• Tidak ada hasil yang ditemukan

Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut Hukum Kepailitan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut Hukum Kepailitan"

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

STANDAR KEPENTINGAN UMUM DALAM PERMOHONAN

KEPAILITAN OLEH KEJAKSAAN MENURUT

HUKUM KEPAILITAN

T E S I S

Oleh

AGUSSALIM NASUTION

067005027 / HK

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

NAMA MAHASISWA : AGUSSALIM NASUTION NOMOR POKOK : 067005027

PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU HUKUM

JUDUL TESIS : STANDAR KEPENTINGAN UMUM DALAM

PERMOHONAN KEPAILITAN OLEH KEJAKSAAN MENURUT HUKUM KEPAILITAN

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH K e t u a

Dr. Sunarmi, SH.M.Hum Dr. T. Keizerina Devi A, SH.CN, M.Hum A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Ilmu Hukum D i r e k t u r

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B, MSc.

(3)

ABSTRAK

Gejolak moneter yang melanda Asia pada pertengahan tahun 1997 turut pula menyerang dan merusak tatanan pilar ekonomi Indonesia. Ditandai dengan jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat pada tanggal 14 Agustus 1997, yakni dengan berubahnya sistem pertukaran menjadi free-floating system, berakibat dengan nilai rupiah yang terjun bebas dan terjadinya inflasi tinggi. Terperosoknya nilai tukar rupiah dan setidaknya telah memunculkan 3 (tiga) negatif terhadap perekonomian nasional, yaitu Negative Balance of Payments (Neraca Pembayaran Negatif), Negative Spread (Selisih Bunga Negatif di bidang keuangan) dan Negative

Equity (Defisit Modal). Kondisi ini juga mengakibatkan melemahnya kemampuan

perusahaan memenuhi kewajibannya terhadap kreditor, bahkan ada yang sama sekali dalam kondisi yang tidak mampu membayar lagi. Hal ini menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memperbaiki berbagai peraturan yang ada, yakni dengan membuat Perppu NO. 1 Tahun 1998 yang kemudian menjadi UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Tugas dan wewenang kejaksaan sebenarnya sangat luas menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Bahwa tugas-tugas kejaksaan dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu pertama, tugas yudisial, dan kedua, tugas non-yudisial. Meskipun demikian tugas yudisial kejaksaan sebenarnya bertambah, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1991 jo UU No. 16 Tahun 2004, kejaksaan mendapat kewenangan sebagai pengacara pemerintah atau negara. Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 menyatakan bahwa, “ di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Kejaksaan, seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 diatur bahwa kejaksaan sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan kepailitan, dapat menggunakan haknya untuk mengajukan kepailitan terhadap seorang kreditor yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dengan persyaratan yang harus dipenuhi adalah tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan serupa. Wewenang mengajukan permohonan pailit yang diberi kepada Kejaksaan adalah demi kepentingan umum.

(4)

atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh tempo dan dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Maka untuk mengetahui mengenai standar kepentingan umum yang menjadi pedoman bagi lembaga kejaksaan dalam mengajukan permohonan kepailitan, penulis mengadakan penelitian dengan menggunakan metode penelitian yuiridis normative terhadap Putusan Pengadilan Niaga Medan atas perkara No. : 02/Pailit/2005/PN-Niaga/Medan, yang merupakan perkara pailit yang pertama yang diajukan oleh lembaga kejaksaan DI Indonesia. Dalam perkara tersebut Jaksa selaku Pengacara Negara demi kepentingan umum mengajukan kepailitan terhadap PT. Aneka Surya Agung (420 orang karyawan eks PT. Aneka Surya Agung) yang belum dibayar gajinya sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, utang PT. Aneka Surya Agung yang telah jatuh tempo dan belum dibayar kepada beberapa BUMN, seperti PT. Telkom, PT. PLN, PT.Bank Negara Indonesia (BNI) dan PT. JAMSOSTEK.

Dari hasil penelitian penulis, nyatalah bahwa Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam memiliki kompetensi untuk mengajukan permohonan kepailitan kepada PT. Aneka Surya Agung, karena walaupun undang-undang belum merumuskan secara tegas mengenai pengertian kepentingan umum, akan tetapi kepentingan umum yang menjadi dasar pengajuan permohonan kepailitan oleh kejaksaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 telah dipenuhi, yaitu kreditor yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada masyarakat luas (dalam hal ini 420 orang karyawan eks PT. Aneka Surya Agung yang belum dibayar gajinya sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) dan kepada beberapa BUMN seperti seperti PT. Telkom, PT. PLN, PT.Bank Negara Indonesia (BNI) dan PT. JAMSOSTEK, dimana dalam hal ini tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan serupa. Saran yang dapat diajukan penulis adalah Pemerintah hendaknya lebih memperjelas maksud dan pengertian “kepentingan umum” yang menjadi dasar bagi lembaga kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum. Karena rumusan yang jelas dan baku tentang “kepentingan umum” di dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan penafsiran dan interpretasi yang berbeda nantinya tentang “kepentingan umum”, selain itu masyarakat juga harus lebih berperan serta dengan aktif untuk melaporkan berbagai kasus kepailitan yang terjadi sehingga jaksa sebagai pihak yang berkompeten mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum dapat menjalankan peran, fungsi dan kedudukannya dengan lebih baik berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Permohonan Penundaan Pembayaran Utang.

(5)

ABSTRACT

The monetary fluctuation which overwhelmed in all over Asis in the middle of 1997 also attacked and broke down the economic pillar of Indonesia. Marked with the fallof the price exchange of Rupiah over us Dollar on August 14th 1997, followed with the change of the system into free-floating system, the fall of the price exchange of Rupiah and at least has caused 3 (three) negatives on the national economy, which are Negative Balance of Payments, Negative Spread and Negative Equity. This condition has also made the company frailed it’s ability to fulfill it’s obligation over the creditors, in fact there were ssome of them which were in the condition of not being able to pay at all. This condition has made the government issued the new policy to fix the rules which exist at present, by providing govement regulation to replace law (Perppu) No.1 1998which later became the institution (UU) No. 37 2004 which consist about the Palitness and the delay of obligation and Debt Payment.

The duty and the Authority of the District Attorney office is actually extensively reach the criminal side of law, the civil and the National Administration Court of Justice. That the duties of the District Attorney office can be devided into two fields of work, the first one is the judicial duty and the second one is the non-judicial. Even so the judicial duty of the District Attorney office is actually in creased based decree (UU) No. 5 1991 Jo UU (institution) No. 16 2004, the District Attorney office has the authority as the government or state prosecutor. Decree (UU) No. 5 1991 section 27 sub section (2) declare that “ in the civil court of jaustice and National Administration, the District Authorney office with the special authority has the ability to take action inside and outside the court for and in the name of the state or government”. Therefore, based on the office regulations, as being regulated in the decree (UU) No.37 2004 section (2) sub-section (2) Jo Government Regulation No.17 2000 said the District Attorney office as one that can file for the bankruptcy, can use it’s rights to file for the bankruptcy against the creditor who cannot afford to pay its debt which is fail due and can be changed, under the conditions of which must be fulfilled which there is no other which is given to the District of Authorney office is for the sake of public interests.

