STANDAR KEPENTINGAN UMUM DALAM PERMOHONAN
KEPAILITAN OLEH KEJAKSAAN MENURUT
HUKUM KEPAILITAN
T E S I S
Oleh
AGUSSALIM NASUTION
067005027 / HK
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
NAMA MAHASISWA : AGUSSALIM NASUTION NOMOR POKOK : 067005027
PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU HUKUM
JUDUL TESIS : STANDAR KEPENTINGAN UMUM DALAM
PERMOHONAN KEPAILITAN OLEH KEJAKSAAN MENURUT HUKUM KEPAILITAN
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH K e t u a
Dr. Sunarmi, SH.M.Hum Dr. T. Keizerina Devi A, SH.CN, M.Hum A n g g o t a A n g g o t a
Ketua Program Studi Ilmu Hukum D i r e k t u r
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B, MSc.
ABSTRAK
Gejolak moneter yang melanda Asia pada pertengahan tahun 1997 turut pula menyerang dan merusak tatanan pilar ekonomi Indonesia. Ditandai dengan jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat pada tanggal 14 Agustus 1997, yakni dengan berubahnya sistem pertukaran menjadi free-floating system, berakibat dengan nilai rupiah yang terjun bebas dan terjadinya inflasi tinggi. Terperosoknya nilai tukar rupiah dan setidaknya telah memunculkan 3 (tiga) negatif terhadap perekonomian nasional, yaitu Negative Balance of Payments (Neraca Pembayaran Negatif), Negative Spread (Selisih Bunga Negatif di bidang keuangan) dan Negative
Equity (Defisit Modal). Kondisi ini juga mengakibatkan melemahnya kemampuan
perusahaan memenuhi kewajibannya terhadap kreditor, bahkan ada yang sama sekali dalam kondisi yang tidak mampu membayar lagi. Hal ini menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memperbaiki berbagai peraturan yang ada, yakni dengan membuat Perppu NO. 1 Tahun 1998 yang kemudian menjadi UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Tugas dan wewenang kejaksaan sebenarnya sangat luas menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Bahwa tugas-tugas kejaksaan dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu pertama, tugas yudisial, dan kedua, tugas non-yudisial. Meskipun demikian tugas yudisial kejaksaan sebenarnya bertambah, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1991 jo UU No. 16 Tahun 2004, kejaksaan mendapat kewenangan sebagai pengacara pemerintah atau negara. Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 menyatakan bahwa, “ di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Kejaksaan, seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 diatur bahwa kejaksaan sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan kepailitan, dapat menggunakan haknya untuk mengajukan kepailitan terhadap seorang kreditor yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dengan persyaratan yang harus dipenuhi adalah tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan serupa. Wewenang mengajukan permohonan pailit yang diberi kepada Kejaksaan adalah demi kepentingan umum.
atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh tempo dan dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
Maka untuk mengetahui mengenai standar kepentingan umum yang menjadi pedoman bagi lembaga kejaksaan dalam mengajukan permohonan kepailitan, penulis mengadakan penelitian dengan menggunakan metode penelitian yuiridis normative terhadap Putusan Pengadilan Niaga Medan atas perkara No. : 02/Pailit/2005/PN-Niaga/Medan, yang merupakan perkara pailit yang pertama yang diajukan oleh lembaga kejaksaan DI Indonesia. Dalam perkara tersebut Jaksa selaku Pengacara Negara demi kepentingan umum mengajukan kepailitan terhadap PT. Aneka Surya Agung (420 orang karyawan eks PT. Aneka Surya Agung) yang belum dibayar gajinya sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, utang PT. Aneka Surya Agung yang telah jatuh tempo dan belum dibayar kepada beberapa BUMN, seperti PT. Telkom, PT. PLN, PT.Bank Negara Indonesia (BNI) dan PT. JAMSOSTEK.
Dari hasil penelitian penulis, nyatalah bahwa Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam memiliki kompetensi untuk mengajukan permohonan kepailitan kepada PT. Aneka Surya Agung, karena walaupun undang-undang belum merumuskan secara tegas mengenai pengertian kepentingan umum, akan tetapi kepentingan umum yang menjadi dasar pengajuan permohonan kepailitan oleh kejaksaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 telah dipenuhi, yaitu kreditor yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada masyarakat luas (dalam hal ini 420 orang karyawan eks PT. Aneka Surya Agung yang belum dibayar gajinya sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) dan kepada beberapa BUMN seperti seperti PT. Telkom, PT. PLN, PT.Bank Negara Indonesia (BNI) dan PT. JAMSOSTEK, dimana dalam hal ini tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan serupa. Saran yang dapat diajukan penulis adalah Pemerintah hendaknya lebih memperjelas maksud dan pengertian “kepentingan umum” yang menjadi dasar bagi lembaga kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum. Karena rumusan yang jelas dan baku tentang “kepentingan umum” di dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan penafsiran dan interpretasi yang berbeda nantinya tentang “kepentingan umum”, selain itu masyarakat juga harus lebih berperan serta dengan aktif untuk melaporkan berbagai kasus kepailitan yang terjadi sehingga jaksa sebagai pihak yang berkompeten mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum dapat menjalankan peran, fungsi dan kedudukannya dengan lebih baik berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Permohonan Penundaan Pembayaran Utang.
ABSTRACT
The monetary fluctuation which overwhelmed in all over Asis in the middle of 1997 also attacked and broke down the economic pillar of Indonesia. Marked with the fallof the price exchange of Rupiah over us Dollar on August 14th 1997, followed with the change of the system into free-floating system, the fall of the price exchange of Rupiah and at least has caused 3 (three) negatives on the national economy, which are Negative Balance of Payments, Negative Spread and Negative Equity. This condition has also made the company frailed it’s ability to fulfill it’s obligation over the creditors, in fact there were ssome of them which were in the condition of not being able to pay at all. This condition has made the government issued the new policy to fix the rules which exist at present, by providing govement regulation to replace law (Perppu) No.1 1998which later became the institution (UU) No. 37 2004 which consist about the Palitness and the delay of obligation and Debt Payment.
The duty and the Authority of the District Attorney office is actually extensively reach the criminal side of law, the civil and the National Administration Court of Justice. That the duties of the District Attorney office can be devided into two fields of work, the first one is the judicial duty and the second one is the non-judicial. Even so the judicial duty of the District Attorney office is actually in creased based decree (UU) No. 5 1991 Jo UU (institution) No. 16 2004, the District Attorney office has the authority as the government or state prosecutor. Decree (UU) No. 5 1991 section 27 sub section (2) declare that “ in the civil court of jaustice and National Administration, the District Authorney office with the special authority has the ability to take action inside and outside the court for and in the name of the state or government”. Therefore, based on the office regulations, as being regulated in the decree (UU) No.37 2004 section (2) sub-section (2) Jo Government Regulation No.17 2000 said the District Attorney office as one that can file for the bankruptcy, can use it’s rights to file for the bankruptcy against the creditor who cannot afford to pay its debt which is fail due and can be changed, under the conditions of which must be fulfilled which there is no other which is given to the District of Authorney office is for the sake of public interests.
