• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.2 Tonsilitis Kronis .1 Definisi .1 Definisi

Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi

pada tonsil palatina yang menetap lebih dari 3 bulan (Tom dan Ballenger, 2003).

14

infeksi subklinis dari tonsil dan dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada

tonsil (Brodsky dan Poje, 2006). Organisme patogen dapat menetap sementara

waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut

kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan (Adams, 2010).

Penyakit pada tonsil merupakan masalah yang sering ditemukan oleh

dokter yang menangani pasien anak. Akibat infeksi dari tonsil dapat

mengakibatkan kelainan pada tonsil, adenoid, daerah sekitarnya maupun secara

sistemik (Brodsky dan Poje, 2006; Tom dan Ballenger, 2003). Anamnesis dan

pemeriksaan fisik diagnostik diperlukan untuk menegakkan diagnosis penyakit

ini. Ukuran tonsil di luar serangan terlihat membesar akibat hiperplasia parenkim

atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripte tonsil disertai dengan hiperemi

ringan yang mengenai plika anterior, pembesaran kelenjar limfe, bertambahnya

jumlah kripte pada tonsil dan apabila tonsil ditekan keluar detritus (Tom dan

Ballenger, 2003; Brodsky dan Poje, 2006; Rusmarjono dan Hermani, 2008).

Gambar 2.6 Pembesaran tonsil (Shah dan Tewfik, 2014).

Brook dan Gober seperti dikutip oleh Hammouda, dkk. (2009)

menjelaskan tonsilitis kronis adalah suatu kondisi yang merujuk kepada adanya

15

Gambar 2.6. Brodsky (2007) menjelaskan durasi maupun beratnya keluhan nyeri

tenggorok dan nyeri menelan sulit dijelaskan. Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri

menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat menetap.

2.2.2 Epidemiologi

Secara epidemiologi tonsilitis kronis sering terjadi pada anak-anak usia 2-3

tahun dan sering meningkat pada usia 5-12 tahun. Tonsilitis paling sering terjadi

di negara subtropis. Pada negara iklim dingin angka kejadian lebih tinggi

dibandingkan dengan yang terjadi di negara tropis, infeksi Streptococcus terjadi di

sepanjang tahun terutama pada waktu musim dingin (Rusmarjono dan Soepardi,

2008). Menurut penelitian Kisve, dkk. (2009) diperoleh data tonsilitis kronis

terbanyak 294 penderita pada kelompok usia 5-12 tahun. Lebih kurang 10% anak

di Amerika Serikat dilakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin setiap tahunnya,

ditemukan tonsilofaringitis 25-50% positif dengan Streptococcus β hemoliticus

grup A, dimana 20% asimtomatik sebagai karier dalam waktu yang lama. Insiden

tertinggi ditemukan pada anak sekolah usia 4-7 tahun, jarang pada anak kurang

dari 3 tahun. Pada penelitian yang dilakukan di RS. Serawak di Malaysia

diperoleh 657 data penderita tonsilitis kronis, didapatkan pada laki-laki 342 (52%)

dan perempuan 315 (48%) (Sing, 2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di

RS Pravara di India dari 203 penderita tonsilitis kronis, sebanyak 98 (48%)

berjenis kelamin laki-laki dan 105 (52%) berjenis kelamin perempuan (Awan,

dkk., 2009). Pada penelitian Farokah (2007) mengenai hubungan tonsilitis kronis

16

didapatkan prevalensi penderita tonsilitis kronis sebesar 50% dan dengan hasil

penelitian terdapat hubungan bermakna antara tonsilitis kronis dan prestasi belajar

siswa.

Dari hasil penelitian kultur apusan tenggorok didapatkan gram positif

sebagai penyebab tersering tonsilitis kronis yaitu Streptococcus α kemudian diikuti Staphilococcus aureus, Streptococcus β hemoliticus grup A,

Staphilococcus epidermis dan kuman gram negatif berupa Enterobacter,

Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan Escherchia coli. Pada tonsilitis kronis

Streptococcus β hemoliticus grup A lebih banyak dijumpai pada bagian dalam tonsil daripada permukaan tonsil (Rusmarjono dan Soepardi, 2008).

2.2.3 Etiologi

Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptenya

secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhirup oleh hidung

kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil, maupun secara foodborn yaitu melalui

mulut masuk bersama makanan (Mawson, 2004; Farokah, 2007). Etiologi

penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang

mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat terjadi

bila fase resolusi tidak sempurna (Kvestad, 2005).

Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman yang sering adalah

Streptococcus β hemoliticus grup A. Selain itu terdapat Streptococcus viridian dan

Streptococcus pyogenes, Streptococcus grup B dan C, Stafilococcus, Hemophilus

17

dilakukan kultur apusan tenggorok , namun terkadang ditemukan bakteri golongan

gram negatif (Brodsky dan Poje, 2006; Adams, 2010).

Beberapa faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis ialah kebersihan

gigi dan mulut yang buruk, rangsangan menahun atau iritasi kronis akibat rokok,

beberapa jenis makanan (perilaku pola makan dan kebiasaan jajan pada anak),

sistem imun tubuh yang rendah, alergi (iritasi kronis dari alergen), pengaruh

cuaca, keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik). Tonsilitis kronis yang terjadi

pada anak mungkin disebabkan oleh karena pengobatan tonsilitis akut yang tidak

adekuat, tidak diobati dengan tepat atau dibiarkan begitu saja (Brodsky dan Poje,

2006; Adams, 2010).

2.2.4 Patofisiologi

Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripte tonsil mengakibatkan

peningkatan statis debris maupun antigen di dalam kripte, juga terjadi penurunan

integritas epitel kripte sehingga memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil.

Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil yang normal jarang ditemukan

adanya bakteri pada kripte, namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri

yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap di dalam kripte tonsil menjadi sumber

infeksi yang berulang terhadap tonsil sehingga pada suatu waktu tonsil tidak dapat

membunuh semua kuman dan kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah

fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi fokal infeksi dan suatu saat

kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan

18

Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil, karena proses

radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada

proses penyembuhan jaringan limfoid digantikan oleh jaringan parut yang akan

mengerut sehingga kripte akan melebar, ruang antara kelompok melebar yang

akan diisi oleh detritus, yaitu: akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati,

dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat berwarna kekuningan. Proses ini

meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan

sekitar fosa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini disertai pembesaran kelenjar

limfe submandibula (Brodsky dan Poje, 2006).

2.2.5 Diagnosis

Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis

akut yang berulang, adanya rasa sakit pada tenggorok yang terus-menerus

(odinofagi), sakit waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di tenggorok

bila menelan, terasa kering dan nafas bau busuk (halitosis), nafsu makan menurun,

malaise, terkadang disertai panas badan tinggi (Brodsky dan Poje, 2006;

Rusmarjono dan Hermani, 2008; Adams, 2010). Nyeri ketika tonsilitis meradang

dapat menjalar ke sekitar leher dan telinga (Gotlieb, 2005).

Dalam penelitian mengenai aspek epidemiologi faringitis didapatkan 63

penderita tonsilitis kronis sebanyak 41,3% diantaranya mengeluh nyeri tenggorok

sebagai keluhan utama, 27% penderita tonsilitis kronis dengan halitosis akibat

debris yang tertahan di dalam kripte tonsil yang kemudian dapat menjadi sumber

19

terjadinya obstruksi sehingga timbul gangguan menelan, sleep apneu dan

gangguan suara (sengau) pada malam hari, (Brodsk, 2007; Dhingra, 2007;

Shnayder, dkk., 2008; Hammouda, dkk., 2009).

Pemeriksaan tonsil dilakukan dengan memeriksa rongga mulut yang

hampir sehari-hari dikerjakan oleh setiap dokter, seperti disajikan pada Gambar

2.7. Pemeriksaan sederhana ini terkadang tidak mudah karena memerlukan

kerjasama yang baik dengan penderita.

Gambar 2.7 Pemeriksaan tonsil pada anak (Shah dan Tewfik, 2014)

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembesaran tonsil dalam berbagai

ukuran (hipertrofi tonsil), dengan pembuluh darah dilatasi pada permukaan tonsil,

arsitektur kripte sebagian mengalami stenosis, eksudat (purulen) pada kripte tonsil

dan sikatrik (jaringan parut) pada pilar. Pada beberapa kasus, kripte membesar dan

detritus seperti keju atau dempul pada kripte yang tampak jika tonsil ditekan

dengan spatula lidah pada pilar anterior. (Gotlieb, 2005; Brodsky dan Poje, 2006;

Brodsky, 2007), Pilar anterior berwarna kemerahan bila dibanding dengan mukosa

faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil

(Dhingra, 2007). Kelenjar limfe leher dapat membesar tetapi tidak terdapat nyeri

20

Terdapat dua macam gambaran tonsil dari tonsilitis kronis yang mungkin

tampak, yakni: tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan

ke jaringan sekitar mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput,

terkadang seperti terpendam di dalam bed tonsil (Adams, 2010; Drake dan Carr,

2013).