(6)

Therefore, in order to find out about the standard public interest which is considered to be the orientation for the District Auttorney office in filing the petition of bankruptcy, the writer conducted the reseach by using the normative judicial reseach method on the decision of court of commerse under the case No : 02/Pailit/2005/PN-Niaga/Medan, which dealed with the case of bankrupt over PT. Aneka Surya Agung which has reach the time limitation and has not been payed to several state-owned, corporation, such as PT. Telkom, PT. PLN, PT. The National Bank of Indonesia (BNI) and PT. JAMSOSTEK.

From the writer’s result of reseach, it is true that the Lubuk Pakam District Attorney office has the competence to file for the petition of bankruptcy over PT. Aneka Surya Agung, because eventhough the institution has not strictly formulated about the defenition of the public interest still the public interest which is being the foundation to file the petition of bankruptcy the District Attorney office as being regulated in the Decree No.37 2004 section (2) sub-section (2) Jo Government Regulation No.17 2000 has been fulfilled, which says the creditor who cannot afford to pay its debt which is fall due and can be changed on the society (in this case, 420 employees of pormer PT. Aneka Surya Agung who have not been paid yet based on the institution No.13 2003 about labourship) and on several Nation Corporation such as PT. Telkom, PT. PLN, PT. The National Bank of Indonesia (BNI) and PT. JAMSOSTEK where there is no other side who file for the same petition. The suggestion which can be persuedby the writer is that the government should give more clear picture of what is meant by “Public Interest” which is considered to be the pondation for the District Attorney office to file for the petition of bankruptcy statement for the sake of the public interest. Because of the clear formulation and fulfledged of “Public Interest” in the government regulation to replace law. This issue is worried will cause the wrong interpretation about “Public Interest”, beside that, the society must also act more actively to report vatious bankruptcy cases occor, so that the prosecutor as the competence side to file for the petition of bankruptcy statement better based on the Decree (UU) No. 37 2004 about the bankruptcy and the application of the delay on the debt payment.

(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah mengkaruniai

kesehatan dan kelapangan berpikir kepada Penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah

dalam bentuk tesis ini dapat diselesaikan.

Karya merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk

memperoleh gelar Magister Humaniora sehingga Penulis harus melengkapi syarat

tersebut dengan penyusunan tesis yang berjudul : “Standar Kepentingan Umum

Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut Hukum Kepailitan”.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K) selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam

menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Medan.

2. Prof. Dr. Ir. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara Medan beserta seluruh staf, atas kesempatan dan

fasilitas yang diberikan dalam meneyelesaikan pendidikan ini.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH, selaku pembimbing utama, Ibu Dr.

Sunarmi, SH.M.Hum dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi. A, SH.CN, M. Hum, atas

bimbingan, koreksi, perbaikan dan masukan yang diberikan dalam rangka

(8)

4. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara khususnya Bapak dan Ibu Dosen pada Sekolah Pascasarjana Program

Ilmu Hukum.

5. Isteri saya tercinta Umi Sri Rezeki Hasibuan, SH, dan anak-anak saya tersayang

Farisa Zhafirah Salim Nasution dan Kayla Annisa Salim Nasution yang telah

memberikan inspirasi dan motivasi kepada penulis untuk penyelesaian

penulisan tesis ini.

5. Seluruh rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu serta

rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

6. Seluruh pegawai sekretariat Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan kepada

penulis selama proses penulisan tesis ini.

Demikian Penulis sampaikan, kiranya tesis ini dapat bermanfaat untuk

menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita bersama.

Medan, September 2008

Penulis,

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………. i

ABSTRACT ……….. iii

KATA PENGANTAR ……….. v

RIWAYAT HIDUP ………... viii

DAFTAR ISI ………. ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1

B. Rumusan Permasalahan .………... 15

C. Keaslian Penulisan ……… 16

D. Tujuan Penulisan ……….. 16

E. Manfaat Penulisan ……… 17

F. Kerangka Teori ………... 18

G. Metode Penelitian ………. 39

BAB II FUNGSI DAN WEWENANG LEMBAGA KEJAKSAAN PENGAJUAN PERMOHONAN KEPAILITAN A. Sejarah Lembaga Kejaksaan di Indonesia ………. 42

B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam Proses Penegakan Hukum ……… 52

C. Tinjauan Umum Mengenai Kepailitan berdasarkan UU…. No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan ….. Pembayaran Utang ……….. 82

(10)

BAB III STANDAR KEPENTINGAN UMUM DALAM PENGAJUAN

PERMOHONAN KEPAILITAN

A. Pengertian Kepentingan Umum ……….. 115

B. Karakteristik Kepentingan Umum ………. 122

C. Kepentingan Umum Dalam Berbagai Peraturan Perundang

Undangan di Indonesia ……… 131

D. Standar Kepentingan Umum Dalam Pengajuan permohonan

Kepailitan ………. 141

BAB IV PROSEDUR PERMOHONAN KEPAILITAN YANG DIAJUKAN OLEH KEJAKSAAN DEMI

KEPENTINGAN UMUM

A. Para Pihak Yang Terlibat dalam Proses Kepailitan …….

Berdasarkan UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan..

dan Penundaan Pembayaran Utang ……….. 152

B. Proses Acara Penyelesaian Perkara Kepailitan di ……….

Pengadilan Niaga ……….. 157

C. Upaya Hukum yang dilakukan Jaksa Pengacara Negara ...

Demi Kepentingan Umum ………. 167

D. Analisis Kasus Permohonan Kepailitan Yang diajukan ….

Oleh Jaksa Sebagai Pengacara Negara Demi Kepentingan

Umum ………. 173

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ………. 184

B. Saran ………. 188

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

NAMA : AGUSSALIM NASUTION

TEMPAT/TGL.LAHIR : MEDAN / 5 AGUSTUS 1975 JENIS KELAMIN : LAKI – LAKI

AGAMA : ISLAM

PEKERJAAN : PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)

PENDIDIKAN :

SD Inpres No. 064037 (lulus tahun 1986)

SMP Swasta Persatuan Amal Bhakti 10 (lulus tahun 1989)

SMA Sawasta Joshua (lulus tahun 1992)

FH Universitas Islam Sumatera Utara (lulus tahun 1997)

Program Studi Magister Ilmu Hukum

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gejolak moneter yang melanda Asia pada pertengahan tahun 1997 turut pula

menyerang dan merusak tatanan pilar ekonomi Indonesia. Ditandai dengan jatuhnya

nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat pada tanggal 14 Agustus 1997,

yakni dengan berubahnya sistem pertukaran menjadi free-floating system, berakibat

dengan nilai rupiah yang terjun bebas dan terjadinya inflasi tinggi. Terperosoknya

nilai tukar rupiah, setidaknya telah memunculkan 3 (tiga) dampak negatif terhadap

perekonomian nasional, yaitu : 1

1. Negative Balance of Payments (Neraca Pembayaran Negatif).

Neraca pembayaran negatif terutama terjadi karena melonjaknya nilai tukar utang

dalam valuta asing (valas) kalau dirupiahkan. Utang perusahaan swasta dan

pemerintah yang cukup besar telah memperberat beban neraca pembayaran

sementara kenaikan nilai ekspor sebagai akibat dari terdepresiasinya nilai rupiah

tidak dapat dengan segera dinikmati.

2. Negative Spread (Selisih Bunga Negatif di bidang keuangan)

Negative spread terutama terjadi pada industri keuangan. Kebijakan pemerintah

untuk menaikkan suku bunga untuk mengerem laju permintaan valas telah

1

(13)

menyebabkan naiknya bunga bank. Sementara itu, dana yang terkumpul dari

masyarakat sulit disalurkan karena jarang ada perusahaan yang mampu

memperoleh margin di atas suku bunga.

