• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Tinjauan Waterfront

mengakses gudang data CD-ROM dan internet. Oleh karena itu, perpustakaan seni modern telah didefinisikan kembali sebagai tempat untuk mengakses informasi dalam format apa pun. Dalam perpustakaan modern ini selain kumpulan buku, sebagian koleksinya disediakan dalam perpustakaan digital (dalam bentuk data yang bias diakses lewat jaringan komputer).

2.4. Tinjauan Waterfront

Pengembangan kawasan tepian air (waterfront development) merupakan trend yang melanda kota-kota besar dunia sejak tahun 80-an, dan tampak masih akan digemari sampai dasawarsa mendatang. Jenis pengembangan ini dirintis sejak tahun 60-an oleh kota-kota pantai di Amerika, yang memanfaatkan lahan-lahan kosong bekas pelabuhan lama, untuk dikembangkan menjadi kawasan bisnis, hiburan, serta pemukiman. Kesuksesan waterfront di Amerika ini segera ditiru oleh kota-kota pelabuhan Eropa, dan kemudian menyebar ke segala penjuru dunia. Beberapa hal yang menjadi kunci keberhasilan waterfront development adalah dibangkitkannya kembali kenangan lama, akan kota yang didominasi oleh kegiatan perairan, kemudahan pencapaian karena lokasinya yang dekat dengan pusat kota, serta luas lahan yang cukup besar yang ada pada saat ini, sudah sulit ditemukan lagi dalam kota yang semakin padat. Dengan latar belakang yang agak berbeda, kecenderungan membangun kawasan tepian air ini juga telah melanda kota-ktoa besar di Indonesia, terutama Jakarta. Keberhasilan reklamasi pada rawa-rawa di pantai utara Jakarta yang melahirkan sarana rekreasi Ancol, telah mendorong pembangunan kawasan tepian air lainnya seperti Pantai Mutiara dan Pantai Indah Kapuk.

26 Menurut perhitungan yang dilakukan oleh Tim CIDA/Bappenas (1988), pada tahun 1987, nilai ekonomi total yang dihasilkan oleh sebelas kegiatan pembangunan (pemanfaatan) sumber daya pesisir dan lautan (minyak dan gas, industri, transportasi dan komunikasi, pelayaran dan pelabuhan, pertanian, perikanan tangkap, pariwisata, kehutanan, perikanan budidaya, kegiatan masyarakat pesisir, dan pertambangan) sebesar kira-kira Rp 150 trilyun, atau hampir setara dengan total produk domestik bruto. Berbagai kegiatan pembangunan tersebut merupakan sumber mata pencaharian dan kesejahteraan bagi sekitar 13,6 juta orang, dan secara tidak langsung mendukung kegiatan ekonomi bagi sekitar 60 % dari total penduduk Indonesia yang bermukim di kawasan pesisir. Kemudian pada tahun 1990, kontribusi ekonomi kegiatan sektor kelautan tersebut meningkat menjadi Rp 43,3 trilyun atau sekitar 24% dari total produk domestik bruto, dan menyediakan kesempatan kerja bagi sekitar 16 juta jiwa (Robertson Group dan PT Agriconsult, 1992). Kenaikan kontribusi ini terutama disebabkan oleh kegiatan minyak dan gas, perikanan, dan pariwisata.

Dalam perancangan kawasan tepian air, terdapat dua aspek yang mendasari keputusan-keputusan serta solusi rancangan yang dihasilkan. Kedua aspek tersebut adalah faktor geografis serta konteks perkotaan. (Wren, 1983 dan Toree, 1989). Faktor geografis merupakan hal-hal yang menyangkut geografis kawasan, dan akan menentukan jenis serta pola penggunanya. Terdapat beberapa aspek yang termasuk dalam faktor ini. Pertama, kondisi perairan, yaitu jenis (laut, sungai, dan lain-lain), dimensi dan konfigurasi, pasang surut, serta kualitas airnya. Kedua, kondisi lahan, yaitu ukuran, konfigurasi, daya dukung tanah, serta

27 kepemilikannya. Ketiga, iklim, yaitu menyangkut jenis musim, temperatur, angin, serta curah hujan.