Standar pemeriksaan tonsil, diklasifikasikan berdasarkan rasio tonsil

terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan

dan kiri, dapat dilihat pada Gambar 2.8. Penilaian tersebut sebagai berikut:

T0: tonsil terletak pada fosa tonsil atau tonsil sudah diangkat, T1: bila tonsil

mengisi <25% orofaring, T2: 25% sampai <50%, T3: >50% sampai 75%, T4:

>75% (Brodsky dan Poje, 2006).

Gambar 2.8 Ukuran pembesaran tonsil (Brodsky dan Poje, 2006)

Pembagian pembesaran tonsil lainnya, dapat dilihat pada Gambar 2.9, sebagai berikut (Adams, 2010; Jeyakumar, dkk., 2013):

1. T0: tonsil terletak pada fosa tonsil (tidak mengalami pembesaran) atau post tonsilektomi

2. T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ antara jarak pilar anterior-uvula atau tonsil masih terbatas dalam fosa tonsil

3. T2: batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula atau sudah melewati pilar anterior tetapi belum melewati garis paramedian (pilar posterior)

21

4. T3: batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula atau sudah melewati garis paramedian tetapi belum melewati garis median

5. T4: batas medial tonsil melewati ¾ atau lebih jarak pilar anterior-uvula atau sudah melewati garis median

Gambar 2.9 Batas pembesaran tonsil (Adams, 2010; Jeyakumar, dkk., 2013)

Penelitian di Denizli Turkey yang dilakukan pada 1.784 usia anak sekolah

4-17 tahun didapatkan data ukuran tonsil terbanyak yakni: T1: 1.119 (62%), T2:

507 (28,4%), T3: 58 (3,3%), dan T4: 2 (0,1%) (Akcay, 2006).

2.2.6 Penatalaksanaan

Tonsilitis kronis kebanyakan berasal dari bakteri yang terdapat di

parenkim tonsil dibanding permukaan tonsil, sehingga swab dari permukaan tonsil

saja dapat menjadi keliru. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotik

sesuai kultur. Pemberian antibiotik yang bermanfaat pada penderita tonsilitis

kronis cefalosporin ditambah metronidazole, klindamisin, amoksisilin dengan

asam klavulanat jika bukan disebabkan mononukleosis (Lee, 2008; Adams, 2010).

Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering

22

jaringan tonsil palatina dari fosa tonsil (Tom dan Jacobs, 2003; Health

Technology assessment, 2004; Brodsky dan Poje, 2006; Lee, 2008; Adams, 2010;

Jeyakumar, dkk., 2013). Kaedah tonsilektomi sangat efektif dilakukan pada anak

yang menderita tonsilitis kronis dan berulang dan indikasi absolut karena adanya

sumbatan jalan napas akibat hipertrofi tonsil, tetapi tonsilektomi dapat

menimbulkan berbagai masalah dan berisiko menimbulkan komplikasi seperti

perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi (Skevas, dkk., 2010;

Drake dan Carr, 2013).

Tonsilitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara simptomatik.

Obat kumur, analgetik, dan antipiretik biasanya dapat membantu. Gejala yang

timbul biasanya akan hilang sendiri. Efektivitas penggunaan obat kumur masih

dipertanyakan, karena bisa saja saat berkumur tidak mengenai tonsil tetapi lebih

banyak mengenai dinding faring (Desai, dkk., 2008; Adams, 2010).

2.2.7 Komplikasi

Komplikasi tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke

daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil.

Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut (Brodsky

dan Poje, 2006): a) Komplikasi sekitar tonsil: peritonsilitis, abses peritonsilar

(Quinsy), abses parafaringeal, abses retrofaring, krista tonsil, maupun tonsilolith

(kalkulus dari tonsil); b) Komplikasi ke organ jauh: demam rematik dan penyakit

Dokumen terkait