• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN TINGKAT KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT DENGAN PEMBESARAN TONSIL PADA ANAK USIA SEKOLAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN TINGKAT KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT DENGAN PEMBESARAN TONSIL PADA ANAK USIA SEKOLAH."

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

HUBUNGAN TINGKAT KEBERSIHAN GIGI DAN

MULUT DENGAN PEMBESARAN TONSIL PADA

ANAK USIA SEKOLAH

ADE ARI SUTRADEWI NIM 1014078201

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

HUBUNGAN TINGKAT KEBERSIHAN GIGI DAN

MULUT DENGAN PEMBESARAN TONSIL PADA

TONSILITIS KRONIS ANAK USIA SEKOLAH DI SDN

I SUKAWATI GIANYAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

ADE ARI SUTRADEWI NIM 1014078201

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

(3)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 25 FEBRUARI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.T.H.T.K.L (K)FICS Prof.Dr.dr.N. Adiputra,

PFK,MOH,Sp.Erg

NIP : 19691005 199903 1 001 NIP : 19471211 1976 02 1 001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih,M.Sc,Sp.GK Prof.Dr.dr.A.A Raka Sudewi, Sp.S

(K)

(4)

HUBUNGAN TINGKAT KEBERSIHAN GIGI DAN

MULUT DENGAN PEMBESARAN TONSIL PADA

TONSILITIS KRONIS ANAK USIA SEKOLAH DI SDN

I SUKAWATI GIANYAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

ADE ARI SUTRADEWI NIM 1014078201

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke

hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas

asung wara nugraha-Nya/ berkat karunia-Nya maka tersusunlah sebuah karya tulis

tesis untuk memperoleh gelar pascasarjana kekhususan kedokteran klinik dan

keahlian di bidang T.H.T.K.L ini dapat diselesaikan. Tulisan tesis ini merupakan

suatu karya akhir yang dilatarbelakangi oleh suatu keinginan dan harapan bagi

perkembangan keilmuan di bidang T.H.T.K.L

Karya tulis ini dapat diselesaikan berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan

peran serta berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis dengan tulus ingin

menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD

dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu

Astawa, Sp.OT(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan

Kedokteran Klinik (combined degree) dan PPDS I Ilmu THT-KL.

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka

Sudewi, Sp.S(K) dan Ketua Program Studi Pascasarjana Kekhususan

Kedokteran Klinik (combined degree), Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna

Pinatih, M.Sc, Sp.GK yang telah memberikan kesempatan penulis untuk

menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik

(6)

3. dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, sebagai direktur utama RSUP Sanglah

Denpasar serta seluruh jajaran direksi dan staf, atas segala fasilitas yang

disediakan dan diberikan selama penulis mengikuti pendidikan spesialis.

4. dr. Eka Putra Setiawan, Sp.THT-KL(K), sebagai Kepala Bagian Ilmu

Kesehatan THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala

motivasi dan bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan spesialis.

5. dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.THT-KL(K), sebagai Sekretaris Program Studi

PPDS I Ilmu Kesehatan THT-KL dan juga sebagai pembimbing I, atas

segala waktu, dorongan dan bimbingan kepada penulis yang diberikan

sejak awal sampai akhir pendidikan spesialis.

6. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, PFK, MOH, Sp. Erg sebagai pembimbing II atas

segala waktu dan bimbingannya selama ini.

7. dr. I Dewa Gede Arta Eka Putra, Sp.THT-KL sebagai Ketua Program

Studi PPDS I Ilmu Kesehatan THT-KL dan dr. I Wayan Sucipta,

Sp.THT-KL sebagai Sekretaris Bagian Ilmu Kesehatan THT-Sp.THT-KL FK UNUD/RSUP

Sanglah Denpasar, serta semua para supervisor konsulen di bagian SMF

THT-KL FK UNUD/ RSUP Sanglah atas segala kesempatan, bimbingan,

dan motivasi selama pendidikan.

8. dr. Tangking W., MPH atas bimbingan statistika mulai dari awal proposal

sampai tesis.

9. Prof. dr. Wayan Suardana, Sp.THT-KL(K) dan Dr. dr. I Made Muliarta,

M.Kes yang juga sebagai penguji dari proposal sampai tesis.

10.Para senior dan rekan-rekan residen atas bantuan dan kerjasamanya selama

(7)

11.Ayahanda, drg. Made Suthanaya, Sp.BM, Ibunda tercinta, Dra. Luh Putu

Aswitari, M.Si maupun adik-adik saya, drg. Nyoman Ayu Anggayanti,

M.Biomed dan Agung Ary Sutawinata serta keluarga besar saya atas

segala pengorbanan, dukungan baik material, doa dan motivasinya selama

penulis menempuh pendidikan spesialis.

12.Suami saya, dr. Beny Surya Wijaya, M.Biomed, Sp.PD atas pengertian

dan pengorbanan dalam mendampingi penulis selama menjalani masa

pendidikan serta mertua saya, dr. Wayan Darwata, MPH. dan Ni Made

Sariani atas dukungan doa dan motivasinya selama penulis menempuh

pendidikan.

13.Semua pihak yang telah membantu karya akhir ini yang tidak bisa

disebutkan satu persatu.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa selalu

senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya kepada semua pihak atas

kebaikan yang telah dilakukan dalam membantu pelaksanaan dan penyelesaian

tesis ini.

Denpasar, Januari 2016

(8)

ABSTRAK

HUBUNGAN TINGKAT KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT DENGAN PEMBESARAN TONSIL PADA ANAK USIA SEKOLAH

Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronis pada tonsil palatina yang pada umumnya disebabkan infeksi bakteri dan virus, terbanyak dialami pada usia 5-12 tahun. Pada anak kemungkinan disebabkan tonsilitis akut yang berulang atau infeksi subklinis yang tidak diterapi ataupun terapi tidak adekuat, rangsangan menahun dari beberapa jenis makanan serta kebersihan gigi dan mulut yang buruk dapat menjadi salah satu faktor risikonya. Terjadi peningkatan timbunan plak gigi pada anak dengan kebersihan gigi dan mulut yang buruk. Mengukur tingkat kebersihan gigi dan mulut secara objektif digunakan indeks plak Personal

Hygiene Performance-Modified atau PHP-M dengan menggunakan indikator

disclosing agent. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan terdapat hubungan

antara tingkat kebersihan gigi dan mulut dengan pembesaran tonsil pada anak usia sekolah.

Metode penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan potong lintang. Sampel yang diambil menggunakan random sampling

pada anak usia sekolah dengan tonsilitis kronis kelas 1-3 SDN I Sukawati Gianyar sebanyak 107 responden. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan observasi serta analisis data dilakukan dengan uji statistik Chi-Square dengan tingkat kemaknaan p = 0,05.

Hasil yang didapat dalam penelitian ini menunjukkan jumlah responden dengan kebersihan gigi dan mulut yang buruk sebanyak 28 responden dengan pembesaran tonsil ukuran T3-T4 (92,9%) sedangkan responden dengan kebersihan gigi dan mulut yang baik sebanyak 34 responden dengan pembesaran tonsil ukuran T1 (85,3%). Kebanyakan berada pada skor sedang 45 responden dengan pembesaran tonsil T2 (88,9%). Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kebersihan gigi dan mulut dengan pembesaran tonsil pada anak usia sekolah dasar kelas 1-3 SDN I Sukawati Gianyar, dengan nilai p < 0,001 (p < 0,05).

Menjaga kebersihan gigi dan mulut merupakan upaya untuk mencegah terjadinya tonsilitis kronis.

Kata kunci: Kebersihan gigi dan mulut, Pembesaran tonsil, Anak

ABSTRACT

(9)

Chronic tonsillitis is chronic inflammation of the palatine tonsils which is generally caused by bacteria and viruses infections that mostly occur at the age 5-12 years. Chronic tonsillitis in children may be caused by repeated acute tonsillitis, or treated acute tonsillitis with inadequate treatment, chronic stimulation caused by food, with poor oral hygiene can be as risk factor. Increasing of dental plaque accumulation in children. Objectively measuring of oral hygiene level can be used with the plaque index. Personal Hygiene

Performance-Modified or PHP-M is the plaque index measuring tool that using

disclosing agent. This study aims to prove the relationship between oral hygiene levels and tonsillar hypertrophy in school age children.