Therefore, in order to find out about the standard public interest which is considered to be the orientation for the District Auttorney office in filing the petition of bankruptcy, the writer conducted the reseach by using the normative judicial reseach method on the decision of court of commerse under the case No : 02/Pailit/2005/PN-Niaga/Medan, which dealed with the case of bankrupt over PT. Aneka Surya Agung which has reach the time limitation and has not been payed to several state-owned, corporation, such as PT. Telkom, PT. PLN, PT. The National Bank of Indonesia (BNI) and PT. JAMSOSTEK.
From the writer’s result of reseach, it is true that the Lubuk Pakam District Attorney office has the competence to file for the petition of bankruptcy over PT. Aneka Surya Agung, because eventhough the institution has not strictly formulated about the defenition of the public interest still the public interest which is being the foundation to file the petition of bankruptcy the District Attorney office as being regulated in the Decree No.37 2004 section (2) sub-section (2) Jo Government Regulation No.17 2000 has been fulfilled, which says the creditor who cannot afford to pay its debt which is fall due and can be changed on the society (in this case, 420 employees of pormer PT. Aneka Surya Agung who have not been paid yet based on the institution No.13 2003 about labourship) and on several Nation Corporation such as PT. Telkom, PT. PLN, PT. The National Bank of Indonesia (BNI) and PT. JAMSOSTEK where there is no other side who file for the same petition. The suggestion which can be persuedby the writer is that the government should give more clear picture of what is meant by “Public Interest” which is considered to be the pondation for the District Attorney office to file for the petition of bankruptcy statement for the sake of the public interest. Because of the clear formulation and fulfledged of “Public Interest” in the government regulation to replace law. This issue is worried will cause the wrong interpretation about “Public Interest”, beside that, the society must also act more actively to report vatious bankruptcy cases occor, so that the prosecutor as the competence side to file for the petition of bankruptcy statement better based on the Decree (UU) No. 37 2004 about the bankruptcy and the application of the delay on the debt payment.
KATA PENGANTAR
Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah mengkaruniai
kesehatan dan kelapangan berpikir kepada Penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah
dalam bentuk tesis ini dapat diselesaikan.
Karya merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk
memperoleh gelar Magister Humaniora sehingga Penulis harus melengkapi syarat
tersebut dengan penyusunan tesis yang berjudul : “Standar Kepentingan Umum
Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut Hukum Kepailitan”.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K) selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam
menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Medan.
2. Prof. Dr. Ir. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Medan beserta seluruh staf, atas kesempatan dan
fasilitas yang diberikan dalam meneyelesaikan pendidikan ini.
3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH, selaku pembimbing utama, Ibu Dr.
Sunarmi, SH.M.Hum dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi. A, SH.CN, M. Hum, atas
bimbingan, koreksi, perbaikan dan masukan yang diberikan dalam rangka
4. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara khususnya Bapak dan Ibu Dosen pada Sekolah Pascasarjana Program
Ilmu Hukum.
5. Isteri saya tercinta Umi Sri Rezeki Hasibuan, SH, dan anak-anak saya tersayang
Farisa Zhafirah Salim Nasution dan Kayla Annisa Salim Nasution yang telah
memberikan inspirasi dan motivasi kepada penulis untuk penyelesaian
penulisan tesis ini.
5. Seluruh rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu serta
rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
6. Seluruh pegawai sekretariat Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan kepada
penulis selama proses penulisan tesis ini.
Demikian Penulis sampaikan, kiranya tesis ini dapat bermanfaat untuk
menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita bersama.
Medan, September 2008
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ………. i
ABSTRACT ……….. iii
KATA PENGANTAR ……….. v
RIWAYAT HIDUP ………... viii
DAFTAR ISI ………. ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1
B. Rumusan Permasalahan .………... 15
C. Keaslian Penulisan ……… 16
D. Tujuan Penulisan ……….. 16
E. Manfaat Penulisan ……… 17
F. Kerangka Teori ………... 18
G. Metode Penelitian ………. 39
BAB II FUNGSI DAN WEWENANG LEMBAGA KEJAKSAAN PENGAJUAN PERMOHONAN KEPAILITAN A. Sejarah Lembaga Kejaksaan di Indonesia ………. 42
B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam Proses Penegakan Hukum ……… 52
C. Tinjauan Umum Mengenai Kepailitan berdasarkan UU…. No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan ….. Pembayaran Utang ……….. 82
BAB III STANDAR KEPENTINGAN UMUM DALAM PENGAJUAN
PERMOHONAN KEPAILITAN
A. Pengertian Kepentingan Umum ……….. 115
B. Karakteristik Kepentingan Umum ………. 122
C. Kepentingan Umum Dalam Berbagai Peraturan Perundang
Undangan di Indonesia ……… 131
D. Standar Kepentingan Umum Dalam Pengajuan permohonan
Kepailitan ………. 141
BAB IV PROSEDUR PERMOHONAN KEPAILITAN YANG DIAJUKAN OLEH KEJAKSAAN DEMI
KEPENTINGAN UMUM
A. Para Pihak Yang Terlibat dalam Proses Kepailitan …….
Berdasarkan UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan..
dan Penundaan Pembayaran Utang ……….. 152
B. Proses Acara Penyelesaian Perkara Kepailitan di ……….
Pengadilan Niaga ……….. 157
C. Upaya Hukum yang dilakukan Jaksa Pengacara Negara ...
Demi Kepentingan Umum ………. 167
D. Analisis Kasus Permohonan Kepailitan Yang diajukan ….
Oleh Jaksa Sebagai Pengacara Negara Demi Kepentingan
Umum ………. 173
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ………. 184
B. Saran ………. 188
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
NAMA : AGUSSALIM NASUTION
TEMPAT/TGL.LAHIR : MEDAN / 5 AGUSTUS 1975 JENIS KELAMIN : LAKI – LAKI
AGAMA : ISLAM
PEKERJAAN : PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)
PENDIDIKAN :
− SD Inpres No. 064037 (lulus tahun 1986)
− SMP Swasta Persatuan Amal Bhakti 10 (lulus tahun 1989)
− SMA Sawasta Joshua (lulus tahun 1992)
− FH Universitas Islam Sumatera Utara (lulus tahun 1997)
− Program Studi Magister Ilmu Hukum
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gejolak moneter yang melanda Asia pada pertengahan tahun 1997 turut pula
menyerang dan merusak tatanan pilar ekonomi Indonesia. Ditandai dengan jatuhnya
nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat pada tanggal 14 Agustus 1997,
yakni dengan berubahnya sistem pertukaran menjadi free-floating system, berakibat
dengan nilai rupiah yang terjun bebas dan terjadinya inflasi tinggi. Terperosoknya
nilai tukar rupiah, setidaknya telah memunculkan 3 (tiga) dampak negatif terhadap
perekonomian nasional, yaitu : 1
1. Negative Balance of Payments (Neraca Pembayaran Negatif).
Neraca pembayaran negatif terutama terjadi karena melonjaknya nilai tukar utang
dalam valuta asing (valas) kalau dirupiahkan. Utang perusahaan swasta dan
pemerintah yang cukup besar telah memperberat beban neraca pembayaran
sementara kenaikan nilai ekspor sebagai akibat dari terdepresiasinya nilai rupiah
tidak dapat dengan segera dinikmati.
