• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen) SKRIPSI Diajukan Untuk memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen) SKRIPSI Diajukan Untuk memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERKAWINAN ADAT JAWA

DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM

(Studi Kasus Di Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh

Kabupaten Sragen)

SKRIPSI

Diajukan Untuk memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

SITI MUKAROMAH

NIM: 211-12-018

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta karunia-Nya,

skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Bapak dan ibuku tercinta, Bapak Samudi dan Ibu Suliyem yang telah

mencurahkan segenap kasih sayangnya, do‟anya, serta segala dukungannya

dalam setiap langkah-langkahku.

2. Kakak serta adik-adikku tersayang mbak Nur Sholikah, mas Badi Anur

Achsan, dek Puji Mulyo Nugroho, dek Puji Agung Rahmawati, yang

memberi dukungan & doanya tak pernah surut mengiringi perjuanganku.

3. Dosen pembimbing skripsiku ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag yang tak pernah

lelah membimbingku untuk menyelesaikan skripsiku ini.

4. Segenap dosen Fakultas Syari‟ah yang telah membagikan ilmunya kepadaku

dan teman-teman seperjuanganku angkatan 2012, khususnya jurusan Ahwal

al Syakhshiyyah.

5. Seseorang yang tak pernah bosan memberiku semangat di setiap harinya.

6. Keluarga besar Santri putra putri PP. Edi Mancoro & keluarga besar HMI

kota Salatiga yang tak pernah lelah menyemangati serta memberi warna

dalam hidupku.

7. Teman-teman seperjuangan mb Suci, mb Jamil, mb ayu peraih beasiswa

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim

Alhamdulillahirabbil‟alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga

penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PERKAWINAN ADAT

JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa Ngrombo

Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen)”.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan

dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan

skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa hormat

dan terima kasih kepada:

1. Rektor IAIN Salatiga, Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.

2. Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Sukron Makmun, M.Si.

3. Pembimbimbing skripsi, Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. yang dengan ikhlas

membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu dan tenaganya untuk

penulis sehingga skripsi ini terselesaikan.

4. Bapak serta Ibu dosen serta karyawan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga

yang telah membagi ilmu-ilmunya sehingga penulis mampu menyelesaikan

jenjang pendidikan S1.

Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka

(8)

viii

dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya, serta pembaca pada

umumnya. Amin.

Salatiga, 22 September 2016

(9)

ix

ABSTRAK

Mukaromah, Siti. 2016. PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen). Skripsi Fakultas Syariah. Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dosen Pembimbing Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.

Kata Kunci: Perkawinan Adat Jawa, Pemikiran, Hukum Islam.

Penelitian yang penulis lakukan untuk mengungkap adat dan tradisi masyarakat Jawa di dalam ritual perkawinan. Di mana adat dan tradisi dalam ritual perkawinan masarakat Jawa menganut kepada adat dan tradisi zaman dahulu yang telah dilakukan oleh nenek moyang suku Jawa. Dalam prosesi hajatan dalam perkawinan terdapat runtutan yang harus dilakukan oleh kedua mempelai maupun kedua orang tau calon mempelai. Mereka percaya apabila melewatkan salah satu prosesi, maka akan terjadi sesuatu yang mengancam kehidupan berumah tangga kedua mempelai. Melihat hal itu, maka penulis melakukan penelitian dengan tiga fokus pokok pembahasan yaitu: pertama, Bagaimana prosesi perkawinan adat yang dilakukan oleh masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen? Kedua, Alasan-alasan perkawinan adat masih dipegang teguh oleh masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen dan bagaimana implikasinya terhadap masyarakat? Ketiga, Bagaimana perkawinan adat di desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen dalam pemikiran hukum Islam?

Dengan penelitian kualitatif dan metode deskriftif analisis yang penulis lakukan berusaha untuk mengungkap dan menjawab pokok-pokok permasalahan di atas. Menggunakan metode penelitian tersebut penulis melakukan observasi dan wawancara di lapangan guna mengetahui secara langsung bagaimana praktik yang dilakukan oleh masyarakat di desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen dalam prosesi upacara adat yang hingga saat ini.

(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN...iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...iv

HALAMAN MOTTO...v

HALAMAN PERSEMBAHAN...vi

KATA PENGANTAR...vii

ABSTRAK ...ix

DAFTAR ISI...x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Rumusan Masalah...4

C. Tujuan Penelitian...4

D. Kegunaan Penelitian ...5

E. Metode Penelitian...6

F. Tahab-tahab Penelitian...8

G. Teknik Pengumpulan Data...9

H. Penegasan Istilah...11

I.Tinjauan Pustaka...12

J. Sistematika Penulisan...15

BAB II PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN ULAMA A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan...17

(11)

xi

BAB III DESA NGROMBO KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN SRAGEN

DAN KEYAKINAN TERHADAP ADAT JAWA

A. Gambaran Umum dan Kondisi Sosial Kultural Desa Ngrombo

Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen ...45

B. Keyakinan Masyarakat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen Terhadap Adat Jawa ...50

C. Ragam Adat Istiadat yang Hidup di Masyarakat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen...53

BAB IV PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM A. Prosesi Perkawinan Adat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen ...58

B. Alasan-alasan Perkawinan Adat Masih di Pegang Teguh Oleh Masyarakat Dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Desa Ngrombo...87

C. Pandangan Ulama Terhadap Perkawinan Adat Desa Ngrombo Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen...91

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...97

B. Saran...99

C. Penutup ...99

DAFTAR PUSTAKA...100

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan mahluk sosial, yang artinya bahwa manusia tidak

dapat hidup seorang diri dan membutukan manusia lain untuk bersosialisasi.

Contoh konkrit dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan sebuah

pernikahan atau perkawinan. Sejak lahir manusia telah dilengkapi dengan

naluri untuk hidup bersama dengan orang lain mengakibatkan hasrat yang

kuat untuk hidup teratur (Soekanto, 1982: 9). Allah SWT menciptakan

sejumlah insting dan dorongan nafsu yang mengiringi manusia kepada

berbagai hal yang menjamin ksistensinyasebagai individu, juga sebagai

spesies. Salah satunya adalah insting seksual, yang berfungsi untuk

mempertahankan spesies manusia. Ia merupakan insting yang sangat kuat

tertanam dalam diri manusia (Qardhawi, 2000: 213). Seperti halnya Allah

SWT menciptakan manusia pertama kali yaitu Nabi Adam, yang dimana

Allah tidak membiarkan Nabi Adam hidup seorang diri namun dihadirkanlah

Hawa sebagai teman hidupnya di muka bumi. Karena Nabi Adam pertama

kali manusia diciptakan tidak ada keterlibatan mahluk lain, dengan kata lain

Nabi Adam tidak dilahirkan seperti manusia pada umumnya lewat rahim

seorang ibu serta melibatkan malaikat dan orang tuanya (Sudarmojo, 2009:

91), maka dari itu untuk keturunan Nabi Adam yang lahir di dunia sebagai

generasi penerus umat manusia dengan perantara ayah dan ibu dan haruslah

(13)

2

Pengertian perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974

bab 1 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (Sudarsono,

2005: 288). “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa

tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

kaum yang berfikir” (QS. Ar Ruum : 21)

Dari ayat Al-Qur‟an tersebut, bermakna anjuran untuk menikah dan

bahwa Allah menciptakan manusia secara berpasang-pasang yaitu sebagai

suami istri, yang dimana perkawinan harus melalui suatu akad yang telah

ditentukan menurut rukun dan syarat perkawinan. Diantara manfaat dan

hikmah perkawinan ialah bahwa perkawinan itu menentramkan jiwa, dapat

meredam emosi, menutup dan menundukkan pandangan dari segala yang

dilarang Allah dan untuk mendapat kasih sayang suami istri yang dihalalkan

Allah sesuai dengan firmanya (Hamdani, 2002: 6). Sedangkan menurut

Muhammad Azzam dan Sayyed Hawwas dalam bukunya yang berjudul Fiqh

Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, tujuan perkawinan yang tertinggi

adalah memelihara regenerasi, memelihara gen manusia, dan masing-masing

suami istri mendapatkan ketenangan jiwa karena rasa kecintaan dan rasa

(14)

3

tempat peristirahatan di saat-saat lelah dan tegang, serta keduanya dapat

melampiaskan kecintaan dan kasih sayangnya selayaknya sebagai suami istri.

