i
PERKAWINAN ADAT JAWA
DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
(Studi Kasus Di Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh
Kabupaten Sragen)
SKRIPSI
Diajukan Untuk memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
SITI MUKAROMAH
NIM: 211-12-018
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)
SALATIGA
v
MOTTO
vi
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta karunia-Nya,
skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Bapak dan ibuku tercinta, Bapak Samudi dan Ibu Suliyem yang telah
mencurahkan segenap kasih sayangnya, do‟anya, serta segala dukungannya
dalam setiap langkah-langkahku.
2. Kakak serta adik-adikku tersayang mbak Nur Sholikah, mas Badi Anur
Achsan, dek Puji Mulyo Nugroho, dek Puji Agung Rahmawati, yang
memberi dukungan & doanya tak pernah surut mengiringi perjuanganku.
3. Dosen pembimbing skripsiku ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag yang tak pernah
lelah membimbingku untuk menyelesaikan skripsiku ini.
4. Segenap dosen Fakultas Syari‟ah yang telah membagikan ilmunya kepadaku
dan teman-teman seperjuanganku angkatan 2012, khususnya jurusan Ahwal
al Syakhshiyyah.
5. Seseorang yang tak pernah bosan memberiku semangat di setiap harinya.
6. Keluarga besar Santri putra putri PP. Edi Mancoro & keluarga besar HMI
kota Salatiga yang tak pernah lelah menyemangati serta memberi warna
dalam hidupku.
7. Teman-teman seperjuangan mb Suci, mb Jamil, mb ayu peraih beasiswa
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohim
Alhamdulillahirabbil‟alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PERKAWINAN ADAT
JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa Ngrombo
Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen)”.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa hormat
dan terima kasih kepada:
1. Rektor IAIN Salatiga, Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.
2. Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Sukron Makmun, M.Si.
3. Pembimbimbing skripsi, Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. yang dengan ikhlas
membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu dan tenaganya untuk
penulis sehingga skripsi ini terselesaikan.
4. Bapak serta Ibu dosen serta karyawan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
yang telah membagi ilmu-ilmunya sehingga penulis mampu menyelesaikan
jenjang pendidikan S1.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
viii
dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya, serta pembaca pada
umumnya. Amin.
Salatiga, 22 September 2016
ix
ABSTRAK
Mukaromah, Siti. 2016. PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen). Skripsi Fakultas Syariah. Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dosen Pembimbing Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
Kata Kunci: Perkawinan Adat Jawa, Pemikiran, Hukum Islam.
Penelitian yang penulis lakukan untuk mengungkap adat dan tradisi masyarakat Jawa di dalam ritual perkawinan. Di mana adat dan tradisi dalam ritual perkawinan masarakat Jawa menganut kepada adat dan tradisi zaman dahulu yang telah dilakukan oleh nenek moyang suku Jawa. Dalam prosesi hajatan dalam perkawinan terdapat runtutan yang harus dilakukan oleh kedua mempelai maupun kedua orang tau calon mempelai. Mereka percaya apabila melewatkan salah satu prosesi, maka akan terjadi sesuatu yang mengancam kehidupan berumah tangga kedua mempelai. Melihat hal itu, maka penulis melakukan penelitian dengan tiga fokus pokok pembahasan yaitu: pertama, Bagaimana prosesi perkawinan adat yang dilakukan oleh masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen? Kedua, Alasan-alasan perkawinan adat masih dipegang teguh oleh masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen dan bagaimana implikasinya terhadap masyarakat? Ketiga, Bagaimana perkawinan adat di desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen dalam pemikiran hukum Islam?
Dengan penelitian kualitatif dan metode deskriftif analisis yang penulis lakukan berusaha untuk mengungkap dan menjawab pokok-pokok permasalahan di atas. Menggunakan metode penelitian tersebut penulis melakukan observasi dan wawancara di lapangan guna mengetahui secara langsung bagaimana praktik yang dilakukan oleh masyarakat di desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen dalam prosesi upacara adat yang hingga saat ini.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING...ii
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN...iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...iv
HALAMAN MOTTO...v
HALAMAN PERSEMBAHAN...vi
KATA PENGANTAR...vii
ABSTRAK ...ix
DAFTAR ISI...x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B. Rumusan Masalah...4
C. Tujuan Penelitian...4
D. Kegunaan Penelitian ...5
E. Metode Penelitian...6
F. Tahab-tahab Penelitian...8
G. Teknik Pengumpulan Data...9
H. Penegasan Istilah...11
I.Tinjauan Pustaka...12
J. Sistematika Penulisan...15
BAB II PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN ULAMA A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan...17
xi
BAB III DESA NGROMBO KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN SRAGEN
DAN KEYAKINAN TERHADAP ADAT JAWA
A. Gambaran Umum dan Kondisi Sosial Kultural Desa Ngrombo
Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen ...45
B. Keyakinan Masyarakat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen Terhadap Adat Jawa ...50
C. Ragam Adat Istiadat yang Hidup di Masyarakat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen...53
BAB IV PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM A. Prosesi Perkawinan Adat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen ...58
B. Alasan-alasan Perkawinan Adat Masih di Pegang Teguh Oleh Masyarakat Dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Desa Ngrombo...87
C. Pandangan Ulama Terhadap Perkawinan Adat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen...91
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...97
B. Saran...99
C. Penutup ...99
DAFTAR PUSTAKA...100
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan mahluk sosial, yang artinya bahwa manusia tidak
dapat hidup seorang diri dan membutukan manusia lain untuk bersosialisasi.
Contoh konkrit dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan sebuah
pernikahan atau perkawinan. Sejak lahir manusia telah dilengkapi dengan
naluri untuk hidup bersama dengan orang lain mengakibatkan hasrat yang
kuat untuk hidup teratur (Soekanto, 1982: 9). Allah SWT menciptakan
sejumlah insting dan dorongan nafsu yang mengiringi manusia kepada
berbagai hal yang menjamin ksistensinyasebagai individu, juga sebagai
spesies. Salah satunya adalah insting seksual, yang berfungsi untuk
mempertahankan spesies manusia. Ia merupakan insting yang sangat kuat
tertanam dalam diri manusia (Qardhawi, 2000: 213). Seperti halnya Allah
SWT menciptakan manusia pertama kali yaitu Nabi Adam, yang dimana
Allah tidak membiarkan Nabi Adam hidup seorang diri namun dihadirkanlah
Hawa sebagai teman hidupnya di muka bumi. Karena Nabi Adam pertama
kali manusia diciptakan tidak ada keterlibatan mahluk lain, dengan kata lain
Nabi Adam tidak dilahirkan seperti manusia pada umumnya lewat rahim
seorang ibu serta melibatkan malaikat dan orang tuanya (Sudarmojo, 2009:
91), maka dari itu untuk keturunan Nabi Adam yang lahir di dunia sebagai
generasi penerus umat manusia dengan perantara ayah dan ibu dan haruslah
2
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974
bab 1 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (Sudarsono,
2005: 288). “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir” (QS. Ar Ruum : 21)
Dari ayat Al-Qur‟an tersebut, bermakna anjuran untuk menikah dan
bahwa Allah menciptakan manusia secara berpasang-pasang yaitu sebagai
suami istri, yang dimana perkawinan harus melalui suatu akad yang telah
ditentukan menurut rukun dan syarat perkawinan. Diantara manfaat dan
hikmah perkawinan ialah bahwa perkawinan itu menentramkan jiwa, dapat
meredam emosi, menutup dan menundukkan pandangan dari segala yang
dilarang Allah dan untuk mendapat kasih sayang suami istri yang dihalalkan
Allah sesuai dengan firmanya (Hamdani, 2002: 6). Sedangkan menurut
Muhammad Azzam dan Sayyed Hawwas dalam bukunya yang berjudul Fiqh
Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, tujuan perkawinan yang tertinggi
adalah memelihara regenerasi, memelihara gen manusia, dan masing-masing
suami istri mendapatkan ketenangan jiwa karena rasa kecintaan dan rasa
3
tempat peristirahatan di saat-saat lelah dan tegang, serta keduanya dapat
melampiaskan kecintaan dan kasih sayangnya selayaknya sebagai suami istri.
