• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

Dalam dokumen Tesis Tegar Harbriyana Putra (Halaman 44-53)

BAB I. PENDAHULUAN

B. Perumusan Masalah

4. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

Perlindungan Konsumen pada dasarnya merupakan bagian penting dalam ekonomi pasar (laissez faire). Di pasar bebas, para pelaku usaha menawarkan produk dan jasa dengan tujuan mencari keuntungan di satu sisi, berhadapan dengan para pembeli dan konsumen yang ingin memperoleh barang dan atau jasa yang murah dan aman di sisi lain. Tetapi dalam kenyataan posisi pengusaha lebih menguntungkan daripada posisi konsumen, hal ini dikarenakan penguasaan informasi tentang produk sepenuhnya ada pada tangan produsen. Menurut Paul O’shea dan Charles Rickett : “Consumer protection measures, which include statutory provisions, regulations, policy statements, mandatory and voluntary codes, that incorporate and purport to embody rules of fixed and general application, are less likely to be successful and effective as final solutions, and are thus more likely to be subject to challenge in the courts.32 Maksud dari kalimat tersebut adalah bahwa langkah-langkah perlindungan konsumen, yang meliputi ketentuan perundang-undangan, peraturan, pernyataan kebijakan, kode wajib dan sukarela, yang menggabungkan dan dimaksudkan untuk mewujudkan aturan aplikasi tetap dan umum cenderung menjadi sukses dan efektif sebagai solusi akhir, dan dengan demikian lebih mungkin untuk menjadi subyek menantang di pengadilan.

31Christopher Baum, “The Benefits of Alternative Dispute Resolution in Common Interest

Development Disputes”, St. John's Law Review Volume 84 Issue 3, 2010, hlm. 916.

32Paul O’shea dan Charles Rickett,In Defence Of Consumer Law: The Resolution Of Consumer

Dispute”, Sydney Law Review Vol 28: 139, 2006, hlm. 144.

32

Posisi para konsumen sebenarnya amat rentan untuk dieksploitasi. Hanya dengan seperangkat aturan hukum atau perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara, ketimpangan informasi tersebut dapat diatasi. Sehingga keberadaan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara tersebut, benar-benar dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen.

Adapun yang dimaksud dengan konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (2) adalah, “Setiap pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” Makna Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni :

Pertama, Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan kembangkan dunia usaha yang memproduksi barang dan/ jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat. Kedua, Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.

Penyelesaian sebuah perkara atau sengketa dalam kehidupan masyarakat saat ini dalam prakteknya tidak hanya dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan tetapi juga dapat diselesaikan melalui jalur luar pengadilan, salah satu penyelesaian sengketa yang dapat diselesaikan diluar pengadilan adalah sengketa konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen dalam perkembangan kehidupan masyarakat dapat diselesaikan oleh suatu badan atau lembaga yang

33

secara hukum telah dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden No.90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, selanjutnya disebut dengan BPSK yang merupakan amanat dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang tersebut diharapkan sebagai sarana bagi konsumen yang bertujuan untuk melindungi hak da kewajiban konsumen dengan adanya kepastian hukum. Namun demikian bukan berarti bahwa Undang-Undang ada untuk mematikan pelaku usaha, melainkan sebagai sarana untuk berkompetisi dalam menghadapi era pasar bebas, karena pelaku usaha dituntut untuk mampu bersaing dalam hal mempruduksi dan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang berkualitas, yang pada akhirnya akan berujung pada untuk mendorong iklim usaha yang sehat.

Undang-Undang perlindungan konsumen hanya mengatur materi pokok- pokonya saja dalam upaya perlindungan bagi konsumen, maka diperlukan pula peraturan-peraturan pelaksanaan yang memuat lebih rinci dalam bentuk Peraturan Pemerintah, dalam rangka mengimplementasikan Undang-Undang yang dimaksud untuk melindungi hak-hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Penyelesaian sengketa konsumen dalam perkembangan kehidupan masyarakat dapat diselesaikan oleh suatu badan atau lembaga yang secara hukum telah dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden No.90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, selanjutnya disebut dengan BPSK yang merupakan amanat dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999. tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) bahwa, “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada konsumen”.33 Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum.

33 Ahmad Wiru dan SutarmanYudo, 2007, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hlm.1

34

Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain perlindungan konsumen, sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.34 Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata costumer ( Inggris – Amerika ), atau consument / Konsument ( Belanda ). Pengertian itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah ( lawan dari produsen ) setiap orang yang menggunakan barang.35

AZ Nasution dalam Selina Tri Siwi Kristiyanti mengartikan perlindungan konsumen sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut mengenai definisi tersebut, AZ Nasution menjelaskan sebagai berikut :

“Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan social ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau masalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.”

Konsumen dapat dilindungi oleh UUPK dalam hal mana hak-hak para konsumen telah diabaikan oleh pelaku usaha. Dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak konsumen tersebut, maka pelaku usaha diharapkan dapat menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen. Hak-hak konsumen yang dilindingi diantaranya adalah ( diatur dalam Pasal 4 UUPK ) : 1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

34 Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,

hlm.30

35Ibid hlm. 22.

35

2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai perjanjian;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturaan perundang-undangan lainnya.

5. Tinjauan Umum tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen a. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Badan penyelesaian sengketa konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.36 Sedangkan dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 8 Tahun 1999 UUPK, dijelaskan bahwa “bahwa penyelesaian sengketa konsumen adalah badan yang betugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk diatur dalam Undang- undang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha.37

36 UU No. 8 Tahun 1999, Pasal 1 angka 11

37Yusuf Shofie, 2002, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan

36

Pasal 23 UU No.8 Tahun 1999 dikatakan dalam hal pelaku usaha pabrikan dan/ atau pelaku usaha distributor menolak dan/ atau tidak memberi tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Menurut Suherdi Sukandi bisa dilihat bahwa peran dari BPSK ada dua hal penting:38

1 Bahwa undang-undang perlindungan konsumen memberikan alternatif penyelesaian melalui badan diluar system peradilan yang disebut dengan BPSK, selain melalui pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan konsumen.

