• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Cabai

Cabai (Capsicum sp) merupakan tanaman herba tropika yang biasanya ditanam sebagai tanaman tahunan (Bosland dan Votava 2000). Genus Capsicum

termasuk ke dalam famili Solanaceae. Capsicum dikelompokan oleh ahli taksonomi menjadi lima spesies yaitu C. annuum L., C. frutescens L., C. chinense, C. pubescens, dan C. baccatum yang berasal dari pusat penyebaran yang berbeda. C. annuum L. berasal dari Meksiko, dua spesies berikutnya berasal dari Guatemala dan dua spesies terakhir berturut-turut dari Bolivia dan Peru (Greenleaf 1986).

Spesies cabai liar yang pernah diidentifikasi adalah sebagai berikut: (1) C. praetermisum Heiser & Smith yang menyebar di Brasil Selatan; (2)

C. chacoense A.T. Hunz yang menyebar di Argentina Utara, Bolivia dan Paraguay; (3) C. galapagoense A.T. Hunz menyebar di Pulau Galapagos; (4)

C. cardenasii Heiser & Smith menyebar di Bolivia; (5) C. eximiun A.T Hunz menyebar di Argentina Utara dan Bolovia; (6) C. tovarii Eshbaugh, Smith, Nickrent menyebar di Andes, Peru (Greenleaf 1986).

Tanaman cabai merupakan tanaman menyerbuk sendiri namun dapat terjadi persilangan secara alami sekitar 7.6-36.8% dengan bantuan lebah. Persilangan antar spesies mungkin terjadi. Namun Greenleaf (1986) menerangkan bahwa terdapat beberapa spesies yang sulit disilangkan misalnya C. annuum L. x

C. frutescens, dan C. annuum x C. pubescens.

Botani Cabai

Seperti famili Solanaceae lainnya, tanaman cabai memiliki bunga berbentuk terompet. Umumnya, bunga tunggal dan tumbuh pada ujung ruas dan merupakan bunga sempurna (hermaprodit). Mahkota bunga berwarna putih atau ungu tergantung varietasnya, helaian mahkota bunga lima atau enam helai. Setiap bunga memiliki satu putik (stigma) dengan kepala berbentuk bulat dan berwarna kuning kehijauan. Benang sari cabai berkisar 5-8 helai dengan kepala sari (anther) berbentuk lonjong (Kusandriani 1996b).

Bunga pertama terbentuk pada umur 23-32 hari setelah tanam (HST) dan buah pertama mulai terbentuk pada umur 29-40 HST. Sekitar 45 hari setelah pembuahan buah yang dihasilkan sudah bisa dipanen. Struktur buah terdiri atas kulit, daging buah, dan sebuah plasenta tempat melekatnya biji. Daging buah umumnya renyah atau kadang-kadang lunak pada beberapa kultivar. Biji cabai berwarna kuning jerami (Greenleaf 1986).

Daun tumbuh secara spiral pada batang utama (Kusandriani 1996b). Batang yang berupa kayu memiliki percabangan yang banyak. Pembentukan kayu pada batang utama mulai terbentuk pada umur 30 HST. Pada setiap ketiak daun tumbuh tunas baru mulai 10 HST. Tipe percabangan tegak atau menyebar (Rubatzky dan Yamaguchi 1997).

Akar tanaman cabai diawali dengan akar primer yang panjangnya 35-50 cm. Kemudian muncul akar lateral yang tumbuh ke samping yang panjangnya mencapai 34-45 cm. Sistem perakaran cabai termasuk tipe dangkal (Rubatzky dan Yamaguchi 1997).

Penyakit Antraknosa

Serangan penyakit antraknosa dapat mengurangi produksi cabai karena patogennya menggugurkan buah baik yang masih hijau ataupun yang sudah matang. Selain itu, benih yang dihasilkan dari tanaman yang terinfeksi antraknosa dapat menularkannya melalui benih (seed borne). Patogen penyebab tular benih biasanya berupa miselium atau spora yang dorman pada permukaan benih, atau berupa miselium yang dorman pada embrio. Colletotrichum pada buah masuk ke dalam ruang biji dan menginfeksi biji (Semangun 2000). Agrios (1997) menerangkan bahwa cendawan ini dapat menyebabkan infeksi ringan pada daun dan batang muda yang mungkin tidak terdeteksi namun cendawan ini mampu bertahan dan berkembang biak pada tahapan tertentu hingga buah mulai masak menjadi rentan terhadap infeksi.