Pada prinsipnya pernikahan adalah perbuatan yang menyatukan
pertalian sah: “bertujuan untuk suatu akad yang menhalalkan pergaulan dan
pertolongan antara laki-laki dan wanita serta membatasi hak-hak serta
kewajiban masing-masing mereka” (Azzam dan Hawwas, 2009: 37). Dari
sini dapat dilihat tujuan penikahan bukan sekedar penyaluran naluri seks
semata melainkan juga menghapus batasan-batasan yang awalnya haram
menjadi halal. Sementara itu, aspek agama dalam pernikahan merupakan
perkara yang “suci”. Dengan demikian, pernikahan menurut Islam merupakan
ibadah , yaitu dalam rangka terlaksananya perintah Allah atas petunjuk
rasul-Nya, yakni terpenuhi rukun dan syarat nikah (Hassan, 2008: 299).
Pada masyarakat suku Jawa, pernikahan atau perkawinan merupakan
sesuatu yang agung. Banyak sesuatu hal yang sakral dalam upacara
perkawinan (Endrasswara, 2010: 194). Dalam prosesi pernikahan yang
dilakukan di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen terdapat
urutan-urutan yang harus dilakukan oleh kedua mempelai. Dari hal itu maka
penulis skripsi ini memberikan judul “PERKAWINAN ADAT JAWA
DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa
Ngrombo, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen)”. untuk mengetahui
bagaimana prosesi perkawinan adat yang dilakukan oleh masyarakat tersebut
4
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, pokok-pokok
permasalahan yang merupakan sentral pembahasan dan akan penulis kaji
dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana prosesi perkawinan adat yang
dilakukan oleh masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh,
kabupaten Sragen?
2. Alasan-alasan perkawinan adat masih dipegang
teguh oleh masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten
Sragen dan bagaimana implikasinya terhadap masyarakat ?
3. Bagaimana perkawinan adat yang dilakukan
masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen dalam
pemikiran hukum Islam?
C. Tujuan Penelitin
Dari rumusan masalah di atas mengenai perkawinan adat Jawa,
Supaya tidak menyimpang dari pokok masalah dan sesuai dengan fokus
analisis yang telah penulis rumuskan di atas maka tujuan penelitian yaitu
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui prosesi perkawinan yang dilakukan masyarakat desa
Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
2. Untuk mengetahui alasan-alasan apa saja sehingga perkawinan adat Jawa
5
terhadap masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten
Sragen.
3. Untuk mengetahui bagaimana perkawinan adat Jawa yang dilakukan oleh
masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen dilihat
dari pemikiran hukum Islam.
D. Kegunaan penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Adapun kegunaan secara teoritis dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Sebagai sumber referensi bagi para peneliti dan sebagai kajian
pustaka khususnya untuk mengkaji perkawinan adat khususnya di
desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
b. Untuk menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan yang
lebih luas bagaimana prosesi perkawinan yang dilakukan oleh
masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen
menurut fiqih Islam bagi siapa saja yang membaca skripsi ini.
c. Sebagai bahan atau wacana bagi pemerhati permasalahan adat
istiadat yang ada di Jawa, termasuk juga yang ada di desa
Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen.
6
Penulis mengharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi dan
ilmu pengetahuan bagi semua pihak yaitu sebagai acuan dalam
kehidupan bermasyarakat.
E. Metode Penelitian
Metode dalam suatu penelitian merupakan sesuatu hal yang sangat
lazim digunakan oleh peneliti setiap melakukan penelitian ilmiah. Di dalam
dunia penelitian, penggunaan metode penelitian untuk mengkaji dan meneliti
suatu objek penelitian telah diatur dan ditentukan dengan pesyaratan yang
sangat ketat berdasarkan disiplin keilmuan yang telah diberlakukan. Hal ini
dimasudkan agar hasil temuan dari penelitian tersebut diakui kebenaranya
oleh komunitas ilmuan yang terkait dengan hal itu karena memiliki nilai
ilmiah di bidang tersebut.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan untuk dasar penelitian ini
adalah penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang
dilakukan dengan intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu
objek penelitian, yang umumnya menggunakan strategi multi
metode yaitu wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen
atau study documenter yang antara satu dengan lainnya saling
melengkapi, memperkuat dan menyempurnakan (Sukmadinata,
7 2. Pendekatan Penelitian
Dengan menggunakan pendekatan deskriftif analisis.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara detail tentang
sesuatu objek agar dapat mempelajari secara mendalam mengenai
perkawinan adat Jawa yang dilakukan oleh kedua calon pengantin
maupun keluarga dari keduanya.
3. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini, penulis hadir dan ikut serta dalam
proses penelitian di lapangan dan pencarian informasi menganai
prosesi perkawinan adat Jawa di desa ngrombo ecaatan Plupuh
kabupaten Sragen.
Adapun penelitian mulai dilakukan pada tanggal 09 Juli
2016 sampai dengan selesai penelitian dan pembuatan skripsi ini
selesai.
4. Sumber Data
Data merupakan suatu fakta dan keterangan yang diperoleh
saat penelitian. Adapun sumber data yang digunakan dalam
penelitian adalah sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
1. Informan
Informan merupakan orang yang menjadi sumber
imformasi dan sebagai narasumber dari obyek
8
adalah sesepuh dan penduduk asli desa Ngrombo,
kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
2. Dokumen
Dokumen yang dimaksud adalah berupa hasil
observasi dan wawancara yang dilakukan langsung
terhadap masyarakat desa Ngrombo, kecamatan plupuh,
kabupaten Sragen.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian adalah data yang menjadi sumber
pendukung dari data primer di dalam penelitian antara lain
Undang-undang, hasil karya dari kalangan hukum dan lain-lain (Soekanto dkk,
1983: 13), yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi dan
buku-buku yang mendukung keperluan dari penelitian yang dilakukan
di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
F. Tahap-tahap Penelitian
Pada penelitian ini terdapat tahap-tahap yang dilakukan oleh peneliti
membagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut:
a. Tahap Pra-lapangan
Dalam tahap pra-lapangan ini ada beberapa hal yang harus
dilengkapi oleh peneliti:
1. Menyusun rancangan penelitian.
2. Mengurus perizinan.
9 4. Memilih informan.
