• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN ULAMA

B. Tinjauan Umum Tentang Adat Perkawinan Dalam Ushul Fiqih

1. Definisi Adat (Al-„urf)

Al-„urf (

فؼنا

(ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Menurut istilah

40

ahli syara‟, tidak ada perbedaan antara „urf dan adat. Jadi „urf adalah terdiri dari saling pengertian manusia atas perbedaan tingkatan mereka,

keumumannya dan kekhususannya. Berbeda dengan Ijma‟, karena

Ijma adalah tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus, dan umum tidak termasuk ikut membentuk di dalamnya (Khallaf, 1991: 134).

2. Pembagian Adat (Al-„urf)

Macam-macam „urf jika dilihat dari segi objeknya „urf dibagi menjadi dua yaitu:

a. Al-„urf al-lafzhi (

ٙظفهنا فشؼنا

) adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.

b. Al-„urf al-„amali (

ٙهًؼنا فشؼنا

) adalah kebiasaan masyarakat yang

berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu‟amalah keperdataan. Maksudnya “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain (1996: 139).

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara‟, „urf terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:

1). Al-„urf al-shahih )

خذظنا

فؼنا

(adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan

41

nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. 2) Al-„urf al-fasid )

ذغفنا فؼنا

(adalah adat ataupun kebiasaan

yang bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah

dasar yang ada dalam syara‟(Haroen, 1996: 141) c. Ketentuan-Ketentuan Adat dalam Penetapan Hukum

Adapun „urf shahih, maka harus dipelihara dalam pembentukan hukum. Menurut para ulama adat itu adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hukum. Sedangan „urf menurut syara‟ juga mendapat pengakuan. Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya kepada amal perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah bersama murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas perbedaan „urf mereka. Imam Syafi‟i ketika telah berada di Mesir mengubah sebagian hukum yang telah menjadi pendapatnya ketika beliau berada di Baghdad. Hal ini karena pendapat „urf. Karena itu beliau mempunyai dua madzab, madzhab qodim (dahulu) dan madzhab jadid (baru). Ibnu Abidin telah menyusun Risalah bahwa

“apa-apa yang dimengerti secara „urf adalah seperti yang disyaratkan

menurut syara‟, dan yang telah tetap menurut „urf adalah seperti yang telah tetap menurut nash. Kaidah ushul fiqih dalam kitab mawadi‟ul awaliyah, menurut Abdul Hamid Hakim dalam Qaidah 21 yang berbunyi:

42

Artinya: “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat

dijadikan sebagai hukum”.

Maksudnya adat kebiasaan dapat dijadikan hujjah dan hukum yang berlaku di tempat dimana adat dan tradisi tersebut hidup dan berkembang (Hakim, 1927: 36).

Adapun „urf yang rusak itu maka tidak harus dipeliharanya

(dilakukan), karena memeliharanya berarti menentang dalil syara‟.

Hukum-hukum yang didasarkan atas „urf itu dapat berubah menurut perubahan „urf pada suatu zaman dan perubahan asalnya. Karena itu para Fuqoha berkata dalam contoh perselisihan ini: “Bahwa perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, bukan

perselisihan hujjah dan bukti” (1991: 135).

d. Syarat-Syarat Adat (Al-„Urf)

Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa suatu „urf, baru dapat

dijadikan sebagai salah satu dalil dalam penetapan hukum syara‟ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. „Urf itu (baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan), berlaku secara umum. Artinya, „urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.

2. „Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.

43

3. „Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash itutidak bisa diterapkan. „Urf seperti

ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil syara‟, karena kehujjahan „urf bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi (1996: 143-144).

e. Pandangan Ulama Tentang Perkawinan Adat

Perkawinan adat tidak diterangkan dalam Al-Qur‟an maupun Al-hadits, sehingga dalam membicarakan adat termasuk perkawinan adat Jawa telah disinggung dalam kitab kaidah fiqiyah )‟urf), menurut pandangan ulama tentang adat yaitu sebagai berikut:

Pandangan madzhab Syafi‟i bahwa agama Islam tidak

menentang tradisi bahkan menghormatinya, sepanjang tradisi tersebut tidak menyalahi prinsip agama apalagi menyalahi prinsip

aqidah seperti pengesaan Allah subhanahu wata‟ala, membicarakan

nasib manusia, tentu harus berhati-hati. Seperti penegasan ayat berikut:





























Artinya: “Katakanlah: "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” (QS. An Naml: 65).

