• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam Proses Penegakan

BAB II FUNGSI DAN WEWENANG LEMBAGA KEJAKSAAN

B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam Proses Penegakan

Sejak diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, penggantian undang-undang membawa pengaruh tersendiri terhadap kedudukan dari kejaksaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Noo. 5 Tahun 1991 disebutkan bahwa kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Sejak itulah dapat dikatakan kedudukan kejaksaan beralih menjadi di bawah kekuasaan eksekutif.

Berdasarkan perkembangan pengaturan tentang keberadaan kejaksaan tersebut dapat dilihat bahwa kedudukan kejaksaan pada dasarnya belum pernah diatur secara

tegas dalam UUD 1945.63 Kedudukan kejaksaan yang sebelumnya berada pada kekuasaan kehakiman telah berubah menjadi mandiri sejak tanggal 22 Juli 1960, akan tetapi kekuasaan tersebut berubah menjadi di bawah kekuasaan eksekutif sampai dengan sekarang. Dalam sistem ketatanegaraa Indonesia, secara nyata dapat dilihat bahwa kedudukan kejaksaan telah mengalami pergeseran. Dimulai dari menempatkan kedudukan kejaksaan di bawah kekuasaan legislatif, menjadi mandiri dan berubah menjadi di bawah kekuasaan eksekutif. Adanya perubahan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh sejarah pada masa sebelumnya, tetapi juga sistem pemerintahan dan keadaan politik yang terjadi.

Kedudukan kejaksaan akan sangat berpengaruh dalam mengimplementasikan fungsi, peran dan wewenangnya. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan kinerja dari kejaksaan itu sendiri,64 yang mengimplementasikan tugas dan wewenangnya diharapkan diamati pada saat ini dan prediksi tantangan ke depan antara lain harus memperhatikan perkembangan globalisasi, opini yang berkembang di masyarakat dan

63

Sampai dengan Amandemen IV UUD 1945 kedudukan kejaksaan tidak diatur dalam UUD 1945. Sebenarnya Rancangan Perubahan UUD 1945 hasil Badan Pekerja MPR RI Tahun 1999-2000 telah mengatur masalah kekuasaan kehakiman dan melakukan perubahan terhadap Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman menjadi kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum. Adapun pasal yang mengatur masalah kejaksaan adalah Pasal 25c, yaitu :

(1) Kejaksaan merupakan lembaga negara yang mandiri dalam melaksanakan kekuasaan penuntutan dalma perkara pidana.

(2) Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (dengan mempertimbangkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat).

(3) Susunan, kedudukan dan kewenangan lain kejaksaan diatur dengan undang-undang.

Namun dalam kenyataannya, rancangan perubahan tersebut tidak satu pasal pun yang direalisir dalam UUD 1945 setelah Amandemen II tahun 2000.

64

Suhadibroto, Reprofesionalisasi Kinerja Kejaksaan, http://www.khn.or.id, terakhir diakses pada tanggal 25 Februari 2008. Suhadibroto menyatakan bahwa kinerja kejaksaan ditentukan atau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu Jaksa Agung, Jaksa Agung sebagai pejabat fungsional dan organisasi.

reformasi yang melahirkan paradigma baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta terjadinya perubahan kepemimpinan yang akan melahirkan perubahan kebijakan dalam bidang pemerintahan termasuk kebijakan dalam penegak hukum.65

Ciri utama dari era globalisasi adalah munculnya kemajemukan instansi antar bangsa, akselerasi dan transformasi informasi ilmu pengetahuan kepada setiap negara termasuk Indonesia. Eksistensi lembaga kejaksaan senantiasa terkait dengan perkembangan masyarakat dan penyelenggaraan negara, serta perkembangan pemikiran ilmu pengetahuan.

Citra utama pemerintahan orde baru yang berkaitan dengan hukum adalah tidak berfungsinya hukum dalam masyarakat. Bahwa di tengah euforia atas tumbangnya rezim orde baru, ada harapan bahwa deklarasi dalam UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum dapat dihidupkan kembali setelah diabaikan selama 40 tahun. Namun euforia dengan cepat hambur ketika mulai terlihat skala sesungguhnya dari tantangan yang dihadapi dan kelemahan pemerintahan pertama yang terpilih secara demokratis sejak tahun 1957. Reformasi terhadap lembaga tertentu seperti Polisi RI tidak dapat diselenggarakan secara terpisah dari lembaga kenegaraan lainnya. Angkatan polisi yang tangguh akan dengan cepat menjadi impoten apabila jaksa, hakim dan kepala lembaga kemasyarakatan gagal menjalankan tanggung jawab mereka masing-masing.