5. Menyiapkan semua perlengkapan penelitian.
b. Tahap Penelitian Lapangan
Tahap kedua ini mencakup tentang poin-poin sebagai berikut:
1. Memahami latar penelitian.
2. Adaptasi lapangan.
3. Pengumpulan data lapangan.
c. Tahap Analisis Data
Pada tahap analisis ini membahas tentang prinsip-prinsip pokok
materi yang diperoleh dari hasil penelitian tentang perawinan adat
Jawa di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen, namun
tidak merinci cara analisis data itu dilakukan karena ada bab yang
secara khusus membahas bagaimana cara menganalisis data. Analisis
data ini adalah mengubah data mentah menjadi data yang bermakna
yang mengarah pada kesimpulan (Arianto, 2010:53).
G. Teknik Pengumpulan Data
Teknik maupun prosedur pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti
seperti observasi partisipan, wawancara mendalam dan dokumentasi (Stain
Salatiga, 2008: 31).Data-data yang dikumpulkan oleh penulis yang dilakukan
di tempat fokus penelitian dengan menggunakan beberapa teknik sebagai
berikut:
1. Observasi. Merupakan pengamatan secara langsung pada prosesi
10
Metode observasi adalah teknik pengumpulan data dengan
pengamatan langsung kepada objek penelitian (Surakhmad, 1994:
164). Dengan tujuan untuk memperoleh gambaran maupun data dari
objek yang diteliti.
2. Indepth Interview (wawancara mendalam). Yaitu pengumpulan data
dengan menyampaikan secara langsung daftar pertanyaan yang telah
disusun untuk memperoleh jawaban secara langsung pula dari
seorang responden (Koentjaraningrat, 1986: 138). Di karenakan
penelitian ini menggunakan dasar penelitian studi kasus, oleh karena
itu pengumpulan data dengan cara wawancara secara mendalam. Hal
ini dianggap langkah paling tepat untuk memperoleh data serta
informasi secara detail dari objek penelitian karena wawancara
merupakan pertemuan dua orang atau lebih dengan tujuan untuk
bertukar berbagai informasi maupun ide dengan cara tanya jawab
dengan informan secara langsung, dalam hal ini adalah penduduk
desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
3. Dokumentasi, dilakukan dengan mengumpulkan data dan mengutip
dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian untuk
memperoleh data dari desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten
Sragen.
4. Analisis Data
Analisis merupakan suatu teknik dengan langkah
11
pesan secara objek dan sistematis untuk menarik suatu kesimpulan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan diskriftif analisis yaitu
dengan mendeskripsikan menganai perkawinan adat Jawa (Holsti,
1969: 14).
5. Triangulasi Data
Triagulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil
wawancara terhadap objek penelitian. Dalam penelitian ini,
validalitas data mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam
menentukan hasil akhir suatu penelitian sehingga diperlukan suatu
teknik untuk mendapatkan kevalidan dan keabsahan data. Teknik ini
bisa dilakukan dengan cara yaitu sebagai berikut: petama,
pengecekan setelah melakukan wawancara dan observasi. Kedua,
wawancara yang dilakukan lebih dari sekali, maka dilakukan
triangulasi saat wawancara telah selesai dan laporan penelitian telah
disusun untuk informan membaca terlebih dahulu membaca isi
laporan tersebut, dan yang paling utama untuk pengecekan
keabsahan data ini dikarenakan kekhawatiran terdapat kesalahan
maupun kekeliruan (Moleong, 1999: 330).
H. Penegasan Istilah
Untuk membantu pemahaman pembaca dalam menelaah penelitian ini
12
penulis merasa perlu untuk menyampaikan penjelasan dan penegasan
beberapa istilah sebagai berikut:
1. Adat Jawa
Adat Jawa merupakan sebuah kepercayaan yang dianut
masyarakat di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang
menetap di Jawa, yang pada hakikatnya suatu filsafat di mana
keberadaanya ada sejak orang Jawa itu ada (Wikipedia).
2. Hukum Islam
Hukum Islam menurut Mukhta Yahya (1986: 121) adalah khitbah
atau sabda pencipta syari‟at yang berkaitan dengan perbuatan orang
-orang mukaallaf, yang mengandung suatu tuntunan atau pilihan yang
menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya
sesuatu yang lain.
I. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini bukanlah penelitian yang pertama kali yang
dilakukan dalam hal pengamatan adat Jawa, meskipun demikian penelitian
ini bukanlah suatu duplikat dari penelitian atau skripsi yang sama dengan
lainnya. karena dalam penelitian ini penulis menfokuskan pada
perkawiana adat Jawa yang ada di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh,
13
Sebagai pendukung penelaahan komprehensif penulis menelusuri
hasil penelitian, artikel maupun buku-buku yang lain tetapi penelitian yang
relevan dengan topik yang dikaji diantaranya sebagai berikut:
Skripsi atau penelitian dari Fatkhur Rohman, pada tahun 2015
dengan judul ”Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa
Kraton Surakarta Dan Yogyakarta (Studi Komparasi)”. penelitin tersebut
membahas tentang upacara pernikahan yang dimulai dari tahap perkenalan
sampai terjadinya perkawinan yang dilakukan di kalangan keraton
Surakarta dan kraton Yogyakarta. Terdapat perbedaan khusus antara
busana pengantin kraton Surakarta dan kraton Yogyakarta, yaitu dalam
pengantin Surakarta busananya dikenal dengan sebutan busana basahan,
sedangkan pada pengantin kraton Yogyakarta menggunakan 5 corak
busana yakni: putri, kasatrian, kasatrian ageng, paes ageng, dan paes
ageng jangan menir. Selain busana terdapat juga perbedaan dalam prosesi
upacara perkawinan antara Surakarta dengan Yogyakarta diantaranya:
pondongan, posisi duduk dalam pelaminan, dahar kembul (dahar klimah).
Selain itu ada perbedaan dalam simbol-simbol yang bersifat abstrak.
Kemudian skripsi atau penelitian yang berjudul “Studi Deskriptif
Upacara dan Musik Pada Perkawinan Adat Jawa Di Medan Selayang” oleh
Sugiardi pada tahun 2014, hasil penelitiannya yaitu sebagai berikut:
Bahwa uacara panggih pada suku Jawa adalah upacara bertemunya
pengantin pria dan wanita setelah keduanya sah sebagai suami istri. Dalam
14
hitungan hari berdasarkan tanggal lahir dari kedua mempelai yang telah
dirumuskan sesuai penanggalan orang Jawa (weton). Pelaksanaannya juga
terdiri dari upacara-upacara yang sangat sakral, dimulai dari nontoni,
lamaran, panggih, srah tinampi, pertukaran kembar mayang, ngidak
endhok (wiji dadi), sindur, sampai akhirnya ditutup dengan prosesi
terakhir yaitu sungkeman.