Antraknosa disebabkan oleh cendawan dari genus Colletotrichum. Kim et al. (1999) menggolongkan Colletotrichum menjadi 6 spesies utama, yaitu

Colletotrichum gloeosporioides, C. acutatum, C. dematium, C. capsici, dan C. coccodes. Yoon (2003) melaporkan bahwa C. gloesporioides dan C. acutatum

Suryaningsih et al. (1996) menyatakan bahwa C. capsici dan C. gloeosporioides

adalah spesies yang paling banyak dijumpai di Indonesia. C. capsici banyak menyerang pertanaman cabai di dataran tinggi dan C. gloeosporioides di dataran rendah.

C. acutatum mempunyai miselium berwarna putih hingga abu-abu. Jika dibalik, koloni berwarna orange hingga merah muda. Konidia berbentuk silindris dengan ujung runcing, berukuran 15.1 (12.8-16.9) x 4.8 (4.0-5.7) μm. Suhu optimal adalah 280C dengan rata-rata pertumbuhan 10.3 mm/hari (AVRDC 2003).

Gejala yang timbul akibat serangan antraknosa pada buah adalah terdapatnya bercak coklat kehitaman pada permukaan buah, yang selanjutnya menjadi busuk lunak. Pada bagian tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang terdiri dari sekelompok seta dan konidium jamur. Serangan yang berat dapat menyebabkan buah mengering dan keriput sehingga buah yang seharusnya berwarna merah menjadi seperti jerami (Semangun 2000).

Suryaningsih et al. (1996) menyatakan infeksi cendawan Colletotrichum

bersifat laten dan bertahan dalam jaringan tanaman dalam bentuk aservulus. Aservulus dapat bertahan dan tumbuh lama dalam biji kemudian miselium tumbuh di luar kulit biji. Miselium dan aservulus dapat tumbuh ± 9 bulan dalam biji. Varietas tahan masih dapat terserang penyakit antraknosa jika ditanam pada tanah yang sudah terinfeksi cendawan ini.

Cendawan Colletotrichum dapat menyerang buah yang masih hijau maupun yang sudah masak. Gejala yang ditimbulkan adalah bintik-bintik kecil berwarna kehitaman dengan tepi berwarna kuning, membesar dan memanjang, bagian tengah menjadi semakin gelap. Dalam keadaan lembab, cendawan membentuk badan buah (aservulus) dalam lingkaran-lingkaran sepusat yang membentuk massa spora (konidium) berwarna merah jambu. Penyakit masih berkembang terus pada waktu buah cabai disimpan atau diangkut (Semangun 2000).

Colletotrichum merupakan penyakit tular biji dan dapat bertahan di dalam tanah. Cendawan ini memiliki banyak inang (Suryaningsih et al. 1996). Serangan penyakit antraknosa sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Serangan paling hebat terjadi pada musim hujan atau kelembaban di sekitar tanaman berkisar 90%

dan suhu di atas 300C (AVRDC 1998). Penanaman cabai yang terus menerus dalam areal yang sama merupakan faktor yang memudahkan tersebarnya cendawan penyebab antraknosa. Penyakit antraknosa akan berkembang sangat cepat jika tidak dilakukan pengendalian yang efektif.

Penyakit antraknosa sulit dikendalikan karena patogennya bersifat laten dan sistemik serta menyerang semua fase pertumbuhan tanaman (Sinaga et al.

1992). Pengendalian penyakit ini dengan fungisida kurang efisien dan bersifat sementara (Wijaya 1991). Selain itu dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, berbahaya baik bagi petani maupun konsumen, biaya relatif mahal dan tekanan seleksi dapat menimbulkan ras-ras patogen baru yang resisten (Suryaningsih dan Suhardi 1993).