65

Notulen Presentasi Makalah Diskusi Panel berjudul : “Strategi Peningkatan Kinerja

Kejaksaan dalam Rangka Mewujudkan Supremasi Hukum”, (Jakarta : Kejati DKI Jakarta, Agustus

Demikian pula, penyelenggaraan reformasi terhadap lembaga-lembaga tersebut di ataspun tidak mungkin terjadi bila pendapatn negara tidak cukup untuk membayar gaji yang bisa memenuhi kebutuhan dasar, serta menutup biaya-biaya lembaga pemerintahan untuk keperluan sumberdaya atau operasional dasar. Hukum dibuat tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pemberi keadilan dan perlindungan terhadap masyarakat dan hanya menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan rezim pemerintahan orde baru.66

Kondisi seperti ini tidak terlepas dari arah pembangunan yang dirancang oleh penguasa pada saat itu, yaitu terciptanya stabilitas politik untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat meningkatkan produk domestik bruto. Kembali mengenai tidak berfungsinya hukum dalam masyarakat, hal itu terjadi dengan terkooptasinya lembaga-lembaga pembentuk dan penegak hukum oleh rezim pemerintahan orde baru.67

Sejak ditetapkannya Soeharto sebagai Presiden RI, telah ramai dibicarakan segala ratifikasi dari konsekuensi serta implikasi dari gelombangnya reformasi di

66

Debat Publik Seputar Paradigma Kehidupan Masyarakat, Masyarakat Versus Negara,

Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara, Seri Debat Publik Seputar Reformasi Opini

Masyarakat dari Krisis ke Reformasi, Kompas, Jakarta, 1999, hal. 127. Hukum sebagai alat penguasa, berarti hukum yang mengabdi pada kepentingan penguasa. Penguasa sangat diuntungkan oleh kondisi hukum yang ada, karena berbagai tindakan dan kebijakan penguasa dapat dibenarkan oleh hukum yang memang diciptakan untuk kepentingan penguasa tersebut. Apa yang kemudian dilakukan penguasa bisa serba benar dan seolah-olah tidak ada kekeliruan dan kesalahannya. Hukum yang ada justeru menjadi alat penguasa, sehingga penguasa tidak dapat dipersalahkan. Dengan hukum berfungsi sebagai alat penguasa, jelaslah menjadikan tugas hukum untuk melindungi penguasa baik dari tekanan oposisi maupun kritik-kritik yang muncul dalam masyarakat. Penguasa justeru dapat leluasa menghukum para oposan ataupun orang-orang yang melancarkan kritik untuk menuntut perbaikan ekonomi, politik, ataupun hukum itu sendiri. Hukum sebagai alat penguasa juga dapat menjadikannya “kebal hukum”.

67

Laporan Pengkajian terhadap Lembaga Kejaksaan, Bab II, Kedudukan dan Peranan Kejaksaan dalam Era Reformasi, Sekretariat Jenderal DPR-RI, Jakarta, 2002, hal. 9.

Republik ini, terutama yang menyangkut bidang peradilan (rechtspraak), dimana Indonesia memiliki semua lembaga sektor peradilan yang ada pada sebuah negara modern di dunia. Namun hampir seluruhnya telah disubversi oleh kekuasaan otoriter dan praktik korupsi yang merajalela dan mengakar selama puluhan tahun. 68

Ketua Dewan Pengawas Transparansi Internasional Todung Mulya Lubis mengatakan, tingkat korupsi tertinggi di Indonesia terjadi di lembaga peradilan, yaitu 32,8 % dari keseluruhan korupsi. Advokat adalah unsur yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, dalam seluruh modus operandi korupsi di lingkungan peradilan. 69

Keadilan hukum atau suatu sifat dari perbuatan dan perlakuan yang tidak memihak dalam melaksanakan dan menerapkan hukum terhadap individu tidak akan tegak selama para pelaksana dan pengawasan hukum masih tetap memiliki mentalitas