Buku yang ditulis oleh Muhammad Hariwijaya pada tahun 2004
yang berjudul “Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa”. Buku
tersebut menceritakan bagaimana prosesi upacara perkawinan yang
dimulai dari seorang anak yang akan atau telah menentukan pasangan
hidupnya, selajutnya menerima ataupun melaksanakan prosesi lamaran,
menentukan hari perkawinan, pembentukan panitia dan pelimpahan tugas
untuk jalannya upacara perkawinan, persiapan menjelang pesta
perkawinan, pedoman menentukan tamu undangan dan catering, surat
kelengkapan menikah, prosesi upacara srah-srahan peningset,
menyelenggaraan upacara pasang tarub, menyelenggarakan upacara
siraman, tata cara menyelenggarakan malam midodareni dan kembar
mayang, memasuki upacara ijab kabul, prosesi upacara panggih temanten,
prosesi upacara resepsi, upacara ngunduh mantu dan jenang sumsum,
panduan manual acara pernikahan, dan yang terakhir ular-ular panggih
temanten.
Dari berbagai tinjauan pustaka yang penulis utarakan di atas, tentu
15
menjelaskan tentang bagaimana konsep upacara perayaan perkawinan
menurut Islam, dan bagaimana konsep perayaan perkawinan menurut
masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen, serta
bagaimana pemikiran hukum Islam mengenai upacara perayaan
perkawinan adat di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
J. Sistematika Penulisan
Agar mempermudah penjelasan skripsi tentang perkawinan adat Jawa
ini perlu sistematika penulisannya. Adapun sistematika dalam penulisan
penelitian adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian yang meliputi kegunaan
teoritis dan kegunaan praktis, metode penelitian yang meliputi jenis
penelitian, sifat penelitian, pendekatan, pengumpulan data, langkah-langkah
penelitian dan analisis data. Kemudian penegasan istilah, tinjauan pustaka
dan terakhir sistematika penulissan.
BAB Kajian pustaka yang meliputi: pengertian
pernikahan/perkawinan, hukum dan syarat perkawinan, pengertian adat Jawa,
perkawinan berdasarkan adat Jawa, syarat-syarat pernikahan/perkawinan
berdasar adat Jawa. Perkawinan dalam agama Islam.
BAB I Hasil penelitian yang terdiri dari gambaran umum dari objek
penelitian yang terdiri dari: Gambaran umum tentang desa Ngrombo,
16
tanggapan masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen
mengenai Perkawinan adat Jawa.
BAB IV Pembahasan pokok permasalahan dari data-data hasil
penelitian mengenai: Proses pelaksanaan perkawinan adat Jawa di desa
Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen. Implikasi perkawinan adat
Jawa terhadap masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten
Sragen. Alasan-alasan Perkawinan adat Jawa masih dipegang teguh oleh
masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.
Perkawinan adat Jawa perspektif Islam.
BAB V Penutup, merupakan bagian terakhir penulisan Skripsi ini. Pada
bab ini berisi kesimpulan keseluruhan isi dari skripsi mengenai penulisan
hasil penelitian tentang perkawinan adat Jawa, serta rekomendasi penulis
17
BAB II
Perkawinan Adat Jawa
Dalam Pemikiran Ulama
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan
1. Pengertian perkawinan
Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada
semua mahluk ciptaan Allah SWT baik manusia, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan. Perkawinan haruslah mengikuti tata cara yang normatif dan
legal, karena perkawinan manusia berbeda dengan binatang. Untuk
binatang perkawinan hanyalah untuk memenuhi nafsu birahinya dan
dilakukan dengan bebas menurut hawa nafsunya karena sudah menjadi
kodrat binatang, sedangkan bagi manusia perkawinan diatur oleh syariat
dan peraturan yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Perkawinan dalam
literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah (
خكَ
( dan zawaj (جأص
) . kedua kata ini kata yang terpakai dalam kehidupan18
na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Qur‟an dengan arti kawin. Secara arti
kata nikah atau zawaj berarti “bergabung”
(
ىض
)
, “hubungan kelamin”(
ءطٔ
) dan juga berarti “akad” (ذقػ
). Dalam arti terminologis di dalamkitab-kitab fiqih banyak diartikan dengan:
ظفهث ءطٕنا خدبثا ًٍضزٚ ذقػ
جٚٔضزنأا حبكَلاا
yang artinya yaitu akad atau perjanjian yang mengandungmaksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz
na-ka-ha atau za-wa-ja (Abidin & Aminuddin, 1999: 125).
Para ahli fiqih biasa menggunakan rumusan definisi sebagaimana
tersebut diatas dengan penjelasan sebagai berikut:
1). Penggunaan lafaz akad
(
ذقػ
)
untuk menjelaskan bahwa perkawinan ituadalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak yang
terlibat dalam perkawinan. Perkawinan iu dibuat dalam bentuk akad
karena ia adalah peristiwa hukum , bukan peristiwa biologis atau semata
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.
2). Penggunaan ungkapan
ءطٕنا خد بثا ًٍضزٚ
(yang mengandung maksudmembolehkan hubungan kelamin), karena pada dasarnya hubungan
laki-laki dan perempuan itu adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang
membolehkannya secara hukum syara‟. Di antara hal yang membolehakan
hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah di antara keduannya.
Dengan demikian akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu
19
3). Penggunaan kata
جٚ
ٔضرٔا حبكثا ظفهث
, yang berarti menggunakan lafazna-ka-ha atau za-wa-ja mengandung maksud bahwa akad yang
membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan itu
mesti dengan menggunakan kata na-ka-ha dan za-wa-ja, oleh karena dalam
Islam di samping akad nikah itu ada lagi usaha yang membolehkan
hubungan antara laki-laki dan perempuan itu, yaitu pemilikan seorang
laki-laki atas seseorang perempuan atau disebut juga “perbudakan”.
Bolehnya hubungan hubungan kelamin dalam bentuk ini tidak disebut
perkawinan atau nikah, tetapi menggunakan kata “tasarri” (Syarifuddin,
2003: 73).
Menurut Shiddieq mengartikan kawin secara etimologis (lughah)
adalah kumpul atau bersatu, sedangkan menurut terminologisnya (istilah)
“Nikah ialah suatu „Aqd (ikatan) yang menghalalkan hubungan laki-laki
dan perempuan yang semula terlarang (haram) (Shiddieq, 2004: 1).
Sedangkan dalam kamus Al-Mu‟jam Al-Wasiith dan Mu‟jam Al
-Muhiith mendefinisikan Kata zawaaj „perkawinan‟ menurut bahasa bisa
berarti bersanding, bergabung, dan bercampur. Mengawinkan berarti
menyandingkan, menyatukan, dan mencampurkan. Az-zawaaj juga bisa
berarti berkumpulnya suami dengan istri, atau laki-laki dengan perempuan
(Ariij, 2006: 29).