Penyakit Hawar Phytophthora

Penyakit hawar phytophthora pada pertanaman cabai disebabkan oleh

Phytophthora capsici Leonian (Kurt dan Emir 2004). P. capsici termasuk famili Pythiaceae ordo Peronosporales, kelas Oomycetes (Alexopoulus dan Mims 1979). Menurut Sinaga (2003) Phytophthora merupakan cendawan penghuni tanah ( soil-inhabitant fungi) yang menggunakan sebagian hidupnya dalam tanah dan bertahan sebagai saprofit.

Siklus hidup P. capsici terdiri dari fase pertumbuhan aktif dalam jaringan dan fase dormansi (Lamour dan Hausbeck 2001a). Fase dormansi berupa oospora berdinding tebal yang diproduksi selama reproduksi seksual (Lamour dan Hausbeck 2001b). Oospora membutuhkan periode dormansi sebelum berkecambah yang akan menghasilkan Coenocytic mycelium, yang secara langsung menginfeksi atau berdiferensiasi menjadi cadicous sporangia dalam kondisi sesuai. Sporangia dapat menyebabkan infeksi secara langsung atau dimediasi air bebas dengan melepaskan 20-40 zoospora (Lamour dan Hausbeck 2001a).

Zoospora sebagai inokulum bila sampai ke permukaan jaringan tanaman maka inokulum tersebut akan menempel dengan bantuan protein atau glikoprotein yang ada pada permukaan jaringan (Coffey dan Gees 1991). P. capsici yang telah masuk ke dalam jaringan akan mengganggu aktivitas fotosintesis dengan menggunakan prekursor C18:3 untuk biosintesis cendawan yang menyebabkan

terjadinya disfungsi biosintesis C18:3 yang merupakan komponen utama asam lemak pada membran tilakoid tanaman (Souli et al. 1989). Gangguan pada komponen kloroplas tersebut akan menyebabkan penurunan kapasitas fotosintesis inang (Yunianti 2007).

Cendawan P. capsici akan membentuk struktur hifa primer dalam sel inang dan menyebar melalui ruang interseluler. Dari hifa primer akan dibentuk hifa sekunder (haustorium) yang menembus ke dalam sel. Hifa selanjutnya akan berkembang membentuk sporangiofor. Struktur tersebut muncul dari stomata inang dan selanjutnya membentuk cabang-cabang pendek. Pada cabang-cabang tersebut dibentuk sporangium. Cendawan mampu membentuk ribuan sporangium pada tempat penetrasi hanya dalam waktu beberapa hari. Di dalam sporangium dibentuk zoospora yang akan dilepas melalui papila setelah dinding sporangia pecah (Agrios 1997).

Perbedaan interaksi isolat dengan genotipe cabai mengindikasikan bahwa ada ras-ras patogenik pada isolat P. capsici (Hwang et al. 1996). AVRDC telah mengidentifikasi tiga ras yaitu ras 1, 2, dan 3. Ras 1 adalah yang paling virulen diikuti oleh ras 2 dan ras 3. Galur-galur diferensial cabai yang digunakan untuk identifikasi ras adalah PI 188478, PBC 602, PBC 137, Early Calwonder (AVRDC 2000).

Cendawan P. capsici menyerang semua fase dan bagian tanaman. Serangan pada pangkal batang ditandai dengan busuk batang berwarna coklat kehitaman, tanaman layu tanpa terjadi penguningan daun terlebih dahulu (Yunianti 2007). Pada tanaman dewasa, infeksi ditandai dengan munculnya lesio berwarna ungu gelap dekat dengan permukaan tanah. Pada buah akan muncul bercak kecil, berarti atau basah dan berwarna pudar. Perkembangan lesio lebih cepat biasanya sepanjang ujung buah dibandingkan bagian tengah buah. Bagian jaringan yang terinfeksi akan menjadi kering, cekung dan terdapat garis-garis (Erwin dan Ribeiro 1996). Pada daun akan memperlihatkan gejala berupa bercak gelap dengan bentuk dan ukuran yang tidak beraturan, jaringan mengering dan tampak seperti terbakar matahari (Doolittle 1953).