The method used is observational analytic cross sectional study.This study was by simple random sampling technique, population in chronic tonsillitis school age children classes 1 to 3 SDN I Sukawati Gianyar, the number of samples in this sudy were 107 respondents. The data collection taken by both questionaire and observation. Data analysis using statistical test Chi-Square with a significance level of p = 0,05.

The results of this research show the number of respondents with poor oral hygiene were 28 respondents tonsillar hypertrophy sizes T3-T4 (92,9%) while good oral hygiene were 34 respondents tonsillar hypertrophy with tonsils sizes T1 (85,3%). Mostly respondent in this study has moderate score of PHP-M, 45 respondent with tonsils sizes T2 (88,9%). There was significant relationship between oral hygiene levels and tonsillar hypertrophy in school age children classes 1-3 SDN I Sukawati Gianyar, with the p-value being < 0,001 (p < 0,05). Maintenance oral hygiene is an attempt to prevent the occurrence of chronic tonsillitis

(10)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

(11)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.3.6 Indeks Kebersihan Rongga Mulut ... 27

2.3.7 Disclosing Agent ... 29

2.4 Hubungan Kebersihan Gigi dan Mulut Dengan Tonsilitis Kronis .... 30

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

(12)

3.1 Kerangka Berpikir ... 32

3.2 Kerangka Konsep ... 33

3.3 Hipotesis Penelitian ... 33

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 34

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34

4.3 Subjek dan Sampel Penelitian ... 35

4.3.1 Populasi Penelitian ... 35

4.3.2 Teknik Pemilihan Sampel ... 35

4.3.3 Kriteria Sampel ... 35

4.3.4 Besar Sampel ... 36

4.4 Variabel Penelitian ... 37

4.4.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel ... 37

4.5 Definisi Operasional Variabel ... 37

4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian ... 39

4.7 Prosedur Kerja ... 39

4.8 Alur Penelitian ... 41

4.9 Analisis Data ... 42

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 44

(13)

5.2.2 Gambaran Skor Indeks Plak Gigi PHP-M ... 47

5.3 Hubungan Umur dengan Pembesaran Tonsil ... 47

5.4 Hubungan Jenis Kelamin dengan Pembesaran Tonsil ... 48

5.5.1 Hubungan Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut dengan Pembesaran Tonsil ... 48

5.5.2 Korelasi antara Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut dengan Pembesaran Tonsil ... 50

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 52

6.2 Hubungan Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Indeks Plak Gigi PHP-M dengan Pembesaran Tonsil ... 55

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 58

7.2 Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1.1 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Umur ... 44

Tabel 5.1.2 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin ... 45

Tabel 5.1.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pola Makan dan Kebiasaan Jajan ... 46

Tabel 5.2.1 Gambaran Pembesaran Tonsil ... 46

Tabel 5.2.2 Gambaran Skor Indeks Plak Gigi PHP-M ... 47

Tabel 5.3 Hubungan antara Umur dengan Pembesaran Tonsil ... 47

Tabel 5.4 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Pembesaran Tonsil ... 48

Tabel 5.5.1 Hubungan antara Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Indeks Plak Gigi PHP-M dengan Pembesaran Tonsil ... 49

Tabel 5.5.2 Korelasi antara Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut dengan Pembesaran Tonsil... 50

(15)

Gambar 2.1 Cincin Waldeyer Tampak Lateral ... 6

Gambar 2.2 Tonsil Pada Pemeriksaan Orofaring ... 7

Gambar 2.3 Suplai Darah Tonsil ... 9

Gambar 2.4 Kapsul Tonsil ... 10

Gambar 2.5 Bentukan Molekul Dimer IgA ... 12

Gambar 2.6 Tonsilitis Kronis Dengan Hipertrofi Tonsil ... 14

Gambar 2.7 Pemeriksaa Tonsil Pada Anak ... 18

Gambar 2.8 Ukuran Pembesaran Tonsil ... 19

Gambar 2.9 Batas Ukuran Pembesaran Tonsil ... 20

Gambar 2.10.A Plak Supragingiva ... 27

Gambar 2.10. B Plak Subgingiva ... 27

Gambar 2.11 Area Skor Indeks PHP-M ... 28

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian ... 33

Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian ... 34

Gambar 4.2 Bagan Hubungan Antar Variabel ... 37

Gambar 4.3 Skor Indeks PHP-M ... 40

Gambar 4.4 Bagan Alur Penelitian ... 41

Gambar 5.5.2 Scatter plot Tingkat Kerbersihan Gigi dan Mulut dengan Pembersaran Tonsil ... 50

(16)

SINGKATAN

APCs : Antigen Presenting Cells

HTA : Health Technology Assessment

IFN : Interferon

Ig : Imunoglobulin

IL : Interleukin

IMT : Indeks Massa Tubuh

ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut

M : Micropore

MALT : Mucosal Associated Lymphoid Tissues

OHI-S : Oral Hygiene Index Score

PHP-M : Personal Hygiene Performance-Modified

PUSKESMAS : Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat

RI : Republik Indonesia

RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SD : Sekolah Dasar

Th : T helper

THT-KL : Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher

TNF : Tumor Necrosis Factor

WHO : World Health Organization

SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga

OR : Odd Rasio

(17)

SD : Standar Deviasi (Simpang Baku)

TANDA

% : Persentase

α : Alpha ( Tingkat kemaknaan )

< : Lebih kecil

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Keterangan Kelaikan Etik ... 66

Lampiran 2 Lembar Informasi Subjek Penelitian ... 67

Lampiran 3 Surat Pernyataan Persetujuan ... 69

Lampiran 4 Lembar Pemeriksaan Penelitian ... 70

Lampiran 5 Foto Dokumentasi Penelitian ... 73

Lampiran 6 Hasil Pengolahan Data Penelitian ... 76

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering dari semua

penyakit tenggorokan berulang. Kegagalan atau ketidaksesuaian terapi antibiotik

pada penderita tonsilitis akut akan mengubah mikroflora pada tonsil, struktur pada

kripte tonsil, dan adanya infeksi virus atau bakteri golongan Streptococcus

menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronis

(Dias, dkk., 2009; Kurien, dkk., 2013).

Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina, dapat terjadi pada semua

umur, terutama pada anak. Tonsilitis kronis sering terjadi usia 2-3 tahun dan

meningkat pada anak usia 5-12 tahun. Penderita tonsilitis merupakan pasien yang

sering datang pada praktek dokter ahli bagian telinga hidung tenggorok-bedah

kepala dan leher (THT-KL), dokter anak, maupun tempat pelayanan kesehatan

lainnya (Brodsky dan Poje, 2006). Tonsilitis juga merupakan salah satu penyebab

ketidakhadiran anak di sekolah (Mohan, dkk., 2014). Umumnya anak tidak

menyadari bahwa tonsil mereka telah mengalami hipertrofi, bahkan sebagian dari

mereka telah lama merasakan gejala tonsilitis yang sifatnya selalu berulang seperti

nyeri saat menelan yang disertai demam pada tubuh. Hipertrofi tonsil dapat

menyebabkan sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan

berbicara dan cor pulmonale, menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan

gangguan pertumbuhan orofasial (Rusmarjono dan Soepardi, 2008) yang

(20)

2

2004). Tonsilitis kronis paling sering terjadi di negara subtropis. Pada negara

iklim dingin angka kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan yang terjadi di

negara tropis, infeksi Streptococcus terjadi sepanjang tahun terutama pada waktu

musim dingin (Adams, 2010).