Menurut pandangan Imam Syafi‟i bahwa adat hukumnya mubah (boleh) selama tidak ada nash yang melarangnya serta adat tersebut

44

tidak bertentangan dengan aqidah dan syariat agama Islam (latansanasibaka.blogspot.com).

Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa „urf al-shahih, yaitu adat

yang tidak bertentangan dengan syara‟, baik yang menyangkut adat/kebiasaan ucapan maupun adat/kebiasaan perbuatan dapat

dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara‟. Seorang mujtahid

dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam Al Qarafi (w. 684 H/1285 M./ahli fiqih Maliki), harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut.

Seluruh ulama madzhab, menurut Imam Al Syathibi (w.790 H./ahli ushul fiqih Maliki), dan Ibn Qayyim Al Jauziyah (691-751 H/1292- 1350 M./ahli ushul fiqih Hanbali), menerima dan menjadikan adat

(„urf) sebagai dalil syara‟ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada

nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi (Haroen, 1996: 142) .

45

BAB III

DESA NGROMBO KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN SRAGEN

DAN KEYAKINAN TERHADAP ADAT JAWA

A. Gambaran Umum dan Kondisi Sosial Kultural Desa Ngrombo

Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen

1. Letak Geografis

Desa Ngrombo merupakan salah satu desa yang terletak di kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen Provinsi JawaTengah. Jarak dari Ibu Kota Kabupaten 36 kilometer, dan dari Ibu Kota Provinsi berjarak 91 kilometer, sedangkan antara Ibu Kota Negara berjarak kurang lebih 701 kilometer. Menurut geografis desa Ngrombo terletak di tengah- tengah kependudukan yang padat di kabupaten Sragen dan mempunyai batas wilayah dengan wilayah lain diantaranya sebagai berikut:

46

a. Sebelah Timur desa Ngrombo berbatasan langsung dengan desa Karangwaru, kecamatan Plupuh dengan batas wilayah yang ditandai dengan jalan raya Gemolong-Plupuh.

b. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Bantengan.

c. Sebelah Selatan desa Ngrombo berbatasan langsung dengan desa Sambirejo kecamatan Plupuh.

d. Sebelah Utara desa Ngrombo kecamatan Plupuh ini berbatasan langsung dengan kecamatan Tanon, tepatnya dengan desa Wiro Sari. Batas antara dua kecamatan ditandai dengan jalan raya jalur Gemolong-Gabugan yang menjadi pemisah antara kedua kecamatan ini.

Desa Ngrombo kecamatan Plupuh adalah termasuk wilayah daratan rendah, desa ini mempunyai ketinggian 346 meter di atas permukaan air laut, Dengan luas wilayah keseluruhan 267 Ha. Dengan luas wilayah tersebut dengan 91 Ha merupakan pemukiman dan perumahan penduduk. Sawah dan tegalan di desa Ngrombo seluas 127 Ha, sedangkan yang digunakan sebagai perkantoran seluas 8 Ha. 4 Ha merupakan tanah wakaf, sisanya digunakan untuk lain-lain yaitu seluas 37 Ha (Data Monografi desa Ngrombo tahun 2014).

2. Komposisi Penduduk dan Keadaan Administrasi

Desa Ngrombo yang hanya mempunyai luas wilayah 267 Ha, namun termasuk daerah yang padat penduduk. Sampai tahun 2014 jumlah penduduk keseluruhan yaitu 4.527 jiwa, dari jumlah tersebut

47

terdiri dari 2.318 jiwa penduduk laki-laki dan sisanya 2.209 jiwa perempuan. Desa Ngrombo terdapat 1341 kk (Kepala Keluarga) dan sebagian besar masyarakat masih termasuk dalam usia produktif (Data Monografi Desa Ngrombo tahun 2014).

