• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. usaha menyadarinya dan berusaha memajukan produksi dalam meningkatkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. usaha menyadarinya dan berusaha memajukan produksi dalam meningkatkan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Globalisasi ekonomi ditandai dengan perdagangan bebas, di mana dunia usaha menyadarinya dan berusaha memajukan produksi dalam meningkatkan kualitas barang dan jasa. Pengaruh globalisasi sangat berpengaruh pada negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, memberikan perbaikan ekonomi baik makro, mikro atau usaha kecil dan menengah. Aktivitas ekonomi sangat dirasakan dengan ketidakstabilan nilai jual dipangsa pasar bebas yang mana terjadi fluktuasi terhadap kurs (mata uang), penimbunan barang, produksi yang berlebih-lebihan, ketidakstabilan harga memicu konflik global pula.

Peralihan barang dan jasa antar negara ini harus mendapat perhatian, memang dengan bebasnya barang-barang serta jasa masuk ke Indonesia masyarakat sebagai pemakai atau pengguna dari barang dan jasa dapat lebih variatif untuk memilih, akan tetapi di sisi lain produksi barang atau jasa yang beredar di masyarakat apakah sudah layak untuk digunakan atau dikonsumsi, dengan maksud untuk mengetahui apakah barang dan jasa tersebut mengandung unsur/zat-zat kimia yang berbahaya yang dapat menimbulkan kerugian bagi penggunannya. Sebagai contoh bentuk dampak dari liberalisasi perdanggangan yang bermasalah adalah masuknya sapi gila (mad cow) dari irlandia, permen

(2)

susu dan kosmetik dari cina yang mengandung unsur-unsur berbahaya bagi tubuh penggunanya.

Peralihan barang dan jasa ini melibatkan beberapa pihak yaitu produsen, distributor, dan konsumen. Proses terjadinya peralihan pemilikan atau penikmatan barang dan jasa dari penyedia barang atau jasa (produsen) kepada konsumen disebut transaksi konsumen.1

Pertumbuhan dan perkembangan industri disatu sisi membawa dampak positif antara lain dapat disebutkan, tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang mencukupi, mutunya yang lebih baik, serta adanya alternatif pilihan bagi konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya, akan tetapi di sisi lain terdapat dampak negatif, yaitu dampak dari penggunaan teknologi itu sendiri serta perilaku bisnis yang timbul karena makin ketatnya persaingan yang mempengaruhi masyarakat konsumen.2 Adanya bentuk persaingan dikalangan produsen atau pelaku usaha menyebabkan mereka mengahalalkan segala cara dalam berkompetisi agar dapat lebih unggul, yang secara tidak langsung akan berakibat merugikan konsumen.

Prasasto Sudyatmiko, mengemukakan empat contoh elemen yang mempengaruhi perilaku bisnis menjadi tidak sehat, yaitu konglomerasi, kartel/trust, insider trading, dan persaingan tidak sehat/curang, yang

1

Budi Agus Riswandi, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Materi Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen , Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

2

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Ctk. Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm, 2.

(3)

menimbulkan empat bentuk perbuatan lahir sebagai akibat dari tidak sehatnya praktik bisnis yaitu menaikan harga, menurunkan mutu, dumping dan memalsukan produk.3

Bentuk konkrit dari adanya tindakan atau perbuatan melawan hukum dari pelaku usaha adalah salah satunya pencantuman klausula baku sebagai implikasi dari persaingan tidak sehat tersebut yaitu pihak produsen menetapkan standar perjanjian baku yang sering kali dalam klausulnya merugikan pihak konsumen, contohnya seperti “barang yang telah dibeli tidak dapat dikembalikan lagi”, padahal bisa saja terdapat kerusakan dari produk tersebut yang diketahui setelah barang atau produk tersebut dibeli, karena klausul tersebut kesempatan konsumen untuk mempertahankan hak-haknya menjadi hilang.

Posisi konsumen yang sangat lemah ini, menjadi salah satu aspek melatarbelakangi dibentuknya UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana dalam Pasal 1 mengatakan Hukum Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

Menurut Az. Nasution Hukum Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan

3

(4)

penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.4

Riilnya implementasi dari UU Nomor 8 Tahun 1999 ini adalah perlu di bentuknya suatu lembaga atau instansi sebagai fungsi pengawasan dan kontrol bagi pelaksanaan UU Perlindungan Konsumen tersebut. Secara langsung dan tegas telah disebutkan didalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 31 “dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional” (BPKN), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) yang memiliki tujuan, ruang kerja serta orientasi yang sama untuk melindungi hak-hak konsumen.