Yunianti (2007) melaporkan bahwa gejala nekrosis pada bagian pangkal batang bibit, kerebahan dan kelayuan permanen terjadi 3 hari setelah inokulasi

dengan cendawan P. capsici. Marwiyah et al. (2006) melaporkan bahwa kematian cabai dapat mencapai 65.3% setelah diinokulasi dengan isolat P. capsici ras 1. Harahap (1991) menyatakan bahwa masa inkubasi penyakit berlangsung 2-3 hari setelah inokulasi dan mengakibatkan buah gugur pada hari kelima serta kematian tanaman pada hari ketujuh. Agrios (1997) menegaskan bahwa masa inkubasi bervariasi waktunya dipengaruhi oleh interaksi antara inang dan patogennya, stadium perkembangan inang, dan keadaan lingkungan.

Penyakit ini menyebabkan kerugian yang sangat besar. Perkembangannya bergantung terutama pada suhu dan kelembapan, intensif tidaknya tindakan penyemprotan dengan fungisida, umur tanaman saat diserang, serta tingkat ketahanan yang dimiliki oleh varietas cabai yang ditanam (Yunianti 2007).

Penyakit Layu Bakteri

Penyakit layu bakteri disebabkan oleh Rasltonia solanacearum yang semula bernama Pseudomonas solanacearum. Penyakit ini menyerang tanaman tembakau pada tahun 1890-an dan menyerang kacang tanah pada tahun 1905. Penyebaran patogen ini meluas pada tanaman kentang, pisang, jambu mete, jahe, dan cengkeh (Machmud 1993). Penyakit layu bakteri dapat menurunkan produksi pada tanaman kentang sebesar 75% dan tomat 100% (Persley et al. 1985). Patogen ini memiliki kisaran inang yang luas dan bersifat soil borne. Kemampuannya yang mudah berubah strain menyebabkan penyakit ini sulit untuk dikendalikan (Hayward 1991).

Bakteri R. solanacearum memiliki inang sebagian besar dari famili Solanaceae, Musaceae, Asteraceae, dan Fabaceae (Hayward 1991). Pada tahun 1994, Hayward melaporkan bahwa jumlah inang patogen ini mencapai 50 famili. Menurut Machmud et al. (1999) patogen penyakit ini memiliki kisaran inang dan daerah sebaran penyakit yang luas dan kemampuan bertahan hidup dalam tanaman yang luar biasa di dalam tanah dan rizosfer tanaman yang bukan inangnya, dan variabilitasnya sangat tinggi serta daya rusak yang besar.

Bakteri R. solanacearum dikelompokkan menjadi lima ras berdasarkan kisaran inangnya dan lima biovar berdasarkan kemampuannya mengkonsumsi disakarida dan gula (Persley et al. 1985). Kedudukan taksonomi R. solanacearum

sulit dilakukan terutama pada tingkat sub spesies karena sifat patogen ini yang kompleks dan sangat heterogen (Machmud et al. 1999).

Tabel 1 Pengelompokan ras penyakit R. solanacearum (Persley et al. 1985)