Pada prinsipnya pernikahan adalah perbuatan yang menyatukan

pertalian sah: “bertujuan untuk suatu akad yang menhalalkan pergaulan dan

pertolongan antara laki-laki dan wanita serta membatasi hak-hak serta

kewajiban masing-masing mereka” (Azzam dan Hawwas, 2009: 37). Dari

sini dapat dilihat tujuan penikahan bukan sekedar penyaluran naluri seks

semata melainkan juga menghapus batasan-batasan yang awalnya haram

menjadi halal. Sementara itu, aspek agama dalam pernikahan merupakan

perkara yang “suci”. Dengan demikian, pernikahan menurut Islam merupakan

ibadah , yaitu dalam rangka terlaksananya perintah Allah atas petunjuk

rasul-Nya, yakni terpenuhi rukun dan syarat nikah (Hassan, 2008: 299).

Pada masyarakat suku Jawa, pernikahan atau perkawinan merupakan

sesuatu yang agung. Banyak sesuatu hal yang sakral dalam upacara

perkawinan (Endrasswara, 2010: 194). Dalam prosesi pernikahan yang

dilakukan di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen terdapat

urutan-urutan yang harus dilakukan oleh kedua mempelai. Dari hal itu maka

penulis skripsi ini memberikan judul “PERKAWINAN ADAT JAWA

DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa

Ngrombo, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen)”. untuk mengetahui

bagaimana prosesi perkawinan adat yang dilakukan oleh masyarakat tersebut

(15)

4

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, pokok-pokok

permasalahan yang merupakan sentral pembahasan dan akan penulis kaji

dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana prosesi perkawinan adat yang

dilakukan oleh masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh,

kabupaten Sragen?

2. Alasan-alasan perkawinan adat masih dipegang

teguh oleh masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten

Sragen dan bagaimana implikasinya terhadap masyarakat ?

3. Bagaimana perkawinan adat yang dilakukan

masyarakat desa Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen dalam

pemikiran hukum Islam?

C. Tujuan Penelitin

Dari rumusan masalah di atas mengenai perkawinan adat Jawa,

Supaya tidak menyimpang dari pokok masalah dan sesuai dengan fokus

analisis yang telah penulis rumuskan di atas maka tujuan penelitian yaitu

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui prosesi perkawinan yang dilakukan masyarakat desa

Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

2. Untuk mengetahui alasan-alasan apa saja sehingga perkawinan adat Jawa

(16)

5

terhadap masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten

Sragen.

3. Untuk mengetahui bagaimana perkawinan adat Jawa yang dilakukan oleh

masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen dilihat

dari pemikiran hukum Islam.

D. Kegunaan penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan penulis dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Adapun kegunaan secara teoritis dari hasil penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Sebagai sumber referensi bagi para peneliti dan sebagai kajian

pustaka khususnya untuk mengkaji perkawinan adat khususnya di

desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

b. Untuk menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan yang

lebih luas bagaimana prosesi perkawinan yang dilakukan oleh

masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen

menurut fiqih Islam bagi siapa saja yang membaca skripsi ini.

c. Sebagai bahan atau wacana bagi pemerhati permasalahan adat

istiadat yang ada di Jawa, termasuk juga yang ada di desa

Ngrombo kecamatan Plupuh kabupaten Sragen.

(17)

6

Penulis mengharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi dan

ilmu pengetahuan bagi semua pihak yaitu sebagai acuan dalam

kehidupan bermasyarakat.

E. Metode Penelitian

Metode dalam suatu penelitian merupakan sesuatu hal yang sangat

lazim digunakan oleh peneliti setiap melakukan penelitian ilmiah. Di dalam

dunia penelitian, penggunaan metode penelitian untuk mengkaji dan meneliti

suatu objek penelitian telah diatur dan ditentukan dengan pesyaratan yang

sangat ketat berdasarkan disiplin keilmuan yang telah diberlakukan. Hal ini

dimasudkan agar hasil temuan dari penelitian tersebut diakui kebenaranya

oleh komunitas ilmuan yang terkait dengan hal itu karena memiliki nilai

ilmiah di bidang tersebut.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian sebagai

berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk dasar penelitian ini

adalah penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang

dilakukan dengan intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu

objek penelitian, yang umumnya menggunakan strategi multi

metode yaitu wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen

atau study documenter yang antara satu dengan lainnya saling

melengkapi, memperkuat dan menyempurnakan (Sukmadinata,

(18)

7 2. Pendekatan Penelitian

Dengan menggunakan pendekatan deskriftif analisis.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara detail tentang

sesuatu objek agar dapat mempelajari secara mendalam mengenai

perkawinan adat Jawa yang dilakukan oleh kedua calon pengantin

maupun keluarga dari keduanya.

3. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini, penulis hadir dan ikut serta dalam

proses penelitian di lapangan dan pencarian informasi menganai

prosesi perkawinan adat Jawa di desa ngrombo ecaatan Plupuh

kabupaten Sragen.

Adapun penelitian mulai dilakukan pada tanggal 09 Juli

2016 sampai dengan selesai penelitian dan pembuatan skripsi ini

selesai.

4. Sumber Data

Data merupakan suatu fakta dan keterangan yang diperoleh

saat penelitian. Adapun sumber data yang digunakan dalam

penelitian adalah sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer

1. Informan

Informan merupakan orang yang menjadi sumber

imformasi dan sebagai narasumber dari obyek

(19)

8

adalah sesepuh dan penduduk asli desa Ngrombo,

kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

2. Dokumen

Dokumen yang dimaksud adalah berupa hasil

observasi dan wawancara yang dilakukan langsung

terhadap masyarakat desa Ngrombo, kecamatan plupuh,

kabupaten Sragen.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian adalah data yang menjadi sumber

pendukung dari data primer di dalam penelitian antara lain

Undang-undang, hasil karya dari kalangan hukum dan lain-lain (Soekanto dkk,

1983: 13), yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi dan

buku-buku yang mendukung keperluan dari penelitian yang dilakukan

di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

F. Tahap-tahap Penelitian

Pada penelitian ini terdapat tahap-tahap yang dilakukan oleh peneliti

membagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut:

a. Tahap Pra-lapangan

Dalam tahap pra-lapangan ini ada beberapa hal yang harus

dilengkapi oleh peneliti:

1. Menyusun rancangan penelitian.

2. Mengurus perizinan.

(20)

9 4. Memilih informan.

