• Tidak ada hasil yang ditemukan

Foto 7 Dua Dukun laut (Sanro) sedang memantrai Parappo

5.3.3 Pekerjaan Lain 1 Pa’dagang

5.3.3.2 Toko, Warung, Gadde

Satu hal yang menarik di area riset ini adalah peran perempuan yang besar dalam hal sosial maupun ekonomi. Dalam hal ekonomi rumah tangga, kontribusi perempuan sangatlah besar. Toko adalah tempat penjualan barang-barang keperluan nelayan dan kebutuhan sehari-hari dalam jumlah cukup banyak. Warung dulunya diartikan sebagai toko kecil, dan seringkali juga ada menjual makanan jadi seperti bakso, coto makassar, es campur, dll. Kini tidak begitu jelas kategori warung dan toko. Toko dan warung dikelola oleh ibu rumah tangga yang dibantu oleh anak perempuannya yang beranjak remaja. Walaupun dalam

prakteknya peran suami kini juga besar dalam ikut mengelola warung atau toko, khususnya pada saat tidak melaut, tapi warung dan toko identik dengan perempuan.

Foto 8. Warung yang menjual keperluan sehari-hari dan perbekalan melaut

Gadde adalah jualan skala kecil dengan barang jualan utamanya adalah jajanan anak-anak, hanya bermodalkan Rp200 ribu-an saja. Biasa dilakukan di depan rumah atau samping rumah dengan menaruh barang dagangan di satu meja kecil saja. Konsumen utamanya adalah anak-anak kecil, walaupun dalam kenyataan orang-orang tua juga suka jajanan anak-anak kecil dan beli di sana. Selain itu, pada Gadde juga dijual rokok untuk orang dewasa. Penjualnya umumnya perempuan remaja belasan tahun.

5.3.3.3 Pabalolang

Pabalolang adalah penjual hasil laut, bisa berupa ikan hidup, ikan mati, dan teripang. Penjual ikan hidup adalah Haji Bakhtiar, Haji Haya, Haji Parjo. Menurut informasi dari beberapa penduduk salah seorang dari mereka masih intensif menggunakan potassa (potassium cyanide). Mereka umumnya mempunyai sejumlah nelayan binaan yang menyetor hasil tangkapan kepada

pabablolang itu. Para nelayan tersebut dipinjami modal dan juga peralatan, sebagai balasannya mereka menyetor hasil tangkapan kepada pabalolang. Hal yang sama juga berlaku pada pabalolang ikan mati maupun teripang.

Sedang penjual ikan mati atau biasa disebut Pabalolang ikan mati adalah : Daeng Kai, Daeng Sangkalak, Daeng Leleng, Daeng Mana, Daeng Siama. Adapun Pabalolang teripang yang bermodal besar misalnya : Haji Mustari, Haji Muhammad, Haji Baha, Haji Jama, Daming, Haji Akbar, Kai, Haji Abbas, Haji Anshar. Dalam jumlah kecil banyak sekali yang melakukan pekerjaan sebagai pabalolang teripang, baik per orangan maupun dalam kelompok kecil (keluarga).

5.4 Pembahasan

Jumlah penduduk yang meningkat sangat pesat, pada tahun 1980-an hanya sekitar 1500 jiwa, kini sudah mencapai 3784 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk yang pesat menyebabkan orang harus berpikir kreatif untuk mempertahankan perekonomian rumah tangga. Kepadatan penduduk yang tinggi di pulau ini sudah menyebabkan hampir tidak ada lagi tanah yang kosong. Kalau sekitar 10 tahun yang lalu bagian bawah (kolong ) rumah masih kosong sebagaimana layaknya sebuah rumah panggung, saat penelitian ini dilakukan hampir semua rumah panggung sudah tertutup bagian bawahnya, entah digunakan sebagai kamar tambahan atau sebagai warung. Di dalam satu rumah kini terdapat 2 atau 3 kepala keluarga.

Paboya doe sibatu balla ungkapan yang disampaikan penduduk, yang artinya seisi rumah menjadi pencari nafkah, merupakan gambaran umum yang terlihat di pulau. Kalau dulu orang berkonsentrasi kerja di laut bagi kepala keluarga atau remaja yang sudah ingin menikah, kini semua anggota rumah tangga ikut bekerja. Kerja laut bukan satu-satunya, walaupun masih kerja yang utama. Pekerjaan seperti menjadi pabalolang ikan dan hasil laut lainnya, membuka warung atau toko, berjualan Gadde (semacam sektor informal) di pulau, bahkan menjadi pendorong gerobak bagi barang-barang yang dibeli Pa’terong dilakukan juga oleh perempuan dan anak-anak untuk memperoleh penghasilan.