Ras Inang Daerah Sebaran

1 Kacang tanah, famili solanaceae dan beberapa spesies gulma

Dataran rendah tropik dan sub tropik

2 Pisang, Heliconia, dan tanaman famili Musaceae lainnya

Asia, daerah tropik Amerika

3 Khusus menyerang kentang dan beberapa inang alternatif

Daerah tropik dan subtropik

4 Jahe 5 Mulberry

Yulianah (2007) melaporkan bahwa pada penelitiannya, gejala layu terlihat pada daun, pangkal batang serta akar menghitam dan tampak basah. Pada genotipe yang rentan terhadap layu bakterti akan terlihat gejala layu mulai 4 hari setelah inokulasi. Martin dan French (1985) menyatakan gejala khas penyakit layu adalah terjadinya kelayuan, daun menguning dan tanaman menjadi kerdil. Pada tanaman tahan, kelayuan berkurang namun terjadi pengerdilan pada tanaman muda. Hayward (1983) menerangkan bahwa gejala layu pertama kali terlihat biasanya pada tanaman yang berumur kurang lebih 6 minggu dan dimulai pada daun-daun muda. Pada tanaman muda dan sukulen dari varietas rentan, kelayuan yang hebat disertai dengan robohnya batang tanaman. Batang tanaman yang sakit jika dipotong akan terlihat berkas pembuluh yang berwarna coklat dan jika ditekan akan mengeluarkan eksudat berupa lendir yang berwarna putih susu. Semangun (2000) menyatakan bahwa jika potongan batang yang sakit dimasukkan ke dalam air steril maka berkas pembuluh akan mengeluarkan aliran massa bakteri yang berwarna putih. Ini merupakan ciri penting penyakit layu bakteri yang membedakannya dengan penyakit layu yang disebabkan oleh cendawan Fusarium

sp.

R. solanacearum cenderung membentuk koloni tidak virulen atau tingkat virulensinya lemah pada media biakan. Koloni virulen dan tidak virulen dapat dideteksi dengan menumbuhkannya pada media yang mengandung 2,3,5 Triphenyltetrazolium Chloride. Koloni virulen berwarna putih dengan pusat merah

muda dengan bentuk tidak beraturan. Koloni yang tidak virulen berbentuk bulat kecil dengan pusat merah tua. Pada media cair, bakteri virulen biasanya non motil dan yang aktif bergerak merupakan bakteri yang tidak virulen (Hooker 1981).

Kelembaban dan suhu tanah mempengaruhi bertahannya bakteri penyebab penyakit layu. Akiew (1985) melaporkan bahwa populasi R. solanacearum

menurun tajam pada peningkatan suhu tanah serta menurunnya kelembaban tanah. Sedangkan pada kelembapan tanah tinggi dan suhu rendah, bakteri mampu bertahan hidup lama dalam tanah. Kelman (1953) menerangkan bahwa suhu optimum untuk perkembangan penyakit adalah 27-37 0C.

Kondisi pertumbuhan tanaman inang mempengaruhi ketahanannya terhadap penyakit. Agrios (1997) menyatakan bahwa berkurangnya ketersediaan nitrogen dapat meningkatkan kerentanan tanaman tomat terhadap layu Fusarium dan layu R. solanacearum, tanaman tumbuh lebih lama, lebih lambat dan lebih cepat tua. Kelebihan nitrogen menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi sukulen dan dapat menyebabkan tumbuhan menjadi lebih rentan terhadap patogen yang menyerang jaringan tumbuhan tersebut.

Pengujian ketahanan cabai terhadap layu bakteri dapat dilakukan dengan cara menanam genotipe cabai pada lahan yang sudah terinfeksi secara alami dan dapat juga dilakukan dengan inokulasi buatan. Khairul (2005) melaporkan bahwa metode inokulasi dengan perendaman akar bibit yang telah dilukai lebih efesien dibandingkan inokulasi dengan metode penyiraman suspensi ke pangkal batang dan pengguntingan daun. Metode perendaman akar bibit ini dapat mempercepat munculnya gejala layu (9.3 HSI) dengan kejadian penyakit yang lebih tinggi yaitu sebesar 65%.

Perakitan Varietas Tahan

Pengendalian penyakit dengan menggunakan bahan kimia seperti yang banyak dilakukan petani sangat tidak menguntungkan. Selain berbahaya bagi petani dan konsumen, bahan kimia tersebut mahal dan tidak ramah lingkungan. Hayward (1991) menyatakan bahwa pada negara berkembang umumnya petani

mempunyai modal terbatas sehingga dianjurkan pengendalian penyakit dengan menanam varietas toleran, bibit yang sehat dan rotasi tanaman. Alternatif yang baik dalam pengendalian penyakit adalah penggunaan varietas tahan.

Tahapan yang paling penting dalam program pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas yang tahan terhadap penyakit adalah mendapatkan sumber ketahanan dan menentukan pola pewarisan sifat ketahanan tanaman serta sifat genetik dari interaksi antar tanaman dengan patogen (Allard 1960). Varietas tanaman yang tahan penyakit akan dihasilkan melalui seleksi plasma nutfah dan persilangan dengan tetua terpilih. Sifat tahan ini dapat berasal dari varietas yang berbeda, varietas komersil, atau spesies liar (Kallo 1988).