Menurut golongan Hanafiyah, mengartikan sebagai berikut:
Nikah itu adalah aqad yang memberikan faedah memiliki,
20
Dan menurut golongan Malikiyah, nikah merupakan aqad yang
mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan
watha‟(
ءطٔ
), bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diriseorang wanita yang boleh nikah dengannya.
Sedangkan menurut golongan Syafi‟iyah mendefinisikan nikah
merupakan aqad yang mengandung kekuasaan untuk watha‟ (bersetubuh)
dengan lafadz nikah atau yang semakna dengan keduannya. Menurut
golongan Hambaliyah mengartikan nikah adalah aqad yang
mempergunakan lafadz nikah atau tazwij untuk membolehkan manfaat,
bersenang-senang dengan wanita (Al-Jaziri, 1990: 8). Menurut Sayuti
Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh
untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan membentuk keluarga kekal, santun menyantuni, kasih
mengasihi, tentram dan bahagia (Ramulyo, 1999: 1).
Sedangkan menurut Pasal 2 inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan dan tujuannya adalah:
Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat
atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan yang
melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah
21
Menurut Syarifuddin ada beberapa hal dari dirumusan tersebut di
atas yang perlu diperhatian adalah sebagai berikut:
a. Digunakan kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti
bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini
menolak perkawinan sesama jenis yang dewasa ini telah dilegalkan oleh
beberapa negara barat.
b. Digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa
perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam
suatu rumah tangga, bukan hanya istilah “hidup bersama”.
c. Dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu
membentu rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan
sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam
perkawinan mut‟ah dan perkawinan tahlil.
d. Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan
bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama yang dilakukan
untuk memenuhi perintah agama (Syarifuddin, 2003: 75).
Dari sekian pendapat mengenai pengertian pernikahan dapat ditarik
garis besar bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan (ikatan) dan
akad yang dimaksudkan untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki
dengan perempuan (kumpul atau Al-Jam‟u/Al-Dhamu) yang awalnya
haram dengan tujuan mewujudkan kebahagiaan dan kasih sayang hidup
22 2. Prinsip-prinsip Perkawinan
Menurut Ahmad Azhar Basyir mengemukakan prinsip-prinsip
perkawian menurut agama Islam adalah:
a. Pilihan jodoh yang tepat.
b. Perkawinan didahului peminangan.
c. Ada ketentuan tentang larangan perkawianan antara laki-laki dengan
perempuan.
d. Perkawinan didasarkan pada suka rela antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
e. Ada persaksian dalam aqad nikah.
f. Perkawianan tidak ditentukan untuk waktu tertentu.
g. Ada kewajiban membayar maskawin atas suami.
h. Ada kebebasan mengajukan sembahyang dalam nikah.
i. Tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
j. Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga
(Basyir, 1996: 14).
Sedangkan menurut Undang-undang Perkawinan bahwa prinsip
perkawinan adalah sebagai berikut:
Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 Ayat 1: “perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ayat 2: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
23
Ayat 1 Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1994: “pada asasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (IAIN, 2016: 32).
c. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun artinya unsur-unsur pokok untuk sahnya sebuah
perkawinan, yaitu sebagai berikut:
1. Sighot (akad) yaitu perataan dari pihak wali perempuankepada seorang
pria yang berisi tentang tujuan menikahkan anak perempuannya.
2. Wali
3. Dua orang saksi.
Sedangkan rukun nikah ada lima, adalah sebagai berikut:
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali
d. Dua orang saksi
e. Aqad (Ijab-Qabul)
Ijab artinya penegasan kehendak atau penyerahan anak
perempuan dari walinnya kepada calon suami, sedangkan Qabul
adalah penegasan penerimaan dari calon suami (Saleh, 2008: 300).
Sedangkan syarat perkawinan menurut Pasal 6 UU No 1 Tahun
1974 adalah:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
24
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka
izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau
lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut
dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar
orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini (2016:
33).
25
Perkawinan sangat dianjuran dalam Islam, banyak ayat-ayat
al-Qur‟an maupun hadits Nabi yang digunakan sebagai dasar hukum dan
rujukan untuk melaksanan perkawinan diantaranya sebagai berikut:
Seperti halnya tersebut di atas bahwa Allah menciptakan mahluk
hidup ini secara berpasang-pasang sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (QS. Az Zumariyat: 49).
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui” (QS. An Nuur: 32).
Penegasan bahwa berpasang-pasang tersebut antara laki-laki dan
perempuan saja tidak sesama jenis laki-laki dengan laki-laki ataupun
perempuan dengan perempuan sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
26
Selain ayat al-Qur‟an, ada juga hadits Nabi tentang nikah, yaitu seperti
hadits Nabi SAW dari Ibnu Mas‟ud RA:
بَٚ
memiliki kemampuan, maka menikahlah, karena menikah itu bisa menundukkan mata dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa keimanannya, maka takutlah kepada Allah terhadap setengahsisanya” (HR At-Tabrani dalam Al-Ausat).
Penjelasan hadits: Hadits ini menyiratkan bahwa dengan
melangsungkan pernikahan, seseorang menjaga dirinya dari kerusakan
agama (ahlaknya) dapatlah disimpulkan bahwasanya yang paling merusak
ahlak seseorang pada ghalibnya ialah perut dan kemaluannya. Oleh karena
itu terpeliharalah salah satu penyebab kerusakan agamanya. Perkawinan
juga dapat menyempurnakan keimanan seseorang (Fadlillah, 2012: 25).
Anjuran menikah atau kawin untuk menjaga kelangsungan hidup
27 Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An Nisaa: 1).
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)” (QS. Ar
Ra‟d:38).
28
Anjuran membangun perkawinan dan tujuan rumah tangga yang
dilandasi rasa kasih sayang: menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar Ruum: 21).
4. Hukum Perkawinan
Menurut kesepakatan ulama dalam kitab Al Mizan Al Kubra
karangan Ansori bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang
disunahkan. Dan berdasarkan dalil-dalil suruhan Allah dan Nabi untuk
melaksanakan perkawinan, maka perkawinan itu adalah perbuatan yang
lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan. Namun hukum asal
perkawinan adalah mubah (Alhamdani, 1989: 7), Namun karena ada
tujuan mulia yang hendak dicapai dari perkawinan itu dan yang melakukan
perawinan itu berbeda pula kondisinya serta situasi yang melingkupi
suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci Jumhur Ulama
menyatakan hukum perkawinan itu dengan malihat keadaan orang-orang
tertentu, yaitu sebagai berikut:
29
Perkawinan diwajibkan bagi orang-orang yang telah pantas untuk
kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan maupun
kemampuan untuk kawin, dan dia khawatir akan terjerumus ke tempat
maksiat (berzina) jikalau dia tidak kawin.
b. Sunnah
)ثٚذذنا( .َُِّْٙػ َتِغَسْذَقَف ِْٙزَُُّع ٍَْػ َتِغَس ًٍََْف ,ِْٙزَُُّع ُحبَكُِّنَا
Artinya: “Nikah itu sunnahku, siapa yang membenci sunnahku maka dia benar-benar membenciku”. (Al-Hadits)
Kawin disunahkan bagi orang yang sudah mampu tetapi ia masih
sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal seperti
ini maka kawin lebih baik dari pada membujang. Orang yang tidak
mempunyai nafsu birahi, baik karena lemah sahwat atau sebenarnya ia
mempunyai nafsu birahi namun hilang karena penyakit atau karena hal
lainnya (Alhamdani, 1989: 8).
