• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKOLAH MENENGAH ATAS KELAS XII SEMESTER 1

BAHASA INDONESIA WACANA PENGETAHUAN A. Kata Pengantar

2) Tokoh (Penokohan) a) Pengertian

Membahas mengenai tokoh dalam sebuah karya sastra terutama karya fiksi sering dihubungkan dengan istilah-istilah lainnya seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi. Sering istilah tersebut digunakan secara bergantian dan dianggap memiliki pengertian yang sama. Padahal sebetulnya, istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda.

Nurgiyantoro (1995, hlm. 165) mengemukakan, istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Watak/karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca. Dengan kata lain, watak/karakter lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Adapun penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan perwatakan yang menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu sebuah cerita. Berdasarkan uraian di atas, maka sedikitnya dapat tergambar perbedaaan tokoh-penokohan, watak-perwatakan, karakter-karakterisasi. Akan tetapi agar lebih jelas dan tegas maksud dari pengertian tokoh dan penokohan, di sini peneliti akan mengemukakan definisinya.

Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995, hlm. 165).

Adapun penokohan memiliki pengertian yang lebih luas daripada tokoh sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Nurgiyantoro, 1995, hlm. 165).

b) Pembedaan Tokoh

Pengertian tokoh sudah peneliti jelaskan di atas. Selanjutnya peneliti akan mengemukakan mengenai pembedaan tokoh. Pembedaan tokoh ini perlu

274

dikemukakan karena ketika kita membaca sebuah karya fiksi (dalam hal ini cerpen) maka kita akan dihadapkan pada sejumlah tokoh yang dihadirkan di dalam cerita tersebut. Mengetahui penggolongan tokoh dapat memudahkan kita memahami hal-hal yang bersangkutan dengan permasalahan tokoh tersebut.

Tokoh-tokoh dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, maka tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh utama (center character, main character) dan tokoh tambahan (peripheral character). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam sebuah cerita. Tokoh tersebut merupakan tokoh yang sering diceritakan, baik segi pelaku, kejadian/peristiwa maupun yang dikenai kejadian. Peranan tokoh ini tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagaian besar cerita (Nurgiyantoro, 1995, hlm. 176). Adapun tokoh tambahan, seperti halnya dijelaskan Nurgiyantoro (1995, hlm. 177), adalah tokoh yang pemunculannya dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, dan ia hadir dalam keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung.

Analisis terhadap unsur tokoh dan penokohan ini akan meliputi pembedaan tokoh di atas dan penokohan. Untuk mengetahui penokohan dalam cerpen, peneliti mengacu pada cara yang dilakukan Yus Rusyana dalam penelitiannya yang berjudul Novel Sunda Sebelum Perang. Dalam penelitian tersebut, penokohan dilihat dari cara penamaan, pemerian, pernyataan atau tindakan tokoh lain, percakapan dialog atau monolog, dan tingkah laku (Rusyana, 1979).

3) Alur (Plot)

Menurut Stanton (2007, hlm. 26) mengemukakan bahwa secara umum mengenai alur adalah rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter,

Avini Martini, 2015

variabel pengubah dalam dirinya. Adapun Aminuddin (2013, hlm. 83) mengungkapkan bahwa alur dalam cerpen, drama atau dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.

Sumardjo dan Saini (1994, hlm. 48) mengemukakan bahwa plot dengan jalan cerita memang tidak terpisahkan, tetapi harus dibedakan. Orang sering mengacaukan kedua pengertian tersebut. Jalan cerita memuat kejadian, tetapi suatu kejadian ada karena ada sebabnya dan ada alasannya. Dan yang menggerakkan cerita tersebut adalah plot, yaitu segi rohaniah dari kejadian. Suatu kejadian baru dapat disebut cerita kalau didalamnya ada perkembangan kejadian. Dan suatu kejadian berkembang kalau ada yang menyebabkan terjadinya perkembangan, dalam hal ini konflik. Intisari dari plot adalah konflik. Tetapi biasanya konflik dalam cerpen tidak bisa tiba-tiba dipaparkan begitu saja, melainkan harus ada dasarnya, seperti unsur-unsur pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak, klimaks, dan pemecahan soal.

Hal yang senada dikemukakan Nurgiyantoro (1995, hlm. 116) mengemukakan bahwa peristiwa, konflik dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot cerita. Peristiwa adalah kejadian dalam cerita tetapi peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam sebuah karya sastra pastilah banyak sekali, namun tidak semua peristiwa tersebut berfungsi sebagai pendukung plot, itulah sebabnya untuk menentukan peristiwa-peristiwa fungsional dengan yang bukan, diperlukan penyeleksian atau tepatnya analisis peristiwa.

4) Latar (Setting)

Latar merupakan salah satu unsur pokok dalam sebuah karya fiksi. Latar (setting) menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995, hlm. 216). Berdasarkan definisi tersebut, latar dapat dibedakan ke dalam 3 jenis yaitu, latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 1995, hlm. 27). Unsur tempat yang

276

dipergunakan misalnya nama kota, desa, jalan, hotel, penginapan, kamar, dan lain-lain. Tempat-tempat tersebut bisa bernama ataupun hanya menggunakan inisial. Namun, latar ini cenderung bersifat fisik sehingga disebut sebagai latar fisik (Nurgiyantoro, 1995, hlm. 218).

Sedangkan latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (Nurgiyantoro, 1995, hlm. 230). Adapun latar sosial, masih manurut Nurgiyantoro (1995, hlm. 233) menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Perilaku atau tata cara kehidupan sosial masyarakat tersebut dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Latar sosial ini juga berhubungan dengan status sosial tokoh, misalnya rendah, menengah, atau atas. Berdasarkan karakteristik yang diuraikan tersebut, maka latar sosial dapat digolongkan sebagai latar spiritual.

Meskipun unsur latar dibeda-bedakan seperti di atas, namun kehadirannya dalam suatu karya fiksi biasanya merupakan satu kesatuan. Namun demikian, perlu juga dipahami bahwa tidak semua karya fiksi menghadirkan ketiga latar di atas. Banyak karya fiksi yang hanya menonjolkan satu latar tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis latar yang meliputi 3 jenis latar di atas.

Dokumen terkait