Sedangkan konteks perkotaan (urban context) merupakan faktor-faktor yang akan memberikan identitas bagi kota yang bersangkutan, serta menentukan hubungan antara kawasan waterfront yang dikembangkan dengan bagian kota yang terkait. Terdapat beberapa aspek yang termasuk dalam faktor ini. Pertama, pemakai, yaitu mereka yang tinggal, bekerja atau berwisata di kawasan waterfront, atau sekedar merasa “memiliki” kawasan tersebut sebagai sarana publik. Kedua, khasanah sejarah dan budaya, yaitu situs atau bangunan bersejarah yang perlu ditentukan arah pengembangannya (misalnya restorasi, renovasi atau penggunaan adaptif) serta bagian tradisi yang perlu dilestarikan. Ketiga, pencapaian dan sirkulasi, yaitu akses dari dan menuju tapak serta pengaturan sirkulasi di dalamnya. Keempat, karakter visual, yaitu hal-hal yang akan memberi ciri berbeda antar satu kawasan waterfront dengan lainnya. Ciri ini dapat dibentuk dengan material, vegetasi, atau kegiatan yang khas, seperti “Festival Market Place” (ruang terbuka yang dikelilingi oleh kegiatan pertokoan dan hiburan). Konsep festival ini pertama kali dibangun di proyek Faneull Hall, Boston, dan diilhami oleh dua jembatan toko kuno di Italia, yaitu Ponte Vecchio di Firenze dan Ponte rialto di Venezia.

Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan pembangunan di kawasan tepian air, yakni sebagai berikut.

a) Keseimbangan Lingkungan. Berhubungan dengan kawasan perairan yang mempunyai kondisi alamiah beserta ekosistemnya yang spesifik. Ekosistem yang spesifik tersebut perlu dijaga agar faktor-faktor

28 lingkungan ini terjaga keseimbangannnya. Perlu d ibuatkan prasarana untuk mencegah terjadinya banjir di areal yang dibangun atau kawasan sekitarnya. Habitat setempat seperti jenis-jenis burung ada ikan perlu mendapatkan perhatian agar tidak mengalami kepunahan.

b) Konteks perkotaan, yaitu sebagai perantara antara perairan dan daratan, kawasan waterfront perlu menempatkan diri sebagai bagian dari kota induknya, antara lain melalui pencapaian yang mudah dan jelas serta struktur lingkungan (pola jalan, susunan massa, dan sebagainya) yang menghargai struktur bagian kota yang berdekatan. Selain itu juga perlu mempertahankan ciri kota yang bersangkutan, melalui pelestarian potensi budaya yang ada serta pelestarian bangunan yang bernilai sejarah atau bernilai arsitektur tinggi.

c) Rencana Induk Pengembangan. Adanya rencana induk pengembagan kawasan merupakan salah faktor penentu keberhasilan penataan kawasan tepian air, hal ini juga mempermudah usaha untuk menjaga keseimbangan lingkungan, serta menjaga keserasian dengan konteks kota yang ada. Dalam kasus ini, pantai Jakarta terlihat tidak adanya rencana induk pengembangan kawasan pantai secara terpadu dan menyeluruh. Masing-masing proyek (Ancol, Pantai Mutiara, Pantai Indah Kapuk) membuat rencana pengembangan sendiri. Hal ini berakibat sulitnya melakukan pengendalian terhadap adanya kemungkinan dampak lingkungan, yang disebabkan oleh adanya pola akses yang jelas dari kota menuju ketiga proyek diatas. Contoh kasus Jakarta in i menunjukkan betapa pentingnya sebuah rencana induk pengembangan yang menyeluruh.

29 Berdasarkan fungsi, waterfront dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu mixed used waterfront, residential waterfront, recreational waterfront, dan working waterfront.

Mixed used waterfront merupakan kombinasi dari perumaan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan/atau tempat-tempat kebudayaan. Berbeda dengan mixed used waterfront, residential waterfront merupakan perumahan, apartement, dan resort yang dibangun di pinggir perairan, recreational waterfront menyediakan sarana-sarana dan prasarana untuk kegiatan rekreasi, seperti taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas untuk kapal pesiar. Sedangkan working waterfront merupakan tempat-tempat penangkapan ikan komersial, reparasi kapal pesiar, industri berat, dan fungsi-fungsi pelabuan.

Dalam menentukan suatu lokasi tersebut, waterfront atau tidak, maka ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menilai lokasi suatu tempat apakah masuk dalam waterfront atau tidak. Waterfront berlokasi dan berada di tep i suatu wilayah perairan yang besar (laut, sungai, danau, dan sebagainya) bisa juga area pelabuan, perdagangan, permukiman, atau pariwisata. Waterfront memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi, pemukiman, industri, atau pelabuhan yang pada pembangunannya dilakukan ke arah vertikal horizontal, dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan.

