• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARYA NORBERTUS RIANTIARNO

2.3 Tokoh dan Penokohan Drama Opera Julini

2.3.2 Tokoh Antagonis

Tokoh antagonis dalam drama Opera Julini yang akan dianalisis adalah

Tibal dan Pejabat. Sebagai tokoh antagonis, Tibal dan Pejabat adalah dua tokoh yang paling berpengaruh menjadi penghalang dan sumber masalah bagi Julini dan Roima. Tibal yang bersama Roima memimpin kawanan bandit dan wadam, dengan keangkuhan dan keegoisannya dalam menguasai segala kehidupan perbanditan dan perwadaman justru menghancurkan kelompoknya sendiri. Pejabat sebagai figur pemimpin dengan keterbatasan untuk tidak ingin peduli terhadap kehidupan rakyatnya justru tidak mampu memberi jalan keadilan bagi kelompok bandit dan wadam yang membutuhkan bantuan serta media penyelesaian permasalahan sosial masyarakat kelas bawah. Selanjutnya, pengenalan tokoh Tibal dan Pejabat akan dibahas dalam penokohan tiap tokoh.

2.3.2.1 Tibal

Tibal merupakan pemimpin kelompok bandit yang merasa sangat berkuasa. Kegarangannya memaksa para anak buahnya tunduk dan setia karena takut (33), (34). Tibal termasuk orang yang tidak suka dengan pengkhianatan, tapi dia sering kali gegabah dalam mengambil keputusan, berpikir terlalu pendek, kejam, dan tidak memiliki rasa perikemanusiaan dengan alasan keadilan serta hukum yang harus ditegakkan (35), (36), (37). Obsesi akan kekuasaan membuat Tibal menjadi laki-laki kejam yang egois. Hanya ada rasa dendam membara yang membuat Tibal menjadi pemimpin yang buas, semena-mena, dan merendahkan anak-anak buahnya (38). Tibal selalu menyalahkan orang lain dan keadaan tanpa mau melihat kesalahan yang ada dalam dirinya, membuat Tibal menjadi orang yang angkuh dan keras kepala.

(33)

TIBAL:

Selalu kalah? Kita memang kelas bawah tanah. Tapi kita tidak boleh menyerah. Sudah waktunya bangkit, menunjukkan dengan terang-terangan siapa kita. Kumis, bekas pemimpin kalian

yang keparat dan sudah koit itu, mewariskan kepada kalian jiwa tempe. Bergerak dalam kegelapan, kemudian lari menyelinap kalau

kerja sudah selesai. Itu jiwa coro, nyali kecoa. Aku, Tibal dan Roima, ingin kalian punya jiwa singa. Jiwa macan. Jantan. Tidak

boleh ada sikap gampang takluk. Berani bertindak, dan berani menghadapi resikonya. Jangan seperti Bleki.

(OJ: 308)

(34)

TIBAL:

Dia sengaja kupelihara sebagai contoh dari sikap anjing. BLEKI:

Ya, Bang. TIBAL:

Begitu Bleki? BLEKI: Ya, Bang.

TIBAL:

Biar ditendang, dimaki, diludahi,

tidak peduli asal itu dilakukan oleh majikannya. Tidak punya harga diri. Begitu Bleki?

BLEKI: Ya, Bang.

(OJ: 309)

(35)

TIBAL:

Kita para bandit nomor satu di dunia. Jangan sebut-sebut lagi kita kelas teri. Sikap merendah seperti itu hanya membuat kita makin

lama semakin loyo. Aku tidak suka. Kita ini nomor satu di dunia, ingat.

(OJ: 317)

(36)

TIBAL:

Tidak bisa kuterima, tidak bisa. Masa ada mata-mata dalam kelompok kita? Ini akibat kamu terlalu lemah. Dunia kita dunia keras, dunia penuh darah, tidak bisa kita bersikap seperti pendeta.

Bandit-bandit harus dikendalikan dengan tangan besi. TIBAL:

Mereka harus takut kepada kita. Dengan darah kita rebut kelompok ini, dengan darah pula kita harus pertahankan

kelompok ini di bawah perintah kita. Aku pikir, rencanamu terlalu bertele-tele.