Untuk mengenai hal tersebut terdapat dua pendapat yaitu sebagai
berikut:
Pertama: Ia tetap disunnahkan menikah, karena universalitas yang
telah dikemukakan di atas.
Kedua: Tidak menikah adalah lebih baginnya, karena dia tidak
dapat mewujudkan tujuan nikah dan bahkan menghalangi istrinya untuk
dapat menikah dengan laki-laki yang lain yang lebih memenuhi syarat.
Dengan demikian, berarti dia telah memenjarakan wanita tersebut. Ada
sisi yang lain, dia telah menghadapkan dirinya pada ketidakmampuan
30 c. Mubah
Menjadi mubah bagi orang yang tidak memiliki pendorong
maupun penghalang apapun untuk menikah. Ia menikah bukan karena
ingin mengamalkan sunnah melainkan memenuhi kebutuhan biologisnya
semata, sementara ia tidak khawatir terjerumus dalam kemaksiatan.
d. Makruh
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu” (QS. An Nuur: 33)
Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum
keinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk kawin juga belum
31
namun fisiknya mengalami cacat seperti impoten, berpenyakitan tetap,
sudah tua, dan kekurangan fisik lainnya (syarifuddin, 2003: 79).
e. Haram
Perkawinan akan menjadi haram bagi orang yang tidak akan dapat
memenuhi ketentua syara‟ untuk melakukan perkawinan atau dia yakin
perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara‟, sedangkan dia
menyakini perawinan itu akan merusak kehidupan pasangannya (2003:80).
5. Tujuan Perkawinan
Perkawinan mempunyai maksud dan tujuan di antaranya:
a. Untuk memperoleh ketentraman dalam kehidupan manusia dari
terciptanya suatu perkawinan. Ketentraman hidup dapat diperoleh
seseorang, manakala orang itu dapat memenuhi hidupnya, baik itu
kebutuhan lahiriah maupun kebutuhan batiniah.
b. Untuk menciptakan sakinah (ketentraman hidup), mawaddah (rasa
cinta), memiliki keturunan, tolong menolong dan mempererat
silaturahmi (Shiddieq, 2004: 11).
Sedangkan menurut Imam Al Ghozali berpendapat bahwa
terdapat lima hal tujuan perkawinan yaitu:
a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan
keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa.
b. Memenuhi tuntunan naluriah hidup kemanusiaan.
32
d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis
pertama dari masyarakat yang besar dan di atas dasar kecintaan dan
kasih sayang.
e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki penghidupan
yang halal, dan mempertinggi rasa tanggung jawab (Al Ghozali:
2586).
6. Perayaan Perkawinan Dalam Islam
Islam sesungguhnya telah mengatur tata cara lengkap umatnya
apabila akan melangsungkan perawinan, dari sebelum hingga perayaan
sesudah ijab dan qabul. Berikut hal-hal yang dilakukan sebelum pernikahan
menurut Islam:
a. Meminta Pertimbangan
Bagi seorang laki-laki sebelum ia memutuskan untuk
mempersunting seorang wanita untuk menjadi istrinya, alangkah
baiknya ia juga meminta pertimbangan dari kerabat dekat wanita
tersebut yang baik agamanya, sehingga ia memberikan pertimbangan
yang jujur dan adil (eramuslim.com) .
b. Sholat Istikharah
Setelah mendapatkan pertimbangan tentang bagaimana calon
istrinya, hendaknya ia melakukan shalat istikharah sampai hatinya
diberi kemantapan oleh Allah Taala dalam mengambil keputusan,
karena istikharah adalah shalat untuk meminta kepada Allah agar diberi
33
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu (QS. Al Baqarah: 235).
Setelah mendapat kemantapan dalam menentukan wanita
pilihannya, hendaklah segera meminangnya. Laki-laki tersebut harus
menghadap orang tua/wali dari wanita pilihannya itu untuk
menyampaikan kehendak hatinya, yaitu meminta agar direstui untuk
menikahi anaknya. Adapun wanita yang boleh dipinang adalah yang
memenuhi dua syarat:
1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan syar‟i
yang menyebabkan laki-laki tersebut dilarang untuk
mempersuntingnya, seperti karena nasab dan hubungan
darah.
2. Belum dipinang oleh orang lain secara sah, sebab Islam
melarang seseorang meminang pinangan saudaranya (2007:
17-18).
d. Melihat Wanita Yang Dipinang
Islam adalah agama yang mensyari‟atkan pelamar untuk melihat
wanita yang dilamar dan mensyari‟atkan wanita yang dilamar untuk
melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing-masing pihak
34
hidupnya. Nabi Muhammad SAW bersabda kepada sahabatnya
Mughirah bin Syu‟bah yang telah meminang seorang wanita, beliau
betanya “Apakah kamu telah melihatnya?” Mughirah menjawab
“Belum” lalu beliau bersabda:
بًَُكََُْٛث ُوَدْؤُٚ ٌَْأ َ٘شْدَأ ََُِّّأَف َبَْٓٛنِأ ْشُظَُْا
Artinya: “Lihatlah ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan antara anda berdua. (maksudnya menjaga
kasih sayang dan kesesuaian )”.
Adapun ulama memberikan ketentuan hukum yang diletakkan
Islam dalam masalah melihat pinangannya yaitu bahwa yang boleh
dilihat oleh lelaki dari wanita yang dipinangnya yaitu sebatas
pakaiannya yang bisa tampak untuk ayah saudara dan mahramnya
(Qardhawi, 2000: 197).
Adapun hal-hal pada saat hari perkawinan hingga perayaan
perkawian yaitu sebagai berikut:
1. Aqad Nikah
Tahap yang paling sakral dalam perkawinan yaitu akad nikah.
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus
dipenuhi:
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya ijab qabul.
Ijab qabul artinya seorang wali atau wakil dari mempelai
perempuan mengemukakan kepada calon suami anak
35
perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki yang
mengambil perempuan tersebutsebagai istrinya (Fadlillah,
2012: 97).
c. Adanya wali
Wali yang mendapat prioritas pertama diantara sekalian
wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita.
d. Adanya Saksi-saksi
Seperti hadits Rasulullah SAW yang artinya “Tidak sah
suatu pernikahan tampa seorang wali dan dua orang saksi
yang adil” (HR Al-Baihaqi dari Aisyah, shahih, Al-Jamius
Shaghair oleh Syaikh Al-Albani no. 7557). Dan menurut
sunnah Rasul, sebelum sbelum aqad nikah diadakan
khuthbah terlebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah
atau khuthbatul-hajat (eramuslim.com).
e. Adanya Mahar (mas kawin)
Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang
hendak menikahinya menyerahkan mahar (mas kawin).
Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu dalam mas
kawin ini, tetapi atas kesepakatan kedua belah pihak dan
menurut kadar kemampuan. Mahar adalah hak mutlak calon
mempelai wanita dan kewajiban mempelai pria untuk
memberikannya sebelum akad nikah dilangsungkan (Saleh,
36
2. Walimah atau Pengumuman Pernikahan
Walimah merupakan pesta perkawinan atau makanan dalam
sebuah acara pesta perkawinan, ataupun juga setiap makanan yang
disediakan untuk para undangan pada sebuah pesta. Tujuan dari
walimah yaitu sebagai kabar berita bahwa telah menikah antara
laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan perkawian
(yang mengadakan walimah tersebut). Islam mengajarkan agar
perkawinan itu diumumkan (Al-Manar, 2007: 43).
Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menghindari
terjadinya perkawinan yang dilakukan secara rahasia, yang mungkin
saja dapat menimbulkan fitnah. Juga untuk menampakkan
kegembiraan dengan adanya peristiwa bersejarah bagi dua anak
manusia, sekaligus sebagai motivasi bagi mereka yang belum
menikah, atau yang ingin menikah lagi. Mengumumkan sebuah
perkawinan boleh dilaksanakan menurut adat setempat, asalkan
tidak mengandung maksiat dan hal-hal yang diharamkan dalam
Islam. Seperti hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah
r.a. sebagai berikut:
َفُْٕف ضنا َِّْٛهَػ إُْثِشْضأَ ِذِج بَغًَْنا ِٙف ُُِْٕهَؼْجأَ َحبَكَُّنا اَزَْ إُُِْهْػآ
37
Adapun hukum mengadakan walimah atau makan-makan di
hari pesta perkawinan adalah sunnah. Sebagian ulama mengatakan
wajib sebagimana hadits Nabi SAW:
، َتََُْٚص َٗهَػ َىَنَْٔا بَي ِِّئبَغَِ ٍِْي ٍءَْٙش َٗهَػ ص ِٙجَُّنا َىَنَْٔا بَي :َلبَق ٍظَََا ٍَْػ
menyelenggarakan walimah atas (pernikahannya)
dengan istri-istri sebagaimana walimah atas
(pernikahannya) dengan Zainab, beliau
menyelenggarakan walimah dengan (menyembelih)
seekor kambing”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan keterangan di atas, bagi mereka yang mampu
dianjurkan untuk mengadakan walimah minimal dengan
menyembelih seekor kambing, atau dengan makanan makanan
yang senilai dengan harga seekor kambing. Karena Nabi SAW
pernah menyembelih seekor kambing, ketika mengadakan walimah
untuk perkawinan beliau dengan Zainab r.a. Namun demikian,
walimah boleh juga diadakan sesederhana mungkin tampa harus
menyembelih seekor kambing atau sejenisnya, tetapi dengan
menyuguhkan sesuatu yang dapat dinikmati, karena walimatul „urs
itu disunnahkan dan menurut pendapat Abu Haniefah disukai
(Shiddieqy, 1978: 299).
Dan waktu walimah dapat diadakan saat dilangsungkan
acara akad nikah atau sesudahnya, atau bertepatan pada hari
38
kepada adat dan kebiasaan masing-masing. Dalam riwayat
Al-Bukhari disebutkan, bahwa Rasulullah saw. Mengundang jamaah
untuk menghadiri walimah di hari sesudah beliau mencampuri
istrinya Zainab r.a. (2007: 44-45).
Selain perjamuan makanan, termasuk perbuatan yang
dibolehkan Islam dan dianjurkan dalam acara pesta perkawinan
adalah bernyanyi-nyanyi sebagai hiburan, dengan catatan harus
dihindari hal-hal yang melanggar batas kewajaran, seperti
perbuatan-perbuatan mesum, kata-kata jorok dan keji yang tidak
layak diperdengarkan. Amir bin Sa‟at meriwayatkan sebuah hadits,
ia berkata, “Saya masuk ke rumah Qirzhah bin Ka‟ab di hari
perkawinan Abu mas‟ud Al-Anshari. Tiba-tiba ada beberapa budak
perempuan (Jariyah) bernyanyi. Lalu saya berkata “Bukankah anda
berdua adalah sahabat Rasulullah saw. Dan termasuk pejuang
Badar? Kenapa kalian diam saja padalah ini terjadi di hadapan
kalian?, kedua menjawab “Jika kamu suka maka bolehlah kamu
mendengarkannya bersama kami, dan jika kamu tidak suka kamu
boleh pergi, karena kami diberi kelonggaran untuk mengadakan
hiburan pada acara pesta perkawinan” (Al Manar, 2007: 43).
Tetapi apa yang terjadi sekarang ialah perubahan yang
sangat besar, yaitu memeriahkan pesta perkawinan dengan
mendatangkan alat-alat musik dan penampilan wanita-wanita
39
wanita telanjang sambil meliuk-liukkan tubuhnya dan bercampur
aduk dengan kaum lelaki. Hal ini tidak dibenarkan dalam Islam,
bahkan Nabi menggambarkan calon penghuni neraka:
ِط
Artinya: “Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat, satu kaum yang selalu bersama cambuk
bagaikan ekor-ekor sapi, dengannya mereka memukul manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang. Mereka berjalan dengan melenggak-lenggok menimbulkan fitnah (godaan). Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring. Mereka tidak masuk ke dalam surga. Dan mereka tidak mencium baunya. Dan sungguh bau surga itu bisa tercium dari
jarak demikian dan demikian”. (HR. Muslim dari Sahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu‟anhu)
Oleh karena itu untuk menyelenggarakan pesta perkawinan,
sebaiknya menjauhi segala sesuatu yang dilarang syari‟at (2007:
46-47). Karena menurut pandangan para Sufi, manusia yang baik
adalah manusia yang sejalan dengan “Tuhan” dan dengan tatanan
masyarakat yang ditentukan oleh “Tuhan” pula (Mulder, 1948: 41).
B. Tinjauan Umum Tentang Adat Perkawinan Dalam Ushul Fiqih
1. Definisi Adat (Al-„urf)
Al-„urf (
فؼنا
(ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya40
ahli syara‟, tidak ada perbedaan antara „urf dan adat. Jadi „urf adalah
terdiri dari saling pengertian manusia atas perbedaan tingkatan mereka,
keumumannya dan kekhususannya. Berbeda dengan Ijma‟, karena
Ijma adalah tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus,
dan umum tidak termasuk ikut membentuk di dalamnya (Khallaf,
1991: 134).