Ruang lingkup tugas dan wewenang dari BPKN dan YLKI ini hanya sebatas sebagai lembaga kontrol yang memiliki fungsi pemantauan dan pengawasan terhadap penerapan UU Perlindungan Konsumen di tingkat nasional, tetapi tidak memiliki kewenangan jika terjadi sengketa antara pelaku usaha dan konsumen atau yang disebut sengketa konsumen, dan tidak dapat menyelesaikan sengketa tersebut. Oleh sebab itu diperlukanlah sebuah lembaga atau instansi yang lebih dapat mengakomodir persoalan perlindungan konsumen ini, dan membantu penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan UU Perlindungan Konsumen memperkenalkan sebuah lembaga yang bernama

4

Az. Nasuiton, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Ctk. Ketiga, Diadit Media, Jakarta, 2007, hlm 37.

(5)

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yang berkedudukan di ibu kota Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota (pasal 49 ayat 1).5

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk dan diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha.6 Terkait sebagai lembaga yang memiliki fungsi untuk melindungi konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam ketentuan Pasal 52 tugas dan wewenang BPSK adalah:7

1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

4. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;

5. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; 7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen;

8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;

9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;

10.Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemerikasaan;

11.Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;

5

Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm, 195.

6

Ahdi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 121.

7

(6)

12.Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

13.Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

14.Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut dapat kita lihat peran dari BPSK di Kota Yogyakarta sebagai lembaga perlindungan bagi konsumen, sudah berjalan secara optimal atau apakah masih setengah-tengah dan bahkan atau masih belum berjalan sama sekali.

Penyelesaian Sengketa konsumen oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen diberi dua macam ruang untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan diluar pengadilan.8

Badan penyelesaian sengketa konsumen juga dapat dikatakan sebagai badan yang dibentuk khusus untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa (pasal 1 Nomor 8 Kepmen. Deperindag No.350/MPP/Kep/12/2001).9

Sebagai konsumen, tentu berharap BPSK dapat menjadi mediasi, maupun melaksanakan fungsi pengawasan dalam alternatif penyelesaian sengketa konsumen yang lebih berorientasi pada sikap penyidik, dan mampu melindungi dan menegakkan hak-hak konsumen maupun pelaku usaha.

8

Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm, 144.

9

(7)

Di tengah-tengah maraknya berbagai bentuk kasus sengketa oleh pelaku usaha untuk bertahan dan bersaing di pasar atau dunia usaha, jika diamati dan diteliti, akan ditemukan gejala yang arahnya dapat merugikan para konsumen. Dalam hal ini penulis berupaya untuk dapat memberikan beberapa fakta yang mungkin dapat sebagai informasi sudah sampai sejauh mana peran BPSK dikota Yogyakarta sebagai lembaga yang memiliki fungsi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa konsumen.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, dapatlah dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK di Kota Yogyakarta? 2. Bagaimana pelaksanaan putusan BPSK dalam penyelesaian sengketa

konsumen di Kota Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut di atas, dapat peneliti rumuskan tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK di Kota Yogyakarta.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan putusan dan kekuatan putusan dari BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen di Kota Yogyakarta.

(8)

D. Kegunaan Penelitian

Sebagaimana pengertian konsumen dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: menggunakan, memakai atau memanfaatkan suatu produk barang atau jasa demi memenuhi kebutuhan hidup sebagai manusia, jaminan keamanan dan keselamatan konsumen harus diperhatikan.

Konsumen, menurut undang-undang Perlindungan Konsumen diartikan sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Berikutnya, adalah pengertian yang diberikan terhadap pelaku usaha menurut menurut pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Konsumen adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang bebentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama mealuli perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.10

Adapun menyangkut dari hak-hak produsen, sebagaimana diberikan oleh UU No. 8 Tahun 1999, adalah:

10

(9)

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Selain dari hak-hak produsen, maka pengaturan UU No. 8 Tahun 1999 memberikan beberapa hal tentang produsen. Berdasarkan alasan-alasan tersebut konsumen sebagai pihak yang dalam posisi bargaining yang lemah sudah sepantasnya mendapat perlindungan yang ekstra dan jalur penyelesaian sengketa khusus supaya dapat lebih mengakomodir segala kebutuhannya untuk membela hak-hak mereka yang terkandung dalam pasal 4 Bab III UU Perlindungan konsumen yaitu:11

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

11

(10)

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan lainnya.