5. Menyiapkan semua perlengkapan penelitian.

b. Tahap Penelitian Lapangan

Tahap kedua ini mencakup tentang poin-poin sebagai berikut:

1. Memahami latar penelitian.

2. Adaptasi lapangan.

3. Pengumpulan data lapangan.

c. Tahap Analisis Data

Pada tahap analisis ini membahas tentang prinsip-prinsip pokok

materi yang diperoleh dari hasil penelitian tentang perawinan adat

Jawa di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen, namun

tidak merinci cara analisis data itu dilakukan karena ada bab yang

secara khusus membahas bagaimana cara menganalisis data. Analisis

data ini adalah mengubah data mentah menjadi data yang bermakna

yang mengarah pada kesimpulan (Arianto, 2010:53).

G. Teknik Pengumpulan Data

Teknik maupun prosedur pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti

seperti observasi partisipan, wawancara mendalam dan dokumentasi (Stain

Salatiga, 2008: 31).Data-data yang dikumpulkan oleh penulis yang dilakukan

di tempat fokus penelitian dengan menggunakan beberapa teknik sebagai

berikut:

1. Observasi. Merupakan pengamatan secara langsung pada prosesi

(21)

10

Metode observasi adalah teknik pengumpulan data dengan

pengamatan langsung kepada objek penelitian (Surakhmad, 1994:

164). Dengan tujuan untuk memperoleh gambaran maupun data dari

objek yang diteliti.

2. Indepth Interview (wawancara mendalam). Yaitu pengumpulan data

dengan menyampaikan secara langsung daftar pertanyaan yang telah

disusun untuk memperoleh jawaban secara langsung pula dari

seorang responden (Koentjaraningrat, 1986: 138). Di karenakan

penelitian ini menggunakan dasar penelitian studi kasus, oleh karena

itu pengumpulan data dengan cara wawancara secara mendalam. Hal

ini dianggap langkah paling tepat untuk memperoleh data serta

informasi secara detail dari objek penelitian karena wawancara

merupakan pertemuan dua orang atau lebih dengan tujuan untuk

bertukar berbagai informasi maupun ide dengan cara tanya jawab

dengan informan secara langsung, dalam hal ini adalah penduduk

desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

3. Dokumentasi, dilakukan dengan mengumpulkan data dan mengutip

dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian untuk

memperoleh data dari desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten

Sragen.

4. Analisis Data

Analisis merupakan suatu teknik dengan langkah

(22)

11

pesan secara objek dan sistematis untuk menarik suatu kesimpulan.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan diskriftif analisis yaitu

dengan mendeskripsikan menganai perkawinan adat Jawa (Holsti,

1969: 14).

5. Triangulasi Data

Triagulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil

wawancara terhadap objek penelitian. Dalam penelitian ini,

validalitas data mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

menentukan hasil akhir suatu penelitian sehingga diperlukan suatu

teknik untuk mendapatkan kevalidan dan keabsahan data. Teknik ini

bisa dilakukan dengan cara yaitu sebagai berikut: petama,

pengecekan setelah melakukan wawancara dan observasi. Kedua,

wawancara yang dilakukan lebih dari sekali, maka dilakukan

triangulasi saat wawancara telah selesai dan laporan penelitian telah

disusun untuk informan membaca terlebih dahulu membaca isi

laporan tersebut, dan yang paling utama untuk pengecekan

keabsahan data ini dikarenakan kekhawatiran terdapat kesalahan

maupun kekeliruan (Moleong, 1999: 330).

H. Penegasan Istilah

Untuk membantu pemahaman pembaca dalam menelaah penelitian ini

(23)

12

penulis merasa perlu untuk menyampaikan penjelasan dan penegasan

beberapa istilah sebagai berikut:

1. Adat Jawa

Adat Jawa merupakan sebuah kepercayaan yang dianut

masyarakat di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang

menetap di Jawa, yang pada hakikatnya suatu filsafat di mana

keberadaanya ada sejak orang Jawa itu ada (Wikipedia).

2. Hukum Islam

Hukum Islam menurut Mukhta Yahya (1986: 121) adalah khitbah

atau sabda pencipta syari‟at yang berkaitan dengan perbuatan orang

-orang mukaallaf, yang mengandung suatu tuntunan atau pilihan yang

menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya

sesuatu yang lain.

I. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini bukanlah penelitian yang pertama kali yang

dilakukan dalam hal pengamatan adat Jawa, meskipun demikian penelitian

ini bukanlah suatu duplikat dari penelitian atau skripsi yang sama dengan

lainnya. karena dalam penelitian ini penulis menfokuskan pada

perkawiana adat Jawa yang ada di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh,

(24)

13

Sebagai pendukung penelaahan komprehensif penulis menelusuri

hasil penelitian, artikel maupun buku-buku yang lain tetapi penelitian yang

relevan dengan topik yang dikaji diantaranya sebagai berikut:

Skripsi atau penelitian dari Fatkhur Rohman, pada tahun 2015

dengan judul ”Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa

Kraton Surakarta Dan Yogyakarta (Studi Komparasi)”. penelitin tersebut

membahas tentang upacara pernikahan yang dimulai dari tahap perkenalan

sampai terjadinya perkawinan yang dilakukan di kalangan keraton

Surakarta dan kraton Yogyakarta. Terdapat perbedaan khusus antara

busana pengantin kraton Surakarta dan kraton Yogyakarta, yaitu dalam

pengantin Surakarta busananya dikenal dengan sebutan busana basahan,

sedangkan pada pengantin kraton Yogyakarta menggunakan 5 corak

busana yakni: putri, kasatrian, kasatrian ageng, paes ageng, dan paes

ageng jangan menir. Selain busana terdapat juga perbedaan dalam prosesi

upacara perkawinan antara Surakarta dengan Yogyakarta diantaranya:

pondongan, posisi duduk dalam pelaminan, dahar kembul (dahar klimah).

Selain itu ada perbedaan dalam simbol-simbol yang bersifat abstrak.

Kemudian skripsi atau penelitian yang berjudul “Studi Deskriptif

Upacara dan Musik Pada Perkawinan Adat Jawa Di Medan Selayang” oleh

Sugiardi pada tahun 2014, hasil penelitiannya yaitu sebagai berikut:

Bahwa uacara panggih pada suku Jawa adalah upacara bertemunya

pengantin pria dan wanita setelah keduanya sah sebagai suami istri. Dalam

(25)

14

hitungan hari berdasarkan tanggal lahir dari kedua mempelai yang telah

dirumuskan sesuai penanggalan orang Jawa (weton). Pelaksanaannya juga

terdiri dari upacara-upacara yang sangat sakral, dimulai dari nontoni,

lamaran, panggih, srah tinampi, pertukaran kembar mayang, ngidak

endhok (wiji dadi), sindur, sampai akhirnya ditutup dengan prosesi

terakhir yaitu sungkeman.

