• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN

2.2 Tokoh Utama

Secara fisik, Ikal mempunyai tinggi badan yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Ia juga mempunyai rambut yang ikal. Hal ini digambarkan

menggunakan teknik dramatik (teknik reaksi tokoh lain dan pelukisan fisik), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:

(1) … Tingginya (A Ling) tak kurang dari 175 cm, jelas lebih tinggi dariku (Ikal).(hlm.269)

(2) Umumnya Bu mus mengelompokan tempat duduk kami

berdasarkan kemiripan. Aku dan Lintang sebangku karena kami sama-sama berambut ikal….(hlm.13)

Ikal berasal dari keluarga yang miskin dan bersaudara banyak. Ayahnya adalah seorang buruh tambang dan saudara-saudara Ikal adalah kuli di pasar pagi dan kuli kopra di pesisir pantai. Hal ini digambarkan menggunakan teknik ekspositori dan teknik dramatik (teknik pikiran dan perasaan), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:

(3) … Aku (Ikal) tahu beliau (ayah Ikal) sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkan pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami.(hlm.2-3) (4) “Kasihan ayahku…”

maka aku tak sampai hati memandang wajahnya.

“Barang kali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan sekolah, dan mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku, menjadi kuli…”(hlm.3)

Ikal sangat menyayangi dan menghormati ibunya. Ia akan berkata jujur walaupun dengan kejujuran itu mempermalukan dirinya sendiri. Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik (teknik tingkah laku dan reaksi tokoh lain), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:

(5) Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, karena pelajaran Budi Pekerti Kemuhammadiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku membohongi orang tua, apalagi ibu. Maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku sendiri….(hlm.82)

(6) “Namanya A Ling…!” bisiknya ketika kami sedang khatam Al-Qu’ran di masjid Al Hikmah. Jantungku (Ikal) berdetak kencang. “Seangkatan dengan kita di sekolah nasional!”….

“Jangan sampai tahu ibuku,” kataku cemas, “bisa-bisa aku kena rajam. (hlm.253)

Ikal adalah salah satu murid yang pandai di kelasnya. Ia selalu mendapat rengking dua dan mempunyai rival berat dalam pelajaran, yaitu sahabatnya sendiri, Lintang, yang selalu menduduki rengking pertama di kelasnya. Hal ini digambarkan menggunakan teknik ekspositori, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:

(7) Aku belajar keras sepanjang malam, tapi tak pernah sedetik pun, sedetik pun bisa melampaui Lintang. Nilaiku sedikit lebih baik dari rata-rata kelas namun jauh tertinggal dari nilainya. Aku berada di bawah bayang-bayangnya sekian lama, sudah terlalu lama malah. Rangking duaku abadi, tak berubah sejak caturwulan pertama kelas satu SD. Abadi seperti lukisan ibu menggendong anak di bulan. Rival terberatku, musuh bebuyutanku adalah temanku sebangku, yang aku sayangi. (hlm.122)

Ikal mempunyai bakat pada seni khususnya puisi. Ia menulis puisi sebagai tugas pelajaran kesenian yang diserahkan kepada Bu Mus. Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik (teknik pikiran dan perasaan), yang dapat terlihat dalam kutipan berikut ini:

(8) Pesona hakiki Pangkalan Punai membayangiku menit demi menit sampai terbawa-bawa mimpi. Mimpi ini kemudian kutulis menjadi sebuah puisi karena sebagai bagian program, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran kesenian berupa karangan,

lukisan, atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan yang didapat dari bahan-bahan yang didapat di pinggir pantai. (hlm.181)

Ikal memiliki cita-cita sebagai pemain bulu tangkis dan menjadi penulis, tapi ia malah menjadi tukang sortir di salah satu kantor pos yang ada di Jakarta. Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik (teknik pikiran dan perasaan), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:

(9) … Dan aku senang sekali memiliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat jelas, yaitu: menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi penulis berbobot….(hlm.342)

(10) Dan kembali aku termangu-mangu menatap tiga karung surat tadi. Setelah terpuruk akibat dikhotbahi nyonya itu aku masih harus bekerja keras menyortir semuanya karena pukul delapan seluruh pengantar kilat khusus termin pertama akan berangkat dan karena aku adalah pegawai pos, tukang sortir, bagian kiriman peka waktu, shift pagi, yang bekerja mulai subuh.(hlm.438)