Menurut World Health Organization (WHO), pola penyakit THT berbeda

di berbagai negara. Faktor lingkungan dan sosial berhubungan terhadap etiologi

infeksi penyakit. Islamabad-Pakistan selama 10 tahun (Januari 1998-Desember

2007) dari 68.488 kunjungan pasien didapatkan penyakit tonsilitis kronis

merupakan penyakit paling banyak dijumpai yakni sebanyak 15.067 (22%)

penderita (Awan, dkk., 2009). Sementara penelitian yang dilakukan di Malysia

pada poli THT Rumah Sakit Sarawak selama 1 tahun dijumpai 8.118 kunjungan

pasien dan jumlah penderita tonsilitis kronis menempati urutan keempat yakni

sebanyak 657 (8,1%) (Sing, 2007). Menurut penelitian di Rusia mengenai

prevalensi dan pencegahan keluarga dengan tonsilitis kronis didapatkan data

bahwa sebanyak 84 (26,3%) dari 307 ibu usia produktif didiagnosis tonsilitis

kronis (Kasanov, dkk., 2006). Jumlah penderita tonsilitis kronis di Indonesia terus

meningkat, berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada tujuh provinsi di

Indonesia pada tahun 2012, prevalensi tonsilitis kronis tertinggi setelah

nasofaringitis akut yaitu sebesar 3,8%. Insiden tonsilitis kronis di Rumah Sakit

Umum Pusat (RSUP) dr. Kariadi Semarang 23,36% dan 47% diantaranya pada

usia 6-15 tahun (Farokah, 2007). Pada profil kesehatan Provinsi Bali, data rekam

medik di Puskesmas Sukawati I Kabupaten Gianyar, diketahui jumlah penderita

tonsilitis sebanyak 56 orang pada tahun 2014. Data bulan Januari sampai bulan

(21)

3

sebagian besar anak mengalami tonsilitis kronis karena perilaku pola makan

mengkonsumsi makanan seperti gorengan dan minuman dingin seperti es,

kebiasaan mengkonsumsi makanan dan minuman yang dijual dimana

kebersihannya kurang terjamin, dan kurangnya pemeliharaan kesehatan gigi dan

mulut (Hariyani, 2011).

Kebersihan gigi dan mulut merupakan salah satu masalah kesehatan

masyarakat yang memerlukan penanganan secara komprehensif karena

dampaknya sangat luas pada kesehatan tubuh. Kebersihan gigi dan mulut adalah

tindakan untuk membersihkan rongga mulut, gigi, dan gusi untuk mencegah

penularan penyakit melalui mulut, meningkatkan daya tahan tubuh, serta

mencegah penyakit rongga mulut (Hermawan, 2010). Kebersihan gigi dan mulut

yang buruk dapat berlanjut menjadi salah satu faktor risiko timbulnya berbagai

penyakit di rongga mulut seperti penyakit gingivitis, tonsilitis, karsinoma rongga

mulut, infeksi jamur dan karies gigi. Di Indonesia penyakit gigi dan mulut

terutama karies masih banyak diderita, baik oleh anak-anak maupun dewasa.

Penyakit yang sering terjadi pada anak adalah karies gigi. Hasil Riset Kesehatan

Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, menunjukkan prevalensi nasional penyakit gigi

dan mulut adalah 23,4%. Karies gigi menjadi salah satu masalah kesehatan serius

pada anak usia sekolah. Prevalensi karies gigi mencapai 85% pada anak usia

sekolah (Lukihardianti, 2012). Anak usia 6-15 tahun merupakan kelompok usia

kritis dan memiliki masa transisi gigi susu ke gigi permanen, sehingga diperlukan

edukasi tentang kebersihan gigi dan mulut termasuk diantaranya menggosok gigi

(22)

4

Penelitian terbaru Satku (2005) menunjukkan tonsilitis kronis berkaitan

dengan buruknya kebersihan gigi dan mulut. Terjadi peningkatan timbunan plak

gigi pada anak seiring dengan bertambahnya usia pada kebersihan gigi dan mulut

yang buruk (Mbawalla, dkk., 2010). Dari hasil studi oleh Eryaman, dkk. (2013)

pada 80 anak, mengenai hubungan kebersihan gigi dan mulut menggunakan

indeks Oral Hygiene Index Score (OHI-S) dengan hipertrofi tonsil didapatkan

prevalensi ukuran pembesaran tonsil T1 sebesar 13,1%, T2: 42,1%, T3: 31,6%

dan T4: 10,5% dan dengan hasil penelitian hubungan yang tidak bermakna. Siti

(2011) melakukan penelitian pada 220 anak usia sekolah kelas 1-6 di kota Medan,

didapatkan responden dengan riwayat perawatan gigi yang buruk mempunyai

persentase menderita tonsilitis kronis lebih tinggi berbanding responden dengan

riwayat perawatan gigi yang baik sebesar 77,6%.

Studi mengenai hubungan kebersihan gigi dan mulut dengan kejadian

tonsilitis kronis masih sedikit. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui

tentang hubungan tingkat kebersihan gigi dan mulut dengan pembesaran tonsil

pada tonsilitis kronis anak usia sekolah.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara tingkat kebersihan gigi dan mulut

dengan pembesaran tonsil pada anak usia sekolah?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk membuktikan adanya hubungan tingkat kebersihan gigi dan mulut

(23)

5

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

1. Bagi Masyarakat

Penelitian ini akan menjadi informasi dan masukan kepada masyarakat

terutama para orang tua yang mempunyai anak usia sekolah dalam

menjaga dan meningkatkan perawatan kebersihan gigi dan mulut yang

merupakan salah satu usaha pencegahan terjadinya tonsilitis kronis.

2. Bagi Peneliti

Sebagai pengalaman berharga bagi peneliti dalam menerapkan ilmu

metode penelitian dan menambah wawasan pengetahuan tentang hubungan

terjadinya tonsilitis kronis dengan kebersihan gigi dan mulut yang buruk

pada anak usia sekolah.

3. Bagi Institusi

Penelitian ini dapat menjadi bahan refrensi, bahan masukan atau sumber

informasi untuk penelitian berikutnya dan sebagai bahan bacaan di

perpustakaan serta hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk

(24)

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tonsil

2.1.1 Anatomi Tonsil

Tonsil bersama adenoid, tonsil lingual, pita lateral faring, tonsil tubaria

dan sebaran jaringan folikel limfoid membentuk cincin jaringan limfoid yang

dikenal dengan Cincin Waldeyer seperti disajikan pada Gambar 2.1. Cincin

Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap infeksi yang berperan pada reaksi

imun tubuh dan akan mengalami pembesaran lebih cepat pada usia anak-anak

sebagai respon terhadap infeksi saluran nafas atas. Tonsil palatina sebagai sistem

pertahanan tubuh terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau

masuk ke saluran nafas berupa virus, bakteri, dan antigen makanan. Tonsil dan

adenoid merupakan bagian terpenting cincin Waldeyer. Adenoid akan mengalami

regresi pada usia pubertas (Lowry dan Onart, 2003; Wiatrak dan Woolley, 2007).

(25)

7

Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada

kedua sudut orofaring. Tonsil palatina atau tonsil fausial berjumlah sepasang yang

masing-masing sebuah pada tiap sisi orofaring, berbentuk oval seperti buah kenari

dengan panjang 2-5 cm. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang

dibentuk muskulus palatoglosus, dan palatofaringeus sebagai pilar posterior,

bagian medial oleh ruang orofaring, bagian lateral dibatasi oleh muskulus

konstriktor faring superior, bagian superior oleh palatum mole, dan bagian inferior

oleh tonsil lingual, seperti disajikan pada Gambar 2.2. Permukaan lateral tonsil

diselubungi oleh kapsul fibrosa berwarna putih disebut fasia faringeal menutupi

empat per lima bagian tonsil dengan jenis epitel skuamosa berlapis tidak

berkeratin dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam

tonsil membentuk kantong, dikenal dengan kripte (Bluestone, 2006).