Hak-hak yang akan dituntut oleh konsumen haruslah terlebih dahulu melaksanakan kewajibannya yang terdapat dalam pasal 5 UU Bab III Perlindungan konsumen. Pemenuhan terhadap kewajiban tersebut merupakan salah satu bentuk upaya agar pelaksanan penyelesaian sengketa dilakukan konsumen dapat lebih optimal dalam menuntut hak-hak konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha.

Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Kondisi dan fenomena ini dapat mengakibatkan kedudukan pelaku

(11)

usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah.

Kehadiran Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum perlindungan konsumen sangat diharapkan sekali dapat memberikan suatu kontribusi yang besar bagi usaha perlindungan konsumen yang lebih produktif dan representatif sehingga konsumen baik secara materiil maupun formil dapat membela hak-haknya. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.

Asas-asas hukum perlindungan konsumen dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan kemanfaatan disejarakan dengan asas maksimalisasi, dan keapastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan dengan asas efisiensi karena menurut Himawan, bahwa: “Hukum yang berwibawa berarti hukum yang efisien, di bawah naungan di mana seseorang dapat melaksanakan

(12)

hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan.”12

Kenyataan menunjukan, beragam faktor penting sebagai penyebab lemahnya konsumen, menurut hasil penelitian dan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), faktor-faktor yang melemahkan konsumen:13

1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya.

2. Belum terkondisinya masyarakat konsumen karena sebagai masyarakat belum tahu akan hak-haknya dan kemana haknya disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang sewajarnya.

3. Belum terkondisinya masyarkat konsumen menjadi masyarakat yang mempunyai kemauan untuk menuntut haknya.

4. Proses pengadilan yang ruwet dan waktu yang berkepanjangan, 5. Posisi konsumen yang lemah.

Senada dengan faktor-faktor tersebut di atas, baik dari hasil penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), maupun PBB, termasuk The International Organitation of Consumer’s Union (IOCU) dapat disimpulkan, bahwa para konsumen agak enggan menggunakan sarana penegakan hukum dan innstitusi peradilan dalam mempertahankan kepentingannya karena tidak mudahnya menggunakan sarana hukum serta tingginya biaya perkara di pengadilan.14

Oleh sebab itu perlindungan hukum sangat penting bagi para konsumen karena menjamin adanya kepastian hukum. Perlindungan konsumen bertujuan:15

12

Ahdi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit., hlm 33.

13

N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen, Ctk. Pertama, Grafika Mardi Yuana, Bogor, 2005, hlm 32

14

Ibid., hlm 43.

15

(13)

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri serta dapat mengangkat harkat dan martabat konsumen, dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif.

2. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

3. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha.

4. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan kesalamatan konsumen.

Dalam melakukan aktivitasnya, pelaku usaha (produsen) dilarang untuk melakukan tindakan-tindakan yang berakibat dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen. Beberapa hal yang dilarang bagi produsen adalah sebagai berikut:16

1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket dan keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan atau jasa tersebut;

6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut.

7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarwasa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan ‘halal’ yang dicantumkan dalam label;

16

(14)

9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat, isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

10.Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini mengatur tentang kebijakan perlindungan konsumen, baik menyangkut hukum materiil, maupun hukum formil mengenai penyelesaian sengketa konsumen. Gugatan konsumen tidak hanya dilihat dari aspek pidana dan administratif saja, sehingga korban atau konsumen mendapat kompensasi atau ganti kerugian atas dasar tuntutan perdata.