3. Negative Equity (Defisit Modal)

Perusahaan yang terlanjur memperoleh kredit bank mengalami negative equity

karena nilai kekayaannya dalam rupiah tidak cukup lagi dan bahkan berbeda jauh

apabila dipersandingkan dengan nilai rupiah dari utang valas. 2

Dari sisi ekonomi patut disimak data yang dikemukakan oleh Lembaga

Konsultan (think tank) Econit Advisory Group, yang menyatakan bahwa tahun 1997

merupakan ‘Tahun Ketidak pastian” (A Year of Uncertainty). Sementara itu, Tahun

1998 merupakan “Tahun Koreksi” (A Year of Correction). 3 Pada pertengahan tahun

1997 terjadi depresiasi secara drastis nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing,

khususnya dari Dollar Amerika sekitar Rp. 2300,00 pada sekitar bulan Maret

menjadi sekitar Rp. 5000,00 per Dollar Amerika pada akhir tahun 1997. Bahkan pada

pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp. 16.000,00 per

Dollar Amerika Kondisi perekonomian ini mengakibatkan keterpurukan terhadap

pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6-7 % telah terkontraksi

menjadi minus 13-14 %. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10 % menjadi

sekitar 70 %. Banyak perusahaan yang kesulitan membayar kewajiban utangnya

2

Ibid, hal. 4.

3

(14)

terhadap para kreditor dan lebih jauh lagi banyak perusahaan mengalami

kebangkrutan (Pailit). Situasi dunia usaha menjadi tidak kondusif dalam melunasi

utang, sebab kewajiban dalam waktu singkat telah berkembang menjadi berlipat

ganda akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap semua mata uang asing lainnya,

apalagi sebagian besar pinjaman adalah dalam bentuk mata uang asing sedangkan

pendapatan usaha dalam bentuk rupiah dan kegiatan usaha telah lumpuh sebagai

akibat dari krisis moneter di Indonesia pada waktu itu telah berubah menjadi krisis

multidimensional. 4

Pada era globalisasi sekarang ini kegiatan-kegiatan usaha tidak mungkin lepas

dari berbagai masalah-masalah. Suatu perusahaan tidak selalu dapat berjalan dengan

baik dan seringkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga

perusahaan tersebut tidak sanggup lagi membayar utang-utangnya. Sehingga dapat

dikatakan bahwa kehidupan suatu perusahaan dapat saja dalam kondisi untung atau

dalam keadaan rugi. Kalau dalam keadaan untung, perusahaan berkembang dan terus

berkembang sehingga menjadi perusahaan raksasa. Sebaliknya, apabila perusahaan

menderita kerugian maka garis hidupnya menurun. Jadi, garis hidup suatu

perusahaan pada suatu saat naik dan pada saat lain menurun, begitu seterusnya

sehingga garis hidup perusahaan itu merupakan garis yang naik dan turun seperti

grafik.5

4

Ibid, hal. 2.

5

(15)

Krisis moneter dan perbankan yang melanda Indonesia telah memakan biaya

fiskal yang amat mahal yaitu mencapai 51% dari Product National Bruto (PDB).

Krisis tersebut telah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya stabilitas pasar

keuangan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan yang membentuk system

keuangan. Kestabilan pasar keuangan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan

yang selanjutnya mampu meredam krisis, sebenarnya merupakan interaksi dari

beberapa resiko yang harus selalu dikelola dengan baik. Salah satu risiko yang harus

dikelola dengan baik sehingga tidak menyebabkan kestabilan pasar keuangan dan

kesehatan lembaga keuangan terganggu dan pada akhirnya menyebabkan krisis

adalah gagalnya perusahaan di sektor riil mengembalikan pinjaman. Kegagalan

perusahaan dalam mengembalikan pinjaman dapat dikategorikan bahwa perusahaan

mengalami corporate failure (kepailitan).6

Dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan dan serba tidak menentu,

persoalan yang paling krusial adalah bagaimana menyelesaikan utang-piutang di

kalangan dunia usaha. Para kreditor baik asing maupun lokal dengan segala daya

upayanya mendesak agar kreditor yang mayoritas adalah pengusaha swasta nasional

segera melunasi kewajibannya.

Sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menyelesaikan berbagai

persoalan yang timbul karena dampak krisis moneter, seperti untuk memberikan

6

Muliaman D Hadad, Wimboh Santoso dan Ita Rulina, Indikator Kepailitan di Indonesia : An

Additional Early Warning Tools Pada Stabilitas Sistem Keuangan, (Jakarta : Bank Indonesia,

(16)

kesempatan kepada pihak kreditor dan perusahaan debitor menyelesaikan

utang-piutangnya secara adil, meningkatkan kembali kepercayaan investor asing terhadap

jaminan penanaman modalnya di Indonesia, juga sebagai reaksi atas permintaan dari

Dana Moneter Internasional/International Monetery Fund (IMF) yang mendesak agar

Indonesia segera menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan

pemenuhan kewajiban oleh debitor kepada kreditor, akhirnya pemerintah Indonesia

melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan

perundang-undangan, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang Kepailitan yang

ada. Pada tanggal 22 April 1998, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Kepailitan guna menyempurnakan ketentuan kepailitan sebagaimana

diatur dalam Failissement Verordening Staatsblad No. 217 Tahun 1905 jo Staatsblad

No. 384 Tahun 1906. Perpu tersebut disahkan sebagai Undang-undang No. 4 Tahun

1998 tentang Kepailitan pada tanggal 24 Juli 1998. Sejalan tuntutan perkembangan

masyarakat, ketentuan tersebut dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan hukum

masyarakat, sehingga perlu dilakukan perubahan yang ditetapkan pada tanggal 18

Oktober 2004 melalui Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Berbagai perubahan di bidang hukum ini

diharapkan mampu menjawab berbagai persoalan yang berkaitan dengan krisis

moneter terutama dalam penyelesaian masalah utang-piutang yang selaras dengan

semangat pembangunan ekonomi nasional dan globalisasi.7

7

(17)

Masalah selanjutnya adalah bagaimana dan apa yang diperlukan untuk

membantu dunia usaha khususnya untuk mengatasi ketidakmampuan para debitor

untuk memenuhi kewajiban membayar utang pada para kreditor.

Secara teoritis, pada umumnya utang-piutang kreditor yang memiliki masalah

dengan kemampuan untuk memenuhi kewajibannya membayar utang dapat

menempuh berbagai alternatif penyelesaian. Kreditor dan debitor dapat

merundingkan permintaan penghapusan utang baik untuk sebagian atau seluruhnya,

dapat menjual sebagian asset atau bahkan usahanya serta dapat pula mengubah

pinjaman tersebut menjadi penyertaan saham. Para kreditor dapat menggugat

berdasarkan hukum Perdata yaitu mengenai wanprestasi atau ingkar janji bila debitor

mempunyai keuangan atau harta yang cukup untuk membayar utang-utangnya. Selain

itu, bila debitor tidak mempunyai keuangan, harta atau asset yang cukup sebagai

jalan terakhir barulah para kreditor menempuh pemecahan melalui peraturan

kepailitan seperti yang diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan cara mengajukan permohonan

pailit kepada Pengadilan Niaga di daerah wilayah hukumnya.

Kepailitan merupakan proses dimana : 8

1. Seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya

dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan

debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya.

