri Kanada Bill Graham pernah mengatakan pemerintah Kanada mempertimbangkan untuk melancarkan aksi retaliasi (balasan) terhadap Pemerintah RI karena dinilai tidak menunjukkan respons yang memadai berkaitan dengan kasus pailit PT. Asuransi AJ Manulife Indonesia (AJMI) yang kontroversial. Graham, mengatakan Pemerintah Kanada akan mengkaji semua opsi, termasuk kemungkinan menerapkan sanksi terhadap Pemerintah Indonesia. Bahkan, ia tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menghadapi sanksi internasional. Lebih lanjut Ferry de Kerckhove Duta Besar Kanada untuk Indonesia, menuding Pemerintah Rl tidak berbuat apa-apa untuk memecahkan kasus sengketa antara Manulife Financial

119 Ibid.

Corp dengan mantan mitra lokalnya, Dharmala Group, yang berlarut-larut sejak tahun 1998. Beliau menyatakan bahwa pemerintah Canada tidak puas dengan respons yang ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia.120

Duta Besar Prancis untuk Indonesia Herve Ladseus dalam konferensi pers

Dokumen terkait