Buku yang ditulis oleh Muhammad Hariwijaya pada tahun 2004

yang berjudul “Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa”. Buku

tersebut menceritakan bagaimana prosesi upacara perkawinan yang

dimulai dari seorang anak yang akan atau telah menentukan pasangan

hidupnya, selajutnya menerima ataupun melaksanakan prosesi lamaran,

menentukan hari perkawinan, pembentukan panitia dan pelimpahan tugas

untuk jalannya upacara perkawinan, persiapan menjelang pesta

perkawinan, pedoman menentukan tamu undangan dan catering, surat

kelengkapan menikah, prosesi upacara srah-srahan peningset,

menyelenggaraan upacara pasang tarub, menyelenggarakan upacara

siraman, tata cara menyelenggarakan malam midodareni dan kembar

mayang, memasuki upacara ijab kabul, prosesi upacara panggih temanten,

prosesi upacara resepsi, upacara ngunduh mantu dan jenang sumsum,

panduan manual acara pernikahan, dan yang terakhir ular-ular panggih

temanten.

Dari berbagai tinjauan pustaka yang penulis utarakan di atas, tentu

(26)

15

menjelaskan tentang bagaimana konsep upacara perayaan perkawinan

menurut Islam, dan bagaimana konsep perayaan perkawinan menurut

masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen, serta

bagaimana pemikiran hukum Islam mengenai upacara perayaan

perkawinan adat di desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

J. Sistematika Penulisan

Agar mempermudah penjelasan skripsi tentang perkawinan adat Jawa

ini perlu sistematika penulisannya. Adapun sistematika dalam penulisan

penelitian adalah sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian yang meliputi kegunaan

teoritis dan kegunaan praktis, metode penelitian yang meliputi jenis

penelitian, sifat penelitian, pendekatan, pengumpulan data, langkah-langkah

penelitian dan analisis data. Kemudian penegasan istilah, tinjauan pustaka

dan terakhir sistematika penulissan.

BAB Kajian pustaka yang meliputi: pengertian

pernikahan/perkawinan, hukum dan syarat perkawinan, pengertian adat Jawa,

perkawinan berdasarkan adat Jawa, syarat-syarat pernikahan/perkawinan

berdasar adat Jawa. Perkawinan dalam agama Islam.

BAB I Hasil penelitian yang terdiri dari gambaran umum dari objek

penelitian yang terdiri dari: Gambaran umum tentang desa Ngrombo,

(27)

16

tanggapan masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen

mengenai Perkawinan adat Jawa.

BAB IV Pembahasan pokok permasalahan dari data-data hasil

penelitian mengenai: Proses pelaksanaan perkawinan adat Jawa di desa

Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen. Implikasi perkawinan adat

Jawa terhadap masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten

Sragen. Alasan-alasan Perkawinan adat Jawa masih dipegang teguh oleh

masyarakat desa Ngrombo, kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

Perkawinan adat Jawa perspektif Islam.

BAB V Penutup, merupakan bagian terakhir penulisan Skripsi ini. Pada

bab ini berisi kesimpulan keseluruhan isi dari skripsi mengenai penulisan

hasil penelitian tentang perkawinan adat Jawa, serta rekomendasi penulis

(28)

17

BAB II

Perkawinan Adat Jawa

Dalam Pemikiran Ulama

A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan

1. Pengertian perkawinan

Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada

semua mahluk ciptaan Allah SWT baik manusia, hewan, dan

tumbuh-tumbuhan. Perkawinan haruslah mengikuti tata cara yang normatif dan

legal, karena perkawinan manusia berbeda dengan binatang. Untuk

binatang perkawinan hanyalah untuk memenuhi nafsu birahinya dan

dilakukan dengan bebas menurut hawa nafsunya karena sudah menjadi

kodrat binatang, sedangkan bagi manusia perkawinan diatur oleh syariat

dan peraturan yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Perkawinan dalam

literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah (

خكَ

( dan zawaj (

جأص

) . kedua kata ini kata yang terpakai dalam kehidupan

(29)

18

na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Qur‟an dengan arti kawin. Secara arti

kata nikah atau zawaj berarti “bergabung”

(

ىض

)

, “hubungan kelamin”

(

ءطٔ

) dan juga berarti “akad” (

ذقػ

). Dalam arti terminologis di dalam

kitab-kitab fiqih banyak diartikan dengan:

ظفهث ءطٕنا خدبثا ًٍضزٚ ذقػ

جٚٔضزنأا حبكَلاا

yang artinya yaitu akad atau perjanjian yang mengandung

maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz

na-ka-ha atau za-wa-ja (Abidin & Aminuddin, 1999: 125).

Para ahli fiqih biasa menggunakan rumusan definisi sebagaimana

tersebut diatas dengan penjelasan sebagai berikut:

1). Penggunaan lafaz akad

(

ذقػ

)

untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu

adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak yang

terlibat dalam perkawinan. Perkawinan iu dibuat dalam bentuk akad

karena ia adalah peristiwa hukum , bukan peristiwa biologis atau semata

hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.

2). Penggunaan ungkapan

ءطٕنا خد بثا ًٍضزٚ

(yang mengandung maksud

membolehkan hubungan kelamin), karena pada dasarnya hubungan

laki-laki dan perempuan itu adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang

membolehkannya secara hukum syara‟. Di antara hal yang membolehakan

hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah di antara keduannya.

Dengan demikian akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu

(30)

19

3). Penggunaan kata

جٚ

ٔضرٔا حبكثا ظفهث

, yang berarti menggunakan lafaz

na-ka-ha atau za-wa-ja mengandung maksud bahwa akad yang

membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan itu

mesti dengan menggunakan kata na-ka-ha dan za-wa-ja, oleh karena dalam

Islam di samping akad nikah itu ada lagi usaha yang membolehkan

hubungan antara laki-laki dan perempuan itu, yaitu pemilikan seorang

laki-laki atas seseorang perempuan atau disebut juga “perbudakan”.

Bolehnya hubungan hubungan kelamin dalam bentuk ini tidak disebut

perkawinan atau nikah, tetapi menggunakan kata “tasarri” (Syarifuddin,

2003: 73).

Menurut Shiddieq mengartikan kawin secara etimologis (lughah)

adalah kumpul atau bersatu, sedangkan menurut terminologisnya (istilah)

“Nikah ialah suatu „Aqd (ikatan) yang menghalalkan hubungan laki-laki

dan perempuan yang semula terlarang (haram) (Shiddieq, 2004: 1).

Sedangkan dalam kamus Al-Mu‟jam Al-Wasiith dan Mu‟jam Al

-Muhiith mendefinisikan Kata zawaaj „perkawinan‟ menurut bahasa bisa

berarti bersanding, bergabung, dan bercampur. Mengawinkan berarti

menyandingkan, menyatukan, dan mencampurkan. Az-zawaaj juga bisa

berarti berkumpulnya suami dengan istri, atau laki-laki dengan perempuan

(Ariij, 2006: 29).

Menurut golongan Hanafiyah, mengartikan sebagai berikut:

Nikah itu adalah aqad yang memberikan faedah memiliki,

(31)

20

Dan menurut golongan Malikiyah, nikah merupakan aqad yang

mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan

watha‟(

ءطٔ

), bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri

seorang wanita yang boleh nikah dengannya.

Sedangkan menurut golongan Syafi‟iyah mendefinisikan nikah

merupakan aqad yang mengandung kekuasaan untuk watha‟ (bersetubuh)

dengan lafadz nikah atau yang semakna dengan keduannya. Menurut

golongan Hambaliyah mengartikan nikah adalah aqad yang

mempergunakan lafadz nikah atau tazwij untuk membolehkan manfaat,

bersenang-senang dengan wanita (Al-Jaziri, 1990: 8). Menurut Sayuti

Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh

untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan membentuk keluarga kekal, santun menyantuni, kasih

mengasihi, tentram dan bahagia (Ramulyo, 1999: 1).