Tanaman tahan dan rentan dapat dibedakan dengan mudah jika ketahanan dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor, pada keadaan tersebut varians ketahanan akan menunjukkan kurva sebagian terputus atau diskontinyu. Seringkali pada ketahanan yang dikendalikan oleh banyak gen dan tidak ada perbedaan yang jelas antara individu tanaman tahan dan tanaman rentan dalam populasi yang bersegregasi (Allard 1960). Penentuan ketahanan terhadap sutau penyakit dapat dilihat dari kejadian penyakitnya dan intensitas serangan. Russel (1981) menyatakan bahwa penting untuk melakukan pengukuran atau estimasi terhadap besarnya intensitas serangan dengan sistem pemberian nilai skor atas gejala yang muncul.

Akhir-akhir ini varietas tahan yang banyak beredar di petani mulai dapat dipatahkan ketahanannya akibat munculnya ras-ras baru dari suatu patogen penyakit. Varietas tahan yang ada umumnya memiliki ketahanan vertikal yang hanya tahan pada satu ras penyakit dan tidak bertahan lama. Kondisi ini semakin diperburuk oleh kehadiran beberapa penyakit sekaligus di areal pertanaman petani. Penyakit yang dominan menyerang pertanaman cabai adalah antraknosa, hawar

phytophthora, layu bakteri, dan virus.

Untuk mendapatkan varietas yang tahan pada beberapa penyakit maka perlu dirakit suatu varietas multiline. Agrios (1997) menyatakan bahwa varietas

multiline adalah campuran individu-individu yang memiliki sifat agronomis yang sama namun memiliki gen ketahanan yang berbeda. Perakitan varietas multiline

gen-gen ketahanan yang berbeda dengan genotipe yang memiliki sifat agronomi yang baik. Gen-gen tersebut dipindahkan melalui hibridisasi.

Metode Silang Dialel

Pongoh (1987) menyatakan bahwa persilangan yang melibatkan dua tetua sebagai induk persilangan akan membentuk rekombinasi gen yang sangat terbatas dan tidak semua gen yang dikehendaki terkumpul pada galur yang diuji. Disamping itu, keadaan demikian dapat mempersempit dasar genetik yang ada dan mempercepat terjadinya pemantapan blok linkage serta kerapuhan genetik. Oleh karena itu, sebaiknya setelah persilangan perlu diikuti dengan suatu metode seleksi yang terarah atau memperbesar jumlah tetua persilangan yang akan digunakan. Berkaitan dengan jumlah tetua yang digunakan maka dikenal istilah metode silang dialel.

Analisis dialel membantu para pemulia menentukan pola heterosis antar populasinya serta memilih bahan dan metode yang akan digunakan dalam program pemuliaan. Persilangan dialel adalah persilangan yang melibatkan sejumlah genotipe (varietas, galur, klon) dalam semua kombinasi sehingga masing-masing genotipe mempunyai kesempatan untuk disilangkan dengan genotipe lain, dan dapat juga dilakukan persilangan sendiri pada genotipe itu. Dengan analisis dialel dapat diketahui kombinasi mana yang baik untuk menghasilkan suatu varietas yang lebih baik. Penggunaan metode dialel harus memenuhi asumsi yaitu (1) segregasi diploid, (2) tidak ada perbedaan antara persilangan resiprokal, (3) tidak ada interaksi antara gen-gen yang tidak satu alel, (4) tidak ada multiallelisme, (5) tetua homozigot, dan (6) gen-gen menyebar secara bebas diantara tetua (Singh & Chaudhary 1979; Roy 2000).

Greenleaf (1986) menyatakan bahwa cabai merupakan tanaman diploid. Hal ini menunjukan bahwa cabai memiliki gen-gen yang bersegregasi diploid sehingga memenuhi asumsi untuk dilaksanakannya analisis dialel.