Pelarangan praktek penggunaan bom ikan secara gencar menyebabkan mereka mengalami kesulitan ekonomi, karena harga material bom menjadi mahal dan terbatasnya operasi penangkapan ikan.

Sampai penelitian berakhir terlihat para nelayan masih sangat bersemangat untuk menggunakan bom ikan dalam usaha kenelayanan, walaupun harga materialnya makin mahal. Bagi mereka hanya inilah usaha kenelayanan yang memungkinkan mereka tetap bertahan hidup, bisa membiayai pernikahan atau membayar uang naik, keuntungan yang masih cukup lumayan ditengah-tengah melambungnya biaya operasi penangkapan ikan. Usaha kenelayanan pa’taripang sebagai suatu usaha relatif lebih aman, tidak dikejar-kejar polisi, tetapi hasilnya terbatas. Kini mereka mengalami dilema, apakah akan terus melanjutkan usaha ini atau tidak, karena biaya operasi melaut sangat tinggi terutama disebabkan naiknya harga bahan bakar minyak. Usaha pa’dagang juga mengalami kondisi yang sama. Warung, toko dan gadde merupakan usaha-usaha yang relatif aman dengan keuntungan yang terbatas.

Nilai-nilai budaya yang tampak dalam ritual, pepatah, bahkan juga lagu rakyat yang berorientasi kepada keberanian, keberhasilan melaut, dan agresivitas. Usaha di darat dalam pandangan kultur mereka sesungguhnya bernilai kurang (mediocre) dibandingkan kerja laut (nelayan). Usaha warung, toko, gadde adalah domain perempuan. Kaum pria umumnya secara kultural dipersyaratkan harus pernah bekerja di laut, barulah setelah itu bisa melakukan usaha lain. Para pabalolang pun umumnya juga sambil bekerja nelayan. Lihat tabel di bawah ini. Tabel 3 Istilah kerja berdasarkan jenis kelamin di kalangan masyarakat Pulau

Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan

No Pekerjaan Laki-laki Perempuan

Kerja di laut Boya-boya -

Jual di warung - Gadde-gadde

Pa’warung Jual ikan keliling pulau Ballu juku -

Bersih-bersih rumah - -nangkasi

-apatasa

Mengajar di sekolah Angajara Angajara

Beli barang di pasar MKS untuk dijual lagi di pulau

- Paterong Sumber : hasil penelitian penulis

Kerja pa’es boleh dikatakan merupakan simbol kejantanan. Sebagaimana sudah diterangkan pada bagian tentang nelayan Pa’es, bom ikan dalam bahasa setempat selain mercun, barracun juga disebut rudal yang konotasinya sama dengan alat kelamin laki-laki. Dalam bahasa sehari-hari yang ephimism, orang menyebut alat jenis kelamin pria dengan kata ’rudal’. Oleh sebab itu menjadi kebanggaan bagi mereka kalau ikut kerja Pa’es, walaupun hanya sebentar. Selain itu, sampai sekarang hanya kerja Pa’es yang menjanjikan hasil yang besar dan memungkinkan si awak kapal membayar ’uang naik’ sendiri tanpa bantuan orang tua. Dua hal itu merupakan kebanggaan bagi kaum pria di pulau ini tapi sekaligus beban budaya (cultural burden).

Secara ringkasnya, kultur yang ada cenderung mendorong sikap nelayan Pa’es untuk tidak pro-lingkungan. Orientasi kultural yang ada adalah mengejar prestise sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Prestise di sini berarti keharusan memperoleh hasil tangkapan ikan yang banyak. Bila terjadi kegagalan dalam operasi mencari ikan, mereka akan merasa malu sekali. Hal ini berkaitan budaya Siri’ mereka yang menekankan tentang ’rasa malu’ bila terjadi kegagalan. Perubahan yang terjadi pada kenelayanan di pulau ini dengan adanya penangkapan terus menerus terhadap pelaku perdagangan ilegal material bom ikan dan nelayan pengguna bom ikan adalah berpindahnya sebagian nelayan ke bidang lain, seperti kerja nelayan teripang, transportasi penumpang dan pabalolang. Akan tetapi pekerjaan nelayan Pa’es sampai penelitian ini selesai tetap diminati oleh penduduk dengan alasan referensi perilaku, kemiskinan, konsumtivisme, cultural burden/proud dan kultur agresif sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian tentang nelayan Pa’es. Pada bab berikutnya akan diuraikan lebih lengkap tentang bagaimana interaksi eksploitatif yang menjerat nelayan untuk terus melakukan pekerjaan sebagai nelayan Pa’es.

Maaf ...

Dokumen terkait