Gambar 2.2 Tonsil pada pemeriksaan orofaring (Lowry dan Onart, 2003)

Tonsil palatina mempunyai struktur dasar massa limfoid ditunjang oleh

jaringan penyokong dan memiliki sistem kripte kompleks, hal ini mungkin

menjelaskan tonsil palatina lebih sering terkena penyakit dibanding kompleks

(26)

8

memanjang dari dalam tonsil sampai ke kapsul permukaan luar. Epitel kripte

tonsil merupakan lapisan membran tipis bersifat semipermiabel, sehingga epitel

ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan

untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripte

ikut tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripte yang semakin

longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripte mengakibatkan debris dan

antigen tertahan di dalam kripte tonsil (Brodsky dan Poje, 2006; Bluestone, 2006).

Kripte merupakan sumber infeksi lokal maupun umum karena kripte yang

berlekuk-lekuk menjadikannya mudah tersumbat oleh makanan, lepasnya mukus

sel epitel, leukosit, bakteri dan tumbuhnya bakteri patogen. Permukaan kripte

ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial tonsil.

Tonsil mendapat suplai darah dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,

melalui cabang-cabangnya, yaitu: arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan

cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden. Arteri tonsilaris merupakan

pembuluh utama ke tonsil, berjalan ke atas pada bagian luar muskulus konstriktor

superior, kemudian menyilang muskulus tersebut dan memberi cabang untuk

tonsil dan palatum mole, seperti disajikan pada Gambar 2.3. Arteri palatina

asenden juga memberikan percabangan melalui muskulus konstriktor faring

posterior menuju tonsil. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina

desenden (arteri palatina posterior), mensuplai tonsil dan palatum mole dari

sebelah atas membentuk anastomosis dengan arteri palatina asenden. Arteri

lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal, naik ke dasar lidah dan

(27)

9

juga memberikan cabangnya ke tonsil berjalan keatas melalui bagian luar

muskulus konstriktor faring superior. Sumber perdarahan daerah kutub bawah

tonsil: bagian anterior yaitu arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan

mengirimkan cabangnya ke tonsil, plika anterior dan posterior, bagian posterior

yaitu arteri palatina asenden, dan arteri tonsilaris. Sumber perdarahan daerah

kutub atas tonsil, yaitu: arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden.

Arteri meningeal minor memberikan lebih banyak cabang untuk tonsil, walaupun

perannya tidak begitu penting. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang

bergabung dengan pleksus dari faring. (Lawrence dan Jacobs, 2002; Lowry dan

Onart, 2003; Brodsky dan Poje, 2006; Wiatrak dan Woolley, 2007; Eibling, 2008;

Mogoanta, dkk., 2008; Rusmarjono dan Soepardi, 2008; Hafeez, dkk., 2009;

Adams, 2010; Jeyakumar, dkk., 2013).

Gambar 2.3 Suplai darah tonsil (Lowry dan Onart, 2003)

Aliran getah bening dimulai dari meninggalkan trabekula fibrosis tonsil

melalui kapsul ke muskulus konstriktor superior faring, disajikan pada Gambar

2.4. Beberapa trunkus dari sisi ini menembus fasia bukofaringealis dan memasuki

(28)

10

getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah

muskulus sternokleidomastoideus, dimana akan mengalami peradangan dan nyeri

saat infeksi. Aliran ini selanjutnya ke kelenjar toraks dan berakhir menuju duktus

torasikus inferior dan kemudian memasuki sirkulasi umum. Tonsil hanya

mempunyai pembuluh getah bening eferen. Persarafan atau inervasi tonsil bagian

atas mendapat sensasi dari beberapa cabang nervus palatina serabut saraf kelima

melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari nervus glossofaringeus

(Wiatrak dan Woolley, 2007; Adams, 2010; Jeyakumar, dkk., 2013).

Gambar 2.4 Kapsul tonsil (Wiatrak dan Woolley, 2007)

Secara histologi gambaran mikroskopis tonsil memiliki tiga komponen,

yaitu jaringan ikat, jaringan interfolikuler, dan jaringan germinativum. Jaringan

ikat trabekula atau retikulum berfungsi sebagai penyokong tonsil. Trabekula

merupakan perluasan kapsul tonsil ke parenkim tonsil yang mengandung

pembuluh darah, saraf dan saluran limfetik eferen. Jaringan germinativum terletak

di bagian tengah jaringan tonsil, sebagai sel induk kelompok leukosit pembentuk

sel-sel limfoid muda. Jaringan interfolikuler terdiri dari jaringan limfoid dalam

berbagai tingkat pertumbuhan (Lawrence dan Jacobs, 2002; Bluestone, 2006;

(29)

11

Pada tonsilitis kronis terjadi infiltrasi limfosit ke epitel permukaan tonsil.

Peningkatan jumlah sel plasma di dalam subepitel maupun jaringan interfolikel.

Hiperplasia dan pembentukan fibrosis dari jaringan ikat parenkim dan jaringan

limfoid mengakibatkan terjadinya hipertrofi tonsil (Ugras dan Kutluhan, 2008).

2.1.2 Fisiologi dan Imunologi Tonsil

Tonsil termasuk bagian Mucosal Associated Lymphoid Tissues (MALT),

diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disentisisasi dan

berperan dalam sistem kekebalan permukaan mukosa. Tonsil mempunyai dua

fungsi utama, yaitu: menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif

serta tempat produksi antibodi. Sebagian besar terletak di sekitar kapiler

intraepitel tonsil palatina (Health Technology Assessment, 2004; Ugras dan

Kutluhan, 2008).

Limfosit terbanyak tonsil adalah limfosit B berkisar antara 50-65% dan

limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit. Tonsil berfungsi mematangkan sel

limfosit B menuju mukosa dan kelenjar sekretori di seluruh tubuh. Tonsil selalu

menerima berbagai macam paparan antigen secara langsung (Wiatrak dan

Woolley, 2007; Mogoanta, dkk., 2008; Scadding, 2009).

Transpor antigen pada dasar dan dinding kripte tonsil terdapat sel-sel

khusus micropore (M) dengan bentukan tubulovesikular. Bila tonsil dibelah dan

dilihat dengan mikroskop akan ditemukan banyak bentukan sentrum

germinativum tempat sel T dan sel B. Antigen dari luar, kontak dengan

(30)

12

cells (APCs), sel makrofag dan sel dendrit pada tonsil ke sel T helper (Th) di

sentrum germinativum. Kemudian sel Th ini akan melepaskan mediator yang akan

merangasang sel B. Sel B membentuk imunoglobulin (Ig)M pentamer diikuti oleh

pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori. IgG dan IgA

secara pasif akan berdifusi ke lumen. Bila konsentrasi antigen tinggi akan

menimbulkan respon proliferasi sel B pada sentrum germinativum sehingga

tersensitisasi terhadap antigen, mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur

seluler. Regulasi respon imun merupakan fungsi limfosit T yang akan mengontrol

proliferasi sel dan pembentukan imunoglobulin (Scadding, 2009; Health

Technology Assessment, 2004; Jeyakumar, 2013).

Gambar 2.5 Bentukan molekul dimer IgA (Scadding, 2009)

Mayoritas limfosit dari MALT mengeluarkan IgA yang diilustrasikan pada

Gambar 2.5. IgA bergabung pada rantai J melewati sel epitel menuju permukaan

mukosa, selama proses ini IgA dilapisi sekret untuk melindungi molekul dari

pencernaan enzimatik. Sistem retikuloendotelial mengangkut dan menyerap

Gabungan IgA sebagai kompleks imun. IgG dominan dihasilkan oleh tonsil

(31)

13

IgG disekresi langsung melalui celah antara sel-sel epitel dan meningkat bila

terjadi peradangan (Scadding, 2009).