Singh dan Chaudary (1979) menyatakan bahwa pengujian nilai koefisien regresi b pada garis Wr (peragam antara tetua dan keturunann dari array ke-r) terhadap garis Vr (ragam dalam array ke-r) dapat menunjukkan ada atau tidaknya interaksi gen yang tidak seallel (non allelik). Jika hasil pengujian b=1 maka dapat

dijelaskan bahwa tidak terdapat interaksi non allelik dan sebaliknya, jika diperoleh b≠1 maka mengindikasikan adanya peran interasi non allelik dalam mengendalikan suatu sifat.

Analisis silang dialel dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu Hayman dan Griffing. Pendekatan yang dikembangkan oleh Hayman dapat memberikan informasi mengenai parameter genetik dari tetua-tetua yang digunakan dalam persilangan sedangkan pendekatan Griffing memberikan informasi kemampuan daya gabung dari tetua-tetua yang digunakan dalam persilangan (Singh dan Chaudhary 1979).

Informasi yang dapat diperoleh dari pendekatan Hayman adalah (1) nilai D yaitu keragaman akibat pengaruh aditif; (2) F yaitu nilai tengah Fr genotipe (rata-rata Fr untuk semua array), F peragam pengaruh aditif dan non aditif pada array ke-r; (3) H1 yaitu keragaman karena pengaruh dominansi; (4) H2 yaitu menduga sebaran gen dalam tetua dan digunkan untuk menduga proporsi gen negatif dan positif pada tetua; (5) h2 merupakan pengaruh dominan (sebagai jumlah aljabar dari semua persilangan saat heterozigous); (6) E yaitu keragaman karena pengaruh lingkungan; (7) rata-rata tingkat dominansi; (8) proporsi gen-gen dengan pengaruh positif dan negatif dalam tetua; (9) proporsi gen-gen dengan pengaruh dominan dan resesif dalam tetua; (10) jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi; (11) heritabilitas arti luas dan sempit (Singh dan Chaudary 1979).

Menurut Griffing (1956) dalam melakukan analisis daya gabung diperlukan tiga materi genetik, yaitu tetua, F1, dan resiproknya. Dengan menggunakan ketiga set materi genetik tersebut, Griffing memberikan empat metode dalam analisa daya gabung, yaitu Metode I yang disebut juga full diallel

yang melibatkan n tetua dan F1 hasil silangan serta resiprokalnya masing-masing sejumlah [n(n-1)/2 persilangan; Metode II disebut juga metode half diallel yang melibatkan n tetua dan F1 saja dengan jumlah [n(n-1)/2] persilangan; Metode III melibatkan F1 hasil silangan serta resiprokalnya tanpa tetua dengan jumlah silangan [n(n-1)] dan Metode IV hanya melibatkan F1 dengan jumlah silangan [n(n-1)/2].

Daya gabung adalah ukuran kemampuan suatu tetua bila disilangkan dengan galur lain yang akan menghasilkan hibrida dengan penampilan superior (Allard 1960). Singh dan Chaudary (1979) menjelaskan bahwa daya gabung dibedakan menjadi dua, yaitu gabung umum (general combining ability) dan daya gabung khusus (spesific combining ability). Daya gabung umum adalah kemampuan suatu genotipe yang menunjukkan kemampuan rata-rata keturunan bila disilangkan dengan sejumlah genotipe lain. Daya gabung khusus adalah kemampuan individu tetua untuk menghasilkan turunan yang unggul jika disilangkan secara spesifik dengan tetua lainnya.

Daya gabung umum (DGU) yang besar dan positif menunjukkan bahwa tetua tersebut mempunyai daya gabung yang baik. Nilai DGU yang negatif berarti tetua yang bersangkutan mempunyai daya gabung (rata-rata) yang lebih rendah dibandingkan dengan tetua-tetua lainnya. Daya gabung khusus (DGK) yang positif menunjukkan bahwa tetua tersebut mempunyai kombinasi hibrida yang tinggi dengan salah satu tetua yang digunakan. Sebaliknya, apabila DGK negatif berarti tetua tersebut tidak mempunyai kombinasi hibrida yang tinggi dengan salah satu dari tetua-tetua yang digunakan (Sujiprihati 1996).

Informasi genetik yang diperoleh dari pengujian DGU, DGK, dan