68

Lihat sambutan J.E. Sahetapy, pada Dengar Pendapat Publik Pembaruan Kejaksaan Republik Indonesia, yang antara lain juga menjelaskan, bahwa reformasi jangan diartikan sempit yang hanya menyangkut “institution building”, bagaimana, untuk apa dan ke arah mana reformasi harus diarahkan yang mana harus dilihat dari proses penegakan hukumnya, apakah itu kekuasaan hukum yang mandiri ataukah ungkapan lain seperti bebas dan mandiri dari kekuasaan yang mungkin dimaksudkan dalam konteks Trias Politika, yang harus bebas, bersih, bertanggung jawab, transparan, dan tidak dicemari oleh KKN, dilaksanakan tanggal 25 Juni 2003 di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, hal. 1.

69

Todung Mulya Lubis, Praktek Korupsi di Dunia Peradilan Libatkan Advokat, http://www.transparansi.or.id/berita-nopember2003/berita_131, terakhir diakses pada tanggal 15 Januari 2008. Todung Mulya Lubis menegaskan hal itu dalam Workshop Menuju Sistem Hukum dan Penegakan Hukum yang Bebas KKN, di Jakarta. Todung Mulya Lubis menjelaskan, modus korupsi itu terjadi sejak kasus masuk di aparat kepolisian hingga ke pengadilan yang mempunyai 4 (empat) modus, yaitu : (1). Kerjasama advokat dengan polisi untuk menahan klien si advokat. Untuk membebaskan kliennya dari upaya penahanan, diberikan jaminan berupa uang. (2). Modus kedua adalah kerjasama adivokat dan kejaksaan dalam pembuatan daftar pencegahan ke luar negeri (cekal) terhadap pengusaha tertentu yang terjerat kasus hukum. (3). Modus ketiga, dalam penyelesaian perselisihan antara kedua belah pihak, kasus seperti itu diajukan ke pengadilan untuk dilakukan gugatan. (4) Modus keempat adalah putusan Majelis Hakim untuk melakukan sita jaminan untuk kasus pencemaran nama baik. Selain itu, kata Mulya Lubis, modus korupsi yang juga ditemukan adalah pemberian fasilitas khusus kepada terpidaan tertentu, serta tekanan pengusaha lokal terhadap pengusaha asing dengan melakukan penyimpangan pajak.

yang sudah kena racun polusi pengaruh budaya yang telah ditanamkan Soeharto selama 32 tahun itu.70

Seperti yang dicatat seorang pengamat, sistem peradilan masih dipandang luas sebagai mafia yang dijalankan pemerintah, hukum Indonesia perlu ditinjau kembali secara luas dan diperbaharui, mengingat fungsi hukum untuk menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul.71

Hal tersebut pada saat ini cukup memadai untuk keperluan masa peralihan bila kejaksaan dan sistem peradilan dapat diandalkan dan difungsikan sebagaimaan seharusnya. Seperti yang tertera dalam UU No. 16 Tahun 2004 tersebut. Tentu saja kesungguhan dan rasa tanggung jawab oleh para penegak hukum secara keseluruhan sangat diperlukan, khususnya dalam menata struktur hukum negara Indonesia. Kedua

70

J.C.T. Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, Bagian 3, Cet. I, (Jakarta : Haji Masagung, 1988), hal. 206. Jenis-jenis keadilan dapat dibagi beberapa menurut Dr. O. Notohadjojo, SH, bahwa jenis-jenis keadilan adalah : (1). Iustitia Commutativa, yaitu : keadilan yang memberikan masing-masing bagiannya, dengan mengingat supaya prestasi sama atau sama nilai dengan kontraprestasi. Keadilan ini, dalam perhubungan antara manusia, terutama melihat barang daripada pihak-pihak dalam perjanjian tukar menukar. (2). Iustitia Distributiva, bukan perhubungan manusia pribadi dan manusia pribadi yang diatur oleh Iustitia Distributiva, melainkan perhubungan masyarakat dan manusia pribadi, negara dan manusia pribadi. Yang diberikan dalam keadilan distributif itu bermacam-macam : pangkat, kehormatan, kebebasan, hak-hak barang. (3). Iustitia Vindicativa, keadilan vindikatif, ialah keadilan yang memberikan kepada masing-masing hukumannya atau dendanya, sebanding dengan kejahatan atau pelanggarannya dalam masyarakat. (4). Iustitia Legalis, yaitu keadilan legalis, ialah keadilan undang-undang. (5). Keadilan oleh Dr. Sutarno, Pembangunan

