• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tesis Tegar Harbriyana Putra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tesis Tegar Harbriyana Putra"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

i

KAJIAN MODEL PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

(Analisis Putusan BPSK dan Putusan Banding Pengadilan Negeri Sragen)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Magister

Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi

Disusun Oleh :

TEGAR HARBRIYANA PUTRA NIM : S. 330811013

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2015

(2)
(3)
(4)
(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia dan hidayah-Nya sehingga tesis dengan judul

KAJIAN MODEL PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 (Analisis Putusan BPSK dan

Putusan Banding Pengadilan Negeri Sragen),ini dapat penulis selesaikan tepat waktu guna memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus ditempuh dalam rangkaian kurikulum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maretdan juga merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam menempuh jenjang kesarjanaan S2.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, baik dari segi materi yang disajikan maupun dari segi analisisnya. Namun, penulis berharap bahwa penulisan hukum ini mampu memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembacanya.

Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Prof. Dr. Supanto, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Bapak Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum., selaku Kepala Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Bapak Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan masukan bagi

(6)

vi

kesempurnaan tesis ini, sehingga dapat tersusun dan terselesaikan dengan baik dan lancar.

6. Ibu Rofikah, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan masukan bagi kesempurnaan penulisan tesis ini sehingga tesis ini dapat tersusun dan terselesaikan dengan baik dan lancar. 7. Bapak dan Ibu Dosen Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan ilmunya dengan penuh dedikasi dan keikhlasan sehingga menambah wawasan dan pengetahuan penulis.

8. Bapak dan Ibu Staf Sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu kelancaran administrasi selama penulis menempuh perkuliahan hingga penyelesaian penulisan tesis ini.

9. Kedua orangtua penulis, Ayahanda Sri Hartoyo., dan Ibunda Sri Sayekti, yang telah memberikan doa, harapan, kasih sayang, cinta, serta motivasi yang tidak terhingga sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Ilmu Hukum.

10.Bunda tersayang yang telah sabar menemani dan membantu ayah dalam menyelesaikan tesis.

11.Keluarga besarku tersayang, dengan dorongan doa dan kasih sayang, sehingga penulis dapat menyelesaiakan tesis.

12.Sahabat penulis serta teman-teman Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, khususnya kelas Hukum Pidana Ekonomi, yang telah memberikan semangat dan doa sehingga tesis ini dapat terselesaikan tepat waktu.

13.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan tesis sampai dengan terselesainya tesis ini.

Semoga amal budi baik yang disumbangkan kepada penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT.

(7)
(8)

viii

MOTTO

“Demi matahari dan sinarnya pada siang hari” “Demi bulan apabila mengiringinya” “Demi siang apabila menampakkannya” “Demi malam apabila menutupinya (gelap gulita)” “demi langit serta pembinaannya (yang menakjubkan)”

“Demi bumi serta penghamparannya (ciptaannya)”

“Maka dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketaqwaan” “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)”

“Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya”

(Al Qur’an Surat Asy-Syam ayat 1-10)

“Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.

(Q.S. Al Thalaq (65) : 7)

Rasulullah SAW bersabda : Shadaqah tak akan mengurangi harta.

Tidaklah seorang hamba senang memberi maaf, melainkan Allah akan menambah kemuliannya,

Tidaklah seorang bertawadhu’ karena Allah, melainkan akan meninggikan

derajatnya.

(HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a)

(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……….. I

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……….. Ii

HALAMAN PENGESAHAN TESIS ……… Iii

PERNYATAAN ……… Iv

KATA PENGANTAR ……… V

MOTTO ……….. viii

DAFTAR ISI ……….. ix

ABSTRAK INDONESIA ………... xii

ABSTRAK INGGRIS ……… xiii

BAB I. PENDAHULUAN ………..………..

A. Latar Belakang Masalah ………

B. Perumusan Masalah …..………

C. Tujuan Penelitian ……..………

D. Manfaat Penelitian ……..………..

1 1 7 7 8

BAB II. LANDASAN TEORI ……..………...…...

1. Tinjauan Umum Tentang Konsumen ………... a. Pengertian Konsumen ………... b. Hak dan Kewajiban Konsumen ………. 2. Tinjauan Umum Tentang Pelaku Usaha...

a. Pengertian Pelaku Usaha ………... b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ………

c. Tanggung Jawab Pelaku Usaha. ... 3. Tinjauan Umum Tentang Sengketa Konsumen …...

a. Penegertian Sengketa Konsumen ……….. b. Bentuk-Bentuk Sengketa Konsumen ... 4. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen ...

(10)

x

5. Tinjauan Umum tentang Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen ... a. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen ... b. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen ...

6. Teori Penegakan Hukum ... 7. Teori Sistem Hukum... 8. Penelitian yang Relevan ... 9. Kerangka Berpikir ...

35 35 38 40 46 50 53

BAB III. METODE PENELITIAN ………...

1. Jenis Penelitian ... 2. Lokasi Penelitian ... 3. Jenis dan Sumber Data ... 4. Teknik Pengumpulan Data ... 5. Teknik Analisis Data ………

54 54 55 55 57 58

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ….……..

A. Hasil Penelitian ... 1. Deskripsi Kasus ...

a. BPSK Surakarta ... b. Uraian Singkat Keabsahan Perjanjian yang

dilakukan antara Pengadu dan Teradu ………… c. Uraian Singkat tentang kekuatan Mengikat dari

Klausa Baku dalam Perjanjian Yang dilakukan antara Pengadu dan Teradu ………. d. Amar Putusan BPSK Nomor

(11)

xi

e. Amar Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No. 233/Pdt.G/2012/ PN.Ska... f. Amar Putusan Pengadilan Negeri Sragen

No.55/Pdt.G/BPSK/2012/ PN.SRG...

B. Pembahasan ... 1. Model Penyelesaian Sengketa Konsumen oleh

BPSK dan Pengadilan Negeri Surakarta ... 2. Hambatan dan Solusi Dalam Memutus Sengketa

Konsumen di BPSK dan Pengadilan Negeri...

64

65 66

66

89

BAB V. PENUTUP ………..

A. Kesimpulan ………..

B. Implikasi ………..

C. Saran ………

97 97 99 99

DAFTAR PUSTAKA ………. 102

(12)

xii

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Pengadilan Negeri Sragen, serta untuk mengetahui hambatan dan solusi dalam penyelesaian sengketa. Penelitian ini termasuk kedalam penelitian non doktrinal dengan mendasarkan pada konsep hukum yang ketiga, yaitu hukum adalah apa yang diputus oleh hakim inconcreto dan tersistematisasi sebagai judge made law.Jenis data yang penulis gunakan, yaitu data primer dan sekunder. Adapun teknik pengumpulan data mengunakan studi wawancara (interview) dan studi kepustakaan. Teknik analisis data menggunakan analisa data secara kualitatif. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa model penyelesaian sengketa yang digunakan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu arbitrase. Sedangkan di Pengadilan Negeri menggunakan model penyelesaian sengketa yang berlaku pada penyelesaian perkara perkara perdata biasa. Hambatan yang dihadapi oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen antara lain perbedaan latar belakang kultur masing-masing anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, permasalahan sarana dan prasarana yang kurang memadai, regulasi peraturan yang tidak lengkap dan membingungkan dan sulitnya dalam pemanggilan para pihak yang bersengketa. Hambatan di Pengadilan Negeri yaitu memerlukan waktu yang lama, tidak melindungi kerahasiaan. Pengadilan (litigasi) dianggap tidak efektif dan efisien sehingga akan mengganggu atau menghambat kegiatan bisnis khususnya bagi pelaku usaha, begitu juga bagi konsumen, susahnya memanggil para pihak yang bersengketa. Solusi terhadap hambatan tersebut di antaranya perlu adanya peningkatan sumber daya manusia, khususnya bagi hakim arbiter agar supaya lebih menguasai tentang hukum, mengingat tidak semua hakim arbiter mempunyai latar belakang di bidang hukum. Kemudian, perlu adanya peran serta pemerintah kota setempat, dalam hal ini khususnya pemerintah Kota Surakarta, supaya lebih meningkatkan sarana dan prasarana di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen agar dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa konsumen, serta perlu adanya regulasi Undang-Undang yang jelas mengenai batas kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Pengadilan Negeri.

Kata Kunci : Model Penyelesaian Sengketa, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pengadilan Negeri

(13)

xiii

Abstract

This study aims to determine the model of dispute resolution in Consumer Dispute Settlement Board and the Court of Surakarta, as well as to find out the barriers and solutions in the settlement of disputes in BPSK and the District Court. To achieve these objectives, then the non-doctrinal legal research. The type of data used are primary and secondary data to study the document, selanjutrnya analyzed using qualitative research data analysis. From the results of this research is that the model of dispute resolution used in the Consumer Dispute Settlement Board is arbitration. While in the District Court using the model of dispute resolution in effect on the settlement ordinary civil cases. Obstacles faced by the Consumer Dispute Settlement Board, among others, differences in cultural background of each member of the Consumer Dispute Settlement Board, the issue of infrastructure is inadequate, regulatory rules that are incomplete and confusing and difficult in summoning the parties to the dispute. While the obstacles in the District Court which require a long time, does not protect the confidentiality, the Court (litigation) is not considered effective and efficient so that it will interfere with or hinder business activity, especially for business people, as well as for consumers, difficult to call the parties to the dispute. The solution to these obstacles include the need for an increase in human resources, particularly for judges in order to better master arbiter of the law, given that not all judges arbiters have a background in law. Then, the need for participation of the local municipality, in this particular Surakarta local government, in order to further improve the facilities and infrastructure in the Consumer Dispute Settlement Board of Surakarta in order to expedite the process of resolving consumer disputes, as well as the need for regulation of the Act are clear about boundaries authority of the Consumer Dispute Settlement Board and the District Court.

Keywords : Dispute Resolution Model, Consumer Dispute Settlement Board, the District Court

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Arah kebijakan pembangunan perekonomian pemerintah sekarang ini salah satu ditekankan pada pembangunan perekonomian nasional, dilaksanakan sebagai upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin lama semakin maju dalam segala bidang, maka tidak menutup kemungkinan akan majunya perkembangan ekonomi. Pesatnya pertumbuhan perekonomian dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi telekomunikasi dan informatika turut mendukung perluasan ruang lingkup dan gerak transaksi persaingan usaha barang dan jasa. Pada era perdagangan bebas membuat persaingan usaha menjadi semakin ketat. Ketatnya persaingan usaha ini menumbuhkan kreasi-kreasi untuk menciptakan produk-produk baik jasa maupun barang perdagangan. Produk di bidang jasa yang berkembang sangat pesat sampai saat ini adalah bidang pembiayaan, karena perluasan usaha dan pemenuhan peralatan modal membutuhkan pembiayaan.

Permasalahan yang sering timbul berkaitan kegiatan dunia usaha seperti perdagangan baik jasa dan/ atau barang senantiasa menarik untuk lebih diperhatikan, dicermati dan diteliti. Hal ini disebabkan karena perdagangan akan selalu berkaitan dengan apa yang disebut dengan konsumen dan produsen. Kondisi tersebut pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen, karena kebutuhannya akan barang dan jasa semakin besar seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan jaman. Demikian pula dengan semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya masing-masing.Dilain pihak, kondisi dan fenomena tersebut

(15)

2

dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen dapat menjadi objek aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui iklan, promosi serta penerapan perjanjian-perjanjian standar yang merugikan konsumen. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan konsumen dan rendahnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya.

Persaingan yang sehat antar pelaku usaha sesungguhnya tidak salah, asalkan dengan diimbangi peningkatan kualitas dan mutu barang dan/ atau jasa serta didukung pelayanan yang jujur, baik serta pemberian informasi yang benar dari pelaku usaha kepada konsumen tentu akan sangat bermanfaat dan menguntungkan konsumen. Berbeda jika persaingan usaha hanya didasarkan pada pencarian keuntungan belaka dari pelaku usaha dengan cara yang tidak sehat, maka sudah tentu dapat berakibat buruk bagi konsumen. Potensi demikian dapat menimbulkan terjadinya sengketa konsumen antara konsumen dengan pelaku usaha. Untuk dapat menjamin suatu penyelenggaraan perlindungan konsumen, maka pemerintah menuangkan perlindungan konsumen dalam bentuk suatu produk hukum, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang untuk selanjutnya disebut dengan UUPK). Menurut G. Deepa dan Dr. K. Vijayarani“an act to provide for better protection of the interests of consumers and for that purpose to make provision for the establishment of consumer councils and other authorities for the settlement of

consumers’ disputes and for matters connected therewith”.1 Artinya, tindakan

untuk memberikan perlindungan yang lebih baik dari kepentingan konsumen dan untuk tujuan itu untuk membuat ketentuan pembentukan dewan konsumen dan otoritas lainnya untuk penyelesaian sengketa konsumen dan untuk hal-hal yang berhubungan dengannya. Maksudnya bahwa memberikan perlindungan terhadap konsumen dengan dibentuknya peraturan perlindungan konsumen sangat penting, mengingat banyaknya sengketa konsumen yang timbul dan pada akhirnya dalam hal ini konsumenlah yang banyak dirugikan.

1 G. Deepa dan Dr. K. Vijayarani, “Performance of Consumer Disputes Redressal Agencies in

TN”, International Journal of Management and Commerce Innovations ISSN 2348-7585 (Online)

Vol. 2, Issue 2, 2015, hlm. 21.

(16)

3

Lahirnya UUPK yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 20 April 1999, dan berlaku secara efektif tanggal 20 April 2000 mengatur antara lain keberadaan lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang disebut dengan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), sebagai pelaksanaannya pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pembentukan BPSK ini dilatarbelakangi adanya globalisasi dan perdagangan bebas, yang didukung kemajuan teknologi dan informatika dan dapat memperluas ruang gerak transportasi barang dan/ atau jasa melintasi batas-batas wilyah suatu Negara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK2 menjamin adanya kepastian hukum terhadap konsumen.Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.3 Sedangkan dalamPasal 3 ayat (1) dan (2) UUPK4 lebih menyoroti kepada tujuan dari dibentuknya UUPK yang akan penulis bahas dalam penelitian hukum ini lebih lanjut. Sesuai penjelasan dalam ayat (2) UUPK, konsumen mendapatkan porsi perlindungan yang lebih diperhatikan atas barang/jasa yang dipakainya.

Dalam era globalisasi, pembangunan perekonomian nasional harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan

2Pasal 1 angka (1) UUPK menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

3 AZ. Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei,

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 6-7.

4 Pasal 3 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa tujuan dibentuknya UUPK adalah untuk

meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, sedangkan dalam ayat (2) bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

(17)

4

masyarakat banyak.5 Pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum memiliki kekuatan untuk memaksa pelaku usaha dan konsumen untuk mentaatinya dan hukum juga memiliki sanksi yang tegas. Dalam penjelasan UUPK disebutkan bahwa mengingat dampak penting yang dapat ditimbulkan akibat tindakan pelaku usaha yang sewenang-wenang dan hanya mengutamakan keuntungan dari bisnisnya sendiri, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen yang posisinya memang lemah, disamping ketentuan hukum yang melindungi belum memadai. Amanat UUPK memerintahkan penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara. Cara penyelesaian sengketa pertama melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama (kooperatif) di luar pengadilan (non litigasi). Proses litigasi menghasilkan putusan yang bersifat pertentangan (adversarial) yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, bahkan cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa.6

Penyelesaian dengan jalan litigasi bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 48 UUPK7. Sedangkan mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau non litigasi bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 47 UUPK8. Sesuai Pasal

5Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.PT.Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2003,hlm. 98.

6 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2003,hlm. 3.

7Pasal 48 UUPK menyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan

mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45.

8 Pasal 47 UUPK menyatakan bahwa penyelesain sengketa konsumen di luar pengadilan

diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/ atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen.

(18)

5

45 ayat(1) UUPK9. Sedangkan dalam Pasal 45 ayat(2) UUPK10. Dengan cara penyelesaian sengketa secara damai sesungguhnya yang paling diinginkan, diusahakan bentuk penyelesaian sengketa yang mudah dan relatif lebih cepat.

Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK pada prinsipnya diserahkan kepada pilihan para pihak, antara konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan apakah akan diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Setelah konsumen dan pelaku usaha mencapai kesepakatan untuk memilih salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen dari tiga cara yang ada di BPSK, maka Majelis BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen menurut pilihan yang telah dipilih dan para pihak wajib mengikutinya.

Namun seiring berjalannya waktu banyak sekali masalah yang timbul diantara para konsumen dengan penyedia barang dan jasa. Hal tersebut dapat dipahami bahwa keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai badan yang dibentuk secara khusus oleh pemerintah dalam rangka membantu masyarakat untuk penyelesaian persoalan-persoalan tentang sengketa konsumen harus lebih diketahui oleh masyarakat secara luas, agar masyarakat memiliki gambaran bagaimana menyelesaikan persoalan jika mereka selaku konsumen menghadapi kekecewaan atau ketidakpuasan atau bahkan penipuan dari pelaku usaha atas barang dan/ atau jasa yang telah konsumen beli dengan membayarkan uang dalam jumlah tertentu sehingga tidak mengalami banyak kerugian. Dalam hal ini tidak hanya membantu masyarakat saja, melainkan juga BPSK juga berperan untuk membantu lembaga pembiayaan yang sedang bermasalah dengan konsumen yang diakibatkan karena kesalahan yang dilakukam oleh pihak konsumen, yang antara lain ketidakmauan konsumen untuk melakukan kewajibannya

9Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat

pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum.

10Pasal 45 ayat(2) UUPK10 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh

melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa dengan cara ini disebut cara kekeluargaan.

(19)

6

membayar dalam rangka pengadaan barang dan jaa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Dengan hadirnya BPSK sebagaimana dimaksudkan dalam UUPK yang dibentuk oleh pemerintah adalah badan yang melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi, sehingga akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan terhadap kekuatan mengikat putusan arbitrase BPSK tersebut. Ketentuan Pasal 54 ayat 3 UUPK11, menyebutkan bahwa Putusan BPSK sebagai hasil dari penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi bersifat final dan mengikat. Pengertian final berarti bahwa penyelesaian sengketa telah selesai dan berakhir.Sedangkan kata mengikat mengandung arti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak yang diwajibkan untuk itu.Prinsip res judicata pro veritate habetur, menyatakan bahwa suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan upaya hukum, dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti. Namun jika pasal tersebut dihubungkan dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) UUPK, menyatakan bahwa terhadap putusan BPSK yang menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri, dan terhadap putusan Pengadilan tersebut dapat diajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini bertentangan dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat tersebut, sehingga dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut saling kontradiktif.

Maraknya praktek-praktek usaha dibidang pembiayaan dengan sistem perjanjian fidusia yang dilakukan pelaku usaha baik bank maupun non bank termasuk lembaga pembiyaan (finance) menyebabkan tingkat konsumsi masyarakat, khususnya di Kota Surakarta menjadi meningkat terutama konsumsi dibidang otomotif baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Namun ternyata masalah mulai muncul ketika banyak debitur yang tidak bisa

(20)

7

menepati perjanjian yang telah mereka buat dengan pengusaha, seperti kasus debitur yang tidak bisa melunasi angsuran.

Seperti dalam kasus yang penulis bahas, konsumen dan lembaga pembiayaan yang telah sepakat mengadakan perjanjian pembiayaan konsumen dan pengakuan hutang yang dilakukan oleh PT. Andalan Finance dengan Nomor 4095/J/95/110783. Diawali ketika konsumen tidak lagi melakukan pelaksanaan pembayaran angsuran sesuai dengan jatuh tempo sebagaimana ketentuan perjanjian yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Pada akhirnya kasus ini dilaporkan ke BPSK sebagai lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa konsumen, dan terus berlajut sampai ke Pengadilan Negeri.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk menyusun sebuah penelitian ilmiah dalam bentuk tesis yang berjudul:“Kajian Model

Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 (Analisis Putusan BPSK dan Putusan Banding Pengadilan

Negeri Sragen)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut, maka penulis membatasi pembahasan dalam penulisan ini dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah model penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dan Pengadilan Negeri Sragen?

2. Apa yang menjadi hambatan dan bagaimana solusi dalam memutus sengketa konsumen di BPSK dan Pengadilan Negeri?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah suatu target yang hendak dicapai untuk menemukan pemecahan masalah penelitian (tujuan obyektif), untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu pengetahuan khususnya secara pribadi

(21)

8

(tujuan subyektif). Apa yang hendak dicapai dalam penelitian hendaknya dikemukakan dengan jelas dan tegas12.

Berdasarkanpermasalahan diatas maka penulis menetapkan tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Tujuan Obyektif

a) Untuk mengetahui model penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dan Pengadilan Negeri Sragen.

b) Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan dalam memutus sengketa konsumen di BPSK dan Pengadilan Negeri Sragen.

2. Tujuan Subyektif

a) Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun karya ilmiah guna memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar Magister di bidang Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Ekonomi pada Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b) Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum, selain itu untuk memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Merupakan salah satu sarana untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan tesis guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Magister di bidang Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Ekonomi pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta; b. Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya,

12 Maria S.W Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada,

Yogyakarta, 1989. hlm. 23

(22)

9

khususnya hukum pidana ekonomi dalam rangka pembinaan hukum nasional di Indonesia, terutama tentang peran dan fungsi BPSK. 2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke masyarakat;

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah, aparat penegak hukum dan semua pihak yang terkait. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi literatur yang berguna bagi pengetahuan masyarakat.

(23)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

1. Tinjauan Umum tentang Konsumen

a. Pengertian Konsumen

Asal mula istilah “konsumen” berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer atau dalam bahasa Belanda yaitu consument. Konsumen secara harfiah adalah orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan, pemakai atau pembutuh.13 Konsumen bisa juga diartikan sebagai consumer adalah “lawan (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”.

Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten).14 Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir.

Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, pengertian konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian, terdiri atas: 1) Konsumen dalam arti umum yaitu pemakai, pengguna dan/atau

pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

2) Konsumen antara adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang/jasa lain atau

13N.H.T. Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cet. I, Bogor :

Grafika Mardi Yuana, 2005, hal. 23.

14E.H. Hondius, 1976, Konsumentenrecht, dalam Shidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, hal 2

(24)

11

untuk memperdagangkannya dengan tujuan komersial. Konsumen ini sama dengan pelaku usaha.

3) Konsumen akhir adalah setiap orang alami (natuurlijke persoon) yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadinya, keluarga dan/atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UUPK tersebut. Selanjutnya apabila digunakan istilah konsumen dalam Undang-undang dan penelitian ini, yang dimaksudkan adalah konsumen akhir. Ketentuan Pasal 1 angka (2) UUPK menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Ternyata pengertian konsumen dalam UUPK tidak hanya konsumen secara individu, juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain, seperti binatang peliharaan, tetapi tidak diperluas pada individu pihak ketiga (bystander) yang dirugikan atau menjadi korban akibat penggunaan atau pemanfaatan suatu produk barang atau jasa.

Dalam pengertian konsumen ini adalah “syarat untuk tidak diperdagangkan” , yang menunjukkan sebagai “konsumen akhir” (end consumer), dan sekaligus membedakan dengan konsumen antara (intermediate consumer). Az.Nasution juga mengklasifikasikan pengertian Konsumen menjadi tiga bagian : 15

a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

b. Konsumen antara yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang dan/jasa lain untuk

15AZ.Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU Nomor 8 Tahun

1999,www.pemantauperadilan.com. diakses pada 26 Juni 2015.

(25)

12

memperdagangkannya (distributor) dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

c. Konsumen akhir yaitu, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UUPK.

b. Hak dan Kewajiban Konsumen

Konsumen dengan pelaku usaha mempunyai hubungan yang saling membutuhkan. Pelaku usaha dalam memasarkan barang dagangannya pasti membutuhkan konsumen. Dalam hal ini, seorang konsumen tentu mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Bagi seorang konsumen, biasanya yang penting adalah mendapatkan barang yang dia inginkan. Sementara bagi pelaku usaha, tujuannya adalah untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga sering timbul pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang akan merugikan konsumen.

Sudikno Martokusumo dalam bukunya Mengenai Hukum, Suatu Pengantar, menyatakan bahwa dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan itu sendiri berarti tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.Mengenai hak konsumen, diatur dalam Pasal 4 UUPK, yakni : 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

Hak ini mengandung arti bahwa konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang akan dikonsumsi, mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatannya secara jasnmani maupun rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen (terutama

(26)

13

pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha.16 Falsafah yang disebut caveat emptor (let the buyer beware) ini mencapai puncaknya pada abad 19 seiring dengan berkembangnya paham rasional di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya kemudian prinsip yang merugikan konsumen ini telah ditinggalkan. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa keamanan dan keselamatan merupakan hal yang utama bagi manusia. Hanya saja disadari atau tidak, penghargaan orang terhadap hal itu berbeda-beda. Hal ini tergantung pada tingkat pendapatan dan kepedulian konsumen itu sendiri, dan secara khusus konsumen di negara-negara didunia (termasuk Indonesia) karena mayoritas dalam kondisi rentan, maka arti penting dari hak tersebut masih banyak diabaikan.

Berangkat dari kondisi konsumen yang masih rentan, baik secara ekonomi maupun sosial, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen memandang perlu menggariskan etika dan peraturan yang mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin kemanan dan keselamatan. Untuk implementasinya, selanjutnya diperlukan peranan dari berbagai pihak, khususnya Pemerintah, secara intensif dalam menyusun suatu peraturan maupun kontrol atas penerapan peraturan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah dapat dilihat bahwa hak atas keamanan dan keselamatan masih diabaikan. Kekurang mampuan produk-produk negeri kita menembus pasar internasional adalah suatu bukti dimana produk dari para produsen dalam negeri relatif masih kurang baik. Pasar internasional dimana tingkat kompetisinya cukup tinggi, jelas akan menyingkirkan produk-produk yang tidak mempertimbangkan keamanan dan keselamatan konsumen. Dengan demikian, pada dasarnya kepedulian produsen terhadap keamanan dan keselamatan konsumen, justru akan menguntungkan semua pihak. Sementara kepedulian konsumen akan haknya juga akan menjadi pendorong bagi pengambil kebijakan baik pelaku usaha maupun

(27)

14

pemerintah, sehingga menjadi lebih sempurna. Baik langsung maupun tidak, hal ini akan membantu penggalangan cinta produksi dalam negeri, serta pemasukan devisa melalui ekspor ke luar negeri.17

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

Mengkonsumsi suatu barang atau jasa harus berangkat dari kebutuhan dan kecocokan konsumen. Bagi konsumen golongan menengah ke atas yang memiliki kekuatan materi, mungkin saja tidak mempunyai masalah dengan hak pilih. Namun bagi konsumen golongan bawah, dimana kemampuan daya belinya relatif rendah, maka hal ini menjadi masalah. Ketidak berdayaan konsumen golongan ini umumnya terletak pada pengetahuan mutu suatu barang dan / atau jasa. Sekalipun mereka mengetahui adanya ancaman yang terselip dari barang yang dikonsumsi tersebut, tetap saja konsumen golongan ini akan mengkonsumsi barang/ jasa tersebut karena sesuai dengan daya belinya. 3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa.

Tujuan informasi dari suatu produk, baik disampaikan secara langsung atau melalui iklan dan label, bukan semata untuk perluasan pasar saja, tetapi juga menyangkut masalah informasi secara keseluruhan menyangkut kelebihan dan kekurangan atas produk tersebut, terutama dalam hal keamanan dan keselamatan konsumen. Pemberian batas kadaluarsa, kandungan bahan serta sejumlah peringatan dan aturan penggunaan lainnya harus disertakan dan diberikan informasi secara benar pada konsumen. Namun apabila hal-hal tersebut tidak dapat diberikan oleh produsen/ pedagang, maka konsumen berhak untuk menuntutnya. Terhadap hak atas informasi ini, konsumen perlu waspada mengingat seringnya pihak produsen/ pedagang melakukan penyampaian

17Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Jakarta:

Grasindo, 2000

(28)

15

informasi secara berlebihan. Sehingga, dalam banyak hal, pihak produsen/ pedagang tanpa tersadari sering mendorong konsumen untuk bertindak tidak lagi rasionil. Untuk itu konsumen perlu selektif terhadap informasi yang diberikan dan berusaha mencocokkan dengan kenyataan yang ada pada produk tersebut. Tak kalah pentingnya, konsumen pun harus jeli dalam membedakan mana rayuan, mana promosi dan mana kenyataannya. Hal itu merupakan tindakan yang bijak daripada mengalami kerugian di belakang hari.

4. Hak untuk didengar keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

Menurut Shidarta, keselamatan dan keamanan yang terancam, serta wujud yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan kenyataan produk yang dijajakan, cukup banyak terjadi. Hal ini meresahkan serta merugikan konsumen. Untuk semua itu, konsumen berhak mengeluh dan menyampaikan masalah tersebut pada pelaku usaha bersangkutan. Sebaliknya, pelaku usaha juga harus bersedia mendengar, menampung dan menyelesaikan perihal yang telah dikeluhkan oleh konsumen tadi. Pada hal yang sama, hak ini dimaksudkan sebagai jaminan bahwa kepentingan, pendapat, serta keluhan konsumen harus diperhatikan baik oleh pemerintah, produsen maupun pedagang.

Hak untuk didengar dapat diungkapkan oleh konsumen dengan cara mengadu kepada produsen/ penjual/ instansi yang terkait. Dan konsumen perlu memanfaatkan hak untuk didengarnya dengan baik serta optimal. Hal ini dirasa perlu, karena dari pengalaman sehari-hari terlihat, bahwa hak untuk didengar ini belum dimanfaatkan. Contoh yang paling sederhana misalnya, dalam ikatan transaksi jual beli atau sewa beli, kontrak-kontrak sepihak dan ketentuan-ketentuan yang tercantum pada bon pembelian yang biasanya hanya menguntungkan produsen/ pedagang, biasanya karena dipermasalahkan secara terbuka. Kalaupun telah merasakan ketidakseimbangan ketentuan tersebut, konsumen segan mengajukan usulan yang menjadi haknya. Kedepannya, hal tersebut perlu

(29)

16

mendapat perhatian, agar konsumen jangan selamanya berada pada posisi yang dirugikan.

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Bahwasanya di dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen tercakup juga kewajiban untuk melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri sendiri, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan harkat dan martabat konsumen, sekaligus menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha untuk berlaku jujur dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pemberian perlindungan hukum bagi konsumen hendaknya tanpa merugikan pelaku usaha yang memang berperilaku baik dan jujur. Seyogyanya, antara konsumen dengan pelaku usaha menjadi mitra sejajar dan saling membutuhkan.

6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

Shidarta menjelaskan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan pendidikan dan ketrampilan, terutama yang menyangkut mutu barang dan layanan agar peluang seorang konsumen untuk ditipu atau tertipu semakin kecil. Untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna dari pendidikan ini, konsumen memang dituntut aktif, seperti membiasakan untuk membaca label. Dan sebaliknya, sangat diharapkan peran serta pemerintah dan produsen untuk mendistribusikan materi yang diperlukan konsumen. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat. 18

Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan “ pendidikan konsumen “ ini. Pengertian “ pendidikan“ tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin

18Shidarta, op.cit. hal 24-25.

(30)

17

banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk informasi yang lebih komprehensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen. Produsen mobil misalnya dalam memasarkan produk dapat menyisipkan program-program pendidikan konsumen yang memiliki kegunaan praktis, seperti tata cara perawatan mesin, pemeliharaan ban, atau penggunaan sabuk pengaman.

7. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Ketika UUPK ini dirancang, para perumus RUUPK sangat memperhatikan dasar-dasar acuan untuk mewujudkan perlindungan konsumen, yaitu pertama, hubungan hukum antara penjual dengan konsumen secara jujur, kedua hubungan kontrak penjual dan konsumen dirumuskan dengan jelas, ketiga konsumen sebagai pelaku perekonomian, keempat konsumen yang menderita kerugian akibat yang cacat mendapat ganti rugi yang memadai, kelima diberikannya pilihan penyelesaian sengketa kepada para pihak.

Dasar-dasar tersebut telah menekankan pada pentingnya pemberian hak kepada konsumen untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila ternyata tidak sesuai dengan yang diperjanjikan maupun tidak dalam kondisi sebagaimana mestinya. Terlepas adanya unsur ketidak sengajaan dari pihak penjual yang mengakibatkan terjadinya cacat barang yang tersembunyi dan sekalipun telah yakin terhadap kejujuran penjual tersebut, maka pada contoh kasus ini telah melekat hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi. Ganti rugi dimaksud bisa saja dalam bentuk pengembalian pembayaran, mengganti dengan barang baru yang sama, ataupun bentuk kompensasi lainnya sesuai hasil penyelesaian masalah/ sengketa

8. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

(31)

18

Dalam praktek sehari-hari masih banyak dijumpai adanya pelaku usaha yang suka membeda-bedakan pelayanan terhadap seoarang konsumen dengan konsumen lainnya, antara lain dengan memilah-milah status konsumen. Kesemuanya ini telah diantisipasi oleh UUPK, dimana konsumen dibekali hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif oleh pelaku usaha.19

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Termasuk kedalam hak konsumen yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, berupa :20

1. Hak Untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan non fisik.

Dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini dinyatakan secara tegas. Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan konsumerisme hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan.

Sementara itu, mulai tahun 2000 semua perusahaan yang berkaitan dengan hasil hutan, baru dapat menjual produknya di Negara-negara yang tergabung dalam The International Tropical Timber Organization (ITTO), juga telah memperoleh ecolabeling certificate.

19Shidarta, op.cit. hal 27.

20Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT. Rajagrafindo

Persada, 2011, hal. 40

(32)

19

Ketentuan demikian sangat penting artinya, khususnya bagi produsen hasil hutan tropis, seperti Indonesia karena praktis pangsa pasar terbesarnya adalah Negara-negara anggota ITTO. Untuk itu lembaga Ecolabeling Indonesia (LEI) pada tahun 1998 mulai melakukan audit atas sejumlah perusahaan perkayuan Indonesia agar dapat diberikan sertifikat ekolabeling yang disebut SNI 5000.

2. Hak Untuk Dilindungi dari Akibat Negatif Persaingan Curang

Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 disebut dengan “ persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.

Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi. Contoh bentuk yang kerap terjadi dalam persaingan curang adalah permainan harga (dumping). Satu produsen yang kuat mencoba mendesak produsen saingannya yang lebih lemah dengan cara membanting harga produk. Tujuannya untuk merebut pasar, dan produsen saingannya akan berhenti berproduksi. Pada kesempatan berikutnya, dalam pasar yang monopolistik itulah harga kembali dikendalikan oleh si produsen curang ini.

Dalam posisi demikian, konsumen pula yang dirugikan. Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya oleh Pemerintah guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan konsumen. Itulah sebabnya, gerakan konsumen sudah selayaknya menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan

(33)

20

undangan yang berkaitan dengan hak ini, seperti yang ada saat ini, yaitu UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan adanya (1) perjanjian yang dilarang, dan (2) kegiatan yang dilarang, antara lain dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24. Termasuk dalam bentuk perjanjian yang dilarang adalah ologopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertical, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat. Jika dibandingkan antara hak-hak konsumen sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan Resolusi PBB, tampaknya tidak ada perbedaan mendasar. Penyebabnya, antara lain adalah bahwa hak-hak konsumen yang disebut di dalam Resolusi PBB itu adalah rumusan tentang hak-hak konsumen yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga konsumen di dunia,dan telah sejak lama diperjuangkan di negaranya masing-masing. Hal ini menunjukkan pula bahwa hak-hak konsumen bersifat universal.

Hak tersebut diatas pada intinya adalah untuk memberikan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Sebab masalah tersebut merupakan hal yang paling utama dalam perlindungan konsumen.Pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen. Hak-hak konsumen tersebut adalah: 21

a. Hak atas kenyamanan dan keselamatan

Dimaksudkan untuk menjamin kemanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengonsumsi suatu produk.

b. Hak untuk memperoleh informasi

Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk

21Ibid, hal. 45.

(34)

21

yang diinginkan sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.

c. Hak untuk memilih

Hak untu memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar.

d. Hak untuk didengar

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pernyataan/pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.

e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup

Hak ini merupakan hak yang mendasar karena menyangkut kelangsungan hidup seseorang. Dengan demikian, setiap konsumen berhak untuk memperoleh kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya secara layak.

f. Hak untuk memperoleh ganti kerugian

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen baik yang berupa kerugian materi maupun kerugian yang menyangkut kerugian atas diri kosumen sendiri.

g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen

Dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut,

(35)

22

konsumen dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.

h. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat

Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap konsumen dan lingkungan.

i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya.

Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari permainan harga yang tidak wajar, karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya. j. Hak untuk mendapat upaya penyelesaian hukum yang patut

Hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan barang atau jasa.

Perbandingan hak konsumen dalam Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dengan 10 hak konsumen yaitu : 22

“Hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 Undang undang Perlindungan Konsumen tersebut, terdapat satu hak yang tidak terdapat pada

10 hak konsumen yang diuraikan sebelumnya, yaitu “hak untuk

diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif”, namun sebaliknya Pasal4 Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak mencantumkan secara khusus tentang “hak untuk memperoleh kebutuhan hidup yang bersih dan sehat” tapi hak tersebut dapat dimasukkan ke dalam hak yang terakhir dalam Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut yaitu “hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya”. Sedangkan hak-hak lainnya hanya perumusan yang lebih dirinci, tapi pada dasarnya sama dengan hak-hak yang disebutkan sebelumnya”. Sedangkan mengenai kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK, yaitu :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian.

22Ibid, hal. 46.

(36)

23

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa konsumen secara patut.

2. Tinjauan Umum tentang Pelaku Usaha

a. Pengertian Pelaku Usaha

Yang dimaksud dengan pelaku usaha bukan hanya produsen, melainkan hingga pihak terakhir yang menjadi perantara antara produsen dan konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer (konsumen perantara). Dalam UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 3 yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha

baik-baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang diberikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Mengenai hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1999 (UUPK) adalah :

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ataujasa yang diperdagangkan.

(37)

24

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 UUPK adalah :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha. Adanya hubungan timbal balik antara konsumen dan pelaku usaha, adalah bukti adanya unsur kepentingan antar dua pihak yang membuat perjanjian yang saling mengikatkan diri satu sama lainnya.

(38)

25

c. Tanggungjawab Pelaku Usaha

Ketentuan mengenai tanggung jawab pelaku usaha terdapat dalam Pasal 19,20,21 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 antara lain :

a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;

b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau pengganti barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku

c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi

d. Pemberian ganti rugi sebagaimana ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan

e. Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak berlakuapabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen

3. Tinjauan Umum tentang Sengketa Konsumen

a. Pengertian Sengketa Konsumen

Sengketa atau konflik umumnya bersumber dari perbedaan pendapat atau ketidaksesuaian di antara para pihak. Perbedaan pendapat ini dapat berakibat buruk bagi kelangsungan hubungan antara para pihak yang bersengketa, oleh karena itu, setiap menghadapi perbedaan pendapat (sengketa), para pihak selalu berupaya menemukan cara – cara penyelesaian yang tepat. Permasalahan yang terjadi biasanya diselesaikan oleh para pihak yang bersengketa dengan memperhatikan hukum yang ada, hukum bukanlah sekedar pedoman untuk di baca, dilihat atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan dan ditaati. Hubungan hukum yang di laksanakan sebelum terjadi sengketa berpedoman kepada hukum pedata materiil, namun jika

(39)

26

dalam hubungan hukum tersebut terjadi masalah maka untuk menyelesaiakannya berpedoman kepada hukum perdata formil atau hukum acara perdata. Sengketa Konsumen sesungguhnya bukanlah suatu sengketa yang sederhana, karena sengketa konsumen ini sebenarnya sangat luas cakupannya. Penyebab sengketa salah satunya adalah dari adanya wanprestasi dari salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang disepakati bersama atau ada faktor eksternal diluar para pihak yang mengakibatkan tidak terpenuhinya prestasi dari suatu perjanjian.23

Berdasarkan pengertian, sengketa konsumen diartikan sebagai sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/ atau yang mendapat kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/ atau manfaat jasa. Az Nasution mendefinisikan sengketa konsumen adalah setiap perselisihan antara konsumen dengan penyedia produk konsumen (barang atau jasa konsumen) dalam hubungan hukum satu sama lain, mengenai produk konsumen tertentu.24

UUPK tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan “sengketa konsumen”, namun bukan berarti tidak ada penjelasan. Kata-kata sengketa konsumen dijumpai pada beberapa bagian UUPK, yaitu:

1. Pasal 1 butir (11) UUPK jo. BAB XI UUPK, penyebutan sengketa konsumen sebagai bagian dari sebutan institusi administrasi Negara yang mempunyai tugas untuk menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dalam hal ini adalah BPSK. Batasan BPSK pada pasal 1 butir (11) UUPK menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “sengketa konsumen” yaitu sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.

2. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa terdapat pada BAB X penyelesaian sengketa.

23Ade Maman Suherman, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta,2004, hlm.46

24BPSKSebagai Upaya Penegakan Hak Konsumen Di Indonesia, http://www.scribd.com,

Diakses Pada Hari Minggu, Tanggal 22 Mei 2015,

(40)

27

Pada BAB ini digunakan penyebutan sengketa konsumen secara konsisten, yaitu Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 48 UUPK.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (8) Kepmen No. 350/2001 disebutkan bahwa sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Sengketa konsumen menurut Pasal 23 UUPK dimulai pada saat konsumen menggugat pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), baik melalui BPSK atau peradilan umum ditempat kedudukan konsumen. Yang menangani penyelesaian sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen adalah BPSK dengan cara Konsiliasi atau Mediasi, atau Arbitrase atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum.

Sengketa salah satu penyebabnya adalah dari adanya wanprestasi dari salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang disepakati bersama atau ada faktor eksternal diluar para pihak yang mengakibatkan tidak terpenuhinya prestasi dari suatu perjanjian.25 Sedangkan sengketa konsumen diartikan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/ atau yang mendapat kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/ atau manfaat jasa.26

Dengan demikian bisa diktakan bahwa pengertian sengketa konsumen sangatlah luas, sehingga diperlukan penafsiran yang mendalam untuk memahami pengertian “sengketa konsumen”dalam kerangka UUPK. Menurut Yusuf Shofie dalam memahami tentang sengketa konsumen diperlukan sebuah metode penafsiran, yaitu:27

25Ade Maman Suherman, 2004, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Aspek Hukum dala Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Anggota IKAPI, Jakarta, hlm.46

26Kep.Menperindag. No.350/MPP/Kep./12/2001, Pasal 1 angka 8

27Yusuf Shofie, 2002, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan

Konsumen (UUPK), Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.12.

(41)

28

a. Batasan konsumen dan pelaku usaha menurun UUPK, berikut batasan antara keduanya. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersdia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.28 Sedangkan Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.29

b. Batasan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada pasal 1 angka 11 UUPK menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan “sengketa konsumen”, yaitu sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Pelaku usaha disitu, yaitu:

1. Setiap orang atau individu;

2. Badan hukum atau badan usaha yang tidak berbadan hukum.

b. Bentuk-bentuk dan PenyelesaianSengketa Konsumen

Secara umum yang dimaksud dengan bentuk-bentuk dari sengketa konsumen adalah sengketa-sengketa yang secara umum banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat. Menurut Pasal 1 angka 4 dan Pasal 1 angka 5 UU No.8 tahun 1999, dijelaskan bahwa sengketa konsumen bisa dikelompokan dalam 2 kategori, yaitu:

1. Barang, yaitu setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.

2. Jasa, yaitu setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

28UU No.8 Tahun 1999, Pasal 1 angka 2.

29UU No.8 Tahun 1999, Pasal 1 angka 3.

(42)

29

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa bentuk yang dimaksud adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan barang dan/ atau jasa yang sedang disengketakan oleh konsumen dan pelaku usaha. Yang mana sengketa tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen.

Terdapat 2 (dua) bentuk cara atau model penyelesaian sengketa konsumen, diantaranya yaitu :30

1. Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan, adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang diselesaikan oleh Pengadilan (litigasi); 2. Penyelesaian sengketa diluar Pengadilan, yaitu melalui Alternatif

Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternatif Dispute Resolution (ADR), adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan seperti yang diatur didalam Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu :

a. Konsultasi b. Negoisasi c. Mediasi d. Konsiliasi e. Penilaian Ahli

Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa di antara para pihak yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak. Konsiliasi merupakan suatu bentuk proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pada proses Konsiliasi dilibatkan pihak lain di luar pihak yang sedang bersengketa yang bersikap pasif dan netral, tidak memihak, pihak yang dimaksud disebut sebagai konsiliator. Pada sengketa konsumen, yang bertindak sebagai konsiliator adalah majelis yang telah disetujui oleh BPSK. Tujuan dilibatkannya konsiliator adalah agar dapat dengan mudah tercapai kata sepakat atas pemasalahan yang terjadi, sehingga sengketa dapat diselesaikan dengan baik.

30Jamal Wiwoho, Pengantar Hukum Bisnis, UNS Press, Surakarta, 2011, hlm.35.

(43)

30

Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah di mana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.

Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh pihak ketiga netral yang disebut mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen. Mediator tidak berwenang memutuskan sengketa para pihak. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang diserahkan kepadanya.

Berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, pengertian arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam proses ini, pihak bersengketa mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga netral dan memberinya wewenang untuk memutus. Dalam Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK mendefinisikan“Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengket

Referensi

Dokumen terkait

Judul : Peran BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen Melalui Proses.. Mediasi

“ Peran BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen Melalui Proses.. Mediasi di

Membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut BPSK, pada Pemerintah Kota Padang, Kabupaten

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa perlindungan konsumen di luar pengadilan yang diamanatkan

8 Tahun 1999 4 tentang perlindungan konsumen yang berupa adanya penyelesaian sengketa tersebut melalui lembaga yang bernama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK dilakukan oleh majelis. yang dipilih oleh ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan

Air Manado dan dapat diselesaikan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang adalah badan untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dan juga

Kekuatan Hukum Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK, hal ini diatur dalam Pasal 42 ayat 1 Keputusan Menteri