TIBAL:

Kita harus segera mewujudkan rencana itu, lurus, tanpa belok-belok. Kekuatan adalah kekuasaan. Siapa kuat, dia kuasa. Tenaga

para bandit hanya dibutuhkan untuk mengantar kita ke puncak kekuasaan.

(OJ: 333)

(37)

TIBAL:

Dan semua itu tidak kamu sengaja. Enak betul. Peraturan harus ditegakkan, disiplin harus dijunjung tinggi, pengkhianatan

diharamkan. Sudah berkhianat, masih minta keringanan.

(OJ: 392)

(38)

TIBAL:

Katanya minta keringanan? Saya berikan keringan. Kamu tidak akan langsung dibunuh. Potong anunya perlahan-lahan, Bajenet.

Telanjangi dia.

(OJ: 393)

Dalam memimpin kelompok bandit, Tibal mengalami ketidakcocokan dengan Roima. Tibal merasa tidak sepaham dan dendam kepada Roima sebab Roima tidak mau mengikuti keinginan Tibal serta menganggap Roima tidak menghormati Tibal sebagai sesama pemimpin kelompok bandit (39). Tibal merasa iri pada Roima seeolah-olah hanya Roima yang mampu memimpin komplotan bandit. Dendam Tibal berlanjut menjadi rencana untuk membunuh Roima. Tibal menganggap dalam sebuah kelompok tidak boleh ada dua pemimpin. Karena sudah tidak tahan dengan Roima, akhirnya Tibal memerintahkan anak buahnya untuk membantunya membunuh Roima hanya demi memenuhi rasa dendam yang tidak ada habis-habisnya agar bisa menguasai semuanya (40).

(39)

ROIMA:

Tibal, kamu terlalu dikuasai dendam masa lalu. Dulu, Kumis mengobrak-abrik masa depanmu. Kemudian kamu bunuh Kumis. Dan sekarang, kamu punya rencana mengobrak-abrik masa depan

banyak orang. Kamu selalu buru-buru, tidak mau pakai otak. TIBAL:

Aku punya otak. Jangan menghina. Aku hanya ingin agar rencana terwujud dalam waktu singkat.

(OJ: 334)

(40)

TIBAL:

komplotan yang dulu dipimpin Kumis? Siapa yang seharusnya jadi pemimpin besar? Tibal, Tibal, Tibal. Tapi apa kenyataannya?

Roima mengambil alih semuanya. Aku tidak boleh berbuat semaunya.

(OJ: 400)

(41)

TIBAL:

Di sini aku pernah membunuh Kumis. Dan di sini juga aku membunuh kamu, Roima. Mampus kamu, mampus. Dan sekarang, tidak ada lagi yang bisa mencegah aku. Akulah pemimpin, akulah yang terbesar, kepala bandit paling berkuasa. Lihat mukaku baik-baik. Lihat. Inilah dunia kita, penuh kekerasan,

pengkhianatan, penuh darah. Kamu tidak mungkin bisa mengubahnya. Kita orang kasar, orang bodoh, orang kampung.

Hidup kita ada di ujung belati. Dan siapa kuat, dia berkuasa.

(OJ: 417)

Bersama Bleki dan Bajenet, akhirnya Tibal berhasil membunuh Roima. Dengan demikian Tibal sekarang menjadi satu-satunya pemimpin kelompok bandit. Namun, kehidupan Tibal beserta anak buahnya semakin tidak jelas dan hancur. Wataknya yang serakah, kasar, berangasan, kejam, ambisius, dan keras kepala membuatnya tidak mampu mempertahankan komplotan banditnya (41).

Kesimpulan penokohan tokoh Tibal dari analisis di atas adalah Tibal merupakan pemimpin yang merasa berkuasa penuh, berpikir pendek, kejam, tidak berperikemanusiaan, tidak suka pengkhianatan, tapi gegabah mengambil keputusan. Tibal dipenuhi obsesi akan kekuasaan, kejam, egois, angkuh, keras kepala, semena-mena pada anak buahnya, dan suka menyalahkan orang lain (33), (34), (35), (36), (37), (38). Di samping itu, Tibal sering berselisih paham dengan Roima dan akhirnya rasa iri serta dendam membuat Tibal membunuh Roima agar bisa menjadi satu-satunya pemimpin kelompok bandit (39), (40), (41).