Grafindo Persada, 2002), hal. 20-21.

8

Rudhy A. Lontoh, dkk, Hukum Kepailitan – Penyelesaian Utang-Piutang – Melalui Pailit

(18)

2. Harta debitor dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan peraturan

kepailitan.

Kepailitan berdasarkan Peraturan Pemerintah pengganti UU No.1 Tahun

1998 tentang Perubahan Atas UU Kepailitan, yang menyebutkan:

1. Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya

satu utang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat ditagih, dinyatakan pailit

dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri,

maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.

2. Permohonan sebagaimana disebut dalam butir di atas, dapat juga diajukan oleh

kejaksaan untuk kepentingan umum.

Kepailitan di dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 disebutkan

sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan

pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawaan Hakim Pengawas.

UU kepailitan pada dasarnya menyatakan bagaimana menyelesaikan sengketa

yang muncul di kala satu perusahaan tidak bisa lagi memenuhi kewajiban utang, juga

bagaimana menangani pertikaian antar individu yang berkaitan dengan bisnis yang

dijalankan. Ada beberapa kriteria penting :9

1. Pembukuan harus jelas. Penilaian aktiva harus transparan dan dengan cara yang

diakui umum (Internasional Standard)

2. Tingkat gradasi utang piutang berdasarkan tanggungan menentukan siapa yang

boleh didahulukan dalam menyelesaikan masalah utang. Misalnya: sebuah

9

(19)

perusahaan bangkrut, siapa yang berhak memperoleh pembayaran terlebih dahulu

dan siapa yang kemudian;

3. Acara hukum perdata mengatur siapa yang berkepentingan, pihak pengatur

kebangkrutan, pengadilan mana yang kompeten dan bagaimana cara/proses yang

harus dilakukan untuk menyelesaikan perkara ini;

4. Penetapan sanksi oleh pengadilan yang berwenang andaikata satu pihak tidak

memenuhi janji. Berapa waktu yg diberikan kepada perusahaan yang merasa

mampu membereskan utang-utangnya sendiri;

5. Sekalipun dinyatakan pailit, tentunya perusahaan masih bisa berjalan sementara.

Dalam hal ini ditetapkan persyaratan-persyaratannya dan siapa yang harus

mengawasi proses penyehatannya. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit tidak

perlu langsung menghentikan semua kegiatannya. Mereka harus diberi

kesempatan untuk membereskan keuangan dan kegiatan yang lain demi

kepentingan penagih utang.

6. Penyelesaian sengketa boleh dijalankan lewat arbitrase di luar pengadilan

Perusahaan dinyatakan pailit/bangkrut apabila dalam jangka waktu tertentu tidak

bisa melakukan pembayaran pokok dan atau bunganya. Kepailitan juga bisa

diminta pemilik perusahaan atau juga oleh para penagih utang.

Syarat-syarat untuk mengajukan pailit terhadap suatu perusahaan telah diatur

dalam Pasal 2 UU No.37 Tahun 2004. Dari syarat pailit yang diatur dalam pasal

tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat yuridis agar dapat dinyatakan pailit

(20)

1. Adanya hutang;

2. Minimal satu dari hutang sudah jatuh tempo;

3. Minimal satu dari hutang dapat ditagih;

4. Adanya debitur

5. Adanya kreditur

6. Kreditur lebih dari satu

7. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan

Pengadilan Niaga.

8. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang yaitu :

a. Pihak debitur

b. Satu atau lebih kreditur

c. Jaksa untuk kepentingan umum

d. Bank Indonesia jika debiturnya bank

e. Bapepam jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan

penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian

9. Menteri Keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun

dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.

Dengan dinyatakan pailit maka seorang debitur pailit tidak memiliki

(21)

yang akan diterimanya selama kepailitan itu berlangsung. Kepailitan itu sendiri

mencakup : 10

1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan beberapa

pengecualian untuk si pailit perorangan) serta asset-asset yang diperoleh selama

kepailitannya.

2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas

kekayaannya yang termasuk harta kekayaan

Dalam Pasal 281 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998, telah dibentuk Pengadilan

Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pengadilan khusus dalam

lingkup peradilan umum sesuai dengan Pasal 10 Undang-undang No. 14 Tahun 1970

tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diperbarui dan

tertuang dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman, dengan salah satu kewenangannya untuk menangani

permasalahan kepailitan. Selanjutnya, guna memperluas wilayah cakupan kerja

Pengadilan Niaga, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan dan

Semarang, dengan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999.

Dengan dibentuk dan didirikannya Pengadilan Niaga tersebut, maka setiap

penyelesaian sengketa niaga, khususnya untuk menyelesaikan permohonan kepailitan,

seperti pembuktian dan verifikasi utang, actio pauliana, hingga pemberesan harta

pailit, menjadi kewenangan absolut Pengadilan Niaga. Sebagai catatan, selain

10

Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara Indonesia (Civil Law System)

(22)

memiliki kewenangan absolut terhadap setiap perkara kepailitan sebagai pelaksanaan

Perpu No. 1 tahun 1998. Sebagai perluasan kewenangan, Pengadilan Niaga memiliki

kompetensi pula untuk menyelesaikan beberapa sengketa di bidang perdagangan,

terutama Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) sebagaimana telah dialokasikan dari

beberapa ketentuan perundang-undangan HAKI. Hal tersebut dipahami seperti

tertuang dalam 50 program utama yang disyaratkan oleh International Monetary

Fund (IMF) di dalam Letter of Intent kepada pemerintah Indonesia, ide dasar

pembentukan Pengadilan Niaga tidak hanya semata untuk menyelesaikan

permasalahan kepailitan, namun juga untuk menangani permasalahan di bidang

perdagangan lainnya yang membutuhkan penanganan dalam jangka waktu yang

singkat dan efektif namun tetap memperhatikan jaminan dan kepastian hukum,

mengingat filosofi perdagangan itu sendiri yang menganut prinsip “time is money”.11

Di dalam perkara kepailitan dapat ditemukan pihak-pihak yang mengajukan

dan diajukan dalam proses kepailitan. Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara

kepailitan adalah pihak yang mengajukan atau pemohon pailit, yakni pihak yang

mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam

perkara pailit biasa disebut sebagai pihak penggugat (Pemohon Pailit).

Di dalam Pasal 2 UU Kepailitan yang baru yaitu UU No. 37 Tahun 2004

terdapat 6 (enam) pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu :

1. Debitor itu sendiri.

2. Satu atau lebih kreditor.

11

(23)

3. Kejaksaan untuk kepentingan umum.

4. Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank.

5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debitornya adalah perusahaan

Efek.

6. Menteri Keuangan jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi.

Kejaksaan, seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004

sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan kepailitan, dapat menggunakan

haknya untuk mengajukan kepailitan terhadap seorang kreditor yang tidak mampu

membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Tetapi

persyaratan pada ayat (1) tetap harus dipenuhi, disamping alasan tidak ada pihak lain

yang mengajukan permohonan serupa. Wewenang serupa juga diberikan kepada

Bank Indonesia jika debitornya adalah bank, dan Bapepam jika debitornya

perusahaan efek. Wewenang mengajukan permohonan pailit yang diberi kepada

Kejaksaan demi kepentingan umum.