Sedangkan menurut Pasal 2 inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan dan tujuannya adalah:

Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat

atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan yang

melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah

(32)

21

Menurut Syarifuddin ada beberapa hal dari dirumusan tersebut di

atas yang perlu diperhatian adalah sebagai berikut:

a. Digunakan kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti

bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini

menolak perkawinan sesama jenis yang dewasa ini telah dilegalkan oleh

beberapa negara barat.

b. Digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa

perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam

suatu rumah tangga, bukan hanya istilah “hidup bersama”.

c. Dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu

membentu rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan

sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam

perkawinan mut‟ah dan perkawinan tahlil.

d. Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan

bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama yang dilakukan

untuk memenuhi perintah agama (Syarifuddin, 2003: 75).

Dari sekian pendapat mengenai pengertian pernikahan dapat ditarik

garis besar bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan (ikatan) dan

akad yang dimaksudkan untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki

dengan perempuan (kumpul atau Al-Jam‟u/Al-Dhamu) yang awalnya

haram dengan tujuan mewujudkan kebahagiaan dan kasih sayang hidup

(33)

22 2. Prinsip-prinsip Perkawinan

Menurut Ahmad Azhar Basyir mengemukakan prinsip-prinsip

perkawian menurut agama Islam adalah:

a. Pilihan jodoh yang tepat.

b. Perkawinan didahului peminangan.

c. Ada ketentuan tentang larangan perkawianan antara laki-laki dengan

perempuan.

d. Perkawinan didasarkan pada suka rela antara pihak-pihak yang

bersangkutan.

e. Ada persaksian dalam aqad nikah.

f. Perkawianan tidak ditentukan untuk waktu tertentu.

g. Ada kewajiban membayar maskawin atas suami.

h. Ada kebebasan mengajukan sembahyang dalam nikah.

i. Tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.

j. Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga

(Basyir, 1996: 14).

Sedangkan menurut Undang-undang Perkawinan bahwa prinsip

perkawinan adalah sebagai berikut:

Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 Ayat 1: “perkawinan adalah sah

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu. Ayat 2: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

(34)

23

Ayat 1 Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1994: “pada asasnya dalam suatu

perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang

wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (IAIN, 2016: 32).

c. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun artinya unsur-unsur pokok untuk sahnya sebuah

perkawinan, yaitu sebagai berikut:

1. Sighot (akad) yaitu perataan dari pihak wali perempuankepada seorang

pria yang berisi tentang tujuan menikahkan anak perempuannya.

2. Wali

3. Dua orang saksi.

Sedangkan rukun nikah ada lima, adalah sebagai berikut:

a. Calon suami

b. Calon istri

c. Wali

d. Dua orang saksi

e. Aqad (Ijab-Qabul)

Ijab artinya penegasan kehendak atau penyerahan anak

perempuan dari walinnya kepada calon suami, sedangkan Qabul

adalah penegasan penerimaan dari calon suami (Saleh, 2008: 300).

Sedangkan syarat perkawinan menurut Pasal 6 UU No 1 Tahun

1974 adalah:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon

(35)

24

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin

kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal

dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan

kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup

diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam

keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka

izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga

yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus

ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat

menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau

lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka

pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan

melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut

dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar

orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini (2016:

33).

(36)

25

Perkawinan sangat dianjuran dalam Islam, banyak ayat-ayat

al-Qur‟an maupun hadits Nabi yang digunakan sebagai dasar hukum dan

rujukan untuk melaksanan perkawinan diantaranya sebagai berikut:

Seperti halnya tersebut di atas bahwa Allah menciptakan mahluk

hidup ini secara berpasang-pasang sebagaimana firman-Nya:



Artinya: “dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (QS. Az Zumariyat: 49).









Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan

Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha

mengetahui” (QS. An Nuur: 32).

Penegasan bahwa berpasang-pasang tersebut antara laki-laki dan

perempuan saja tidak sesama jenis laki-laki dengan laki-laki ataupun

perempuan dengan perempuan sebagaimana firman Allah sebagai berikut:





(37)

26

Selain ayat al-Qur‟an, ada juga hadits Nabi tentang nikah, yaitu seperti

hadits Nabi SAW dari Ibnu Mas‟ud RA:

بَٚ

memiliki kemampuan, maka menikahlah, karena menikah itu bisa menundukkan mata dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa keimanannya, maka takutlah kepada Allah terhadap setengah

sisanya” (HR At-Tabrani dalam Al-Ausat).

Penjelasan hadits: Hadits ini menyiratkan bahwa dengan

melangsungkan pernikahan, seseorang menjaga dirinya dari kerusakan

agama (ahlaknya) dapatlah disimpulkan bahwasanya yang paling merusak

ahlak seseorang pada ghalibnya ialah perut dan kemaluannya. Oleh karena

itu terpeliharalah salah satu penyebab kerusakan agamanya. Perkawinan

juga dapat menyempurnakan keimanan seseorang (Fadlillah, 2012: 25).

Anjuran menikah atau kawin untuk menjaga kelangsungan hidup

(38)

27 Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An Nisaa: 1).

Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)” (QS. Ar

Ra‟d:38).

(39)

28

Anjuran membangun perkawinan dan tujuan rumah tangga yang

dilandasi rasa kasih sayang: menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar Ruum: 21).

4. Hukum Perkawinan

Menurut kesepakatan ulama dalam kitab Al Mizan Al Kubra

karangan Ansori bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang

disunahkan. Dan berdasarkan dalil-dalil suruhan Allah dan Nabi untuk

melaksanakan perkawinan, maka perkawinan itu adalah perbuatan yang

lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan. Namun hukum asal

perkawinan adalah mubah (Alhamdani, 1989: 7), Namun karena ada

tujuan mulia yang hendak dicapai dari perkawinan itu dan yang melakukan

perawinan itu berbeda pula kondisinya serta situasi yang melingkupi

suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci Jumhur Ulama

menyatakan hukum perkawinan itu dengan malihat keadaan orang-orang

tertentu, yaitu sebagai berikut:

(40)

29

Perkawinan diwajibkan bagi orang-orang yang telah pantas untuk

kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan maupun

kemampuan untuk kawin, dan dia khawatir akan terjerumus ke tempat

maksiat (berzina) jikalau dia tidak kawin.

b. Sunnah

)ثٚذذنا( .َُِّْٙػ َتِغَسْذَقَف ِْٙزَُُّع ٍَْػ َتِغَس ًٍََْف ,ِْٙزَُُّع ُحبَكُِّنَا

Artinya: “Nikah itu sunnahku, siapa yang membenci sunnahku maka dia benar-benar membenciku”. (Al-Hadits)

Kawin disunahkan bagi orang yang sudah mampu tetapi ia masih

sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal seperti

ini maka kawin lebih baik dari pada membujang. Orang yang tidak

mempunyai nafsu birahi, baik karena lemah sahwat atau sebenarnya ia

mempunyai nafsu birahi namun hilang karena penyakit atau karena hal

lainnya (Alhamdani, 1989: 8).

Untuk mengenai hal tersebut terdapat dua pendapat yaitu sebagai

berikut:

Pertama: Ia tetap disunnahkan menikah, karena universalitas yang

telah dikemukakan di atas.