untuk Keadilan, disamping jenis-jenis keadialn yang telah disebut oleh Notohamidjojo tadi, yaitu

keadilan komunikatif, keadilan distributif, keadilan vindikatif dan keadilan legalistas adalah keadilan protektif, yaitu memberikan kepada masing-masing, perlindungan atau pengayoman terhadap perlakuan yang sewenang-wenang dari pihak lain. Lihat juga Bina Donna No. 13 tahun ke-4 Tahun 1986, Pembangunan untuk Keadilan, Salatiga, 1986, hal. 207.

71

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jayakarta : Sinar Grafika, 1992), hal. 53. Bahwa dalam perkembangan masyarakat fungsi hukum dapat terdiri dari : 1). Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat. 2). Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin, 3). Sebagai sarana penggerak pembangunan. 4). Sebagai fungsi kritis.

lembaga tersebut memerlukan refomasi besar-besaran, untuk dapat memulihkan kemandirian serta standar profesionalnya.

Peran jaksa selaku penuntut umum yang mewakili kepentingan umum, bertindak untuk dan atas nama negara dalam perkara pidana, merupakan salah satu wujud penegakan ketertiban dan perlindungan terhadap semua kepentingan hukum yang dimiliki oleh setiap orang berlaku subjek hukum seperti yang tertera pada UU No. 5 Tahun 1991, UU No. 16 Tahun 2004, jo Keppres No. 55 Tahun 1991 dan peraturan perundang-undangan kejaksaan lainnya.

Tugas dan wewenang kejaksaan sebenarnya sangat luas menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Tugas dan wewenang yang sangat luas ini pelaksanaannya dipimpin dan dikendalikan serta dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang diberi predikat Jaksa Agung.72

Beberapa langkah telah diambil untuk memulihkan standar profesional dan kemandirian, misalnya Mahkamah Agung telah membentuk sebuah komisi untuk membuat rancangan undang-undang guna meningkatkan eksistensi sistem peradilan yang terpadu. Namun di tengah cercah harapan seperti itu, agaknya penilaian World

Bank bahwa permasalahannya begitu mendalam sehingga diperlukan bertahun-tahun

untuk penyelesaiannya, dan sulit untuk mendapatkan mengetahui hambatan dalam upaya mendukung perubahan dalam sistem, serta tidak ditemukannya pahlawan di pihak reformasi hukum. Konflik hubungan antar political loyalty dengan professional

72

loyalty dalam rangka mewujudkan rule of law bukan hanya terjadi di tanah air kita.73

Tetapi konflik ini nampak lebih tajam dan lebih terbuka karena tuntutan transparansi yang makin berkembang di era reformasi ini. Hukum seyogyanya tidak dilaksanakan begitu saja dengan mengabaikan kepentingan lain yang ada di dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan pemahaman dalam falsafah hukum bahwa keadilan itu ditentukan oleh waktu dan tempat (historical bepaald). 74

Hukum dan politik merupakan sub sistem dalam sistem kemasyarakatan.75 Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis besar hukum berfungsi melakukan

social control, dispute settlement dan social engineering atau innovation. Sedangkan

fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization dan

73

Selo Soemardjan (penyunting), Hukum Kenegaraan Republik Indonesia, Teori Tatanan dan

Terapan, untuk memperingati kelahiran Djoko Soetono, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS), (Jakarta :

Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993), hal. 130. Perlu diingat dan disadari bahwa suatu judisial

control tidak selalu harus berada di tangan peradilan. 74

Moh. Mahfud M.D, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001), hal. 63. Pada umumnya hukum itu diartikan sebagai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang di dalam masyarakat yang mempunyai sanksi yang bisa dipaksakan. Hukum ini lahir untuk mengatur dan menyerasikan pelaksanaan kepentingan yang berbeda-beda di antara anggota-anggota masyarakat. Satu hal yang penting dari hukum adalah sifatnya yang dipaksakan dengan sanksi. Sanksi inilah yang membedakan hukum dari aturan tingkah laku yang lain. Di dalam masyarakat memang terdapat aturan-aturan tingkah laku yang umumnya disebut norma atau kaidah. Norma atau kaidah itu menurut ilmu hukum ada 4 (empat) macam, yaitu : norma agama, norma kesusilaan (moral), norma kesopanan, dan norma hukum. Yang membedakan norma hukum dari norma-norma yang lain adalah bahwa sifat memaksa yang disertai dengan sanksi yang dapat dijatuhkan oleh negara, sedangkan pada norma lain sifat memaksa yang disertai dengan sanksi yang dapat dijatuhkan oleh negara, sedangkan pada norma lain sifat memaksanya hampir tidak ada dan tidak menyertakan campur tangan negara untuk memaksakan sanksinya.

75

Hukum dan politik pada dasarnya mempunyai hubungan yang erat, termasuk dalam hal ini adalah masalah kekuasaan sebagai bagian dari politik. Konsep kekuasaan adalah konsep hukum publik. Sebagai suatu konsep hukum publik, penggunaan kekuasaan harus dilandaskan pada asas-asas negara hukum, asas demokrasi dan asas instrumental. Berkaitan dengan asas negara hukum adalah asas “wet-en rechtmatigheid van bestuur”. Dengan asas demokrasi tidaklah sekedar adanya badan perwakilan rakyat (inspraak) dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah adalah sangat penting artinya. Asas instrumental berkaitan dengan hakikat hukum administrasi sebagai instrumen. (Philipus M. Hadjon, Pemerintah Menurut Hukum, hal. 2-3).

recruitment), konversi (rule masing, rule application, rule adjudication, interest articulation dan aggregation) dan fungsi kapabilitas (regulative extractive, distributive dan responsive).76

1. Jaksa Agung

Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggung jawab kepada Presiden. Tugas dan wewenang jaksa agung adalah sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan seperti yang terkandung pada Pasal 37 UU No. 16 Tahun 2004 jo UU No. 55 Tahun 1991.

Tugas dan wewenang kejaksaan tersebut sangat luas menjangku area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Tugas dan wewenang yang sangat luas ini pelaksanaannya dipimpin dan dikendalikan serta dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang diberi predikat jaksa agung. Oleh karena itu, peranan jaksa agung dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan menjadi sangat krusial, lebih-lebih pada saat ini dimana negara sedang dalam proses reformasi yang salah satu

76

Oka Mahendra, Hukum dan Politik, http://www.geocities.com/RainForest/Vines/3367/oka.html, terakhir diakses pada tanggal 25 Juni

2008. Lebih jauh Oka Mahendra juga mengatakan bahwa hukum dan politik mempunyai kedudukan yang sejajar. Hukum tidka dapat ditafsirkan sebagai bagian dari sistem politik. Demikian juga sebaliknya. Realitas hubungan hukum dan politik tidak sepenuhnya ditentukan oleh prinsip-prinsip yang diatur dalam suatu sistem konstitusi, tetapi lebih ditentukan oleh komitmen rakyat dan elit politik untuk bersungguh-sungguh melaksanakan konstitusi tersebut sesuai dengan semangat dan jiwanya. Sebab suatu sistem konstitusi hanya mengasumsikan ditegakkannya prinsip-prinsip tertentu, tetapi tidak bisa secara otomatis mewujudkan prinsip-prinsip tersebut. Prinsip-prinsip obyektif dari sistem hukum (konstitusi) sering dicemari oleh kepentingan-kepentingan subyektif penguasa politik untuk memperkokoh posisi politiknya, sehingga prinsip-prinsip konstitusi jarang terwujud menjadi apa yang seharusnya, bahkan sering dimanipulasi atau diselewengkan.

agendanya adalah terwujudnya supremasi hukum.77 Di sisi lain, jaksa agung adalah “a man of law”yang dalam sistem kita dapat digambarkan sebagai abdi hukum, abdi negara dan abdi masyarakat yang tidak mengabdi pada presiden dengan kepentingan politiknya.