2 Bahwa pilihan penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha bukanlah suatu pilihan yang eksklusif, yang tidak dapat tidak harus dipilih. Pilihan penyelesaian sengketa melalui BPSK adalah pararel atau sejajar dengan pilihan penyelesaian sengketa memalui badan peradilan.

Untuk mengatur kelembagaan BPSK tersebut telah dikeluarkan sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai berikut:39

-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen -Keputusan Presiden No.90/ 2001 tentang Pembentukan BPSK.

-Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.301 MPP/ Kep./10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota dan Sekretariat BPSK.(Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)

Konsumen (UUPK), Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.39

38Ibid. hlm. 39-41

39 Drs. H. Suherdi Sukandi, Fungsi Dan Peranan Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen,

Semiloka UUPK dan BPSK Kota Bandung, Bandung 29 Mei 2004. Hlm. 14

37

-Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.302 MPP/Kep./10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pendaftaran LPKSM (Lembaga Perlindungan KonsumenSwadaya Masyarakat).

-Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep./12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

-Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 605/MPP/Kep./8/2002 tanggal 29 Agustus 2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa konsumen dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu :40

1. Tahap I telah dibentuk 10 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar.

2. Pada tahap II dibentuk 14 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu, pada Pemerintah Kota Kupang, Kota Samarindah, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri, Kota Palangkaraya, Kota Kupang, Kabupaten Belitung, Kabupaten Sukabumi. Kabupaten Bulungan, kabupaten Serang, Kabupaten Ogan Komering Ulu, dan Kabupaten Jeneponto.

3. Pada tahap III dibentuk 4 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu, pada Pemerintah Kota Padang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Indramayu, Dan Kabupaten Bandung.

40 Ibid. hlm 30-41

38

Berdirinya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah bentuk dari berkembangnya permasalahan yang terjadi berkaitan dengan sengketa dibidang perlindungan konsumen. BPSK tidak sekedar suatu lembaga atau badan yang dapat berdiri atau dibentuk oleh perseorangan tetapi suatu lembaga yang berpayung hukum dengan dasar peraturan perundang-undangan yang cukup jelas. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang pembentukan BPSK yang dipertegas didalam Pasal 49 ayat (1) UUPK yang berbunyi:

“Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah

Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.”

Yang dalam hal ini adalah jelas peran dan fungsi dari BPSK adalah menyelesaikan permasalahan yang timbul antara pihak konsumen dengan lembaga pembiayaan, dimana terjadi wan prestasi yang dilakukan oleh pihak konsumen dari lembaga pembiayaan.

b. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Pada dasarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum ( hak- hak ) konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur didalam hukum, serta bagaiamana ditegakkan dalam praktek kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian hukum perlindungan konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak konsumen, yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.41

Selanjutnya menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa tatanan yang diciptakan oleh hukum baru itu menjadi kenyataan apabila kepada subyek hokum diberikan hak dan dibebani kewajiban. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya disatu pihak hak, sedangkan di pihak lain kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebailknya tidak ada kewajiban tanpa hak.42

41 Op Cit, Celina Tri Siwi Kristiyanti, hlm. 67.

42 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, hlm. 40.

39

Alternatif Penyelesaian Sengketa pada umumnya dapat diartikan sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa nonlitigasi dengan mempertimbangkan segala bentuk efisiensinya dan untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus menguntungkan para pihak yang bersengketa.43 Dasar hukum dalam alternatif penyelesaian sengketa adalah kehendak bebas yang teratur dari pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaiakan perselisihan diluar hakim negara.44 Istilah alternatif penyelesaian sengketa merupakan label atau merek yang diberikan untuk mengelompokkan proses negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.45

Alternatif penyelesaian sengketa jika dilihat berdasarkan kata “alternatif” menunjukkan bahwa, alternatif dapat diartikan para pihak yang bersengketa itu bebas melalui kesepakatan bersama memilih bentuk dan tata cara apa yang terdapat didalam alternatif penyelesaian sengketa dan akan diterapkan pada penyelesaian sengketanya.46 Sehingga alternatif penyelesaian sengketa dapat diberi batasan sebagai sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternatif atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk alternatif penyelesaian sengketa agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak.

Mengenai tugas dan wewenang Badan peneyelesaian Sengketa Konsumen menurut ketentuan Pasal 52 UUPK, meliputi:

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang;

43Suyud Margono, 2000, APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) & Arbitrase, Proses

Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Anggota IKAPI, Jakarta, hlm.13 saduran dari Basuki ReksoWidodo, Studi Perbandingan Beberapa Model Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Projustitia No.4, Tahun 16, Oktober 1996.

44Ibid, hlm.16 45Ibid,hlm.37

46H. Priyatna Abdulrrasyid , Prof. DR.., SH, Ph.D, C.HSL., D.iAA., Fell BIS., LAA., Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneska & BANI, Jakarta, 2002 ,hlm.12.

40

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlinduyngan konsumen;

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/ atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini; i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,

saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;

j. Mendapatkan, meneliti dan/ atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/ atau pemeriksaan;

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di piuhak konsumen;

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m.Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Dalam dokumen Tesis Tegar Harbriyana Putra (Halaman 44-53)

Dokumen terkait