Secara teoritis dapat saja sengketa-sengketa seperti itu diselesaikan, tetapi pada praktek dan kenyataannya tidak mudah dilakukan karena berbagai sebab yang bersifat yuridis-politis-sosiologis. Pertama, karena tidak konsistennya badan peradilan kita atas putusan-putusannya. Sering terjadi perbedaan putusan-putusan pengadilan dalam kasus-kasus yang serupa. Kedua, sebagian besar konsumen Indonesia enggan berperkara ke pengadilan, padahal sudah sangat dirugikan oleh pengusaha. Keengganan ini bukanlah karena mereka tidak sadar hukum. Keengganan mereka sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen lebih didasarkan pada: 1. Tidak jelasnya norma-norma perlindungan konsumen; 2. Praktek peradilan kita yang tidak lagi sederhana, cepat dan biaya ringan; dan 3. Sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar pengusaha. Ketiga, tarik-menarik berbagai kepentingan di antara pelaku ekonomi yang bukan konsumen, yang

(15)

memiliki akses kuat di berbagai bidang, termasuk akses kepada pengambil keputusan.17

Ketidaktaatan pada isi transaksi konsumen, kewajiban, serta larangan sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat melahirkan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, sengketa itu dapat berupa salah satu pihak tidak mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya kerena pihak lawan tidak memenuhi kewajibannya. Menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Surat Keputusan Nomor : 350 / MPP / Kep / 12 / 2001 tanggal 10 Desember 2001, yang dimaksud sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan atau memanfaatkan jasa.18 Sengketa konsumen dapat bersumber dari dua hal, yaitu:19

1. Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana diatur di dalam undang. Artinya, pelaku usaha mengabaikan ketentuan undang-undang tentang kewajibannya sebagai pelaku usaha dan larangan-larangan yang dikenakan padanya dalam menjalankan usahanya. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari hukum.

2. Pelaku usaha atau konsumen tidak menaati isi perjanjian, yang berarti, baik pelaku usaha maupun konsumen tidak menaati kewajibannya sesuai dengan kontrak atau perjanjian yang dibuat di antara mereka, sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari kontrak.

17

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Ctk. Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 12-13.

18

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk. Kesatu, Nusa Media, Bandung, 2008, hlm 109.

19

(16)

Hubungan antara penyedia dan pemakai dalam transaksi barang atau jasa seringkali menimbulkan persengketaan dan berbagai permasalahan yang berakibat pada kerugian pada pihak konsumen. Maka dari itu, dibutuhkan suatu perlindungan bagi konsumen agar hak-hak yang dimilikinya dapat terjamin kepastiannya.

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah berdasarkan lima asas, yang menurut Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 ini adalah :

1. Asas manfaat artinya segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan artinya agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan artinya untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah, dalam arti materiil ataupun spritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen artinya untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum artinya agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelengaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Berangkat dari ketentuan pasal ini, dapat diketahui bahwa Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) diadakan untuk mengembangkan upaya perlindungan konsumen di indonesia. Istilah “mengembangkan” yang digunakan di dalam rumusan pasal ini, menunjukan bahwa Badan Perlindungan

(17)

Konsumen Nasional (BPKN) dibentuk sebagai upaya untuk mengembangkan perlindungan konsumen yang sudah diatur dalam pasal lain, khususnya tentang pengaturan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, pengaturan larangan-larangan bagi pelaku usaha di dalam menjalankan bisnisnya, pengaturan tanggung jawab pelaku usaha, dan pengaturan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen. Keempat materi yang disebutkan ini merupakan hal pokok upaya perlindunagan konsumen yang dikembangkan dalam UU Perlindungan Konsumen. Kesemuanya diharapkan lebih memberdayakan konsumen dalam menuntut hak-haknya dengan tanpa mengabaikan kepentingan pelaku usaha.20

Dari sekian banyak penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya memperkenalkan tiga macam yaitu; arbitrase, konsiliasi, dan mediasi yang merupakan bentuk atau cara penyelesaian sengketa yang dibebankan menjadi tugas Badan Penyelesaian sengketa Konsumen.21

Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah melalui Keputusan Presiden RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdangangan RI Nomor 301/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pengangkatan Pemberhentian Anggota Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdangangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang

20

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm 195

21

(18)

Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Untuk melaksanakan Pasal 49 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makasar.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah lembaga yang memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai sebuah pengadilan atau dapat disebut Peradilan Kuasi.22 Badan penyelesaian sengketa konsumen juga dapat dikatakan sebagai badan yang dibentuk khusus untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa (pasal 1 Nomor 8 Kepmen. Deperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001).23

Komposisi keanggotaan dari BPSK terdiri dari 3 unsur, yaitu masing-masing dari unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha, dengan ketentuan bahwa setiap unsur diwakili oleh sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang, pengangkatan dan pemberhentiannya

22

Janus Sidabalok, Op.cit., hlm. 196.