Dari kutipan (1)-(10) di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh Ikal mempunyai tinggi badan yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek dan ia juga mempunyai rambut yang ikal (1-2). Ikal berasal dari keluarga berekonomi rendah. Ayahnya adalah seorang buruh tambang yang bergaji kecil, sedangkan saudara-saudara Ikal bekerja menjadi kuli (3-4). Ikal sangat menghormati dan menyayangi ibunya. Pelajaran kemuhammadiyahan tidak memperbolehkannya bohong, apalagi kepada ibu (5-6). Ikal mempunyai bakat seni, khususnya pada puisi. Ia menyerahkan karya puisinya sebagai tugas kesenian (8). Ikal termasuk anak yang pintar. Ia selalu menduduki peringkat kedua di kelasnya (7). Cita-citanya adalah ingin menjadi pemain bulu tangkis dan penulis yang berbobot (9), tapi ia malah menjadi tukang sortir di salah satu kantor pos yang ada di Jakarta (10).

2.2.2 Lintang

Secara fisik, Lintang berwajah manis dan berambut merah keriting. Tubuhnya tak terawat dan kotor. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (pelukisan fisik dan reaksi tokoh lain), yang terdapat dalam kutipan berikut ini:

(11) Aku mengenal para orang tua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali seorang anak lelaki yang kotor berambut keriting merah yang meronta-ronta dari pegangan ayahnya….(hlm.3)

(12) “Ayo yang lain, jangan hanya anak Tanjong keriting (Lintang) ini saja yang menjawab,” perintah Bu Mus.(hlm.122)

(13) Meskipun rumahnya paling jauh tapi kalau datang ia (Lintang) paling pagi. Wajahnya manis senantiasa bersinar walaupun baju, celana, dan sandal cunghai-nya buruknya minta ampun. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam tempurung kepalanya yang ditumbuhi rambut gimbal awut-awutan itu tersimpan cairan otak yang encer sekali… Dibalik tubuhnya yang tak terawat, kotor,

miskin, serta berbau hangus, dia memiliki an

absolutely….(hlm.108-109)

Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, yaitu sebuah wilayah paling timur di Sumatra. Ia adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia anak laki-laki satu-satunya. Ia tinggal bersama empat belas anggota keluarga yang hidup dalam satu rumah. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (pelukisan latar) dan teknik ekspositori, yang terdapat dalam kutipan berikut ini:

(14) Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pinggir laut. Menuju ke sana harus melewati empat kawasan pohon nipah, tempat berawa-rawa yang dianggap seram di kampung kami. Selain itu di sana juga tak jarang buaya sebesar pangkal pohon sagu melintasi jalan. Kampung pesisir itu

secara geografis dapat dikatakan sebagai wilayah paling timur di Sumatra….(hlm.11)

(15) Selain empat orang itu ikut pula dalam keluarga ini dua adik laki-laki ayah Lintang, yaitu seorang pria muda yang kerjanya hanya melamun saja sepanjang hari karena terganggu jiwanya dan seorang bujang lapuk yang tak dapat bekerja keras karena menderita burut akibat persoalan kandung kemih. Maka ditambah lima adik perempuan Lintang, Lintang sendiri, dan kedua orangtuanya, seluruhnya berjumlah empat belas orang. Mereka hidup bersama, berdesak-desakan di dalam rumah sempit memanjang itu.(hlm.99-100)

Ayah Lintang adalah seorang nelayan semacam petani penggarap karena tidak memiliki perahu. Sedangkan ibunya adalah seorang keturunan bangsawan kerajaan lama Belitong. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (reaksi tokoh dan pelukisan latar), yang terdapat dalam kutipan berikut ini:

(16) Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau bercerita pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawanan burung pelintang pulau mengunjungi pesisir. Burung-burung itu hinggap sebentar di pucuk pohon ketapang demi menebar pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir ini maka hasil melaut tak pernah memadai. Apalagi ia (ayah Lintang) hanya semacam petani penggarap, bukan karena ia tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu.(hlm.10-11)

(17) Ibunya Lintang, seperti halnya Bu Mus dan Sahara, adalah seorang N.A. Itu adalah singkatan dari Nyi Ayu, yakni sebuah gelar bangsawan kerajaan lama belitong khusus bagi wanita dari ayah seorang K.A atau Ki Agus. Adat istiadat menyarankan gelar itu diputus pada seorang wanita sehingga Lintang dan adik-adik perempuannya tak menyandang K.A. dan N.A. di depan nama-nama mereka….(hlm.97)

Lintang adalah seorang anak yang ramah dan senang membantu teman yang kesulitan dalam memahami pelajaran. Kepintarannya tidak membuatnya

sombong dan mau berbagi ilmu dengan teman-temannya. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (tingkah laku dan reaksi tokoh lain), yang terdapat dalam kutipan berikut ini:

(18) Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan….(hlm.12)

(19) Jika kami kesulitan, ia mengajari kami dengan sabar dan selalu membesarkan hati kami. Keunggulannya tidak menimbulkan perasaan terancam bagi sekitarnya, kecemerlangannya tidak menerbitkan iri dengki, dan kehebatannya tidak sedikit pun mengisyaratkan sifat-sifat angkuh. Kami bangga dan jatuh hati padanya sebagai seorang sahabat dan seoarng murid yang cerdas luar biasa. Lintang yang miskin adalah mutiara, galena, kuarsa, dan topas bagi kelas kami.(hlm.109)

Lintang adalah seorang anak yang pemberani, pantang menyerah, dan rajin. Tak pernah sehari pun ia membolos sekolah, walaupun hanya untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri di akhir jam sekolah. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik ekspositori, yang terdapat dalam kutipan berikut ini:

(20) “Tapi sudah dari setengah perjalanan sudah, aku (Lintang) tak ‘kan kembali pulang gara-gara buaya bodoh ini, tak ada kata bolos dalam kamusku, dan hari ini ada tarikh Islam, mata pelajaran yang menarik. Ingin kudebatkan kisah ayat-ayat suci yang memastikan kemenangan Byzantium tujuh tahun sebelum kejadian. Sudah siang, aku maju sedikit, aku pasti terlambat tiba di sekolah.” (hlm.88)

(21) Lintang memang tak memiliki pengalaman emosional dengan Bondega seperti yang aku alami, tapi bukan sekali itu ia dihadang buaya dalam perjalanan ke sekolah. Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak sehari pun dia bolos….(hlm.93)

(22) … Suatu hari rantai sepedanya putus dan tak bisa disambung lagi karena sudah terlalu pendek sebab terlalu sering putus, tapi ia (Lintang) tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan

kilometer, dan sampai di sekolah kami sudah siap-siap akan pulang. Saat itu adalah pelajaran seni suara dan dia begitu bahagia karena masih sempat menyanyikan lagu Padamu Negeri

di depan kelas. Kami termenung mendengarkan ia bernyanyi dengan sepenuh jiwa, tak tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka. Setelah itu ia pulang dengan menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer.(hlm.94)

Lintang adalah anak yang pintar dan genius. Ia selalu mendapatkan nilai-nilai yang jauh di atas rata-rata. Kegeniusan ini mengantar Lintang pada lomba kecerdasan antarsekolah. Lintang mampu mengaharumkan nama sekolah Muhammadiyah yang menjuarai perlombaan itu. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (reaksi tokoh lain), yang terdapat dalam kutipan berikut ini:

(23) “Lintang mampu menjawab sebuah pertanyaan matematika melalui paling tidak tiga cara, padahal aku hanya mengajarkan satu cara. Dan dia menunjukan padaku bagaimana menemukan jawaban tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah sedikit pun aku ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap. Aku sudah tak bisa lagi mengatasi anak pesisir ini Ibunda Guru.”(hlm.123)

(24) Untuk biologi, matematika dan semua variannya: ilmu ukur, aritmetika, aljabar, dan ilmu pengetahuan alam bahkan Bu Mus berani bertanggung jawab untuk memberi nilai sempurna: sepuluh. Kehebatan Lintang tak terbendung, kepiawaiannya mulai kondang seantreo kampung. Dan yang lebih mendebarkan, karena reputasi itu, kami dipertimbangkan untuk diundang mengikuti lomba kecerdasan antarsekolah yang dapat menaikan gengsi sekolah setinggi rasi bintang Auriga. Sudah lama kami tak diundang dalam acara bergengsi ini karena prestasi sekolah selalu di bawah rata-rata.(hlm.124)

(25) Seperti Mahar, Lintang berhasil mengharumkan nama perguruan Muhammadiyah. Kami adalah sekolah kampung pertama yang menjuarai perlombaan ini, dan dengan sebuah kemenangan mutlak. Air yang menggenang seperti kaca di mata Bu Mus dan laki-laki cemara angin itu kini menjadi butir-butiran yang

berlinang, air mata kemenangan yang mengobati harapan, pengorbanan, dan jerih payah.(hlm.383)

Lintang mempunyai cita-cita menjadi seorang matematikawan. Harapan itu harus ia pendam karena ia tak bisa melanjutkan sekolah dan harus menganggung nafkah keluarganya setelah ditinggal mati ayahnya. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (teknik pikiran dan perasaan).

(26) … Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang matematikawan. Jika ini tercapai ia akan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan, indah sekali.(hlm.344)

(27) Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayahnya, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. Ia harus mengambil alih menganggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus yang berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi.(hlm.430)

Lintang memenuhi harapan ayahnya untuk tidak menjadi nelayan. Ia bekerja sebagai sopir truk. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (reaksi tokoh lain, dan pelukisan fisik), yang terdapat dalam kutipan berikut ini:

(28) “Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tidak menjadi nelayan….”(hlm.472)

(29) Pria kemarin yang menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah satu dari puluhan sopir truk yang tinggal di bedeng ini, duduk di atas dipan, dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. Ia kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang (hlm.468)

Dari kutipan (11) sampai (29) di atas, dapat disimpulkan bahwa Lintang adalah tokoh yang berwajah manis dan berambut keriting (11-12). Penampilannya sangat sederhana. Tubuhnya tak terawat, kotor, dan berbau hangus (13). Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pesisir pantai, yaitu sebuah wilayah paling timur di Sumatra (14). Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Lintang mempunyai lima adik perempuan dan ia tinggal bersama empat belas anggota keluarga lainnya (15). Ayah Lintang adalah seorang nelayan yang bekerja sebagai petani penggarap karena ia tidak memiliki perahu (16). Sedangkan ibunya adalah seorang keturunan bangsawan kerajaan lama Belitong (17). Lintang adalah sosok yang ramah (18) dan suka menolong teman yang mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran. Ia tidak segan untuk berbagi ilmu kepada temannya (19). Lintang adalah seorang anak yang pemberani, pantang menyerah, dan rajin. Tak pernah sehari pun ia membolos sekolah, walaupun hanya untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri di akhir jam sekolah (20-22). Lintang adalah anak yang pintar dan genius (23). Ia selalu mendapatkan nilai-nilai yang jauh di atas rata-rata (24). Kegeniusan ini mengantar Lintang pada lomba kecerdasan antarsekolah. Lintang mampu mengaharumkan nama sekolah Muhammadiyah yang menjuarai perlombaan itu (25). Lintang mempunyai cita-cita menjadi seorang matematikawan (26). Harapan itu harus ia pendam karena ia tak bisa melanjutkan sekolah dan harus menganggung nafkah keluarganya setelah ditinggal mati ayahnya (27). Lintang memenuhi harapan ayahnya untuk tidak menjadi nelayan. Ia bekerja sebagai sopir truk (28)

2.2.3 Mahar

Mahar adalah anak yang pekerja keras. Ia memiliki tangan yang berminyak dan kuku-kuku yang cacat. Ia juga berpenampilan etnik dengan aksesori-aksesorinya Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik (pelukisan fisik), dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:

(30) … Tampak jelas jari-jari kurusnya yang berminyak seperti lilin dan ujung-ujung kukunya bertaburan bekas-bekas luka kecil sehingga seluruh kukunya hampir cacat. Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan sebagai pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang Tionghoa miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam memeras ampas kelapa sehingga tampak licin, sedangkan jemari dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut yang tajam dan berputar kencang….(hlm.134-135)

(31) … Mahar dengan aksesori-aksesori etniknya ibarat orang yang dititipi Engelbert Humperdink suara emas yang diwarisi Salvador Dali sikap-sikap nyentrik….(hlm.141)

Mahar adalah seniman yang imajinatif dan penuh dengan ide-ide gila yang kreativ. Ia menciptakan hal-hal yang tidak biasanya. Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik (tingkah laku).

(31) Mahluk ini bukan acanthopholis, sauropodomorphas, kera

anthropoid, dinasaurus atau saurus-saurus semacamnya, dan bukan pula mahluk-mahluk prasejarah seperti yang telah kita kenal. Sebaliknya, Mahar membuat sebuah cetakan fosil kelelawar raksasa semacam Palaeochiropterxy tupaiodon tapi dengan bentuk yang dimodifikasi sehingga tampak ganjil dan mengerikan. Anatomi mahluk itu tentu tidak pernah teridentifikasi oleh para ahli karena ia hanya ada di kepala Mahar, di dalam imajinasi seorang seniman.(hlm.145)

(32) … Ia tak pernah kehabisan ide. Kreativitasnya tak terduga, unik, tak biasa, memberontak, segar, dan menerobos. Misalnya, ia melatih kera peliharaannya sedemikian rupa sehingga mampu

berperilaku layaknya seorang instruktur. Maka dalam sebuah penampilan, keranya itu memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang dalam pertunjukan biasa hal itu seharusnya dilakukan sang kera….(hlm.145-146)

Ia menciptakan gerakan tarian yang dipakai untuk lomba karnaval 17 Agustus-an. Dengan tarian itu, sekolah Muhammadiyah berhasil mendapat trofi Penampil Seni Terbaik. Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik (pikiran dan perasaan, dan reaksi tokoh lain), dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:

(33) Setelah itu, setiap sore, di bawah pohon filicium, kami bekerja keras berhari-hari melatih tarian aneh dari negeri yang jauh. Sesuai dengan arahan Mahar tarian ini harus dilakukan dengan gerakan cepat penuh tenaga. Kaki dihentak-hentakkan ke bumi, tangan dibuang ke langit, berputar-putar bersama membentuk formasi lingkaran, kemudian menunduk seperti sapi akan menanduk, lalu melompat berbalik, lari semburat tanpa arah dan mundur kembali ke formasi semula dengan gerakan seperti banteng mundur. Kaki harus mengais tanah dengan garang. Demikian berulang-ulang. Tak ada gerakan santai atau lembut, semua cepat, ganas, rancak, dan patah-patah. Mahar menciptakan koreografi yang keras tapi penuh nilai seni. Asyik ditarikan dan merupakan olah raga yang menyehatkan.(hlm.227)

(34) Sebaliknya kami, delapan ekor ternak dalam koreografi hebat itu, tetap tak tahu semua kejadian yang menggemparkan itu, dan kami juga masih tak tahu ketika Mahar diarak warga Muhammadiyah setelah sekolah menerima trofi bergengsi Penampil Seni Terbaik tahun ini. Trofi yang setelah dua puluh tahun kami idamkan dan selama itu pula bercokol di sekolah PN. Baru pertama kali ini trofi itu dibawa pulang oleh sekolah kampung. Trofi yang tak ‘kan membuat sekolah kami dihina lagi.(hlm.247)

Kesenangan Mahar akan dunia supranatural membuat nilai-nilai ujiannya merosot tajam. Ia terancam tidak dapat mengikuti Ebtanas. Ia yakin bahwa dunia

gelap dapat membantunya lulus ujian. Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik (reaksi tokoh lain dan reaksi tokoh) dan dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:

(35) Artinya Ananda tidak punya sebuah rencana yang positif, tak pernah lagi mau membaca buku dan mengerjakan PR karena menghabiskan waktu untuk kegiatan perdukunan yang membelakangi ayat-ayat Allah.”

Bu Mus mulai terdengar seperti warta berita RRI pukul 7. Lintasan berita: “Nilai-nilai ulanganmu merosot tajam. Kita akan segera menghadapi Ebtanas. Nilaimu bahkan tak memenuhi syarat untuk melalui caturwulan tiga ini. Jika nanti ujian antara-mu masih seperti ini, Ibunda tidak akan mengizinkanantara-mu ikut kelas caturwulan terakhir. Itu artinya kamu tidak boleh ikut Ebtanas.”(hlm.350)

(36) “Aku mencari hikmah dari dunia gelap Ibunda dan penasaran karena keingintahuan. Tuhan akan memberikan pendamping dengan cara yang misterius….”(hlm.351)

(37) Semua orang merubung ingin tahu. Beberapa peminat, termasuk aku, sampai naik ke atas dahan-dahan rendah fillicium agar dapat membaca pesan Tuk. Tangan Mahar gemetar memegang gulungan kertas keramat itu dan wajah Flo memerah girang, ia melonjak-lonjak tak sabar menunggu kejutan yang menyenangkan. Semua orang merasa tegang dan sangat ingin tahu. Mahar perlahan-lahan membuka gulungan kertas itu dan di sana, di kertas itu tertulis dengan jelas:

INILAH PESAN TUK BAYAN TULA UNTUK KALIAN BERDUA,

KALAU INGIN LULUS UJIAN: BUKA BUKU, BELAJAR!!(hlm.424)

Mahar bercita-cita menjadi sutradara dan seorang penasihat spiritual. Tapi ia malah menjadi seorang penulis novel. Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik (arus kesadaran dan reaksi tokoh lain), dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:

(38) Sedangkan Mahar sendiri mengaku bahwa ia mampu menerawang masa depannya. Dan dalam terawangannya itu ia dengan yakin mengatakan bahwa setelah dewasa ia akan menjadi

seorang sutradara sekaligus seorang penasihat spiritual dan

hypnotherapist ternama.(hlm.343)

(39) Aku terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubir bin Awam, cicit langsung tokoh besar

Dokumen terkait