Dahulu, sebelum keluarnya UU No. 37 Tahun 2004, dalam Undang-Undang

Kepailitan tidak dijumpai penjelasan yang pasti tentang bagaimana batasan

kepentingan umum tersebut. Oleh sebab itu, penafsirannya diserahkan kepada

doktrin dan yurisprudensi. Praktik hukum menunjukkan bahwa kepentingan umum

ada apabila tidak ada kepentingan perorangan, melainkan alalsan-alasan yang bersifat

umum dan lebih serius yang mengesankan penanganan oleh lembaga/alat

(24)

Di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, diberikan

batasan mengenai kepentingan umum. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum”

adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat, misalnya :

a. Debitor melarikan diri.

b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan.

c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha

lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat.

d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat

luas.

e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah

utang-piutang yang telah jatuh tempo.

f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Di dalam PP No. 17 Tahun 2000 diatur mengenai Permohonan Pernyataan

Pailit untuk Kepentingan Umum. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan tanpa

melalui jasa advokat. Dalam hal ini kejaksaan bertindak sebagai pengacara negara,

sehingga diwakili jajaran Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara

(Jamdatun). Peraturan yang tertera di dalam Pasal 7 UU No. 37 Tahun 2004 yang

mengharuskan permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang advokat tidak

berlaku bagi permohonan kepailitan yang diajukan oleh kejaksaan, maka sebagai

gantinya pihak kejaksaan harus membawa Surat Perintah Penunjukkan Jasa

(25)

Pada umumnya, tidak ada perbedaan mendasar dalam mekanisme

permohonan pailit yang diajukan kejaksaan dengan permohonan yang diajukan pihak

lain di luar kejaksaan. Di dalam UU No. 37 Tahun 2004, permohonan pernyataan

pailit demi kepentingan umum yang diajukan oleh kejaksaan harus diajukan kepada

kepada Ketua Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi wilayah hukum

debitor pailit dan harus didaftarkan melalui Panitera Pengadilan Niaga tersebut,

dimana kepada pemohon diberi tanda terima tertulis yang ditandatangani pejabat

yang berwenang pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Sama dengan

perkara Perdata pada umumnya, maka permohonan pernyataan pailit ini bentuknya

juga harus tertulis seperti halnya dengan surat gugatan yang memuat identitas para

pihak secara lengkap, dasar gugatan (Posita) dan hal-hal yang dimohonkan

(Petitum).12

Selanjutnya Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan

pailit bagi institusi jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat

tersebut. anitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua

Pengadilan paling lambat (dua) hari setelah tariggal permohonan didaftarkan. Dalam

jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit

didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.

Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka

waktu paling lambat 20 (duapuluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas

12

(26)

permohonan Debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda

penyelenggaraan sidang sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh Iima) hari

setelah tanggal permohonan didaftarkan.13

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti

lebih lanjut mengenai standar kepentingan umum yang melatarbelakangi pihak

kejaksaan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit. Apalagi dalam salah

satu point dinyatakan bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan

pailit dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. Apakah

standar atau kriteria untuk menentukan hal tersebut atau apakah kejaksaan harus

melakukan diskresi untuk menentukan kepentingan umum tersebut dan sebagainya.

B. Rumusan Permasalahan

Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan dalam

penelitian ini adalah, sebagai berikut :

1. Pertimbangan-pertimbangan apakah yang mendasari pemikiran pemberian

kewenangan kepada kejaksaan untuk mengajukan permohonan kepailitan?

2. Bagaimana standar kepentingan umum yang harus diperhatikan dalam pengajuan

permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh jaksa berdasarkan UU No. 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

13

(27)

3. Bagaimana proses pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh

jaksa untuk kepentingan umum melalui Pengadilan Niaga?

C. Keaslian Penulisan.

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa

penelitian tentang Standar Kepentingan Umum dalam Permohonan Kepailitan oleh

Kejaksaan menurut Hukum Kepailitan belum pernah dilakukan, baik dalam judul,

topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini adalah merupakan hal yang

baru dan asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif

dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya

secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun

sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

D. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, adalah sebagai berikut :

Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk :

1. Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan yang mendasari pemikiran

pemberian kewenangan kepada kejaksaan untuk mengajukan permohonan

(28)

2. Untuk mengetahui standar kepentingan umum yang harus diperhatikan dalam

pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kejaksaan

berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004.

3. Untuk mengetahui proses pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan

oleh kejaksaan untuk kepentingan umum melalui Pengadilan Niaga.

E. Manfaat Penulisan

Dari sudut penerapannya dalam ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan

dapat memberi manfaat dan masukan dalam bidang hukum kepailitan di Indonesia

pada umumnya dan khususnya tentang permohonan pernyataan kepailitan yang

diajukan oleh kejaksaan.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, bagi berbagai

kalangan, yaitu :

1. Masyarakat umum

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat umum yang

mencari keadilan yang hak-haknya telah dirugikan oleh orang perorang ataupun

person maupun badan hukum, sehingga masyarakat mendapatkan kepastian dan

perlindungan hukum dari pihak-pihak yang telah merugikan mereka tersebut.

2. Lembaga Kejaksaan

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi lembaga kejaksaan dalam

rangka membantu masyarakat umum yang mencari keadilan dan memperjuangkan

(29)

sehingga lembaga kejaksaan dapat memberikan solusi yang tepat sehubungan dengan

kedudukan lembaga kejaksaan dalam menangani perkara kepailitan di Indonesia

khususnya mengajukan permohonan kepailitan demi kepentingan umum yang selama

ini kurang efektif walaupun telah diatur di dalam undang-undang, yaitu UU No. 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

3. Pemerintah secara umum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah khususnya

untuk lebih menegaskan indikasi dan standar kepentingan umum dalam peraturan

perundang-undangan terhadap permohonan pernyataan kepailitan yang diajukan oleh

kejaksaan, sehingga akan lebih menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum.

F. Kerangka Teori

Bila ditelusuri secara lebih mendasar, istilah “pailit” dijumpai dalam

perbendaharaan bahasa Belanda, Prancis, Latin dan Inggris dengan istilah yang

berbeda-beda. Di dalam bahasa Prancis, istilah “Faillite” artinya pemogokan atau

kemacetan dalam melakukan pembayaran. Oleh sebab itu, orang mogok atau macet

atau berhenti membayar utangnya didalam dalam bahasa Prancis disebut “lefailli”.

Secara tata bahasa kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan

“pailit”. Di Negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan

kepailitan mempergunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy. .14

14

(30)

Salah satu pengertian kepailitan dapat kita lihat seperti apa yang dikemukakan

dalam salah satu kamus karangan Black Henry Campbell (Black’s Law Dictionary)

yang mengatakan bahwa :

Pailit atau bankrupt adalah : “the state or condition of a person (individual,

partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become deu”. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”. 15

Dari pengertian di atas, dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan

dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang (debitor) atas

utang-utangnya yang telah jatuh tempo.

Pengertian kepailitan, secara defenitif tidak ada pengaturannya atau

penyebutannya di dalam Undang-Undang Kepailitan. Namun para sarjana

kebanyakan mendasarkan defenisi kepailitan dari berbagai sudut pandang, juga dari

berbagai pasal di dalam Undang-undang itu sendiri. Kepailitan adalah suatu sitaan

dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang-orang yang berhutang) untuk

kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang-orang berpiutang) bersama-sama,

yang pada waktu itu debitur dinyatakan pailit mempunyai hutang dan untuk jumlah

piutang masing-masing kreditur memiliki pada saat itu.