Kedua: Tidak menikah adalah lebih baginnya, karena dia tidak

dapat mewujudkan tujuan nikah dan bahkan menghalangi istrinya untuk

dapat menikah dengan laki-laki yang lain yang lebih memenuhi syarat.

Dengan demikian, berarti dia telah memenjarakan wanita tersebut. Ada

sisi yang lain, dia telah menghadapkan dirinya pada ketidakmampuan

(41)

30 c. Mubah

Menjadi mubah bagi orang yang tidak memiliki pendorong

maupun penghalang apapun untuk menikah. Ia menikah bukan karena

ingin mengamalkan sunnah melainkan memenuhi kebutuhan biologisnya

semata, sementara ia tidak khawatir terjerumus dalam kemaksiatan.

d. Makruh

Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu” (QS. An Nuur: 33)

Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum

keinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk kawin juga belum

(42)

31

namun fisiknya mengalami cacat seperti impoten, berpenyakitan tetap,

sudah tua, dan kekurangan fisik lainnya (syarifuddin, 2003: 79).

e. Haram

Perkawinan akan menjadi haram bagi orang yang tidak akan dapat

memenuhi ketentua syara‟ untuk melakukan perkawinan atau dia yakin

perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara‟, sedangkan dia

menyakini perawinan itu akan merusak kehidupan pasangannya (2003:80).

5. Tujuan Perkawinan

Perkawinan mempunyai maksud dan tujuan di antaranya:

a. Untuk memperoleh ketentraman dalam kehidupan manusia dari

terciptanya suatu perkawinan. Ketentraman hidup dapat diperoleh

seseorang, manakala orang itu dapat memenuhi hidupnya, baik itu

kebutuhan lahiriah maupun kebutuhan batiniah.

b. Untuk menciptakan sakinah (ketentraman hidup), mawaddah (rasa

cinta), memiliki keturunan, tolong menolong dan mempererat

silaturahmi (Shiddieq, 2004: 11).

Sedangkan menurut Imam Al Ghozali berpendapat bahwa

terdapat lima hal tujuan perkawinan yaitu:

a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan

keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa.

b. Memenuhi tuntunan naluriah hidup kemanusiaan.

(43)

32

d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis

pertama dari masyarakat yang besar dan di atas dasar kecintaan dan

kasih sayang.

e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki penghidupan

yang halal, dan mempertinggi rasa tanggung jawab (Al Ghozali:

2586).

6. Perayaan Perkawinan Dalam Islam

Islam sesungguhnya telah mengatur tata cara lengkap umatnya

apabila akan melangsungkan perawinan, dari sebelum hingga perayaan

sesudah ijab dan qabul. Berikut hal-hal yang dilakukan sebelum pernikahan

menurut Islam:

a. Meminta Pertimbangan

Bagi seorang laki-laki sebelum ia memutuskan untuk

mempersunting seorang wanita untuk menjadi istrinya, alangkah

baiknya ia juga meminta pertimbangan dari kerabat dekat wanita

tersebut yang baik agamanya, sehingga ia memberikan pertimbangan

yang jujur dan adil (eramuslim.com) .

b. Sholat Istikharah

Setelah mendapatkan pertimbangan tentang bagaimana calon

istrinya, hendaknya ia melakukan shalat istikharah sampai hatinya

diberi kemantapan oleh Allah Taala dalam mengambil keputusan,

karena istikharah adalah shalat untuk meminta kepada Allah agar diberi

(44)

33

Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu (QS. Al Baqarah: 235).

Setelah mendapat kemantapan dalam menentukan wanita

pilihannya, hendaklah segera meminangnya. Laki-laki tersebut harus

menghadap orang tua/wali dari wanita pilihannya itu untuk

menyampaikan kehendak hatinya, yaitu meminta agar direstui untuk

menikahi anaknya. Adapun wanita yang boleh dipinang adalah yang

memenuhi dua syarat:

1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan syar‟i

yang menyebabkan laki-laki tersebut dilarang untuk

mempersuntingnya, seperti karena nasab dan hubungan

darah.

2. Belum dipinang oleh orang lain secara sah, sebab Islam

melarang seseorang meminang pinangan saudaranya (2007:

17-18).

d. Melihat Wanita Yang Dipinang

Islam adalah agama yang mensyari‟atkan pelamar untuk melihat

wanita yang dilamar dan mensyari‟atkan wanita yang dilamar untuk

melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing-masing pihak

(45)

34

hidupnya. Nabi Muhammad SAW bersabda kepada sahabatnya

Mughirah bin Syu‟bah yang telah meminang seorang wanita, beliau

betanya “Apakah kamu telah melihatnya?” Mughirah menjawab

“Belum” lalu beliau bersabda:

بًَُكََُْٛث ُوَدْؤُٚ ٌَْأ َ٘شْدَأ ََُِّّأَف َبَْٓٛنِأ ْشُظَُْا

Artinya: “Lihatlah ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan antara anda berdua. (maksudnya menjaga

kasih sayang dan kesesuaian )”.

Adapun ulama memberikan ketentuan hukum yang diletakkan

Islam dalam masalah melihat pinangannya yaitu bahwa yang boleh

dilihat oleh lelaki dari wanita yang dipinangnya yaitu sebatas

pakaiannya yang bisa tampak untuk ayah saudara dan mahramnya

(Qardhawi, 2000: 197).

Adapun hal-hal pada saat hari perkawinan hingga perayaan

perkawian yaitu sebagai berikut:

1. Aqad Nikah

Tahap yang paling sakral dalam perkawinan yaitu akad nikah.

Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus

dipenuhi:

a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.

b. Adanya ijab qabul.

Ijab qabul artinya seorang wali atau wakil dari mempelai

perempuan mengemukakan kepada calon suami anak

(46)

35

perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki yang

mengambil perempuan tersebutsebagai istrinya (Fadlillah,

2012: 97).

c. Adanya wali

Wali yang mendapat prioritas pertama diantara sekalian

wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita.

d. Adanya Saksi-saksi

Seperti hadits Rasulullah SAW yang artinya “Tidak sah

suatu pernikahan tampa seorang wali dan dua orang saksi

yang adil” (HR Al-Baihaqi dari Aisyah, shahih, Al-Jamius

Shaghair oleh Syaikh Al-Albani no. 7557). Dan menurut

sunnah Rasul, sebelum sbelum aqad nikah diadakan

khuthbah terlebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah

atau khuthbatul-hajat (eramuslim.com).

e. Adanya Mahar (mas kawin)

Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang

hendak menikahinya menyerahkan mahar (mas kawin).

Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu dalam mas

kawin ini, tetapi atas kesepakatan kedua belah pihak dan

menurut kadar kemampuan. Mahar adalah hak mutlak calon

mempelai wanita dan kewajiban mempelai pria untuk

memberikannya sebelum akad nikah dilangsungkan (Saleh,

(47)

36

2. Walimah atau Pengumuman Pernikahan

Walimah merupakan pesta perkawinan atau makanan dalam

sebuah acara pesta perkawinan, ataupun juga setiap makanan yang

disediakan untuk para undangan pada sebuah pesta. Tujuan dari

walimah yaitu sebagai kabar berita bahwa telah menikah antara

laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan perkawian

(yang mengadakan walimah tersebut). Islam mengajarkan agar

perkawinan itu diumumkan (Al-Manar, 2007: 43).

Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menghindari

terjadinya perkawinan yang dilakukan secara rahasia, yang mungkin

saja dapat menimbulkan fitnah. Juga untuk menampakkan

kegembiraan dengan adanya peristiwa bersejarah bagi dua anak

manusia, sekaligus sebagai motivasi bagi mereka yang belum

menikah, atau yang ingin menikah lagi. Mengumumkan sebuah

perkawinan boleh dilaksanakan menurut adat setempat, asalkan

tidak mengandung maksiat dan hal-hal yang diharamkan dalam

Islam. Seperti hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah

r.a. sebagai berikut:

َفُْٕف ضنا َِّْٛهَػ إُْثِشْضأَ ِذِج بَغًَْنا ِٙف ُُِْٕهَؼْجأَ َحبَكَُّنا اَزَْ إُُِْهْػآ

(48)

37

Adapun hukum mengadakan walimah atau makan-makan di

hari pesta perkawinan adalah sunnah. Sebagian ulama mengatakan

wajib sebagimana hadits Nabi SAW:

، َتََُْٚص َٗهَػ َىَنَْٔا بَي ِِّئبَغَِ ٍِْي ٍءَْٙش َٗهَػ ص ِٙجَُّنا َىَنَْٔا بَي :َلبَق ٍظَََا ٍَْػ

menyelenggarakan walimah atas (pernikahannya)

dengan istri-istri sebagaimana walimah atas

(pernikahannya) dengan Zainab, beliau

menyelenggarakan walimah dengan (menyembelih)

seekor kambing”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan keterangan di atas, bagi mereka yang mampu

dianjurkan untuk mengadakan walimah minimal dengan

menyembelih seekor kambing, atau dengan makanan makanan

yang senilai dengan harga seekor kambing. Karena Nabi SAW

pernah menyembelih seekor kambing, ketika mengadakan walimah

untuk perkawinan beliau dengan Zainab r.a. Namun demikian,

walimah boleh juga diadakan sesederhana mungkin tampa harus

menyembelih seekor kambing atau sejenisnya, tetapi dengan

menyuguhkan sesuatu yang dapat dinikmati, karena walimatul „urs

itu disunnahkan dan menurut pendapat Abu Haniefah disukai

(Shiddieqy, 1978: 299).

Dan waktu walimah dapat diadakan saat dilangsungkan

acara akad nikah atau sesudahnya, atau bertepatan pada hari

(49)

38

kepada adat dan kebiasaan masing-masing. Dalam riwayat

Al-Bukhari disebutkan, bahwa Rasulullah saw. Mengundang jamaah

untuk menghadiri walimah di hari sesudah beliau mencampuri

istrinya Zainab r.a. (2007: 44-45).

Selain perjamuan makanan, termasuk perbuatan yang

dibolehkan Islam dan dianjurkan dalam acara pesta perkawinan

adalah bernyanyi-nyanyi sebagai hiburan, dengan catatan harus

dihindari hal-hal yang melanggar batas kewajaran, seperti

perbuatan-perbuatan mesum, kata-kata jorok dan keji yang tidak

layak diperdengarkan. Amir bin Sa‟at meriwayatkan sebuah hadits,

ia berkata, “Saya masuk ke rumah Qirzhah bin Ka‟ab di hari

perkawinan Abu mas‟ud Al-Anshari. Tiba-tiba ada beberapa budak

perempuan (Jariyah) bernyanyi. Lalu saya berkata “Bukankah anda

berdua adalah sahabat Rasulullah saw. Dan termasuk pejuang

Badar? Kenapa kalian diam saja padalah ini terjadi di hadapan

kalian?, kedua menjawab “Jika kamu suka maka bolehlah kamu

mendengarkannya bersama kami, dan jika kamu tidak suka kamu

boleh pergi, karena kami diberi kelonggaran untuk mengadakan

hiburan pada acara pesta perkawinan” (Al Manar, 2007: 43).

Tetapi apa yang terjadi sekarang ialah perubahan yang

sangat besar, yaitu memeriahkan pesta perkawinan dengan

mendatangkan alat-alat musik dan penampilan wanita-wanita

(50)

39

wanita telanjang sambil meliuk-liukkan tubuhnya dan bercampur

aduk dengan kaum lelaki. Hal ini tidak dibenarkan dalam Islam,

bahkan Nabi menggambarkan calon penghuni neraka:

ِط

Artinya: “Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat, satu kaum yang selalu bersama cambuk

bagaikan ekor-ekor sapi, dengannya mereka memukul manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang. Mereka berjalan dengan melenggak-lenggok menimbulkan fitnah (godaan). Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring. Mereka tidak masuk ke dalam surga. Dan mereka tidak mencium baunya. Dan sungguh bau surga itu bisa tercium dari

jarak demikian dan demikian”. (HR. Muslim dari Sahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu‟anhu)

Oleh karena itu untuk menyelenggarakan pesta perkawinan,

sebaiknya menjauhi segala sesuatu yang dilarang syari‟at (2007:

46-47). Karena menurut pandangan para Sufi, manusia yang baik

adalah manusia yang sejalan dengan “Tuhan” dan dengan tatanan

masyarakat yang ditentukan oleh “Tuhan” pula (Mulder, 1948: 41).

B. Tinjauan Umum Tentang Adat Perkawinan Dalam Ushul Fiqih

1. Definisi Adat (Al-„urf)

Al-„urf (

فؼنا

(ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya

(51)

40

ahli syara‟, tidak ada perbedaan antara „urf dan adat. Jadi „urf adalah

terdiri dari saling pengertian manusia atas perbedaan tingkatan mereka,

keumumannya dan kekhususannya. Berbeda dengan Ijma‟, karena

Ijma adalah tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus,

dan umum tidak termasuk ikut membentuk di dalamnya (Khallaf,

1991: 134).

2. Pembagian Adat (Al-„urf)

Macam-macam „urf jika dilihat dari segi objeknya „urf dibagi menjadi

dua yaitu:

a. Al-„urf al-lafzhi (

ٙظفهنا فشؼنا

) adalah kebiasaan masyarakat dalam

mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan

sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan

terlintas dalam pikiran masyarakat.

b. Al-„urf al-„amali (

ٙهًؼنا فشؼنا

) adalah kebiasaan masyarakat yang

berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu‟amalah keperdataan.

Maksudnya “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam

kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang

lain (1996: 139).

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara‟, „urf terbagi

menjadi dua yaitu sebagai berikut:

(52)

41

nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan

mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka.

2) Al-„urf al-fasid )

ذغفنا فؼنا

(adalah adat ataupun kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah

dasar yang ada dalam syara‟(Haroen, 1996: 141)

c. Ketentuan-Ketentuan Adat dalam Penetapan Hukum

Adapun „urf shahih, maka harus dipelihara dalam pembentukan

hukum. Menurut para ulama adat itu adalah syariat yang dikukuhkan

sebagai hukum. Sedangan „urf menurut syara‟ juga mendapat pengakuan. Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya

kepada amal perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah bersama

murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan

dasar atas perbedaan „urf mereka. Imam Syafi‟i ketika telah berada di Mesir mengubah sebagian hukum yang telah menjadi pendapatnya

ketika beliau berada di Baghdad. Hal ini karena pendapat „urf. Karena

itu beliau mempunyai dua madzab, madzhab qodim (dahulu) dan

madzhab jadid (baru). Ibnu Abidin telah menyusun Risalah bahwa

“apa-apa yang dimengerti secara „urf adalah seperti yang disyaratkan

menurut syara‟, dan yang telah tetap menurut „urf adalah seperti yang

telah tetap menurut nash. Kaidah ushul fiqih dalam kitab mawadi‟ul

awaliyah, menurut Abdul Hamid Hakim dalam Qaidah 21 yang

berbunyi:

(53)

42

Artinya: “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat

dijadikan sebagai hukum”.