Dalam mewujudkan agenda reformasi yaitu supremasi hukum, rasanya kita memerlukan seorang jaksa agung dengan kualifikasi sebagai abdi hukum, yang memiliki tingkat profesionalisme yang tinggi dan tepat disertai sifat yang jujur.78 2. Jaksa

Dalam UU No. 16 Tahun 2004 Pasal 8 ayat 1 dinyatakan bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh jaksa agung. Sedangkan pengertian jabatan fungsional jaksa dirumuskan dalam UU No. 16 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 4 sebagai jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan. Mengingat jaksa mempunyai kualifikasi sebagai pejabat fungsional, maka bagi

77

Frans E. Likadja, Daniel Bessie, Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988), hal. 9, lihat juga UU No. 15 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, pada dasarnya telah ditetapkan berbagai kebijakan yang mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional dalam mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik. Program-program tersebut adalah : (1). Program pembentukan peraturan perundang-undangna; (2). Program pemberdayaan lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya; (3) Program penuntasan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme serta pelanggaran hak asasi manusia; (4). Program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum.

78

Moh. Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1998), hal. 22. Ciri menonjol hukum otonom adalah terikatnya masyarakat secara kuat pada prosedur. Elit penguasa tidak lagi leluasa menggunakan kekuasaan karena ada komitmen masyarakat untuk menjalankan kekuasaan sesuai dengan tata cara yang diatur. Dengan mengacu pada Marryman, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengemukakan 3 (tiga) macam tradisi hukum yang kemudian dikaitkan dengan strategi pembangunan hukum. Ada 2 (dua) macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya sekaligus berimplikasi pada karakter produk hukumnya yaitu pembangunan hukum “ortodoks” dan pembangunan hukum “responsif”, lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik

seseorang untuk dapat diangkat menjadi jaksa harus memenuhi syarat yang lebih dari syarat bagi pegawai negeri. Syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 9 UU No. 16 Tahun 2004 tersebut adalah :

1). Pertama-tama harus lulus penyaringan sebagai pegawai negeri; 2). Setidak-tidaknya harus memiliki diploma sarjana hukum dan; 3). Lulus dari pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa.

Sebagai pejabat fungsional, jaksa tidak boleh mempunyai jabatan atau pekerjaan rangkap dan untuk itu jaksa memperolah tunjangan jabatan fungsional di samping mendapat gaji sebagai pegawai negeri (vide Pasal 11 jo Pasal 17 UU No. 16 Tahun 2004).

Karena kualifikasinya sebagai pejabat fungsional, maka terhadap seorang jaksa dituntut mampu menunjukkan performance yang lebih baik nilainya dari pada seorang pegawai negeri pada umumnya. Bilamana performance yang lebih itu tidak mampu ditunjukkan, maka seorang jaksa dapat diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 jo Pasal 13 UU No. 16 Tahun 2004. Pemberhentian ini dilakukan oleh jaksa agung, karena beberapa hal, diantaranya :

1). Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatan fungsional jaksa, karena : a. Permintaan sendiri.

b. Sakit jasmani atau rohani terus menerus.

c. Telah mencapai usia 62 (enam puluh dua) tahun. d. Meninggal dunia.

e. Tidak cakap dalam melaksanakan tugas.

2). Jaksa diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan fungsional jaksa, bila ia : a. Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

b. Terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaannya; c. Melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;

d. Melanggar sumpah atau janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ; atau

e. Melakukan perbuatan tercela.

3). Dari UU No. 16 Tahun 2004 tersebut sebetulnya telah tegas dan jelas disyaratkan bahwa seorang jaksa adalah seorang yang profesional. Profesionalisme jaksa inilah yang menjadi dasar bahwa jaksa diberi kualifikasi jabatan fungsional. Apabila seorang jaksa ternyata tidak dapat menunjukkan profesionalismenya, maka ia berhadapan dengan sanksi yang cukup berat, yaitu diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan tidak dengan hormat jabatan jaksa (status pegawai negeri tetap). Sanksi ini sebenarnya merupakan garda (penjaga) bagi profesionalisme jaksa.

Dalam hubungan ini, ada satu hal lagi yang berkaitan dengan profesionalisme jaksa, yaitu privillege (right as an advantage of favor). Jaksa dengan keahliannya dalam bidang hukum, dengan statusnya mewakili kekuasaan negara sebagai penuntut

Dokumen terkait