Umur maksimal aktifitas tonsil 4-10 tahun. Tonsil mulai mengalami

involusi pada saat pubertas. Pada tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel

kripte retikuler terjadi perubahan epitel skuamosa berlapis, mengakibatkan

rusaknya aktifitas sel imun dan menurunkan aktifitas lokal sistem sel B serta

menurunkan produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum germinativum juga

berkurang (Wiatrak dan Woolley, 2007). Terdapat peningkatan spesifik protein

M, IgA, dan IgG pada pasien tonsilitis rekuren dibandingkan dengan tonsilitis

kronis (hipertrofi tonsil). Penemuan ini menyimpulkan bahwa respon imun

terhadap protein M berperan penting sebagai pencegahan kolonisasi bakteri pada

tonsil (Eryaman, dkk., 2013). Sitokin pro inflamasi dan anti inflamasi berperan

penting dalam sistem imunologi tonsil. Termasuk sitokin tipe Th1 (sitokin pro

inflamasi), yaitu: interleukin (IL)-2, interferon-γ (IFN-γ), tumor necrosis factor α

(TNF-α) dan sitokin tipe Th2 (sitokin anti inflamasi), yaitu: IL-4, IL-5, IL-6 dan

IL-13. Bonanomi, dkk. menunjukkan adanya peningkatan IL-6 pada 24 jam

pertama kultur setelah paparan stres pada tonsil (Todorovic dan Zvrko, 2013).

2.2 Tonsilitis Kronis 2.2.1 Definisi

Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi

pada tonsil palatina yang menetap lebih dari 3 bulan (Tom dan Ballenger, 2003).

(32)

14

infeksi subklinis dari tonsil dan dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada

tonsil (Brodsky dan Poje, 2006). Organisme patogen dapat menetap sementara

waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut

kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan (Adams, 2010).

Penyakit pada tonsil merupakan masalah yang sering ditemukan oleh

dokter yang menangani pasien anak. Akibat infeksi dari tonsil dapat

mengakibatkan kelainan pada tonsil, adenoid, daerah sekitarnya maupun secara

sistemik (Brodsky dan Poje, 2006; Tom dan Ballenger, 2003). Anamnesis dan

pemeriksaan fisik diagnostik diperlukan untuk menegakkan diagnosis penyakit

ini. Ukuran tonsil di luar serangan terlihat membesar akibat hiperplasia parenkim

atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripte tonsil disertai dengan hiperemi

ringan yang mengenai plika anterior, pembesaran kelenjar limfe, bertambahnya

jumlah kripte pada tonsil dan apabila tonsil ditekan keluar detritus (Tom dan

Ballenger, 2003; Brodsky dan Poje, 2006; Rusmarjono dan Hermani, 2008).

Gambar 2.6 Pembesaran tonsil (Shah dan Tewfik, 2014).

Brook dan Gober seperti dikutip oleh Hammouda, dkk. (2009)

menjelaskan tonsilitis kronis adalah suatu kondisi yang merujuk kepada adanya

(33)

15

Gambar 2.6. Brodsky (2007) menjelaskan durasi maupun beratnya keluhan nyeri

tenggorok dan nyeri menelan sulit dijelaskan. Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri

menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat menetap.

2.2.2 Epidemiologi

Secara epidemiologi tonsilitis kronis sering terjadi pada anak-anak usia 2-3

tahun dan sering meningkat pada usia 5-12 tahun. Tonsilitis paling sering terjadi

di negara subtropis. Pada negara iklim dingin angka kejadian lebih tinggi

dibandingkan dengan yang terjadi di negara tropis, infeksi Streptococcus terjadi di

sepanjang tahun terutama pada waktu musim dingin (Rusmarjono dan Soepardi,

2008). Menurut penelitian Kisve, dkk. (2009) diperoleh data tonsilitis kronis

terbanyak 294 penderita pada kelompok usia 5-12 tahun. Lebih kurang 10% anak

di Amerika Serikat dilakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin setiap tahunnya,

ditemukan tonsilofaringitis 25-50% positif dengan Streptococcus β hemoliticus

grup A, dimana 20% asimtomatik sebagai karier dalam waktu yang lama. Insiden

tertinggi ditemukan pada anak sekolah usia 4-7 tahun, jarang pada anak kurang

dari 3 tahun. Pada penelitian yang dilakukan di RS. Serawak di Malaysia

diperoleh 657 data penderita tonsilitis kronis, didapatkan pada laki-laki 342 (52%)

dan perempuan 315 (48%) (Sing, 2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di

RS Pravara di India dari 203 penderita tonsilitis kronis, sebanyak 98 (48%)

berjenis kelamin laki-laki dan 105 (52%) berjenis kelamin perempuan (Awan,

dkk., 2009). Pada penelitian Farokah (2007) mengenai hubungan tonsilitis kronis

(34)

16

didapatkan prevalensi penderita tonsilitis kronis sebesar 50% dan dengan hasil

penelitian terdapat hubungan bermakna antara tonsilitis kronis dan prestasi belajar

siswa.

Dari hasil penelitian kultur apusan tenggorok didapatkan gram positif

sebagai penyebab tersering tonsilitis kronis yaitu Streptococcus α kemudian

diikuti Staphilococcus aureus, Streptococcus β hemoliticus grup A,

Staphilococcus epidermis dan kuman gram negatif berupa Enterobacter,

Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan Escherchia coli. Pada tonsilitis kronis

Streptococcus β hemoliticus grup A lebih banyak dijumpai pada bagian dalam

tonsil daripada permukaan tonsil (Rusmarjono dan Soepardi, 2008).

2.2.3 Etiologi

Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptenya

secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhirup oleh hidung

kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil, maupun secara foodborn yaitu melalui

mulut masuk bersama makanan (Mawson, 2004; Farokah, 2007). Etiologi

penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang

mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat terjadi

bila fase resolusi tidak sempurna (Kvestad, 2005).

Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman yang sering adalah

Streptococcus β hemoliticus grup A. Selain itu terdapat Streptococcus viridian dan

Streptococcus pyogenes, Streptococcus grup B dan C, Stafilococcus, Hemophilus

(35)

17

dilakukan kultur apusan tenggorok , namun terkadang ditemukan bakteri golongan

gram negatif (Brodsky dan Poje, 2006; Adams, 2010).

Beberapa faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis ialah kebersihan

gigi dan mulut yang buruk, rangsangan menahun atau iritasi kronis akibat rokok,

beberapa jenis makanan (perilaku pola makan dan kebiasaan jajan pada anak),

sistem imun tubuh yang rendah, alergi (iritasi kronis dari alergen), pengaruh

cuaca, keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik). Tonsilitis kronis yang terjadi

pada anak mungkin disebabkan oleh karena pengobatan tonsilitis akut yang tidak

adekuat, tidak diobati dengan tepat atau dibiarkan begitu saja (Brodsky dan Poje,

2006; Adams, 2010).

2.2.4 Patofisiologi

Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripte tonsil mengakibatkan

peningkatan statis debris maupun antigen di dalam kripte, juga terjadi penurunan

integritas epitel kripte sehingga memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil.

Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil yang normal jarang ditemukan

adanya bakteri pada kripte, namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri

yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap di dalam kripte tonsil menjadi sumber

infeksi yang berulang terhadap tonsil sehingga pada suatu waktu tonsil tidak dapat

membunuh semua kuman dan kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah

fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi fokal infeksi dan suatu saat

kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan

(36)

18

Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil, karena proses

radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada

proses penyembuhan jaringan limfoid digantikan oleh jaringan parut yang akan

mengerut sehingga kripte akan melebar, ruang antara kelompok melebar yang

akan diisi oleh detritus, yaitu: akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati,

dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat berwarna kekuningan. Proses ini

meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan

sekitar fosa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini disertai pembesaran kelenjar

limfe submandibula (Brodsky dan Poje, 2006).

2.2.5 Diagnosis

Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis

akut yang berulang, adanya rasa sakit pada tenggorok yang terus-menerus

(odinofagi), sakit waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di tenggorok

bila menelan, terasa kering dan nafas bau busuk (halitosis), nafsu makan menurun,

malaise, terkadang disertai panas badan tinggi (Brodsky dan Poje, 2006;

Rusmarjono dan Hermani, 2008; Adams, 2010). Nyeri ketika tonsilitis meradang

dapat menjalar ke sekitar leher dan telinga (Gotlieb, 2005).