2. Pembagian Adat (Al-„urf)
Macam-macam „urf jika dilihat dari segi objeknya „urf dibagi menjadi
dua yaitu:
a. Al-„urf al-lafzhi (
ٙظفهنا فشؼنا
) adalah kebiasaan masyarakat dalammempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan
sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dalam pikiran masyarakat.
b. Al-„urf al-„amali (
ٙهًؼنا فشؼنا
) adalah kebiasaan masyarakat yangberkaitan dengan perbuatan biasa atau mu‟amalah keperdataan.
Maksudnya “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam
kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang
lain (1996: 139).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara‟, „urf terbagi
menjadi dua yaitu sebagai berikut:
41
nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka.
2) Al-„urf al-fasid )
ذغفنا فؼنا
(adalah adat ataupun kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidahdasar yang ada dalam syara‟(Haroen, 1996: 141)
c. Ketentuan-Ketentuan Adat dalam Penetapan Hukum
Adapun „urf shahih, maka harus dipelihara dalam pembentukan
hukum. Menurut para ulama adat itu adalah syariat yang dikukuhkan
sebagai hukum. Sedangan „urf menurut syara‟ juga mendapat pengakuan. Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya
kepada amal perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah bersama
murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan
dasar atas perbedaan „urf mereka. Imam Syafi‟i ketika telah berada di Mesir mengubah sebagian hukum yang telah menjadi pendapatnya
ketika beliau berada di Baghdad. Hal ini karena pendapat „urf. Karena
itu beliau mempunyai dua madzab, madzhab qodim (dahulu) dan
madzhab jadid (baru). Ibnu Abidin telah menyusun Risalah bahwa
“apa-apa yang dimengerti secara „urf adalah seperti yang disyaratkan
menurut syara‟, dan yang telah tetap menurut „urf adalah seperti yang
telah tetap menurut nash. Kaidah ushul fiqih dalam kitab mawadi‟ul
awaliyah, menurut Abdul Hamid Hakim dalam Qaidah 21 yang
berbunyi:
42
Artinya: “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat
dijadikan sebagai hukum”.
Maksudnya adat kebiasaan dapat dijadikan hujjah dan hukum yang
berlaku di tempat dimana adat dan tradisi tersebut hidup dan
berkembang (Hakim, 1927: 36).
Adapun „urf yang rusak itu maka tidak harus dipeliharanya
(dilakukan), karena memeliharanya berarti menentang dalil syara‟.
Hukum-hukum yang didasarkan atas „urf itu dapat berubah menurut perubahan „urf pada suatu zaman dan perubahan asalnya. Karena itu
para Fuqoha berkata dalam contoh perselisihan ini: “Bahwa
perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, bukan
perselisihan hujjah dan bukti” (1991: 135).
d. Syarat-Syarat Adat (Al-„Urf)
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa suatu „urf, baru dapat
dijadikan sebagai salah satu dalil dalam penetapan hukum syara‟
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. „Urf itu (baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan), berlaku secara umum. Artinya, „urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat
tersebut.
2. „Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan
43
3. „Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash itutidak bisa diterapkan. „Urf seperti
ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil syara‟, karena kehujjahan „urf
bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum
permasalahan yang dihadapi (1996: 143-144).
e. Pandangan Ulama Tentang Perkawinan Adat
Perkawinan adat tidak diterangkan dalam Al-Qur‟an maupun
Al-hadits, sehingga dalam membicarakan adat termasuk perkawinan
adat Jawa telah disinggung dalam kitab kaidah fiqiyah )‟urf), menurut pandangan ulama tentang adat yaitu sebagai berikut:
Pandangan madzhab Syafi‟i bahwa agama Islam tidak
menentang tradisi bahkan menghormatinya, sepanjang tradisi
tersebut tidak menyalahi prinsip agama apalagi menyalahi prinsip
aqidah seperti pengesaan Allah subhanahu wata‟ala, membicarakan
nasib manusia, tentu harus berhati-hati. Seperti penegasan ayat
berikut:
Artinya: “Katakanlah: "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” (QS. An Naml: 65).
Menurut pandangan Imam Syafi‟i bahwa adat hukumnya mubah
44
tidak bertentangan dengan aqidah dan syariat agama Islam
(latansanasibaka.blogspot.com).
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa „urf al-shahih, yaitu adat
yang tidak bertentangan dengan syara‟, baik yang menyangkut
adat/kebiasaan ucapan maupun adat/kebiasaan perbuatan dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara‟. Seorang mujtahid
dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam Al Qarafi (w. 684
H/1285 M./ahli fiqih Maliki), harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang
ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan
yang menyangkut masyarakat tersebut.
Seluruh ulama madzhab, menurut Imam Al Syathibi (w.790 H./ahli
ushul fiqih Maliki), dan Ibn Qayyim Al Jauziyah (691-751
H/1292-1350 M./ahli ushul fiqih Hanbali), menerima dan menjadikan adat
(„urf) sebagai dalil syara‟ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada
nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi (Haroen,
45
BAB III
DESA NGROMBO KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN SRAGEN
DAN KEYAKINAN TERHADAP ADAT JAWA
A. Gambaran Umum dan Kondisi Sosial Kultural Desa Ngrombo
Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen
1. Letak Geografis
Desa Ngrombo merupakan salah satu desa yang terletak di
kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen Provinsi JawaTengah. Jarak dari
Ibu Kota Kabupaten 36 kilometer, dan dari Ibu Kota Provinsi berjarak
91 kilometer, sedangkan antara Ibu Kota Negara berjarak kurang lebih
701 kilometer. Menurut geografis desa Ngrombo terletak di
tengah-tengah kependudukan yang padat di kabupaten Sragen dan mempunyai
46
a. Sebelah Timur desa Ngrombo berbatasan langsung dengan
desa Karangwaru, kecamatan Plupuh dengan batas wilayah
yang ditandai dengan jalan raya Gemolong-Plupuh.
b. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Bantengan.
c. Sebelah Selatan desa Ngrombo berbatasan langsung dengan
desa Sambirejo kecamatan Plupuh.
d. Sebelah Utara desa Ngrombo kecamatan Plupuh ini berbatasan
langsung dengan kecamatan Tanon, tepatnya dengan desa Wiro
Sari. Batas antara dua kecamatan ditandai dengan jalan raya
jalur Gemolong-Gabugan yang menjadi pemisah antara kedua
kecamatan ini.
Desa Ngrombo kecamatan Plupuh adalah termasuk wilayah
daratan rendah, desa ini mempunyai ketinggian 346 meter di atas
permukaan air laut, Dengan luas wilayah keseluruhan 267 Ha. Dengan
luas wilayah tersebut dengan 91 Ha merupakan pemukiman dan
perumahan penduduk. Sawah dan tegalan di desa Ngrombo seluas 127
Ha, sedangkan yang digunakan sebagai perkantoran seluas 8 Ha. 4 Ha
merupakan tanah wakaf, sisanya digunakan untuk lain-lain yaitu seluas
37 Ha (Data Monografi desa Ngrombo tahun 2014).
2. Komposisi Penduduk dan Keadaan Administrasi
Desa Ngrombo yang hanya mempunyai luas wilayah 267 Ha,
namun termasuk daerah yang padat penduduk. Sampai tahun 2014