Hal tersebut menjadi prospek waterfront development yang sangat cocok untuk dikembangakan di Indonesia, melihat topografi Indonesia sebagai negara kepulauan. Kini konsep tersebut sudah banyak direncanakan oleh beberapa daerah, seperti Manado, Makassar, Jakarta, dan Pekanbaru.

30 Gambar 2.2. Chanary Wharf

Sumber : Propertyinvesting.net (4 April 2010)

Kota-kota tersebut dalam pengembangan wilayahnya, mencoba menerapkan konsep “waterfront development”, mengingat perencanan dan pengembangan wilayah ke depan, model tersebut memiliki potensi yang besar, karena mencoba memanfaatkan potensi tepian danau, sungai ataupun lautan. Pengembangan ini nantinya akan meningkatkan minat pengunjung dari dalam maupun luar negeri ke daerah-daerah yang menerapkan Watefront Development. Dengan demikian, maka akan meningkatkan PAD daerah tersebut.

Dalam Waterfront Development, ada beberapa fungsi yang dapat diterapkan agar pengembangannya dapat berfungsi secara ekonomis dan efektif. “Waterfront Development” dapat dikembangkan sebagai kawasan bisnis, sebagai contoh di Canary Wharf salah satu bagian kawasan “London Docklands”. Di daerah tersebut terlihat di tepian air banyak gedung-gedung perkantoran serta kondominum. Kawasan tersebut dapat menjadi pusat bisnis.

Waterfront Development” juga dapat diterapkan pengembangan kawasan hunian di tepi air. Pengembangan hunian di tepi air tentunya harus melihat kondisi airnya tersebut, pastinya air tidak berbau dan kotor, karena jika terbangun hunian di lokasi dengan kondisi air yang buruk, maka produk huniannya akan sulit terjual ataupun terhuni. Dalam pengembangan hunian di tepi air dapat dibangun produk

31 Gambar 2.3. Port Grimound-Prancis

Sumber : villafleuron.com (24 september 2009)

rumah ataupun kondominium. Penerapan kawasan hunian di tepi air dapat dilihat di daerah Port Grimoud, Prancis. Di sepanjang aliran sungainya banyak terbangun hunian bertingkat.

Waterfront Development” dapat pula dikembangkan sebagai kawasan komersial ataupun hiburan. Dengan kondisi air yang baik dan tidak berbau maka kawasan tersebut terjamin akan banyak disinggahi pengunjung. Selain itu pula dapat juga dibangun area terbuka (plaza) di kawasan tersebut. Waterfront dengan konsep sebagai kawasan komersial dan hiburan ini pastinya akan sangat digemari oleh masyarakat perkotaan.

2.4.1. Waterfront di Indonesia

Sebagai preseden penerapan arsitektur waterfront di Indonesia dapat dipaparkan dua contoh berkit. Pertama, Jakarta Kota Tepian Sungai. Kota Jakarta dengan Sungai Ciliwung dan kedua belas sungai yang mengalirinya. Fenomena pemanasan global dan degradasi kualitas lingkungan memaksa Jakarta harus membangun kota (sungai) ramah air untuk menghidupkan kembali air dalam tata kotanya. Sebagai Kota Sungai, Pemerintah Propinsi DKI harus merefungsi

32 bantaran sungai bebas dari sampah dan permukiman, menghijaukan kembali bantaran, serta menjadikan halaman muka bangunan dan wajah kota.

Kedua, Balikpapan Kota Tepian Pantai. Seperti kota tepian air lainnya di Indonesia, aset-aset budaya dan ekonomi kawasan kurang dimanfaatkan serta kurang terintegrasi dengan sistem kota. Selain hal tersebut, terdapat isu-isu strategis sehubungan dengan pengembangan kawasan tepian pantai pusat kota di Balikpapan, yakni sebagai berikut.

a) Pengembangan pantai Melawai sebagai area rekreasi pantai yang merupakan kawasan khusus wisata di pusat kota.

b) Ruang-ruang terbuka milik Pertamina akan dikembalikan kepada Pemerintah Daerah pada tahun 2003.

c) Pertamina akan menawarkan aset-aset non operasional (entertainment center) kepada pihak swasta/investor.

d) Pemerintah Daerah sampai saat ini belum mempunyai grand scenario dan urban guideline secara khusus dalam pengembangan kawasan tepian air di pusat kota.

33

Dokumen terkait