Dalam penelitian mengenai aspek epidemiologi faringitis didapatkan 63

penderita tonsilitis kronis sebanyak 41,3% diantaranya mengeluh nyeri tenggorok

sebagai keluhan utama, 27% penderita tonsilitis kronis dengan halitosis akibat

debris yang tertahan di dalam kripte tonsil yang kemudian dapat menjadi sumber

(37)

19

terjadinya obstruksi sehingga timbul gangguan menelan, sleep apneu dan

gangguan suara (sengau) pada malam hari, (Brodsk, 2007; Dhingra, 2007;

Shnayder, dkk., 2008; Hammouda, dkk., 2009).

Pemeriksaan tonsil dilakukan dengan memeriksa rongga mulut yang

hampir sehari-hari dikerjakan oleh setiap dokter, seperti disajikan pada Gambar

2.7. Pemeriksaan sederhana ini terkadang tidak mudah karena memerlukan

kerjasama yang baik dengan penderita.

Gambar 2.7 Pemeriksaan tonsil pada anak (Shah dan Tewfik, 2014)

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembesaran tonsil dalam berbagai

ukuran (hipertrofi tonsil), dengan pembuluh darah dilatasi pada permukaan tonsil,

arsitektur kripte sebagian mengalami stenosis, eksudat (purulen) pada kripte tonsil

dan sikatrik (jaringan parut) pada pilar. Pada beberapa kasus, kripte membesar dan

detritus seperti keju atau dempul pada kripte yang tampak jika tonsil ditekan

dengan spatula lidah pada pilar anterior. (Gotlieb, 2005; Brodsky dan Poje, 2006;

Brodsky, 2007), Pilar anterior berwarna kemerahan bila dibanding dengan mukosa

faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil

(Dhingra, 2007). Kelenjar limfe leher dapat membesar tetapi tidak terdapat nyeri

(38)

20

Terdapat dua macam gambaran tonsil dari tonsilitis kronis yang mungkin

tampak, yakni: tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan

ke jaringan sekitar mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput,

terkadang seperti terpendam di dalam bed tonsil (Adams, 2010; Drake dan Carr,

2013).

Standar pemeriksaan tonsil, diklasifikasikan berdasarkan rasio tonsil

terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan

dan kiri, dapat dilihat pada Gambar 2.8. Penilaian tersebut sebagai berikut:

T0: tonsil terletak pada fosa tonsil atau tonsil sudah diangkat, T1: bila tonsil

mengisi <25% orofaring, T2: 25% sampai <50%, T3: >50% sampai 75%, T4:

>75% (Brodsky dan Poje, 2006).

Gambar 2.8 Ukuran pembesaran tonsil (Brodsky dan Poje, 2006)

Pembagian pembesaran tonsil lainnya, dapat dilihat pada Gambar 2.9, sebagai

berikut (Adams, 2010; Jeyakumar, dkk., 2013):

1. T0: tonsil terletak pada fosa tonsil (tidak mengalami pembesaran) atau post

tonsilektomi

2. T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ antara jarak pilar

anterior-uvula atau tonsil masih terbatas dalam fosa tonsil

3. T2: batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak

pilar anterior-uvula atau sudah melewati pilar anterior tetapi belum melewati

(39)

21

4. T3: batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak

pilar anterior-uvula atau sudah melewati garis paramedian tetapi belum

melewati garis median

5. T4: batas medial tonsil melewati ¾ atau lebih jarak pilar anterior-uvula atau

sudah melewati garis median

Gambar 2.9 Batas pembesaran tonsil (Adams, 2010; Jeyakumar, dkk., 2013)

Penelitian di Denizli Turkey yang dilakukan pada 1.784 usia anak sekolah

4-17 tahun didapatkan data ukuran tonsil terbanyak yakni: T1: 1.119 (62%), T2:

507 (28,4%), T3: 58 (3,3%), dan T4: 2 (0,1%) (Akcay, 2006).

2.2.6 Penatalaksanaan

Tonsilitis kronis kebanyakan berasal dari bakteri yang terdapat di

parenkim tonsil dibanding permukaan tonsil, sehingga swab dari permukaan tonsil

saja dapat menjadi keliru. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotik

sesuai kultur. Pemberian antibiotik yang bermanfaat pada penderita tonsilitis

kronis cefalosporin ditambah metronidazole, klindamisin, amoksisilin dengan

asam klavulanat jika bukan disebabkan mononukleosis (Lee, 2008; Adams, 2010).

Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering

(40)

22

jaringan tonsil palatina dari fosa tonsil (Tom dan Jacobs, 2003; Health

Technology assessment, 2004; Brodsky dan Poje, 2006; Lee, 2008; Adams, 2010;

Jeyakumar, dkk., 2013). Kaedah tonsilektomi sangat efektif dilakukan pada anak

yang menderita tonsilitis kronis dan berulang dan indikasi absolut karena adanya

sumbatan jalan napas akibat hipertrofi tonsil, tetapi tonsilektomi dapat

menimbulkan berbagai masalah dan berisiko menimbulkan komplikasi seperti

perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi (Skevas, dkk., 2010;

Drake dan Carr, 2013).

Tonsilitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara simptomatik.

Obat kumur, analgetik, dan antipiretik biasanya dapat membantu. Gejala yang

timbul biasanya akan hilang sendiri. Efektivitas penggunaan obat kumur masih

dipertanyakan, karena bisa saja saat berkumur tidak mengenai tonsil tetapi lebih

banyak mengenai dinding faring (Desai, dkk., 2008; Adams, 2010).

2.2.7 Komplikasi

Komplikasi tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke

daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil.

Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut (Brodsky

dan Poje, 2006): a) Komplikasi sekitar tonsil: peritonsilitis, abses peritonsilar

(Quinsy), abses parafaringeal, abses retrofaring, krista tonsil, maupun tonsilolith

(kalkulus dari tonsil); b) Komplikasi ke organ jauh: demam rematik dan penyakit

(41)

23

koroiditis, psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura, artritis dan

fibrositis, tetapi jarang dijumpai (Shnayder, dkk., 2008).

Pada anak, hipertrofi tonsil yang sangat besar dapat menyebabkan

obstruksi saluran nafas atas menyebabkan hipoventilasi alveoli selanjutnya

hiperkapnia dan menyebabkan cor pulmonale, menimbulkan apneu ketika tidur

dengan gejala paling umum adalah mendengkur (Bluestone, 2006). Fisiologis

terganggu bahkan anak sampai tidak sekolah karena sakit yang akan berpengaruh

terhadap proses dan hasil belajarnya (Farokah, 2007; Hull dan Johnston, 2008).

2.2.8 Prognosis

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan

pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat

penderita lebih nyaman. Apabila antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi,

antibiotik harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap

walaupun penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu singkat (Brodsky

dan Poje, 2006).

2.3 Kebersihan Gigi dan Mulut 2.3.1 Rongga Mulut

Kesehatan rongga mulut merupakan salah satu bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari kesehatan tubuh secara keseluruhan, untuk itu dalam memperoleh

kesehatan rongga mulut yang baik berawal dari kebersihan gigi dan mulut setiap

(42)

24

daerah awal masuknya makanan dalam sistem pencernaan (Manson dan Eley,

2008). Rongga mulut dapat menjadi satu tempat yang efektif untuk bakteri

patogen berkembang biak, oleh karena itu sangat penting menjaga kesehatan

secara keseluruhan yang berpengaruh terhadap kesejahteraan anak dan remaja

(Satku, 2005; Promoting Oral Health, 2010). Kebersihan gigi dan mulut adalah

tindakan untuk membersihkan dan menyegarkan rongga mulut, gigi, dan gusi

untuk mencegah penyakit gigi dan mulut, penyakit yang penularannya melalui

mulut, meningkatkan daya tahan tubuh, dan memperbaiki fungsi gigi dan mulut

dalam sistem pengunyahan (Hermawan, 2010). Kebersihan gigi dan mulut yang

buruk dapat menyebabkan tonsilitis, gingivitis, halitosis, xerostomia,

pembentukan plak dan karies gigi.