2.3.2.2 Pejabat

Pejabat sebagai penguasa kota berkedudukan sebagai Direktur Utama PT Penataran Manggala Nasional (42). Pejabat pernah berselingkuh dengan Tuminah, kasus tersebut yang menimbulkan percekcokan antara pejabat dengan istrinya (43). Tidak hanya itu, pejabat adalah orang yang mendirikan Musoleum Patung Julini karena didemo oleh para bandit dan wadam sepuluh tahun lalu dengan tuduhan telah membakar kompleks pelacuran (44), (45).

Pejabat sebagai tokoh masyarakat ternyata selama ini tidak pernah mengetahui keadaan rakyat yang sebenarnya (46). Pejabat terkejut ketika melewati daerah tempat tinggal rakyatnya yang miskin dan kumuh. Ketika menyaksikan kawasan kumuh tersebut, mata Pejabat tiba-tiba buta yang tidak dapat diketahui sebabnya (47). Dalam memimpin, Pejabat bersikap kasar tetapi tegas terhadap anak buahnya. Apa pun dia perintahkan demi ketentraman kota meskipun harus memakai dana yang besar untuk menumpas komplotan bandit (48). Sebenarnya Pejabat adalah orang yang mudah marah sehingga ditakuti oleh anak buahnya (49). Hal itu yang membuat Pejabat tidak tahu keadaan yang sebenarnya terjadi pada rakyat miskinnya.

(42)

PEJABAT:

Jangankan kata disentuh. Ada orang omong di dekatku saja, mataku langsung seperti ditonjok-tonjok … aduuuuhhh ….

PEJABAT:

Jangan, jangan sentuh, sakit. ISTRI:

Kita semua tahu, mata Mas sakit. Tapi mbok ya biar Pak Dokter memeriksa. Kayak anak kecil saja, diurusi malah tidak mau. Sudah, kalau begini terus, biarkan dia sakit mata. Biar, biar. Bikin gregetan

orang. Makin tua tidak makin memberi teladan, malah semakin kolokan. Bagaimana kalau rakyat tahu, begini ini kelakuan Direktur

Utama dari PT Penataran Manggala Nasional? Malu, kan?

(OJ: 329)

(43)

ISTRI:

Kalau sakit, baru merintih-rintih seperti ini. Kalau foya-foya, lupa anak lupa istri.

PEJABAT:

Bu, aku sakit, aku tidak tahu kenapa tiba-tiba mataku sakit. Aku cuma minta tolong, kompres mataku,

siapa tahu bisa lebih baik. ISTRI:

Kompres sendiri. Atau minta tolong sana sama Tuminah. PEJABAT:

Aduh, nama itu lagi, nama itu lagi. Sudah sepuluh tahun yang lalu aku tobat, aku akui kesalahan itu, kekhilafan itu. Maklum namanya

juga lelaki, sering jalannya melenceng. Tapi kan cuma sebentar, dan sudah kuakui. Aduh, mataku, aduuh.

(OJ: 305)

(44)

PAIJO:

Mereka berdua yang memimpin wadam-wadam demonstrasi ke kantor kita sekitar 10 tahun yang lalu. Kemudian Bapak mengeluarkan keputusan untuk mendirikan patung salah seorang

wadam yang mati kena peluru nyasar.

(OJ: 371)

(45)

ISTRI:

Ini semua karena salah kamu, Pak. Coba, apa manfaatnya memenuhi tuntutan mereka membikin musoleum siapa itu nama

banci yang mati ditembak?

(OJ: 404)

(46)

PEJABAT:

Gubuk-gubuk itu, siapa penghuninya? PEJABAT:

baju? Apa tidak kedinginan? PEJABAT:

Jadi itu semua kenyataan? Bukan bualan para seniman saja?

(OJ: 298)

(47)

ASPRI:

Bapak adalah penguasa kota ini dan saya asprinya. PEJABAT:

Aduh, Paijo. Aduh, mataku tiba-tiba jadi gelap. Ada apa ini? Aduh, nyeri. Paijo, aku buta. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aduh. Sakit. Paijo, mataku sakit. Gelap tiba-tiba. Paijo. (OJ:

300)

(48)

PEJABAT:

Setan. Apa pangkatmu berani memerintah aku? Laporan kalian sudah saya terima, nanti akan diperiksa. Perintah sudah aku

turunkan untuk menumpas habis komplotan bandit, apa lagi yang ditunggu? Semuanya jelas?