23

(19)

dilakukan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Pasal 49 ayat (3) dan (4) UUPK).24

Pada setiap BPSK, dibentuk sekretariat BPSK yang terdiri atas kepala sekretariat dan anggota yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Pasal 51 ayat (1), (2), (3) UUPK), sedangkan biaya pelaksanaan tugas BPSK ini, sesuai pasal 90 keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).25

Perlindungan hukum terhadap konsumen dalam penyelesaian sengketa konsumen, harus mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparatur hukum serta masyarakat, agar pelaksanaannya dalam usaha untuk meningkatkan perlindungan konsumen dapat maksimal dan optimal.

E. Metode Penelitian

1. Objek Penelitian

a. Sengketa Konsumen

b. Penyelesaian Sengketa Konsumen c. Pelaksanaan Putusan BPSK 2. Subyek Penelitian

a. Konsumen

24

Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hlm 172.

25

(20)

b. BPSK Kota Yogyakarta c. Produsen

3. Sumber Penelitian a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan. b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang terdiri:

1) Bahan Hukum Primer, terdiri peraturan perundang-undang yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan atas Putusan BPSK, Kepmen. Deperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pembentukan BPSK.

2) Bahan Hukum Sekunder terdiri dari literatur yang berupa buku-buku, hasil penelitian, makalah, internet, surat kabar.

3) Bahan Hukum Tersier terdiri dari kamus hukum maupun kamus bahasa Indonesia.

4. Teknik pendekatan data

Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, di mana penelitian ini menitikberatkan pada aspek-aspek yuridis yang berupa peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

(21)

Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan lapangan dengan melakukan wawancara dengan responden dan mengumpulkan beberapa dokumentasi yang dibutuhkan terkait dengan objek yang diteliti. Selain itu peneliti melakukan pengumpulan secara studi pustaka dengan mengumpulkan beberapa bahan hukum primer maupun sekunder yang sesuai dengan tujuan penelitian.

6. Analisis data

Analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, di mana sumber data yang berupa bahan hukum tersebut dikumpulkan dan disusun secara sistematis untuk di analisis kemudian menafsirkannya dan penarikan kesimpulan.

F. Pertanggungjawaban Sistematika

Bab I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, sistematika penulisan.

Bab II : Merupakan bab teori berjudul berjudul tinjauan umum tentang konsumen dan badan perlindungan konsumen. Dalam bagian ini akan dijabarkan beberapa hal yang terdiri dari pengertian konsumen dan produsen, hak-hak konsumen dan produsen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Penyelesaian sengketa konsumen dan Kekuatan Putusan serta Pelaksanaan Putusannya.

(22)

Bab III : Merupakan bab hasil dan pembahasan. Dalam bagian ini akan dijabarkan tentang hasil penelitian sebagaimana judul yang tertuang yaitu mengenai peran BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen. Bagian ini terdiri dari dua bagian yaitu pertama, bagaimanakah penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK di kota Yogyakarta tentang. Kedua bagaimanakah pelaksanaan putusan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen di kota Yogyakarta. Bab IV : Merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan Tidak ada Hubungan antara kelompok umur balita yang value: 1, jenis kelamin laki-laki P-value :0,176, status gizi kurang P-value:

Gambar IV.3d Grafik nilai total gaya-gaya dalam shell (M φ ) IV-10 Gambar IV.3e Gabungan grafik nilai total gaya-gaya dalam shell IV-10 Gambar IV.4 Bagian melintang

Kesimpulan: Perlunya meningkatkan peran dukungan keluarga dan petugas kesehatan dalam konseling dan edukasi terkait penyakit serta dampak pengobatan TB Paru sehingga

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, yang t elah melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul

Dalam teknik ini dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: (I) tahap pemberian contoh. Pada tahap ini guru mengenalkan kepada siswa nilai-nilai yang baik dan

Dalam pendefinisian laporan keuangan suatu perusahaan, maka perlu adanya ukuran tertentu.Ukuran yang sering digunakan dalam menganalisa laporan keuangan adalah rasio, rasio

Selain pola asuh otoriter di keluarga militer ini juga menerapkan pola asuh demokratis yaitu orang tua selalu berembuk dan berdiskusi mengenai tindakan- tindakan

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh informasi laporan keuangan perusahaan yang berupa Laba akuntansi, Arus kas operasi, dan Nilai buku ekuitas