Untuk meningkatkan tingkat pendidikan yang dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman, mayoritas masyarakat desa Ngrombo menempuh pendidikan 9 tahun, tidak sedikit juga masyarakat yang melanjutkan ke jenjang diploma ataupun sarjana. Penduduk setempat menganggap sesuatu hal yang tabu serta malu jika anak mereka tidak sekolah, yang dimana di desa ini terdapat beberapa tempat pendidikan negeri maupun swasta. Tidak semua murid yang belajar di sekolah-sekolah adalah masyarakat asli desa Ngrombo kecamatan Plupuh, banyak juga masyarakat dari desa tetangga yang menutut ilmu dan belajar di sekolah yang ada di desa Ngrombo ini. Adapun sekolah dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.1 Jumlah sekolah di desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen

No. Sekolah Jumlah Nama Sekolah

1 Paud 2 Paud Al-Ikhlas dan Paud Bunga Abadi 2 TK 2 TK Al-Ikhlas dan TK Pertiwi

3 SD 1 SD Negeri Ngrombo 1

4 MI 1 MI Al-Ikhlas Ngrombo

5 SMP 1 SMP Bakti Karya

Sumber: Data Monografi Desa Ngrombo tahun 2014 3. Keadaan Ekonomi dan Sosial Budaya

48

Sebagain besar masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Hal ini bisa dilihat juga dari jumlah luas lahan pertanian lebih luas dibandingkan dengan luas lainnya. Lahan pertanian di desa Ngrombo bukan hanya berupa persawahan, melainkan ada yang berupa tegalan. Tegalan merupakan lahan yang ditanami jenis tanaman palawija seperti jagung, kacang- kacangan, ketela pohon, cabai dan lain sebagainya, yang sistem pengairannya hanya dengan tadah hujan. Selain persawahan dan tegalan, di desa Ngrombo kecamatan Plupuh ada juga lahan yang digunakan sebagai perkebunan tebu (keterangan mbah Sutar).

Walaupun mayoritas masyarakat desa Ngrombo adalah petani, ada pula masyarakat yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), pedagang hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ada sebagian masyarakat yang menjadikan petani itu sebagai profesi sampingan, contohnya ada yang berprofesi Pegawai Negeri Sipil namun masih menggarap sawah. Berikut adalah tabel profesi masyarakat desa Ngrombo:

Tabel 3.2 Profesi masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen

No. Profesi Jumlah Orang

1. PNS 52

2. TNI 6

3. Polri 3

49 5. Buruh tani 404 6. Pedagang 164 7. Swasta 419 8. Pensiunan 7 9. Lanjut usia 143

Sumber: Data Monografi Desa Ngrombo tahun 2014

Kondisi sosial masyarakat desa Ngrombo tidaklah jauh dengan kehidupan sosial di desa-desa lainnya. Kedekatan hubungan bermasyarakat antara satu warga dengan warga lain begitu erat, kuat dan intens. Hal yang demikian dapat terbentuk karena jarak rumah mereka saling berdekatan dan setiap harinya terjadi interaksi, maka dari itu terciptalah rasa kekerabatan dan kekeluargaan. Sistem gotong royong di masyarakat menjadi prioritas dan diutamakan untuk saling menjaga rasa kekeluargaan, seperti kerja bakti rutin setiap sebulan sekali yang di agendakan oleh masing-masing RT desa Ngrombo, saling membantu tenaga maupun pikiran dalam acara walimah dan acara-acara hajatan lain, sambatan (membantu dengan bergotong royongdan secara sukarela) membuat atau merenovasi rumah, gotong royong memanen hasil pertanian dengan sistem derep (sistem memanen padi atau hasil pertanian lainnya dengan cara membagi hasil panen tersebut sebagai upahnya). Masyarakat desa Ngrombo juga mengadakan acara rutin setiap seminggu sekali, yaitu jamaah membaca surat Yasin dan Tahlil. Acara tersebut dilakukan setiap seminggu sekali, biasanya di laksanakan pada hari Kamis malam

50

Jum‟at, hal ini dilakukan di rumah-rumah warga secara bergantian yang sudah terjadwal sebelumnya. Hal ini jika dilihat dari psikologis dapat menambah keakraban dan rasa kekeluargaan antara warga satu dengan warga yang lainnya, karena sering terjadi interaksi di antara mereka (keterangan mbah Sutar).

Dokumen terkait