Jika diperhatikan didalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun

1998 disebutkan bahwa : Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak

membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan

15

(31)

pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam

pasal 2, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih

krediturnya.16

Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata berpendapat bahwa

kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran semua

berpiutang.17 JCT. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoyo, dalam bukunya

Pelajaran Hukum Indonesia menyatakan bahwa kepailitan adalah suatu Beslag

Eksekutorial yang dianggap sebagai hak kebendaan seseorang terhadap barang

kepunyaan debitor.18 Kartono dalam bukunya Kepailitan dan Pengunduran

Pembayaran, bahwa kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan

si debitor untuk kepentingan seluruh kreditornya bersama-sama, yang pada waktu si

debitor dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang

masing-masing kreditor miliki pada saat itu. 19

Jadi, berdasarkan definisi atau pengertian di atas, maka dapatlah ditarik

unsur-unsur kepailitan, sebagai berikut :20

1. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor.

2. Sita itu semata-mata mengenai harta kekayaan.

3. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para kreditornya bersama-sama.

16

Warta Perundang-undangan : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998

Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 Perubahan Undang-undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang, (Jakarta, Warta Perundang-undangan, 1998).

17

(32)

Dewasa ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal kepailitan dalam

hukumnya. Di Indonesia sendiri, secara formal hukum kepailitan sudah diatur dalam

sebuah undang-undang khusus. Sementara seiring dengan waktu yang berjalan,

kehidupan perekonomian berlangsung pesat, maka wajarlah bahkan sudah semakin

mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang dapat menjawab berbagai kondisi

yang terjadi, yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang

perusahaan yang besar penyelesainnya terhadap kehidupan perekonomian nasional.

Mengingat restrukturisasi utang masih belum dapat diharapkan akan

berhasil baik, sedangkan upaya melalui kepailitan dengan menggunakan

Faillissementsverordening yang masih berlaku dapat sangat lambat prosesnya dan

tidak dapat dipastikan hasilnya, maka kreditur, terutama kreditur luar negeri,

menghendaki agar Peraturan Kepailitan Indonesia, yaitu Faillissements Verordening,

secepatnya dapat diganti atau dirubah. IMF sebagai pemberi utang kepada pemerintah

Republik Indonesia berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter

Indonesia tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri

dari para pengusaha Indonesia kepada para kreditur luar negerinya dan upaya

penyelesaian kredit-kredit macet perbankan Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana

telah disebutkan di atas, maka IMF mendesak pemerintah Indonesia agar secara resmi

mengganti atau mengubah Peraturan Kepailitan berlaku, yaitu Faillissements

Verordening, sebagai sarana penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada

para krediturnya. Sebagai hasil desakan IMF tersebut, akhirnya lahirlah Peraturan

(33)

Undang-Undang tentang Kepailitan (Perpu Kepailitan). Perpu tersebut mengubah dan

menambah Peraturan Kepailitan (Faillissementsverordening). Berdasarkan

perkembangan yang terjadi, selanjutnya oleh Pemerintah dianggap perlu untuk

melakukan perubahan terhadap undang-undang kepailitan di atas yang dilakukan

dengan memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang

dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum

dalam masyarakat, yang jika ditinjau dari materi yang diatur masih memiliki banyak

kelemahan. Oleh karena hal tersebut di atas, maka pemerintah menganggap perlu

untuk menerbitkan undang-undang kepailitan yang baru, yaitu UU No. 37 Tahun

2004 tentang kepailitan dan penundaan pembayaran utang yang dianggap perlu

karena : 21

1. untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada

beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur.

2. untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang

menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan

kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.

3. untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah

seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya, debitur berusaha untuk memberi

keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditur tertentu sehingga kreditur

lainnya dirugikan atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan

21

(34)

semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya

terhadap para kreditur.

Sebagaimana telah disinggung di atas, di dalam perkara kepailitan ditemukan

pihak-pihak yang mengajukan di diajukan dalam permhonan pernyataan kepailitan.

Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak yang

mengajukan atau pemohon pailit yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk

mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut

sebagai pihak Penggugat (Pemohon Pailit).

Di dalam Pasal 2 UU Kepailitan yang baru yaitu UU No. 37 Tahun 2004

terdapat 6 (enam) pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu :

1. Debitor itu sendiri.

2. Satu atau lebih kreditor.

3. Kejaksaan untuk kepentingan umum.

4. Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank.

5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debitornya adalah perusahaan

Efek.

6. Menteri Keuangan jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi.

Demikian beberapa pihak yang dapat mengajukan kepailitan seperti yang

diatur di dalam UU No. 37 Tahun 2004. Dengan diaturnya pihak-pihak yang dapat

(35)

tercapai proses penegakan hukum, sehingga keadilan dan kepastian hukum dan

kemanfaatan.

Lembaga kejaksaan sebagai salah satu pihak yang berhak mengajukan

permohonan kepailitan, berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia, mempunyai tugas dan wewenang kejaksaan, sebagai berikut : 22

1). Di bidang Pidana :

a. Melakukan penuntutan.

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,

putuan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyararat.

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang.

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2). Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat

bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara

atau pemerintah.

3). Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut

menyelenggarakan kegiatan :

22

(36)

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat.

b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum.

c. Pengawasan peredaran barang cetakan.

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan msyarakat dan negara.

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa lembaga kejaksaan di

Indonesa sebagai salah satu aparat penegak hukum, memiliki fungsi yang besar dan

strategis. Hal ini disebabkan karena kejaksaan memiliki tugas dan wewenang yang

bukan hanya di bidang Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, juga dalam bidang

ketertiban dan ketentraman umum, termasuk mengajukan permohonan kepailitan

apabila memang kepentingan umum mengharuskan hal tersebut.

UU No. 16 Tahun 2004 mengukuhkan beberapa fungsi dan tugas lembaga

kejaksaan yang bersifat represif maupun preventif yang berkenaan dengan ketertiban

dan ketenteraman umum, antara lain meningkatkan kesadaran hukum masyarakat,

mengamankan kebijakan penegakan hukum, mengawasi peredaran barang cetakan

dan mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan

negara.

Fungsi lembaga kejaksaan dalam penegakan hukum pidana sudah lama

dikenal, tetapi fungsi kejaksaan di luar hukum pidana, termasuk penegakan hukum

kepailitan nampaknya masih kurang popular. Sebenarnya fungsi lembaga kejaksaan

(37)

merupakan wakil negara dalam hukum, yang selanjutnya dikenal dan ditegaskan lagi

sebagai Jaksa Pengacara Negara. Sebenarnya fungsi jaksa sebagai pengacara negara

bukanlah hal yang baru, karena telah menjadi hukum berdasarkan Koninklijk Besluit

tertanggal 27 April 1922 (Stb. 22 – 522). Selanjutnya di dalam UU No. 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa pejabat

pemerintah manapun yang melakukan tindakan hukum melalui keputusan dan

ketetapannya harus menerapkan asas pemerintahan yang baik. Kalau hal tersebut

tidak dilaksanakan, maka hakim Tata Usaha Negara dapat membatalkan keputusan

atau ketetapan tersebut. Dalam rangka inilah kejaksaan dapat memainkan peranan

yang penting sebagai pengacara negara untuk membela dan memberikan nasihatnya

kepada para pejabat pemerintah.23

Berdasarkan perkembangan selanjutnya mengenai Jaksa Pengacara Neara

dalam bidang Perdata dan Tata Usaha Negara diatur di dalam KEPJA nomor :