2. Negative Spread (Selisih Bunga Negatif di bidang keuangan)
Negative spread terutama terjadi pada industri keuangan. Kebijakan pemerintah
untuk menaikkan suku bunga untuk mengerem laju permintaan valas telah
1
menyebabkan naiknya bunga bank. Sementara itu, dana yang terkumpul dari
masyarakat sulit disalurkan karena jarang ada perusahaan yang mampu
memperoleh margin di atas suku bunga.
3. Negative Equity (Defisit Modal)
Perusahaan yang terlanjur memperoleh kredit bank mengalami negative equity
karena nilai kekayaannya dalam rupiah tidak cukup lagi dan bahkan berbeda jauh
apabila dipersandingkan dengan nilai rupiah dari utang valas. 2
Dari sisi ekonomi patut disimak data yang dikemukakan oleh Lembaga
Konsultan (think tank) Econit Advisory Group, yang menyatakan bahwa tahun 1997
merupakan ‘Tahun Ketidak pastian” (A Year of Uncertainty). Sementara itu, Tahun
1998 merupakan “Tahun Koreksi” (A Year of Correction). 3 Pada pertengahan tahun
1997 terjadi depresiasi secara drastis nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing,
khususnya dari Dollar Amerika sekitar Rp. 2300,00 pada sekitar bulan Maret
menjadi sekitar Rp. 5000,00 per Dollar Amerika pada akhir tahun 1997. Bahkan pada
pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp. 16.000,00 per
Dollar Amerika Kondisi perekonomian ini mengakibatkan keterpurukan terhadap
pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6-7 % telah terkontraksi
menjadi minus 13-14 %. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10 % menjadi
sekitar 70 %. Banyak perusahaan yang kesulitan membayar kewajiban utangnya
2
Ibid, hal. 4.
3
terhadap para kreditor dan lebih jauh lagi banyak perusahaan mengalami
kebangkrutan (Pailit). Situasi dunia usaha menjadi tidak kondusif dalam melunasi
utang, sebab kewajiban dalam waktu singkat telah berkembang menjadi berlipat
ganda akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap semua mata uang asing lainnya,
apalagi sebagian besar pinjaman adalah dalam bentuk mata uang asing sedangkan
pendapatan usaha dalam bentuk rupiah dan kegiatan usaha telah lumpuh sebagai
akibat dari krisis moneter di Indonesia pada waktu itu telah berubah menjadi krisis
multidimensional. 4
Pada era globalisasi sekarang ini kegiatan-kegiatan usaha tidak mungkin lepas
dari berbagai masalah-masalah. Suatu perusahaan tidak selalu dapat berjalan dengan
baik dan seringkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga
perusahaan tersebut tidak sanggup lagi membayar utang-utangnya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kehidupan suatu perusahaan dapat saja dalam kondisi untung atau
dalam keadaan rugi. Kalau dalam keadaan untung, perusahaan berkembang dan terus
berkembang sehingga menjadi perusahaan raksasa. Sebaliknya, apabila perusahaan
menderita kerugian maka garis hidupnya menurun. Jadi, garis hidup suatu
perusahaan pada suatu saat naik dan pada saat lain menurun, begitu seterusnya
sehingga garis hidup perusahaan itu merupakan garis yang naik dan turun seperti
grafik.5
4
Ibid, hal. 2.
5
Krisis moneter dan perbankan yang melanda Indonesia telah memakan biaya
fiskal yang amat mahal yaitu mencapai 51% dari Product National Bruto (PDB).
Krisis tersebut telah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya stabilitas pasar
keuangan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan yang membentuk system
keuangan. Kestabilan pasar keuangan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan
yang selanjutnya mampu meredam krisis, sebenarnya merupakan interaksi dari
beberapa resiko yang harus selalu dikelola dengan baik. Salah satu risiko yang harus
dikelola dengan baik sehingga tidak menyebabkan kestabilan pasar keuangan dan
kesehatan lembaga keuangan terganggu dan pada akhirnya menyebabkan krisis
adalah gagalnya perusahaan di sektor riil mengembalikan pinjaman. Kegagalan
perusahaan dalam mengembalikan pinjaman dapat dikategorikan bahwa perusahaan
mengalami corporate failure (kepailitan).6
Dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan dan serba tidak menentu,
persoalan yang paling krusial adalah bagaimana menyelesaikan utang-piutang di
kalangan dunia usaha. Para kreditor baik asing maupun lokal dengan segala daya
upayanya mendesak agar kreditor yang mayoritas adalah pengusaha swasta nasional
segera melunasi kewajibannya.
Sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menyelesaikan berbagai
persoalan yang timbul karena dampak krisis moneter, seperti untuk memberikan
6
Muliaman D Hadad, Wimboh Santoso dan Ita Rulina, Indikator Kepailitan di Indonesia : An
Additional Early Warning Tools Pada Stabilitas Sistem Keuangan, (Jakarta : Bank Indonesia,
kesempatan kepada pihak kreditor dan perusahaan debitor menyelesaikan
utang-piutangnya secara adil, meningkatkan kembali kepercayaan investor asing terhadap
jaminan penanaman modalnya di Indonesia, juga sebagai reaksi atas permintaan dari
Dana Moneter Internasional/International Monetery Fund (IMF) yang mendesak agar
Indonesia segera menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan
pemenuhan kewajiban oleh debitor kepada kreditor, akhirnya pemerintah Indonesia
melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan
perundang-undangan, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang Kepailitan yang
ada. Pada tanggal 22 April 1998, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Kepailitan guna menyempurnakan ketentuan kepailitan sebagaimana
diatur dalam Failissement Verordening Staatsblad No. 217 Tahun 1905 jo Staatsblad
No. 384 Tahun 1906. Perpu tersebut disahkan sebagai Undang-undang No. 4 Tahun
1998 tentang Kepailitan pada tanggal 24 Juli 1998. Sejalan tuntutan perkembangan
masyarakat, ketentuan tersebut dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan hukum
masyarakat, sehingga perlu dilakukan perubahan yang ditetapkan pada tanggal 18
Oktober 2004 melalui Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Berbagai perubahan di bidang hukum ini
diharapkan mampu menjawab berbagai persoalan yang berkaitan dengan krisis
moneter terutama dalam penyelesaian masalah utang-piutang yang selaras dengan
semangat pembangunan ekonomi nasional dan globalisasi.7
7
Masalah selanjutnya adalah bagaimana dan apa yang diperlukan untuk
membantu dunia usaha khususnya untuk mengatasi ketidakmampuan para debitor
untuk memenuhi kewajiban membayar utang pada para kreditor.