2.3.2 Plak Gigi

Plak adalah lapisan tipis, tidak berwarna terdiri dari kumpulan bakteri

yang menyelimuti permukaan gigi. Plak merupakan deposit lunak terdiri atas

mikroorganisme yang berkembang biak dengan perantara suatu matriks

extracellular polymeric substance (EPS) atau disebut juga exopolysaccharide.

(Thomas, 2011). Plak akan bergabung dengan saliva yang mengandung kalsium,

membentuk endapan garam mineral yang keras. Sel-sel epitel rongga mulut yang

telah mengalami deskuamasi, sel-sel leukosit Polymorphonuclear leukocyte atau

PMN, makrofag dan bakteri merupakan penyusun dari plak. Sel-sel ini terdapat di

(43)

25

Komponen anorganik yang terdapat pada plak adalah kalsium, fosfat, magnesium,

sodium, dan potassium.

Plak gigi tidak dapat dilihat secara langsung, dengan demikian dibutuhkan

suatu senyawa yang digunakan untuk membantu melihat plak gigi. Disclosing

agents seperti Erithrosine Disclosing Solution dan Fluorescein Liquid digunakan

untuk mewarnai plak gigi sehingga memudahkan untuk melihat plak gigi. Plak

gigi akan terbentuk dalam waktu yang singkat setelah gigi dibersihkan, maka

disclosing agents digunakan secara rutin sebagai indikator ada tidaknya plak gigi.

Jika plak menebal akan terlihat sebagai substansi yang melekat pada permukaan

gigi, dengan awal terbentuk pada sepertiga permukaan gingiva berwarna abu-abu,

kuning keabuan, atau kuning karena plak yang tebal akan menyerap pigmen yang

berasal dari sisa makanan, eksudat maupun sel mati (Thomas, 2011; Putri, dkk.,

2012).

2.3.3 Komposisi Plak Gigi

Komposisi plak gigi sebagian besar terdiri atas air sekitar 80% dan

berbagai macam mikroorganisme ± 250 juta per miligram yang berkembang biak

dalam suatu matriks interseluler (Mbawala, dkk., 2010). Matriks interselular

merupakan 20-30% massa dari plak gigi yang mengandung bahan organik dan

bahan anorganik. Komponen organik mencakup polisakarida, protein,

glikoprotein, dan lemak sedangkan komponen anorganik yang ditemukan

(44)

26

2.3.4 Mekanisme Pembentukan Plak

Pembentukan plak mengarah pada kerusakan gigi seperti karies gigi.

Bakteri dominan dalam semua akumulasi plak gigi adalah jenis kokus terutama

Streptococcus yang dapat menghasilkan asam dengan cepat dari hasil

metabolisme karbohidrat. Mikroorganisme tersebut selain mampu membentuk

asam (acidogenic) juga tahan asam (acidurik). Tahap pembentukan plak melalui

serangkaian proses, antara lain: 1) perlekatan glikoprotein pada email, dan

terjadinya pembentukan pelikel, 2) perlekatan bakteri pada pelikel sebagai

kolonisasi awal, 3) peningkatan banyaknya plak oleh kelipatan bakteri sebagai

kolonisasi akhir (Thomas, 2011).

Pada tahap pembentukan pelikel, beberapa saat setelah pembersihan gigi

terbentuk lapisan tipis dari protein saliva, sebagian besar glikoprotein, disimpan

pada permukaan gigi. Lapisan ini disebut pelicel saliva acquired yang tipis,

lembut, tidak berwarna dan transparan. Pada awal pembentukan pelikel masih

terbebas dari bakteri. Pelikel saliva berfungsi sebagai pelindung. Pelikel juga

mengandung antibakteri antara lain IgG, IgA, Ig M, komplemen dan lysozym.

Pelikel terbentuk pada permukaan yang juga menyediakan substrat yang

mendukung akumulasi bakteri pada bentukan plak. Bakteri dapat mengikat

reseptor yang berada pada pelikel melalui perlekatan dan komponen saliva juga

berinteraksi dengan bakteri melalui berbagai macam pengikatan yang

menyebabkan aglutinasi yang mampu meningkatkan kemampuannya dalam

membersihkan rongga mulut. Pada tahap kolonisasi awal, terjadi sangat cepat,

(45)

27

oleh populasi bakteri. Bakteri dapat terdeposit secara langsung pada enamel tetapi

selalu terjadi perlekatan dengan pelikel dan agregasi bakteri juga dilapisi oleh

glikoprotein saliva. Pada orang primitif dimana dietnya yang alami dari makan

yang keras dan berserat pada permukaan gigi dan area kontak dari subjek cukup

mengenai seluruh permukaan sehingga deposit bakteri sangat minimal. Ketika

dietnya lunak gigi yang digunakan hanya terkena sedikit atau tidak sama sekali

dan mendorong terjadinya deposit dari bakteri. Akumulasi terbesar pada sisi yang

tersembunyi pada bagian yang tidak terkena gesekan dan pergerakan dari lidah

(Thomas, 2011). Pada beberapa jam pertama jenis Streptococcus pada pelikle

merupakan awal dari kolonisasi. Berbagai varietas bakteri akan melekat dan

berlipat ganda sehingga dalam 3-4 minggu akan terbentuk flora mikroba yang

mencerminkan adanya keseimbangan ekosistem organisme atau mikrobial pada

permukaan gigi. Koloni bakteri yang utama adalah Streptococcus mutans

merupakan varian dari Streptococcus viridian, Streptococcus sangius,

Streptococcus bovis, dan Streptococcus salivarius. Bakteri ini menguraikan

karbohidrat terutama sukrosa sebagai sumber nutrien, diuraikan menjadi

monosakarida sebagai sumber energi sel dengan bantuan enzim alpha amylase

yang akan melekatkan Streptococcus mutans pada gigi (Eliasson, dkk., 2006).

Bila bakteri ini dibiarkan berkembang beberapa hari maka akan menimbulkan

inflamasi gingiva (Marsh, 2006). Perkembangbiakan bakteri membuat lapisan

plak bertambah tebal dan karena adanya hasil metabolisme adhesi dari bakteri.

(46)

28

Menurut lokasinya, plak dapat diklasifikasikan menjadi: plak supragingiva

dan plak subgingiva, dapat dilihat pada Gambar 2.10. Plak supragingiva

ditemukan di batas gingiva atau diatasnya, saat berkontak langsung dengan batas

gingiva, plak ini disebut plak marginal, sedangkan plak subgingiva berada

dibawah margin gingiva antara gigi dan sulkus gingiva. Kedua tipe pada plak

tersebut akan berbeda karena plak supragingiva menyerap substansi yang berasal

dari saliva dan sisa makanan dan plak subgingiva akan menyerap eksudat yang

berasal dari gingiva (Kidd dan Bechal, 2012).

Gambar 2.10 A. Plak supragingiva dan B. Plak subgingiva (Thomas, 2011).