PEJABAT:

Komplotan bandit, siapa pun mereka, tetap akan membuat rakyat resah. Kita ini pejabat negara, dibayar oleh uang rakyat, bertugas membikin aman tenteram rakyat. Paham? Pakai fasilitas apa saja yang kalian butuhkan untuk menumpas bandit-bandit itu. Besok

surat perintahnya akan diturunkan oleh Pak Paijo. Paham?

(OJ: 372)

(49)

PEJABAT:

Mengapa tidak pernah dilaporkan? ASPRI:

Ya tidak. Kalau dilaporkan, nanti Bapak marah.

(OJ: 299)

Setelah sekian lama menderita sakit mata, Pejabat menyadari kesalahan selama menjalankan tugas sebagai pemerintah (50). Pejabat merasa selama ini dia

tidak pernah peduli dengan keadaan masyarakat miskin sehingga matanya menjadi sakit saat melihat kenyataan (51). Karena malu dengan penyakitnya, Pejabat memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya, tapi permintaan pengunduran diri tersebut ditolak oleh Pak Menteri dan justru diberi penghargaan dan kenaikan pangkat serta wewenang untuk mengurus ibu kota (52).

(50)

PEJABAT:

Tolong, tolong aku sudah tidak kuat lagi. Aku tidak punya mata lagi. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Semua ini karena salahku, salahku.

(OJ: 433)

(51)

PEJABAT:

Lalu, apa yang selama ini sudah kulakukan? Sibuk dengan berkas- berkas rencana anggaran? Seminar dan penataran demi masa depan

gemilang. Lalu apa yang sudah kulakukan demi masa sekarang? Dan pertanyaan itu berulang-ulang nongol di kepalaku. Lalu aku tak bisa menemukan jawabannya. Lalu tiba-tiba aku merasa dunia gelap. Aku buta seketika karena ngeri dan nyeri. Selama ini aku ada

dalam gedung, dalam kantor, dalam mobil, dalam hotel. Aku hanya mendengar kemiskinan lewat buku-buku dan koran dan selalu merasa itu hanyalah ulah mereka yang iri dan dengki, berita yang dibesar-besarkan. Sekaarang aku sudah melihatnya, dan langsung

buta karena sadar tidak mampu berbuat apa-apa. Karena aku seluruhnya bukan milikku lagi. Tanganku, kakiku, mulutku harus

kumanfaatkan semata-mata demikeutuhan korps. Demi kesatuan dan persatuan. Intinya, aku cuma wayang. Demikian yang terjadi,

baru sekarang kusadari. Dan kamu, tidak mungkin sanggup mengobati aku. Sakitnya sudah parah, aduuuuh ….

(OJ: 331)

(52)

PEJABAT:

Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi. Hidup kita bukannya makin tenteram, malah semakin ricuh. Aku ingin menulis surat

pengunduran diri. PEJABAT:

Syarat utama bagi seorang pejabat adalah sehat jiwa raga. Aku ini sudah boleh dibilang buta.

Tidak memenuhi syarat. Celakanya lagi, aku malu penyakitku diketahui umum.

(OJ: 406)

Kesimpulan penokohan tokoh Pejabat dari analisis di atas adalah Pejabat sebagai Direktur Utama PT Penataran Manggala Nasional pernah berselingkuh dengan Tuminah, yang menimbulkan pertengkaran dengan istrinya. Pejabat adalah orang yang mendirikan Musoleum Patung Julini (42), (43), (44), (45). Pejabat selama ini tidak pernah mengetahui keadaan rakyat yang sebenarnya. Mata Pejabat tiba-tiba buta ketika menyaksikan kawasan kumuh dan miskin. Pejabat bersikap kasar tetapi tegas demi ketentraman kota dalam menumpas komplotan bandit, mudah marah sehingga ditakuti anak buahnya membuat Pejabat tidak tahu keadaan rakyatnya yang miskin (46), (47), (48). (49). Selain itu, Pejabat menyadari kesalahannya dan merasa selama ini dia tidak pernah peduli dengan keadaan masyarakat miskin. Karena malu dengan penyakitnya dan merasa sudah tidak sanggup memimpin kota, Pejabat memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya (50), (51), (52).

Dokumen terkait