Secara teoritis, pada umumnya utang-piutang kreditor yang memiliki masalah
dengan kemampuan untuk memenuhi kewajibannya membayar utang dapat
menempuh berbagai alternatif penyelesaian. Kreditor dan debitor dapat
merundingkan permintaan penghapusan utang baik untuk sebagian atau seluruhnya,
dapat menjual sebagian asset atau bahkan usahanya serta dapat pula mengubah
pinjaman tersebut menjadi penyertaan saham. Para kreditor dapat menggugat
berdasarkan hukum Perdata yaitu mengenai wanprestasi atau ingkar janji bila debitor
mempunyai keuangan atau harta yang cukup untuk membayar utang-utangnya. Selain
itu, bila debitor tidak mempunyai keuangan, harta atau asset yang cukup sebagai
jalan terakhir barulah para kreditor menempuh pemecahan melalui peraturan
kepailitan seperti yang diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan cara mengajukan permohonan
pailit kepada Pengadilan Niaga di daerah wilayah hukumnya.
Kepailitan merupakan proses dimana : 8
1. Seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya
dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan
debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya.
Grafindo Persada, 2002), hal. 20-21.
8
Rudhy A. Lontoh, dkk, Hukum Kepailitan – Penyelesaian Utang-Piutang – Melalui Pailit
2. Harta debitor dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan peraturan
kepailitan.
Kepailitan berdasarkan Peraturan Pemerintah pengganti UU No.1 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas UU Kepailitan, yang menyebutkan:
1. Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri,
maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.
2. Permohonan sebagaimana disebut dalam butir di atas, dapat juga diajukan oleh
kejaksaan untuk kepentingan umum.
Kepailitan di dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 disebutkan
sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawaan Hakim Pengawas.
UU kepailitan pada dasarnya menyatakan bagaimana menyelesaikan sengketa
yang muncul di kala satu perusahaan tidak bisa lagi memenuhi kewajiban utang, juga
bagaimana menangani pertikaian antar individu yang berkaitan dengan bisnis yang
dijalankan. Ada beberapa kriteria penting :9
1. Pembukuan harus jelas. Penilaian aktiva harus transparan dan dengan cara yang
diakui umum (Internasional Standard)
2. Tingkat gradasi utang piutang berdasarkan tanggungan menentukan siapa yang
boleh didahulukan dalam menyelesaikan masalah utang. Misalnya: sebuah
9
perusahaan bangkrut, siapa yang berhak memperoleh pembayaran terlebih dahulu
dan siapa yang kemudian;
3. Acara hukum perdata mengatur siapa yang berkepentingan, pihak pengatur
kebangkrutan, pengadilan mana yang kompeten dan bagaimana cara/proses yang
harus dilakukan untuk menyelesaikan perkara ini;
4. Penetapan sanksi oleh pengadilan yang berwenang andaikata satu pihak tidak
memenuhi janji. Berapa waktu yg diberikan kepada perusahaan yang merasa
mampu membereskan utang-utangnya sendiri;
5. Sekalipun dinyatakan pailit, tentunya perusahaan masih bisa berjalan sementara.
Dalam hal ini ditetapkan persyaratan-persyaratannya dan siapa yang harus
mengawasi proses penyehatannya. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit tidak
perlu langsung menghentikan semua kegiatannya. Mereka harus diberi
kesempatan untuk membereskan keuangan dan kegiatan yang lain demi
kepentingan penagih utang.
6. Penyelesaian sengketa boleh dijalankan lewat arbitrase di luar pengadilan
Perusahaan dinyatakan pailit/bangkrut apabila dalam jangka waktu tertentu tidak
bisa melakukan pembayaran pokok dan atau bunganya. Kepailitan juga bisa
diminta pemilik perusahaan atau juga oleh para penagih utang.
Syarat-syarat untuk mengajukan pailit terhadap suatu perusahaan telah diatur
dalam Pasal 2 UU No.37 Tahun 2004. Dari syarat pailit yang diatur dalam pasal
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat yuridis agar dapat dinyatakan pailit
1. Adanya hutang;
2. Minimal satu dari hutang sudah jatuh tempo;
3. Minimal satu dari hutang dapat ditagih;
4. Adanya debitur
5. Adanya kreditur
6. Kreditur lebih dari satu
7. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan
Pengadilan Niaga.
8. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang yaitu :
a. Pihak debitur
b. Satu atau lebih kreditur
c. Jaksa untuk kepentingan umum
d. Bank Indonesia jika debiturnya bank
e. Bapepam jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan
penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian
9. Menteri Keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun
dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.
Dengan dinyatakan pailit maka seorang debitur pailit tidak memiliki
yang akan diterimanya selama kepailitan itu berlangsung. Kepailitan itu sendiri
mencakup : 10
1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan beberapa
pengecualian untuk si pailit perorangan) serta asset-asset yang diperoleh selama
kepailitannya.
2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas
kekayaannya yang termasuk harta kekayaan
Dalam Pasal 281 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998, telah dibentuk Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pengadilan khusus dalam
lingkup peradilan umum sesuai dengan Pasal 10 Undang-undang No. 14 Tahun 1970
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diperbarui dan
tertuang dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dengan salah satu kewenangannya untuk menangani
permasalahan kepailitan. Selanjutnya, guna memperluas wilayah cakupan kerja
Pengadilan Niaga, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan dan
Semarang, dengan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999.
Dengan dibentuk dan didirikannya Pengadilan Niaga tersebut, maka setiap
penyelesaian sengketa niaga, khususnya untuk menyelesaikan permohonan kepailitan,
seperti pembuktian dan verifikasi utang, actio pauliana, hingga pemberesan harta
pailit, menjadi kewenangan absolut Pengadilan Niaga. Sebagai catatan, selain
10
Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara Indonesia (Civil Law System)
memiliki kewenangan absolut terhadap setiap perkara kepailitan sebagai pelaksanaan
Perpu No. 1 tahun 1998. Sebagai perluasan kewenangan, Pengadilan Niaga memiliki
kompetensi pula untuk menyelesaikan beberapa sengketa di bidang perdagangan,
terutama Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) sebagaimana telah dialokasikan dari
beberapa ketentuan perundang-undangan HAKI. Hal tersebut dipahami seperti
tertuang dalam 50 program utama yang disyaratkan oleh International Monetary
Fund (IMF) di dalam Letter of Intent kepada pemerintah Indonesia, ide dasar
pembentukan Pengadilan Niaga tidak hanya semata untuk menyelesaikan
permasalahan kepailitan, namun juga untuk menangani permasalahan di bidang
perdagangan lainnya yang membutuhkan penanganan dalam jangka waktu yang
singkat dan efektif namun tetap memperhatikan jaminan dan kepastian hukum,
mengingat filosofi perdagangan itu sendiri yang menganut prinsip “time is money”.11
Di dalam perkara kepailitan dapat ditemukan pihak-pihak yang mengajukan
dan diajukan dalam proses kepailitan. Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara
kepailitan adalah pihak yang mengajukan atau pemohon pailit, yakni pihak yang
mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam
perkara pailit biasa disebut sebagai pihak penggugat (Pemohon Pailit).
Di dalam Pasal 2 UU Kepailitan yang baru yaitu UU No. 37 Tahun 2004
terdapat 6 (enam) pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu :
1. Debitor itu sendiri.
2. Satu atau lebih kreditor.
11
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum.
4. Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank.
5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debitornya adalah perusahaan
Efek.