KEP-039/J.A/4/1993 tanggal 1 April 1993 tentang Administrasi Perkara DATUN dan

surat edaran JAM DATUN nomor : B-039/G/4/1993, tanggal 27 April 1993, tanggal

27 April 1993 tentang Sebutan Jaksa Pengacara Negara bagi Jaksa yang

melaksanakan tugas DATUN, maka istilah resmi yang digunakan para Jaksa dalam

melaksanakan tugas serta fungsi DATUN adalah Jaksa Pengacara Negara (JPN) dan

diatur juga pada Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 tentang Lembaga Kejaksaan

23

(38)

Republik Indonesia dan sekarang diatur dalam Pasal 32 UU No. 16 Tahun 2004

tentang Lembaga Kejaksaan Republik Inonesia. 24

Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, fungsi lembaga kejaksaan

dilaksanakan dengan melakukan kegiatan-kegiatan bantuan hukum, penegakan

hukum, pelayanan hukum, pertimbangan hukum dan tindakan hukum lain. Tata cara

pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut diatur dalam Instruksi Jaksa Agung nomor :

INS-01/Q/12/1992, nomor : INS-02/Q/12/1992 dan nomor : INS-03/Q/12/1992.25

Apabila dicermati lebih lanjut ada persamaan antara fungsi lembaga kejaksaan dalam

penegakan hukum pidana dengan fungsi lembaga kejaksaan dalam hukum perdata

khususnya dalam hukum kepailitan, dimana keduanya berasal dari peraturan

perundang-undangan.

Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat disimpulkan

bahwa tugas dan wewenang lembaga kejaksaan meliputi : 26

1). Penuntut umum.27

24

Suhadibroto, Himpunan Pentunjuk Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI, 1994), hal. 154.

25

Ibid.

26

Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi,:

http://www.geocities.com/tapakkaki2002/undang2.htm, terakhir diakses pada tanggal 12 Februari 2008. Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara yang merulpakan landasan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan sumber daya alam, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa : bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sumber daya alam tersebut berdasarkan Penjelasan UUD 1945 tersebut adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, dan dipergunakan sebesar-besarnya (untuk) kemakmuran rakyat.

27

(39)

2). Penyidik28 tindak pidana tertentu.

3). Mewakili negara/pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara.

4). Memberi pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah.

5). Mewakili kepentingan umum.

Tugas dan wewenang lembaga kejaksaan tersebut sangat luas untuk

kepentingan umum yang di dalamnya menjangkau area hukum pidana, perdata

maupun tata usaha negara. Tugas dan wewenang yang sangat luas ini pelaksanaannya

dipimpin dan dikendalikan serta dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang diberi

predikat Jaksa Agung. Oleh karena itu, peranan Jaksa Agung dalam kehidupan

bernegara menjadi sangat krusial (vitally important), lebih-lebih pada saat ini, dimana

negara sedang dalam proses reformasi yang salah satu agendanya adalah terwujudnya

supremasi hukum.

Salah satu wewenang kejaksaan di bidang perdata adalah kejaksaan dapat

mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum terhadap debitor yang tidak

mampu lagi membayar beberapa utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat

ditagih. Berdasarkan keputusan Hof Amsterdam 9 November 1922, N.J. 1923, 171,

alasan kepentingan umum itu ada bilamana tidak dapat lagi dikatakan ada

28

Keterangan Ahli/Keterangan Visum Et-Repertum,

http://www.informatika.polri.go.id/informatika/m2_link_042.html), terakhir diakses pada tanggal 3 April 2008. Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP Pasal 2 yang berbunyi :

(1). Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Pelda Polisi.

(2). Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Serda Polisi. (3). Kapolsek yang berpangkat Bintara di bawah Pelda Polisi karena jabatannya adalah Penyidik.

(40)

kepentingan-kepentingan perseorangan, melainkan alasan-alasan yang bersifat lebih

umum dan lebih serius yang memerlukan penanganan oleh suatu lembaga/alat

perlengkapan negara.29 Oleh sebab itu, penafsirannya diserahkan pada doktrin dan

jurisprudensi. Praktik hukum menunjukkan bahwa kepentingan umum ada apabila

tidak ada lagi kepentingan perseorangan, melainkan alasan-alasan yang bersifat

umum dan lebih serius yang mengesankan penanganan oleh lembaga/alat

kelengkapan negara. 30 Menurut M.H. Tirtaatmidjaja, pailit itu juga dapat dinyatakan

atas tuntutan jaksa, tuntutan mana harus berdasarkan alasan-alasan untuk tidak

menyelesaikan urusan-urusannya, atau ia sedang berusaha menggelapkan harta

kekayaannya dengan merugikan kreditur-krediturnya.31

Dalam ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diatur

juga mengenai kedudukan, tugas dan wewenang lembaga kejaksaan mengenai

pembubaran perseroan berdasarkan putusan pengadilan yang dapat dimohonkan oleh

lembaga kejaksaan, yakni : 32

(a). Lembaga kejaksaan berdasarkan alasan yang kuat bahwa perseoran melanggar

kepentingan umum atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar

peraturan perundang-undangan.

(b). Permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum

dalam akta pendirian;

29

Chaidir Ali, Himpunan Yurisprudensi, Hukum Dagang di Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982), hal. 219.

30

Zainal Asikin, Op.cit, hal. 36.

31

Viktor M. Situmorang & Hendri Soekarso, Op. cit, hal. 49.

32

(41)

Berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan tersebut tampak jelas

bahwa lembaga kejaksaan memiliki wewenang dalam menangani perkara-perkara

perdata, termasuk di dalamnya perkara-perkara niaga di Indonesia.

Permohonan kepailitan yang diajukan oleh lembaga kejaksaan berdasarkan

UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang adalah untuk kepentingan umum. Pengertian umum mencakup arti yang sangat

luas. Pengertian kepentingan umum dalam hal tertentu memang tercantum dalam

berbagai peraturan perundang-undangan, akan tetapi tidak diatur secara spesifik

dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai

kepentingan umum.

Di dalam PP No. 17 Tahun 2000 dinyatakan bahwa kejaksaan memiliki

wewenang untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah untuk dan atas

nama kepentingan umum kepada Pengadilan Niaga di daerah tempat kedudukan

hukum Debitur.33 Kewenangan tersebut dapat dilakukan oleh kejaksaan dengan

alasan kepentingan umum, apabila :

a. Debitur mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya 1

(satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih;

b. Tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit.34

33

Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pailit untuk Kepentingan umum.

34

(42)

Di dalam Penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang

Permohonan Pailit untuk Kepentingan umum juga belum diberikan batasan yang

jelas mengenai kepentingan umum. Apabila Kejaksaan mengajukan permohonan

pernyataan pailit, maka dengan sendirinya kejaksaan bertindak demi dan untuk

mewakili umum. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” hanya dikatakan

hanyalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat,

misalnya :

a. Debitor melarikan diri.

b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan.

c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha

lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat.

d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat

luas.

e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah

utang-piutang yang telah jatuh tempo.

f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.35

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, juga

tidak ditemukan definisi yang sifatnya definitif mengenai kepentingan umum.

UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan tidak memberikan definisi tentang

kepentingan umum. Di dalam undang-undang ini hanya dinyatakan bahwa perkara

35

(43)

permohonan kepailitan menjadi kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa

atau memutuskannya. Undang-undang tersebut tidak mengenal atau tidak

membedakan adanya aspek kepentingan publik atau kepentingan orang perorang.

Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 hanya menentukan mengenai kepentingan

publik dalam hal : “debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak

membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,

dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan”. Berdasarkan hal tersebut, berarti tidak

ada pembedaan mengenai kualitas/status debitur, maka kreditur dapat mengajukan

permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga yang memenuhi syarat

undang-undang tersebut untuk dinyatakan pailit.

Selanjutnya PP No. 17 Tahun 2000 juga tidak memberikan pengertian yang

konkrit mengenai kepentingan umum. PP No. 17 Tahun 2000 hanya memberikan

contoh mengenai alasan-alasan kepentingan umum yang memungkinkan lembaga

kejaksaan mengajukan permohonan kepailitan. Selanjutnya dalam salah satu alasan

adalah bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan apabila menurut

kejaksaan hal tersebut memang merupakan kepentingan umum.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan PP No. 17 Tahun 2000, lembaga

kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan atas inisiatif sendiri atau

berdasarkan masukan dari masyarakat, lembaga, instansi pemerintah dan badan lain

yang dibentuk oleh pemerintah seperti Komite Kebijakan Sektor Keuangan. Yang

(44)

memungkinkan kejaksaan mengajukan permohonan kepailitan selain hal-hal yang

disebutkan di dalam PP No. 17 Tahun 2000 di atas khususnya terhadap kasus-kasus

permohonan kepailitan yang diajukan oleh jaksa atas inisiatif sendiri karena lembaga

kejaksaan menilai hal itu sebagaimana kepentingan umum. Karena itu, perlu

ditemukan definisi kepentingan umum (kepentingan publik), untuk mencegah

perdebatan yang tidak menentu tentang kepentingan umum.

Kepentingan umum disini bisa disama artikan dengan kepentingan umum

sebagai lawan kata dari kepentingan privat atau kepentingan orang perorang.

Namun, dapat diduga selanjutnya akan timbul pertanyaan mengenai apa arti

“umum” dan “orang perorang” itu.36

Pengertian kepentingan umum sering dijumpai sangat berbeda rumusannya

satu dengan yang lainnya. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, menentukan bahwa

cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak

dikuasai oleh negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 tersebut,

kepentingan umum harus memenuhi syarat-syarat, yaitu :

(1) Produksi yang penting bagi negara.

(2) Menguasai hajat hidup orang banyak.37

36

Parwoto Wignjosumarto, Aspek Perlindungan Kepentingan Publik dalam Peradilan

Kepailitan, makalah disampaikan pada Diskusi bulanan Judicial Watch Indonesia, dengan tema :

“Aspek Perlindungan Publik dalam Peradilan Kepailitan, yang diselenggarakan oleh Judicial Watch

Indonesia pada tanggal 29 Juli 2002 di Jakarta

37

(45)

Dari Penjelasan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, terlihat bahwa alasan

penguasaan negara atas kedua syarat tersebut adalah agar tampuk produksi tidak

jatuh ke tangan orang perorang yang berkuasa dan rakyat banyak akan ditindasnya.

Dari bunyi dan Penjelasan Pasal tersebut dapat ditarik batas antara kepentingan

umum dan orang perorang. Dari sinilah lahir pembentukan Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.

UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa

perseroan terbuka adalah perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya

memenuhi kriteria tertentu atau perseroan yang melakukan penawaran umum, sesuai

dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.38

Perseroan terbuka dapat diketahui dengan pencantuman kata “Tbk” di

belakang Perseroan Terbatas (PT) tersebut,39 dan hal ini untuk membedakan dengan

perseroan Terbatas Tertutup.40 Selanjutnya di dalam undang-undang ini juga

dinyatakan bahwa hal ini dilaksanakan oleh suatu perusahaan publik,41 yaitu

perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga

ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya

Rp. 3. 000.000.000,- (tiga milyar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan

modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.42 Dari ketentuan

tersebut di atas, dapat ditarik suatu garis bahwa 300 (tiga ratus) pemegang saham

38

Pasal 1 ayat (7) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

39

Pasal 16 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

40

Penjelasan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

41

Pasal 1 ayat (8) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

42

(46)

yang menyetor modal perseroan sebesar Rp. 3. 000.000.000,- (tiga milyar rupiah)

menjadi syarat adanya kepentingan publik.

Pengertian kepentingan umum yang lain juga dapat dilihat seperti di dalam

Pasal 1 Undang-Undang no 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah

dan benda-benda yang ada diatasnya: Untuk kepentingan umum, termasuk

kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula

kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah

mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan

dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

Ketentuan lain yang menyangkut tanah yang menyebut mengenai

"kepentingan umum" adalah Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah

bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal 1 butir 3 dari

keppres tersebut menyebutkan :”kepentingan umum adalah kepentingan seluruh

lapisan masyarakat. Jelas definisi ini sangat tidak membantu. Kemudian, Keppres

tersebut juga menyebutkan :

(1) Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah

serta tidak digunakan untuk menerima keuntungan, dalam bidang-bidang antara

lain sebagai berikut:

a. Jalan umum, saluran pembuangan air.

b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi.

c. Rumah Sakit Umum dan Pusat Kesehatan Masyarakat.

(47)

e. Peribadatan.

f. Pendidikan atau sekolahan.

g. Pasar Umum atau Pasar Inpres.

h. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan

bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana.

i. Pos dan telekomunikasi

j. Sarana olah raga.

k. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya.

l. Kantor pemerintah.

m. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

(2) Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain dimaksud dalam angka 1

adalah yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

“Keputusan Presiden” disini dapat membuka peluang untuk penafsiran

subyektif dari penguasa mengenai "kepentingan umum". Dengan terbukanya peluang

yang demikian itu tidak mustahil pengadaan tanah yang seharusnya hanya boleh

untuk kepentingan umum (kepentingan seluruh lapisan masyarakat saja),

kenyataannya hanyalah untuk kepentingan kroni penguasa sebagai akibat kolusi

penguasa dengan pengusaha yang lebih lanjut akan melahirkan korupsi.

Selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-undang No.

7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, menyebut pula tentang "kepentingan

umum". Pengertian usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum ialah

Referensi

Dokumen terkait

Glukosa darah adalah glukosa yang terdapat dalam darah yang terbentuk.. dari karbohidrat dalam makanan dan disimpan sebagai glikogen di hati dan

Dan adapun pengaruh negatif dari pandemi covid-19 dalam KMB SD/MI diantaranya yaitu Kurang efektifnya sistem belajar mengajar, anak lebih sulit dalam memahami, dapat

Dari grafik hubungan Flow dengan kadar serat eceng gondok diatas, didapat hasil terbaik dari penambahan serat dan pada perhitungan didapatkan nilai flow terbaik

Ekstrak menggunakan pelarut n-heksan mengandung alkaloid dengan kadar tanin sebesar 110 ppm, ekstrak menggunakan pelarut etil asetat mengandung alkaloid dengan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembauran Kebangsaan di Daerah;.. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006

Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Sains Program Studi Ilmu Hubungan Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan

Dengan adanya sistem informasi manajemen logistik ini diharapkan dapat mudahkan dalam melakukan penginputan data material, data proyek, data suplier dan memudahkan

Pola mengajarkan anak untuk selalu dapat menutup aurat mereka, bisa dengan cara memberikan contoh perbuatan atau tindakan dari kedua orang tuanya, sebagai contoh: