KEDUDUKAN BPSK (BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN) DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA KONSUMEN
MELALUI PROSES MEDIASI DIKOTA PALU
RINALDI ANUGRAH PRATAMA D101 13 135
Pembimbing I : M. Jafar, S.H., M.H
Pembimbing II : Abd. Rahman Hafid, S.H., M.H.
ABSTRAK
Karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui (1) bagaimana kedudukan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dalam rangka menyelesaikan sengketa antara pihak konsumen dan pelaku usaha melalui proses media si di Kota Palu. (2) kekuatatan hukum putusan mediasi di BPSK. Penelitian ini adala h penelitian yuridis empiris. Penelitian dengan metode yuridis empiris merupakan penelitian dengan meneliti data primer di lapangan terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data sekunder. Pendekatan yuridis adalah suatu pendekatan yang mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pendekatan empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti data lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BPSK ini mempunyai kedudukan sebagai salah satu lembaga yang menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan yang mempunyai tugas, fungsi dan wewenang dengan cara mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Kedudukan lembaga BPSK ini setara dengan pengadilan negri bagi lembaga tingkat yang pertama yang menangani penyelesaian sengketa konsumen. Keanggotaan dari BPSK terdiri dari 3 unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha. Dalam proses penyelesaiannya BPSK menggunakan 3 cara yaitu media si, konsiliasi dan arbitrase. Pada proses mediasi, BPSK berfungsi sebagai mediator yang bersifat aktif dalam mendamaikan dan memberi saran kepada pihak dalam penyelesaian sengketa konsumen. kekuatan Putusan Mediasi di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersifat final dan mengikat dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Final berarti tidak ada lagi upaya hukum lainnya, mengikat karena perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Kata Kunci : Kedudukan BPSK, Penyelesaian Sengketa Konsumen, Mediasi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesatnya pembangunan dan
perkembangan perekonomian
produk barang dan/atau jasa yang
dapat dikonsumsi. Kemajuan
dibidang ilmu pengetahuan,
teknologi komunikasi, dan
informatika juga turut mendukung
perluasan ruang gerak transaksi
barang dan/atau jasa hingga
melintasi batas-batas wilayah suatu
Negara. Kondisi demikian pada satu
pihak sangat bermanfaat bagi
kepentingan konsumen karena
kebutuhannya akan barang dan/atau
jasa yang diinginkan dapat terpenuhi
serta semakin terbuka lebar
kebebasan untuk memilih aneka jenis
kualitas barang dan/atau jasa sesuai
dengan kemampuannya.1
Adapun Undang-Undang yang
dibentuk oleh pemerintah yang
mengatur tentang perlindungan
konsumen yaitu Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen.
Undang-Undang ini sebagai payung hukum
yang menjadi kriteria untuk
mengukur dugaan adanya
pelanggaran-pelanggaran hak-hak
1
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala
Implementasinya, Kencana, Jakarta, 2011 Hlm. 2
konsumen, yang semula diharapkan
oleh semua pihak mampu
memberikan solusi bagi penyelesaian
segala macam kerumitan dalam
hubungan antara produsen dengan
konsumen.2
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 membentuk suatu
lembaga dalam hukum perlindungan
konsumen, yaitu Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen. Pasal 1 butir 11
UUPK menyatakan bahwa Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) adalah badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan
sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen. BPSK sebenarnya
dibentuk untuk menyelesaikan
kasus-kasus sengketa konsumen yang
berskala kecil dan bersifat sederhana.
Terbentuknya lembaga BPSK,
maka penyelesaian sengketa
konsumen dapat dilakukan secara
cepat, mudah, dan murah. Cepat
karena penyelesaian sengketa
melalui BPSK harus sudah diputus
dalam tenggang waktu 21 hari kerja,
dan tidak dimungkinkan banding
2
yang dapat memperlama proses
penyelesaian perkara.3
Penyelesaian sengketa melalui
mediasi, merupakan cara
penyelesaian sengketa yang fleksibel
dan tidak mengikat serta melibatkan
pihak netral, yaitu mediator, yang
memudahkan negosiasi antara para
pihak/membantu mereka dalam
mencapai kompromi/kesepakatan.
Selain definisi mediasi ini, masih
banyak definisi lain yang
berbeda-beda, namun pada umumnya orang
sepakat bahwa tujuan dari proses
mediasi adalah membantu orang
dalam mencapai penyelesaian
sukarela terhadap suatu sengketa
atau konflik.
Peran mediator sangat terbatas,
yaitu pada hakikatnya hanya
menolong para pihak untuk mencari
jalan keluar dari persengketaan yang
mereka hadapi, sehingga hasil
penyelesaian dalam bentuk
kompromi terletak sepenuhnya pada
kesepakatan para pihak, dan
kekuatannya tidak mutlak tapi
3
Susanti Adi Nugroho, Opcit, Hlm. 74
tergantung pada itikad baik untuk
memenuhi secara sukarela.4
Menurut data tahun 2016
Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) Kota Palu,
menangani 52 kasus Sengketa antara
Konsumen dan Pelaku Usaha untun
diselesaikan sesuai ketentuan
perundang-undang. Masalah yang
menyebabkan terjadinya sengketa
antara konsumen dan produsen atau
pelaku usaha meliputi angsuran roda
dua dan empat, BPKB kendaraan,
administrasi berupa nota pembayaran
barang tidak diberikan, objek
sengketa antara konsumen dan
produsen juga meliputi ansuran
kendaraan, penarikan kendaraan dan
dikenakan biaya pelunasan
penarikan, bahkan konsumen telah
menyerahkan atau membayar DP
namun belum ada unit yang
diserahkan. Masalah-masalah
tersebut kemudian berdampak
terhadap pelaporan konsumen ke
BPSK dan berujung sengketa dengan
penyelesaian mediasi serta arbitrase.
Produsen atau pelaku usaha
komitmen dan tunduk terhadap
4
ketentuan perundang-undangan
mengenai perlindungan konsumen
yang didalamnya meliputi
pemenuhan kewajiban.5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
diatas, maka pokok-pokok masalah
yang menjadi fokus penelitian ini
adalah :
1. Bagaimana Kedudukan
BPSK dalam Rangka
Menyelesaikan Sengketa
antara Pihak Konsumen
dan Pelaku Usaha melalui
proses mediasi di Kota
Palu ?
2. Bagaimana kekuatan
Hukum Putusan Mediasi
di BPSK ?
II. PEMBAHASAN
A. Kedudukan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen) dalam
Menyelesaiakan Sengketa Konsumen antara Konsumen dan Pelaku Usaha Melalui Proses Mediasi di Kota Palu
5
http://sulteng.antaranews.com/berit a/30629/bpsk-palu-tangani-52-kasus-sengketa-konsumen, diakses tanggal 17 Agustus 2017
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 membentuk
suatu lembaga dalam hukum
perlindungan konsumen, yaitu Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK). Pasal 1 butir 11 UUPK
menyatakan bahwa BPSK adalah
badan yang bertugas menangani dan
menyelesaikan sengketa antara
pelaku usaha dan konsumen. BPSK
sebenarnya dibentuk untuk
menyelesaikan kasus-kasus sengketa
konsumen yang berskala kecil dan
bersifat sederhana.
Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) mempertanggung
jawabkan pelaksanaan tugas dan
wewenang meliputi bidang
perdagangan. Sedangkan mengenai
anggaran untuk kegiatan BPSK
dibebankan kepada Anggara
Pendapatan dan Belanja Negara serta
sumber-sumber lainnya yang sesuai
dengan peraturan-peraturan yang
berlaku. Adapun susunan anggota
Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) sebagaimana
diatur dalam Pasal 50
Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
terdiri atas :
b. Wakil ketua merangkap anggota.
c. Anggota.
1. Tugas, Wewenang dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Didalam menjalankan tugas
dan fungsinya, BPSK sebagai suatu
lembaga memiliki tugas dan
wewenang yang diatur dalam Pasal
52 UUPK Jo, Kepmenperindag
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001
tentang pelaksanaan tugas dan
wewenang badan penyelesaian
sengketa konsumen, yaitu :
a. Melaksanakan penyelesaian
sengketa konsumen, dengan cara
melalui mediasi atau arbitrase
atau konsiliasi.
b. Memberikan konsultasi
perlindungan konsumen.
c. Melakukan pengawasan terhadap
pencantuman klausula baku.
d. Melaporkan kepada penyidik
umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam Undang-Undang
No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
e. Melakukan penelitiaan dan
pemeriksaan sengketa
perlindungan konsumen.
f. Menerima pengaduan baik tertulis
maupun tidak tertulis, dari
konsumen tentang terjadinya
pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen.
g. Memanggil pelaku usaha yang
diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen.
h. Memanggil, menghadirkan saksi,
saksi ahli dan/atau setiap orang
yang dianggap mengetahui
pelanggaran undang-undang ini.
i. Meminta bantuan penyidik untuk
menghadirkan pelaku usaha,
saksi, saksi ahli, atau setiap orang
sebagaimana dimaksud pada hutuf
G dan huruf H, yang tidak
bersedia memenuhi panggilan
Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau
menilai surat, dokumen, atau alat
bukti lain guna penyelidikan
dan/atau pemeriksaan.
k. Memutuskan dan menetapkan ada
atau tidak adanya kerugian di
pihak konsumen.
l. Memberitahukan putusan kepada
pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen.
m.Menjatuhkan sanksi administratif
kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan tugas dan
wewenang tersebut, maka dengan
demikian terdapat fungsi strategis
dari BPSK:
a. BPSK berfungsi sebagai
instrumen hukum penyelesaian
sengketa di luar pengadilan
(alternative dispute resolution),
yaitu melalui konsiliasi, mediasi
dan arbitrase.
b. Melakukan pengawasan terhadap
pencantuman klausula baku (one-sided standard form contract)
oleh pelaku usaha (Pasal 52 butir
c UUPK). Termasuk disini
klausula baku yang dikeluarkan
PT PLN (persero) di bidang
kelistrikan, PT Telkom (persero)
dibidang telkomunikasi,
bank-bank milik pemerintah maupun
swasta, perusahaan
leasing/pembiayaan, dan lain-lain. c. Salah satu fungsi strategis ini
adalah untuk menciptakan
keseimbangan
kepentingan-kepentingan pelaku usaha dan
konsumen. Jadi, tidak hanya
klausula baku yang dikeluarkan
oleh pelaku usaha atau badan
usaha perusahaan-perusahaan
swasta saja, tetapi juga pelaku
usaha atau perusahaan-perusahaan
milik Negara.6
2. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Mediasi Di BPSK
Proses penyelesaian sengketa
konsumen melalui Mediasi di BPSK
dibagi dalam beberapa Proses, yaitu :
a. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Permohonan Penyelesaian
Sengketa Konsumen diatu dalam
Pasal 15 – Pasal 17 Kepmenperindag
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.
Konsumen yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa konsumen
kepada BPSK yang terdekat dengan
tempat tinggal konsumen. Bentuk
Permohonan Penyelesaian Sengketa
Konsumen diajukan secara lisan dan
tertulis ke Badan Penyelesaian
6
Sengketa Konsumen (BPSK) melalui
Sekretariat BPSK setempat,
permohonan Penyelesaian Sengketa
Konsumen dapat juga diajukan oleh
ahli waris atau kuasanya apabila
konsumen :
1) Meninggal dunia
2) Sakit atau telah berusia lanjut
3) Belum dewasa
4) Orang asing (Warga Negara
Asing)
Isi Permohonan Pernyelesaian
sengketa konsumen memuat secara
benar dan lengkap mengenai (Pasal
16 Kepmenperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001) :
1) Identitas konsumen, ahli waris
atau kuasanya disertai bukti
diri
2) Nama dan alamat pelaku usaha
3) Barang dan/atau jasa yang
diadukan
4) Bukti perolehan, keterangan
waktu dan tempat, dan tanggal
perolehan barang dan/atau jasa
yang diadukan;
5) Saksi-saksi yang mengetahui
perolehan barang dan atau jasa,
foto-foto barang atau kegiatan
pelaksanaan jasa bila ada.
b. Susunan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Kepaniteraan
Susunan majelis Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) harus berjumlah 3 orang
yang mewakili semua unsur
sebagaimana dimaksud Pasal 54
Ayat 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang salah
satu anggotanya wajib berpendidikan
dan berpengetahuan dibidang hukum
(Pasal 18 Kepmenperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001). Pasal 54
Undang-Undang Perlindungan
Konsumen memberikan kewenangan
pada Menperindag untuk membuat
ketentuan teknis mengenai
pelaksanaan tugas Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK). Ketentuan yang dimaksud
ialah Kepmenperindag Nomor
350/MPP/Kep?12/2001.
c. Tata Cara Persidangan
Pasal 26 Ayat 1
Kepmenperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 menentukan
bahwa pemanggilan pelaku usaha
untuk hadir dipersidangan BPSK
dengan copy permohonan
penyelesaian sengketa konsumen
dalam waktu 3 hari kerja sejak
permohonan penyelesaian sengketa
diterima secara lengkap dan
benar-benar telah memenuhi persyaratan
Pasal 16 Kepmenperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001. Secara
formal dalam surat pemanggilan
tersebut dicantumkan :
1) Hari, tanggal, jam, dan tempat
persidangan
2) Kewajiban pelaku usaha untuk
memberikan jawaban terhadap
penyelesaian sengketa
konsumen (Pasal 26 Ayat 2
Kepmenperindag)
Setiap majelis BPSK wajib
menjaga ketertiban akan jalannya
persidangan (Pasal 27
Kepmenperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001). Terdapat 3
cara persidangan di BPSK (Pasal 54
Ayat 4 jo. Pasal 26 – Pasal 36
Kepmenperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001), yaitu :
1) Persidangan dengan cara
konsiliasi
2) Persidangan dengan cara
mediasi
3) Persidangan cara arbitrase
Menurut Yusuf Shofie, dalam
ketiga tata cara persidangan tersebut
kehadiran kuasa hukum memang
tidak dilarang, baik dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen
maupun dalam Kepmenperindag
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.7
1) Persidangan dengan Cara
Mediasi
Penyelesaian sengketa melalui
mediasi dilakukan sendiri oleh para
pihak yang bersengketa dengan di
damping mediator. Mediator
menyerahkan sepenuhnya proses
penyelesaian sengketa kepada para
pihak, baik mengenai bentuk maupun
besarnya ganti kerugian atau
tindakan tertentu untuk menjamin
tidak terulangnya kembali kerugian
konsumen. Dalam proses mediasi ini,
mediator bertindak lebih aktif
dengan memberikan nasihat,
petunjuk, saran dan upaya-upaya lain
dalam menyelesaikan sengketa dan
mediator wajib menentukan jadwal
pertemuan untuk penyelesaian proses
7
mediasi. Apabila dianggap perlu,
mediator dapat melakukan kaukus.8
d. Alat Bukti dan Sistem Pembuktian
Alat-alat bukti yang digunakan
di BPSK menurut Pasal 21
Kepmenperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001, yaitu :
1) Barang dan/atau jasa
2) Keterangan para pihak;
3) Keterangan saksi dan/atau ahli;
4) Surat dan/atau dokumen
5) Bukti-bukti lain yang
mendukung
Sistem pembuktian yang
digunakan dalam gugatan ganti rugi
sebagaimana yang dimaksud Pasal
19, Pasal 22 dan Pasal 23
Undang-Undang Perlindungan Konsumen
terbalik (Pasal 28 UUPK jo Pasal 22
Kepmenperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001). Dengan
menggunakan pendekatan sistem
Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, maka sistem pembuktian
yang digunakan di BPSK juga sistem
pembuktian terbalik.
e. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
8
Susanti Adi Nugroho, Opcit, hlm 112
Proses dikeluarkannya putusan
Badan Penyelesaian Sengketa
konsumen dilakukan secara bertahap,
yaitu Pasal 39 SK Memperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001:
1) Didasarkan atas musyawarah
untuk mencapai mufakat
2) Maksimal jika hal itu telah
diusahakan (dengan
sungguh-sungguh), ternyata tidak
tercapai mufakat maka putusan
dilakukan cara voting atau
suara terbanyak.
Putusan BPSK dijatuhkan
paling lambat waktu 21 hari kerja
sejak gugatan diterima di sekretariat
BPSK (Pasal 55 UUPK jo. Pasal 38
Kepmenperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001).
f. Upaya Hukum
Pasal 54 Ayat 3 UUPK jo Pasal
42 Ayat 1 Kepmenperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 menentukan
bahwa putusan majelis BPSK
bersifat final dan mengikat yang
pada penjelasan yang pada
penjelasan Pasal 54 Ayat 3
ditegaskan bahwa kata “final” berarti
tidak ada upaya hukum banding dan
kasasi. Namun ternyata
mengenal pengajuan keberatan pada
Pengadilan Negeri.
Menurut Pasal 56 Ayat 3
Undang-Undang Perlindungan
Konsumen para pihak dapat
mengajukan keberatan kepada
Pengadilan Negeri paling lambat 14
hari kerja setelah menerima
pemberitahuan putusan BPSK dan
apabila para pihak tidak mengajukan
keberatan dalam jangka waktu
tersebut maka dianggap menerima
Putusan BPSK (Pasal 56 Ayat3
UUPK).
g. Eksekusi Putusan
Dalam hal pelaku usaha
menerima dictum Putusan BPSK
(Pasal 56 Ayat 1 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen), maka ia
wajib melaksanakan putusan tersebut
dalam waktu 7 hari kerja terhitung
sejak menyatakan menerima putusan
BPSK (Pasal 56 Ayat 1 UUPK jo.
Pasal 41 Ayat 4 Kepmenperindag
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001).
Jika pelaku usaha tidak
menggunakan upaya hukum maka
putusan BPSK menjadi berkekuatan
hukum tetap. Tidak dilaksanakannya
putusan tersebut, apalagi setelah
diajukannya permintaan eksekusi
berdasarkan Pasal 57
Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
merupakan tindakan pidana dibidang
perlindungan konsumen (Pasal 56
Ayat 4 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen).
3. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) melalui Mediasi di Kota Palu
Jumlah kasus yang ditangani
BPSK Kota Palu dari tahun
2016-2017 melalui penyelesaian jalur
konsiliasi, mediasi, dan arbitrase
adalah sebagai berikut :
Konsiliasi 1 kasus dengan Persentase 1,4 %
dengan rincian 1 kasus
finance.
Mediasi 65 kasus dengan persentase 89 % dengan
rincian kasus 56 kasus
finance, 2 kasus
perumahan/property, 3
kasus lain-lain
(wallpaper, rentenir dan
kaca jendela), 1 kasus
pengiriman barang, 2
Kasus BNS.
Arbitrase 7 kasus dengan persentase 9,6 % dengan
rincian kasus 5 kasus
finance, 1 kasus
perumahan/peroperty, dan
satu kasus lain-lain
(indene).
Kasus yang lebih mendominasi
diselesaikan di BPSK Kota Palu dari
kurun waktu 2016 – 2017 yaitu
melalui jalur mediasi dengan
presentase mencapai 89%
dibandingkan melalui jalur arbitrase
yang hanya mencapai presentase
9,6% dan jalur konsiliasi mencapai
presentase 1,4%.
B. Kekuatan Hukum Putusan Mediasi di BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)
Dasar hukum kekuatan putusan
Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Bersifat final dan
mengikat, hal ini secara jelas dan
tegas telah diatur dan ditetapkan
dalam Pasal 54 ayat 3
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen
yaitu putusan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen bersifat final
dan mengikat. Lebih lanjut kekuatan
putusan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen diatur dalam
Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan RI Nomor
350/MPP/Kep/12/2000 Tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen. Pasal 42 Ayat 1
menyatakan bahwa Putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen
merupakan putusan yang final dan
mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Final berarti penyelesaian
sengketa mestinya sudah berakhir
dan tidak ada upaya hukum
keberatan berarti memaksa dan
sebagai sesuatu yang harus
dijalankan para pihak.
Menurut Pasal 1851
KUHPerdata menjelaskan bahwa
secara tertuliis.” lebih lanjut Pasal 1858 mengatakan bahwa “Di antara
pihak-pihak yang bersangkutan, suatu perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu keputusn Hakim pada tingkat akhir. Perdamaian itu tidak dapat dibantah dengan alasan bahwa telah terjadi kekeliruan mengenai hukum atau alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.”
Amar putusan yang memiliki
kekuatan untuk dilaksanakan adalah
amar yang mengandung diktum
condemnatoir yang berbentuk perintah atau penghukuman ,
sedangkan klausul dalam akta
perdamaian yang dapat dieksekusi
adalah klausul yang mengandung
kewajiban dan kewajiban itu telah
diperintahkan pelaksanaannya oleh
diktum condemnatoir dan Putusan Hakim. Tindakan-tindakan yang
dikehendaki oleh diktum
condemnatoir antara lain : - Menyerahkan sesuatu;
- Mengosongkan sesuatu;
- Melakukan sesuatu;
- Menghentikan suatu tindakan
tertentu;
- Melakukan pembayaran
sejumlah uang.9
Merupakan asas hukum yang
umum berlaku dalam hukum perdata
bahwa ganti rugi hanyalah mungkin
diwajibkan kepada pelaku usaha
untuk memberikannya kepada pihak
yang dirugikan apabila telah
terpenuhi hal-hal sebagai berikut:
Telah terjadi kerugian bagi konsumen;
Kerugian tersebut memang adalah sebagai akibat perbuatan
pelaku usaha;
Tuntutan ganti rugi telah diajukan gugatannya oleh pihak
yang menurut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen berhak
mengajukan gugatan (Pasal 46
Ayat (1))
Telah ada putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
sehingga telah dapat
dilaksanakan, putusan tersebut
dapat berupa hasil kesepakatan
antara pelaku usaha dan
konsumen yang telah
9
menyelesaikan sengketanya
melalui penyelesaian damai.10
Sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 1338 (1) KUHPerdata, bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berla ku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Menurut ketentuan
Pasal 1338 (1) KUHPerdata suatu
kontrak mempunyai daya mengikat
dengan syarat kontrak itu dibuat
secara sah, artinya dalam
pembentukannya harus
memerhatikan syarat sahnya kontrak
dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
yaitu:
- Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya;
- Cakap untuk membuat suatu
perikatan;
- Suatu hal tertentu;
- Suatu sebab yang halal.
. Dengan kata lain, kontrak
yang dibuat secara sah menurut
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata,
mempunyai kekuatan mengikat yang
sama dengan Undang-Undang.
Undang-Undang yang dimaksudkan
Pasal 1338 (1) KUHPerdata adalah
10
Susanti Adi Nugroho, Opcit, hlm 165
ketentuan tersebut mempunyai
kualifikasi sebagai hukum yang
bersifat memaksa bukan hukum
pelengkap.
Lebih lanjut Pasal 1339
KUHPerdata menyatakan bahwa;
“Kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat kontrak, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.”
Secara a-contratrio muatan materi Pasal 1339 KUHPerdata dapat
disimpulkan telah memberi
penegasan bahwa:
- Pertama, kontrak itu mengikat para pihak karena para pihak
secara tegas memperjanjikannya
sesuai dengan otonomi para
pihak (factor otonom-faktor
penentu primer-faktor yang
menentukan hak dan kewajiban
para pihak);
- Kedua, selain itu kekuatan
mengikat kontrak juga
didasarkan pada sifat kontrak,
kepatutan, kebiasaan dan
heteronom – factor penentu
subsidair).
Hal ini sebagaimana terdapat
dalam rumusan Pasal 1338 (2)
KUHPerdata, yang menyatakan
bahwa: Kontrak itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakan para pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian, menurut Pasal 1338 (2) KUHPerdata
daya mengikatnya kontrak yang
didasarkan pada otonomi para pihak
diakui dan semakin dipertegas
kekuatan berlakunya terhadap para
pihak. Penarikan kembali kontrak
yang telah dibuat oleh para pihak
hanya dapat dilakukan melalui:
a. Kesepakan para pihak untuk
menarik kembali apa yang telah
disepakati; atau
b. Undang-undang yang bersifat
memaksa (dwingend recht). Bahkan apabila dianalisis
secara mendalam ternyata rumusan
Pasal 1338 (3) KUHPerdata yang
menyatakan bahwa “
Persetujuan-Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”, justru dimaksudkan untuk memberikan
penegasan mengenai daya
mengikatnya kontrak yang
didasarkan pada otonomi para pihak.
Sehingga melalui interpretasi yang
sistematis-komprehensif muatan
materi Pasal 1338 KUHPerdata
tersusun dalam tiga ayat tersebut
diatas, dapat disimpulkan bahwa
perjanjian merupakan proses yang
saling terkait satu dengan yang
lainnya dalam suatu sistem, mulai
dari pembentukan perjanjian sampai
dengan pelaksanaan perjanjian.11
III. PENUTUP A. Kesimpulan
1. Undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen
merupayung hukum bagi
perlindungan konsumen di
Indonesia. Didalam
Undang-Undang ini
terdapat adanya upaya
dalam melindungi
kepentingan konsumen
apabila terjadi sengketa
dengan pelaku usaha.
Dalam UUPK ini dibentuk
11
suatu lembaga baru yaitu
Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen
(BPSK) sebagai suatu
lembaga yang berfungsi
menangani dan
menyelesaikan sengketa
konsumen diluar
pengadilan. BPSK ini
mempunyai kedudukan
sebagai salah satu lembaga
yang menangani dan
menyelesaikan sengketa
konsumen diluar
pengadilan yang
mempunyai tugas, fungsi
dan wewenang dengan
cara mediasi, konsiliasi
dan arbitrase.
Keanggotaan dari BPSK
terdiri dari 3 unsur yaitu
unsur pemerintah, unsur
konsumen, dan unsur
pelaku usaha.
Dalam proses
penyelesaiannya BPSK
menggunakan 3 cara yaitu
konsiliasi, mediasi dan
arbitrase. Pada proses
mediasi, BPSK berfungsi
sebagai mediator yang
bersifat aktif dalam
mendamaikan dan
memberi saran kepada
pihak dalam penyelesaian
sengketa konsumen.
2. Kekuatan Putusan Mediasi
di Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen
bersifat final dan mengikat
dan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap. Final
berarti tidak ada lagi upaya
hukum lainnya, mengikat
karena perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang
bagi mereka yang
membuatnya.
B. Saran
1. Dalam era perdagangan
pada saat ini,
perkembangan peraturan
mengenai perlindungan
konsumen telah
membuktikan bahwa
perbuatan curang sering
terjadi dalam dunia
perdagangan. Oleh karena
itu, sebaiknya pelaksanaan
dari perlindungan
dilakukan oleh
pemerintah, melainkan
seluruh lapisan masyarakat
Kota Palu.
2. Sebaiknya didalam
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen
keputusan BPSK harus
diberi penjelasan tentang
kekuatan hukum putusan
perdamaian.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, 2010
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, 2015
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi, Alfabeta, Bandung, 2012
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana, Jakarta, 2011
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Pelindungan Konsumen (UUPK), Teori dan Praktek Penegakan Hukum, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
Zulham, Hukum Pelindungan Konsumen, Kencana, Jakarta, 2013
B. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen
Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2013
BIODATA PENULIS
NAMA : RINALDI ANUGRAH PRATAMA
TEMPAT TANGGAL LAHIR : PASANGKAYU, 13 SEPTEMBER 1995
ALAMAT : JL. TOMBOLOTUTU
EMAIL : rinaldianugrah23@gmail.com