6. Menteri Keuangan jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi.
Kejaksaan, seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004
sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan kepailitan, dapat menggunakan
haknya untuk mengajukan kepailitan terhadap seorang kreditor yang tidak mampu
membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Tetapi
persyaratan pada ayat (1) tetap harus dipenuhi, disamping alasan tidak ada pihak lain
yang mengajukan permohonan serupa. Wewenang serupa juga diberikan kepada
Bank Indonesia jika debitornya adalah bank, dan Bapepam jika debitornya
perusahaan efek. Wewenang mengajukan permohonan pailit yang diberi kepada
Kejaksaan demi kepentingan umum.
Dahulu, sebelum keluarnya UU No. 37 Tahun 2004, dalam Undang-Undang
Kepailitan tidak dijumpai penjelasan yang pasti tentang bagaimana batasan
kepentingan umum tersebut. Oleh sebab itu, penafsirannya diserahkan kepada
doktrin dan yurisprudensi. Praktik hukum menunjukkan bahwa kepentingan umum
ada apabila tidak ada kepentingan perorangan, melainkan alalsan-alasan yang bersifat
umum dan lebih serius yang mengesankan penanganan oleh lembaga/alat
Di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, diberikan
batasan mengenai kepentingan umum. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum”
adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat, misalnya :
a. Debitor melarikan diri.
b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan.
c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha
lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat.
d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat
luas.
e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah
utang-piutang yang telah jatuh tempo.
f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
Di dalam PP No. 17 Tahun 2000 diatur mengenai Permohonan Pernyataan
Pailit untuk Kepentingan Umum. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan tanpa
melalui jasa advokat. Dalam hal ini kejaksaan bertindak sebagai pengacara negara,
sehingga diwakili jajaran Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara
(Jamdatun). Peraturan yang tertera di dalam Pasal 7 UU No. 37 Tahun 2004 yang
mengharuskan permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang advokat tidak
berlaku bagi permohonan kepailitan yang diajukan oleh kejaksaan, maka sebagai
gantinya pihak kejaksaan harus membawa Surat Perintah Penunjukkan Jasa
Pada umumnya, tidak ada perbedaan mendasar dalam mekanisme
permohonan pailit yang diajukan kejaksaan dengan permohonan yang diajukan pihak
lain di luar kejaksaan. Di dalam UU No. 37 Tahun 2004, permohonan pernyataan
pailit demi kepentingan umum yang diajukan oleh kejaksaan harus diajukan kepada
kepada Ketua Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi wilayah hukum
debitor pailit dan harus didaftarkan melalui Panitera Pengadilan Niaga tersebut,
dimana kepada pemohon diberi tanda terima tertulis yang ditandatangani pejabat
yang berwenang pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Sama dengan
perkara Perdata pada umumnya, maka permohonan pernyataan pailit ini bentuknya
juga harus tertulis seperti halnya dengan surat gugatan yang memuat identitas para
pihak secara lengkap, dasar gugatan (Posita) dan hal-hal yang dimohonkan
(Petitum).12
Selanjutnya Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan
pailit bagi institusi jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat
tersebut. anitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua
Pengadilan paling lambat (dua) hari setelah tariggal permohonan didaftarkan. Dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.
Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka
waktu paling lambat 20 (duapuluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas
12
permohonan Debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda
penyelenggaraan sidang sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh Iima) hari
setelah tanggal permohonan didaftarkan.13
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti
lebih lanjut mengenai standar kepentingan umum yang melatarbelakangi pihak
kejaksaan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit. Apalagi dalam salah
satu point dinyatakan bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan
pailit dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. Apakah
standar atau kriteria untuk menentukan hal tersebut atau apakah kejaksaan harus
melakukan diskresi untuk menentukan kepentingan umum tersebut dan sebagainya.
B. Rumusan Permasalahan
Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan dalam
penelitian ini adalah, sebagai berikut :
1. Pertimbangan-pertimbangan apakah yang mendasari pemikiran pemberian
kewenangan kepada kejaksaan untuk mengajukan permohonan kepailitan?
2. Bagaimana standar kepentingan umum yang harus diperhatikan dalam pengajuan
permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh jaksa berdasarkan UU No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
13
3. Bagaimana proses pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh
jaksa untuk kepentingan umum melalui Pengadilan Niaga?
C. Keaslian Penulisan.
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa
penelitian tentang Standar Kepentingan Umum dalam Permohonan Kepailitan oleh
Kejaksaan menurut Hukum Kepailitan belum pernah dilakukan, baik dalam judul,
topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini adalah merupakan hal yang
baru dan asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif
dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun
sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.
D. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, adalah sebagai berikut :
Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk :
1. Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan yang mendasari pemikiran
pemberian kewenangan kepada kejaksaan untuk mengajukan permohonan
2. Untuk mengetahui standar kepentingan umum yang harus diperhatikan dalam
pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kejaksaan
berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004.
3. Untuk mengetahui proses pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan
oleh kejaksaan untuk kepentingan umum melalui Pengadilan Niaga.
E. Manfaat Penulisan
Dari sudut penerapannya dalam ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan
dapat memberi manfaat dan masukan dalam bidang hukum kepailitan di Indonesia
pada umumnya dan khususnya tentang permohonan pernyataan kepailitan yang
diajukan oleh kejaksaan.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, bagi berbagai
kalangan, yaitu :
1. Masyarakat umum
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat umum yang
mencari keadilan yang hak-haknya telah dirugikan oleh orang perorang ataupun
person maupun badan hukum, sehingga masyarakat mendapatkan kepastian dan
perlindungan hukum dari pihak-pihak yang telah merugikan mereka tersebut.
2. Lembaga Kejaksaan
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi lembaga kejaksaan dalam
rangka membantu masyarakat umum yang mencari keadilan dan memperjuangkan
sehingga lembaga kejaksaan dapat memberikan solusi yang tepat sehubungan dengan
kedudukan lembaga kejaksaan dalam menangani perkara kepailitan di Indonesia
khususnya mengajukan permohonan kepailitan demi kepentingan umum yang selama
ini kurang efektif walaupun telah diatur di dalam undang-undang, yaitu UU No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
3. Pemerintah secara umum
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah khususnya
untuk lebih menegaskan indikasi dan standar kepentingan umum dalam peraturan
perundang-undangan terhadap permohonan pernyataan kepailitan yang diajukan oleh
kejaksaan, sehingga akan lebih menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum.
F. Kerangka Teori
Bila ditelusuri secara lebih mendasar, istilah “pailit” dijumpai dalam
perbendaharaan bahasa Belanda, Prancis, Latin dan Inggris dengan istilah yang
berbeda-beda. Di dalam bahasa Prancis, istilah “Faillite” artinya pemogokan atau
kemacetan dalam melakukan pembayaran. Oleh sebab itu, orang mogok atau macet
atau berhenti membayar utangnya didalam dalam bahasa Prancis disebut “lefailli”.
Secara tata bahasa kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan
“pailit”. Di Negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan
kepailitan mempergunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy. .14
14
Salah satu pengertian kepailitan dapat kita lihat seperti apa yang dikemukakan
dalam salah satu kamus karangan Black Henry Campbell (Black’s Law Dictionary)
yang mengatakan bahwa :
Pailit atau bankrupt adalah : “the state or condition of a person (individual,
partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become deu”. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”. 15
Dari pengertian di atas, dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan
dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang (debitor) atas
utang-utangnya yang telah jatuh tempo.