2.3.6 Indeks Kebersihan Rongga Mulut

Mengukur tingkat kebersihan gigi dan mulut merupakan upaya

menentukan keadaan kebersihan rongga mulut, yang dalam prosesnya diperlukan

suatu indeks. Indeks merupakan suatu angka, menunjukkan keadaan klinis yang

didapat pada waktu dilakukan pemeriksaan, dengan cara mengukur luas dari

permukaan gigi ditutupi oleh plak, dengan demikian angka yang diperoleh

berdasarkan penilaian yang objektif. Terdapat beberapa jenis indeks kebersihan

gigi dan mulut, yaitu indeks debris, indeks kalkulus, dan indeks plak (Putri, dkk.,

(47)

29

Indeks plak gigi Personal Hygiene Performance-Modified atau PHP-M,

metode penilaian indeks plak ini sering digunakan untuk pemeriksaan kebersihan

gigi dan mulut pada masa geligi campuran dengan permukaan yang diperiksa

adalah bagian bukal (luar) dan lingual (dalam). Indeks PHP-M mengukur plak

secara objektif. Pengukuran indeks PHP-M menggunakan disclosing agent gel

sebagai indikator plak pada gigi (Putri, dkk., 2012). Gigi yang diperiksa pada

metode PHP-M, yaitu:

1. Gigi molar pertama kanan atas

2. Gigi insisivus pertama kiri atas

3. Gigi premolar pertama kiri atas

4. Gigi molar pertama kiri bawah

5. Gigi insisivus pertama kanan bawah

6. Gigi premolar pertama kanan bawah

Cara penilaian skor indeks plak PHP-M dengan membagi lima area pada satu

permukaan gigi, yaitu bukal dan lingual. Pertama-tama pada permukaan bukal dan

lingual gigi dibagi menjadi beberapa area untuk memudahkan dalam menentukan

skor. Buat dua garis imajiner pada gigi dari oklusal atau insisal ke gingiva, garis

imajiner ini akan menjadi tiga bagian yang sama dari oklusal atau insisal ke

gingiva, masing-masing 1/3 bagian dari panjang garis imajiner tadi, yang akhirnya

akan membagi gigi menjadi lima area (A,B,C,D, dan E). Jadi akan didapat lima

area pada satu permukaan gigi saja (bukal atau lingual) untuk menentukan skor

(48)

30

dari area tengah, C) area sepertiga insisal atau oklusal dari area tengah, D) area

distal dan E) area mesial , seperti yang disajikan pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11 Area skor indeks PHP-M (Putri, dkk., 2012)

Apabila terlihat ada plak di salah satu area, maka diberi skor 1, jika tidak ada plak

diberi skor 0. Hasil penilaian plak yaitu dengan menjumlahkan setiap skor plak

pada setiap permukaan gigi, sehingga skor plak untuk setiap gigi dapat berkisar

antara 0-10. Dengan demikian, skor plak untuk semua gigi indeks berkisar antara

0-60 dengan kriteria baik: 0-20, sedang: 21-40, dan buruk: 41-60 (Putri, dkk.,

2012).

2.3.7 Disclosing Agent

Plak gigi tidak dapat dilihat secara langsung, dengan demikian dibutuhkan

suatu senyawa yang digunakan untuk membantu melihat plak gigi. Disclosing

agents seperti Erythrosine Disclosing Solution dan Fluorescein Liquid digunakan

untuk mewarnai plak gigi sehingga memudahkan untuk melihat plak gigi. Plak

gigi akan terbentuk dalam waktu yang singkat setelah gigi dibersihkan, maka

disclosing agents digunakan secara rutin sebagai indikator ada tidaknya plak gigi.

(Thomas, 2011; Putri, dkk., 2012). Erythrosine Disclosing Solution yang paling

banyak digunakan, ada juga dalam bentuk tablet kemudian dilarutkan ke dalam air

atau dikunyah langsung di dalam mulut. Zat ini menyebabkan plak pada gigi

(49)

31

sekitar. Zat lainnya dapat digunakan Fluorescein Dye yang memberikan warna

kuning, dan tidak menyebabkan perubahan warna jaringan lunak sekitar. Namun

zat ini memerlukan lampu ultraviolet khusus untuk melihat warna plak.

Berikutnya adalah Two Tones Dyes merupakan cairan, terdiri dari dua warna

dimana plak yang sudah matang akan berwarna biru dan plak yang baru terbentuk

akan berwarna merah. Keuntungannya adalah dapat digunakan untuk

membedakan plak yang sudah matang atau belum matang dan juga tidak

mewarnai jaringan gingiva. Cairan yang mengandung iodine sudah sering

digunakan namun mempunyai efek samping alergi, dan juga mempunyai rasa

tidak enak, sehingga tidak direkomendasikan untuk digunakan. Penggunaan dari

disclosing agent gel ada beberapa cara diantaranya dengan langsung mengoleskan

pada permukaan gigi dengan kapas, berkumur, atau kalau berbentuk tablet bisa

langsung dikunyah.

2.4 Hubungan Kebersihan Gigi dan Mulut dengan Tonsilitis Kronis

Kebersihan gigi dan mulut yang buruk, maka bakteri dan produknya akan

melakukan interaksi dengan sel-sel tertentu di dalam rongga mulut. Tonsil dalam

rongga mulut akan bereaksi terhadap stimulasi bakteri dan tubuh melakukan

pertahanan imunologis dengan mengaktivasi sel mediator inflamasi yang dapat

menyebabkan gangguan metabolisme jaringan ikat sebagai tanda klinis awal

peradangan tonsil (Santoso, dkk., 2009). Jika tonsil berulang kali terkena infeksi

akibat dari kurangnya perawatan kebersihan gigi dan mulut serta adanya

(50)

32

seluruhnya, kuman akan bersarang di tonsil dan menimbulkan tonsilitis kronis.

Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang

infeksi atau fokal infeksi.

Karies gigi pada anak akibat timbunan plak menunjukkan kebersihan gigi

dan mulut yang buruk dan mempengaruhi terjadinya tonsilitis kronis ditandai

dengan hipertrofi tonsil. Kebersihan gigi dan mulut yang buruk akan menjadi agen

etiologi primer meningkatkan risiko penyakit rongga mulut terutama akumulasi

bakteri yang menyebabkan tonsilitis. Terkait dengan kebersihan gigi dan mulut,

karies gigi dikatakan sebagai salah satu penyebab tonsilitis terutama abses

peritonsilar (Nasab,dkk., 2006).

Bakteri patogen pada gigi dalam rongga mulut, yaitu: Streptococcus

mutans dan Streptococcus sanguis dapat menyebabkan proses imunologis pada

tonsil, dengan demikian stimulasi kronis (perangsangan yang terjadi

terus-menerus) dan kebersihan gigi dan mulut yang buruk penyebab terjadinya tonsilitis

kronis. Terjadi asumsi kuat adanya proses imunologis, ditunjukkan oleh tonsil

terhadap Streptoccus sanguis menjadi alasan terjadi hipertrofi tonsil (Fukuizumi,

dkk., 2005). Rusmarjono (2008) menjelaskan kebersihan gigi dan mulut harus

tetap dijaga untuk mencegah rongga mulut menjadi media pembiakan kuman ,

apabila kebersihan gigi dan mulut buruk dan jarang menggosok gigi, kuman jenis

coccus akan mudah berkembang biak, Streptococcus β hemoliticus grup A mudah

masuk melalui makanan, minuman dan sisa-sisa makanan yang berada pada

Gambar

Gambar 2.1 Cincin Waldeyer tampak lateral (Jeyakumar, 2013)
Gambar 2.2 Tonsil pada pemeriksaan orofaring (Lowry dan Onart, 2003)
Gambar 2.3 Suplai darah tonsil (Lowry dan Onart, 2003)
Gambar 2.4 Kapsul tonsil (Wiatrak dan Woolley, 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh antara tingkat pengetahuan kesehatan gigi dan mulut orang tua terhadap status kebersihan gigi dan mulut pasien

penyikatan gigi pada anak dengan frekuensi yang tidak optimal dapat disebabkan karena anak tidak dibiasakan melakukan penyikatan gigi sejak dini oleh orang tua,

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Desember 2016-Februari 2017 di wilayah keja Puskesmas Cigugur Tengah Kota Cimahi tentang Hubungan Tingkat Pengetahuan

Dari hasil penelitian terhadap pasien anak di RSGM Unsrat Manado dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara perasaan takut anak terhadap perawatan

12 2.2.2 Faktor yang dapat mempengaruhi Kesehatan Gigi dan Mulut ..... 57 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian

36 Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi hubungan tingkat pengetahuan kebersihan gigi orangtua dengan status kebersihan gigi anak tunagrahita

Perbedaan Penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya adalah terletak pada subyek penelitian yaitu status kebersihan gigi anak tunagrahita sedangkan pada penelitian

iv HUBUNGAN KEBERSIHAN PRIBADI DENGAN ANGKA INFEKSI PROTOZOA USUS PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR DI SDN 016 PETANG JOHAR BARU DITINJAU DALAM KEDOKTERAN DAN ISLAM Melinda Rizki