Maksudnya adat kebiasaan dapat dijadikan hujjah dan hukum yang

berlaku di tempat dimana adat dan tradisi tersebut hidup dan

berkembang (Hakim, 1927: 36).

Adapun „urf yang rusak itu maka tidak harus dipeliharanya

(dilakukan), karena memeliharanya berarti menentang dalil syara‟.

Hukum-hukum yang didasarkan atas „urf itu dapat berubah menurut perubahan „urf pada suatu zaman dan perubahan asalnya. Karena itu

para Fuqoha berkata dalam contoh perselisihan ini: “Bahwa

perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, bukan

perselisihan hujjah dan bukti” (1991: 135).

d. Syarat-Syarat Adat (Al-„Urf)

Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa suatu „urf, baru dapat

dijadikan sebagai salah satu dalil dalam penetapan hukum syara‟

apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. „Urf itu (baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan), berlaku secara umum. Artinya, „urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah

masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat

tersebut.

2. „Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan

(54)

43

3. „Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash itutidak bisa diterapkan. „Urf seperti

ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil syara‟, karena kehujjahan „urf

bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum

permasalahan yang dihadapi (1996: 143-144).

e. Pandangan Ulama Tentang Perkawinan Adat

Perkawinan adat tidak diterangkan dalam Al-Qur‟an maupun

Al-hadits, sehingga dalam membicarakan adat termasuk perkawinan

adat Jawa telah disinggung dalam kitab kaidah fiqiyah )‟urf), menurut pandangan ulama tentang adat yaitu sebagai berikut:

Pandangan madzhab Syafi‟i bahwa agama Islam tidak

menentang tradisi bahkan menghormatinya, sepanjang tradisi

tersebut tidak menyalahi prinsip agama apalagi menyalahi prinsip

aqidah seperti pengesaan Allah subhanahu wata‟ala, membicarakan

nasib manusia, tentu harus berhati-hati. Seperti penegasan ayat

berikut:

Artinya: “Katakanlah: "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” (QS. An Naml: 65).

Menurut pandangan Imam Syafi‟i bahwa adat hukumnya mubah

(55)

44

tidak bertentangan dengan aqidah dan syariat agama Islam

(latansanasibaka.blogspot.com).

Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa „urf al-shahih, yaitu adat

yang tidak bertentangan dengan syara‟, baik yang menyangkut

adat/kebiasaan ucapan maupun adat/kebiasaan perbuatan dapat

dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara‟. Seorang mujtahid

dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam Al Qarafi (w. 684

H/1285 M./ahli fiqih Maliki), harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan

yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang

ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan

yang menyangkut masyarakat tersebut.

Seluruh ulama madzhab, menurut Imam Al Syathibi (w.790 H./ahli

ushul fiqih Maliki), dan Ibn Qayyim Al Jauziyah (691-751

H/1292-1350 M./ahli ushul fiqih Hanbali), menerima dan menjadikan adat

(„urf) sebagai dalil syara‟ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada

nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi (Haroen,

(56)

45

BAB III

DESA NGROMBO KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN SRAGEN

DAN KEYAKINAN TERHADAP ADAT JAWA

A. Gambaran Umum dan Kondisi Sosial Kultural Desa Ngrombo

Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen

1. Letak Geografis

Desa Ngrombo merupakan salah satu desa yang terletak di

kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen Provinsi JawaTengah. Jarak dari

Ibu Kota Kabupaten 36 kilometer, dan dari Ibu Kota Provinsi berjarak

91 kilometer, sedangkan antara Ibu Kota Negara berjarak kurang lebih

701 kilometer. Menurut geografis desa Ngrombo terletak di

tengah-tengah kependudukan yang padat di kabupaten Sragen dan mempunyai

(57)

46

a. Sebelah Timur desa Ngrombo berbatasan langsung dengan

desa Karangwaru, kecamatan Plupuh dengan batas wilayah

yang ditandai dengan jalan raya Gemolong-Plupuh.

b. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Bantengan.

c. Sebelah Selatan desa Ngrombo berbatasan langsung dengan

desa Sambirejo kecamatan Plupuh.

d. Sebelah Utara desa Ngrombo kecamatan Plupuh ini berbatasan

langsung dengan kecamatan Tanon, tepatnya dengan desa Wiro

Sari. Batas antara dua kecamatan ditandai dengan jalan raya

jalur Gemolong-Gabugan yang menjadi pemisah antara kedua

kecamatan ini.

Desa Ngrombo kecamatan Plupuh adalah termasuk wilayah

daratan rendah, desa ini mempunyai ketinggian 346 meter di atas

permukaan air laut, Dengan luas wilayah keseluruhan 267 Ha. Dengan

luas wilayah tersebut dengan 91 Ha merupakan pemukiman dan

perumahan penduduk. Sawah dan tegalan di desa Ngrombo seluas 127

Ha, sedangkan yang digunakan sebagai perkantoran seluas 8 Ha. 4 Ha

merupakan tanah wakaf, sisanya digunakan untuk lain-lain yaitu seluas

37 Ha (Data Monografi desa Ngrombo tahun 2014).

2. Komposisi Penduduk dan Keadaan Administrasi

Desa Ngrombo yang hanya mempunyai luas wilayah 267 Ha,

namun termasuk daerah yang padat penduduk. Sampai tahun 2014

Gambar

Tabel 3.1 Jumlah sekolah di desa Ngrombo kecamatan Plupuh
Tabel 3.2 Profesi masyarakat desa Ngrombo kecamatan
Tabel 3.3 Makna bagian-bagian dari upacara langkahan
Tabel 3.4 Makna piranti atau benda bagian dari prosesi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang terjadi di tempat tersebut adalah banyaknya siswa yang kurang minat dalam belajar hal ini dapat terlihat dari sikap siswa yang tidak terlihat

Metoda simulasi yang dilakukan menghasilkan suatu pemecahan masalah yang berhasil dalam mencari jumlah mesin yang tepat untuk mencapai target produksi yang diharapkan

Tujuan penelitian ini adalah menganalisa dan merancang aplikasi data warehouse untuk memperoleh informasi yang cepat, lengkap dan akurat mengenai data karyawan dalam

(Studi Komprehensif Kinerja Power Generation Ditinjau dari Nilai Entropi Siklus Uap dengan Melihat Pengaruh Jumlah Udara Pembakaran).. Diajukan Untuk Memenuhi Syarat

Skripsi, Jakarta: Program Studi Pendidikan Ekonomi, Konsentrasi Pendidikan Administrasi Perkantoran, Jurusan Ekonomi dan Administrasi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri

Di samping itu, pengamatan dan analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran uang (M2) merupakan variabel kunci bagi otoritas moneter untuk menetapkan

Ketika pemerintah menerapkan liberalisasi perdagangan beras maka pasar beras Indonesia terintegrasi dengan pasar beras internasional dan harga beras dalam negeri akan

Pada sekolah SMA N 14 Semarang, siswa yang memiliki sikap negatif (cenderung kurang merespon atau tertarik dengan hal-hal berkaitan dengan kesehatan reproduksi)