Pengertian kepailitan, secara defenitif tidak ada pengaturannya atau
penyebutannya di dalam Undang-Undang Kepailitan. Namun para sarjana
kebanyakan mendasarkan defenisi kepailitan dari berbagai sudut pandang, juga dari
berbagai pasal di dalam Undang-undang itu sendiri. Kepailitan adalah suatu sitaan
dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang-orang yang berhutang) untuk
kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang-orang berpiutang) bersama-sama,
yang pada waktu itu debitur dinyatakan pailit mempunyai hutang dan untuk jumlah
piutang masing-masing kreditur memiliki pada saat itu.
Jika diperhatikan didalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun
1998 disebutkan bahwa : Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
15
pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih
krediturnya.16
Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata berpendapat bahwa
kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran semua
berpiutang.17 JCT. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoyo, dalam bukunya
Pelajaran Hukum Indonesia menyatakan bahwa kepailitan adalah suatu Beslag
Eksekutorial yang dianggap sebagai hak kebendaan seseorang terhadap barang
kepunyaan debitor.18 Kartono dalam bukunya Kepailitan dan Pengunduran
Pembayaran, bahwa kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan
si debitor untuk kepentingan seluruh kreditornya bersama-sama, yang pada waktu si
debitor dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang
masing-masing kreditor miliki pada saat itu. 19
Jadi, berdasarkan definisi atau pengertian di atas, maka dapatlah ditarik
unsur-unsur kepailitan, sebagai berikut :20
1. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor.
2. Sita itu semata-mata mengenai harta kekayaan.
3. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para kreditornya bersama-sama.
16
Warta Perundang-undangan : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998
Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 Perubahan Undang-undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang, (Jakarta, Warta Perundang-undangan, 1998).
17
Dewasa ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal kepailitan dalam
hukumnya. Di Indonesia sendiri, secara formal hukum kepailitan sudah diatur dalam
sebuah undang-undang khusus. Sementara seiring dengan waktu yang berjalan,
kehidupan perekonomian berlangsung pesat, maka wajarlah bahkan sudah semakin
mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang dapat menjawab berbagai kondisi
yang terjadi, yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang
perusahaan yang besar penyelesainnya terhadap kehidupan perekonomian nasional.
Mengingat restrukturisasi utang masih belum dapat diharapkan akan
berhasil baik, sedangkan upaya melalui kepailitan dengan menggunakan
Faillissementsverordening yang masih berlaku dapat sangat lambat prosesnya dan
tidak dapat dipastikan hasilnya, maka kreditur, terutama kreditur luar negeri,
menghendaki agar Peraturan Kepailitan Indonesia, yaitu Faillissements Verordening,
secepatnya dapat diganti atau dirubah. IMF sebagai pemberi utang kepada pemerintah
Republik Indonesia berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter
Indonesia tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri
dari para pengusaha Indonesia kepada para kreditur luar negerinya dan upaya
penyelesaian kredit-kredit macet perbankan Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana
telah disebutkan di atas, maka IMF mendesak pemerintah Indonesia agar secara resmi
mengganti atau mengubah Peraturan Kepailitan berlaku, yaitu Faillissements
Verordening, sebagai sarana penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada
para krediturnya. Sebagai hasil desakan IMF tersebut, akhirnya lahirlah Peraturan
Undang-Undang tentang Kepailitan (Perpu Kepailitan). Perpu tersebut mengubah dan
menambah Peraturan Kepailitan (Faillissementsverordening). Berdasarkan
perkembangan yang terjadi, selanjutnya oleh Pemerintah dianggap perlu untuk
melakukan perubahan terhadap undang-undang kepailitan di atas yang dilakukan
dengan memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang
dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum
dalam masyarakat, yang jika ditinjau dari materi yang diatur masih memiliki banyak
kelemahan. Oleh karena hal tersebut di atas, maka pemerintah menganggap perlu
untuk menerbitkan undang-undang kepailitan yang baru, yaitu UU No. 37 Tahun
2004 tentang kepailitan dan penundaan pembayaran utang yang dianggap perlu
karena : 21
1. untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada
beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur.
2. untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang
menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan
kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.
3. untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah
seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya, debitur berusaha untuk memberi
keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditur tertentu sehingga kreditur
lainnya dirugikan atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan
21
semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya
terhadap para kreditur.
Sebagaimana telah disinggung di atas, di dalam perkara kepailitan ditemukan
pihak-pihak yang mengajukan di diajukan dalam permhonan pernyataan kepailitan.
Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak yang
mengajukan atau pemohon pailit yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk
mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut
sebagai pihak Penggugat (Pemohon Pailit).
Di dalam Pasal 2 UU Kepailitan yang baru yaitu UU No. 37 Tahun 2004
terdapat 6 (enam) pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu :
1. Debitor itu sendiri.
2. Satu atau lebih kreditor.
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum.
4. Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank.
5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debitornya adalah perusahaan
Efek.
6. Menteri Keuangan jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi.
Demikian beberapa pihak yang dapat mengajukan kepailitan seperti yang
diatur di dalam UU No. 37 Tahun 2004. Dengan diaturnya pihak-pihak yang dapat
tercapai proses penegakan hukum, sehingga keadilan dan kepastian hukum dan
kemanfaatan.
Lembaga kejaksaan sebagai salah satu pihak yang berhak mengajukan
permohonan kepailitan, berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, mempunyai tugas dan wewenang kejaksaan, sebagai berikut : 22
1). Di bidang Pidana :
a. Melakukan penuntutan.
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putuan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyararat.
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang.
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2). Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara
atau pemerintah.
3). Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan :
22
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum.
c. Pengawasan peredaran barang cetakan.
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan msyarakat dan negara.
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa lembaga kejaksaan di
Indonesa sebagai salah satu aparat penegak hukum, memiliki fungsi yang besar dan
strategis. Hal ini disebabkan karena kejaksaan memiliki tugas dan wewenang yang
bukan hanya di bidang Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, juga dalam bidang
ketertiban dan ketentraman umum, termasuk mengajukan permohonan kepailitan
apabila memang kepentingan umum mengharuskan hal tersebut.
UU No. 16 Tahun 2004 mengukuhkan beberapa fungsi dan tugas lembaga
kejaksaan yang bersifat represif maupun preventif yang berkenaan dengan ketertiban
dan ketenteraman umum, antara lain meningkatkan kesadaran hukum masyarakat,
mengamankan kebijakan penegakan hukum, mengawasi peredaran barang cetakan
dan mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara.
Fungsi lembaga kejaksaan dalam penegakan hukum pidana sudah lama
dikenal, tetapi fungsi kejaksaan di luar hukum pidana, termasuk penegakan hukum
kepailitan nampaknya masih kurang popular. Sebenarnya fungsi lembaga kejaksaan
merupakan wakil negara dalam hukum, yang selanjutnya dikenal dan ditegaskan lagi
sebagai Jaksa Pengacara Negara. Sebenarnya fungsi jaksa sebagai pengacara negara
bukanlah hal yang baru, karena telah menjadi hukum berdasarkan Koninklijk Besluit
tertanggal 27 April 1922 (Stb. 22 – 522). Selanjutnya di dalam UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa pejabat
pemerintah manapun yang melakukan tindakan hukum melalui keputusan dan
ketetapannya harus menerapkan asas pemerintahan yang baik. Kalau hal tersebut
tidak dilaksanakan, maka hakim Tata Usaha Negara dapat membatalkan keputusan
atau ketetapan tersebut. Dalam rangka inilah kejaksaan dapat memainkan peranan
yang penting sebagai pengacara negara untuk membela dan memberikan nasihatnya
kepada para pejabat pemerintah.23
Berdasarkan perkembangan selanjutnya mengenai Jaksa Pengacara Neara
dalam bidang Perdata dan Tata Usaha Negara diatur di dalam KEPJA nomor :
KEP-039/J.A/4/1993 tanggal 1 April 1993 tentang Administrasi Perkara DATUN dan
surat edaran JAM DATUN nomor : B-039/G/4/1993, tanggal 27 April 1993, tanggal
27 April 1993 tentang Sebutan Jaksa Pengacara Negara bagi Jaksa yang
melaksanakan tugas DATUN, maka istilah resmi yang digunakan para Jaksa dalam
melaksanakan tugas serta fungsi DATUN adalah Jaksa Pengacara Negara (JPN) dan
diatur juga pada Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 tentang Lembaga Kejaksaan
23
Republik Indonesia dan sekarang diatur dalam Pasal 32 UU No. 16 Tahun 2004
tentang Lembaga Kejaksaan Republik Inonesia. 24
Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, fungsi lembaga kejaksaan
dilaksanakan dengan melakukan kegiatan-kegiatan bantuan hukum, penegakan
hukum, pelayanan hukum, pertimbangan hukum dan tindakan hukum lain. Tata cara
pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut diatur dalam Instruksi Jaksa Agung nomor :
INS-01/Q/12/1992, nomor : INS-02/Q/12/1992 dan nomor : INS-03/Q/12/1992.25
Apabila dicermati lebih lanjut ada persamaan antara fungsi lembaga kejaksaan dalam
penegakan hukum pidana dengan fungsi lembaga kejaksaan dalam hukum perdata
khususnya dalam hukum kepailitan, dimana keduanya berasal dari peraturan
perundang-undangan.
Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat disimpulkan
bahwa tugas dan wewenang lembaga kejaksaan meliputi : 26
1). Penuntut umum.27
24
Suhadibroto, Himpunan Pentunjuk Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI, 1994), hal. 154.
25
Ibid.
26
Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi,:
http://www.geocities.com/tapakkaki2002/undang2.htm, terakhir diakses pada tanggal 12 Februari 2008. Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara yang merulpakan landasan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan sumber daya alam, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa : bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sumber daya alam tersebut berdasarkan Penjelasan UUD 1945 tersebut adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, dan dipergunakan sebesar-besarnya (untuk) kemakmuran rakyat.
27
2). Penyidik28 tindak pidana tertentu.
3). Mewakili negara/pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara.
4). Memberi pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah.
5). Mewakili kepentingan umum.
Tugas dan wewenang lembaga kejaksaan tersebut sangat luas untuk
kepentingan umum yang di dalamnya menjangkau area hukum pidana, perdata
maupun tata usaha negara. Tugas dan wewenang yang sangat luas ini pelaksanaannya
dipimpin dan dikendalikan serta dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang diberi
predikat Jaksa Agung. Oleh karena itu, peranan Jaksa Agung dalam kehidupan
bernegara menjadi sangat krusial (vitally important), lebih-lebih pada saat ini, dimana
negara sedang dalam proses reformasi yang salah satu agendanya adalah terwujudnya
supremasi hukum.
Salah satu wewenang kejaksaan di bidang perdata adalah kejaksaan dapat
mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum terhadap debitor yang tidak
mampu lagi membayar beberapa utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih. Berdasarkan keputusan Hof Amsterdam 9 November 1922, N.J. 1923, 171,
alasan kepentingan umum itu ada bilamana tidak dapat lagi dikatakan ada
28
Keterangan Ahli/Keterangan Visum Et-Repertum,
http://www.informatika.polri.go.id/informatika/m2_link_042.html), terakhir diakses pada tanggal 3 April 2008. Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP Pasal 2 yang berbunyi :
(1). Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Pelda Polisi.
(2). Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Serda Polisi. (3). Kapolsek yang berpangkat Bintara di bawah Pelda Polisi karena jabatannya adalah Penyidik.
kepentingan-kepentingan perseorangan, melainkan alasan-alasan yang bersifat lebih
umum dan lebih serius yang memerlukan penanganan oleh suatu lembaga/alat
perlengkapan negara.29 Oleh sebab itu, penafsirannya diserahkan pada doktrin dan
jurisprudensi. Praktik hukum menunjukkan bahwa kepentingan umum ada apabila
tidak ada lagi kepentingan perseorangan, melainkan alasan-alasan yang bersifat
umum dan lebih serius yang mengesankan penanganan oleh lembaga/alat
kelengkapan negara. 30 Menurut M.H. Tirtaatmidjaja, pailit itu juga dapat dinyatakan
atas tuntutan jaksa, tuntutan mana harus berdasarkan alasan-alasan untuk tidak
menyelesaikan urusan-urusannya, atau ia sedang berusaha menggelapkan harta
kekayaannya dengan merugikan kreditur-krediturnya.31
Dalam ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diatur
juga mengenai kedudukan, tugas dan wewenang lembaga kejaksaan mengenai
pembubaran perseroan berdasarkan putusan pengadilan yang dapat dimohonkan oleh
lembaga kejaksaan, yakni : 32
(a). Lembaga kejaksaan berdasarkan alasan yang kuat bahwa perseoran melanggar
kepentingan umum atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar
peraturan perundang-undangan.
(b). Permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum
dalam akta pendirian;
29
Chaidir Ali, Himpunan Yurisprudensi, Hukum Dagang di Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982), hal. 219.
30
Zainal Asikin, Op.cit, hal. 36.
31
Viktor M. Situmorang & Hendri Soekarso, Op. cit, hal. 49.
32
Berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan tersebut tampak jelas
bahwa lembaga kejaksaan memiliki wewenang dalam menangani perkara-perkara
perdata, termasuk di dalamnya perkara-perkara niaga di Indonesia.
Permohonan kepailitan yang diajukan oleh lembaga kejaksaan berdasarkan
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang adalah untuk kepentingan umum. Pengertian umum mencakup arti yang sangat
luas. Pengertian kepentingan umum dalam hal tertentu memang tercantum dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, akan tetapi tidak diatur secara spesifik
dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai
kepentingan umum.
Di dalam PP No. 17 Tahun 2000 dinyatakan bahwa kejaksaan memiliki
wewenang untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah untuk dan atas
nama kepentingan umum kepada Pengadilan Niaga di daerah tempat kedudukan
hukum Debitur.33 Kewenangan tersebut dapat dilakukan oleh kejaksaan dengan
alasan kepentingan umum, apabila :
a. Debitur mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya 1
(satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih;
b. Tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit.34
33
Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pailit untuk Kepentingan umum.
34
Di dalam Penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang
Permohonan Pailit untuk Kepentingan umum juga belum diberikan batasan yang
jelas mengenai kepentingan umum. Apabila Kejaksaan mengajukan permohonan
pernyataan pailit, maka dengan sendirinya kejaksaan bertindak demi dan untuk
mewakili umum. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” hanya dikatakan
hanyalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat,
misalnya :
a. Debitor melarikan diri.
b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan.
c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha
lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat.
d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat
luas.
e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah
utang-piutang yang telah jatuh tempo.
f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.35
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, juga
tidak ditemukan definisi yang sifatnya definitif mengenai kepentingan umum.
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan tidak memberikan definisi tentang
kepentingan umum. Di dalam undang-undang ini hanya dinyatakan bahwa perkara
35
permohonan kepailitan menjadi kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa
atau memutuskannya. Undang-undang tersebut tidak mengenal atau tidak
membedakan adanya aspek kepentingan publik atau kepentingan orang perorang.
Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 hanya menentukan mengenai kepentingan
publik dalam hal : “debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan”. Berdasarkan hal tersebut, berarti tidak
ada pembedaan mengenai kualitas/status debitur, maka kreditur dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga yang memenuhi syarat
undang-undang tersebut untuk dinyatakan pailit.
Selanjutnya PP No. 17 Tahun 2000 juga tidak memberikan pengertian yang
konkrit mengenai kepentingan umum. PP No. 17 Tahun 2000 hanya memberikan
contoh mengenai alasan-alasan kepentingan umum yang memungkinkan lembaga
kejaksaan mengajukan permohonan kepailitan. Selanjutnya dalam salah satu alasan
adalah bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan apabila menurut
kejaksaan hal tersebut memang merupakan kepentingan umum.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan PP No. 17 Tahun 2000, lembaga
kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan atas inisiatif sendiri atau
berdasarkan masukan dari masyarakat, lembaga, instansi pemerintah dan badan lain
yang dibentuk oleh pemerintah seperti Komite Kebijakan Sektor Keuangan. Yang
memungkinkan kejaksaan mengajukan permohonan kepailitan selain hal-hal yang
disebutkan di dalam PP No. 17 Tahun 2000 di atas khususnya terhadap kasus-kasus
permohonan kepailitan yang diajukan oleh jaksa atas inisiatif sendiri karena lembaga
kejaksaan menilai hal itu sebagaimana kepentingan umum. Karena itu, perlu
ditemukan definisi kepentingan umum (kepentingan publik), untuk mencegah
perdebatan yang tidak menentu tentang kepentingan umum.
Kepentingan umum disini bisa disama artikan dengan kepentingan umum
sebagai lawan kata dari kepentingan privat atau kepentingan orang perorang.
Namun, dapat diduga selanjutnya akan timbul pertanyaan mengenai apa arti
“umum” dan “orang perorang” itu.36
Pengertian kepentingan umum sering dijumpai sangat berbeda rumusannya
satu dengan yang lainnya. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, menentukan bahwa
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 tersebut,
kepentingan umum harus memenuhi syarat-syarat, yaitu :
(1) Produksi yang penting bagi negara.
(2) Menguasai hajat hidup orang banyak.37
36
Parwoto Wignjosumarto, Aspek Perlindungan Kepentingan Publik dalam Peradilan
Kepailitan, makalah disampaikan pada Diskusi bulanan Judicial Watch Indonesia, dengan tema :
“Aspek Perlindungan Publik dalam Peradilan Kepailitan, yang diselenggarakan oleh Judicial Watch
Indonesia pada tanggal 29 Juli 2002 di Jakarta
37
Dari Penjelasan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, terlihat bahwa alasan
penguasaan negara atas kedua syarat tersebut adalah agar tampuk produksi tidak
jatuh ke tangan orang perorang yang berkuasa dan rakyat banyak akan ditindasnya.
Dari bunyi dan Penjelasan Pasal tersebut dapat ditarik batas antara kepentingan
umum dan orang perorang. Dari sinilah lahir pembentukan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa
perseroan terbuka adalah perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya
memenuhi kriteria tertentu atau perseroan yang melakukan penawaran umum, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.38
Perseroan terbuka dapat diketahui dengan pencantuman kata “Tbk” di
belakang Perseroan Terbatas (PT) tersebut,39 dan hal ini untuk membedakan dengan
perseroan Terbatas Tertutup.40 Selanjutnya di dalam undang-undang ini juga
dinyatakan bahwa hal ini dilaksanakan oleh suatu perusahaan publik,41 yaitu
perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga
ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya
Rp. 3. 000.000.000,- (tiga milyar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan
modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.42 Dari ketentuan
tersebut di atas, dapat ditarik suatu garis bahwa 300 (tiga ratus) pemegang saham
38
Pasal 1 ayat (7) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
39
Pasal 16 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
40
Penjelasan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
41
Pasal 1 ayat (8) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
42
yang menyetor modal perseroan sebesar Rp. 3. 000.000.000,- (tiga milyar rupiah)
menjadi syarat adanya kepentingan publik.
Pengertian kepentingan umum yang lain juga dapat dilihat seperti di dalam
Pasal 1 Undang-Undang no 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah
dan benda-benda yang ada diatasnya: Untuk kepentingan umum, termasuk
kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula
kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah
mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan
dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.
Ketentuan lain yang menyangkut tanah yang menyebut mengenai
"kepentingan umum" adalah Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal 1 butir 3 dari
keppres tersebut menyebutkan :”kepentingan umum adalah kepentingan seluruh
lapisan masyarakat. Jelas definisi ini sangat tidak membantu. Kemudian, Keppres
tersebut juga menyebutkan :
(1) Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah
serta tidak digunakan untuk menerima keuntungan, dalam bidang-bidang antara
lain sebagai berikut:
a. Jalan umum, saluran pembuangan air.
b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi.
c. Rumah Sakit Umum dan Pusat Kesehatan Masyarakat.
e. Peribadatan.
f. Pendidikan atau sekolahan.
g. Pasar Umum atau Pasar Inpres.
h. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan
bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana.
i. Pos dan telekomunikasi
j. Sarana olah raga.
k. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya.
l. Kantor pemerintah.
m. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(2) Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain dimaksud dalam angka 1
adalah yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
“Keputusan Presiden” disini dapat membuka peluang untuk penafsiran
subyektif dari penguasa mengenai "kepentingan umum". Dengan terbukanya peluang
yang demikian itu tidak mustahil pengadaan tanah yang seharusnya hanya boleh
untuk kepentingan umum (kepentingan seluruh lapisan masyarakat saja),
kenyataannya hanyalah untuk kepentingan kroni penguasa sebagai akibat kolusi
penguasa dengan pengusaha yang lebih lanjut akan melahirkan korupsi.
Selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-undang No.
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, menyebut pula tentang "kepentingan
umum". Pengertian usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum ialah